KEPERAWATAN ANAK II
“Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Kebutuhan Khusus: Autisme”
Di Susun Oleh :
Kelompok 3
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam pendidikan luar biasa kita banyak mengenal macam-macam anak
kebutuhan khusu. Salah satunya adalah anak dengan autisme. Autisme merupakan
perkembangan kekacauan otak dan gangguan pervasif yang ditandai dengan
terganggunya interaksi sosial, keterlambatan dalam bidang komunikasi, gangguan
dalam bermain, bahasa, perilaku, gangguan perasaan dan emosi, gangguan dalam
perasaan sensoris, serta tingkah laku yang berulang-ulang. Gejala autisme ini dapat
terdeteksi pada usia sebelum 3 tahun (Huzaemah, 2010).
Data dari UNESCO di tahun 2011 tercatat bahwa 6 dari 1000 orang di dunia
mengidap autis, ini berarti 35 juta orang di dunia menyandang autis (Diah, 2014).
Institut Riset Anak Murdoch melakukan penelitian dan mendapati ada 1.5 persen
semua anak berumur 10-11 tahun dan 2.5 persen untuk anak berusia 4-5 tahun di
Australia yang menunjukkan gejala autis (Antara, 2017). Jumlah anak penyandang
autis yang dipaparkan oleh Bina Upaya Kesehatan (BUK) diperkirakan pada rentang
usia 5-19 tahun terdapat lebih dari 112 ribu (Melisa, 2013). Di Indonesia anak
penyandang autis diperkirakan mencapai 2,4 juta orang dengan pertambahan 500
orang pertahun.
Di Indonesia sering kali cukup sulit mendapatkan data penderita autis, ini karena
orangtua anak yang di curigai mengidap autisme seringkali tidak menyadari gejala-
gejala autisme pada anak. Akibatnya, mereka merujuknya ke pintu lain di RS.
Misalnya ke bagian THT karena menduga anaknya mengalami gangguan
pendengaran dan ke Poli Tumbuh Kembang Anak karena mengira anaknya
mengalami masalah dengan perkembangan fisik.
Permasalahan yang ada dilapangan terkadang setiap orang tidak mengetahui
tentang anak Autisme tersebut. Oleh kerena itu kita harus kaji lebih dalam tentang
anak Autisme. Dalam pengkajian tersebut kita butuh banyak informasi mengenai
siapa anak Autisme, penyebabnya dan lainnya. Dengan adanya bantuan baik itu
pendidikan secara umum. Dalam masyarakat nantinya anak-anak tersebut dapat lebih
1
2
mandiri dan anak-anak tersebut dapat mengembangkan potensi yang ada dan
dimilikinya yang selama ini terpendam karena ia belum bisa mandiri. Oleh karena
itu, makalah ini nantinya dapat membantu kita mengetahui anak Autisme tersebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat diambil rumusan masalah adalah
bagimana konsep dan asuhan keperawatan pada anak dengan kebutuhan khusus:
autisme?
C. Tujuan
Umum
Untuk mengetahui tentang konsep dan asuhan keperawatan pada anak dengan
kebutuhan khusus: autisme.
Khusus
Untuk mengetahui dan memahami tentang definisi autisme.
Untuk mengetahui dan memahami tentang etiologi autisme.
Untuk mengetahui dan memahami tentang patofisiologi autisme.
Untuk mengetahui dan memahami tentang pathway autisme.
Untuk mengetahui dan memahami tentang manifestasi klinis autisme.
Untuk mengetahui dan memahami tentang penatalaksanaan autisme.
Untuk mengetahui dan memahami tentang komplikasi autisme.
Untuk mengetahui dan memahami tentang pengkajian, diagnosa dan rencana
tindakan keperawatan pada anak dengan kebutuhan khusus: autisme.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Definisi
Autisme adalah gangguan perkembangan otak pada anak yang berakibat tidak
dapat berkomunikasi dan tidak dapat mengekspresikan perasaan dan keinginannya,
sehingga perilaku hubungan dengan orang lain terganggu (Sastra, 2011). Menurut
(Yuwono, 2009) autis merupakan gangguan perkembangan neurobiologis yang sangat
kompleks/berat dalam kehidupan yang
panjang, yang meliputi gangguan pada
aspek interaksi sosial, komunikasi dan
bahasa dan perilaku serta gangguan emosi
dan persepsi sensori bahkan pada aspek
motoriknya.
Autisme adalah perkembangan kekacauan otak dan gangguan pervasif yang
ditandai dengan terganggunya interaksi sosial, keterlambatan dalam bidang
komunikasi, gangguan dalam bermain, bahasa, perilaku, gangguan perasaan dan
emosi, gangguan dalam perasaan sensoris, serta tingkah laku yang berulang-ulang.
Gejala autisme ini dapat terdeteksi pada usia sebelum 3 tahun (Huzaemah, 2010).
Autism Spectrum Disorder (ASD) atau biasa disebut sebagai autis adalah gangguan
perkembangan pada anak-anak dimana mereka seolah-olah hidup dalam dunianya
sendiri, hal ini ditandai dengan ketidakmampuan anak untuk berinteraksi sosial dengan
lingkungan yang ada (Muniroh, 2010).
Jadi, dapat diketahui bahwa autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang
(anak) sejak lahir atau balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan
sosial atau komunikasi yang tidak normal.
Autisme dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian berdasarkan gejalanya.
Sering kali pengklasifikasian disimpulkan setelah anak didiagnosa autis. Klasifikasi
ini dapat diberikan melalui Childhood Autism Rating Scale (CARS).
Pengklasifikasiannya adalah sebagai berikut.
3
1. Autis Ringan. Pada kondisi ini anak autis masih menunjukkan adanya kontak mata
walaupun tidak berlangsung lama. Anak autis ini dapat memberikan sedikit respon
ketika dipanggil namanya, menunjukkan ekspresi-ekspresi muka, dan dalam
berkomunikasi dua arah meskipun terjadinya hanya sesekali.
2. Autis Sedang. Pada kondisi ini anak autis masih menunjukkan sedikit kontak mata
namun tidak memberikan respon ketika namanya dipanggil. Tindakan agresif atau
hiperaktif, menyakiti diri sendiri, acuh, dan gangguan motorik yang stereopik
cenderung agak sulit untuk dikendalikan tetapi masih bisa dikendalikan.
3. Autis Berat. Anak autis yang berada pada kategori ini menunjukkan tindakan-
tindakan yang sangat tidak terkendali. Biasanya anak autis memukul-mukulkan
kepalanya ke tembok secara berulang-ulang dan terus menerus tanpa henti. Ketika
orang tua berusaha mencegah, namun anak tidak memberikan respon dan tetap
melakukannya, bahkan dalam kondisi berada di pelukan orang tuanya, anak autis
tetap memukul-mukulkan kepalanya. Anak baru berhenti setelah merasa kelelahan
kemudian langsung tertidur (Mujiyanti, 2011).
B. Etiologi
Menurut (Sari, 2009) autis merupakan penyakit yang bersifat multifaktor.
Beberapa penyebab dari autis adalah sebagai berikut.
1. Faktor genetika
Jumlah anak berjenis kelamin laki-laki yang menderita autis lebih banyak
dibandingkan perempuan, hal ini diduga karena adanya gen atau beberapa gen
atau beberapa gen pada kromosom X yang terlibat dengan autis. Perempuan
memiliki dua kromosom X, sementara laki-laki memiliki satu kromosom X.
Sejumlah penelitian menyimpulkan bahwa gen pada kromosom X bukanlah
penyebab utama autis, namun suatu gen pada kromosom X yang mempengaruhi
interaksi sosial dapat mempunyai andil pada perilaku yang berkaitan dengan autis
(Mujiyanti, 2011).
Salah satu gen yang berperan penting dalam terjadinya sindrom autisme, yaitu
neuroxin merupakan protein yang berperan dalam membantu komunikasi sel
saraf. Salah satu protein dari family neuroxin yang dikodekan oleh gen CNTNAP2
(Contactine Assosiates Protein-like 2) berfungsi sebagai molekul reseptor pada
4
sel saraf. Pada saat dalam kandungan, ketika sampel darah janin diambil dan
dianalisis, anak autis mengalami peningkatan protein dalam darah, yaitu tiga kali
lebih tinggi dibanding dengan anak normal (Winarno, 2013).
2. Usia orang tua
Makin tua usia orang tua saat memiliki anak, makin tinggi risiko si anak
menderita autisme. Penelitian yang dipublikasikan tahun 2010 menemukan,
perempuan usia 40 tahun memiliki risiko 50% memiliki anak autisme
dibandingkan dengan perempuan berusia 20-29 tahun.
3. Kelainan anatomis otak
Menurut (Mujiyanti, 2011) kelainan stimulus otak ditemukan khususnya di
lobus parietalis dan serebelum. Serta pada sistem limbiknya. Sebanyak 43%
penyandang autisme mempunyai kelainan di lobus parietalis otaknya, yang
menyebabkan anak tampak acuh terhadap lingkungannya. Kelainan juga
ditemukan pada otak kecil (serebelum), terutama pada nervus ke VI dan VII. Otak
kecil bertanggung jawab atas proses sensoris, daya ingat, berfikir, belajar
berbahasa dan proses atensi (perhatian). Kelainan khas juga ditemukan pada
sistem limbik yang disebut hipokampus dan amigdala. Kelainan tersebut
menyebabkan kelainan fungsi kontrol terhadap agresi dan emosi.
Menurut (Winarno, 2013) otak anak autis mengalami pertumbuhan dengan
laju kecepatan yang tidak normal, khususnya pada usia 2 tahun, dan memiliki
puzzling sign of inflammation (peradangan yang membingungkan). Bagian
corpus callosum, biasanya pada anak autis berukuran lebih kecil. Corpus callosum
merupakan pita tenunan pengikat yang menghubungkan hemisphere otak kanan
dan otak kiri.
4. Disfungsi metabolik
Disfungsi metabolik terutama berhubungan dengan kemampuan memecah
komponen asam amino phenolik. Amino phenolik banyak ditemukan di berbagai
makanan dan dilaporkan komponen utamanya dapat menyebabkan terjadinya
gangguan tingkah laku pada pasien autis. Makanan yang mengandung amino
phenolitik itu adalah : terigu (gandum), jagung, gula, coklat, pisang dan apel
(Mujiyanti, 2011).
5
5. Infeksi
Infeksi Candida Albicans berat bisa dijumpai pada anak yang banyak
mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung yeast dan karbohidrat, karena
dengan adanya makanan tersebut Candida dapat tumbuh dengan subur. Makanan
ini dilaporkan dapat menyebabkan anak menjadi autis. Infeksi Candida Albicans
memiliki gejala-gejala menyerupai autis seperti gangguan berbahasa, gangguan
tingkah laku dan penurunan kontak mata (Mujiyanti, 2011).
6. Obat-obatan
Bayi yang terpapar obat-obatan tertentu ketika dalam kandungan memiliki
risiko lebih besar mengalami autisme. Obat-obatan tersebut termasuk valproic dan
thalidomide. Thalidomide adalah obat generasi lama yang dipakai untuk
mengatasi gejala mual dan muntah selama kehamilan, kecemasan, serta insomnia.
Sedangkan valproic acid adalah obat yang dipakai untuk penderita gangguan
mood dan bipolar disorder (HR, 2013).
C. Patofisiologi
Diperkirakan bahwa genetik merupakan penyebab utama dari autisme. Tapi selain
itu juga faktor lingkungan misal terinfeksi oleh bahan beracun yang akan merusak
struktur tubuh. Selain itu bahan-bahan kimia juga dapat menyebabkan autisme. Karena
kita ketahui bahwa bila bahan tersebut masuk dalam tubuh akan merusak pencernaan
dan radang dinding usus karena alergi. Bahan racun masuk melalui pembuluh darah
yang bila tidak segera diatasi bisa menuju ke otak kemudian bereaksi dengan
endhorphin yang akan mengakibatkan perubahan perilaku.
Anak dengan autisme mengalami gangguan pada otaknya yang terjadi karena
infeksi yang disebabkan oleh jamur, logam berat, zat aditif, alergi berat, obat-obatan,
kasein dan gluten. Infeksi tersebut terjadi pada saat bayi dalam kandungan maupun
setelah lahir. Kelainan yang dialami anak autisme terjadi pada otak bagian lobus
parietalis, otak kecil (cerebellum) dan pada bagian sistem limbik. Kelainan ini
menyebabkan anak mengalami gangguan dalam berpikir, mengingat dan belajar
berbahasa serta dalam proses atensi. Sehingga anak dengan autisme kurang berespon
terhadap berbagai rangsang sensoris dan terjadilah kesulitan dalam menyimpan
informasi baru.
6
7
D. Pathway
Keracunan
logam
Genetik
Infeksi
Peningkatan Gg. Otak kecil
neurokimia secara
abnormalitas
Reaksi atensi
lebih lambat
AUTISME
Gg. Sensitif
Komunikasi Hiperaktif terhadap cahaya
& menutup
telinga saat
Perubahan mendengar
Keterlambatan interaksi sosial Gg. Perilaku suara
dalam bahasa
E. Manifestasi Klinis
Menurut (Mujiyanti, 2011), ada banyak tingkah laku yang tercakup dalam anak
autis dan ada 4 gejala yang selalu muncul, yaitu :
1. Isolasi sosial
Banyak anak autis yang menarik diri dari kontak sosial ke dalam suatu keadaan
yang disebut extreme autistic alones. Hal ini akan semakin terlihat pada anak yang
lebih besar dan ia akan bertingkah laku seakan-akan orang lain tidak ada.
2. Kelemahan kognitif
Anak autis sebagian besar (±70%) mengalami retardasi mental (IQ <70) disebut
dengan autis dengan tuna grahita tetapi anak autis infertil sedikit lebih baik,
contohnya dalam hal yang berkaitan dengan hal sensorik motorik. Anak autis
dapat meningkatkan hubungan sosial dengan temannya, tetapi hal itu tidak
berpengaruh terhadap retrdasi mental yang dialami.
3. Kekurangan dalam berbahasa
Lebih dari setengah autis tidak dapat berbicara, yang lainnya hanya mengoceh,
merengek, atau menunjukkan ecocalia, yaitu menirukan apa yang dikatakan orang
lain. Beberapa anak autis mengulang potongan lagu, iklan TV atau potongan kata
yang terdengar tanpa tujuan. Beberapa anak autis menggunakan kata ganti dengan
cara yang aneh.
4. Tingkah laku stereotif
Anak autis sering melakukan gerakan yang berulang-ulang secara terus menerus
tanpa tujuan yang jelas. Seperti berputar-putar, berjingkat-jingkat dan lain
sebagainya. Gerakan ini dilakukan berulang-ulang disebabkan karena kerusakan
fisik, misalnya ada gangguan neurologis. Anak autis juga mempunyai kebiasaan
menarik-narik rambut dan menggigit jari. Walaupun sering kesakitan akibat
perbuatannya sendiri, dorongan untuk melakukan tingkah laku yang aneh ini
sangat kuat dalam diri mereka. Anak autis juga hanya tertarik pada bagian-bagian
tertentu dari sebuah objek misalnya pada roda mobil-mobilan. Anak autis juga
menyukai keadaan lingkungan dan kebiasaan yang monoton.
Tanda dan gejala austisme juga dapat dilihat berdasarkan DSM-IV dengan cara
seksama mengamati perilaku anak dalam berkomunikasi, bertingkah laku dan tingkat
9
perkembangan yakni yang terdapat pada penderita autisme dengan membedakan usia
anak. Tanda dan gejala dapat dilihat sejak bayi dan harus diwaspadai :
1. Usia 0-6 bulan
a. Bayi tampak terlalu tenang (jarang menangis)
b. Terlalu sensitive, cepat terganggu/terusik
c. Tidak ditemukan senyum social diatas 10 minggu
d. Tidak ada kontak mata diatas umur 3 bulan
e. Perkembangan motorik kasar/halus sering tampak normal
2. Usia 6-12 bulan
a. Bayi tampak terlalu tenang
b. Terlalu sensitive
c. Sulit di gendong
d. Tidak ditemukan senyum sosial
e. Menggigit tangan dan badan orang lain secara berlebihan
3. Usia 1-2 tahun
a. Kaku bila di gendong
b. Tidak mau bermain permainan sederhana (ciluk ba, da...da)
c. Tidak mengeluarkan kata
d. Tidak tertarik pada boneka
e. Terdapat keterlambatan dalam perkembangan motorik kasar dan halus
4. Usia 2-3 tahun
a. Tidak bisa bicara
b. Tidak tertarik untuk bersosialisasi dengan orang lain (teman sebaya)
c. Hiperaktif
d. Kontak mata kurang
5. Usia 3-5 tahun
a. Sering didapatkan ekolalia (membeo)
b. Mengeluarkan suara yang aneh (nada tinggi ataupun datar)
c. Marah bila rutinitas yang seharus berubah
d. Menyakiti diri sendiri (membentur kepala)
10
F. Pemeriksaan Diagnostik
1. Childhood Autism Rating Scale (CARS)
Skala peringkat autisme masa kanak-kanak yang dibuat oleh Eric Schopler di awal
tahun 1970 yang didasarkan pada pengamatan perilaku. Alat menggunakan skala
hingga 15; anak dievaluasi berdasarkan hubungannya dengan orang, penggunaan
gerakan tubuh, adaptasi terhadap perubahan, kemampuan mendengar dan
komunikasi verbal.
2. The Checklis for Autism in Toddlers (CHAT)
Berupa daftar pemeriksaan autisme pada masa balita yang digunakan untuk
mendeteksi anak berumur 18 bulan, dikembangkan oleh Simon Baron Cohen di
awal tahun 1990-an.
3. The Autism Screening Questionare
Adalah daftar pertanyaan yang terdiri dari 40 skala item yang digunakan pada anak
di atas usia 4 tahun untuk mengevaluasi kemampuan komunikasi dan sosial mereka.
4. The Screening Test for Autism in Two-Years Old
Tes screening autisme bagi anak usia 2 tahun yang dikembangkan oleh Wendy
Stone di Vanderbilt didasarkan pada 3 bidang kemampuan anak, yaitu; bermain,
imitasi motor dan konsentrasi.
G. Komplikasi
Penderita autisme mungkin mengalami masalah pada pencernaan, pola makan
atau pola tidur yang tidak biasa, perilaku agresif, dan sejumlah komplikasi lain, seperti
(Dr. Tjin Willy, 2018) :
1. Gangguan mental. Autisme dapat menyebabkan penderita mengalami depresi,
cemas, gangguan suasana hati, dan perilaku impulsif.
2. Gangguan sensorik. Penderita autisme dapat merasa sensitif dan marah pada
lampu yang terang atau suara yang berisik. Pada beberapa kasus, penderita tidak
merespon sensasi sensorik seperti panas, dingin atau nyeri.
3. Kejang. Kejang bisa terjadi pada penderita autisme, dan dapat muncul pada usia
kanak-kanak atau remaja.
4. Tuberous sclerosis. Tuberous sclerosis adalah penyakit langka yang memicu
tumbuhnya tumor jinak di banyak organ tubuh, termasuk otak.
H. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan medis
Kimia otak yang kadarnya abnormal pada penyandang autis adalah serotonin 5-
Hydroxytryptamine (5HT) yaitu neurotransmitter atau penghantar signal ke sel-
sel saraf. Sekitar 30-50% penyandang autis mempunyai kadar serotonin dalam
darah. Kadar norepinefrin,dopamin,dan serotonin 5-HT pada anak normal dalam
keadaan stabil dan saling berhubungan.Akan tetapi,tidak demikian pada
penyandang autis. Terapi psikofarmakologi tidak mengubah riwayat keadaan atau
perjalanan autis tetapi efektif mengurangi perilaku autistic seperti hiperaktivitas,
penarikan diri, stereotipik, menyakiti diri sendiri, agresifsifitas dan gangguan
tidur. Risperidone bias digunakan sebagai antagonis reseptor dopamine D2 dan
seroton 5-HT untuk mengurangi agresifitas, hiperaktivitas dan tingkah laku yang
menyakiti diri sendiri.
2. Penatalaksanaan Keperawatan
a. Terapi wicara : membantu anak melancarkan otot-otot mulut sehingga
membantu anak berbicara yang lebih baik.
b. Terapi okupasi : untuk melatih motorik halus anak.
c. Terapi perilaku : anak autis sering kali merasa frustasi. Teman-temannya
sering kali tidak memahami mereka. Mereka merasa sulit mengekspresikan
kebutuhannya, mereka banyak yang hipersensitif terhadap suara, cahaya dan
sentuhan. Maka tak heran mereka sering mengamuk. Seorang terapis perilaku
terlatih untuk mencari latar belakang dari perilaku negative tersebut dan
mencari solusinya dengan merekomendasikan perubahan lingkungan dan
rutin anak tersebut untuk memperbaiki perilakunya.
11
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas klien
Meliputi nama anak, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, suku bangsa,
tanggal, jam masuk RS, nomor registrasi, dan diagnosis medis.
2. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
Biasanya anak autis dikenal dengan kemampuan berbahasa, keterlambatan atau
sama sekali tidak dapat bicara. Berkomunikasi dengan menggunakan bahasa
tubuh dan hanya dapat berkomunikasi dalam waktu singkat, tidak senang atau
menolak dipeluk. Saat bermain bila didekati akan menjauh. Ada kedekatan
dengan benda tertentu seperti kertas, gambar, kartu atau guling, terus dipegang
dibawa kemana saja dia pergi. Bila senang satu mainan tidak mau mainan
lainnya. Sebagai anak yang senang kerapian harus menempatkan barang
tertentu pada tempatnya. Menggigit, menjilat atau mencium mainan atau bend
apa saja. Bila mendengar suara keras, menutup telinga. Didapatkan IQ dibawah
70 dari 70% penderita, dan dibawah 50 dari 50%. Namun sekitar 5%
mempunyai IQ diatas 100.
b. Riwayat kesehatan dahulu (ketika anak dalam kandungan)
1) Sering terpapar zat toksik, seperti timbal.
2) Cidera otak
c. Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit serupa
dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit bawaan atau keturunan.
Biasanya pada anak autis ada riwayat penyakit keturunan.
3. Status perkembangan anak.
a. Anak kurang merespon orang lain.
b. Anak sulit fokus pada objek dan sulit mengenali bagian tubuh.
c. Anak mengalami kesulitan dalam belajar.
12
13
A. Kesimpulan
Autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang (anak) sejak lahir atau balita,
yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang
tidak normal. Beberapa penyebab dari autis adalah faktor genetik, usia orang tua,
kelainan anatomis otak dan penggunaan obat-obatan yang berlebihan. Gejala yang
muncul pada anak dengan autisme, seperti isolasi sosial, kelemahan kognitif,
kekurangan dalam berbahasa dan tingakah laku stereotif. Penatalaksanaan
keperawatan yang dapat diberikan pada anak dengan autisme antara lain terapi wicara,
terapi okupasi dan terapi perilaku.
B. Saran
1. Bagi institusi pendidikan
Setiap institusi pendidikan diharapkan dapat menjadikan makalah ini sebagai
masukan ilmu pengetahuan dalam proses belajar mengajar ataupun perkuliahan.
2. Bagi penulis
Dapat menambah wawasan dan pengetahuan, serta dapat menjadikannya sebagai
panduan belajar. Namun, kami menyadari bahwa dengan keterbatasan
kemampuan dan pengetahuan yang kami miliki, materi ulasan yang kami sajikan
masih jauh dari kesempuranaan sehingga tentunya tak akan luput dari kesalahan
dan kehilafan. Oleh karena itu, kami menghargai dan bahkan mengharapkan
segala bentuk masukan dan kritik dari rekan-rekan ataupun pihak lain untuk lebih
membangun dan menyegarkan wawasan kami sehingga lebih bijaksana.
17
Daftar Pustaka
Diah, S. (2014). Diagnosis Akurat, Pendidikan Tepat dan Dukungan Kuat untuk
Menciptakan Masa Depan Anak Autis yang Lebih Baik.
HR, D. H. (2013). Autis Pada Anak Pencegahan, Perawatan dan Pengobatan.
Yogyakarta: Nuha Medika.
Huzaemah. (2010). Kenali Autisme Sejak Dini. Jakarta: Pustaka Populer Obor.
Melisa, F. (2013). 112.000 Anak Indonesia Diperkirakan Menyandang Autisme.
Mujiyanti, D. (2011). Tingkat Pengetahuan Ibu dan Pola Konsumsi Pada Anak Autis di
Kota Bogor. Fakultas Ekologi Manusia Institut.
Muniroh, S. M. (2010). Dinamika Resiliensi Orang Tua Anak Autis. Journal STAIN
Pekalongan, 1-11.
Sari, I. (2009). Nutrisi Pada Pasien Autis. Cermin Dunia Kedokteran, 89-93.
Sastra, G. (2011). Neurolinguistik Suatu Pengantar. Bandung: CV Alfabeta.
Winarno. (2013). Autisme dan Peran Pangan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Yuwono, J. (2009). Memahami Anak Autis. Bandung: CV Alfabeta.
18