C. ETIOLOGI
Dahulu terdapat kepercayaan yang salah mengenai pemberian vaksin
measles, mumps, dan Rubella (MMR) yang berhubungan dengan terjadinya
Autism Spectrum Disorder (ASD). Namun laporan WHO menunjukkan bahwa
pernyataan mengenai vaksin MMR yang dapat menyebabkan Autism Spectrum
Disorder (ASD) adalah suatu berita yang tidak benar. Lancet telah secara resmi
mencabut artikel tahun 1998, yang menjadi dasar spekulasi ini.
D. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi autism spectrum disorder (ASD) melibatkan berbagai struktur
dan jaras di otak. Gangguan perkembangan neuronal dan kerusakan pada jaras
cortico-striato-thalamo-cortical menyebabkan gejala perilaku repetitif pada
ASD. Gangguan interaksi sosial adalah akibat kerusakan pada jaras yang
menghubungkan ventral tegmental area dengan nukleus accumbens dan
amigdala dengan ventral hipokampus.
1. Faktor Genetik
Kerusakan jaras otak yang menjadi dasar patofisiologi ASD melibatkan
faktor genetik. Gen-gen yang terlibat dalam patofisiologi ASD adalah gen
yang bertanggung jawab proses plastisitas sinaps, protein scaffolding sinaps,
reseptor, cell adhesion molecule, remodeling kromatin, proses transkripsi,
sintesis atau degradasi protein, dan dinamika sitoskeleton aktin. Contoh dari
gen-gen ini adalah gen neuroligins, neurexins, SHANKs, CNTNAP2 dan
FMR1.
2. Gangguan Neurogenesis
Penelitian neuropatologi menunjukkan bahwa pada ASD juga terjadi
gangguan neurogenesis berupa jumlah sinaps dan dendrit yang berlebihan
karena proses pruning yang lambat. Proses pruning adalah proses dimana
neuron merampingkan struktur neuronal dengan cara menghilangkan akson,
dendrite, atau sinaps yang tidak diperlukan untuk efisiensi struktur, penjalaran
impuls, dan penggunaan energi.
Penelitian pada binatang coba menunjukkan bahwa tikus yang
mengalami pruning yang lambat mampu belajar sama seperti tikus lain,
namun tidak bisa menambahkan informasi baru terhadap apa yang sudah
dipelajari. Tikus yang mempunyai terlalu banyak sinaps akibat pruning yang
lambat kehilangan potensi belajar.
Dari penelitian tersebut dapat disimpulkan, proses pruning yang lambat
pada ASD mungkin bermanifestasi sebagai ketidakmampuan memproses
informasi baru ketika berinteraksi sosial, preokupasi dan obsesi pada hal-hal
yang sudah diketahui atau kuasai, serta gerakan-gerakan repetitif. Proses lain
yang mungkin terlibat adalah perkembangan abnormal dari lobus frontalis,
area-area limbik, dan putamen. Perkembangan abnormal ini menyebabkan
ketidakseimbangan antara aktivitas inhibisi dan eksitasi neuronal. Selain itu,
gangguan dalam proses mielinasi dan produksi white matter akibat disfungsi
oligodendrosit juga turut terlibat.
Penelitian pada binatang model juga menunjukkan keterlibatan medial
prefrontal cortex (mPFC), hipokampus, korteks piriformis, basolateral
amigdala, dan cerebellum dalam patofisiologi ASD. Gangguan interaksi
sosial pada ASD adalah akibat hipomielinasi pada area-area ini.
E. PATHWAY
F. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis autisme yaitu termasuk gangguan dalam komunikasi dan
interaksi sosial, gangguan sensorik, perilaku berulang dan berbagai tingkat
kecacatan intelektual lainnya. Keseluruhan gejala inti ini, secara bersamaan
muncul gangguan kejiwaan atau neurologis lain yang sering terjadi pada orang
dengan autism yaitu hiperaktif dan gangguan perhatian seperti gangguan attention
deficit/hyperactivity (ADHD), kecemasan, depresi dan epilepsy (Lord et al.,
2020).
G. TERAPI
Terdapat berbagai jenis terapi yang dapat digunakan pada anak autisme dan
sudah dikembangkan untuk mendidik anak dengan bantuan khusus, termasuk
salah satunya adalah autis. Berikut terapi-terapi pada anak autis, yaitu:
a. Terapi Perilaku
Berbagai jenis terapi perilaku telah dikembangkan untuk mendidik anak
dengan bantuan khusus, termasuk salah satunya autis dan pola terapi perilaku
lebih menekankan usaha reduksi perilaku aneh dan tak lazim, yakni
menggantikan perilaku adaptif yang dapat diterima. Ada dua jenis terapi
perilaku yaitu terapi wicara dan terapi okupasi. Terapi wicara sebagai metode
untuk meningkatkan bicara pada anak autistik. Penatalaksanaan keperawatan
memakai metode analisis ABA (Applied Behavior Analysis) yang dianggap
berstruktur untuk menangani anak autisik (Pieter, 2011). Jenisjenis terapi
wicara lain yang juga sering dipakai pada penanganan anak autis adalah
TEAHC (Treatment and Education of Autitstic Handicapped children), DDT
(Discrete Trial Training), option therapy, floor time and daily therapy.
Kemudian ada terapi okupasi merupakan terapi yang tepat pada penderita
autistik yang mengalami perkembangan motorik yang kurang baik seperti
gerak-gerik kasar dan halusnya yang kurang luwes bila dibandingkan dengan
anak-anak seusianya dan terapi okupasi adalah terapi yang tepat (Pieter, 2011).
Terapi ini dilakukan untuk memperbaiki koordinasi dan keterampilan otot-otot
wicara pada anak autis dengan kata lain juga untuk melatih motorik halus anak
dan latihan okupasi ini dapat berupa memegang pensil dengan cara yang benar,
memegang sendok dan menyuap makanan ke mulut, memasukkan benda pada
tempatnya seperti memasukkan pasir/beras ke dalam botol, memasang kancing
dan lain sebagainya (Ismet, 2019).
b. Terapi Biomedik
Tujuan utama dari terapi biomedik yaitu mengurangi rasa ansietas,
agitasi psikomotorik berat dan kepekaan yang ekstrem pada stimulasi
lingkungan. Dalam penggunaannya juga perlu banyak pertimbangan baik dari
sisi medis maupun hukum mengingat daya tahun anak autistik sangat terbatas
dan jenis-jenis obat yang dapat digunakan dalam terapi autis (Pieter, 2011)
antara lain:
a) Antipsikotik, adalah obat yang digunakan untuk membantu dan mereduksi
perilaku agitasi, agresif dan impulsif anak autistik yang penggunaanya
dianggap mampu membantu dalam meningkatkan kemampuan komunikasi
anak autis.
b) Stimulan sistem saraf, seperti dekstroamfetamin yang dipakai untuk
penenang paradosal pada anak autis
c) Antidepresan, seperti litium digunakan sebagai efek penenang dalam
menurunkan perilaku impulsive.
C. Terapi Bermain
Terapi ini dimaksudkan agar anak autistik dapat berinteraksi sosial
dengan temannya dan mengungkapkan emosinya. Pelaksanaan terapi bermain,
sebaiknya juga dapat berfokus pada penilaian anak pada lingkungan sehingga
anak dapat mengembangkan pola interaksi sosial yang terstruktur dan tetap
memberikan penguatan positif pada perilaku yang sesuai.
D. Terapi Lingkungan Sosial
Tujuan terapi ini untuk mengendalikan dan meminimalkan perubahan
yang terjadi di lingkungan sekitar anak, menurunkan atau mengubah perilaku
yang mengganggu dengan mempertahankan tugas yang sederhana dan tidak
membutuhkan kemampuan berpikir abstrak atau bahasa sosial yang kompleks.
Terapi ini lebih menekankan pada pemberian stimulasi pengalaman yang biasa
terjadi dalam kehidupan sehari-hari secara berulang-ulang dan
mempertahankan jadwal perawatan dan aktivitas bermainnya secara konsisten.
DAFTAR PUSTAKA