1. MERISA APRILIANTI
2. WILDAN SETIAWAN
3. NUR DAMAYANTI YUNIARTI
4. AJENG YAYU NURJANAH
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Masalah Utama
Perubahan persepsi sensori : Halusinasi
B. Proses Terjadinya Masalah
1. Pengertian
Menurut Cook dan Fontaine (1987) perubahan persepsi sensori : halusinasi adalah salah satu
gejala gangguan jiwa dimana klien mengalami perubahan persepsi sensori, seperti merasakan
sensasi palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan, atau penghiduan. Klien
merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada. Selain itu, perubahan persepsi sensori:
halusinasi bisa juga diartikan sebagai persepsi sensori tentang suatu objek, gambaran, dan
pikiran sering terjadi tanpa adanya rangsangan dari luar meliputi semua sistem penginderaan
(pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan, atau pengecapan).
Individu menginterpretasikan stresor yang tidak ada stimulus dari lingkungan (Depkes RI,
2000).
Suatu keadaan dimana seseorang mengalami perubahan pada pola stimulus yang mendekat
(yang diprakarsai secara internal dan eksternal) disertai dengan suatu pengurangan berlebih-
lebihan atau kelainan berespons terhadap stimulus (Toesend, 1998).
Kesalahan sensori persepsi dari satu atau lebih indra pendengaran, penglihatan, taktil, atau
penciuman yang tidak ada stimulus eksternal (Atai Otong, 1995)
Gangguan penyerapan/persepsi pancaindra tanpa adanya rangsangan dari luar: Gangguan ini
dapat terjadi pada sistem pengindraan pada saat kesadaran individu tersebut penuh dan
baik. Maksudnya, rangsangan tersebut terjadi pada saat klien dapat menerima rangsangan
dari luar dan dari individu sendiri. Dengan kata lain klien berespons terhadap rangsangan
yang tidak nyata, yang hanya dirasakan oleh klien dan tidak dapat dibuktikan (Wilson, 1983).
Teori Biokimia
Terjadi sebagai respons metabolisme terhadap stres yang mengakibatan terlepasnya zat
halusinogenik neurotik
(buffofenoh dan dimethytransferase).
Teori Psikoanalisis
Merupakan respon pertahanan ego untuk melawan rangsangan dari luar yang mengancam
dan ditekan untuk muncul dalam alam sadar.
Berikut ini akan dijelaskan mengenai ciri-ciri yang objektif dan subjektif pada klien dengan
halusinasi.
Tabel 4.1. Jenis halusinasi serta ciri objektif dan subjektif klien yang mengalami halusinasi
4. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi adalah faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang dapat
dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stres. Diperoleh baik dari klien maupun keluarganya.
Faktor predisposisi dapat meliputi faktor perkembangan, sosiokultural, biokimia, psikologis, dan
genetik.
Faktor perkembangan
Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan interpersonal terganggu maka
individu akan mengalami stres dan kecemasan.
Faktos sosiokultural
Berbagai faktor di masyarakat dapat menyebabkan seseorang merasa disingkirkan sehingga
orang tersebut merasa kesepian di lingkungannya yang membesarkannya.
Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Jika seseorang mengalami stres
yang berlebihan maka di dalam tubuhnya akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat
halusinogenik neurokimia seperti buffofenon dan dimethytranferase (DMD).
Faktor Fsikologis
Hubungan interpersonal yang tidak harmonis Serta adanya peran ganda bertentangan yang
sering diterima oleh seseorang akan mengakibatkan stres dan kecemasan yang tinggi dan
berakhir pada gangguan orientasi realitas.
Faktor Genetik
Gen yang berpengaruh dalam skizofrenia belum diketahui, tetapi Hasil studi menunjukkan
bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.
5. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi yaitu stimulus yang dipersepsikan oleh individu sebagai tantangan ancaman
atau tuntutan yang memerlukan energi ekstra untuk menghadapinya. Adanya rangsangan dari
lingkungan seperti partisipasi klien dalam kelompok terlalu lama tidak diajak berkomunikasi, objek
yang ada dilingkungan, dan juga suasana sepi atau terisolasi sering menjadi pencetus terjadinya
halusinasi. Hal tersebut dapat meningkatkan stres dan kecemasan yang merangsang tubuh
mengeluarkan zat halusinogenik.
6. Perilaku
Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa rasa curiga, takut, tidak aman, gelisah dan
bingung, berperilaku yang merusak diri, kurang perhatian, tidak mampu mengambil keputusan,
serta tidak dapat membedakan keadaan nyata dan tidak nyata. Rawlins dan Heacock (1993)
mencoba memecahkan masalah kalau sinasi berlandaskan atas akikah keberadaan seseorang
individu sebagai makhluk yang dibangun atas dasar unsur-unsur bio-PSiko- Sosio- spiritual
sehingga halusinasi dapat dilihat dari 5 dimensi yaitu sebagai berikut:
Dimensi Fisik
Manusia dibangun oleh sistem indra untuk menanggapi rangsangan eksternal yang diberikan
oleh lingkungannya. Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti
Kelelahan yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi
alkohol, dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.
Dimensi Emosional
Perasaan cemas yang berlebihan karena problem atau masalah yang tidak dapat diatasi
merupakan penyebab halusinasi itu terjadi ketika isi dari halusinasi dapat berupa perintah
memaksa dan menakutkan titik client tidak sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga
berbuat sesuatu terhadap ketakutannya.
Dimensi Intelektual
Dimensi intelektual menerangkan bahwa individu yang mengalami halusinasi akan
memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha
dari ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, tetapi pada saat tertentu
menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tidak jarang
akan mengontrol semua perilaku klien.
Dimensi Sosial
Dimensi sosial pada individu yang mengalami halusinasi menunjukkan kecenderungan untuk
menyendiri titik individu asik dengan halusinasinya, seolah-olah Ia merupakan tempat untuk
memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak didapatkan
dalam dunia nyata titik halusinasi dijadikan sistem kontrol oleh individu tersebut sehingga
jika perintah halusinasi berupa ancaman, maka hal tersebut dapat mengancam dirinya atau
orang lain. Oleh karena itu, Aspek penting dalam melaksanakan intervensi keperawatan pada
klien yang mengalami halusinasi adalah dengan mengupayakan suatu proses interaksi yang
menimbulkan pengalaman interpersonal yang memuaskan, serta mengusahakan agar klien
tidak menyendiri titik jika ke lain selalu berinteraksi dengan lingkungannya diharapkan
halusinasi tidak terjadi.
Dimensi Spiritual
Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk sosial sehingga interaksi dengan manusia lainnya
merupakan kebutuhan yang mendasar titik klien yang mengalami halusinasi cenderung
menyendiri hingga proses diatas tidak terjadi titik individu tidak sadar dengan keberadaannya
dan halusinasi menjadi sistem kontrol dalam individu tersebut titik saat halusinasi menguasai
dirinya, individu kehilangan kontrol terhadap kehidupan nyata.
7. Sumber koping
Sumber koping merupakan suatu evaluasi terhadap pilihan koping dan strategi seseorang.
Individu dapat mengatasi stres dan anxietas dengan menggunakan sumber koping yang ada di
lingkungannya. Sumber koping tersebut dijadikan sebagai modal untuk menyelesaikan masalah
titik dukungan sosial dan keyakinan budaya dapat membantu seseorang mengintegrasikan
pengalaman yang menimbulkan stres dan mengadopsikan strategi koping yang efektif.
8. Mekanisme Koping
Mekanisme koping merupakan tiap upaya yang diarahkan pada pengendalian stres, termasuk
upaya penyelesaian masalah secara langsung dan mekanisme pertahanan lain yang digunakan
untuk melindungi diri.
9. Tahapan Halusinasi
Tahap I (Non-psikotik)
Pada tahap ini, halusinasi mampu memberikan rasa nyaman pada klien, tingkat orientasi
sedang titik secara umum pada tahap ini halusinasi merupakan hal yang menyenangkan bagi
klien.
Karakteristik:
a. Mengalami kecemasan, kesepian, rasa bersalah, dan ketakutan.
b. Mencoba berfokus pada pikiran yang dapat menghilangkan kecemasan.
c. Pikiran dan pengalaman sensorik masih ada dalam kontrol kesadaran.
Perilaku yang muncul:
a. Tersenyum atau tertawa sendiri.
b. Menggerakkan bibir tanpa suara.
c. Pergerakan mata yang cepat.
d. Respon verbal lambat, diam, dan berkonsentrasi.
Tahap II (Non-psikotik)
Pada tahap ini biasanya klien bersikap menyalahkan dan mengalami tingkat kecemasan
berat. secara umum halusinasi yang ada dapat menyebabkan antipati.
Karakteristik:
a. Pengalaman sensori menakutkan atau merasa dilecehkan oleh pengalaman tersebut.
b. Mulai merasa kehilangan kontrol.
c. Menarik diri dari orang lain.
Perilaku yang muncul:
a. Terjadi peningkatan denyut jantung, pernapasan, dan tekanan darah.
b. Perhatian terhadap lingkungan menurun.
c. Konsentrasi terhadap pengalaman sensori pun menurun.
d. Kehilangan kemampuan dalam membedakan antara halusinasi dan realita.
Tahap III (Psikotik)
Lion biasanya tidak dapat mengontrol dirinya sendiri, tingkat kecemasan berat, dan halusinasi
tidak dapat ditolak lagi.
Karakteristik:
a. Klien menyerah dan menerima pengalaman sensorinya.
b. Isi halusinasi menjadi atraktif.
c. Klien menjadi kesepian bila pengalaman sensori berakhir.
Perilaku yang muncul:
a. Klien menuruti perintah halusinasi.
b. Sulit berhubungan dengan orang lain.
c. Perhatian terhadap lingkungan sedikit atau sesaat.
d. Tidak mampu mengikuti perintah yang nyata.
e. Klien tampak tremor dan berkeringat.
Tahap IV ( Psikotik)
Klien sudah sangat dikuasai oleh halusinasi dan biasanya klien terlihat panik.
Perilaku yang muncul:
a. Risiko tinggi mencederai.
b. Agitasi/ kataton.
c. Tidak mampu merespon rangsangan yang ada.
Timbulnya perubahan persepsi sensori halusinasi biasanya diawali dengan seseorang yang
menarik diri dan lingkungannya karena orang tersebut menilai dirinya rendah titik Bila
klien mengalami halusinasi dengar dan lihat atau salah satunya yang menyuruh pada
kejelekan, maka akan beresiko terhadap perilaku kekerasan.
C. Pohon Masalah
Effect Risiko tinggi perilaku Kekerasan
Core Problem
Objektif:
F. Diagnosis Keperawatan
Perubahan persepsi sensori: halusinasi
A. Proses Keperawatan
1. Kondisi
Klien terlihat bicara atau tertawa sendiri, marah-marah tanpa sebab, mendekatkan telinga ke arah
tertentu, dan menutup telinga. Klien mengatakan mendengar suara-suara atau kegaduhan,
mendengar suara yang mengajaknya bercakap-cakap, dan mendengar suara menyuruh melakukan
sesuatu yang berbahaya.
2. Diagnosis Keperawatan
Perubahan Persepsi Sensori: Halusinasi
3. TUK/Strategi Pelaksanaan
Strategi pelaksanaan 1 (SP 1) dengan klien.
Mengidentifikasi jenis halusinasi
Mengidentifikasi isi halusinasi
Mengidentifikasi waktu halusinasi
Mengidentifikasi frekuensi halusinasi
Mengidentifikasi situasi yang menimbulkan halusinasi
Mengidentifikasi respons klien terhadap halusinasi
Mengajarkan klien menghardik halusinasi
Menganjurkan klien memasukkan cara menghardik halusinasi dalam jadwal kegiatan harian.
4. Rencana Tindakan Keperawatan
Bina hubungan saling percaya dengan prinsip komunikasi terapeutik.
a. Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun nonverbal
b. Perkenalkan diri dengan sopan
c. Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien.
d. Jelaskan tujuan pertemuan
e. Jujur dan menepati janji
f. Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya.
g. Beri perhatian kepada klien dan memperhatikan kebutuhan dasar klien.
Bantu klien mengenal halusinasinya yang meliputi isi, waktu terjadi halusinasi, frekuensi,
situasi pencetus, dan perasaan saat terjadi halusinasi hal-hal berikut.
Latih klien untuk mengontrol halusinasi dengan cara menghardik. Tahapan Tindakan yang
dapat dilakukan meliputi hal-hal sebagai berikut.
a. Jelaskan cara menghardik halusinasi.
b. Peragakan cara menghardik halusinasi.
c. Minta klien memperagakan ulang.
d. Pantau penerapan cara ini dan beri penguatan pada perilaku klien yang sesuai.
e. Masukkan dalam jadwal kegiatan klien.
B. Strategi Komunikasi dan Pelaksanaan
1. Orientasi
Salam terapeutik
“selamat pagi, assalamualaikum … boleh saya kenalan dengan Ibu? Nama saya … boleh
panggil saya … saya mahasiswa Keperawatan … saya sedang praktik di sini dari pukul 13.00
WIB siang. Kalau boleh saya tahu nama Ibu siapa dan senang dipanggil dengan sebutan
apa?”
Evaluasi/validasi
“Bagaimana perasaan Ibu hari ini? Bagaimana tidurnya tadi malam? Ada keluhan tidak?”
Kontrak
a. Topik : “Apakah Ibu tidak keberatan untuk ngobrol dengan saya? Menurut Ibu sebaiknya
kita ngobrol apa ya? Bagaimana kalau kita ngobrol tentang suara dan sesuatu yang
selama ini Ibu dengar dan lihat tetapi tidak tampak wujudnya?”
b. Waktu : “berapa lama kira-kira kita bisa ngobrol? Ibu maunya berapa menit?
Bagaimana kalau 10 menit? Bisa!”
c. Tempat : “Di mana kita duduk? Di Teras? Di kursi Panjang itu, atau mau dimana?”
2. Kerja
“Apakah Ibu mendengar suara tanpa ada wujudnya?”
“Apa yang dikatakan suara itu?”
“Apakah Ibu melihat sesuatu/orang/bayangan/makhluk?”
“Seperti apa yang kelihatan?”
“Apakah terus-menerus terlihat dan terdengar, atau hanya sewaktu-waktu saja?”
“Kapan paling sering Ibu melihat sesuatu atau mendengar suara tersebut?”
“Berapa kali sehari Ibu mengalaminya?”
“Pada keadaan apa, apakah pada waktu sendiri?”
“Apa yang Ibu rasakan pada saat mendengar suara itu?”
“Apa yang Ibu rasakan pada saat melihat sesuatu?”
“Apa yang Ibu lakukan saat melihat sesuatu?”
“Apa yang Ibu lakukan saat mendengar suara tersebut?”
“Apakah dengan cara itu suara dan bayangan tersebut hilang?”
“Bagaimana kalau kita belajar cara untuk mencegah suara-suara atau bayangan agar tidak
muncul?”
“Ibu ada empat cara untuk mencegah suara-suara itu muncul.”
“Pertama, dengan menghardik suara tersebut.”
“Kedua, dengan cara bercakap-cakap dengan orang lain.”
“Ketiga, melakukan kegiatan yang sudah terjadwal.”
“Keempat, minum obat dengan teratur.”
“Bagaimana kalau kita belajar satu cara dulu, yaitu dengan menghardik.”
“Caranya seperti ini:
Saat suara-suara itu muncul, langsung Ibu bilang, pergi saya tidak mau dengar… saya tidak
mau dengar. Kamu suara palsu. Begitu diulang-ulang sampai suara itu tidak terdengar lagi.
Coba ibu peragakan! Nah begitu … Bagus! Coba lagi! Ya bagus Ibu sudah bisa.”
Saat melihat bayangan itu muncul, langsung Ibu bilang, pergi saya tidak mau lihat… saya
tidak mau lihat. Kamu palsu. Begitu diulang-ulang sampai bayangan itu tidak terlihat lagi.
Coba Ibu peragakan! Nah begitu… Bagus! Coba lagi! Ya bagus Ibu sudah bisa.”
3. Terminasi
Evaluasi subjektif
“Bagaimana perasaan Ibu dengan obrolan kita tadi? Ibu merasa senang tidak dengan Latihan
tadi?”
Evaluasi Objektif
“Setelah kita mengobrol tadi, Panjang lebar, sekarang coba Ibu simpulkan pembicaraan kita
tadi?”
“Coba sebutkan cara untuk mencegah suara dan atau bayangan itu agar tidak muncul lagi.”
Rencana tindak lanjut
“kalau bayangan dan suara-suara itu muncul lagi, silahkan Ibu cob acara tersebut!
Bagaimana kalau kita buat jadwal latihannya. Mau jam berapa saja latihannya?”
(Masukkan kegiatan Latihan menghardik halusinasi dalm jadwal kegiatan harian klien).
Kontrak yang akan datang
a. Topik : “Ibu, bagaimana kalau besok kita ngobrol lagi tentang caranya berbicara dengan
orang lain saat bayangan dan suara-suara itu muncul?”
b. Waktu : “kira-kira waktunya kapan ya? Bagaimana kalau besok jam 09.30 WIB, bisa?”
c. Tempat : “Kira-kira tempat yang enak buat kita ngobrol besok dimana ya, apa masih di
sini atau cari tempat yang nyaman? Sampai jumpa besok. Wassalamualaikum,…”
Tabel 4.2. Pengkajian pada klien dengan Perubahan Persepsi Sensori: Halusinasi dalam Asuhan
Keperawatan
1. Persepsi: Halusinasi
Berikan tanda (√) pada kolom yang sesuai dengan data pada klien!
[ ] pendengaran
[ ] penglihatan
[ ] perabaan
[ ] pengecapan
[ ] penghidu
Jelaskan:
Isi halusinasi :
Waktu terjadinya :
Frekuensi halusinasi :
Respons klien :
Masalah keperawatan :
“Selamat Pagi Bapak/Ibu! Saya perawat merawat Bapak/Ibu. Nama saya ... , senang dipanggil ...
seminggu sekali saya akan kesini untuk merawat Bapak/Ibu. Nama Bapak/Ibu siapa? Senang
dipanggil apa?”
“Bagaimana perasaan Bapak/Ibu hari ini? Apa keluhan Bapak/Ibu saat ini?”
“Baiklah, bagaimana kalau kita bercakap-cakap tentang suara-suara yang selama ini
mengganggu Bapak/Ibu? Mau duduk dimana? Bagaimana kalau di ruang tamu? Mari
“Apakah Bapak/Ibu mendengar atau melihat sesuatu? Apakah pengalaman ini terus-menerus
terjadi atau sewaktu-waktu saja? Kapan Bapak/Ibu mengalami hal itu? Berapa kali sehari
Bapak/Ibu mengalami hal itu? Pada keadaan apa terdengar suara itu? Apakah pada waktu
sendiri?”
Peragakan percakapan berikut ini untuk mengkaji respon klien terhadap halusinasi!
“Apa yang Bapak/Ibu rasakan jika suara-suara itu muncul? Apa yang Bapak/Ibu lakukan jika
mengalami halusinasi?”
“Bagaimana kalau kita belajar beberapa cara untuk mencegah munculnya suara-suara itu?”
Latihan 4: Melatih klien menghardik halusinasi
Orientasi:
“Selamat pagi Bapak/Ibu! Bagaimana perasaan Bapak/Ibu hari ini? Apakah Bapak/Ibu masih
mendengar suara-suara seperti yang kita diskusikan minggu lalu? Sesuai janji saya sebelumnya,
hari ini kita akan belajar salah satu cara untuk mengendalikan suara-suara yang muncul, yaitu
dengan menghardik. Kita akan berlatih selama setengah jam di sini. Apakah Bapak/Ibu setuju?”
Kerja:
“Begini Bapak/Ibu, untuk mengendalikan diri ketika suara itu muncul bisa dilakukan dengan cara
menghardik suara-suara tersebut. Caranya sebagai berikut, saat suara-suara itu muncul,
langsung Bapak/Ibu bilang, pergi saya tidak mau dengar, ... saya tidak mau dengar. Kamu suara
palsu. Begitu diulang-ulang sampai suara itu tak terdengar lagi. Coba Bapak/Ibu peragakan ! Nah
begitu, ... bagus! Coba lagi! Ya bagus Bapak/Ibu sudah bisa.”
Terminasi:
“Bagaimana Bapak/Ibu setelah memperagakan latihan tadi? Kalau muncul suara-suara itu
silahkan coba cara yang tadi yang sudah diperagakan! Bagaimana kalau kita buat jadwal
latihannya. Mau jam berapa saja latihannya? (Masukkan dalam jadwal kegiatan harian klien).
Kita ketemu lagi minggu depan, saya akan kemali untuk latihan cara yang lain. Selamat pagi
Bapak/Ibu!”
Orientasi:
“Selamat pagi Bapak/Ibu. Bagaimana perasaan Bapak/Ibu hari ini? Apakah suara-suaranya
masih muncul? Apakah Bapak/Ibu sudah menerapkan cara yang telah kita latih? Bagus! Sesuai
janji kemarin, hari ini kita akan latihan cara kedua untuk mengontrol halusinasi, yaitu bercakap-
cakap dengan orang lain. Kita akan latihan selama 30 menit di sini. Apakah Bapak/Ibu siap?”
Kerja:
“Salah satu cara mengontro halusinasi yang lain adalah dengan bercakap-cakap dengan orang
lain. Jadi kalau Bapak/Ibu mulai mendengar suara-suara, langsung aja cari teman untuk diajak
ngobrol. Minta teman untuk ngobrol dengan Ibu. Contohnya begini: ... tolong, saya mulai dengar
suara-suara. Ayo ngobrol dengan saya! Atau kalau ada orang di rumah, misalnya anak Bapak/Ibu
katakan: Nak, ayo ngobrol dengan Bapak/Ibu. Bapak/Ibu sedang dengar suara-suara. Begitu
Bapak/Ibu. Coba Bapak/Ibu lakukan seperti saya tadi lakukan. Ya, begitu. Bagus!”
Terminasi:
“Bagaimana perasaan Bapak/Ibu setelah latihan ini? Selain menghardik, cobalah cara yang
kedua ini jika Bapak/Ibu mengalami halusinasi lagi. Bagaimana kalau kita masukkan dalam
jadwal kegiatan Bapak/Ibu. Minggu depan saya akan ke sini lagi untuk latihan cara yang ketiga
yaitu menjadwal kegiatan kita. Selamat pagi Bapak/Ibu!”
Orientasi:
“Selamat pagi Bapak/Ibu. Bagaimana perasaan Bapak/Ibu hari ini? Apakah suara-suaranya
masih muncul? Apakah sudah dipakai dua cara yang telah kita latih kemarin? Bagimana
hasilnya? Bagus! Sesuai janji kita, hari ini kita akan belajar cara yang ketiga untuk mencegah
halusinasi, yaitu membuat jadwal kegiatan Bpak/Ibu dari bangun pagi sampai tidur malam. Ini
blanko yang bisa Bapak/Ibu pakai. Kita akan mengajarkannya selama 1 jam. Di sini ya
Bapak/Ibu.”
Kerja:
“Coba Bapak/Ibu tuliskan kegiatan yang dilakukan dari bangun pagi sampai tidur malam.
Caranya Bapa/Ibu tulis dulu jam di kolom pertama kemudian kegiatan Bapak/Ibu di kolom kedua.
Contohnya begini: Jam 05.00 Ibu bangun, kemudian shalat shubuh. Ya begitu, coba Bapak/Ibu
teruskan. Ya bagus teruskan sampai tidur malam. Ya bagus, Bapak/Ibu sudah selesai menulis
kegiatan Ibu dari bangun sampai tidur lagi. Sekarang jam 10.00 jadwalnya menyapu halaman,
mari kita latihan!” (Beri contoh dan latih klien mengerjakannya dengan benar, berikan pujian
atas keberhasilan klien).
Terminasi:
“Bagaimana perasaan Bapak/Ibu setelah membuat jadwal ini? Kita mulai melakukan kegiatan
sesuai jadwal. Bapak/Ibu harus membuat jadwal 6 hari berikutnya. Jadi sudah berapa cara yang
bisa dilakukan untuk mencegah munculnya halusinasi? Bagus! Minggu depan saya ke sini lagi,
Bapak/Ibu sudah punya jadwal lengkap untuk satu minggu dan kita akan diskusi tentang
bagaimana cara minum obat yang teratur agar dapat mengontrol halusinasi. Selamat pagi
Bapak/Ibu.”
Latihan 7: Pendidikan kesehatan mengenai penggunaan obat
Orientasi:
“Selamat pagi Bapak/Ibu. Bagaimana perasaan Bapak/Ibu hari ini? Apakah suara-suaranya
masih muncul? Apakah sudah dipakai tiga cara yang sudah kita latih? Apakah jadwal
kegiatannya sudah dilaksanakan? Apakah pagi ini sudah minum obat? Baik. Hari ini kita akan
mendiskusikan tentang obat-obatan yang Bapak/Ibu minum. Kita akan diskusi selama 30 menit.
Di sini saja ya Bapak/Ibu?”
Kerja:
“Apakah Bapak/Ibu merasakan adanya perbedaan setelah minum obat secara teratur? Apakah
suara-suaranya berkurang atau hilang? Minum obat sangat penting supaya suara-suara yang
Bapak/Ibu dengar dan mengganggu selama ini tidak muncul lagi. Berapa macam obat yang
Bapak/Ibu minum? (Perawat menyiapkan obat klien). Ada tiga macam obat yang harus
Bapak/Ibu minum. Pertama yang berwarna oranye (CPZ) gunanya untuk menghilangkan suara-
suara, yang kedua warnanya putih (THP) gunanya untuk melemaskan badan agar tidak kaku dan
lebih rileks, dan yang terakhir berwarna merah jambu (HP) gunanya untuk menenangkan pikiran.
Ketiganya diminum 3 kali sehari seetelah makan, jam 07.30, 13.00, dan 19.30. Kalau suara-
suaranya sudah hilang, Bapak/Ibu harus tetap meminum obatnya. Nanti akan saya konsultasikan
dengan dokter, sebab kalau putus obat, Bapak/Ibu akan kambuh dan sulit untuk mengembalikan
ke keadaan semula. Kalau obat habis Bapak/Ibu bisa kontrol ke puskesmas untuk mendapatkan
obat lagi. Oleh karena itu, 2 hari sebelum obat habis diharapkan Bapak/Ibu sudah kontrol.
Bapak/Ibu juga harus teliti saat menggunakan obat-obatan ini. Pastikan bahwa obat yang benar-
benar milik Bapak/Ibu. Jangan keliru dengan obat milik orang lain. Baca kemasannya. Pastikan
obat diminum pada waktunya, dan dengan cara yang benar. Bapak/Ibu juga harus perhatikan
berapa jumlah obat sekali minum, dan harus cukup minum 10 gelas perhari.”
Terminasi:
“Bagaimana perasaan Bapak/Ibu setelah kita diskusi tentang program pengobatan untuk
Bapak/Ibu? Coba sebutkan lagi obat apa saja yang harus Bapak/Ibu minum? Berapa kali
diminum? Bapak/Ibu harus teratur meminum obat ini! Jika ada gejala-gejala yang tidak biasa
misalnya mata melihat ke atas, kakau-kaku otot, tangan tremor, atau ada bagian-bagian tubuh
yang bergerak-gerak sendiri, Bapak/Ibu jangan panik. Itu semua karena pengaruh obat. Hubungi
saya atau puskesmas. Nanti kami akan datang. Minggu depan kita akan bertemu lagi. Kita akan
mengevaluasi apakah suara-suara yang Bapak/Ibu dengan masih sering muncul atau sudah
hilang. Selamat siang Bapak/Ibu!”
Latihan 8: Pendidikan kesehatan keluarga klien halusinasi
Pertemuan ke-1: Menjelaskan masalah klien
Orientasi:
“Selamat pagi Bapak/Ibu! Saya ... perawat yang merawat anak Bapak/Ibu.”
“Bagaimana perasaan Bapak/Ibu hari ini? Apa pendapat Bapak/Ibu tentang anak Bapak/Ibu?
Hari ini kita kan berdiskusi tentang masalah yang anak Bapak/Ibu alami dan bantuan yang
Bapak/Ibu bisa berikan.”
Kerja:
“Ya, gejala yang dialami oleh anak Bapak/Ibu itu dinamakan halusinasi, yaitu mendengar atau
melihat sesuatu yang sebetulnya tidak ada. Tanda-tandanya bicara dan tertawa sendiri. Atau
marah-marah tanpa sebab.”
“Jadi kalau anak Bapak/Ibu mengatakan mendengar suara-suara, sebenarnya suara itu tidak
ada, atau kalau anak Bapak/Ibu mengatakan melihat bayangan-bayangan, sebenarnya
bayangan itu tidak ada.”
“Kalau dalam kondisi seperti itu, Bapak/Ibu jangan menyetujui atau menyanggah apa yang
diceritakan oleh anak Bapak/Ibu!”
“Dengarkan saja! Katakan bahwa Bapak/Ibu tidak mendengar suara atau melihat bayangan itu!”
Terminasi:
”Coba Bapak/Ibu ulangi lagi masalah apa yang dihadapi oleh anak Bapak/Ibu!”
“Minggu depan saya akan ke sini lagi untuk berdiskusi tentang cara merawat anak Bapak/Ibu
yang mengalami halusinasi.”
Orientasi:
“Sesuai janji kita minggu lalu, hari ini kita akan berdiskusi mengenai cara menangani anak
Bapak/Ibu yang mengalami halusinasi. Bapak/Ibu ingin berapa lama kita berdiskusi? Di mana
enaknya kita berdiskusi? Bagaimana kalau di ruang tamu?”
Kerja:
“Kalau anak Bapak/Ibu mengalami halusinasi apa yang dilakukan? Bagaimana pengaruhnya
terhadap perilaku anak Bapak/Ibu? Apakah halusinasinya berkurang?”
“Ada beberapa cara untuk membantu anak Bapak/Ibu agar bisa mengatasi halusinasinya. Cara-
caranya itu meliputi: Jangan membantah pernyataan anak Bapak/Ibu atau mendukungnya.
Katakan saja Bapak/Ibu percaya bahwa anak tersebut memang mendengar suara atau melihat
bayangan tetapi Bapak/Ibu sendiri tidak mendengar atau melihatnya. Tolong Bapak/Ibu
mengawasi kegiatan anaknya! Saya sudah melatih anak Bapak/Ibu untuk menerapkan tiga cara
untuk mengatasi halusinasi yaitu menghardik, bercakap-cakap dengan orang lain, dan
melakukan kegiatan yang terjadwal. Tolong Bapak/Ibu memantau pelaksanaan ketiga cara
tersebut. Berikan pujian dan dorongan untuk melaksanakannya! Jangan biarkan anak Bapak/Ibu
melamun, karena kalau melamun halusinasi akan muncul lagi. Bantu anak Bapak/Ibu minum
obat secara teratur. Jangan menghentikan obat tanpa konsultasi. Bila tanda-tanda halusinasi
mulai muncul, ajaklah anak Bapak/Ibu bercakap-cakap!”
Terminasi:
“Coba Bapak/Ibu sebutkan lagi empat cara yang dapat membantu anak bapak/Ibu untuk
mengatasi halusinasinya!”
“Minggu depan saya akan ke sini untuk melatih Bapak/Ibu berkomunikasi dengan anak
Bapak/Ibu. Saya akan datang sekitar jam 10.00 pagi.”