Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

THYPOID PADA ANAK

OLEH :

DINA ERPIANA
MERTY WAHIDA KURNIASIH
AWALIA SEPTI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) MATARAM


PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
PROGRAM B
2022/2023
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan Puji dan Syukur Kehadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan Rahmat dan Kasih SayangNya kepada Penulis sehingga penulisan

Makalah yang berjudul Asuhan Keperawatan Demam Thypoid Pada Anak, dapat

terselesaikan dengan sebaik-baiknya.

Mataram, 2 April 2023


BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Demam thypoid ialah penyakit infeksi akut yang mengenai system
retikuloendotelial, kelenjar limfe saluran cerna dan kandung empedu yang
disebabkan oleh bakteri salmonella typhosa dengan gejala demam yang lebih
dari satu minggu, disertai gangguan pada pencernaan dan gangguan
kesadaran, dan hanya didapatkan pada manusia. Penyakit ini penularannya
hampir selalu terjadi melalui makanan dan minuman yang telah
terkontaminasi. Sampai saat ini demam thypoid masih menjadi masalah
kesehatan, hal ini dikarenakan oleh kesehatan lingkungan yang kurang
memadai, penyediaan air minum yang tidak memenuhi syarat, tingkat social
ekonomi, dan tingkat pendidikan masyarakat. Tingkat pendidikan masyarakat
sangat mempengaruhi tingkat pengetahuan karena pengetahuan mempunyai
hubungan terhadap masalah kesehatan, jika pengetahuan kurang tentang
demam thypoid maka kemungkinan terjadinya demam thypoid juga akan
lebih besar. Resiko terjadinya demam thypoid disebabkan oleh tinggi
rendahnya pengetahuan, semakin tinggi pengetahuan tentang demam thypoid
maka semakin tinggi juga kemampuan untuk mencegah terjadinya demam
thypoid, dan sebaliknya (E. D. A, Maria., Supriyadi., K.J, 2019).
Anak merupakan individu yang berada dalam satu rentang perubahan
perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Masa anak merupakan
masa pertumbuhan dan perkembangan yang dimulai dari bayi (0-1 tahun),
usia bermain/oddler (1-2,5 tahun), pra sekolah (2,5-5 tahun), usia sekolah (5-
11 tahun) hingga remaja (11-18 tahun). Rentang ini berbeda antara anak satu
dengan lain mengingat latar belakang anak berbeda. (Hidayat, Alimul Aziz
A. 2009).
Pada anak terdapat rentang perubahan pertumbuhan, perkembangan
dan rentang sakit. Pertumbuhan berkaitan dengan masalah perubahan dalam
jumlah, besar, ukuran, atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu,
bersifat kuantitatif sehingga bisa di ukur dengan ukuran berat (gram,
kilogram), ukuran, panjang (cm, meter). Perkembangan adalah bertambahnya
kemampuan dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola
yang teratur. Dalam proses berkembangnya anak memiliki ciri fisik, kognitif,
konsep diri, pola koping dan perilaku sosial. (Cahyaningsih, Sulistyo Dwi,
2011).
Rentang sehat sakit merupakan batasan yang dapat diberikan bantuan
pelayanan keperawatan pada anak, adalah suatu kondisi anak berada dalam
status kesehatan yang meliputi sejahtera, sehat optimal, sehat, sakit, sakit
kronis dan meninggal. Rentang ini suatu alat ukur dalam menilai status
kesehatan yang bersifat dinamis dalam setiap waktu, selama dalam batas
rentang tersebut anak membutuhkan bantuan perawat baik secara langsung
maupun tidak langsung (Hidayat, Alimul Aziz A, 2009).
Penyakit menular tropis masih merupakan salah satu masalah
kesehatan utama di negara yang beriklim tropis. Salah satu penyakit menular
tropis tersebut adalah demam tifoid, yang disebabkan oleh Salmonella typhi.
Demam tifoid banyak ditemukan dalam kehidupan masyarakat, baik di
perkotaan maupun di pedesaan. Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan
sanitasi lingkungan yang kurang, hygiene pribadi serta perilaku masyarakat.
(Mutiarasari dan Handayani, 2017).
Komplikasi serius dapat terjadi hingga 10%, khususnya pada individu
yang menderita tifoid lebih dari 2 minggu dan tidak mendapat pengobatan
yang adekuat. Case Fatality Rate (CFR) diperkirakan 1–4% dengan rasio 10
kali lebih tinggi pada anak usia lebih tua (4%) dibandingkan anak usia ≤4
tahun (0,4%). Pada kasus yang tidak mendapatkan pengobatan, CFR dapat
meningkat hingga 20%.
Profil Kesehatan Indonesia tahun 2013 memperlihatkan bahwa
gambaran 10 penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit,
prevalensi kasus demam thypoid sebesar 5,13%.
Di Indonesia insidensi kasus demam thypoid masih termasuk tinggi di
Asia, yakni 81 kasus per 100.000 populasi per tahun. Prevalensi Demam
Tifoid Anak di Indonesia lebih sering pada anak kelompok usia Sekolah yaitu
dimana demam typoid pada kelompok usia Sekolah yaitu 62.0% (98 orang)
dan prasekolah sekitar 38.0%. (60 orang). Berdasarkan jenis kelamin
didapatkan laki-laki yaitu 57.6% sedangkan perempuan 42.4%. (Rachman
Yudhistira Nugraha, 2017). Sedangkan untuk angka insidensi terbanyak
Demam tifoid di Indonesia adalah usia 2-15 tahun (Purba, dkk, 2016).
Demam thypoid juga merupakan salah satu penyakit menular
penyebab kematian di Indonesia (6% dengan n = 1.080), khusus pada
kelompok usia 5– 14 tahun thypoid merupakan 13% penyebab kematian pada
kelompok tersebut (Retnosari & Tumbelaka, 2000; Depkes RI, 2008; Ahmad,
et al., 2016).
Penyakit thypoid termasuk penyakit yang mengakibatkan angka
kejadian luar biasa (KLB) yang terjadi di Kalimantan Timur, pada tahun
2012 menempati urutan ke 7 dari 10 penyakit yang tercatat. Meskipun hanya
menempati urutan ke 7, penyakit thypoid menemukan perawatan yang
komprehensif, mengingat penularan Salmonella thypi ada satu sumber
penularan Salmonella thypi yaitu pasien yang menderita demam thypoid
namun masih mengeksresikan Salmonella thypi dalam tinja selama lebih
dari satu tahun (Depkes, 2012).
Berdasarkan masalah yang diuraikan diatas, hipertermi merupakan
masalah yang harus segera di atasi. Demam yang tidak segera diatasi atau
berkepanjangan dapat menyebabkan kejang demam pada anak, kerusakan
neurologis, dehidrasi, gangguan tumbuh kembang pada anak bahkan dapat
menyebabkan kematian. Angka kesakitan yang tinggi pada kasus demam
thypoid dengan hipertermi menunjukkan bahwa terdapat keluhan yang sama
yaitu panas tinggi dengan rentang suhu (38 - 410C). Hipertermi dapat
membahayakan keadaan pasien jika tidak segera ditangani, sehingga dalam
hal ini penulis tertarik untuk melakukan pendokumentasian pada Asuhan
Keperawatan dengan Demam Thypoid pada anak.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang di atas, rumusan masalah dalam
studi kasus ini adalah bagaimana asuhan keperawatan demam thypoid pada
anak.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mendapatkan gambaran secara umum tentang asuhan keperawatan
pada anak dengan thypoid
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mendapatkan pemahaman dan pengalaman dalam melakukan
pengkajian pada anak dengan demam thypoid.
2. Mendapatkan pemahaman dan pengalaman dalam merumuskan
diagnosa keperawatan pada anak demam thypoid.
3. Mendapatkan pemahaman dan pengalaman dalam menyusun
perencanaan keperawatan pada anak demam thypoid.
4. Mendapatkan pemahaman dan pengalaman dalam melaksanakan
intervensi keperawatan pada anak demam thypoid.
5. Mendapatkan pemahaman dan pengalaman dalam melaksanakan
implementasi keperawatan pada anak demam thypoid.
6. Mendapatkan pemahaman dan pengalaman dalam mengevaluasi
hasil keperawatan pada anak demam thypoid.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Demam Thypoid


2.1.1 Definisi
Demam thypoid atau enteric fever adalah penyakit infeksi akut
yang biasanya mengenai saluran pencernaan dengan gejala demam
lebih dari satu minggu, gangguan pada pencernaan dan gangguan
keasadaran. Demam thypoid disebabkan oleh infeksi salmonella typhi.
(Lestari Titik, 2016).
Thypoid fever atau demam thypoid adalah penyakit infeksi akut
pada usus halus dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai
gangguan pada saluran pencernaan dan dengan gangguan kesadaran.
(Wijayaningsih Kartika Sari, 2013).

2.1.2 Etiologi
Penyebab utama demam thypoid ini adalah bakteri samonella
typhi. Bakteri salmonella typhi adalah berupa basil gram negatif,
bergerak dengan rambut getar, tidakberspora, dan mempunyai tiga
macam antigen yaitu antigen O (somatik yang terdiri atas zat kompleks
lipopolisakarida), antigen H (flegella), dan antigen VI. Dalam serum
penderita, terdapatzat (aglutinin) terhadap ketiga macam antigen
tersebut. Kuman tumbuh pada suasana aerob dan fakultatif anaerob
pada suhu 15-41 derajat Celsius (optimum 37 derajat celsius) dan pH
pertumbuhan 6-8. Faktor pencetus lainnya adalah lingkungan, sistem
imun yang rendah, feses, urin, makanan/minuman yang terkontaminasi,
formalitas dan lain sebagainya. (Lestari Titik, 2016).

2.1.3 Manifestasi Klinis


Demam thypoid pada anak biasanya lebih ringan daripada orang
dewasa. Masa tunas 10-20 hari, yang tersingkat 4 hari jika infeksi
terjadi melalui makanan, sedangkan jika melalui minuman yang terlama
30 hari. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodromal,
perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri, nyeri kepala, pusing dan tidak
bersemangat, kemudian menyusul gejala klinis yang biasanya di
temukan, yaitu: (Lestari Titik, 2016)
1. Demam Pada kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu
bersifat febris remitten dan suhu tidak tinggi sekali. Minggu
pertama, suhu tubuh berangsur-angsur naik setiap hari, menurun
pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari.
Dalam minggu ketiga suhu berangsur turun dan normal kembali.
2. Gangguan pada saluran pencernaan Pada mulut terdapat nafas
berbau tidak sedap, bibir kering dan pecah-pecah (ragaden). Lidah
tertutup selaput putih kotor, ujung dan tepinya kemerahan. Pada
abdomen dapat di temukan keadaan perut kembung. Hati dan limpa
membesar disertai nyeri dan peradangan.
3. Gangguan kesadaran Umumnya kesadaran pasien menurun, yaitu
apatis sampai samnolen. Jarang terjadi supor, koma atau gelisah
(kecuali penyakit berat dan terlambat mendapatkan pengobatan).
Gejala yang juga dapat ditemukan pada punggung dan anggota
gerak dapat ditemukan reseol, yaitu bintikbintik kemerahan karena
emboli hasil dalam kapiler kulit, yang ditemukan pada minggu
pertama demam, kadang-kadang ditemukan pula trakikardi dan
epistaksis
4. Relaps Relaps (kambuh) ialah berulangnya gejala penyakit demam
thypoid, akan tetap berlangsung ringan dan lebih singkat.
Terjadinya pada minggu kedua setelah suhu badan normal kembali,
terjadinya sukar diterangkan. Menurut teori relaps terjadi karena
terdapatnya basil dalam organ-organ yang tidak dapat dimusnahkan
baik oleh obat maupun oleh zat anti.

2.1.4 Patifisiologi
Proses perjalanan penyakit kuman masuk ke dalam mulut
melalui makanan dan minuman yang tercemar oleh salmonella
(biasanya ˃10.000 basil kuman). Sebagian kuman dapat dimusnahkan
oleh asam hcl lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus. Jika
respon imunitas humoral mukosa (igA) usus kurang baik, maka basil
salmonella akan menembus selsel epitel (sel m) dan selanjutnya menuju
lamina propia dan berkembang biak di jaringan limfoid plak peyeri di
ileum distal dan kelenjar getah bening mesenterika. (Lestari Titik,
2016).
Jaringan limfoid plak peyeri dan kelenjar getah bening
mesenterika mengalami hiperplasia. Basil tersebut masuk ke aliran
darah (bakterimia) melalui duktus thoracicus dan menyebar ke seluruh
organ retikulo endotalial tubuh, terutama hati, sumsum tulang, dan
limfa melalui sirkulasi portal dari usus. (Lestari Titik, 2016).
Hati membesar (hepatomegali) dengan infiltasi limfosit, zat
plasma, dan sel mononuclear. Terdapat juga nekrosis fokal dan
pembesaran limfa (splenomegali). Di organ ini, kuman salmonella
thhypi berkembang biak dan masuk sirkulasi darah lagi, sehingga
mengakibatkan bakterimia ke dua yang disertai tanda dan gejala infeksi
sistemik (demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas
vaskuler dan gangguan mental koagulasi). (Lestari Titik, 2016).
Perdarahan saluran cerna terjadi akibat erosi pembuluh darah di
sekitar plak peyeriyang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia.
Proses patologis ini dapat berlangsung hingga ke lapisan otot, serosa
usus, dan mengakibatkan perforasi. Endotoksin basil menempel di
reseptor sel endotel kapiler dan dapat mengakibatkan komplikasi,
seperti gangguan neuropsikiatrik kardiovaskuler, pernafasan, dan
gangguan organ lainnya. Pada minggu pertama timbulnya penyakit,
terjadi hiperplasia plak peyeri, di susul kembali, terjadi nekrosis pada
minggu ke dua dan ulserasi plak peyeri pada mingu ke tiga. selanjutnya,
dalam minggu ke empat akan terjadi proses penyembuhan ulkus dengan
meninggalkan sikatriks (jaringan parut).
Sedangkan penularan salmonella thypi dapat di tularkan melalui
berbagai cara, yang dikenal dengan 5F yaitu Food (makanan), Fingers
(jari tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly (lalat) dan melalui Feses.
(Lestari Titik, 2016).

2.1.5 Pathways
Kuman salmonella
typhi

Masuk melalui makanan/ Minuman,


jari, tangan/kuku,
muntuhan, lalat dan feses

Masuk ke mulut

Menuju ke saluran
pencernaan

Kuman mati Lambung Kuman hidup

Lolos dari asam


lambung

Bakteri masuk ke
dalam usus halus

Peredaran darah dan masuk ke


retikulo endothelia terutama hati
dan limfa

Inflamasi pada hati Masuk kealiran darah


dan limfa

Endotoksi
Hematomegali
Spenomegali
Penurunan peristaltic usus
Nyeri tekan Penurunan mobilitas Mengakibatkan komplikasi seperti
usus neuropsikiatrik, kardiovaskuler,
pernafasan, dll.
Konstipasi Peningkatan asam
Nyeri
lambung Mempengaruhi pusat
Merangsang melepas sel
thermoregulerator di
perogen
Resiko kekurangan Anoreksia, mual hipotalamus
volume cairan dan muntah
Defisit nutrisi

2.1.6 Komplikasi
1. Komplikasi intestinal: perdarahan usus, perporasi usus dan ilius
paralitik.
2. Komplikasi extra intestinal:
a. Komplikasi kardiovaskuler: kegagalan sirkulasi (renjatan
sepsis), miokarditis, trombosis, tromboplebitis.
b. Komplikasi darah: anemia hemolitik, trobositopenia dan
syndroma uremia hemolitik.
c. Komplikasi paru: pneumonia, empiema, dan pleuritis.
d. Komplikasi pada hepar dan kandung empedu: hepatitis, dan
kolesistitis.
e. Komplikasi ginjal: glomerulus nefritis, pyelonepritis dan
perinepritis.
f. Komplikasi pada tulang: osteomyolitis, osteoporosis, spondilitis
dan arthritis.
g. Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, meninggiusmus,
meningitis, polineuritis perifer, sindroma guillain bare dan
sindroma katatonia. (Lestari Titik, 2016).

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang pada anak dengan dengan typoid antara
lain:
1. Pemeriksaan leukosit Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa
demam thypoid terdapat leukopenia dan limposistosis relatif tetapi
kenyataannya leukopenia tidaklah sering dijumpai. Pada kebanyakan
kasus demam thypoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi
berada pada batas-batas normal bahkan kadang-kadang terdapat
Hipertermia

leukosit walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh


karena itu, pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk
diagnosa demam thypoid.
2. Pemeriksaan SGOT dan SGPT SGOT dan SGPT pada demam
thypoid seringkali meningkat tetapi dapat kembali normal setelah
sembuhnya thypoid.
3. Biakan darah Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam
thypoid, tetapi bila biakan darah negatif tidak menutup kemungkinan
akan terjadi demam thypoid. Hal ini dikarenakan hasil biakan
darahtergantung dai beberapa faktor :
a. Tehnik pemeriksaan laboratorium Hasil pemeriksaan satu
laboratorium berbeda dengan laboratorium yang lain, hal ini
disebabkan oleh perbedaan tehnik dan media biakan yang
digunakan. Waktu pengambilan darah yang baik adalah pada saat
demam tinggi yaitu pada saat bakteremia berlangsung.
b. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit Biakan darah
terhadap salmonella typhi terutama positif pada minggu pertama
dan berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu
kambuh biakan darah dapat positif kembali.
c. Vaksinasi di masa lampau Vaksinasi terhadap demam thypoid di
masa lampau dapat menimbulkan antibodi dalam darah klien,
antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga biakan darah
negatif.
d. Pengobatan dengan obat anti mikroba Bila klien sebelum
pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti mikroba
pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil
biakan mungkin negatif.
e. Uji widal Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen
dan antibodi. Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella typhi
terdapat dalam serum klien dengan demam thypoid juga terdapat
pada orang pernah divaksinasikan. Antigen yang digunakan pada
uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan
diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk
menentukan adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka
menderita thypoid. Akibat infeksi oleh salmonella typhi, klien
membuat antibodi atau aglutinin yaitu:
a) Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan anti-gen O
(berasal dari tubuh kuman).
b) Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan anti-gen H
(berasal dari flagel kuman).
c) Aglutinin VI, yang dibuat karena rangsangan anti-gen VI
(berasal dari simpai kuman). Dari ketiga aglutinin tersebut
hanya agglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk
diagnosa, makin tinggi titernya makin besar klien menderita
thypoid.
4. Kultur Kultur urin bisa positif pada minggu pertama, kultur urin bisa
positif pada akhir minggu kedua, dan kultur feses bisa positif pada
minggu kedua hingga minggu ketiga.
5. Anti Salmonella typhi IgM Pemeriksaan ini dilakukan untuk
mendeteksi secara dini infeksi akut Salmonella Typhi, karena
antibodi IgM muncul pada hari ke-3 dan 4 terjadinya demam.

2.1.8 Penatalaksanaan
Berdasarkan Lestari Titik, 2016, penatalaksanaan pada demam thypoid
yaitu:
1. Perawatan
a. Klien diistirahatkan 7 hari sampai 14 hari untuk mencegah
komplikasi perdarahan usus.
b. Mobilisasi bertahap bila tidak ada panas, sesuai dengan pulihnya
tranfusi bila ada komplikasi perdarahan.
2. Diet
a. Diet yang sesuai, cukup kalori dan tinggi protein.
b. Pada penderita yang akut dapat diberikan bubur saring.
c. Setelah bebas demam diberi bubur kasar selama 2 hari lalu nasi
tim.
d. Dilanjutkan dengan nasi biasa setelah penderita bebas dari demam
selama 7 hari.
3. Obat-obatan Antibiotika umum digunakan untuk mengatasi penyakit
thypoid. Waktu penyembuhanbisa makan waktu 2 minggu hingga
satu bulan. Antibiotika, seperti ampicilin, kloramfenikol,
trimethoprim sulfamethoxazole dan ciproloxacin sering digunakan
untuk merawat demam thypoid di negara-negara barat. Obat-obatan
antibiotik adalah:
a. Kloramfenikol diberikan dengan dosis 50 mg/kgBB/hari, terbagi
dalam 3-4 kali pemberian, oral atau intravena, selama 14 hari.
b. Bilamana terdapat kontra indikasi pemberian kloramfenikol,
diberikan ampisilin dengan dosis 200 mg/kgBB/hari, terbagi
dalam3- 4 kali. Pemberian intravena saat belum dapat minum
obat, selama 21 hari.
c. Amoksisilin dengan dosis 100 mg/kgBB/ hari, terbagi dalam3-4
kali. Pemberian oral/intravena selama 21 hari.
d. Kotrimoksasol dengan dosis 8 mg/kgBB/hari terbagi dalam 2-3
kali pemberian, oral, selama 14 hari.
e. Pada kasus berat, dapat diberi ceftriakson dengan dosis 50
m/kgBB/hari dan diberikan 2 kali sehari atau 80 mg/kgBB/hari,
sehari sekali, intravena selama 5-7 hari.
f. Pada kasus yang diduga mengalami MDR, maka pilihan
antibiotika adalah meropenem, azithromisin, dan fluoroquinolon.
Bila tak terawat, demam thypoid dapat berlangsung selama tiga
minggu sampai sebulan. Kematian terjadi antara 10% dan 30 %
dari kasus yang tidak terawat. Pengobatan penyulit tergantung
macamnya. Untuk kasus berat dan dengan manifestasi nerologik
menonjol, diberi deksamethason dosis tinggi dengan dosis awal 3
mg/kgBB, intravena perlahan (selama 30 menit). Kemudian
disusul pemberian dengan dosis 1 mg/kg BB dengan tenggang
waktu 6 sampai 7 kali pemberian. Tatalaksanaan bedah dilakukan
pada kasus-kasus dengan penyulit perforasi usus.
2.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Demam Thypoid Pada Anak
2.2.1 Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama di dalam
memberikan asuhan keperawatan. Perawat harus mengumpulkan data
tentang status kesehatan pasien secara sistematis, menyeluruh, akurat,
singkat, dan berkesinambungan. Pengumpulan data ini juga harus dapat
menggambarkan status kesehatan klien dan kekuatan masalah-masalah
yang dialami oleh klien. (Hutahaean Serri, 2010).
Teori pengkajian pada anak demam thypoid menurut (Rekawati,
Nursalam, 2013) yaitu :
1. Identitas
a. Pengkajian identitas anak berisi tentang: nama, anak yang ke,
tanggal lahir/umur, jenis kelamin, dan agama.
b. Pengkajian identitas Orang tua berisi tentang: nama, umur,
pekerjaan, pendidikan, agama, dan alamat.
2. Alasan Dirawat
a. Keluhan utama seperti perasaan tidak enak badan, lesu, pusing,
nyeri kepala dan kurang bersemangat, serta nafsu makan
menurun (teutama pada saat masa inkubasi).
b. Riwayat Penyakit
1) Apakah anak pernah mengalami sakit sebelumnya.
2) Apakah ada keluarga yang menderita penyakit yang bersifat
menular dan menurun.
c. Riwayat Anak
1) Perawatan anak dalam masa kandungan.
2) Perawatan pada waktu kelahiran.
d. Kebutuhan Bio-Psiko-Sosial-Spiritual Dalam Kehidupan Sehari-
hari:
1) Bernafas: bagaimana suara nafas anak, ada tidaknya
kesulitan bernafas yang dialami oleh anak, serta keluhan
lain yang dirasakan anak.
2) Pola Nutrisi (makan dan minum): tanyakan pada pasien atau
keluarga berapa kali makan dan minum dalam satu hari.
3) Eliminasi (BAB/BAK): kaji pola BAB dan BAK pad anak.
Pada BAB tinjau konsistensi, warna, bau, dan ada atau
tidaknya darah. Pada BAK tinjau volume, warna, bau.
4) Aktifitas: kaji permainan yang paling disukai pada anak,
dan kapan waktu bermainnya.
5) Rekreasi: kemana dan kapan biasanya anak diajak
berekreasi.
6) Istirahat dan tidur: kaji pola tidur anak pada siang dan
malam hari, dan berapa lama. Ada tidaknya kesulitan tidur
yang dialami oleh anak.
7) Kebersihan diri: kaji berapa kali anak mandi dalam 1 hari,
ada membantu atau tidak. Bagaiman dengn kebersihan kuku
atau rambut.
8) Pengaturan suhu tubuh: Suhu anak diukur apakah normal,
hipotermi ataukah mengalami hipertermi.
9) Rasa nyaman: kaji kondisi dan keadaan anak saat
mengobrol dengan orang lain.
10) Rasa aman: kaji lingkungan tempat anak bermain, apakah
sudah aman dari benda-benda tajam dan berbahaya.
Bagaimana pengawasan orang tua ketika anak sedang
bermain.
11) Belajar (anak dan orang tua): kaji pengetahuan orang tua
dalam merawat dan mendidik anak.
12) Prestasi: kaji bagaimana pencapaian dan kemampuan anak
mengenai tingkah laku social, gerak motoric harus, bahasa,
dan perkembangan motoric kasar.
13) Hubungan sosial anak: kaji bagimana hubungan anak
dengan orang tua, keluarga lain serta teman-temannya.
Siapakah orang yang paling dekat dengan anak.
14) Melaksanakan ibadah (kebiasaan, bantuan yang diperlukan
terutama saat anak sakit): apa agama yang dianut dan
bagaimana pelaksanaan ibadah yang dilakukan oleh anak.
e. Pengawasan Kesehatan
Status Imunisasi Anak (1-5 tahun) Status imunisasi anak adalah
dimana anak pernah mendapatkan imunisasi seperti BCG,
difteri, pertussis, tetanus, polio dan campak atau tambahan
imunisasi lainnya yang di anjurkan oleh petugas. Penyakit Yang
Pernah Diderita Pada poin ini yang perlu dikaji adalah jenis
penyakit, akut/ kronis/ menular/ tidak, umur saat sakit, lamanya,
dan pertolongan.
f. Kesehatan Lingkungan: kaji bagaimana keadaan lingkungan
tempat tinggal anak mengenai ketersediaan air bersih dan
sanitasi/ventilasi rumah.
g. Perkembangan Anak (0-6 tahun) Perkembangan anak dilakukan
untuk mengkaji keadaan perkembangan anak usia 1 bulan – 72
bulan, dapat dilakukan dengan menggunakan Kuisioner Pra
Skrining Perkembangan (KPSP), untuk menilai dalam 4 sektor
perkembangan pada anak yang meliputi : motoric kasar, motoric
halus, bicara / bahasa dan sosialisasi / kemandirian
(Kementerian kesehetan RI, 2016).
h. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum yang meliputi suhu, nadi, pernafasan,
tekanan darah, warna kulit, tonus otot, turgor kulit, udema.
2. Pemeriksaan Head to Toe
a) Kepala: kaji mengenai bentuk kepala, ada tidaknya lesi,
kebersihan kulit kepala, jenis rambut, tekstur rambut,
warna rambut dan pertumbuhan rambut.
b) Mata: kaji bentuk bola mata, pergerakan, keadaan
pupil, konjungtiva, keadaan kornea, sclera, bulu mata,
ketajaman penglihatan, dan reflex kelopak mata.
c) Hidung: kaji mengenai kebersihan, adanya secret,
warna mukosa hidung, pergerakan/nafas cuping hidung,
juga adanya gangguan lain.
d) Telinga: Kaji kebersihan, keadaan alat pendengaran,
dan kelainan yang mungkin ada.
e) Mulut, terdapat nafas yang berbau tidak sedap serta
bibir kering dan pecahpecah. Lidah tertutup selaput
kotor yang biasanya berwarna putih, sementara ujung
tepi lidah berwarna kemerahan.
f) Leher: kaji adanya pembesaran kelenjar/pembuluh
darah, kaku kuduk, pergerakan leher.
g) Thoraks: kaji mengenai bentuk dada, irama pernafasan,
tarikan otot bantu pernafasan, serta adanya suara nafas
tambahan.
h) Jantung: kaji bunyi serta pembesaran jantung pada
anak.
i) Persarafan: kaji reflek fisiologis atau reflek patologis
yang dilakukan oleh anak.
j) Abdomen, dapat ditemukan keadaan perut kembung.
Bisanya terjadi konstipasi, atau diare dan bahkan bisa
saja normal, kulit teraba hangat dan kemerahan.
k) Ekstremitas: kaji tentang pergerakan, kelainan bentuk,
reflex lutut dan adanya edema.
l) Pemeriksaan Genetalia, Alat kelamin: kaji mengenai
kebersihan dan adanya lesi. Anus: kaji mengenai
keadaan dan kebersihan, ada tidaknya lesi da nada
tidaknya infeksi.
m) Antropometri (ukuran pertumbuhan) Pengukuran
antopometri meliputi berat badan, tinggi badan, lingkar
kepala, lingkar dada, dan lingkar lengan.
3. Pemeriksaan Penunjang
a) Darah untuk kultur (biakan, empedu) dan widal.
b) Biakan empedu basil salmonella thyphosa dapat
ditemukan dalam darah pasien pada minggu pertama
sakit. Selanjutnya, lebih sering ditemukan dalam urine
dan faeces.
c) Pemeriksaan widal. Untuk membuat diagnosis,
pemeriksaan yang diperlukan adalah titer zat anti
terhadap antigen O. titer yang bernilai 1/200 atau lebih
menunjukkan kenaikan yang progresif.
4. Hasil Observasi Tuliskan respon umum anak dengan
keluarganya serta hal-hal baru yang diberikan kepadanya,
bentuk bentuk interaksi kepada orang lain, cara anak
mengungkapkan keinginannya, serta kontradiksi prilaku
yang mungkin ditunjukan anak.

2.2.2 Diagnosa Keperawatan


Menurut (SDKI, 2016) Diagnosis keperawatan merupakan
penilaian klinis akan respon klien mengenai masalah kesehatan atau
proses kehidupan yang dialaminya baik yang berlangsung aktual
maupun potensial.
1. Hipertermia (D.0130)
2. Nyeri akut (D.0077)
3. Defisit nutrisi (D.0019)
4. Resiko ketidakseimbangan cairan (D. 0036)
5. Konstipasi (D.0049)
2.2.3 Intervensi Keperawatan
Intervensi Keperawatan Perencanaan atau intervensi
keperawatan adalah segala treatment yang dikerjakan oleh perawat yang
didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai
luaran (outcome) yang diharapkan. Berikut adalah intervensi untuk
pasien dengan hipertermia berdasarkan Standar Luaran Keperawatan
Indonesia (SLKI) dan Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI)
(Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018).

Diagnosa Tujuan dan Kriteria


No Intervensi (SIKI)
Keperawatan Hasil (SLKI)
1 Hipertermia (D.0130) Tujuan: setelah dilakukan Observasi :
intervensi keperawatan 1. Identifikasi penyebab
selama 3x 24 jam hipertemia
diharapkan suhu dalam 2. Monitor suhu tubuh.
batas normal. Kriteria 3. Manitor haluaran urine
hasil: 4. Monitor komplikasi
1.Suhu tubuh membaik. akibat hipertermia
2.Suhu kulit membaik.
Terapeutik :
1. Sediakan lingkungan
yang dingin
2. Longgarkan atau
lepaskan pakaian
3. Berikan cairan oral
4. Lakukan kompres
hangat/dingin

Edukasi :
1. Anjurkan tirah baring

Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian
cairan dan elektrolit
intravena
2. Pemberian obat
2 Nyeri akut (D.0077) Tujuan: Setalah dilakukan Observasi
intervensi keperawatan 1. Identifikasi lokasi,
selama 3x24 jam karakteristik , durasi,
diharapkan nyeri teratasi. frekuensi, kualitas,
Kriteria hasil: intesitas nyeri.
1. Mampu mengontrol 2. Identifikasi skala nyeri
nyeri tahu penyebab 3. Identifikasi respon
nyeri, mampu nyeri non verbal
menggunakan tehnik 4. Identifikasi factor yang
nonfarmakologi untuk memperberat dan
mengurangi nyeri, memperingan nyeri
mencari bantuan.) 5. Indentiikasi
2. Melaporkan bahwa nyeri pengetahuan dan
berkurang dengan keyakinan tentang
menggunakan manjemen nyeri
nyeri. 6. Indentifikasi pengaruh
3. Mampu mengenali nyeri pada kualitas
nyeri(skala,intensitas, hidup
frekuensi, dan tanda 7. Monitor keberhasilan
nyeri) terapi komplementer
4. Menyatakan rasa yang sudah diberikan
nyaman setelah nyeri 8. Monitor efek samping
berkurang. penggunaan analgetik

Terapeutik
1. Berikan terapi
nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa
nyeri.
2. Control lingkungan
yang memperberat
rasa nyeri
3. Fasilitasi istrahat dan
tidur
4. Pertimbangkan jenis
dan sumber nyeri
dalam pemilihan
strategi meredakan
nyeri

Edukasi
1. Jelaskan penyabab,
periode, dan pemicu
nyeri 2. Jelaskan
strategi merdakan
nyeri
2. Anjurkan memonitor
secara mandiri
3. Anjurkan
menggunakan
analgetik secara tepat
4. Anjarkan terapi
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri.

Kolaborasi:
Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
3 Defisit nutrisi Tujuan: Setelah dilakukan Obeservasi
(D.0019) intervensi keperawatan 1. Identifikasi status
selama 3x24 jam nutrisi
diharapkan kebutuhan 2. Identifikasi alergi dan
nutrisi terpenuhi. Kriteria intoleransi aktifitas
hasil: 3. Identifikasi makanan
1. Adanya peningkatan yang disukai
berat badan sesuai 4. Identifikasi kebutuhan
dengan tujuan. kalori dan jenis
2. Berat badan ideal sesuai nutrient
dengan tinggi badan. 5. Identifikasi perlunya
3. Mampu mengidentifikasi penggunaan selang
kebutuhan nutrisi. nesogastrik
4. Tidak ada tanda-tanda 6. Monitor aspan nutrisi
malnutrisi 7. Monitor berat badan
5. Tidak ada penurunan 8. Monitor hasil
berat badan yang berarti pemeriksaan
laboratorium

Terapeutik
1. Lakukan oral hygine
sebelum makan
2. Fasilitasi menentukan
pedoaman diet
3. Sajikan makanan
secara menarik dan
suhu yang sesuai
4. Berikan makanan
tinggi serat untuk
mencegah konstipasi
5. Berikan makanan
tinggi kalori dan tinggi
protein
6. Berikan sumplemen
makanan

Edukasi
1. Anjurkan posisi duduk
2. Ajarkan diet yang
diprogramkan

Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
medikasi sebelum
makan
2. Kolaborasi dengan ahli
gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan jenis
nutrient yang
dibutuhkan
4 Resiko 1. Fluid balance Observasi
ketidakseimbangan 2. Hydration 1. Monior frekuensi dan
cairan (D. 0036) 3. Nutritional status: food kekuatan nadi, nafas,
and fluid intake Kriteria TD, dan BB
hasil: 2. Monitor waktu
1. Mempertahankan pengisian kapiler
urine output sesuai 3. Monitor elastisitas
dengan usia dan BB. atau turgor kulit
2. Tekanan darah, nadi, 4. Monitor jumlah,
suhu tubuh dalam warna dan berat jenis
batas normal. urine
3. Tidak ada tanda- 5. Monitor kadar
tanda dehidrasi, albumin dan protein
elastisitas turgor kulit total
baik,membranmukos 6. Monitor hasil
a lembab, tidak ada pemeriksaan serum
rasa haus yang 7. Monitor intake dan
berlebihan output cairan
8. Indentifikasi tanda-
tanda hipovolemia
dan hypervolemia
9. Identifikasi factor
resiko
ketidakseimabangan
cairan

Terapeutik
1. Atur intervensi waktu
pmantuan sesuai
dengan kondisi pasien
2. Dokumentasikan hasil
pemantauan

Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan
prosedur pemantauan
2. Informasikan hasil
pemantauan
5 Konstipasi (D.0049) Tujuan: Setelah dilakukan Obsevasi
tindakan keperawatan 2x24 1. Identifikasi factor
jam diharapkan eliminasi resiko konstipasi
fekal membaik: Kriteria 2. Monitor tanda dan
hasil: gejala konstipasi
1. Mempertahankan 3. Identifikasi status
bentuk feses lunak kognitif untuk
setiap 1-3 hari mengkomunikasikan
2. Bebas dari kebutuhan
ketidaknyamanan dan 4. Identifikasi pengunaan
konstipasi obat-obatan yang
3. Mengidentifikasi menyebabkan
indikator untuk konstipasi
mencegah konstipasi
4. Feses lunak dan Terapeutik
berbentuk 1. Batasi minuman yang
mengandung kafein
dan alcohol
2. Jadwalkan rutinitas
BAK
3. Lakukan masase
abdomen
4. Berikan terapi
akupresur

Edukasi
1. Jelaskan penyebab
dan factor resiko
konstipasi 2. Anjurkan
minum air putih sesuai
dengan kebutuhan
2. Anjurkan
mengkonsumsi
makanan berserat
3. Anjurkan
meningkatkan
aktivitas fisik sesuai
kebutuhan
4. Anjurkan berjalan 15-
20 menit 1-2 kali/hari
5. Anjurkan berjongkok
untuk memfasilitasi
proses BAB

Kolaborasi
Kolaborasi dengan ahli
gizi

2.2.4 Implementasi Keperawatan


Implementasi keperawatan adalah tahapan ketika perawat
mengaplikasikan rencana atau tindakan asuhan keperawatan kedalam
bentuk intervensi keperawatan untuk membantu pasien dalam mencapai
tujuan yang telah ditetapkan (Budiono, S., 2015).
Tahapan pelaksanaan terdiri atas tindakan mandiri dan
kolaborasi yang mencangkup peningkatan kesehatan, pencegahan
penyakit, pemulihan kesehatan, dan memfasilitasi koping. Agar kondisi
pasien cepat membaik diharapkan bekerjasama dengan keluarga pasien
dalam melakukan pelaksanaan agar tercapainya tujuan dan kriteria hasil
yang sudah dibuat dalam intervensi (Nursalam, 2016). Implementasi
yang dilakukan pada kasus demam thypoid dengan hipertermi adalah
Manajemen Hipertermia, yang meliputi memonitor suhu tubuh,
menyediakan lingkungan yang dingin, melonggarkan atau melepaskan
pakaian, membasahi dan mengipasi permukaan tubuh, memberikan
cairan oral, menganjurkan tirah baring, dan memberikan cairan dan
elektrolit intravena. Implementasi kedua yang dapat dilakukan adalah
Regulasi Temperatur, yang meliputi memonitor suhu tubuh anak tiap
dua jam, memonitor warna dan suhu kulit, memonitor tekanan darah,
frekuensi pernafasan dan nadi , meningkatkan asupan cairan dan nutrisi
yang adekuat, serta memberikan antipiretik.

2.2.5 Evaluasi Keperawatan


Evaluasi keperawatan merupakan tahap akhir dari proses
keperawatan yang meliputi perbandingan yang sistematis dan terencana
antara hasil akhir yang teramati dan tujuan atau kriteria hasil yang
dibuat pada tahap perencanaan.
Evaluasi yang dilakukan pada asuhan keperawatan di
dokumentasikan dalam bentuk SOAP (subjektif, objektif, assessment,
planning) (Asmadi, 2008).
Adapun komponen soap yaitu S (Subjektif) dimana perawat
menemui keluhan pasien yang masih dirasakan setelah dilakukan
tindakan keperawatan, O (Objektif) adalah data yang berdasarkan hasil
pengukuran atau observasi perawat secara langsung pada pasien yang
dirasakan pasien setelah tindakan keperawatan, A (Assessment) adalah
interpretasi dari data subjektif dan data objektif, P (planning) adalah
perencanaan keperawatan yang akan dilanjutkan, dihentikan,
dimodifikasi, atau ditambah dari rencana tindakan keperawatan yang
telah ditentukan sebelumnya (Rohmah Nikmatur & Saful, 2012). Tujan
dan evaluasi yang akan dicapai pada kasus ini antara lain yaitu,
menggigil menurun, kulit merah menurun, pucat menurun, suhu tubuh
membaik (36,50C – 37,50C), suhu kulit membaik, dan tekanan darah
membaik (117/77 mmHg).
DAFTAR PUSTAKA

Cahyaningsih, Sulistyo Dwi. (2011). Pertumbuhan Perkembangan Anak dan


Remaja. Jakarta : Tim.
Depkes RI. (2013). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013.
http:www.depkes.go.id/Downloads/profil-kesehatan-indonesia-2013.pdf.
Tanggal 1 April 2023.
E. D. A, Maria., Supriyadi., K.J, A. (2019). Hubungan Kebiasaan Mencuci
Tangan Menggunakan Air Bersih dan Sabun Dengan Kejadian Demam
Thypoid Pada Orang Dewasa di Wilayah Kerja Puskesmas Dinoyo. 4.
Retrieved from
https://publikasi.unitri.ac.id/index.php/fikes/article/view/1546/1098
Hidayat, Alimul Aziz A. (2009). Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta:
Salemba Medika.
Hutahaean Serri. (2010). Konsep dan Dokumentasi Proses Keperawatan. Jakarta:
Tim.
Kementerian kesehetan RI. (2016). Buku Pedoman Stimulasi, Deteksi dan
Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak.
Lestari, Titik. (2016). Asuhan keperawatan anak. Yogyakarta : Nuha Medika.
Lynda Juall Capernitto. (2006). Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 10 (10th
ed.). Jakarta: EGC.
Mutiarasari & Handayani.2017. Karakteristik Usia, Jenis Kelamin, Tingkat
Demam, Kadar Hemoglobin, Leukosit, Dan Trombosit Penderita Demam
Tifoid. Tadulako: Medika Tadulako.
Nursalam. (2013). Asuhan keperawatan bayi dan anak. Edisi II. Jakarta : Salemba
Medika
Purba, I. E., Wandra, T., Nugrahini, N., Nawawi, S., & Kandun, N. (2016).
Thypoid Fever Control Program in Indonesia: Challenges and
Opportunities. Media Libangkes, 26(2), 99–108.
Retnosari, S. & Tumbelaka A.R., 2000, Pendekatan diagnostik serologik dan
pelacak antigen Salmonella typhi. Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-
RSCM Jakarta. Sari Pediatri, Vol. 2, No. 2, hlm. 90-95
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(1st ed.). Retrieved from http://www.inna-ppni.or.id
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia :
Definisi dan Tindakan Keperawatan (1st ed.). Jakarta Selatan: DPP PPNI.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (1st
ed.). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional.
Wijayaningsih, Kartika Sari 2013, Asuhan keperawatan anak, CV. Trans Info
Media : Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai