Anda di halaman 1dari 61

REFERAT KASUS

ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROK –


KEPALA LEHER
“GANGGUAN PENDENGARAN”

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian


Ilmu Penyakit THT - KL

Diajukan Kepada
Pembimbing
dr. Dina Permatasari, Sp. THT-KL

Disusun Oleh
Bangkit Tri Atmojo H3A021038
Disa Yuniar Rose Santi H3A021046
Diva Zabrina Santoso H3A021047

BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG TENGGOROK –


KEPALA LEHER UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SEMARANG RSUD TUGUREJO SEMARANG
2022
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT KASUS
GANGGUAN PENDENGARAN

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian


Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok – Kepala Leher
Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo Semarang

Telah disetujui dan dipresentasikan


Pada tanggal, Mei 2022

Disusun oleh
Bangkit Tri Atmojo H3A021038
Disa Yuniar Rose Santi H3A021046
Diva Zabrina Santoso H3A021047

Telah disetujui oleh Pembimbing

Nama Pembimbing Tanda Tangan

dr. Dina Permatasari, Sp. THT-KL ……………

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas berkat dan
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan referat kasus ini selesai pada waktunya.
Referat ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat ujian Kepaniteraan Klinik
lmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok – Kepala Leher.

Penyusunan referat kasus ini terselesaikan atas bantuan dari banyak pihak
yang turut membantu. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Dina Permatasari, Sp. THT-KL, dr.
Sukamta Yudi, Sp. THT-KL dan dr. Yunarti, Sp. THT-KL, M. Si, Med selaku
pembimbing, serta kepada teman-teman di kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit
Telinga Hidung Tenggorok – Kepala Leher atas kerjasamanya selama penyusunan
laporan ini.

Semoga laporan ini dapat bermanfaat baik bagi penulis sendiri, pembaca
maupun bagi semua pihak-pihak yang berkepentingan.

Semarang, Mei 2022

Penulis

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................................1
LEMBAR PENGESAHAN.....................................................................................2
KATA PENGANTAR.............................................................................................3
DAFTAR ISI............................................................................................................4
BAB I.......................................................................................................................6
PENDAHULUAN...................................................................................................6
BAB II......................................................................................................................7
PEMBAHASAN......................................................................................................7
2.1 Anatomi Telinga.............................................................................................7
2.1.1 Telinga Luar............................................................................................7
2.1.2 Telinga Tengah........................................................................................8
2.1.3.Telinga Dalam.........................................................................................9
2.2 Fisiologi Pendengaran..................................................................................13
2.3 Gangguan Pendengaran................................................................................14
2.3.1 Definisi..................................................................................................14
2.3.2 Insiden dan Prevalensi...........................................................................14
2.3.3 Patofisiologi Gangguan Pendengaran....................................................15
2.4 Klasifikasi Gangguan Pendengaran.............................................................16
2.4.1 Tuli Konduktif.......................................................................................16
2.4.2 Tuli Sensorineural (Sensorineural Deafness)........................................16
2.4.3 Tuli Campur (Mixed Deafness).............................................................17
2.5 Faktor Penyebab Gangguan Pendengaran....................................................17
2.6 Penyakit yang Menyebabkan Gangguan Pendengaran................................19
2.6.1 Tuli Konduktif.......................................................................................19
2.6.2 Tuli Sensorineural..................................................................................31
2.7 Pemeriksaan Gangguan Pendengaran..........................................................41

4
2.8 Tatalaksana...................................................................................................54
BAB III..................................................................................................................58
KESIMPULAN......................................................................................................58
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................60

5
BAB I

PENDAHULUAN
Gangguan pendengaran adalah berkurangnya kemampuan mendengar baik
sebagian atau seluruhnya, pada salah satu atau kedua telinga, baik derajat ringan
atau lebih berat dengan ambang pendengaran rata lebih dari 26 dB pada frekuensi
500, 1000, 2000 dan 4000 Hz.1

Diperkirakan 7.000 (0,2-0,4%) bayi dilahirkan setiap tahunnya dengan tuli


yang bervariasi dari ringan sampai total. Pada umur kurang dari 18 tahun, dua dari
100 anak mengalami gangguan pendengaran dalam berbagai derajat. Biasanya
gangguan pendengaran berkembang secara bertahap, tapi hilangnya pendengaran
bisa muncul tiba-tiba.

Pada tahun 2012, WHO memperkirakan terdapat sekitar 360 juta orang di
seluruh dunia yang mengalami gangguan pendengaran. Kawasan Asia Tenggara
merupakan daerah yang tinggi jumlah kasus gangguan pendengaran dan ketulian,
sehingga membuat WHO mencanangkan program Sound Hearing 2030. Hal ini
bertujuan agar setiap penduduk memiliki kesehatan telinga dan pendengaran yang
optimal pada tahun 2030. Di Indonesia sendiri, Komnas PGPKT atau Komite
Nasional Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian telah dibentuk
pada tahun 2007 untuk merespon program WHO tersebut, dengan target penderita
gangguan pendengaran akan tersisa 10% pada tahun 2030.

Dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia tahun 2012, keterampilan


dalam pemeriksaan fisik diagnostik bagi dokter umum yaitu tes pendengaran, tes
berbisik, pemeriksaan garpu tala dan pemeriksaan pendengaran bagi anak-anak
termasuk kompetensi 4A yang berarti dokter harus mampu melakukan secara
mandiri dan tuntas. Untuk itu pentingnya dilakukan pembahasan mengenai
anatomi telinga, fisiologi pendengaran serta gangguan pendengaran. 2

6
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Anatomi Telinga

Telinga sebagai indera pendengar terdiri dari tiga bagian yaitu telinga luar,
telinga tengah dan telinga dalam. Struktur anatomi telinga dapat dilihat pada
gambar :

Gambar 1. Struktur dan pembagian telinga

2.1.1 Telinga Luar

Telinga luar berfungsi menangkap rangsang getaran bunyi atau bunyi dari
luar. Telinga luar terdiri dari daun telinga (pinna auricularis), saluran telinga
(canalis auditorius externus) yang mengandung rambut-rambut halus dan kelenjar
sebasea sampai di membran timpani.

Daun telinga terdiri atas tulang rawan elastin dan kulit. Bagian-bagian
daun telinga lobula, heliks, anti heliks, tragus, dan antitragus. Liang telinga atau
saluran telinga merupakan saluran yang berbentuk seperti huruf S. Pada 1/3

7
proksimal memiliki kerangka tulang rawan dan 2/3 distal memiliki kerangka
tulang sejati. Saluran telinga mengandung rambut-rambut halus dan kelenjar lilin.
Rambut-rambut alus berfungsi untuk melindungi lorong telinga dari kotoran, debu
dan serangga, sementara kelenjar sebasea berfungsi menghasilkan serumen.
Serumen adalah hasil produksi kelenjar sebasea, kelenjar seruminosa, epitel kulit
yang terlepas dan partikel debu. Kelenjar sebasea terdapat pada kulit liang
telinga.3

2.1.2 Telinga Tengah

Telinga tengah atau cavum tympani. Telinga bagian tengah berfungsi


menghantarkan bunyi atau bunyi dari telinga luar ke telinga dalam. Bagian depan
ruang telinga dibatasi oleh membran timpani, sedangkan bagian dalam dibatasi
oleh foramen ovale dan foramen rotundum. Pada ruang tengah telinga terdapat
bagian-bagian sebagai berikut:

a. Membran timpani

Membran timpani berfungsi sebagai penerima gelombang bunyi. Setiap


ada gelombang bunyi yang memasuki lorong telinga akan mengenai membran
timpani, selanjutnya membran timpani akan menggelembung ke arah dalam
menuju ke telinga tengah dan akan menyentuh tulang-tulang pendengaran yaitu
maleus, inkus dan stapes. Tulang-tulang pendengaran akan meneruskan
gelombang bunyi tersebut ke telinga bagian dalam.

b. Tulang-tulang pendengaran

Tulang-tulang pendengaran yang terdiri atas maleus (tulang martil), incus


(tulang landasan) dan stapes (tulang sanggurdi). Ketiga tulang tersebut
membentuk rangkaian tulang yang melintang pada telinga tengah dan menyatu
dengan membran timpani.

8
Gambar 2. Tulang-tulang pendengaran

c. Tuba auditiva eustachius

Tuba auditiva eustachius atau saluran eustachius adalah saluran


penghubung antara ruang telinga tengah dengan rongga faring. Adanya saluran
eustachius, memungkinkan keseimbangan tekanan udara rongga telinga telinga
tengah dengan udara luar.4

2.1.3.Telinga Dalam

Telinga dalam berfungsi menerima getaran bunyi yang dihantarkan oleh


telinga tengah. Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua
setengah lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis.
Di dalam koklea terdapat organ corti yang berfungsi untuk mengubah getaran
mekanik gelombang bunyi menjadi impuls listrik yang akan dihantarkan ke pusat
pendengaran. Puncak dari koklea disebut helikotrema yang menghubungkan skala
timpani dengan skala vestibuli.

Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli sebelah atas, skala
timpani sebelah bawah dan skala media (duktus koklearis) diantaranya. Skala
vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa, sedangkan skala media berisi
endolimfa. Dasar skala vestibuli disebut sebagai membrane vestibuli (Reissner’s
membrane) sedangkan dasar skala media adalah membrane basalis. Pada
membran ini terletak organ corti.

9
Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut
membran tektoria, dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri dari
sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis corti, yang membentuk organ corti.

Gambar 3. Potongan melintang koklea (a) dan organ corti (b)

a. Koklea

Labirin koklea adalah suatu saluran melingkar yang pada manusia


panjangnya 35 mm. Koklea bagian tulang membentuk 2,5 kali putaran
yang mengelilingi sumbunya. Sumbu ini dinamakan modiolus, yang terdiri
dari pembuluh darah dan saraf. Ruang di dalam koklea bagian tulang
dibagi dua oleh dinding (septum). Bagian dalam dari septum ini terdiri dari
lamina spiralis ossea. Bagian luarnya terdiri dari anyaman penyambung,
lamina spiralis membranasea. Ruang yang mengandung perilimfe ini
dibagi menjadi: skala vestibula (bagian atas) dan skala timpani (bagian
bawah). Kedua skala ini bertemu pada ujung koklea (helicotrema). Skala
vestibula bermula pada fenestra ovale dan skala timpani berakhir pada
fenestra rotundum. Mulai dari pertemuan antara lamina spiralis
membranasea kearah perifer atas, terdapat membran yang dinamakan
membrane reissner. Pada pertemuan kedua lamina ini, terbentuk saluran
yang dibatasi oleh:

10
1. Membrane reissner bagian atas

2. Lamina spiralis membranasea bagian bawah

3. Dinding luar koklea

Saluran ini dinamakan duktus koklearis atau koklea bagian


membrane yang berisi endolimfe. Dinding luar koklea ini dinamakan
ligamentum spiralis di mana terdapat stria vaskularis, yaitu tempat
terbentuknya endolimfe.

Di dalam lamina membranasea terdapat 20.000 serabut saraf. Pada


membarana basilaris (lamina spiralis membranasea) terdapat alat korti.
Lebarnya membrane basilaris dari basis koklea sampai keatas bertambah
dan lamina spiralis ossea berkurang. Nada dengan frekuensi tinggi
berpengaruh pada basis koklea. Sebaliknya nada rendah berpengaruh
dibagian atas (ujung) dari koklea.

Pada bagian atas organ korti, terdapat suatu membran yaitu


membran tektoria. Membran ini berpangkal pada krista spiralis dan
berhubungan dengan alat persepsi pada alat korti. Pada alat korti dapat
ditemukan sel-sel penunjang, sel-sel persepsi yang mengandung rambut.
Antara sel-sel korti ini terdapat ruangan (saluran) yang berisi kortilimfe.

Duktus koklearis berhubungan dengan sakkulus dengan peralatan


duktus reunions. Bagian dasar koklea yang terletak pada dinding medial
cavum timpani menimbulkan penonjolan pada dinding ini kearah cavum
timpani. Tonjolan ini dinamakan promontorium

b. Vestibulum

Vestibulum letaknya diantara koklea dan kanalis semisirkularis


yang juga berisi perilimfe. Pada vestibulum bagian depan, terdapat lubang
(foramen ovale) yang berhubungan dengan membrane timpani, tempat

11
melekatnya telapak (foot plate) dari stapes. Di dalam vestibulum, terdapat
gelembung-gelembung bagian membrane sakkulus dan utrikulus.
Gelembung-gelembung sakkulus dan utrikulus berhubungan satu sama
lain dengan perantaraan duktus utrikulosakkularis, yang bercabang melalui
duktus endolimfatikus yang berakhir pada suatu lipatan dari duramater,
yang terletak pada bagian belakang os piramidalis. Lipatan ini dinamakan
sakkus endolimfatikus.

Sel-sel persepsi ini sebagai sel-sel rambut yang di kelilingi oleh


sel-sel penunjang yang letaknya pada macula. Pada sakkulus, terdapat
macula sakkuli. Sedangkan pada utrikulus, dinamakan macula utrikuli.

Di kedua sisi kepala terdapat kanalis-kanalis semisirkularis yang


tegak lurus satu sama lain. didalam kanalis tulang, terdapat kanalis bagian
membran yang terbenam dalam perilimfe. Kanalis semisirkularis
horizontal berbatasan dengan antrum mastoideum dan tampak sebagai
tonjolan, tonjolan kanalis semisirkularis horizontalis (lateralis).

Kanalis semisirkularis vertikal (posterior) berbatasan dengan fossa


crania media dan tampak pada permukaan atas os petrosus sebagai
tonjolan, eminentia arkuata. Kanalis semisirkularis posterior tegak lurus
dengan kanalis semi sirkularis superior. Kedua ujung yang tidak melebar
dari kedua kanalis semisirkularis yang letaknya vertikal bersatu dan
bermuara pada vestibulum sebagai krus komunis.

Kanalis semisirkularis membranasea letaknya didalam kanalis


semisirkularis ossea. Diantara kedua kanalis ini terdapat ruang berisi
perilimfe. Didalam kanalis semisirkularis membranasea terdapat
endolimfe. Pada tempat melebarnya kanalis semisirkularis ini terdapat sel-
sel persepsi. Bagian ini dinamakan ampulla.

Sel-sel persepsi yang ditunjang oleh sel-sel penunjang letaknya


pada Krista ampularis yang menempati 1/3 dari lumen ampulla. Rambut-

12
rambut dari sel persepsi ini mengenai organ yang dinamakan kupula, suatu
organ gelatinous yang mencapai atap dari ampulla sehingga dapat
menutup seluruh ampulla.5

2.2 Fisiologi Pendengaran


Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun
telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke
koklea. Suara sebagai suatu gelombang getaran akan diterima oleh membrana
timpani dan getaran ini akan diteruskan oleh tulang-tulang pendengaran (maleus,
incus, dan stapes) di rongga telinga tengah. Karena luas permukaan membran
tympani 22x lebih besar dari luas tingkap lonjong, maka terjadi penguatan 15-22x
pada tingkap lonjong. Selanjutnya diteruskan ke rongga koklea serta dikeluarkan
lagi melalui tingkap bundar.

Getaran suara tadi akan menggerakkan membrana basilaris, dimana nada


tinggi diterima di bagian basal dan nada rendah diterima di bagian apeks. Energi
getar yang telah diamplikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan
tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibuli bergerak. Getaran
diteruskan melalui membrana Reissner yang mendorong endolimfa, sehingga
akan menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria.
Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi
stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi penglepasan ion
bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel
rambut, sehingga melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan
menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus
auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39 - 40) di lobus temporalis.5

13
2.3 Gangguan Pendengaran

2.3.1 Definisi
Gangguan pendengaran adalah ketidakmampuan secara parsial atau
total untuk mendengarkan suara pada salah satu atau kedua telinga. Gangguan
pendengaran dapat diklasifikasikan sebagai berikut, yaitu tuli konduktif, tuli
sensorineural dan tuli campuran. Menurut WHO pengertian gangguan
pendengaran dan ketulian dibedakan berdasarkan ketentuan sebagai berikut.
Gangguan pendengaran adalah berkurangnya kemampuan mendengar baik
sebagian atau seluruhnya, pada salah satu atau kedua telinga, baik derajat
ringan atau lebih berat dengan ambang pendengaran rata lebih dari 26 dB
pada frekuensi 500, 1000, 2000 dan 4000 Hz. Sedangkan ketulian adalah
hilangnya kemampuan mendengar pada salah satu atau kedua sisi telinga,
merupakan gangguan pendengaran sangat berat dengan ambang pendengaran
rata-rata lebih dari 81 dB pada frekuensi 500, 1000, 2000 dan 4000 Hz.4,6

2.3.2 Insiden dan Prevalensi


Estimasi jumlah penderita gangguan pendengaran di seluruh dunia
meningkat dari 120 juta orang pada tahun 1995 menjadi 250 juta orang pada
tahun 2004. Lebih dari 5% dari populasi dunia memiliki gangguan
pendengaran (328 juta orang dewasa dan 32 juta anak-anak). Di Indonesia
prevalensi ketulian sebesar 4,6% atau sebanyak 16 juta orang dan gangguan
pendengaran sekitar 16,8% dari jumlah penduduk Indonesia.7

Diperkirakan 7.000 (0,2-0,4%) bayi dilahirkan setiap tahunnya


dengan tuli yang bervariasi dari ringan sampai total. Pada umur kurang dari
18 tahun, dua dari 100 anak mengalami gangguan pendengaran dalam
berbagai derajat. Untungnya hanya dalam jumlah sedikit yang tidak dapat
tertolong oleh pengobatan modern.

Di Amerika Serikat gangguan pendengaran kongenital pada anak


terjadi pada 10 dari 100 anak. Dari jumlah ini, satu diantaranya tuli sangat
berat, dan 3-5 tuli sedang-berat yang dapat mengakibatkan gangguan

14
perkembangan bahasa kecuali jika gangguan tersebut dikoreksi. Gangguan
pendengaran dapat menambah angka tadi menjadi 10-20%. Data sensus
Amerika Serikat memperlihatkan bahwa hampir 3% populasi mengalami
gangguan pendengaran termasuk tuli konduktif, tuli sensorineural dan tuli
campuran.

Tidak terdapat predileksi untuk jenis kelamin tertentu. Walaupun


beberapa penyebab gangguan pendengaran herediter atau dapatan rentan pada
jenis kelamin tertentu, namun secara umum prevalensi ketulian seimbang
pada laki-laki dan perempuan.

Kebanyakan gangguan pendengaran merupakan kelainan kongenital


atau didapatkan masa perinatal, namun tentu saja dapat terjadi pada semua
usia. Hampir 10-20% gangguan pendengaran didapatkan pada masa postnatal,
walaupun beberapa penyakit genetik gangguan pendengaran dimulai usia
kanak-kanak atau dewasa.

2.3.3 Patofisiologi Gangguan Pendengaran


Gangguan telinga luar dan telinga tengah dapat menyebabkan tuli
konduktif, sedangkan gangguan telinga dalam menyebabkan tuli
sensorineural, yang terbagi atas tuli koklea dan tuli retrokoklea.

Sumbatan tuba eustachius menyebabkan gangguan telinga tengah


dan akan terdapat tuli konduktif. Gangguan pada vena jugulare berupa
aneurisma akan menyebabkan telinga berbunyi sesuai dengan denyut jantung.

Antara inkus dan maleus berjalan cabang N. Fasialis yang disebut


korda timpani. Bila terdapat radang di telinga tengah atau trauma mungkin
korda timpani terjepit, sehingga timbul gangguan pengecap.

Di dalam telinga dalam terdapat alat keseimbangan dan alat


pendengaran. Obat-obat dapat merusak stria vaskularis, sehingga saraf
pendengaran rusak, dan terjadi tuli sensorineural. Setelah pemakaian obat

15
ototoksik seperti streptomisin, akan terdapat gejala gangguan pendengaran
berupa tuli sensoneural dan gangguan keseimbangan. 4

2.4 Klasifikasi Gangguan Pendengaran

2.4.1 Tuli Konduktif


Pada tuli konduktif terdapat gangguan hantaran suara, disebabkan
oleh kelainan atau penyakit di telinga luar, membran timpani atau telinga
tengah. Gangguan pendengaran konduktif tidak melebihi 60 dB karena
dihantarkan menuju koklea melalui tulang (hantaran melalui tulang) bila
intensitasnya tinggi. Penyebab tersering gangguan pendengaran jenis ini pada
anak adalah otitis media dan disfungsi tuba eustachius yang disebabkan oleh
otitis media sekretori. Kedua kelainan tersebut jarang menyebabkan kelainan
gangguan pendengaran melebihi 40 dB.

2.4.2 Tuli Sensorineural (Sensorineural Deafness)


Pada tuli sensorineural (perseptif) kelainan terdapat pada koklea
(telinga dalam), nervus VIII atau di pusat pendengaran dan batang otak
sehingga bunyi tidak dapat diproses sebagaimana mestinya. Bila kerusakan
terbatas pada sel rambut di koklea, maka sel ganglion dapat bertahan atau
mengalami degenerasi transneural. Bila sel ganglion rusak, maka nervus VIII
akan mengalami degenerasi Wallerian.

Untuk membedakan tuli koklea dan tuli retrokoklea diperlukan


pemeriksaan audiologi khusus yang terdiri dari audiometri khusus, audiometri
objektif, pemeriksaan tuli anorganik dan pemeriksaan audiometri anak.

Tuli sensorineural (perseptif) dibagi dalam tulisensorineural koklea


dan retrokoklea. Tuli sensorineural koklea disebabkan oleh aplasia
(kongenital), labirinitis (oleh bakteri / virus), intoksikasi obat streptomisin,
kanamisin, garamisin, neomisin kina, asetosal atau alkohol. Selain itu juga
dapat disebabkan oleh tuli mendadak (sudden deafness), trauma kapitis,
trauma akustik dan pajanan bising. Tuli sensorineural retrokoklea disebabkan

16
oleh neuroma akustik, tumor sudut pons serebelum, mieloma multipel, cedera
otak, perdarahan otak dan kelainan otak lainnya.

Kerusakan telinga oleh obat, pengaruh suara keras dan usia lanjut
akan menyebabkan kerusakan pada penerimaan nada tinggi di bagian basal
koklea.

2.4.3 Tuli Campur (Mixed Deafness)


Pada tuli campur disebabkan oleh kombinasi tuli konduktif dan tuli
sensorineural. Tuli campur dapat menyebabkan satu penyakit, misalnya
radang telinga tengah dengan komplikasi ke telinga dalam atau merupakan
dua penyakit yang berlainan, misalnya tumor nervus VIII (tulis saraf) dengan
radang telinga tengah (tuli konduktif).4

2.5 Faktor Penyebab Gangguan Pendengaran


Secara garis besar faktor penyebab terjadinya gangguan pendengaran
dapat berasal dari genetik maupun didapat :

a. Faktor Genetik
Gangguan pendengaran karena faktor genetik pada umumnya
berupa gangguan pendengaran bilateral tetapi dapat pula simetrik dan
mungkin bersifat statis maupun progresif. Kelainan dapat bersifat
dominan, resesif, berhubungan dengan kromosom X (contoh : Hunter’s
syndrome, Albert syndrome, Norrie’s disease), kelainan mitokondria
(contoh : Kearns-Sayre syndrome), atau merupakan suatu malformasi pada
satu atau beberapa organ telinga (contoh : stenosis atau atresia kanal
telinga eksternal sering dihubungkan dengan malformasi pinna dan rantai
osikuler yang menimbulkan tuli konduktif).

b. Faktor Didapat
Gangguan pendengaran karena faktor didapat antara lain dapat
disebabkan oleh :

1) Infeksi

17
Rubela kongenital, Cytomegalovirus, Toksoplasmosis, Virus
Herpes Simpleks, meningitis bakteri, otitis media kronik purulenta,
mastoiditis, endolabirintitis, kongenital sifilis.

Toksoplasma, Rubela, Cytomegalovirus menyebabkan gangguan


pendengaran pada 18% dari seluruh kasus gangguan pendengaran
dimana gangguan pendengaran sejak lahir akibat infeksi
Cytomegalovirus sebesar 50%, infeksi Rubela kongenital 50%, dan
Toksoplasma kongenital 10-15%, sedangkan untuk infeksi herpes
simpleks sebesar 10%. Gangguan pendengaran yang terjadi bersifat tuli
sensorineural.

2) Neonatal Hiperbilirubinemia
3) Masalah Perinatal
Masalah perinatal dapat berupa prematuritas, anoksia berat,
hiperbilirubinemia dan obat ototoksik.

4) Obat Ototoksik
Obat-obatan yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran
adalah; Golongan antibiotika berupa erythromicin, gentamicin,
streptomycin, netilmicin, amikacin, neomycin (pada pemakaian tetes
telinga), kanamycin, etiomycin, vancomycin. Pada golongan diuretika
berupa furosemide.

5) Trauma
Fraktur tulang temporal, perdarahan pada telinga tengah atau
koklea, dislokasi osikular, trauma suara.

6) Neoplasma
Bilateral acoustic neurinoma (neurofibromatosis 2),
cerebellopontine tumor, tumor pada telinga tengah (contoh :
rhabdomyosarcoma, glomus tumor).

18
2.6 Penyakit yang Menyebabkan Gangguan Pendengaran

2.6.1 Tuli Konduktif


a. Gangguan Pendengaran Akibat Kelainan Telinga Luar
Gangguan pendengaran dapat terjadi akibat terdapatnya kelainan pada
telinga luar sejak lahir atau kelainan kongenital, diantaranya adalah :

1) Microtia dan Atresia Liang Telinga


Pada mikrotia, daun telinga bentuknya lebih kecil dan tidak
sempurna. Kelainan bentuk ini sering kali disertai dengan tidak
terbentuknya (atresia) liang telinga dan kelainan tulang pendengaran.
Penyebab kelainan ini belum diketahui dengan jelas. Diduga faktor
genetik, infeksi virus, intoksikasi bahan kimia dan obat teratogenik pada
kehamilan muda adalah penyebabnya.

Diagnosis mikrotia dan atresia telinga kongenital dapat ditegakkan


dengan hanya melihat bentuk daun telinga yang tidak sempurna dan liang
telinga yang atresia. Biasanya semakin tidak sempurna bentuk daun telinga
dapat menjadi petunjuk buruknya keadaan di telinga tengah.

Pemeriksaan fungsi pendengaran dan CT-scan tulang temporal


dengan resolusi tinggi diperlukan untuk menilai keadaan telinga tengah
dan telinga dalam. Pemeriksaan ini penting untuk membantu dalam
menentukan kemungkinan berhasilnya operasi konstruksi kelainan telinga
tengah. Operasi bertujuan untuk memperbaiki pendengaran dan
memperbaiki penampilan secara kosmetik.

Pada atresia liang telinga bilateral, untuk mencegah terlambatnya


perkembangan berbahasa dianjurkan untuk memakai alat bantu dengar
hantaran tulang (bone conduction hearing aid) sejak dini, apabila dari CT-
scan tampak adanya koklea yang normal. Kanaloplasti baru dikerjakan
pada usia 5-7 tahun. Pada atresia unilateral operasi dikerjakan setelah usia
dewasa.

19
Komplikasi dari operasi ini adalah paresis N. VII, hilangnya
pendengaran dan yang paling sering adalah terjadinya restenosis.

Gangguan pendengaran dapat terjadi akibat terdapatnya kelainan pada


liang telinga, diantaranya adalah :

1) Serumen
Serumen adalah hasil produksi kelenjar sebasea, kelenjar
seruminosa, epitel kulit yang terlepas dan partikel debu. Dalam keadaan
normal serumen terdapat di ⅓ liang telinga karena kelenjar tersebut hanya
ditemukan di daerah ini. Konsistensinya biasanya lunak, tetapi kadang
kering. Dipengaruhi oleh faktor keturunan, iklim, usia dan keadaan
lingkungan.

Walaupun tidak mempunyai efek anti bakteri maupun anti jamur,


serumen mempunyai efek proteksi. Serumen mengikat kotoran,
menyebarkan aroma yang tidak disenangi serangga sehingga enggan
masuk ke liang telinga. Serumen harus dibedakan dengan penglepasan
kulit yang biasanya terdapat pada orang tua, maupun dengan kolesteatosis
atau keratosis obturans.

Gumpalan serumen yang menumpuk di liang telinga akan


menimbulkan gangguan pendengaran berupa tuli konduktif. Terutama bila
telinga masuk air, serumen mengembang sehingga menimbulkan rasa
tertekan dan gangguan pendengaran semakin dirasakan sangat
mengganggu.

20
Serumen dapat dibersihkan sesuai dengan konsistensinya. Serumen
yang lembek, dibersihkan dengan kapas yang dililitkan pada pelilit kapas.
Serumen yang keras dikeluarkan dengan pengait atau kuret. Apabila
dengan kuret serumen tidak dapat dikeluarkan, maka serumen harus
dilunakkan lebih dahulu dengan tetes karbogliserin 10% selama 3 hari.

Serumen yang sudah terlalu jauh terdorong ke dalam liang telinga


sehingga menimbulkan trauma pada membran timpani sewaktu
mengeluarkannya, dikeluarkan dengan irigasi air hangat yang suhunya
sesuai dengan suhu tubuh. Sebelum melakukan irigasi telinga, harus
dipastikan tidak ada riwayat perforasi pada membran timpani.

2) Benda Asing di Liang Telinga


Benda asing di liang telinga dapat berupa benda mati, benda hidup,
binatang, komponen tumbuh-tumbuhan atau mineral. Bila masih hidup,
binatang di liang telinga harus dimatikan lebih dahulu dengan
memasukkan tampon basah ke liang telinga lalu meneteskan cairan
(misalnya larutan rivanol atau obat anestesi lokal) lebih kurang 10 menit.
Setelah binatang mati, dikeluarkan dengan pinset atau diiragis dengan air
bersih yang hangat.

Adanya benda asing di liang telinga dapat menyebabkan tuli


konduktif. Benda asing yang besar dapat ditarik dengan pengait serumen,
sedangkan yang kecil menggunakan cunam atau pengait.

3) Otitis Eksterna Sirkumskripta

21
Otitis eksterna adalah radang liang telinga akut maupun kronis
yang disebabkan infeksi bakteri, jamur dan virus. Faktor yang
mempermudah radang telinga luar adalah perubahan pH di liang teliang,
yang biasanya normal atau asam. Bila pH menjadi basa, proteksi terhadap
infeksi menurun. Pada keadaan udara yang hangat dan lembab, kuman dan
jamur mudah tumbuh. Predisposisi otitis eksterna yang lain adalah trauma
ringan ketika mengorek telinga.

Otitis eksterna sirkumskripta karena kulit di ⅓ luar liang telinga


mengandung adneksa kulit, seperti folikel rambut, kelenjar sebasea dan
kelenjar serumen, maka di tempat itu dapat terjadi infeksi pada
pilosebaseus sehingga membentuk furunkel.

Kuman penyebab biasanya Staphylococcus aureus atau


Staphylococcus albus. Gejalanya adalah rasa nyeri hebat, tidak sesuai
dengan besar bisul. Hal ini disebabkan karena kulit liang telinga tidak
mengandung jaringan longgar di bawahnya, sehingga rasa nyeri timbul
pada penekanan perikondrium. Rasa nyeri dapat timbul spontan pada
waktu membuka mulut. Selain itu juga terdapat gangguan pendengaran,
bila furunkel besar dan menyumbat liang telinga.

Terapi tergantung pada keadaan furunkel. Bila sudah menjadi


abses, diaspirasi secara steril untuk mengeluarkan nanahnya. Lokal
diberikan antibiotik dalam bentuk salep, seperti polymixin B atau
bacitracin, atau antiseptik (asam asetat 2-5% dalam alkohol). Kalau
dinding furunkel tebal, dilakukan insisi kemudian dipasang drain untuk
mengalirkan nanah. Biasanya tidak perlu diberikan antibiotik secara
sistemik, hanya diberikan obat simtomatik seperti analgetik dan obat
penenang.

22
4) Osteoma Liang Telinga
Osteoma merupakan tumor jinak mesenkim osteoblas yang terdiri
dari diferensiasi jaringan tulang matur. Osteoma liang telinga merupakan
tumor tulang jinak yang berasal dari pars timpani tulang temporal.

Osteoma liang telinga biasanya asimtomatik, tetapi akan


menimbulkan gejala apabila telah terjadi obstruksi liang telinga yang bisa
menimbulkan gejala berupa tuli konduktif. Gejala lainnya dapat berupa
otorrea, otalgia, otitis eksterna, kolesteatoma.

Penatalaksanaan osteoma liang telinga ini terbagi menjadi


terapi konservatif dan terapi pembedahan. Terapi konservatif bertujuan
mencegah otitis eksterna dan tuli konduktif, yang disebabkan oleh
akumulasi dari deskuamasi epitel skuamosa. Hal ini dapat dilakukan
dengan membuang deskuamasi epitel dan dengan menggunakan antibiotik
topikal.

Pembedahan dilakukan pada pasien dengan tuli konduktif


disebabkan oleh obstruksi tulang dan pasien dengan otitis eksterna yang
sulit dikontrol secara klinis.

b. Gangguan Pendengaran Akibat Kelainan Telinga Tengah


Terdapat beberapa kelainan yang bisa kita temukan di telinga
tengah, seperti gangguan fungsi tuba eustachius, barotrauma (aerotitis),
otitis media, otosklerosis.

1) Gangguan fungsi tuba eustachius

23
Tuba Eustachius adalah saluran yang menghubungkan rongga
telinga tengah dengan nasofaring. Fungsi tuba ini adalah untuk ventilasi,
drainase sekret dan menghalangi masuknya sekret dari nasofaring ke
telinga tengah. Ventilasi berguna untuk menjaga agar tekanan udara dalam
telinga tengah selalu sama dengan tengan udara luar. Tuba biasanya dalam
keadaan tertutup dan baru terbuka apabila oksigen diperlukan masuk ke
telinga tengah atau pada saat mengunyah, menelan dan menguap.
Gangguan fungsi tuba eustachius didefinisikan sebagai ketidakmampuan
tuba eustachius untuk menjalankan fungsinya secara adekuat. Penyebab
patologis obstruksi tuba eustachius dibagi menjadi 2, yaitu instrinsik
(intraluminal) dan ekstrinsik (ekstraluminal). Penyebab intrinsik tersering
adalah peradangan pada mukosa tuba eustachius, baik karena infeksi,
alergi, atau paparan bahan iritan. Penyebab ekstrinsik yaitu adanya
penekanan pada jaringan perituba, termasuk jaringan perilimfe yang
mengalami pembesaran baik akibat radang, neoplasma, atau septum
deviasi pada hidung.8

a. Tuba terbuka abnormal ialah tuba terus menerus terbuka, sehingga


udara masuk ke telinga tengah waktu respirasi. Keadaan ini dapat
disebabkan oleh hilangnya jaringan lemak di sekitar mulut tuba
sebagai akibat turunnya berat badan yang hebar, penyakit kronis
tertentu seperti rinitis atrofi dan faringitis, gangguan fungsi otot seperti
myastenia gravis, penggunaan obat anti hamil pada wanita dan
penggunaan estrogen pada laki-laki. Keluhan pasien biasanya berupa
ras penuh dalam telinga atau autofoni (gema suara sendiri terdengar
lebih keras). Pasien biasanya mengalami stress berat akibat keluhan
yang sangat mengganggu. Pada pemeriksaan klinis dapat dilihat
membran timpani yang atrofi, tipis dan bergerak pada respirasi.
Pengobatan pada keadaan ini kadang cukup dengan memberikan obat
penenang saja. Bila tidak berhasil dapat dipertimbangkan untuk
memasang pipa ventilasi (Grommet).

24
b. Obstruksi tuba dapat terjadi oleh berbagai kondisi, seperti
peradangan di nasofaring, peradangan adenoid atau tumor
nasofaring. Gejala klinik awal adalah terbentuknya cairan pada
telinga tengah (otitis media serosa). Oleh karena itu setiap pasien
dewasa dengan otiti smedia serosa kronik unilateral harus
dipikirkan kemungkinan adanya karsinoma nasofaring. Sumbatan
mulut tuba di nasofaring juga dapat terjadi oleh tampon posterior
hidung (Bellocq tampon) atau oleh sikatriks yang terjadi akibat
trauma operasi (adenoidektomi).

2) Barotrauma

Barotrauma (aerotitis) adalah keadaan dengan terjadinya perubahan


tekanan yang tiba{iba di luar telinga tengah sewaktu di pesawat terbang
atau menyelam, yang menyebabkan tuba gagal untuk membuka. Apabila
perbedaan tekanan melebihi 90 cmHg, maka otot yang normal aktivitasnya
tidak mampu membuka tuba. Pada keadaan ini terjadi tekanan negatif di
rongga telinga tengah, sehingga cairan keluar dari pembuluh darah kapiler
mukosa dan kadang-kadang disertai dengan ruptur pembuluh darah,
sehingga cairan di telinga tengah dan rongga mastoid tercampur darah.
Keluhan pasien berupa kurang dengar, rasa nyeri dalam telinga, autofoni,
perasaan ada air dalam telinga dan kadang-kadang tinitus dan vertigo.
Pengobatan biasanya cukup dengan cara. konservatif saja, yaitu dengan
memberikan dekongestan lokal atau dengan melakukan perasat Valsava
selama tidak terdapat infeksi di jalan napas atas. Apabila cairan atau cairan
yang bercampur darah menetap di telinga tengah sampai beberapa minggu,
maka dianjurkan untuk tindakan miringotomi dan bila perlu memasang pipa
ventilasi (Grommet). Usaha preventif barotrauma dapat dilakukan dengan
selalu mengunyah permen karet atau melakukan perasat Valsava, terutama
sewaktu pesawat terbang mulai turun untuk mendarat.9

3) Otitis Media Akut

25
Otitis media akut ialah peradangan sebagian atau seluruh mukosa
telinga tengah, tuba Eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mast. Sumbatan
pada tuba Eustachius merupakan penyebab utama dari otitis media. Saat
pertahanan tubuh pada silia mukosa tuba Eustachius terganggu
mengakibatkan mekanisme pencegahan invasi kuman ke dalam telinga
tengah terganggu juga sehingga terjadi peradangan. infeksi Saluran
Pernapasan Atas juga merupakan salah satu faktor penyebab yang paling
sering. Kuman penyebab OMA adalah bakteri piogenik, seperti
Streptococcus hemoliticus, Haemophilus Influenzae (27%), Staphylococcus
aureus (2%), Streptococcus Pneumoniae (38%), Pneumococcus. Pada anak-
anak, makin sering terserang ISPA, makin besar kemungkinan terjadinya
otitis media akut (OMA). Pada bayi, OMA dipermudah karena tuba
Eustachiusnya pendek, lebar, dan letaknya agak horison.

OMA memiliki beberapa stadium berdasarkan pada gambaran membran


timpani yang diamati melalui liang telinga luar yaitu stadium oklusi,
stadium hiperemis, stadium supurasi, stadium perforasi dan stadium
resolusi.

Pada stadium oklusi tuba Eustachius perdapat gambaran retraksi


membran timpani akibat tekanan negatif di dalam telinga tengah akibat
absorpsi udara. Membran timpani berwarna normal atau keruh pucat dan
sukar dibedakan dengan otitis media serosa virus. terapi dikhususkan
untuk membuka kembali tuba eustachius. Diberikan obat tetes hidung HCl
efedrin 0,5% dalam larutan fisiologik untuk anak <12 tahun dan HCl
efedrin 1% dalam larutan fisiologik untuk anak yang berumur >12 tahun
atau dewasa. Selain itu, sumber infeksi juga harus diobati dengan
memberikan antibiotik.

Pada stadium hiperemis, pembuluh darah tampak lebar dan edema pada
membran timpani. Sekret yang telah terbentuk mungkin masih bersifat
eksudat yang serosa sehingga sukar terlihat. diberikan antibiotik, obat tetes
hidung, dan analgesik. Antibiotik yang diberikan ialah penisilin atau
eritromisin. Jika terdapat resistensi, dapat diberikan kombinasi dengan
asam klavunalat atau sefalosporin. Untuk terapi awal diberikan penisilin
IM agar konsentrasinya adekuat di dalam darah sehingga tidak terjadi
mastoiditis yang terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa,
dan kekambuhan. Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Bila alergi
terhadap penisilin maka diberikan eritromisin. Pada anak diberikan
ampisilin 4x50-100 mg/KgBB, amoksisilin 4x40 mg/KgBB/hari, atau
eritromisin 4x40 mg/kgBB/hari.

26
Pada stadium supurasi, edema yang hebat pada mukosa telinga tengah
dan hancurnya sel epitel superfisila serta terbentuk eksudat purulen di
kavum timpani menyebabkan membran timpani menonjol (bulging) ke
arah liang telinga luar. Pasien tampak sangat sakit, nadi dan suhu
meningkat, serta nyeri di telinga tambah hebat. Apabila tekanan nanah di
kavum timpani tidak berkurang, maka terjadi iskemia. Nekrosis ini pada
membran timpani terlihat sebagai daerah yang lembek dan berwarna
kekuningan. Di tempat ini akan terjadi ruptur. Selain antibiotik, pasien
harus dirujuk untuk dilakukan miringotomi bila membran timpani masih
utuh. Selain itu, analgesik juga perlu diberikan agar nyeri dapat berkurang.
Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran timpani, agar
terjadi drenase sekret dari telinga tengah ke liang telinga luar.

Pada stadium perforasi, karena beberapa sebab seperti terlambatnya


pemberian antibiotika atau virulensi kuman yang tinggi maka dapat
menyebabkan membran timpani ruptur. Keluar nanah dari telinga tengah
ke telinga luar. Anak yang tadinya gelisah akan menjadi lebih tenang, suhu
badan turun, dan dapat tidur nyenyak. sering terlihat sekret banyak keluar
dan kadang terlihat sekret keluar secara berdenyut. Diberikan obat cuci
telinga H2O2 3% selama 3-5 hari serta antibiotik yang adekuat sampai 3
minggu.

Pada stadium resolusi, bila terjadi perforasi, maka sekret akan


berkurang dan mengering dan edem mukosa menghilang,perforasi akan
semakin menutup. Resolusi dapat terjadi tanpa pengobatan bila virulensi
rendah dan daya tahan tubuh baik.

Pengobatan OMA tergntung stadium penyakitnya. Pada stadium oklusi,


pengobatan terutama bertujuan untuk membuka kembali tuba eustachius,
sehingga tekanan negatif pada telinga tengah hilang, sehingga diberikan
obat tetes hidung HCl efedrin 0,5 % dalam larutan fisiologik untuk anak <
12 tahun, atau HCl efedrin 1 % dalam larutan fisiologik untuk anak > 12
tahun dan pada orang dewasa. Sumber infeksi harus diobati antibiotik
diberikan jika penyebabnya kuman, bukan oleh virus atau alergi.

Stadium Presupurasi adalah antibiotika, obat tetes hidung dan


analgetika. Bila membran timpani sudah terlihat hiperemis difus,
sebaiknya dilakuka miringotomi. Antibiotik yang dianjurkan ialah dari
golongan penisilin atau ampicilin. Terapi awal diberikan penicillin
intramuscular agar didapatkan konsentrasi yang adekuat di dalam darah,
sehingga tidak terjadi mastoiditis yang terselubung,. Gangguan
pendengaran sebagai gejala sisa dan kekambuhan. Pemberian antibiotika

27
dianjurkan minimal 7 hari . Bila pasien alergi terhadap penisilin, maka
diberikan eritromisin. Pada anak, ampisilin diberikan dengan dosis 50 –
100 mg/kgBB per hari, dibagi dalam 4 dosis, atau amoksisilin 40
mb/kgBB dibagi dalam 3 dosis, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari.

Pada stadium supurasi disamping diberikan antibiotik, idealnya harus


disertai dengan miringotomi, bila membran timpani masih utuh. Dengan
miringotomi gejala – gejala klinis lebih cepat hilang dan ruptur dapat
dihindari.

Pada stadium perforasi sering terlihat sekret banyak keluar dan kadang
terlihat keluarnya sekret secara berdenyut (pulsasi). Pengobatan yang
diberikan adalah obat cuci telinga H2O2 3% selama 3 – 5 bhari serta
antibiotik yang adekuat. Biasanya sekret akan hilang dan perforasi dapat
menutup kembali dalam waktu 7 – 10 hari.

Pada stadium resolusi, maka membran timpani berangsur normal


kembali sekret tidak ada lagi dan perforasi membran timpani menutup.
Bila tidak terjadi resolusi biasanya akan tampak sekret mengalir di liang
telinga luar melalui perforasi membran timpani. Keadaan ini dapat
disebabkan karena berlanjutnya edema mukosa teling tengah. Pada
keadaan demikian, antibiotika dapat dilajutkan sampai 3 minggu. Bila 3
minggu setrelah pengobatan sekret masih tetap banyak, kemungkinan telah
terjadi mastoiditis.9

4) Otitis Media Supuratif Kronis

Otitis media supuratif kronis (OMSK) adalah radang kronis mukosa


telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya
secret dari liang telinga (otore) lebih dari dua bulan, baik terus-menerus
atau hilang timbul. World Health Organization (WHO ) menyatakan
otorea minimal 2 minggu sudah termasuk OMSK. Otorea dapat terjadi
terus menerus atau hilang timbul.10

OMSK terbagi atas 2 bagian:

1) OMSK benigna (Tubotimpani)

Proses peradangan yang terbatas pada mukosa, tidak mengenai


tulang. Perforasi letak di sentral. Umumnya OMSK tipe benigna jarang
menimbulkan komplikasi yang berbahaya. Pada OMSK tipe benigna ini
tidak terdapat kolesteatom.

28
- Tipe aktif (wet perforation) : Mukosa mengalami inflamasi dan
terdapat discharge mukopurulen.
- Tipe inaktif (dry perforation) : Tidak terdapat inflamasi pada mukosa
dan tidak ditemukan discharge mukopurulen.
- Perforasi permanen : Perforasi sentral tipe dry yang tidak sembuh
dalam waktu lama mengindikasikan epitel skuamus eksternal dan
mukosa internal mengalami fusi pada daerah tepi perforasi.
- Otitis media kronik fase perbaikan : Perforasi akan tertutup oleh
membran tipis. Berkaitan juga dengan timpanosklerosis dan kurang
pendengaran tipe konduktif.

2) OMSK maligna (Atticoantral)

Peradangan yang disertai kolesteatom yang menyebabkan erosi


pada tulang dan perforasi membran timpani, biasanya terletak di marginal
atau atik di kuadran posterosuperior pars tensa. Pada banyak kasus
terdapat granulasi dan osteitis.

- Inaktif : Kantung di bagian posterosuperior pars tensa atau regio atik


berpontensi terbentuknya kolesteatom.
- Aktif : Kolesteatom secara aktif mengikis tulang,membentuk jaringan
granulasi dan keluar discharge berbau busuk terus menerus dari
telinga.

Terapi OMSK tidak jarang memerlukan waktu lama, serta harus


berulang-ulang. Sekret yang keluar tidak cepat kering atau selalu kambuh
lagi. Keadaan ini antara lain disebabkan oleh satu atau beberapa keadaan,
yaitu

1) Adanya perforasi membran timpani yang permanen, sehingga telinga


tengah berhubungan dengan dunia luar.

2) Terdapat sumber infeksi di faring, nasofaring, hidung dan sinus


paranasal.

3) Sudah terbentuk jaringan patologik yang ireversibel dalam rongga


mastoid, dan

4) Gizi dan higiena yang kurang.

Prinsip terapi OMSK tipe aman ialah konservatif atau dengan


medikamentosa. Bila sekret yang keluar terus menerus, maka diberikan
obat pencuci telinga, berupa larutan H2O2 3 % selama 3-5 hari. Setelah
sekret berkurang, maka terapi dilanjutkan dengan memberikan obat tetes

29
telinga yang mengandung antibiotika dan kortikosteroid. Secara oral
diberikan antibiotika dari golongan ampisilin, atau eritromisin, (bila pasien
alergi terhadap penisilin), sebelum hasil tes resistensi diterima. Pada
infeksi yang dicurigai karena penyebabnya telah resisten terhadap
ampisilin dapat diberikan ampisilin asam klavulanat. Bila sekret telah
kering, tetapi perforasi nyasih ada setelah diobservasi selama 2 bulan,
maka idealnya dilakukan miringoplasti atau timpanoplasti. Operasi ini
bertujuan untuk menghentikan infeksi secara permanen, memperbaiki
membran timpani yang perforasi, mencegah terjadinya komplikasi atau
kerusakan pendengaran yang lebih berat, serta memperbaiki pendengaran.

Bila terdapat sumber infeksi yang menyebabkan sekret tetap ada, atau
terjadinya infeksi berulang, maka sumber infeksi itu harus diobati terlebih
dahulu, mungkin juga perlu melakukan pembedahan, misalnya
adenoidektomi dan tonsilektomi. Prinsip terapi OMSK tipe bahaya ialah
pembedahan, yaitu mastoidektomi. Jadi, bila terdapat OMSK tipe bahaya,
maka terapi yang tepat ialah dengan melakukan mastoidektomi dengan
atau tanpa timpanopplasti. Terapi konservatif dengan medikamentosa
hanyalah merupakan terapi sementara sebelum dilakukan pembedahan.
Bila terdapat abses sub periosteal retroaurikuler,maka insisi abses
dilakukan sendiri sebelum mastoidektomi.

Ada beberapa jenis pembedahan atau teknik operasi yang dapat


dilakukan pada OMSK dengan mastoiditis kronis, baik tipe aman atau
bahaya yaitu mastoidektomi sederhana (simple mastoidectomy),
mastoidektomi radikal, mastoidektomi radikal dengan modifikasi,
miringoplasti, timpanoplasti, pendekatan ganda timpanoplasti (Combined
approach tympanoplasty).10

5) Otitis Media Non Supuratif (Otitis Media Serosa)

Otitis media serosa adalah keadaan terdapatnya sekret nonpurulen di


telinga tengah, sedangkan membran timpani utuh. Adanya cairan di telinga
tengah dengan membran timpani utuh tanpa tanda-tanda infeksi disebut
juga otitis media dengan efusi. Apabila efusi tersebut encer disebut otitis
media serosa dan apabila efusi tersebut kental seperti lem disebut otitis
media mukoid (glue ear). Otitis media serosa terjadi terutama akibat
adanya transudat atau plasma yang mengalir dari pembuluh darah ke
telinga tengah yang sebagian besar terjadi akibat adanya perbedaan
tekanan hidrostatik. Pada Otitis media mukoid, cairan yang ada di telinga
tengah timbul akibat sekresi aktif dari kelenjar dan kista yang terdapat di

30
dalam mukosa telinga tengah, tuba eustachius, dan rongga mastoid. Otitis
media serosa / otitis media sekretoria / otitis media mukoid / otitis media
efusi terbatas pada keadaan dimana terdapat efusi dalam kavum timpani
dengan membran timpani utuh tanpa tanda-tanda radang. Bila efusi
tersebut berbentuk pus, disertai tanda-tanda radang maka disebut otitis
media akut (OMA).10

6) Otosklerosis

Otosklerosis merupakan penyakit pada kapsul tulang labirin yang


mengalami spongiosis di daerah kaki stapes, sehingga stapes menjadi kaku
dan tidak dapat menghantarkan getaran suara ke labirin dengan baik.
Gejala biasanya didapatkan pendengaran terasa berkurang secara
progresif. Keluhan lain yang paling sering adalah tinnitus dan kadang
vertigo. Pada pemeriksaan didapatkan membran timpani utuh atau dalam
batas normal. Tuba biasanya paten dan tidak terdapat riwayat penyakit
telinga atau trauma kepala atau telinga sebelumnya. Diagnosis diperkuat
dengan pemeriksaan audiometri dana murni dan pemeriksaan impedance.
Pengobatan penyakit ini adalah 19 operasi stapedektomi atau stapedotomi,
yaitu stapes diganti dengan bahan protesis. Pada kasus yang tidak dapat
dilakukan operasi, alat bantu dengar (ABD) dapat sementara membantu
pendengaran pasien.10

2.6.2 Tuli Sensorineural


1. Labirinitis
Merupakan suatu proses radang yang melibatkan telinga dalam yaitu
labirin. Labirinitis dapat disebabkan oleh bakteri atau virus. Labirinitis
bakteri (supuratif) mungkin terjadi sebagai perluasan infeksi dari rongga
telinga tengah melalui fistula tulang labirin oleh kolesteatom tetapi dapat juga
timbul sebagai perluasan infeksi dari meningitis bakteri melalui cairan yang
menghubungkan ruangan subaraknoid dengan ruang perilimfe di koklea.
Labirinitis Viral adalah infeksi labirin yang disebabkan oleh berbagai macam
virus, penyakit ini dikarakteristikan dengan adanya berbagai penyakit yang
disebabkan virus dengan gejala klinik yang berbeda seperti infeksi mumps,
virus influenza.

31
Terdapat dua bentuk labirinitis, yaitu labirinitis serosa dan labirinitis
supuratif. Labirinitis serosa dapat berbentuk labirinitis serosa difus dan
labirinitis serosa sirkumskripta. Labirinitis supuratif dibagi dalam bentuk
labirinitis supuratif akut difus dan labirinitis supuratif kronik difus.

Labirinitis secara klinis terdiri dari 2 subtipe, yaitu :

1. Labirinitis Lokalisata (labirinitis sirkumkripta, labirinitis serosa)


merupakan komplikasi otitis media dan muncul ketika mediator toksik dari
otitis media mencapai labirin bagian membran tanpa adanya bakteri pada
telinga dalam . Gejala yang timbul pada labirinitis lokalisata merupakan hasil
dari ganguan fungsi vestibular dan ganguan koklea yaitu terjadinya vertigo
dan kurang pendengaran derajat ringan hingga menengah secara tiba- tiba,
sebagian besar kasus membaik sejalan dengan waktu, kerusakan terjadi
bersifat reversible .

2. Labirinitis Difusa (labirinitis purulenta, labirinitis supuratif) merupakan


suatu keadaan infeksi pada labirin yang lebih berat dan melibatkan akses
langsung mikroorganisme ke labirin tulang dan membran. Pada labirinitis
difusa (supuratif) gejala mirip dengan labirinitis lokalisata namun perjalanan
penyakit labirinitis difusa lebih cepat dan berlangsung hebat, ganguan
vestibular, vertigo yang hebat, mual, muntah dengan disertai nistagmus,
gangguan pendengaran menetap tipe sensorineural, tidak ada demam dan
sakit pada telinga.

Pemberian antibiotika yang adekuat terutama ditujukan kepada


pengobatan otitis media kronik dengan / tanpa kolesteatoma. Beberapa obat
antivirus mungkin berguna jika kondisi ini disebabkan oleh infeksi virus.
Drainase bedah atau eksenterasi labirin tidak di indikasikan, kecuali suatu
fokus di labirin telah menjalar atau dicurigai menyebar ke struktur
intrakaranial dan tidak memberi respons terhadap terapi antibiotika. Bila ada
indikasi dapat dilakukan mastoidektomi. Bila dicurigai ada fokus infeksi
dilabirin atau di os petrosus, dapat dilakukan drainase labirin dengan salah

32
satu operasi labirin. Jika kehilangan pendengaran secara permanen maka alat
bantu dengar akan bermanfaat.11

2. Obat ototoksik
Obat ototoksik merupakan obat yang dapat menimbulkan gangguan fungsi
dan degenerasi seluler telinga dalam dan saraf vestibuler. Gejala utama yang
dapat timbul akibat ototoksisitas ini adalah tinnitus, vertigo, dan gangguan
pendengaran yang bersifat sensorineural. Tinitus yang berhubungan dengan
ototoksisitas cirinya kuat dan bemada tinggi, berkisar antara 4 KHz sampai 6
KHz. Tuli akibat ototoksik yang menetap malahan dapat terjadi berhari-hari,
berminggu-minggu atau berbulan-bulan setelah selesai pengobatan. Biasanya
tuli bersifat bilateral, tetapi tidak jarang yang unilateral.

Kerusakan yang ditimbulkan oleh preparat ototoksik tersebut antara lain:

● Degenerasi stria vaskularis. Kelainan patologi ini terjadi pada


penggunaan semua jenis obat ototoksik
● Degenerasi sel epitel sensori. Kelainan patologi ini terjadi pada organ
korti dan labirin vestibular, akibat penggunaan antibiotika
aminoglikosida sel rambut luar lebih terpengaruh daripada sel rambut
dalam, dan perubahan degeneratif ini terjadi dimulai dari basal koklea
dan berlanjut terus hingga akhirnya sampai ke bagian apeks
● Degenerasi sel ganglion. Kelainan ini terjadi sekunder akibat adanya
degenerasi dari sel epitel sensori
Ada beberapa obat yang tergolong ototoksik, diantaranya:

● Antibiotik
Aminogliksida : streptomisin, neomisin, kanamisin, gentamisin,
Tobramisin, Amikasin dan yang baru adalah Netilmisin dan Sisomisin.

Golongan macrolide: Eritromisin

Antibiotic lain: kloramfenikol

● Loop diuretic : Furosemid, Ethyrynic acid, dan Bumetanides

33
● Obat anti inflamasi : salisilat seperti aspirin
● Obat anti malaria : kina dan klorokuin
● Obat anti tumor : bleomisin, cisplatin
Tuli yang diakibatkan oleh obatobat ototoksik tidak dapat diobati. Bila pada
waktu pemberian obat-obat ototoksik terjadi gangguan pada telinga dalam (dapat
diketahui secara audiomekik), maka pengobatan dengan obat-obatan tersebut
harus segera dihentikan. Berat ringannya ketulian yang terjadi tergantung kepada
jenis obat, jumlah dan lamanya pengobatan. Kerentanan pasien termasuk yang
menderita insufisiensi ginjal dan sifat obat itu sendiri. Berhubung tidak ada
pengobatan untuk tuli akibat obat ototoksik, maka pencegahan menjadi lebih
penting. Dalam melakukan pencegahan ini termasuk mempertimbangkan
penggunaan obat-obat ototoksik, menilai kerentanan pasien, memonitor efek
samping secara dini, yaitu dengan memperhatikan gejala-gejala keracunan telinga
dalam yang timbul seperti tinitus, kurang pendengaran dan vertigo. Pada pasien
yang menunjukkan mulai ada gejala-gejala tersebut harus dilakukan evaluasi
audiologik dan menghentikan pengobatan.12

3. Presbikusis
Presbikusis adalah tuli sensorineural frekuensi tinggi, umumnya terjadi
mulai usia 65 tahun, simetris pada telinga kiri dan kanan. Prebiskusis dapat
mulai pada frekuensi 1000 Hz atau lebih. Progresifitas penurunan
pendengaran dipengaruhi oleh usia dan jenis kelamin, pada laki-laki lebih
cepat dibandingkan dengan perempuan. Presbikusis terjadi akibat proses
degenerasi. Diduga kejadian presbikusis mempunyai hubungan dengan
faktor-faktor herediter, pola makanan, metabolisme, arteriosklerosis, infeksi,
bising, gaya hidup atau bersifat multifaktor. Menurunnya fungsi pendengaran
secara berangsur merupakan efek kumulatif dari pengaruh faktorfaktor
tersebut di atas. Proses degenerasi menyebabkan perubahan struktur koklea
dan N.VIII. Pada koklea perubahan yang mencolok ialah atrofi dan
degenerasi sel-sel rambut penunjang pada organ Corti. Proses atrofi disertai
dengan perubahan vaskular juga terjadi pada stria vaskularis. Selain itu

34
terdapat pula perubahan, berupa berkurangnya jumlah dan ukuran sel-sel
ganglion dan saraf. Hal yang sama terjadi juga pada myelin akson saraf.
Berdasarkan perubahan patologik yang terjadi, Schuknecht dkk
menggolongkan presbikusis menjadi :

Keluhan utama presbikusis berupa berkurangnya pendengaran secara


perlahan-lahan dan progresif, simetris pada kedua telinga. Kapan
berkurangnya pendengaran tidak diketahui pasti. Keluhan lainnya adalah
telinga berdenging (tinnitus nada tinggi). Pasien dapat mendengar suara
percakapan, tetapi sulit untuk memahaminya, terutama bila diucapkan dengan
cepat di tempat dengan latar belakang yang bising (cokctail party deafness).
Bila intensitas suara ditinggikan akan timbul rasa nyeri di telinga, hal ini
disebabkan oleh faktor kelelahan saraf (recruitment). Dengan pemeriksaan
otoskopik, tampak membran timpani suram, mobilitasnya berkurang. Pada tes
penala didapatkan tuli sensorineural. Pemeriksaan audiometri nada murni
menunjukkan suatu tuli saraf nada tinggi, bilateral dan simetris. Rehabilitasi
sebagai upaya mengembalikan fungsi pendengaran dilakukan dengan
pemasangan alat bantu dengar (hearing aid). Adakalanya pemasangan alat
bantu dengar perlu dikombinasikan dengan latihan membaca ujaran (speech
reading) dan latihan mendengar (audiotory training); prosedur pelatihan
tersebut dilakukan bersama ahli terapi wicara (speech therapist).

35
4. Tuli mendadak
Tuli mendadak (sudden deafness) ialah tuli yang terjadi secara tiba tiba
yang penyebabnya tidak dapat langsung diketahui, biasanya terjadi pada satu
telinga. Penurunan pendengaran sensorineural 30 dB atau lebih, paling
sedikit tiga frekuensi berturut-turut pada pemeriksaan audiometri dan
berlangsung dalam waktu kurang dari 3 hari. Kerusakan terutama di koklea
dan biasanya bersifat permanen, kelainan ini dimasukkan ke dalam keadaan
darurat neurotologi. Tuli mendadak dapat disebabkan oleh berbagai hal,
antara lain oleh iskemia koklea, infeksi virus, bauma kepala, trauma bising
yang keras, perubahan tekanan atnosfir, autoimun, obat ototoksik, penyakit
Meniere dan neuroma akustik. Tetapi yang biasanya dianggap sebagai
etiologi dan sesuai dengan definisi di atas adalah iskemia koklea dan
infeksivirus. lskemia koklea merupakan penyebab utama tuli mendadak.
Keadaan ini dapat disebabkan oleh karena spasme, trombosis atau perdarahan
arteri auditiva interna. Pembuluh darah ini merupakan arteri ujung (end
artery), sehingga bila terjadi gangguan pada pembuluh darah ini koklea
sangat mudah mengalami kerusakan. lskemia mengakibatkan degenerasi luas
pada sel-sel ganglion stria vaskularis dan ligamen spiralis. Kemudian diikuti
oleh pembentukan jaringan ikat dan penulangan. Kerusakan sel-sel rambut
tidak luas dan membran basal jarang terkena. Beberapa jenis virus, seperti
virus parotis, virus campak, virus influensa B dan mononukleosis
menyebabkan kerusakan pada organ corti, membran tektoria dan selubung
myelin saraf akustik. Ketulian yang terjadi biasanya berat, terutama pada
frekuensi sedang dan tinggi.

Tuli dapat unilateral atau bilateral, dapat disertai dengan tinitus dan
vertigo. Pada infeksi virus, timbulnya tuli mendadak biasanya pada satu
telinga, dapat disertai dengan tinitus dan vertigo. Kemungkinan ada gejala
dan tanda penyakit virus seperti parotis, varisela, variola atau pada anamnesis
baru sembuh dari penyakit virus tersebut. Pada pemeriksaan klinis tidak
terdapat kelainan telinga. Pada pemeriksaan pendengaran (audiologi)

36
1. Tes penala ditemukan Rinne positif, Weber lateralisasi ke telinga
yang sehat, Schwabach memendek (kesan tuli sensorineural).
2. Audiometri nada murni : tuli sensorineural ringan sampai berat.
3. Tes SlSl (short increment sensitivity index) Skor : 100% atau
kurang dari 70 % Kesan : dapat ditemukan rekrutmen -
4. Tes Tone decay atau refleks kelelahan negatif , Kesan : bukan tuli
retrokoklea
5. Audiometri tutur (speech audiometry) SDS (speech discrimination
score) Kurang dari 100% Kesan : tuli sensorineural
6. Audiometri impedans : Timpanogram tipe A (normal) refleks
stapedius ipsilateral negatif atau positif sedangkan kontra lateral
positif. Kesan : tuli sensorineural koklea.
Penatalaksanaan berupa Tirah baring sempuma (totalbed resf) istirahat
fisik dan mental selama dua minggu untuk menghilangkan atau mengurangi
stres yang besar pengaruhnya pada keadaan kegagalan neurovaskular.
Vasodilatansia injeksi yang cukup kuat diseftai dengan pemberian tablet
vasodilator oral tiap hari. Prednison (kortikosteroid) 4 X 10 mg (2 tablet),
tapering off liap 3 hari (hati-hati pada pasien diabetes melitus) . Vitamin C
500 mg 1 x 1 tableUhari, vitamin E'1 x'1 tablet . Neurobion (neurotonik) 3X 1
tableVlhari . Diit rendah garam dan rendah kolesterol . lnhalasi oksigen 4 X
15 menit (2 liter / menit) Obat anti virus sesuai dengan virus penyebab.
Hiperbarik oksigen terapi (HB) . Evaluasi fungsi pendengaran dilakukan
setiap minggu selama satu bulan Kallinen et al (1997)s mendefinisikan
perbaikan pendengaran pada tuli mendadak adalah sebagai berikut:

● Sangat baik, apabila perbaikan lebih dari 30 dB pada 5 frekuensi.


● Sembuh, apabila perbaikan ambang pendengaran kurang dari 30 dB
pada frekuensi 250 Nz,500Hz, 1000 Hz, 2000H2 dan di bawah 25 dB
pada frekuensi 4000 Hz.
● Baik apabila bila rerata perbaikan 10-30 dB pada 5 frekuensi.

37
● Tidak ada perbaikan, apabila terdapat perbaikan kurang dari '10 dB
pada 5 frekuensi.
Bila gangguan pendengaran tidak sembuh dengan pengobatan di atas, dapat
dipertimbangkan pemasangan alat bantu dengar (heaing aid) Apabila dengan alat
bantu dengar juga masih belum dapat berkomunikasi secara adekuat perlu
dilakukan psikoterapi dengan tujuan agar pasien dapat menerima keadaan.
Rehabilitasi pendengaran agar dengan sisa pendengaran yang ada dapat digunakan
secara maksimal bila memakai alat bantu dengar dan rehabilitasi suara agar dapat
mengendalikan volume, nada dan intonasi oleh karena pendengarannya tidak
cukup untuk mengontrol hal tersebut.13

5. Gangguan pendengaran akibat bising


Gangguan pendengaran akibat bising (noise induced hearing loss) ialah
gangguan pendengaran yang disebabkan akibat terpajan oleh bising yang
cukup keras dalam jangka waktu yang cukup lama dan biasanya diakibatkan
oleh bising lingkungan kerja. Sifat ketuliannya adalah tuli sensorineural
koklea dan umumnya terjadi pada kedua telinga. Secara umum bising adalah
bunyi yang tidak diinginkan. Secara audiologik bising adalah campuran bunyi
nada murni dengan berbagai frekuensi. Bising yang intensitasnya 85 desibel
(dB) atau lebih dapat mengakibatkan kerusakan pada reseptor pendengaran
Corti di telinga dalam. Yang sering mengalami kerusakan adalah alat Corti
untuk reseptor bunyi yang berfrekuensi 3000 Hertz(Hz) sampai dengan 6000
Hz dan yang terberat kerusakan alat Corti untuk reseptor bunyi yang
berfrekuensi 4000 Hz

Gejala yang timbul dapat berupa kurang pendengaran disertai tinitus


(berdenging ditelinga) atau tidak. Bila sudah cukup berat disertai keluhan
sukar menangkap percakapan dengan kekerasan biasa dan bila sudah lebih
berat percakapan yang keraspun sukar dimengerti. Secara klinis pajanan
bising pada organ pendengaran dapat menimbulkan reaksi adaptasi,
peningkatan ambang dengar sementara (temporary threshold shift) dan
peningkatan ambang dengar menetap (Permanent threshold shift).

38
1. Reaksi adaptasi merupakan respons kelelahan akibat rangsangan oleh
bunyi dengan intensitas 70 dB SPL atau kurang, keadaan ini merupakan
fenomena fisiologis pada saraf telinga yang terpajan bising.

2. Peningkatan ambang dengar sementara, merupakan keadaan terdapatnya


peningkatan ambang dengar akibat pajanan bising dengan intensitas yang
cukup tinggi. Pemulihan dapat terjadi dalam beberapa menit atau jam. Jarang
terjadi pemulihan dalam satuan hari.

3. Peningkatan ambang dengar menetap, merupakan keadaan dimana terjadi


peningkatan ambang dengar menetap akibat pajanan bising dengan intensitas
sangat tinggi berlangsung singkat (explosif) atau berlangsung lama yang
menyebabkan kerusakan pada berbagai struktur koklea, antara lain kerusakan
organ Corti, sel-sel rambut, stria vaskularis dll.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, riwayat pekerjaan,


pemeriksaan fisik dan otoskopi serta pemeriksaan penunjang untuk
pendengaran seperti audiometri. Anamnesis pernah bekerja atau
sedang ,bekerja di lingkungan bising dalam jangka waktu yang cukup lama
biasanya lima tahun atau lebih. Pada pemeriksaan otoskopik tidak ditemukan
kelainan. Pada pemeriksaan audiologi, tes penala didapatkan hasil Rinne
positif, Weber lateralisasi ke telinga yang pendengarannya lebih baik dan
Schwabach memendek. Kesan jenis ketuliannya tuli sensorineural.
Pemeriksaan audiometri nada murni didapatkan tuli sensorineural pada
frekuensi antara 3000 - 6000 Hz dan pada frekuensi 4000 Hz sering terdapat
takik (notch) yang patognomonik untuk jenis ketulian ini. Pemeriksaan
audiologi khusus seperti SlSl (short increment sensitivity index), ABLB
(alternate binaural /oudness balance) MLB (monoaural loudness balance),
audiometeri Bekesy, audiomteri tutur (speech audiometry), hasil
menunjukkan adanya fenomena rekrutmen (recruitmenf) yang patognomonik
untuk tuli sensorineural koklea. Rekrutmen adalah suatu fenomena pada tuli
sensorineural koklea, dimana telinga yang tuli menjadi lebih sensitif terhadap

39
kenaikan intensitas bunyi yang kecil pada frekuensi tertentu setelah
terlampaui ambang dengarnya. Sesuai dengan penyebab ketulian, penderitia
sebaiknya dipindahkan kerjanya dari lingkungan bising. Bila tidak mungkin
dipindahkan dapat dipergunakan alat pelindung telinga terhadap bising,
seperti sumbat telinga (ear p/ug), tutup telinga (ear muffl dan pelindung
kepala (helmet). Oleh karena tuli akibat bising adalah tuli sensorineural
koklea yang bersifat menetap (inevercible), bila gangguan pendengaran sudah
mengakibatkan kesulitan berkomunikasi dengan volume percakapan biasa,
dapat dicoba pemasangan alat bantu dengar I ABD (hearing aid). Apabila
pendengarannya telah sedemikian buruk, sehingga dengan memakai ABD
pun tidak dapat berkomunikasi dengan adekuat perlu dilakukan psikoterapi
agar dapat menerima keadaannya. Latihan pendengaran (auditoty training)
agar dapat menggunakan sisa pendengaran dengan ABD secara efisien
dibantu dengan membaca ucapan bibir (lip reading), mimik dan gerakan
anggota badan, serta bahasa isyarat untuk dapat berkomunikasi. Selain alat
pelindung telinga terhadap bising dapat juga diikuti ketentuan pekerja di
lingkungan bising yang berintensitas lebih Cari 85 dB tanpa menimbulkan
ketulian, misalnya dengan menggunakan tabel dibawah ini.

40
2.7 Pemeriksaan Gangguan Pendengaran
A. Audiologi Dasar ialah pengetahuan mengenai Nada Murni , Bising,
Ganngguan pendengaran serta cara pemeriksaannya
1. Tes bisik
Syarat : ruang yang sepi serta terdapat jarak 6 m dalam ruang tersebut.
Jangan terjadi echo dalam ruang dengan menata perabot. Setiap telinga di
tes tersendiri, kanan atau kiri, telinga yang tidak di tes disumbat kapas
basah yang ditekan dengan jari selama dilakukan tes. Bahan tes, suara
dokter mengucapkan kata bi-silabik. Caranya bisikan dengan udara
cadangan pada jarak 6 m. Bila belum didengar dan ditirukan oleh pasien,
jarak makin didekatkan, sampai pasien menirukan ±80% kata-kata tersebut
dengan betul.

Hasilnya disebut : jarak pendengaran’

Nilainya =

Jarak pendengaran 6 m = normal

Jarak pendengaran 5 m = dalam batas normal

Jarak pendengaran 4 m = tuli ringan

Jarak pendengaran 2- 3 m = tuli sedang

Jarak pendengaran 1 m atau <= tuli berat

Kegunaan tes bisisk : untuk skrining secara masa

2. Tes garpu tala


Pemeriksaan ini merupakan tes kualitatif. Secara fisiologik telinga dapat
mendengar nada antara 20 sampai 18.000 Hz. Untuk pendengaran sehari-
hari yang paling efektif antara 500-2000 Hz. Oleh karena itu untuk
memeriksa pendengaran dipakai garpu tala 512, 1024 dan 2048 Hz

● Tes rinner

41
Prinsipnya adalah membandingkan durasi terdengarnya garpu tala
antara hantaran tulang dan hantaran udara. Rinne positif apabila
hantaran udara lebih panjang dari hantaran tulang, terjadi apda
telinga normal atau tuli sensorineural. Rinne negatif apabila
hantaran tulang lebih panjang dari hantaran udara, terdapat pada
tuli konduktif.

● Tes weber
Menggunakan garpu tala 256 (nada c) atau 512 (nada C').
Ditekankan pada dahi atau gigi insisivus (di garis median).
Prinsipnya adalah membandingkan hantaran tulang telinga kiri dan
kanan. Bila sama kuat, tergolong pendengaran normal. Bila
terdengar hanya pada 1 telinga maka disebut lateralisasi. Tuli
konduktif lateralisasi kearah telinga yang sakit, sedang tuli
sensorineural lateralisasi kea rah yang sehat.

● Tes swabach
Membandingkan durasi pendengaran hantaran tulang antara pasien
dan dokter. Scwabach memendek apabila hantaran tulang pasien
lebih pendek dari hantaran tulang dokter = SNHL. Dalam laporan,
tejadi swabach memendek. Scwabach memanjang apabila hantaran
tulang pasien lebih panjang daripada hantaran tulang dokter = tuli
konduktif. Dalam laporan, scwabach memanjang. Normalnya
hantaran tulang pasien sama panjang dengan hantaran tulang
dokter, dengan catatan pendengaran dokternya normal. Hasil di
laporan = Scwabach normal.

● Tes bing
Cara pemeriksaan : Tragus telinga yang diperiksa ditekan sampai
menutup liang telinga, sehingga terdapat tuli konduktif kira-kira 30
dB. Penala digetarkan dan diletakkan pada pertengahan kepala
(seperti pada tes !Veber). Penilaian : Bila terdapat lateralisasi ke

42
telinga yang ditutup, berarti telinga tersebut normal. Bila bunyi
pada telinga yang ditutup tidak bertambah keras, berarti telinga
tersebut menderita tuli konduktif.

● Tes strenger
digunakan pada pemeriksaan tuli anorganik (simulasi atau pura-
pura tuli). Cara pemeriksaan : menggunakan prinsip masking.
Misalnya pada seseorang yang berpurapura tuli pada telinga kiri.
Dua buah penala yang identik digetarkan dan masing-masing
diletakkan di depan telinga kiri dan kanan, dengan cara tidak
kelihatan oleh yang diperiksa. Penala pertama digetarkan dan
diletakkan di depan telinga kanan (yang normal) sehingga jelas
terdengar. Kemudian penala yang ke{ua digetarkan lebih keras dan
diletakkan di depan telinga kiri (yang pura-pura tuli). Apabila
kedua telinga normal karena efek maskrng, hanya telinga kiri yang
mendengar bunyi; jadi telinga kanan tidak akan mendengar bunyi.
Tetapi bila telinga kiri tuli, telinga kanan tetap mendengar bunyi.

3. Audiometri nada murni


Tes audiometri merupakan tes pendengaran dengan alat
elektroakustik. Audiometri nada murni dapat mengukur nilai ambang
hantaran udara dan hantaran tulang penderita dengan alat elektroakustik.

43
Alat tersebut dapat menghasilkan nada-nada tunggal dengan frekuensi dan
intensitasnya yang dapat diukur. Untuk mengukur nilai ambang hantaran
udara penderita menerima suara dari sumber suara lewat heaphone,
sedangkan untuk mengukur hantaran tulangnya penderita menerima suara
dari sumber suara lewat vibrator. Manfaat dari tes ini adalah dapat
mengetahui keadaan fungsi pendengaran masing-masing telinga secara
kuantitatif (normal, ringan, sedang, sedang berat, dan berat).

Pada pemeriksaan audiometri nada murni perlu dipahami hal-hal


seperti ini, nada murni, bising NB (narrow band) dan WN (whtie noise),
frekuensi, intensitas bunyi, ambang dengar, nilai nol audiometrik, standar
ISO dan ASA, notasi pada audiogram, jenis dan derajat ketulian serta gap
dan masking. Untuk membuat audiogram diperlukan alat audiometer.

Nada murni (pure tonel : merupakan bunyi yang hanya mempunyai


satu frekuensi, dinyatakan dalam jumlah getaran per detik. Bising :
merupakan bunyi yang mempunyai banyak frekuensi, terdiri dari (narrow
band) : spektrum terbatas dan (white noise): spektrum luas. Frekuensi
ialah nada murni yang dihasilkan oleh getaran suatu benda yang sifatnya
harmonis sederhana (simple harmonic motion). Jumlah getaran per detik
dinyatakan dalam Hertz. Bunyi (suara) yang dapat didengar oleh telinga
manusia mempunyai frekuensi antara 20-18.000 Hertz. Bunyi yang
mempunyai frekuensi di bawah 20 Hertz disebut infrasonik, sedangkan
bunyi yang frekuensinya di atas 1 8. 000 Hertz disebut supra sonik
(ultrasonik). lntensitas bunyi : dinyatakan dalam dB (decibell) Dikenal :
dB HL (hearing level), dB SL (sensation level), db SPL (soundpressure
level). dB ,HL dan dB SL dasarnya adalah subyektif, dan inilah yang
biasanya digunakan pada audiometer, sedangkan dB SPL digunakan
apabila ingin mengetahui intensitas bunyi yang sesungguhnya secara fisika
(ilmu alam).

44
Ambang dengar ialah bunyi nada murni yang terlemah pada
frekuensi tertentu yang masih dapat didengar oleh telinga seseorang.
Terdapat ambang dengar menurut konduksi udara (AC) dan menunrt
konduksitulang (BC). Bila ambang dengar ini dihubung-hubungkan
dengan garis, baik AC maupun BC, maka akan didapatkan audiogram.
Dari audiogram dapat diketahui jenis dan derajat ketulian. Nilai nol
audiometrik (audiometric zerol dalam dB HL dan dB SL, yaitu intensitas
nada murni yang terkecil pada suatu frekuensi tertentu yang masih dapat
didengar oleh telinga rata-rata orang dewasa muda yang normal (18-30
tahun). Pada tiap frekuensi intensitas nol audiometrik tidak sama. Telinga
manusia paling sensitif terhadap bunyi dengan frekuensi 1000 Hz yang
besar nilai nol audiometriknya kira-kira 0,0002 dyne/cm2. Jadi pada
frekuensi 2000 Hz lebih besar dari 0,OOO2 dyne/cm2. Ditambah 2 standar
yang dipakai yaitu Standar ISO dan ASA. ISO = lnternationalstandard
Organization dan ASA = American standard Association. 0 dB ISO = -10
dB ASA atau 10 dB ISO = 0 dB ASA Pada audiogram angka-angka
intensitas dalam dB bukan menyatakan kenaikan linier, tetapi merupakan
kenaikan logaritmik secara perbandingan.

Notasi pada audiogram. Untuk pemeriksaan audiogram, dipakai


grafik AC, yaitu dibuat dengan garis lurus penuh (lntensitas yang diperiksa
antara 125 - 8000 Hz) dan grafik BC yaitu dibuat dengan garis terputus-
putus (lntensitas yang diperiksa : 250-4000 Hz). Untuk telinga kiri dipakai
warna biru, sedangkan untuk telinga kanan, warna merah.

45
B. Audiologi khusus. Untuk membedakan tuli koklea dan tuli retrokoklea
diperlukan pemeriksaan audiologi khusus yang terdiri dari audiometri
khusus, audiometri objektif, pemeriksaan tuli anorganik dan pemeriksaan
audiometri anak.

1. Audiometri khusus

46
Untuk mempelajari audiometri khusus diperlukan
pemahaman istilah rekrutmen (recruitment) dan kelelahan
(decaylfatigue). Rekrutmen ialah suatu fenomena, terjadi
peningkatan sensitifitas pendengaran yang bedebihan di atas
ambang dengar. Keadaan ini khas pada tuli koklea. Pada kelainan
koklea pasien dapat membedakan bunyi 1 dB, sedangkan orang
normal baru dapat membedakan bunyi 5 dB. Misalnya, pada
seorang yang tuli 30 dB, ia dapat membedakan bunyi 31 dB. Pada
orang tua bila mendengar suara perlahan, ia tidak dapat
mendengar, sedangkan bila mendengar suara keras dirasakannya
nyeri ditelinga. Kelelahan (decay/fatigue) merupakan adap
tasiabnormal, merupakan tanda khas pada tuli retrokoklea. Saraf
pendengaran cepat lelah bila dirangsang terus menerus. Bila diberi
istirahat, maka akan pulih kembali.

Fenomena tersebut dapat dilacak pada pasien tuli saraf dengan


melakukan pemeriksaan khusus, yaitu :

- Tes SISl (short increment sensitivity index)

Tes ini khas untuk mengetahui adanya kelainan koklea,


dengan memakai fenomena rekrutmen, yaitu keadaan koklea yang
dapat mengadaptasi secara berlebihan peninggian intensitas yang
kecil, sehingga pasien dapat membedakan selisih intensitas yang
kecil itu (sampai 1 dB). Cara pemeriksaan itu, ialah dengan
menentukan ambang dengar pasien terlebih dahulu, misalnya 30
dB. Kemudian diberikan rangsangan 20 dB di atas ambang
rangsang, jadi 50 dB. Setelah itu diberikdn tambahan rangsang 5
dB, lalu diturunkan 4 dB, lalu 3 dB, 2 dB, terakhir 1 dB. Bila
pasien dapat membedakannya, berarti tes SlSl positif.

- Tes ABLB (altemate binaural /oudness balans test)

47
Pada tes ABLB diberikan intensitas bunyi tertentu pada
frekuensi yang sama pada kedua telinga, sampai kedua telinga
mencapai persepsi yang sama, yang disebut balans negatif. Bila
balans tercapai, terdapat rekrutmen positif. .

- Tes kelelahan (Tone decay)

Terjadi kelelahan saraf oleh karena perasangan terus –


menerus . Jadi kalau telinga yang diperiksa dirangsang terus
menerus terjadi kelelahan .Tanda pasien tidak dapat mendengar
dengan telinga yang diperiksa. ada 2 cara:

- TTD = threshold tone decay

Cara gahart dengan melakukan rangsangan terus menerus


pada telinga yang dipedksa dengan intensitas yang sesuai dengan
ambang dengar, misalnya 40 dB. Bila setelah 60 detik masih dapat
mendengar, berarti tidak ada kelelahan (decay), jadi hasil tes
negatif. Sebaliknya bila setelah 60 detik terdapat kelelahan, berarti
tidak mendengar, tesnya positif. Kemudian intensitas bunyi
ditambah 5 dB fiadi 45 dB)i mafa pasien dapat mendengar lagi.
Rangsangan diteruskan dengan 45 dB dan seterusnya, dalam 60
detik dihitung berapa penambahan intensitasnya.

penambahan

0-5 db: normal

10-15 db: ringan (tidak khas)

20-25 db: sedang (tidak khas)

>30 db : berat (khas ada kelelahan)

Pada Rosenberg : bila penambahan kurang dari 15 dB, dinyatakan


normal, sedangkan lebih dari 30 dB : sedang.

48
- STAT = supra threshold adaptation test

Cara pemeriksaan ini dimulai oleh Jerger pada tahun 1975.


Prinsipnya ialah pemeriksaan pada 3 frekuensi: 500 Hz, 1000 Hz
dan 2000 Hz pada 110 dB SPL. SPL ialah intensitas yang ada
secara fisika sesungguhnya. 110 dB SPL = 100 dB SL (pada
frekuensi 500 dan 2000 Hz). Artinya, nada murni pada frekuensi
500, 1000, 2000 Hz pada 110 dB SPL, diberikan terus menerus
selama 60 detik dan dapat mendengar, berartitidak ada kelelahan.
Bila kurqng dari 60 detik, maka ada kelelahan (decay).

- Audiometri tutur (speech audiometn)

Pada tes ini dipakai kata-kata yang sudah disusun dalam


silabus berupa satu suku kata dan dua suku kata. Pasien diminta
untuk mengulangi katakata yang didengar melalui kaset tape
recorder. Pada tuli perseptif koklea, pasien sulit untuk
membedakan bunyi S, R, N, C, H, CH, sedangkan pada tuli
retrokoklea lebih sulit lagi. Misalnya pada tuli perseptif koklea,
kata "kadar" didengarnya "kasar", sedangkan kata "pasar"
didenganya "padar". Guna pemeriksaan ini ialah untuk menilai
kemampuan pasien dalam pembicaraan sehari-hari, dan untuk
menilai untuk pemberian alat bantu dengar (hearing aid).

Apabila kata yang betul : speech discrimination score :

90-100% : pendengaran normal

75- 90% : tuli ringan

60 - 75 %: tuli sedang

50- 60%: kesukaran mengikuti kata kata sehari hari

<50 % : tuli berat

49
- Audiometri Bekesy

Macam audiometri ini otomatis dapat menilai ambang


pendengaran seseorang. Prinsip pemeriksaan ini ialah dengan nada
yang terputus (interupted sound) dan nada yang terus menerus
(continues sound). Bila ada suara masuk, maka pasien memencet
tombol. Akan didapatkan grafik seperti gigi gergaji, garis yang
menaik ialah periode suara yang dapat didengar, sedangkan garis
yang turun ialah suara yang tidak terdengar. Pada telinga normal,
amplitudo 10 dB. Pada rekrutmen amplitudo lebih kecil.

50
2. Audiometri objektif
Pada pemeriksaan ini pasien tidak harus bereaksi. Terdapat 4
cara pemeriksaan, yaitu audiometri impedans, elektokokleografi
(E.Coch.), evoked response audiometry. Oto Acoustic Emmi sion
(Emisi otoakustik).

- Audiometri impedans
Pada pemeriksaan ini diperiksa kelenturan membran
timpani dengan tekanan tertentu pada meatus akustikus
eksterna. Didapatkan istilah : a. Timpanometri, yaitu untuk
mengetahui keadaan dalam kavum timpani. Misalnya, ada
cairan, gangguan rangkaian tulang pendengaran (ossicular
chain), kekakuan membran timpani dan membran timpani
yang sangat lentur. b. Fungsi tuba Eustachius (Eustachion
tube function), untuk mengetahui tuba Eustachius terbuka
atau tertutup., c. Refleks stapedius. Pada telinga normal,
refleks stapedius muncul pada rangsangan 70-80 dB di atas
ambang dengar. Pada lesi di koklea, ambang rangsang
refleks stapedius menurun, sedangkan pada lesi di
retrokoklea, ambang itu naik.

51
- Elektrokokleografi

Pemeriksaan ini digunakan untuk merekam gelombang-


gelombang yang khas dari evoke electropotential cochlea. Caranya
ialah dengan elektrode jarum (needle electrode), membran timpani
ditusuk sampai promontorium, kemudian dilihat grafiknya.
Pemeriksaan ini cukup invasif sehingga saat ini sudah jarang
dilakukan. Pengembangan pemeriksaan ini yang lebih lanjut
dengan elektrode permukaan (suiace electrode), disebut BERA
(brain evoked response audiometry).

- Evoked response audiometry

Dikenal juga sebagai Brainstem Evoked Response Audiometry


(BERA), Evoked Response Audiometry (ERA) atau Auditory
Brainstem Rersponse (ABR) yaitu suatu pemeriksaan untuk
menilai fungsi pendengaran dan fungsi N Vlll. Caranya dengan
merekam potensial listrik yang dikeluarkan sel koklea selama
menempuh perjalanan mulai telinga dalam hingga inti-inti tertentu
di batang otak. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan
elektroda permukaan yang dilekatkan pada kulit kepala atau dahi
dan prosesus mastoid atau lobulus telinga. Cara pemeriksaan ini
mudah, tidak invasif dan bersifat objektif. i perubahan potensial
listrik,di otak setelah pemberian rangsang sensoris berupa bunyi.
Rangsang bunyi yang diberikan melalui head phone akan
menempuh perjalanan melalui saraf ke Vllll di koklea (gelombang
l), nukleus koklearis (gelombang ll), nukleus olivarius superior
(gelombang lll), lemnikus lateralis (gelombang ,_lV), kolikulus
inferior (gelombang V) kemudian menuju ke korteks auditorius di
lobus temporal otak. Perubahan potensial listrik di otak akan
diterima oleh ketiga elektroda di kulit kepala,dari gelombang yang
timbul di setiap nukleus saraf sepanjang jalur saraf pendengaran

52
tersebut dapat dinilai bentuk gelombang dan waktu yang
diperlukan dari saat pemberian rangsang suara sampai mencapai
nukleus-nukleus saraf tersebut. Dengan demikian setiap
keterlambatan waktu untuk mencapai masing-masing nukleus saraf
dapat memberi arti klinis keadaan saraf pendengaran, maupun
jaringan otak di sekitarnya. BERA dapat memberikan informasi
mengenai keadaan neurofisiologi, neuroanatomi dari saraf-saraf
tersebut hingga pusat-pusat yang lebih tinggi dengan menilai
gelombang yang timbul lebih akhir atau latensi yang memanjang.
Pemeriksaan BERA sangat bermanfaat terutama pada keadaan
tidak memungkinkan dilakukan pemeriksaan pendengaran biasa,
misalnya pada bayi, anak dengan gangguan sifat dan tingkah laku,
intelegensia rendah, cacat ganda, kesadaran menurun. Pada orang
dewasa dapat untuk memeriksa orang yang berpura-pura tuli
(malingering) atau ada kecurigaan tuli saraf retrokoklea.

- Otoacustic emmision (OAE)

Prinsip teknik ini adalah mengukur emisi yang dikeluarkan oleh


telinga saat suara menstimulasi koklea. Teknik ini sensitif untuk
mengetahui kerusakan pada selsel rambut luar, dapat pula
digunakan untuk memeriksa telinga tengah dan telinga dalam. Jika
bayi dapat melewati tes OAE, berarti bayi tersebut tidak
mengalami gangguan pendengaran. Namun, tes OAE tidak dapat
memeriksa adanya gangguan saraf pendengaran atau respon otak
terhadap suara. Jika dijumpai ada masalah pendengaran setelah tes
OAE dilakukan, maka harus dilakukan tes tambahan.

3. Pemeriksaan tuli anorganik


Pemeriksaan ini diperlukan untuk memeriksa seseorang
yang pura-pura tuli, misalnya untuk mengklaim asuransi, terdapat
beberapa cara pemeriksaan antara lain : 1. Cara Stenger :

53
memberikan 2 nada suara yang bersamaan pada kedua telinga,
kemudian pada sisi yang sehat nada dijauhkan. 2. Dengan
audiometri nada murni secara berulang dalam satu minggu, hasil
audiogramnya berbeda. 3. Dengan lmpedans. 4. Dengan BERA

4. Audiologi anak
Untuk memeriksa ambang dengar anak dilakukan di dalam
ruangan khusus (free field). Cara memeriksa ialah dengan beberapa
cara.

1. Free field fest : Menilai kemampuan anak dalam memberikan


respons terhadap rangsang bunyi yang diberikan. Anak diberi
rangsang bunyi sambil bermain, ke-mudian dievaluasi reaksi
pendengarannya. Alat yang digunakan dapat berupa neometer alau
Viena tone

2. Audiometri bermain (play audiomefn). Pemeriksaan audiometri


nada mumi pada anak yang dilakukan sambil bermain. Dapat
dimulai pada usia 3 - 4 tahun bila anak cukup koperatif.

3. BERA (Brainstem Evoke Response Audiometry). Menilai fungsi


pendengaran secara obyektif, dapat dilakukan pada anak yang tidak
koperatif yang sulit diperiksa dengan pemeriksaan konvensional

4. Echocheck dan Emisi Otoakustik (Ctoacoustic emissions /


OAE). Menilai fungsi koklea secara obyektif dan dapat dilakukan
dalam waktu yang sangat singkat. Sangat bermanfaat untuk
program skrining pendengaran pada bayi dan anak.

2.8 Tatalaksana
Penatalaksanaan tuli sensorineural disesuaikan dengan penyebab ketulian.
Tuli karena pemakaian obatobatan yang bersifat ototoksik, diatasi dengan
penghentian obat. Jika diakibatkan oleh bising, penderita sebaiknya
dipindahkan kerjanya dari lingkungan bising. Bila tidak memungkinkan dapat

54
menggunakan alat pelindung telinga terhadap bising, seperti sumbat telinga
(ear plug), tutup telinga (ear muff) dan pelindung kepala (helmet). Apabila
gangguan pendengaran sudah mengakibatkan kesulitan berkomunikasi bisa
menggunakan alat bantu dengar.

a. Alat Bantu Dengar (ABD). Rehabilitasi sebagai upaya untuk


mengembalikan fungsi pendengaran dilakukan dengan pemasangan alat bantu
dengar (hearing aid) Memasang suatu alat bantu dengar merupakan suatu
proses yang rumit yang tidak hanya melibatkan derajat dan tipe ketulian,
namun juga perbedaan antar telinga, kecakapan diskriinasi dan psikoakustik
lainnya. Selain itu pertimbangan kosmetik, tekanan sosial dan keluarga.
Peraturan dari Food and Drug Administration mengharuskan masa uji coba
selam 30 hari untuk alat bantu dengr yang baru, suatu masa untuk mengetahui
apakah alat tersebut cocok dan efektif bagi pemakai. . Alat bantu dengar
merupakan miniatur dari sistem pengeras untuk suara umum. Alat ini
memiliki mikrofon, suatu amplifier, pengeras suara dan baterei sebagai
sumber tenaga. Selanjutnya dilengkapi kontrol penerimaan, kontrol nada dan
tenaga maksimum. Akhir-akhir ini dilengkapi pula dengan alat pemproses
sinyal otomatis dalam rangka memperbaiki rasio sinyal bising pada latar
belakang. Komponen-komponen ini dikemas agar dapat dipakai dalam telinga
(DT), atau dibelakang telinga (BT) dan pada tubuh. ABD dibedakan menjadi
beberapa jenis :

- Jenis saku (pocket type, body worrn type)

- Jenis belakang telinga (BTE = behind the ear)

- Jenis ITE (In The Ear)

- Jenis ITC (In The Canal)

- Jenis CIC (Completely In the Canal)

Tipe dalam telinga yang terkecil adalah alat bantu dengar ’kanalis’ dengan
beberapa komponen dipasang lebih jauh didalam kanalis dan lebih dekat

55
dengan membrana timpani. Alat bantu tipe kanalis ini sangat populer karena
daya tarik kosmetiknya. Alat ini dapat membantu pada gangguan
pendengaran ringan sampai sedang. Akan tetai alat ini kurang fleksibel dalam
respon frekuansi dan penerimaannya dibanding alat bantu DT dan BT.
Kanalis juga tidak cocok untuk telingan yang kecil karena ventilasi menjadi
sulit.

b. Implan Koklea

Implan koklea merupakan perangkat elektronik yang memepunyai


kemampuan menggantikan fungsi koklea untuk meningkatkan kemampuan
mendengar dan berkomunikasi pada pasien tuli sensorineural berat dan total
bilateral. Indikasi pemasangan implan koklea adalah :

- Tuli sensorineural berat bilateral atau tuli total bilateral (anak maupun dewasa)
yang tidak / sedikit mendapat manfaat dari ABD.

- Usia 12 bulan – 17 tahun

- Tidak ada kontra indikasi medis

- Calon pengguna mempunyai perkembangan kognitif yang baik

Kontra Indikasi pemasangan implan koklea antara lain :

- Tuli akibat kelainan pada jalur pusat (tuli sentral)

- Proses penulangan koklea

- Koklea tidak berkembang

Adapun cara kerja Implan koklea adalah, impuls suara ditangkap oleh
mikrofon dan diteruskan menuju speech processor melalui kabel penghubung.
speech processor akan melakukan seleksi informasi suara yang sesuai dan
mengubahnya menajdi kode suara yang akan disampaikan ke transmiter. Kode
suara akan dipancarkan menembus kulit menuju stimulator. Pada bagian ini kode
suara akan dirubah menjadi sinyal listrik dan akan dikirim menuju elektrode-

56
elektrode yang sesuai di dalam koklea sehingga menimbulkan stimulasi serabut-
serabut saraf. Pada speech processor terdapat sirkuit khusus yang berfungsi untuk
meredam bising lingkungan. Keberhasilan implan koklea ditentukan denga
menilai kemampuan mendengar, pertambahan kosa kata dan pemahaman bahasa.

57
BAB III

KESIMPULAN
Telinga sebagai indera pendengar terdiri dari tiga bagian yaitu telinga luar,
telinga tengah dan telinga dalam. Telinga luar berfungsi menangkap rangsang
getaran bunyi atau bunyi dari luar. Telinga bagian tengah berfungsi
menghantarkan bunyi atau bunyi dari telinga luar ke telinga dalam. Telinga dalam
berfungsi menerima getaran bunyi yang dihantarkan oleh telinga tengah. Proses
perkembangan berbicara melibatkan banyak fungsi khusus yang terintegrasi.
Diperlukan fungsi pendengaran untuk menerima informasi dari luar, fungsi saraf
perifer untuk penghantaran, saraf pusat untuk pengolahan informasi, fungsi luhur,
komponen motorik serta otot-otot yang kesemuanya bekerja dengan baik.

Gangguan pendengaran adalah berkurangnya kemampuan mendengar baik


sebagian atau seluruhnya, pada salah satu atau kedua telinga, baik derajat ringan
atau lebih berat dengan ambang pendengaran rata lebih dari 26 dB pada frekuensi
500, 1000, 2000 dan 4000 Hz. Diperkirakan 7.000 (0,2-0,4%) bayi dilahirkan
setiap tahunnya dengan tuli yang bervariasi dari ringan sampai total. Pada umur
kurang dari 18 tahun, dua dari 100 anak mengalami gangguan pendengaran dalam
berbagai derajat.

Secara garis besar, gangguan pendengaran dapat diklasifikasikan sebagai


tuli konduktif dan tuli sensorineural. Tuli konduktif disebabkan oleh kondisi
patologis pada kanal telinga eksterna, membrane timpani, atau telinga tengah. Tuli
sensorineural disebabkan oleh kerusakan atau malfungsi koklea, saraf
pendengaran dan batang otak sehingga bunyi tidak dapat diproses sebagaimana
mestinya.

Tes fungsi pendengaran ada bermacam-macam, mulai dari yang paling


sederhana seperti tes bisik dan tes garpu tala, yang tergolong non elektronik
sampai yang elektronik seperti audiometri dalam berbagai bentuk. Tes garpu tala

58
yang dilakukan adalah tes garis pendengaran, tes Rinne, tes Weber dan tes
Swabach. Bentuk-bentuk audiometri adalah audiometri nada murni, audiometri
tutur, audiometri impedans, Brainstem Evoked Response Audiometry, dan
Otoacoustic Emission.

59
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization Deafness and Hearing Loss. 2013 Feb [cited
2014 Sep 15]. Available from :
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs300/en/.

2. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Konsil Kedokteran Indonesia.


Jakarta. 2012.

3. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Keempat. Jakarta: Penerbit Media


Aesculapius FKUI. 2014.

4. Adams G, Boies L, Higler P. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke 6. Jakarta :


Penerbit Buku Kedokteran EGC;1997.

5. Djaafar, Z.A, Helmi, Restuti, R.D. KelainanTelinga Tengah. Dalam:


Soepardi, E.A, Iskandar, N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher Edisi ke-6.Jakarta: BalaiPenerbit FKUI;
2007.

6. American Speech-Language Hearing Association (ASHA). Type, Degree,


and Configuration of Hearing Loss. Audiology Information Series. ASHA;
2011.).

7. WHO. Grades of Hearing Loss Impairment [internet]. World Health


Organization ; 2011. [Diakses tanggal 08 Agustus 2015]. Tersedia dari :
http://www.who.int/deafness/hearing_impairment_grades/en/.

8. Lucente, Frank E. 2011. Ilmu THT Esensial. Edisi ke-5.Dialihbahasakan


oleh Hartanto, Huriawati. Jakarta: EGC.

9. Bansal M., (2013) Sensorineural hearing loss. In: Diseases of ear, nose, and
throat. 1st ed. Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd:New Delhi.

10. Iskandar, N., Soepardi, E., & Bashiruddin, J., et al (ed). 2007. Buku Ajar

60
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Edisi ke-
6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

11. Boston ME, Strasnick B, Egan RA, Gionali GJ, Hoffer ME, Steinberg AR
et al. Labyrinthitis Workup: Agust 2015; p.1. Diakses pada 20 Maret 2019.
Dari: http://emedicine.medscape.com/article/856215-workup.

12. Gregory JM and Leonard P. Ototoxic drugs head and neck surgery
otolaryngology, Vol. 2 J.B. Lippincott company.
Philadelphia,’1993:p.1793-1802.

13. Kallinen J, Laippala P, Laurinkainen E Grenman. Sudden deafness: A


Comparison of anticoagulan therapy and carbogen inhalation therapy. Ann
Otol Rhinol Laryngology.l 997’,106:22-24.

61

Anda mungkin juga menyukai