Anda di halaman 1dari 49

i

MINI PROJECT

GAMBARAN FAKTOR PERILAKU HIDUP BERSIH DAN

SEHAT TERHADAP KEJADIAN STUNTING DI DESA SILAGA-

LAGA WILAYAH KERJA PUSKESMAS MATITI

Oleh

dr. Hermariasi Panjaitan

Pendamping

dr. Tiar Lusiana Sihombing

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

PUSKESMAS MATITI

SUMATERA UTARA

2021
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : dr. Hermariasi br Panjaitan


Judul :Gambaran faktor perilaku hidup bersih da sehat terhadap stunting di Desa Silaga-
laga wilayah kerja Puskesmas Matiti

Pembimbing : dr. Tiar Lusiana Sihombing

Doloksanggul, Juni 2021

Pendamping Dokter Internship

Dr Tiar Lusiana Sihombing dr. Hermariasi Panjaitan

i
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, sehingga kita dapat menyelesaikan mini proje
ct yang berjudul “Gambaran Faktor Hidup Bersih dan Sehat Terhadap Kejadian Stunting di Desa
Hutaraja Wilayah Kerja Puskesmas Matiti”. Ini berguna untuk memenuhi syarat Program Interns
hip Dokter Indonesia (PIDI).
Dalam kesempatan ini tidak lupa peneliti mengucapkan terima kasih sebesar besarnya kepada dr.
Tiar Lusiana Sihombing sebagai pembimbing kami dokter Internship.
Selaku dokter pembimbing dan memberikan arahan kepada peneliti sehingga dapat menyelesaika
n laporan proposal penelitian ini.
Peneliti menyadari bahwa dalam penulisan mini project ini masih banyak kekurangan yang diseb
abkan kerana keterbatasan pengetahuan dan pengalaman peneliti. Oleh karena itu kritik dan sara
n yang sifatnya membangun selalu peneliti harapkan untuk menyempurnakan penulisan mini pro
ject ini. Peneliti ini berharap semoga mini project ini dapat bermanfaat bagi pihak pihak yang me
mbutuhkan.

Doloksanggul, Juni 2021


.

dr. Hermariasi Panjaitan

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN PENDAHULUAN…………………………………………………………….. i
HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………………………. ii
KATA PENGANTAR………………………………………………………………….…… iii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………… iv
BAB PENDAHULUAN……………………………………………………………………… 1
1.1 Latar Belakang……………………………………………………………………. 1
1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………………….…3
1.3 Tujuan Penelitian…………………………………………………………………. 3
1.3.1 Tujuan umum……………………………………………………………….
1.3.2 Tujuan khusus
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi instansi terkait
1.4.2 Bagi peneliti selanjutnya
1.4.3 Bagi masyarakat
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Data Demografis
2.2 Stunting............................................................................................
2.3 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat.....................................................
2.4 Hubungan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (10 Indikator)
Dengan Kejadian Stunting.................................................................
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN .........................................................
3.1 Desain Penelitian...............................................................................
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian...........................................................
3.2.1 Tempat penelitian....................................................................
3.2.2 Waktu penelitian.....................................................................
3.3 Populasi Penelitian............................................................................
3.3.1 Populasi target.........................................................................
3.3.2 Populasi terjangkau.................................................................
3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi.............................................................
3.4.1 Kriteria inklusi........................................................................

iii
3.4.2 Kriteria Eksklusi......................................................................
3.5 Sampel Penelitian..............................................................................
3.6 Variabel Penelitian............................................................................
3.6.1 Variabel bebas.........................................................................
3.6.2 Variabel terikat........................................................................
3.7 Definisi Operasional Variabel............................................................
3.8 Sumber Data Penelitian......................................................................
3.9 Instrumen Penelitian...........................................................................
3.10 Cara Pengumpulan Data...................................................................
3.11 Rencana Pengelolaan dan Analisis Data..........................................
BAB 4 HASIL PENELITIAN.........................................................................
4.1 Angka Gizi........................................................................................
4.2 Hasil Kuesioner Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)..............
BAB 5 PEMBAHASAN ...................................................................................
5.1 Angka Gizi........................................................................................
5.2 Hubungan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dengan
Angka Kejadian Stunting..................................................................
BAB 6 PENUTUP .............................................................................................
6.1 Kesimpulan.......................................................................................
6.2 Saran..................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................
LAMPIRAN.......................................................................................................

iv
i

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Masalah gizi di Indonesia bukan hanya masalah gizi kurang dan gizi lebih, namun a
nak pendek merupakan masalah gizi di Indonesia yang mempunyai prevalensi cukup ting
gi dibanding dengan masalah gizi lebih atau gizi kurang. Data prevalensi balita stunting y
ang dikumpulkan World Health Organization (WHO), Indonesia termasuk ke dalam nega
ra ketiga dengan prevalensi tertinggisetelah Timor Leste dan India di regional Asia Tengg
ara/South-East Asia Regional (SEAR). Rata-rata prevalensi balita stunting di Indonesia ta
hun 2005-2017 adalah 36,4% (Child stunting data visualizations dashboard, WHO, 201
8).
Berdasarkan hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2018, di Indonesia terdapa
t 30,8% balita yang mengalami stunting. Diketahui dari jumlah persentase tersebut terdiri
atas 11,5% anak sangat pendek dan 19,3% anak pendek. Prevalensi stunting ini mengala
mi penurunan dibandingkan hasil Riskesdas tahun 2013 dimana prevalensi stunting sebes
ar 37,2%. Prevalensi stunting tertinggi terdapat di provinsi Nusa Tenggara Timur (42,6%),
sedangkan yang terendah terdapat di provinsi DKI Jakarta (17,7%) (Riskesdas, 2018).
Prevalensi stunting di provinsi Sumatera Utara menempati posisi ke 14 yaitu sebesar
32,4%. Meskipun mengalami penurunan dibandingkan tahun 2013 (42,5%), namun angk
a tersebut masih berada diatas angka nasional dan masih diatas target WHO dimana preva
lensi stunting harus dibawah 20% (Riskesdas, 2018). Berdasarkan data Riskesdas Kemen
kes mencatat prevalensi ‘stunting’ pada balita 30,8% dan untuk Kabupaten Humbang Has
undutan sebesar 41,3%.Tinggi nya angka tersebut menyebabkan kabupaten Humbang
Hasundutan masuk kedalam kategori prevalensi sangat tinggi (Riskesdas, 2018).
Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan zat gizi ya
ng kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai dengan
kebutuhan gizi. Titik batas penggolongan status gizi berdasarkan indeks Tinggi Badan me
nurut Umur (TB/U) yang standar deviasinya diantara -2 SD dan -3 SD dari

i
hasil perhitungan z-score menggunakan tabel WHO child growth standard (WHO, 2
010). Dampak stunting adalah memiliki nilai IQ dibawah rata-rata dibandingkan remaja y
ang berstatus gizi normal. Meningkatnya angka kematian, kemampuan kognitif, dan fung
si-fungsi tubuh yang tidak seimbang, sehingga rawan terserang penyakit. 4
Faktor penyebab langsung status gizi kurang (stunting) yaitu konsumsi makanan dan
penyakit infeksi. Konsumsi makanan yang rendah menyebabkan sistem imun menurun da
n mudah terserang penyakit infeksi, sedangkan penyebab tidak langsung yaitu ketersediaa
n pangan di tingkat rumah tangga, pola asuh anak, sanitasi lingkungan, pelayanan kesehat
an, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, pengetahuan gizi ibu, jumlah anggota keluarga, pendap
atan keluarga dan kemiskinan. Sanitasi lingkungan merupakan salah satu faktor yang me
mpengaruhi status gizi.4,5
Keadaan lingkungan yang kurang baik memungkinkan terjadinya berbagai penyakit
antara lain diare dan penyakit infeksi. Sanitasi lingkungan sangat terkait dengan ketersedi
aaan air bersih, ketersediaan jamban, jenis lantai rumah serta kebersihan peralatan makan
pada setiap keluarga. Semakin tersedia air bersih untuk kebutuhan sehari- hari, semakin k
ecil risiko anak terkena penyakit kurang gizi. Penyakit infeksi menyebabkan metabolisme
nutrisi di dalam tubuh terganggu sehingga dapat menyebabkan kekurangan gizi saat pertu
mbuhan.5
Perilaku Hidup Bersih Sehat (PHBS) adalah perilaku kesehatan yang dilakukan atas
kesadaran setiap individu maupun kelompok. Anggota keluaga dapat menolong dirinya s
endiri dibidang kesehatan dan dapat berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan dimasyarakat
sekitarnya untuk menolong masyarakat yang lain (Depkes RI, 2017). Tujuan PHBS meru
pakan upaya memberikan pengalaman belajar bagi perorangan, keluarga, kelompok, dan
masyarakat dengan membuka jalur komunikasi, memberikan informasi dan edukasi guna
meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku melalui pendekatan advokasi, bina suasan
a, dan gerakan masyarakat, sehingga dapat menerapkan cara-cara hidup sehat dalam rang
ka menjaga, memelihara, dan meningkatkan kesehatan masyarakat (Depkes RI, 2017).6
Menurut uraian diatas, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai hubu
ngan antara PHBS yang diterapkan oleh ibu terhadap angka balita stunting pada Desa
Silagalaga, Kecamatan Doloksanggul karena dalam cakupan Puskesmas Matiti

ii
Kecamatan Doloksanggul, Desa silagalaga merupakan desa memiliki data stunting
paling banyak dan PHBS yang kurang.

1.2. Rumusan Masalah


1) Apakah ada hubungan antara perilaku hidup bersih dan sehat dengan kejadian stuntin
g pada Balita di Desa Silagalaga, Kecamatan Doloksanggul?
2) Bagaimana gambaran antropometri Balita tahun di Desa Silagalaga, Kecamatan
Doloksanggul?
3) Bagaimana tingkat Perilaku Hidup Bersih dan Sehat pada Balita di Desa Silagalaga,
Kecamatan Doloksanggul?

1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dengan kejad
ian stunting pada Balita di Desa Silagalaga, Kecamatan Doloksanggul, Kabupaten
Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara.
1.3.2. Tujuan Khusus
1) Mengetahui hubungan antara perilaku hidup bersih dan sehat dengan kejadian stuntin
g pada Balita di Desa Silagalaga, Kecamatan Doloksanggul, Kabupaten Humbang
Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara.
2) Mengetahui gambaran antropometri Balita tahun di Desa Silagalaga, Kecamatan
Doloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara.
3) Mengetahui tingkat Perilaku Hidup Bersih dan Sehat pada Balita di Desa Silagalaga,
Kecamatan Doloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera
Utara.

1.4. Manfaat Penelitian


1.4.1. Bagi Instansi Terkait
Memberikan informasi perihal pengaruh Perilaku Hidup Bersih Sehat sebagai salah sa
tu Faktor resiko yang dapat menyebabkan terjadinya Stunting pada anak Balita di Desa
Silagalaga, Kecamatan Doloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi

iii
Sumatera Utara sehingga dapat dilakukan evaluasi terkait dengan PHBS masyarakat d
i desa tersebut seperti masalah kesehatan lingkungan.

1.4.2. Bagi Peneliti Selanjutnya


Memberikan informasi sebagai referensi bagi peneliti lain untuk mengembangkan sert
a melakukan penelitian lebih lanjut tentang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat dan kaitanny
a dengan kejadian Stunting.

1.4.3. Bagi Masyarakat


Memberikan pengetahuan kepada masyarakat perihal pengaruh Perilaku Hidup Bersih
Sehat sebagai salah satu Faktor resiko yang dapat menyebabkan terjadinya Stunting pada
anak Balita sehingga dapat dilakukan pencegahan.
Bagi orang tua, memberikan gambaran kepada orang tua untuk lebih peduli terhadap
perilaku hidup bersih dan sehat & status gizi anaknya.

iv
v

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Data Demografis

Doloksanggul adalah sebuah Kecamatan di Humbang Hasundutan, Provinsi


Sumatera Utara, Indonesia. .7

Kecamatan ini terdiri dari 21 desa/kelurahan:

1. Bonanionan

2. Hutabagasan

3. Lumban Luhut

4. Hutagurgur

5. Hutaraja

6. Sirogos

7. Janji

8. Kelurahan

9. Matiti I

10. Matiti II

11. Pariksinomba

12. Pasaribu

13. Sampean

14. Sihite I

15. Sihite II

16. Silaga-laga

17. Simangaronsang

18. Sirisi-risi

v
19. Sosor Gonting

20. sosort Tolong Sihite III

21. Sosor Tambok

2.2 Stunting
Salah satu indikator kesehatan yang dinilai keberhasilan pencapaiannya dalam MDG
s adalah status gizi anak balita. Masa anak balita merupakan kelompok yang rentan meng
alami kurang gizi salah satunya adalah stunting. Stunting (pendek) merupakan ganguan p
ertumbuhan linier yang disebabkan adanya malnutrisi asupan zat gizi kronis atau penyaki
t infeksi kronis maupun berulang yang ditunjukkan dengan nilai z-score tinggi badan men
urut umur (TB/U) kurang dari -2 SD.8
Stunting terjadi mulai janin masih dalam kandungan dan baru nampak saat anak ber
usia dua tahun. Kekurangan gizi pada usia dini meningkatkan angka kematian bayi dan a
nak, menyebabkan penderita mudah sakit dan memiliki postur tubuh tak maksimal saat d
ewasa. Kemampuan kognitif penderita juga berkurang, mengakibatkan kerugian ekonomi
jangka panjang bagi Indonesia. Indonesia menduduki peringkat kelima dunia untuk jumla
h anak dengan kondisi stunting. Lebih dari sepertiga anak berusia di bawah lima tahun di
Indonesia tingginya berada di bawah rata-rata.5,8
Secara global, pada tahun 2011 lebih dari 25% jumlah anak yang berumur dibawah l
ima tahun yaitu sekitar 165 juta anak mengalami stunting, sedangkan untuk tingkat Asia,
pada tahun 2005-2011 Indonesia menduduki peringkat kelima prevalensi stunting terting
gi. Menurut Riskesdas (2019) turun menjadi 27,67% dari prevalensi stunting sebelumnya
menurut Riskesdas 2018 yaitu 30,8%.Artinya, pertumbuhan tak maksimal diderita oleh se
kitar 8,9 juta anak Indonesia, atau satu dari tiga anak Indonesia. 5 Menurut WHO, apabila
masalah stunting di atas 20% maka merupakan masalah kesehatan masyarakat.2
Anak memiliki ciri khas yang selalu tumbuh dan berkembang sejak saat konspesi sa
mpai masa remaja akhir. Pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran dan jumlah sel serta j
aringan interseluler, yang berarti juga bertambahnya ukuran fisik dan struktur tubuh seba
gian atau secara keseluruhan. Pertumbuhan bersifat kuantitatif, dengan demikian

vi
pertumbuhan dapat diukur dengan menggunakan satuan panjang atau satuan berat. P
ertumbuhan memiliki ciri-ciri sebagai berikut: perubahan ukuran, perubahan proporsi, me
nghilangnya ciri-ciri lama, dan timbulnya ciri-ciri baru. 8,9
Pertumbuhan tinggi badan pada manusia tidak seragam di setiap tahap kehidupan. P
ertumbuhan maksimal terjadi sebelum kehidupan, pada bulan ke-4 kehidupan janin, yaitu
1,5 mm per hari, setelah itu ada penurunan kecepatan secara progresif. Setelah lahir, bayi
masih dapat tumbuh dengan sangat cepat dibandingkan dengan anak yang lebih tua. Satu
tahun setelah lahir, panjang badan bayi meningkat 50% dan pada tahun kedua panjang ba
dan bertambah 12-13 cm. Setelah itu peningkatan tinggi badan merata sekitar 5-6 cm per
tahun. Pada umur 9 tahun rata-rata tinggi badan adalah 120 cm dan kemudian bertumbuh
sekitar 6 cm setiap tahunnya. Peak of growth velocity (puncak kecepatan pertumbuhan) te
rjadi pada masa remaja, yakni pada umur 10½–11 tahun pada perempuan dan 12½-13 tah
un pada laki-laki. Dalam tahap ini, pertambahan tinggi badan pada laki-laki sekitar 20 cm
terutama karena pertumbuhan pada batang tubuh, dan sekitar umur 14 tahun mereka bertu
mbuh sekitar 10 cm setiap tahunnya. Pada perempuan, pertambahan tinggi badan sekitar
16 cm saat growth spurt. Percepatan pertumbuhan pertama kali terjadi pada kaki dan tang
an, kemudian pada betis dan lengan bawah, diikuti pinggul dan dada, dan kemudian bahu.
Pertumbuhan pada kaki lebih dulu berhenti daripada hampir semua bagian kerangka lainn
ya. Pertumbuhan pada masa balita lebih lambat dibandingkan pada masa bayi, namun per
tumbuhannya stabil. Memperlambat kecepatan pertumbuhan tercermin dalam penurunan
nafsu makan, padahal anak-anak membutuhkan energi dan zat gizi yang memadai untuk
memenuhi kebutuhan gizi mereka.9
Masalah gizi yang paling banyak ditemukan pada anak di Indonesia adalah stunting,
yaitu gangguan pertumbuhan yang terjadi akibat kondisi kekurangan gizi kronis dan atau
penyakit infeksi kronis. Indikator yang digunakan untuk menilai status anak stunting adal
ah melalui panjang badan menurut usia (PB/U). Berdasarkan WHO child growth standart,
nilai z-score PB/U kurang dari -2 Standar Deviasi (SD) termasuk dalam kategori stunting.
Oleh karena itu, stunting didefinisikan sebagai retardasi pertumbuhan linier kurang dari
minus dua standar deviasi (-2 SD) panjang badan menurut usia.10,11
Pendek (Stunting) didefinsikan sebagai status gizi yang didasarkan pada indeks PB/
U atau TB/U dimana dalam standar antropometri penilaian status gizi anak, hasil

vii
pengukuran tersebut berada pada ambang batas (Z-Score) <-2 SD sampai dengan -3
SD (pendek/ stunted) dan <-3 SD (sangat pendek / severely stunted). Adapun seorang bay
i baru lahir dikatakan stunting apabila panjang badan lahir < 46,1 cm untuk laki – laki da
n < 45,4 cm untuk perempuan. Stunting dapat terjadi mulai janin masih dalam kandungan
dan baru nampak saat anak berusia dua tahun. Seorang anak yang mengalami kekerdilan
(stunted) sering terlihat seperti anak dengan tinggi badan yang normal, namun sebenarnya
mereka lebih pendek dari ukuran tinggi badan normal untuk anak seusianya. Stunting dap
at dimulai sejak sebelum kelahiran disebabkan karena gizi ibu selama kehamilan buruk, p
ola makan yang buruk, kualitas makanan juga buruk, dan intensitas frekuensi menderita p
enyakit sering.11,12
Stunting merupakan masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi y
ang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai denga
n kebutuhan gizi. Dengan kata lain, stunting merupakan hasil jangka panjang konsumsi kr
onis diet berkualitas rendah yang dikombinasikan dengan morbiditas, penyakit infeksi, da
n masalah lingkungan, yang dihubungkan dengan penurunan kapasitas fisik dan psikis, pe
nurunan pertumbuhan fisik, dan pencapaian di bidang pendidikan rendah.Di Indonesia, tr
end kejadian stunting pada balita tidak memperlihatkan perubahan yang bermakna. Data
Riskesdas menunjukkan prevalensi stunting secara nasional pada tahun 2007 sebesar 36,8
% dan pada tahun 2010 sebesar 35,6%. Bila dibandingkan dengan batas “non-public healt
h problem” menurut WHO untuk masalah kependekan sebesar 20%, maka semua provins
i di Indonesia masih dalam kondisi bermasalah kesehatan masyarakat.
Ada beberapa faktor resiko yang dapat memengaruhi terjadinya stunting , yaitu :
a. Jenis kelamin
Anak laki-laki di bawah usia lima tahun lebih mungkin menjadi kerdil daripada wanit
a, yang mungkin menunjukkan bahwa anak laki-laki lebih rentan terhadap kesenjanga
n kesehatan daripada rekan-rekan wanita mereka di kelompok usia yang sama.
b. Pendidikan orang tua
Pendidikan ibu terus berlanjut sebagai pengaruh kuat status gizi anak di daerah kumu
h perkotaan, bahkan setelah mengendalikan factor-faktor lain. Mengingat

viii
stunting adalah prediktor kuat dari modal manusia, penekanan pada pendidikan anak
perempuan dapat berkontribusi untuk memutus siklus kemiskinan di perkotaan miski
n.
c. Ekonomi orang tua
Pendapatan keluarga yang rendah merupakan faktor risiko kejadian stunting pada ana
k. Anak dengan pendapatan keluarga yang rendah memiliki risiko menjadi stunting se
besar 8,5 kali dibandingkan pada anak dengan pendapatan keluarga tinggi. Penelitian
lain menyebutkan bahwa Faktor risiko stunting pada anak balita di Maluku yaitu statu
s sosial ekonomi keluarga yang rendah. Satu dari tiga anak di Negara berkembang da
n miskin mengalami stunting, dengan jumlah kejadian tertinggi berada di kawasan As
ia Selatan yang mencapai 46 % disusul dengan kawasan Afrika sebesar 38 %, sedang
kan secara keseluruhan angka kejadian stunted di Negara miskin dan berkembang me
ncapai 32 %.
d. Perilaku hidup bersih dan sehat
Praktek kebersihan anak memengaruhi pertumbuhan linier anak melalui peningkatan
kerawanan terhadap penyakit infeksi. Faktor lingkungan yang berisiko terhadap kejad
ian stunting pada batita adalah sanitasi lingkungan, hal ini sejalan dengan penelitian
Van der Hoek yang menyatakan bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga yang m
empunyai fasilitas air bersih memiliki prevalensi diare dan stunting lebih rendah darip
ada anak-anak dari keluarga yang tanpa fasilitas air bersih dan kepemilikan jamban. B
atita stunting yang tinggal dengan sanitasi lingkungan yang kurang baik lebih tinggi d
ibanding dengan sanitasi yang baik.

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya keadaan stunting pada anak. Faktor-fak
tor tersebut dapat berasal dari diri anak itu sendiri maupun dari luar diri anak tersebut. Fa
ktor penyebab terjadinya kejadian stunting tidak hanya dipengaruhi oleh faktor tidak lang
sung seperti penyediaan air bersih, cuci tangan pakai sabun dan indikator PHBS lainnya,
faktor lain yang juga berpengaruh terhadap status gizi stunting adalah ketersediaan panga
n, pola asuh bayi dan anak. Pola asuh dan sanitasi lingkungan dipengaruhi oleh tingkat pe
ndidikan ibu, akses informasi dan tingkat pendapatan keluarga.

ix
a. Faktor Langsung
1. Asupan Gizi Balita
Saat ini Indonesia mengahadapi masalah gizi ganda, permasalahan gizi gand
a tersebut adalah adanya masalah kurang gizi di lain pihak masalah kegemukan at
au gizi lebih telah meningkat. Keadaan gizi dibagi menjadi 3 berdasarkan pemenu
han asupannya yaitu:
a) Kelebihan gizi adalah suatu keadaan yang muncul akibat pemenuhan a
supan zat gizi yang lebih banyak dari kebutuhan seperti gizi lebih, obe
sitas atau kegemukan.
b) Gizi baik adalah suatu keadaan yang muncul akibat pemenuhan asupan
zat gizi yang sesuai dengan kebutuhan.
c) Kurang gizi adalah suatu keadaan yang muncul akibat pemenuhan asu
pan zat gizi yang lebih sedikit dari kebutuhan seperti gizi kurang dan b
uruk, pendek, kurusdan sangat kurus.
Asupan gizi yang adekuat sangat diperlukan untuk pertumbuhan dan perkem
bangan tubuh balita. Masa kritis ini merupakan masa saat balita akan mengalami t
umbuh kembang dan tumbuh kejar. Balita yang mengalami kekurangan gizi sebel
umnya masih dapat diperbaiki dengan asupan yang baik sehingga dapat melakuka
n tumbuh kejar sesuai dengan perkembangannya. Namun apabila intervensinya ter
lambat balita tidak akan dapat mengejar keterlambatan pertumbuhannya yang dise
but dengan gagal tumbuh. Begitu pula dengan balita yang normal kemungkinan te
rjadi gangguan pertumbuhan bila asupan yang diterima tidak mencukupi. Dalam p
enelitian yang menganalisis hasil Riskesdas menyatakan bahwa konsumsi energi
balita berpengaruh terhadap kejadian balita pendek, selain itu pada level rumah ta
ngga konsumsi energi rumah tangga di bawah rata-rata merupakan penyebab terja
dinya anak balita pendek.
Asupan gizi yang sesuai dengan kebutuhan akan membantu pertumbuhan da
n perkembangan anak. Sebaliknya asupan gizi yang kurang dapat menyebabkan k
ekurangan gizi salah salah satunya dapat menyebabkan stunting.

x
2. Penyakit Infeksi
Penyakit infeksi merupakan salah satu faktor penyebab langsung stunting, K
aitan antara penyakit infeksi dengan pemenuhan asupan gizi tidak dapat dipisahka
n. Adanya penyakit infeksi akan memperburuk keadaan bila terjadi kekurangan as
upan gizi. Anak balita dengan kurang gizi akan lebih mudah terkena penyakit infe
ksi. Penyakit infeksi akan ikut menambah kebutuhan akan zat gizi untuk membant
u perlawanan terhadap penyakit ini sendiri. Pemenuhan zat gizi yang sudah sesuai
dengan kebutuhan namun penyakit infeksi yang diderita tidak tertangani akan tida
k dapat memperbaiki status kesehatan dan status gizi anak balita. Untuk itu penan
ganan terhadap penyakit infeksi yang diderita sedini mungkin akan membantu per
baikan gizi dengan diiimbangi pemenuhan asupan yang sesuai dengan kebutuhan
anak balita.
Penyakit infeksi yang sering diderita balita seperti cacingan, Infeksi saluran
pernafasan Atas (ISPA), diare dan infeksi lainnya sangat erat hubungannya denga
n status mutu pelayanan kesehatan dasar khususnya imunisasi, kualitas lingkunga
n hidup dan perilaku sehat. Ada beberapa penelitian yang meneliti tentang hubung
an penyakit infeksi dengan stunting yang menyatakan bahwa diare merupakan sal
ah satu faktor risiko kejadian stunting pada anak usia dibawah 5 tahun.

b. Faktor Tidak Langsung


1. Ketersediaan Pangan
Akses pangan pada rumah tangga menurut Bappenas adalah kondisi penguas
aan sumberdaya (sosial, teknologi, finansial/keuangan, alam, dan manusia) yang c
ukup untuk memperoleh dan/atau ditukarkan untuk memenuhi kecukupan pangan,
termasuk kecukupan pangan di rumah tangga. Masalah ketersediaan ini tidak han
ya terkait masalah daya beli namun juga pada pendistribusian dan keberadaan pan
gan itu sendiri, sedangkan pola konsumsi pangan merupakan susunan makanan ya
ng biasa dimakan mencakup jenis dan jumlah dan frekuensi dan jangka waktu tert
entu. Aksesibilitas pangan yang rendah berakibat pada kurangnya pemenuhan kon
sumsi yang beragam, bergizi, seimbang dan nyaman di

xi
tingkat keluarga yang mempengaruhi pola konsumsi pangan dalam keluarga
sehingga berdampak pada semakin beratnya masalah kurang gizi masyarakat.
Ketersediaan pangan yang kurang dapat berakibat pada kurangnya pemenuha
n asupan nutrisi dalam keluarga itu sendiri. Ratarata asupan kalori dan protein ana
k balita di Indonesia masih di bawah Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dapat
mengakibatkan anak balita perempuan dan anak balita laki-laki Indonesia mempu
nyai rata-rata tinggi badan masing-masing 6,7 cm dan 7,3 cm lebih pendek dari pa
da standar rujukan WHO 2005. Oleh karena itu penanganan masalah gizi ini tidak
hanya melibatkan sektor kesehatan saja namun juga melibatkan lintas sektor lainn
ya.
2. Status Gizi Ibu saat Hamil
Status gizi ibu saat hamil dipengaruhi oleh banyak faktor, faktor tersebut dap
at terjadi sebelum kehamilan maupun selama kehamilan. Beberapa indikator peng
ukuran seperti 1) kadar hemoglobin (Hb) yang menunjukkan gambaran kadar Hb
dalam darah untuk menentukan anemia atau tidak; 2) Lingkar Lengan Atas (LIL
A) yaitu gambaran pemenuhan gizimasa lalu dari ibu untuk menentukan KEK ata
u tidak; 3) hasil pengukuran berat badan untuk menentukan kenaikan berat badan
selama hamil yang dibandingkan dengan IMT ibu sebelum hamil.

3. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat


Sanitasi lingkungan juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi st
atus gizi (Suhardjo, 2003). Keadaan lingkungan yang kurang baik memungkinkan
terjadinya berbagai penyakit antara lain diare dan penyakit infeksi. Sanitasi lingku
ngan sangat terkait dengan ketersediaaan air bersih, ketersediaan jamban, jenis lan
tai rumah serta kebersihan peralatan makan pada setiap keluarga. Makin tersedia a
ir bersih untuk kebutuhan seharihari, makin kecil risiko anak terkena penyakit kur
ang gizi (Notoatmodjo, 2005). Penyakit infeksi menyebabkan metabolisme nutrisi
di dalam tubuh terganggu sehingga dapat menyebabkan kekurangan gizi saat pert
umbuhan (Katona dan Apte, 2008). Penelitian Assis (2004), pada anak sekolah di
Brazil, menunjukkan bahwa selain infeksi cacing,

xii
juga terdapat hubungan yang bermakna antara asupan makan yang rendah ju
ga menyebabkan kejadian stunting.
Faktor lingkungan yang berisiko terhadap kejadian stunting pada batita adala
h sanitasi lingkungan, hal ini sejalan dengan penelitian Van der Hoek, yang meny
atakan bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga yang mempunyai fasilitas air
bersih memiliki prevalensi diare dan stunting lebih rendah daripada anak-anak dar
i keluarga yang tanpa fasilitas air bersih dan kepemilikan jamban. Pada penelitian
yang dilakukan oleh Erna Kusumawati, dkk, risiko batita stunting yang tinggal de
ngan sanitasi lingkungan yang kurang baik lebih tinggi dibanding dengan sanitasi
yang baik. Hal ini terjadi karena sebagian besar tempat tinggal batita belum meme
nuhi syarat rumah sehat, ventilasi dan pencahayaan kurang, tidak adanya tempat p
embuangan sampah tutup dan kedap air, tidak memiliki jamban keluarga, serta hal
ini didukung kondisi ekonomi keluarga yang relatif rendah.

2.3 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)


Sehat adalah investasi untuk meningkatkan produktivitas kerja guna meningk
atkan kesejahteraan keluarga. Orang bijak mengatakan bahwa “Sehat memang bu
kan segalanya tetapi tanpa kesehatan segalanya menjadi tidak berarti”. PHBS adal
ah semua perilaku kesehatan yang dilakukan atas kesadaran setiap individu maup
un kelompok. Anggota keluaga dapat menolong dirinya sendiri dibidang kesehata
n dan dapat berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan dimasyarakat sekitarnya untuk
menolong masyarakat yang lain (Depkes RI, 2007). Tujuan PHBS merupakan upa
ya memberikan pengalaman belajar bagi perorangan, keluarga, kelompok, dan ma
syarakat dengan membuka jalur komunikasi, memberikan informasi dan edukasi g
una meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku melalui pendekatan advokasi,
bina suasana, dan gerakan masyarakat, sehingga dapat menerapkan cara-cara hidu
p sehat dalam rangka menjaga, memelihara, dan meningkatkan kesehatan masyara
kat (Depkes RI, 2006).

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) merupakan cerminan pola hidup ke
luarga yang senantiasa memperhatikan dan menjaga kesehatan seluruh anggota

xiii
keluarga. Semua perilaku kesehatan yang dilakukan atas kesadaran sehingga
anggota keluarga dapat menolong dirinya sendiri di bidang kesehatan dan dapat b
erperan aktif dalam kegiatan-kegiatan kesehatan di masyarakat merupakan penger
tian lain dari PHBS. Mencegah lebih baik daripada mengobati, prinsip kesehatan i
nilah yang menjadi dasar dari pelaksanaan PHBS. Kegiatan PHBS tidak dapat terl
aksana apabila tidak ada kesadaran dari seluruh anggota keluarga itu sendiri. Pola
hidup bersih dan sehat harus diterapkan sedini mungkin agar menjadi kebiasaan p
ositif dalam memelihara kesehatan.
Beberapa indikator yang digunakan sebagai dasar dalam pelaksanaan pola hi
dup bersih dan sehat diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Ibu hamil memeriksakan kehamilan sedini mungkin dan paling sedikit 4 kali
selama masa kehamilan.
2. Ibu hamil agar memeriksakan diri dan meminta pertolongan persalinan kepada
bidan atau tenaga kesehatan.
3. Ibu memberikan ASI saja kepada bayinya selama 4 bulan pertama kelahiran.
4. Semua bayi harus diimunisasi lengkap sebelum berusia 1 tahun.
5. Semua bayi dan balita harus ditimbang berat badannya sejak lahir sampai usia
5 tahun di posyandu atau sarana kesehatan.
6. Setiap orang agar makan makanan yang mengandung unsur zat tenaga, zat
pembangun, zat pengatur sesuai dengan Pedoman Umum Gizi Seimbang (PU
GS).
7. Semua orang menggunakan garam yodium untuk keperluan makan seharihari.
8. Ibu hamil agar minum tablet tambah darah atau tablet zat besi selama masa
kehamilan,
9. Semua orang agar membuang air besar atau tinja di jamban atau WC.
10. Semua orang agar mencuci tangan dengan sabun setelah buang air besar dan
waktu akan makan.

Keluarga yang melaksanakan PHBS maka setiap rumah tangga akan mening
katkan kesehatannya dan tidak mudah sakit. Rumah tangga yang sehat dapat meni
ngkatkan produktivitas kerja anggota keluarga. Dengan meningkatnya

xiv
kesehatan anggota rumah tangga maka biaya yang tadinya dialokasikan untu
k kesehatan dapat dialihkan untuk biaya investasi seperti biaya pendidikan dan us
aha lain yang dapat meningkatkan kesejahteraan anggota rumah tangga.
Salah satu indikator menilai keberhasilan Pemerintah Daerah Kabupaten atau
Kota dibidang kesehatan adalah pelaksanaan PHBS, PHBS juga bermanfaat untuk
meningkatkan citra pemerintah daerah dalam bidang kesehatan, sehingga dapat m
enjadi percontohan rumah tangga sehat bagi daerah lain.

2.4 Hubungan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (10 Indikator) dengan Kejadian Stunting
1. Ibu mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan aktivitas
Faktor hygiene merupakan faktor determinan stunting. Perilaku pengasuh tidak m
encuci tangan menggunakan sabun sebelum menyiapkan atau memberi makan anakny
a berpengaruh terhadap kejadian stunting. Ibu adalah penyedia makanan dalam keluar
ga bila ibu mencuci tangan kurang adekuat akan menimbulkan bacteria seperti Staphy
lococcus, Streptococcus dan Escheria colli. Ditemukan proporsi stunting yang lebih re
ndah 16,7% pada ibu yang memiliki kebiasaan mencuci tangan dibandingkan dengan
ibu yang tidak terbiasa mencuci tangan. Telah cukup jelas bahwa anak-anak lebih dip
engaruhi oleh kontaminasi lingkungan sejak mereka mulai merangkak, berjalan, menc
ari tahu dan meletakkan objek di mulut mereka, meningkatkan risiko bakteri feses pe
ncernaan dari sumber manusia dan binatang. Hal ini menyebabkan diare dan kecacing
an berulang, yang dapat menurunkan status gizi anak. Lebih penting lagi, bukti yang a
da menunjukkan bahwa penyebab kunci kekurangan gizi pada anak merupakan sebua
h gangguan subklinis pada usus kecil yang diketahui sebagai tropical enteropathy, yan
g disebabkan oleh bakteri feses yang tercerna dalam jumlah yang besar oleh anak yan
g tinggal atau terpapar dengan lingkungan dan hygiene yang buruk.
2. Ibu melakukan 3M plus setiap 1 minggu sekali
Dalam penanganan DBD, peran serta masyarakat untuk menekan kasus ini sangat
menentukan. Oleh karenanya program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan
cara 3M Plus perlu terus dilakukan secara berkelanjutan sepanjang tahun khususnya p
ada musim penghujan. Program PSN , yaitu: 1) Menguras, adalah membersihkan

xv
tempat yang sering dijadikan tempat penampungan air seperti bak mandi, ember a
ir, tempat penampungan air minum, penampung air lemari es dan lain-lain 2) Menutu
p, yaitu menutup rapat-rapat tempat-tempat penampungan air seperti drum, kendi, tor
en air, dan lain sebagainya; dan 3) Memanfaatkan kembali atau mendaur ulang baran
g bekas yang memiliki potensi untuk jadi tempat perkembangbiakan nyamuk penular
Demam Berdarah. Adapun yang dimaksud dengan 3M Plus adalah segala bentuk kegi
atan pencegahan seperti 1) Menaburkan bubuk larvasida pada tempat penampungan ai
r yang sulit dibersihkan; 2) Menggunakan obat nyamuk atau anti nyamuk; 3) Menggu
nakan kelambu saat tidur; 4) Memelihara ikan pemangsa jentik nyamuk; 5) Menanam
tanaman pengusir nyamuk, 6) Mengatur cahaya dan ventilasi dalam rumah; 7) Mengh
indari kebiasaan menggantung pakaian di dalam rumah yang bisa menjadi tempat istir
ahat nyamuk, dan lain-lain.
3. Ibu melakukan aktivitas fisik selama 30 menit
Germas merupakan gerakan nasional yang diprakarsai oleh Presiden RI Joko Wid
odo dengan mengedepankan upaya promotif dan preventif, serta melibatkan seluruh k
omponen bangsa dalam memasyarakatkan paradigma sehat. Lintas sektor diharapkan
dapat membuat kebijakan yang dapat mendukung pengimplementasian Germas. Ger
mas meliputi kegiatan aktivitas fisik, konsumsi buah dan sayur, tidak merokok, meme
riksakan kesehatan secara rutin, membersihkan lingkungan, dan menggunakan jamba
n. Germas secara nasional dimulai dengan berfokus pada 3 kegiatan, yakni melakuka
n aktivitas fisik 30 menit per hari, mengkonsumsi buah dan sayur, dan memeriksakan
kesehatan secara rutin minimal 6 bulan sekali sebagi upaya deteksi dini penyakit. Ger
mas menjadi penting diaplikasikan dalam kehidupansehari-hari sebagai upaya menghi
ndari stunting. Banyak faktor yang menyebabkan stunting, di antaranya dari faktor ib
u yang kurang nutrisi di masa remajanya, masa kehamilan, masa menyusui, dan infek
si pada ibu. Faktor lainnya berupa kualitas pangan, yakni rendahnya asupan vitamin d
an mineral, buruknya keragaman pangan dan sumber protein hewani, dan faktor lain s
eperti ekonomi, pendidikan, infrastruktur, budaya, dan lingkungan.
4. Ibu mengonsumsi sayur dan buah setiap hari

xvi
Pada seorang wanita dewasa yang sedang hamil, kebutuhan gizinya dipergunakan
untuk kegiatan rutin dalam proses metabolisme tubuh, aktivitas fisik, serta menjaga k
eseimbangan segala proses dalam tubuh. Di samping proses yang rutin juga diperluka
n energi dan gizi tambahan untuk pembentukan jaringan baru, yaitu janin, plasenta, ut
erus serta kelenjar mamae. Ibu hamil dianjurkan makan secukupnya saja, bervariasi s
ehingga kebutuhan akan aneka macam zat gizi bisa terpenuhi. Makanan yang diperluk
an untuk pertumbuhan adalah makanan yang mengandung zat pertumbuhan atau pem
bangun yaitu protein, selama itu juga perlu tambahan vitamin dan mineral untuk mem
bantu proses pertumbuhan itu. Selain pada wanita hamil, kebutuhan gizi ibu juga haru
s diperhatikan selama masa menyusui. Jumlah makanan untuk ibu yang sedang meny
usui lebih besar dibanding dengan ibu hamil, akan tetapi kualitasnya tetap sama. Pada
ibu menyusui diharapkan mengkonsumsi makanan yang bergizi dan berenergi tinggi,
seperti diisarankan untuk minum susu sapi, yang bermanfaat untuk mencegah kerusak
an gigi serta tulang. Susu untuk memenuhi kebutuhan kalsium dan flour dalam ASI.
5. Ibu / anggota rumah tangga merokok dalam rumah
Kesehatan yang juga mengkhawatirkan di Indonesia adalah semakin banyaknya ju
mlah perokok yang berarti semakin banyak penderita gangguan kesehatan akibat mer
okok ataupun menghirup asap rokok (bagi perokok pasif) yang umumnya adalah pere
mpuan dan anak-anak. Terdapat seorang perokok atau lebih dalam rumah akan memp
erbesar resiko anggota keluarga menderita sakit, seperti gangguan pernapasan, memp
erburuk asma dan memperberat penyakit angin apectoris serta dapat meningkatkan re
siko untuk mendapat serangan ISPA khususnya pada balita. Anak- anak yang orangtu
anya perokok lebih mudah terkena penyakit saluran pernapasan seperti flu, asma pneu
monia dan penyakit saluran pernapasan lainnya. Selain itu, tingginya kebiasaan mero
kok dapat menggeser pengeluaran pangan, sehingga pada keluarga yang memiliki ang
gota kelompok rawan seperti balita, ibu hamil, anak usia sekolah dapat mengalami ris
iko kekurangan pangan, serta dapat mempengaruhi pertumbuhan balita dikarenakan d
ana yang dialokasikan keluarga lebih besar untuk rokok dibandingkan asupan makana
n bergizi untuk balitanya.
6. Ibu menggunakan air bersih untuk keperluan rumah tangga

xvii
Air merupakan komponen lingkungan yang penting bagi kehidupan manusia. Di d
alam Undang-undang Kesehatan No. 23 tahun 1992 ayat 3 terkandung makna bahwa
air minum yang dikonsumsi oleh masyarakat harus memenuhi persyaratan, baik kualit
as maupun kuantitas. Persyaratan kualitas ini tertuang di dalam Peraturan Menteri Ke
sehatan (Permenkes) No. 416/1990 tentang syarat-syarat dan pengawasan kualitas air.
Masalah gizi pada bayi dan anak balita di Indonesia disebabkan penyakit infeksi yang
erat kaitannya dengan sanitasi air. Penyakit diare termasuk salah satu penyakit dengan
sumber penularan melalui air (water borne diseases), dan penyakit diare yang terjadi
pada anak balita umumnya disertai muntah. Kurangnya akses masyarakat terhadap air
bersih atau air minum serta buruknya sanitasi dan perilaku higiene berkontribusi terha
dap angka kejadian stunting. Upaya penurunan angka kejadian penyakit bayi dan balit
a dapat diusahakan dengan menciptakan sanitasi lingkungan yang sehat, yang pada ak
hirnya akan memperbaiki status gizinya dan menurunkan angka kejadian stunting.
7. Ibu / anggota rumah tangga menggunakan jamban sehat
Salah satu infeksi patogen yang berkaitan dengan kejadian stunting adalah infeksi
soil-transmitted helminth (STH), yaitu Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, dan
hookworm yang terdiri dari Necator americanus dan Ancylostoma duodenale. Infeksi
STH dapat menyebabkan penurunan nafsu makan, asupan makanan, deplesi dan gang
guan penyerapan mikronutrien serta anemia sehingga balita menjadi kehilangan nutris
i. Studi menunjukkan bahwa anemia akibat infeksi STH juga merupakan faktor risiko
stunting. Untuk melawan infeksi parasit, sistem imun balita akan memproduksi sitoki
n yaitu interleukin 1. Sitokin ini diketahui dapat menurunkan aktivitas metabolik dan
menekan nafsu makan karena meningkatnya kadar hormon leptin dalam darah, yaitu
hormon yang menyebabkan supresi asupan makanan. A. lumbricoides dapat menyeba
bkan kerusakan intestinal sehingga mengurangi area permukaan untuk pencernaan da
n absorbsi. Begitu juga dengan hookworm, Trichuris trichiura, dan schistosomiasis ya
ng dapat menurunkan ketersediaan nutrisi karena anemia defisiensi besi akibat kehila
ngan darah. Studi lain mengatakan bahwa tingginya intensitas infeksi STH berkaitan
dengan menurunnya length-forage Z score pada balita yang merupakan salah satu indi
kator status nutrisi pada balita. Selain STH,

xviii
infeksi patogen lain yang dapat menyebabkan stunting adalah Shigella dysentriae,
Giardia duodenalis/lamblia, dan Schistosoma japonicum. Infeksi Shigella, khususnya
S. dysentriae tipe 1, berhubungan dengan hilangnya protein usus yang akan berhenti s
etelah diberikan terapi antimikroba. Kehilangan protein ini memungkinan balita untuk
semakin rentan mengalami stunting. Studi lain yang dilakukan selama 15 tahun meng
atakan bahwa stunting pada balita di Brazil dan Ekuador berkaitan dengan diare persi
sten yang dialami akibat infeksi Giardia. Balita dengan schistosomiasis kronis dikatak
an dapat mengalami stunting berkaitan dengan inflamasi granulomatosa kronis dan pe
ningkatan level sitokin proinflamatoris. Terdapat studi yang mengatakan bahwa ko-in
feksi A. lumbricoides-G. lamblia pada anak-anak perkotaan memiliki hubungan yang
lebih kuat dengan stunting daripada mono-infeksi dari A. lumbricoides atau G. lambli
a. Adanya penggunaan jamban sehat dalam keluarga dapat mengurangi risiko balita te
rkena infeksi STH tersebut.
8. Persalinan ditolong tenaga medis
Stunting merupakan manifestasi dari kegagalan pertumbuhan (growth faltering) y
ang dimulai sejak dalam kandungan hingga anak berusia dua tahun. Pencegahan dan
penanggulangan stunting harus dimulai secara tepat sebelum kelahiran dan berlanjut s
ampai anak berusia dua tahun. Keberhasilan upaya pemerintah dalam pelayanan kese
hatan ibu dan anak dapat dilihat dari peningkatan persalinan yang ditolong oleh tenag
a kesehatan (linakes) di Indonesia. Di tujuh provinsi kawasan Indonesia timur, satu da
ri setiap tiga persalinan berlangsung tanpa mendapatkan pertolongan dari tenaga kese
hatan apapun, hanya ditolong oleh dukun bayi atau anggota keluarga. Proporsi persali
nan di fasilitas kesehatan masih rendah, yaitu sebesar 55 persen. Lebih dari setengah
perempuan di 20 provinsi tidak mampu atau tidak mau menggunakan jenis fasilitas ke
sehatan apapun, sebagai penggantinya mereka melahirkan di rumah mereka sendiri.
Persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan dianggap memenuhi persyaratan s
teril dan aman, karena apabila persalinan yang dilakukan merupakan persalinan sehat,
maka kemungkinan ibu maupun bayi untuk mengalami penyakit infeksi dapat berkura
ng. Infeksi yang berlangsung kronik pada bayi dapat mempengaruhi status gizi bayi te
rsebut sehingga dapat mengakibatkan terjadinya stunting.

xix
Selain itu, perempuan yang melahirkan di fasilitas kesehatan memungkinkan untu
k memperoleh akses ke pelayanan obstetrik darurat dan perawatan bayi baru lahir, me
skipun pelayanan ini tidak selalu tersedia di semua fasilitas kesehatan. Apabila ibu m
engalami komplikasi persalinan maka penanganan atau pertolongan pertama pada ruj
ukan dapat segera dilakukan, sehingga angka mortalitas dan morbiditas baik pada ibu
maupun bayi dapat ditekan. Terlebih lagi bila pelayanan perawatan bayi baru lahir ter
sedia di fasilitas kesehatan, maka akan ada kegiatan terkait Inisiasi Menyusui Dini (I
MD), promosi menyusui ASI eksklusif (konseling individu dan kelompok), imunisasi
dasar, pantau tumbuh kembang secara rutin setiap bulan, dan penanganan bayi sakit s
ecara tepat. Dengan demikian, risiko terjadinya stunting lebih kecil pada ibu yang me
nerima fasilitas kesehatan memadai dibandingkan ibu yang tidak memperoleh pertolo
ngan persalinan oleh tenaga medis.
9. Ibu membawa balita 1 bulan sekali ke posyandu
Balita yang kurang gizi mempunyai risiko meninggal lebih tinggi dibandingkan b
alita yang tidak kurang gizi. Setiap tahun kurang lebih 11 juta dari balita di seluruh du
nia meninggal disebabkan penyakit-penyakit infeksi seperti ISPA, diare, malaria, cam
pak dan lain-lain. Ironisnya, 54% kematian tersebut berkaitan dengan adanya kurang
gizi. Kurang gizi pada usia dini juga akan meningkatkan resiko berbagai penyakit deg
eneratif (jantung, kanker) pada saat dewasa. Masa balita menjadi lebih penting lagi ka
rena merupakan masa yang kritis dalam upaya menciptakan sumberdaya manusia yan
g berkualitas. Terlebih pada 6 bulan terakhir masa kehamilan dan dua tahun pertama s
etelah kelahiran merupakan masa emas dimana sel-sel otak sedang mengalami pertum
buhan dan perkembangan yang optimal.
Gagal tumbuh (growth faltering) yang terjadi akibat kurang gizi di masamasa ema
s ini akan berakibat buruk pada kehidupan berikutnya yang akan sulit diperbaiki. Ana
k yang menderita kurang gizi (stunted) berat mempunyai rata-rata IQ 11 point lebih re
ndah dibandingkan rata-rata anak-anak yang tidak stunted. Kurang gizi pada usia dini
juga akan meningkatkan resiko berbagai penyakit degeneratif (jantung, kanker) pada
saat dewasa. Salah satu bentuk peran serta masyarakat dalam bidang kesehatan adalah
Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) yang dibentuk oleh dan untuk masyarakat itu sen
diri. Posyandu merupakan salah satu upaya pelayanan kesehatan

xx
yang dikelola oleh masyarakat dengan dukungan teknis petugas kesehatan. Kegiat
an Posyandu meliputi 5 program pelayanan kesehatan dasar, yaitu Kesehatan Ibu dan
Anak(KIA), imunisasi, Keluarga Berencana (KB), Perbaikan gizi dan Penanggulanga
n diare.
Menimbang berat badan setiap bulan bisa diketahui apakah anak tersebut tumbuh
normal sesuai jalur pertumbuhannya atau tidak, mengetahui secara lebih awal terjadin
ya gangguan pertumbuhan pada individu balita sehingga dapat memberikan tindakan
penanggulangan segera pada anak yang mengalami gangguan pertumbuhan agar dapa
t dikembalikan ke jalur pertumbuhan normalnya, memberikan konseling pada ibu/pen
gasuh anak dalam upaya mempertahankan atau meningkatkan keadaan gizi dan keseh
atan anak, serta mengurangi risiko terjadinya stunting.
10. Ibu memberikan ASI eksklusif
ASI merupakan asupan gizi yang sesuai dengan dengan kebutuhan akan membant
u pertumbuhan dan perkembangan anak. Bayi yang tidak mendapatkan ASI dengan c
ukup berarti memiliki asupan gizi yang kurang baik dan dapat menyebabkan kekuran
gan gizi salah salah satunya dapat menyebabkan stunting. Prasetyono (2009) mengata
kan bahwa salah satu manfaat ASI eksklusif adalah mendukung pertumbuhan bayi ter
utama tinggi badan karena kalsium ASI lebih efisien diserap dibanding susu penggant
i ASI atau susu formula. Sehingga bayi yang diberikan ASI Eksklusif cenderung mem
iliki tinggi badan yang lebih tinggi dan sesuai dengan kurva pertumbuhan dibanding d
engan bayi yang diberikan susu formula. ASI mengandung kalsium yang lebih banya
k dan dapat diserap tubuh dengan baik sehingga dapat memaksimalkan pertumbuhan t
erutama tinggi badan dan dapat terhindar dari resiko stunting. ASI juga memiliki kada
r kalsium, fosfor, natrium, dan kalium yang lebih rendah daripada susu formula, seda
ngkan tembaga, kobalt, 8 dan selenium terdapat dalam kadar yang lebih tinggi. Kandu
ngan ASI ini sesuai dengan kebutuhan bayi sehingga dapat memaksimalkan pertumbu
han bayi termasuk tinggi badan. Berdasarkan hal tersebut dapat dipastikan bahwa keb
utuhan bayi terpenuhi, dan status gizi bayi menjadi normal baik tinggi badan maupun
berat badan jika bayi mendapatkan ASI Eksklusif. Namun, ASI Eksklusif bukan meru
pakan satu-satunya faktor yang mempengaruhi kejadian stunting terdapat faktor lain s
eperti asupan gizi,

xxi
penyakit infeksi, ketersediaan pangan, status Gizi ibu hamil, berat badan lahir, pa
njang badan lahir dan MP ASI.

xxii
xxiii

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian


Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif, dengan rancangan pene
litian cross-sectional untuk mengetahui Gambaran Perilaku Hidup Bersih dan Sehat deng
an kejadian stunting pada Balita di Desa Silagalaga, Kecamatan Doloksanggul, Humbang
Hasundutan, Sumatera Utara.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian


3.2.1. Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Desa Silagalaga, Kecamatan Doloksanggul, Humbang
Hasundutan, Sumatera Utara.

3.2.2. Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan pada Selasa 13 April 2021.

3.3. Populasi Penelitian


3.3.1. Populasi Target
Populasi target dalam penelitian ini adalah semua balita di Desa Silagalaga, Kecama
tan Doloksanggul, Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.

3.3.2. Populasi Terjangkau


Populasi terjangkau dalam penelitian ini adalah semua balita yang hadir pada
posyandu di Desa Silagalaga pada tanggal 13 April 2021.

3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi


3.4.1. Kriteria Inklusi
- Responden merupakan orang tua dengan anak balita stunting.
- Responden merupakan orang tua dengan anak balita tidak stunting.
- Responden bersedia untuk melakukan penelitian dan mengisi kuesioner.

xxiii
- Responden yang berdomisili di Desa Silagalaga, Kecamatan Doloksanggul,
Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.
3.4.2. Kriteris Eksklusi
o Responden tidak bersedia untuk melakukan penelitian dan mengisi kuesioner.
o Responden dan atau orangtua tidak hadir di posyandu saat penimbangan.
o Responden yang tidak berdomisili di Desa Silagalaga, Kecamatan
Doloksanggul, Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.

3.5. Sampel Penelitian


Untuk pengambilan sampel digunakan teknik non-probability sampling dengan cara
accidental sampling. Dimana semua subjek yang datang dan memenuhi criteria pemiliha
n dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subjek yang diperlukan terpenuhi.

3.6. Variabel Penelitian


3.6.1. Variabel Bebas
Variabel bebas pada penelitian ini adalah perilaku hidup bersih sehat.
3.6.2. Variabel Terikat
Variabel terikat pada penelitian adalah kejadian stunting.

3.7. Definisi Operasional Variabel

Istilah Definisi Alat Ukur Kategori Skala


Stunting Gabungan dari kategori status gizi san Antropome - Stunting Nominal
gat pendek dan pendek. (Kemenkes). tri - Tidak stunting

Perilaku Semua perilaku kesehatan yang dilaku Kuesioner - Persalinan Ibu ditolong ole Nominal
Hidup kan atas kesadaran, sehingga anggota k h tenaga medis (Ya/tidak)
Bersih dan eluarga atau keluarga dapat menolong - Ibu memberikan ASI Ekskl
Sehat dirinya sendiri di bidang kesehatan dan usif kepada anaknya. (Ya/
(PHBS) berperan aktif dalam kegiatan kegiatan Tidak)
kesehatan di masyarakat. - Ibu membawa anaknya kep
osyandu tiap bulan (Ya/Tid
ak)
- Ibu/Keluargamencuci tang
an setelah dan sebelum ber
aktivitas. (Ya/Tidak)
- Ibu/Keluarga melakukan 3

xxiv
M plus tiap minggunya (Y
a/Tidak)
- Ibu/Keluarga merokok di d
alam rumah. (Ya/Tidak)
- Ibu/keluarga mengkonsum
si sayur dan buah setiap ha
ri. (Ya/Tidak)
- Ibu/Keluarga Melakukan
Aktivitas Fisik 30 menit se
hari. (Ya/Tidak)
- Ibu/Keluarga menggunaka
n air bersih untuk kebutuha
n sehari hari. Ya/Tidak)
- Ibu/Keluarga menggunaka
n jamban sehat dirumah
(Ya/Tidak)

xxv
3.8. Sumber Data Penelitian
Sumber data penelitian merupakan data primen yang diperoleh dari pengukuran antr
opometri pada balita dan pengisian kuesioner mengenai PHBS oleh orang tua balita.

3.9. Instrumen Penelitian


1. Alat tulis
2. Lembar pencatatan data
3. Lembar kuesioner
4. Alat antropometri

3.10. Cara Pengumpulan Data


Pengumpulan data dilakukan menggunakan kuesioner dan pengukuran antropometri,
yang meliputi:
a. Meminta izin untuk melakukan penelitian
b. Menjelaskan maksud dan tujuan penelitian
c. Membagikan lembar kuesioner
d. Melakukan pengukuran dengan antropometri
e. Mencatat hasil pengukuran pada lembar pencatatan data
3.11. Rencana Pengelolaan dan Analisis Data
Pengolahan data dilakukan dengan system komputerisasi melalui beberapa proses se
bagai berikut:
1. Editing, untuk memastikan data yang di peroleh terisi semua atau lengkap dan
Dapat dibaca dengan baik, relevan, serta konsisten.
2. Coding, dapat diperoleh dari sumber data yang sudah diperiksa kelengkapann
ya kemudian dilakukan pengkodean sebelum diolah dengan komputer.
3. Entry data, data yang telah di coding diolah dengan bantuan progam komputer.
4. Cleaning, proses pengecekan kembali data yang sudah dientry apakah ada
Kesalahan atau tidak.
5. Analisis data, proses pengolahan data serta menyusun hasil yang akan di

xxvi
laporkan. Analisis data dilakukan dengan menggunakan prosedur analisis univ
ariat yang bertujuan untuk melihat gambaran antara variable penelitian. Penya
jian penelitian, data selanjutnya disajikan secara deskriptif dalam bentuk naras
i, teks, dan tabel.

xxvii
xxviii

BAB IV
HASIL PENELITIAN

4.1. Angka Gizi


Pada saat penelitian, didapatkan sebanyak 30 responden dari Desa Silagalaga
dengan status gizi seperti berikut:

Antropometri Frekuensi Presentase


(%)
Stuntin Stunting 22 76,3
g Normal 8 23,7
TB/U Sangat
10 33,3
pendek
Pendek 13 43,3
Normal 6 20
Tinggi 1 3,4
BB/U Gizi baik 25 83,3
Gizi Kurang 5 16,7
BB/TB Sangat
1 3,5
Kurang
Normal 28 93
Gemuk 1 3,5
Umur <2 tahun 21 70
>= 2tahun 9 30

xxviii
4.2 Hasil kuesioner Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)

Indikator PHBS Frekuensi Presentase


Persalinan ditolong oleh tenaga medis 30 100
Ibu membawa balita 1 bulan sekali ke Posyandu 18 60
Ibu memberikan ASI eksklusif 28 93.33333333
Ibu mencuci tangan sebelum dan sesudah beraktivitas 14 46.66666667
Ibu melakukan 3M plus 4 13.33333333
Ibu melakukan aktivitas fisik selama 30 menit 24 80
Ibu mengonsumsi sayur dan buah setiap hari 2 6.666666667
Ibu/ anggota rumah tidak merokok 0 0
Ibu menggunakan air bersih untuk keperluan rumah tangga 27 90
Ibu/anggota rumah tangga menggunakan jamban sehat 24 80

xxix
xxx

BAB V
PEMBAHASAN

.1. Angka Gizi


Dari hasil penelitian di Desa Silagalaga, Kecamatan Doloksanggul, Humbang
Hasundutan, Sumatera Utara didapatkan bahwa berdasarkan BB/U sebanyak 25 balita
(73,3%) mengalami gizi baik, sebanyak 5 balita (26,7%) mengalami gizi kurang, dan 0
balita (0%) yang mengalami gizi lebih dan gizi buruk. Berdasarkan TB/U didapatkan
bahwa sebanyak 10 balita (33,3%) sangat pendek, sebanyak 13 (43,3%) balita pendek,
sebanyak 6 (20%) balita normal, sebanyak 1 balita (3,4%) tinggi . Berdasarkan BB/TB
didapatkan bahwa sebanyak 1 balita (3,5%) yang sangat kurus, sebanyak 28 balita (93%)
normal, sebanyak 1 balita (3,5%) gemuk. Dapat dilihat dari TB/U bahwa angka stunting
(Z score <-2 SD) sebanyak 23 balita (76,3%) mengalami stunting dan 7 balita (23,5%)
tidak stunting.

5.2 Hubungan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dengan Anka Stunting
A. Persalinan Ditolong Tenaga Medis
Hasil pengisian kuesioner pada pertanyaan Persalinan Ditolong Tenaga Medis
menunjukkan bahwa sebanyak 30 responden (100%) persalinan ditolong oleh tenaga
medis dan sebanyak 0 (0%) melakukan persalinan dirumah dan tidak ditolong oleh
tenaga medis. Dari data di atas, didapatkan bahwa persalinan yang ditolong tenaga
medis tidak menjadi faktor kejadian stunting. Data yang dimiliki Unicef pada tahun
2012 yang menunjukkan bahwa adanya peningkatan proporsi persalinan yang dibantu
oleh tenaga kesehatan yang terlatih, dari 41 % pada tahun 1992 menajdi 82% pada
tahun 2010.41Pada hasil data yang dimiliki Unicef pada tahun 2012, disebutkan bahwa
perbandingan pelayanan persalinan ditolong tenaga medis dengan terjadinya gizi
kurang dan anak bertubuh pendek (stunted) adalah satu dari setiap tiga anak bertubuh
pendek. Hasil penelitian ini juga tidak sejalan dengan teori yang ada yang
mengatakan bahwa risiko terjadinya stunting lebih kecil pada ibu yang menerima
fasilitas kesehatan memadai dibandingkan ibu yang tidak memperoleh pertolongan
persalinan oleh tenaga medis.13,14Hal ini disebabkan karena dari hasil penelitian tidak

xxx
didapatkan data responden yang tidak melakukan persalinan dengan ditolong oleh
tenaga medis.

B. Ibu Membawa Balita 1 Bulan Sekali ke Posyandu


Hasil pengisian kuesioner pada pertanyaan Ibu Membawa Balita 1 Bulan Sekali
ke Posyandu menunjukkan bahwa sebanyak 18 orang (60%) membawa anaknya 1
bulan sekali ke posyandu dan sebanyak 12 orang (40%) yang tidak membawa
anaknya 1 bulan sekali ke Posyandu. Dari data di atas, didapatkan bahwa ibu
membawa balita 1 bulan sekali ke Posyandu merupakan faktor kejadian stunting. Hal
ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dhina Septria
Wahyuningtyas dengan judul Hubungan Persepsi Ibu dan Partisipasi Balita ke
Posyandu dengan Kejadian Stunting pada Balita Usia 36 – 59 bulan di Wilayah Kerja
Puskesmas Gilingan Surakarta yang dilakukan pada tahun 2015, bahwa tidak adanya
hubungan persepsi ibu dan partisipasi balita dengan kejadian Stunting. 42 Berdasarkan
teori yang menyebutkan bahwa keteraturan ibu dalam mengunjungi Posyandu dan
menimbangkan balitanya ke Posyandu bermanfaat sebagai monitoring tumbuh
kembang dan status gizi balita serta deteksi dini terhadap kelainan tumbuh kembang
dan status kesehatan balita sehingga dapat segera ditentukan intervensi lebih lanjut,
sedangkan pada Desa Silagalaga belum didapatkan data mengenai apakah sudah
dilakukan pemanfaatan Posyandu secara maksimal sehingga intervensi dini dapat
dilakukan.15

C. Ibu Memberikan ASI Eksklusif


Pada hasil pengisian kuesioner pertanyaan pemberian ASI eksklusif terdapat 28
balita (93,3%) mendapatkan ASI eksklusif dan sebanyak 2 balita (6,7%) tidak
mendapatkan ASI eksklusif. Dari data di atas, didapatkan bahwa ibu yang
memberikan ASI eksklusif merupakan faktor kejadian stunting. Hal ini sejalan
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sri Indrawati bahwa terdapat hubungan
pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian Stunting.18 Berdasarkan teori yang
menyebutkan bahwa bayi yang diberikan ASI Eksklusif cenderung memiliki tinggi
badan yang lebih tinggi dan sesuai dengan kurva pertumbuhan dibanding dengan bayi

xxxi
yang diberikan susu formula dan kandungan ASI sesuai dengan kebutuhan bayi
sehingga dapat memaksimalkan pertumbuhan bayi termasuk tinggi badan.19

D. Ibu Mencuci Tangan Sebelum dan Sesudah Beraktivitas


Berdasarkan hasil pengisian kuesioner pada pertanyaan Ibu Mencuci Tangan
Sebelum dan Sesudah Aktivitas terdapat 14 orang (46,7%) memiliki kebiasaan
mencuci tangan dan 16 orang (53,3%) tidak memiliki kebiasaan mencuci tangan baik.
Dari data di atas, didapatkan bahwa ibu yang mencuci tangan sebelum dan sesudah
beraktivitas merupakan faktor kejadian stunting. Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan Van der Hoek bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara kebiasaan mencuci tangan dengan kejadian stunting.19
Pada teori dijelaskan bahwa hubungan antara kebiasaan mencuci tangan dengan
stunting berkaitan dengan kontaminasi lingkungan sejak mereka mulai merangkak, be
rjalan, mencari tahu dan meletakkan objek di mulut mereka, meningkatkan risiko bakt
eri feses pencernaan dari sumber manusia dan binatang. Hal ini menyebabkan diare d
an kecacingan berulang, yang dapat menurunkan status gizi anak. 19

E. Ibu Melakukan 3M Plus Setiap 1 Minggu Sekali


Hasil pengisian kuesioner pada pertanyaan Ibu melakukan 3M plus 1 minggu se
kali menunjukkan bahwa sebanyak 4 orang (13,3%) melakukan 3M Plus setiap
minggu nya, dan sebanyak 26 orang (86,7%) tidak melakukan 3M Plus setiap
minggunya. Dari data di atas, didapatkan bahwa ibu melakukan 3M plus 1 minggu se
kali merupakan faktor kejadian stunting. Adanya hubungan antara Ibu melakukan 3M
plus 1 minggu sekali dengan kejadian stunting dikarenakan ada keterkaitan langsung
antara 3M Plus dengan kejadian stunting, termasuk pada sanitasi lingkungan. Hal ini
sejalan dengan penelitian Schmidt, C.W., (2014) yang menyatakan bahwa rendahnya
kualitas sanitasi dan kebersihan lingkungan dapat memicu terjadinya penyakit infeksi
yang mengakibatkan energi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dialihkan dan digun
akan untuk perlawanan tubuh menghadapi infeksi. Ada beberapa penelitian yang men
eliti tentang hubungan penyakit infeksi dengan stunting yang

xxxii
menyatakan bahwa diare merupakan salah satu faktor risiko kejadian stunting pad
a anak usia dibawah 5 tahun. 20

F. Ibu Melakukan Aktivitas Fisik Selama 30 Menit


Hasil pengisian kuesioner pada pertanyaan Ibu melakukan aktivitas fisik selam
a 30 menit menunjukkan bahwa sebanyak 24 orang (80%) melakukan aktivitas fisik
selama 30 menit dan sebanyak 6 orang (20%) tidak melakukan aktivitas fisik selama
30 menit. Dari data di atas, didapatkan bahwa ibu melakukan aktivitas fisik selama 30
menit merupakan faktor kejadian stunting. Riskesdas tahun 2007 menyatakan bahwa
48.2 persen penduduk Indonesia yang berusia lebih dari 10 tahun kurang melakukan a
ktivitas fisik, dimana kelompok perempuan yang kurang melakukan aktivitas fisik (54
5 persen) lebih tinggi dari pada kelompok laki-laki (41,4 persen). Aktivitas fisik adala
h setiap gerakan tubuh yang meningkatkan pengeluaran tenaga/energi dan pembakara
n energi. Aktivitas fisik dikategorikan cukup apabila seseorang melakukan latihan fisi
k atau olah raga selama 30 menit setiap hari atau minimal 3-5 hari dalam seminggu.
Masyarakat sadar bahwa dengan meningkatkan aktivitas fisik dengan cara latihan fisi
k atau olahraga yang teratur dapat meningkatkan derajat kesehatan. Tetapi masih ban
yak masyarakat belum paham bahwa latihan fisik atau berolahraga yang baik, benar, t
erukur, dan teratur akan meningkatkan kebugaran jasmani yang penting untuk menjag
a stamina tubuh. Jadi tingkat kebugaran jasmani yang baik akan menurunkan angka k
esakitan. Terlebih lagi jika latihan fisik atau olahraga yang teratur juga dimanfaatkan
selama kehamilan dan masa nifas, persiapan fisik bagi calon usia lanjut sehingga hidu
p tetap aktif dan berkualitas dengan kemandirian secara fisik dan sosial.
Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa aktivitas ibu selama masa keh
amilan dan menyusui dapat mempengaruhi angka kejadian stunting. Adapun gerakan
nasional Germas yang diprakarsai oleh Presiden RI Joko Widodo sebagai upaya prom
otif dan preventif terhadap stunting.Germas secara nasional dimulai dengan berfokus
pada 3 kegiatan, yakni melakukan aktivitas fisik 30 menit per hari, mengkonsumsi bu
ah dan sayur, dan memeriksakan kesehatan secara rutin minimal 6 bulan sekali sebagi
upaya deteksi dini penyakit.

xxxiii
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya stunting, selain faktor ibu yang kura
ng nutrisi di masa remajanya, masa kehamilan, masa menyusui, dan infeksi pada ibu.
Faktor lainnya berupa kualitas pangan, yakni rendahnya asupan vitamin dan mineral,
buruknya keragaman pangan dan sumber protein hewani, dan adapun faktor lain seper
ti ekonomi, pendidikan, infrastruktur, budaya, dan lingkungan.

G. Ibu Mengonsumsi Sayur dan Buah Setiap Hari


Hasil pengisian kuesioner pada pertanyaan Ibu mengonsumsi sayur dan buah
setiap hari menunjukkan bahwa sebanyak 2 orang (6,7%) ibu yang mengonsumsi
sayur dan buah setiap hari, dan sebanyak 28 orang (93,3%) ibu yang tidak
mengonsumsi sayur dan buah setiap hari. Dari data di atas, didapatkan ibu yang
mengonsumsi sayur dan buah setiap hari merupakan faktor kejadian stunting.
Pada seorang wanita dewasa yang sedang hamil, kebutuhan gizinya dipergunakan
untuk kegiatan rutin dalam proses metabolisme tubuh, aktivitas fisik, serta menjaga 
keseimbangan segala proses dalam tubuh. Di samping proses yang rutin juga
diperlukan energi dan gizi tambahan untuk pembentukan jaringan baru, yaitu janin,
plasenta, uterus serta kelenjar mamae. Ibu hamil dianjurkan makan secukupnya saja,
bervariasi sehingga kebutuhan akan aneka macam zat gizi bisa terpenuhi. Makanan
yang diperlukan untuk pertumbuhan adalah makanan yang mengandung zat
pertumbuhan atau pembangun yaitu protein, selama itu juga perlu tambahan vitamin
dan mineral untuk membantu proses pertumbuhan itu. Selain pada wanita hamil, kebu
tuhan gizi ibu juga harus diperhatikan selama masa menyusui. Jumlah makanan untuk
ibu yang sedang menyusui lebih besar dibanding dengan ibu hamil, akan tetapi
kualitasnya tetap sama. Pada ibu menyusui diharapkan mengkonsumsi makanan yang
bergizi dan berenergi tinggi. Dengan demikian, status gizi ibu yang baik dapat mengu
rangi risiko kejadian stunting pada balita. Penelitian ini sejalan yang dilakukan di Ma
diun oleh Ismi Trihardiani pada tahun 2011 mengatakan bahwa ibu hamil yang menga
lami Kurang Energi Kronik (KEK) mempunyai risiko 8,24 kali lebih besar melahirka
n bayi dengan BBLR yang akan berdampak stunting pada anak di masa akan datang.

xxxiv
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sartono pa
da tahun 2013 yang juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan anta
ra ibu hamil Kekurangan Energi Kronis (KEK) dengan kejadian stunting pada balita u
sia 6-24 bulan. Berdasarkan teori yang mendukung hasil penelitian yang dilakukan di
wilayah kerja puskesmas Bontoa kabupaten maros mengatakan ada beberapa faktor y
ang dapat mempengaruhi status gizi ibu saat hamil. Hal ini disebabkan oleh masalah g
izi, masalah gizi yang sering dihadapi ibu hamil yaitu Kurang Energi Kronik (KEK) d
an anemia gizi. Ibu yang mengalami Kurang Energi Kronis (KEK) berarti ibu sudah
mengalami keadaan kurang gizi dalam waktu yang telah lama, bila ini terjadi kebutuh
an gizi untuk proses tumbuh kembang janin menjadi terhambat sehingga ibu berisiko
melahirkan bayi BBLR. Pertumbuhan dan perkembangan bayi dipengaruhi kondisi se
jak dalam kandungan ibu. Berat lahir pada umumnya sangat terkait dengan pertumbu
han dan perkembangan jangka panjang. Sehingga, dampak lanjutan dari BBLR dapat
berupa gagal tumbuh (grouth faltering). Seseorang bayi yang lahir dengan BBLR aka
n sulit dalam mengejar ketertinggalan pertumbuhan awal. Pertumbuhan yang tertingg
al dari yang normal akan menyebabkan anak tersebut menjadi stunting.

H. Ibu/Anggota Rumah Merokok


Hasil pengisian kuesioner pada pertanyaan Ibu atau anggota rumah merokok
menunjukkan bahwa sebanyak 30 orang (100%) ibu atau anggota rumah yang
merokok, dan sebanyak 0 orang (0%) ibu atau anggota rumah yang tidak merokok.
Dari data di atas, didapatkan bahwa ibu atau anggota rumah yang merokok
merupakan faktor kejadian stunting. Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Kyu et al.
(2009) yang menemukan bahwa ada hubungan antara perilaku merokok ibu dan sever
e stunting. Merokok merupakan imunosupresan baik secara in vivo maupun in vitro.
Abnormalitas fungsi imun pada darah tali pusat teridentifikasi pada anak dari ibu yan
g merokok saat hamil. Disamping itu abnormalitas fungsi leukosit juga ditemukan pa
da anak dengan ibu merokok (Hawamdeh et al. 2003). Merokok saat hamil berhubung
an dengan lebih rendahnya berat badan dan panjang badan saat lahir (Kyu et al. 2009).
Rendahnya panjang badan lahir juga menjadi prediktor terjadinya

xxxv
stunting. Selain itu, anggota keluarga merokok juga dapat menghambat kemajuan
status gizi anak melalui kejadian infeksi saluran pernafasan bawah. Anak-anak yang t
erekspos lingkungan dengan asap rokok lebih banyak mengalami infeksi saluran pern
apasan bawah (Hawamdeh et al. 2003). Berdasarkan penelitian Colly et al. dalam Ha
wamdeh et al. (2003), kejadian pneumonia dan bronchitis signifikan berhubungan den
gan kebiasaan merokok orangtua. Jika orangtua bukan perokok, kejadian tahunan 7.8
%, jika salah satu orangtua perokok 11.4% dan jika keduanya perokok 17.6%. Ditemu
kan abnormalitas fungsi leukosit pada anak yang orangtuanya merokok. Nikotin yang
ada dalam rokok secara langsung bereaksi dengan kondrosit (sel tulang rawan) melalu
i reseptor khusus nikotin sehingga menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tulang
(Kyu et al. 2009). Dengan demikian, berdasarkan teori, rata-rata panjang badan anak
dari ibu perokok lebih rendah dibandingkan anak dari ibu bukan perokok.

I. Ibu Menggunakan Air Bersih Untuk Keperluan Rumah Tangga


Hasil pengisian kuesioner pada pertanyaan Ibu menggunakan air bersih untuk
keperluan rumah tangga menunjukkan bahwa sebanyak 27 orang (90%) ibu yang
menggunakan air bersih untuk keperluan rumah tangga, dan sebanyak 3 orang (10%)
ibu yang tidak menggunakan air bersih untuk keperluan rumah tangga. Dari data di
atas, didapatkan bahwa ibu yang menggunakan air bersih untuk keperluan rumah
tangga merupakan faktor kejadian stunting. Bila ibu tidak menggunakan air bersih unt
uk keperluan rumah tangga, hal ini berkaitan dengan sanitasi lingkungan kurang baik.
Terdapat hubungan yang signifikan antara sanitasi air yang kurang baik dengan stunti
ng. Pada penelitian lain ditemukan bahwa anak dengan kondisi air dan sanitasi kurang
baik 54% lebih sering mengalami diare daripada anak yang kondisi air dan sanitasiny
a paling baik. Sanitasi lingkungan kurang baik meningkatkan kejadian infeksi sehingg
a menurunkan kondisi kesehatan anak dan berimplikasi buruk terhadap kemajuan pert
umbuhan anak. Terlebih lagi masalah gizi pada bayi dan anak balita di Indonesia dise
babkan penyakit infeksi yang erat kaitannya dengan sanitasi air. Penyakit diare termas
uk salah satu penyakit dengan sumber penularan melalui air (water borne diseases), d
an penyakit diare yang terjadi pada anak balita umumnya

xxxvi
disertai muntah. Kurangnya akses masyarakat terhadap air bersih atau air minum s
erta buruknya sanitasi dan perilaku higiene berkontribusi terhadap angka kejadian stu
nting. Banyaknya faktor lain seperti sanitasi makanan, faktor ekonomi, dan sebagainy
a dapat mengakibatkan analisis dalam penelitian ini kurang mampu menggambarkan
hubungan antara sanitasi air dan kejadian stunting pada anak, sehingga diperoleh hub
ungan yang tidak signifikan antara penggunaan air bersih untuk keperluan rumah tang
ga dengan kejadian stunting.

J. Ibu/Anggota Rumah Tangga Menggunakan Jamban Sehat


Hasil pengisian kuesioner pada pertanyaan Ibu atau anggota rumah tangga
menggunakan jamban sehat menunjukkan bahwa sebanyak 24 orang (80%) ibu
atau anggota rumah tangga yang menggunakan jamban sehat, dan sebanyak 6 orang
(20%) ibu atau anggota rumah tangga yang tidak menggunakan jamban sehat,. Dari
data di atas, didapatkan bahwa ibu atau anggota rumah tangga yang menggunakan
jamban sehat merupakan faktor kejadian stunting.
Salah satu infeksi patogen yang berkaitan dengan kejadian stunting adalah infeksi
soil-transmitted helminth (STH), yaitu Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, dan
hookworm yang terdiri dari Necator americanus dan Ancylostoma duodenale. Infeksi
STH dapat menyebabkan penurunan nafsu makan, asupan makanan, deplesi dan gang
guan penyerapan mikronutrien serta anemia sehingga balita menjadi kehilangan nutris
i. Studi menunjukkan bahwa anemia akibat infeksi STH juga merupakan faktor risiko
stunting. Untuk melawan infeksi parasit, sistem imun balita akan memproduksi sitoki
n yaitu interleukin 1. Sitokin ini diketahui dapat menurunkan aktivitas metabolik dan
menekan nafsu makan karena meningkatnya kadar hormon leptin dalam darah, yaitu
hormon yang menyebabkan supresi asupan makanan. A. lumbricoides dapat menyeba
bkan kerusakan intestinal sehingga mengurangi area permukaan untuk pencernaan da
n absorbsi. Begitu juga dengan hookworm, Trichuris trichiura, dan schistosomiasis ya
ng dapat menurunkan ketersediaan nutrisi karena anemia defisiensi besi akibat kehila
ngan darah. Studi lain mengatakan bahwa tingginya intensitas infeksi STH berkaitan
dengan menurunnya length-forage Z score pada balita yang merupakan salah satu indi
kator status nutrisi pada balita. Selain STH,

xxxvii
infeksi patogen lain yang dapat menyebabkan stunting adalah Shigella dysentriae,
Giardia duodenalis/lamblia, dan Schistosoma japonicum. Infeksi Shigella, khususnya
S. dysentriae tipe 1, berhubungan dengan hilangnya protein usus yang akan berhenti s
etelah diberikan terapi antimikroba. Kehilangan protein ini memungkinan balita untuk
semakin rentan mengalami stunting. Studi lain yang dilakukan selama 15 tahun meng
atakan bahwa stunting pada balita di Brazil dan Ekuador berkaitan dengan diare persi
sten yang dialami akibat infeksi Giardia. Balita dengan schistosomiasis kronis dikatak
an dapat mengalami stunting berkaitan dengan inflamasi granulomatosa kronis dan pe
ningkatan level sitokin proinflamatoris. Terdapat studi yang mengatakan bahwa ko-in
feksi A. lumbricoides-G. lamblia pada anak-anak perkotaan memiliki hubungan yang
lebih kuat dengan stunting daripada mono-infeksi dari A. lumbricoides atau G. lambli
a. Adanya penggunaan jamban sehat dalam keluarga dapat mengurangi risiko balita te
rkena infeksi STH tersebut.
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Checkley
et al. (2004) yang menemukan bahwa kurangnya sistem pembuangan air limbah/kotor
an yang cukup berhubungan dengan defisitnya tinggi badan anak 0.9 cm (95%CI=0.2
—1.7 cm) saat usia 24 bulan.

xxxviii
xxxix

BAB VI
PENUTUP

6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada 30 Balita berusia dibawah 5 t
ahun di desa Silagalaga, Kecamatan Doloksanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan, Suma
tera Utara yang terdiri dari 22 balita Stunting dan 8 balita tidak stunting, dapat disimbulkan
beberapa hal sebagai berikut :
.
1. Dari hasil penelitian di Desa Silagalaga, Kecamatan Doloksanggul, Kabupaten
Humbang Hasundutan, Sumatera Utara didapatkan bahwa Dari hasil penelitian di Des
a Silagalaga, Kecamatan Doloksanggul, Humbang Hasundutan, Sumatera Utara
didapatkan bahwa berdasarkan BB/U sebanyak 25 balita (73,3%) mengalami gizi
baik, sebanyak 5 balita (26,7%) mengalami gizi kurang, dan 0 balita (0%) yang
mengalami gizi lebih dan gizi buruk. Berdasarkan TB/U didapatkan bahwa sebanyak
10 balita (33,3%) sangat pendek, sebanyak 13 (43,3%) balita pendek, sebanyak 6
(20%) balita normal, sebanyak 1 balita (3,4%) tinggi . Berdasarkan BB/TB
didapatkan bahwa sebanyak 1 balita (3,5%) yang sangat kurus, sebanyak 28 balita
(93%) normal, sebanyak 1 balita (3,5%) gemuk. Dapat dilihat dari TB/U bahwa
angka stunting (Z score <-2 SD) sebanyak 23 balita (76,3%) mengalami stunting dan
7 balita (23,5%) tidak stunting
2. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dengan kejadian stunting yaitu terdapat
hubungan yang signifikan pada 7 dari 10 indikator PHBS yaitu persalinan ditolong
tenaga medis 100% , ibu membawa balita 1 bulan sekali ke Posyandu 60%, ibu
memberikan ASI eksklusif 93%, ibu mencuci tangan sebelum dan sesudah
beraktivitas 46,6%, ibu melakukan 3 M plus 13,3%, ibu mengonsumsi sayur dan buah
setiap hari 6,67, ibu/anggota keluarga tidak merokok 0%, ibu menggunakan air bersih
untuk keperluan rumah tangga 90%, dan ibu/anggota rumah tangga menggunakan
jamban sehat 80%.

xxxix
6.2. Saran
Pada penelitian selanjutnya disarankan untuk meneliti lebih dalam mengenai indik
ator PHBS yang didapatkan memiliki hubungan pada penelitian ini. Selain itu disarankan
juga untuk meneliti faktor-faktor lain yang berhubungan dengan kejadian Stunting seperti
pengaruh tingkat pendidikan ibu terhadap stunting, pengaruh Pola Asuh orang tua terhada
p kejadian stunting dan lain-lain.
Sedangkan untuk instansi terkait dan tenaga medis disarankan untuk melakukan p
enyuluhan perihal pentingnya Perilaku Hidup Bersih dan Sehat sebagai pencegahan terjad
inya Stunting.
Untuk masyarakat sekitar, disarankan untuk meningkatkan perilaku hidup Bersih
dan Sehat untuk meningkatkan status kesehatan balitanya.

xl
DAFTAR PUSTAKA

1. Nasikhah R. Faktor Risiko Kejadian Stunting Pada Balita Usia 24-36 Bulan Di Kecamatan S
emarang Timur, Semarang. JKM. 2012;1:56–64.
2. Aridiyah FO, Rohmawati N, Ririanty M. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Stunti
ng pada Anak Balita di Wilayah Pedesaan dan Perkotaan ( The Factors Affecting Stunting o
n Toddlers in Rural and Urban Areas ). 2015;3(1)
3. Ramli, Agho KE, Inder KJ, Bowe SJ, Jacobs J, Dibley MJ. Prevalence and risk factors for st
unting and severe stunting among under-fives in North Maluku province of Indonesia. BMC
Pediatr [Internet]. 2009;9(1):64 - 73. Tersedia pada: http://bmcpediatr.biomedcentral.com/art
icles/10.1186/1471-2431-9-64
4. Wamani Henry, et al. 2007. Boys are more stunted than girls in Sub-Saharan Africa: a meta-
analysis of 16 demographic and health surveys. BMC Pediatr. 2007; 7: 17
5. MCA Indonesia. Stunting dan Masa Depan Indonesia. Millenn Chall Acc. 2013;2010:2–5.
6. World Health Organization (WHO). World Health Statistics 2012: Risk Factors [Internet]. G
eneva: WHO Library Cataloguing in Publication Data; 2012. Tersedia pada: http://www.app
s.who.int
7. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 201
3. Laporan Nasional. 2013. hal. 256.
8. Narendra M. Tumbuh Kembang Anak dan Remaja. Jakarta: Sagung Seto; 2002.
9. 9. Sinclair DA. Human Growth After Birth Fourth Edition. New York: Oxford University P
ress; 1986.
10. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Rencana Kerja Pembinaan Gizi Masyarakat Ta
hun 2013. Jakarta; 2013.
11. World Health Organization. Nutrition Landscape Information System: Country profile indic
ators. Geneva, Switzerland: World Health Organization; 2010.
12. Hafid F. Faktor Risiko Stunting pada Anak Usia 6-23 Bulan di Kabupaten Jeneponto. Indon
es J Hum Nutr [Internet]. 2016;3(1):42–53. Tersedia pada: www.ijhn.ub.ac.id
13. ACC/SCN. 4th Report The World Nutrition Situation: Nutrition throughout the Life Cycle [I
nternet]. Geneva; 2000. Tersedia pada: www.unscn.org

xli
xlii

14. Organization WH. WHO Child Growth Standards: length/height-for-age, weight-for-age, we


ight-for-length, weight-for-height and body mass index-for-age: methods and development.
Switzerland: WHO Press; 2006.
15. Semba R.D. et al. Effect of Parental Formal Education on Risk of Child Stunting in Indonesi
a and Bangladesh: A Cross Sectional Study. Lancet Artic. 2008;371:322–8.
16. Gibney M, Margetts B, Kearney J, Arab L. Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Penerbit Bu
ku Kedokteran EGC; 2011. 140-156 hal.
17. Kementerian Kesehatan. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia Tahun 2010. Jakart
a; 2010.
18. Semba R, Bloem M. Nutrition and Health in Developing Countries. New Jersey: Humana Pr
ess; 2001.
19. Abuya Bentaya A, et al. Effect of mother’s education on child’s nutritional status in the slum
s of Nairobi. BMC Pediatr. 2012; 12: 80
20. Van der Hoek W, Feenstra. SG, Konradsen F. Availability of irrigation water for domestic u
se in pakistan: its impact on prevalence of diarrhoea and nutritional status of children. Journ
al of Health Population and Nutrition [serial on internet]. 2002 [cited 2014 Aug 5]: 77-Avail
able from: http://www.jstor.org/ discover/10.2307/23498727?sid= 21105796087873&uid=2
&uid=4
21. Model PengendalianFaktorRisiko Stunting pada BatitaKusumawati, Rahardjo, Sari, Model P
engendalianFaktorRisiko Stunting pada Anak Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasion
al Vol. 9, No. 3, Februari 2015 254

xlii
LAMPIRAN

LEMBAR KUESIONER

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU HIDUP BERSIH (PHBS) DENGAN KEJADIAN


STUNTING PADA BALITA DI DESA SILAGA-LAGA, KECAMATAN
DOLOKSANGGUL, KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN, PROVINSI
SUMATERA UTARA PADA BULAN APRIL 2021

NO. PERTANYAAN YA TIDAK


1. Persalinan ditolong tenaga medis

Apakah persalinan ibu dibantu oleh tenaga kesehatan ahli (d


okter, bidan, dan para medis lainnya) ?

2. Ibu membawa balita 1 bulan sekali ke Posyandu

Apakah ibu menimbang balita setiap bulan mulai dan berat b


adan balita dicatat dalam Kartu Menuju Sehat (KMS)?

3. Ibu memberikan ASI Ekslusif

Apakah ibu memberikan ASI saja sejak lahir sampai usia 6 b


ulan?

4. Ibu mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan akt


ivitas

Apakah ibu dan anggota keluarga selalu mencuci tangan den


gan air bersih yang mengalir dan memakai sabun?

5. Ibu Melakukan 3M plus setiap 1 minggu sekali

Apakah ibu melakukan pemberantasan sarang nyamuk di ru


mah satu kali dalam seminggu agar bebas jentik?

xliii
xliv

6. Ibu melakukan aktivitas fisik selama 30 menit

Apakah ibu dan anggota keluarga yang berusia 10 tahun keat


as melakukan kegiatan fisik (berjalan kaki / berkebun / menc
ucui pakaian/mengepel lantaidll) selama 30 menit setiap hari
dalam 1 minggu?

7. Ibu mengonsumsi sayur dan buah setiap hari

Apakah ibu dan anggota keluarga yang berusia 10 tahun keat


as mengonsumsi minimal 3 porsibuah dan 2 porsi sayuran at
au sebaliknya setiap hari dalam 1 minggu terakhir?

8. Ibu/ anggota rumah tangga merokok dalam rumah

Apakah di keluarga ibu ada yang memiliki kebiasaan merok


ok di dalam rumah?

9. Ibu menggunakan air bersih untuk keperluan rumah tan


gga

Apakah ibu memiliki akses terhadap air bersih dan menggun


akannya untuk kebtuhan sehari hari? (air dalam kemasan, led
eng, pompa, sumur terlindung, mata air terlindung, dan pena
mpungan air hujan)

10. Ibu / anggota rumah tangga menggunakan jamban sehat

Apakah ibu dan keluarga memiliki / menggunakan jamban le


her angsa dengan tangka septik / lubang penampungan kotor
an sebagai pembuangan akhir?

(sumber : Buku Pegangan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat , KEMENTERIAN KESEHATAN R
I PUSAT PROMOSI KESEHATAN DI INDONESIA 2011 )

xliv

Anda mungkin juga menyukai