Anda di halaman 1dari 51

MINI PROJECT

LAPORAN MINI PROJECT


KEJADIAN STUNTING
DI PUSKESMAS SILUNGKANG
PERIODE FEBRUARI - AGUSTUS 2020

Oleh:
dr. Windy Silvia

Pendamping:
dr. Salma Lira

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


PUSKESMAS SILUNGKANG
KOTA SAWAHLUNTO
2020/2021

i
HALAMAN PENGESAHAN

Mini Project

Judul

KEJADIAN STUNTING
DI PUSKESMAS SILUNGKANG
PERIODE FEBRUARI - AGUSTUS 2020

Oleh:
dr. Windy Silvia

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan
progam dokter internsip di Puskesmas Silungkang.

Sawahlunto, Desember 2020


Pembimbing

dr. Salma Lira

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan
berkat dan karunia-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan laporan kasus
yang berjudul “KEJADIAN STUNTING DI PUSKESMAS SILUNGKANG
PERIODE FEBRUARI DAN AGUSTUS 2020” Laporan kasus ini merupakan
salah satu syarat menyelesaikan Program Internsip Dokter Indonesia dari
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia di Puskesmas Silungkang.
Penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. Salma Lira selaku
pembimbing dalam penulisan laporan kasus ini, serta kepada semua pihak yang
telah membantu hingga tulisan ini dapat diselesaikan.
Penyusun menyadari masih banyak kekurangan dalam laporan kasus ini.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat
diharapkan demi perbaikan di masa yang akan datang. Semoga tulisan ini dapat
memberi ilmu dan manfaat bagi yang membacanya.

Penyusun

iii
DAFTAR ISI

Halaman Judul..................................................................................................... I
Halaman Pengesahan.......................................................................................... II
Kata Pengantar.................................................................................................... III
Daftar Isi.............................................................................................................. IV
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................... 7
BAB III METODE ............................................................................................. 25
BAB IV HASIL….............................................................................................. 27
BAB IV PEMBAHASAN…............................................................................... 28
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN............................................................ 41
Daftar Pustaka…………………………………………………………………..24

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


1.1.1 Stunting
Salah satu indikator kesehatan yang dinilai keberhasilan pencapaiannya
dalam SDGs adalah status gizi anak balita. Balita merupakan kelompok yang
rentan mengalami kekurangan gizi yang akan ditandai dengan terjadinya stunting.
Stunting (pendek) merupakan gangguan pertumbuhan linier yang disebabkan
adanya malnutrisi asupan zat gizi kronis atau penyakit infeksi kronis maupun
berulang yang ditunjukkan dengan nilai z-score tinggi badan menurut umur
(TB/U) kurang dari -2 SD. Stunting menggambarkan status gizi kurang yang
bersifat kronik pada masa pertumbuhan dan perkembangan sejak awal kehidupan. [
CITATION RNa12 \l 1057 \m UNI18]
Secara global, sekitar 1 dari 4 balita mengalami stunting [ CITATION
UNI18 \l 1057 ]. Di Indonesia, berdasarkan hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas)
tahun 2018, terdapat 30,8% keseluruhan balita yang mengalami stunting.
Diketahui dari jumlah presentase tersebut, 19,3% anak pendek dan 11,5% sangat
pendek. Prevalensi stunting ini mengalami penurunan dibandingkan hasil
Riskesdas tahun 2013 yaitu sebesar 37,2%. Angka stunting pada baduta di
Indonesia sebesar 29,9% terdiri dari 17,1% anak pendek dan 12,8% sangat
pendek, sedangkan sesuai provinsi, angka stunting di Sumatera Barat 2019 sekitar
27,47%[ CITATION Kemenkes18 \l 1057 ]
Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi, diantaranya 1000 Hari
Pertama Kehidupan (HPK) anak, yang tergambar dari faktor pemberian ASI
eksklusif, Pemberian MP-ASI yang tepat, faktor pengetahuan ibu mengenai
masalah kesehatan termasuk masalah perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dan
sanitasi, gizi sebelum kehamilan dan pada masa kehamilan, penyakit infeksi pada
anak, dan kelengkapan imunisasi yang dapat berpengaruh pada penyakit infeksi
dan angka kesakitan anak[ CITATION Kem18 \l 1057 ]
Masalah kurang gizi dan stunting merupakan dua masalah yang saling

1
berhubungan. Stunting pada anak merupakan dampak dari defisiensi nutrien
selama seribu hari pertama kehidupan. Hal ini menimbulkan gangguan
perkembangan fisik anak yang irreversible termasuk gangguan dalam
perkembangan otak sehingga menyebabkan penurunan kemampuan kognitif dan
motorik. Anak dengan status gizi stunting memiliki rerata skor Intelligence
Quotient (IQ) sebelas poin lebih rendah dibandingkan rerata skor IQ pada anak
normal. Gangguan tumbuh kembang yang terjadi pada anak akibat kekurangan
gizi bila tidak mendapatkan intervensi sejak dini akan berlanjut hingga dewasa
sehingga dapat menyebabkan penurunan performa kerja di kemudian hari. Studi
terkini menunjukkan anak yang mengalami stunting berkaitan dengan prestasi di
sekolah yang buruk, tingkat pendidikan yang rendah dan pendapatan yang rendah
saat dewasa.[ CITATION Placeholder11 \l 1057 ]
Stunting pada balita perlu mendapatkan perhatian khusus karena dapat
menyebabkan terhambatnya pertumbuhan fisik, perkembangan mental dan status
kesehatan pada anak.Anak yang mengalami stunting memiliki kemungkinan lebih
besar tumbuh menjadi individu dewasa yang tidak sehat. Stunting pada anak juga
berhubungan dengan peningkatan kerentanan anak terhadap penyakit, baik
penyakit menular maupun Penyakit Tidak Menular (PTM). Stunting juga berisiko
untuk meningkatkan angka kejadian terjadinya overweight dan obesitas yang
dapat kemudian dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit degeneratif. Kasus
stunting pada anak dapat dijadikan prediktor rendahnya kualitas sumber daya
manusia suatu negara. Keadaan stunting menyebabkan buruknya kemampuan
kognitif, rendahnya produktivitas, serta meningkatnya risiko penyakit
mengakibatkan kerugian jangka panjang bagi Indonesia [ CITATION Tri15 \l 1057 \m
BPP07]

1.1.2 Puskesmas
Puskesmas sesuai dengan Permenkes 75 Tahun 2014 merupakan fasilitas
pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan
upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan

2
upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya di wilayah kerjanya.
 Fasilitas Pelayanan Kesehatan sendiri merupakan suatu tempat yang
digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif,
preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah,
pemerintah daerah dan atau masyarakat.
Sesuai dengan Pasal 2 pada Permenkes 75 Tahun 2014 Tujuan Puskesmas sendiri
adalah :
a. Pembangunan kesehatan yang diselenggarakan di Puskesmas
bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang:
i. Memiliki perilaku sehat yang meliputi kesadaran, kemauan dan
kemampuan hidup sehat;
ii. Mampu menjangkau pelayanan kesehatan bermutu
iii. Hidup dalam lingkungan sehat; dan
iv. Memiliki derajat kesehatan yang optimal, baik individu, keluarga,
kelompok dan masyarakat.
Pembangunan kesehatan yang diselenggarakan di Puskesmas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mendukung terwujudnya
kecamatan sehat.

1.1.3 Peran Puskesmas terhadap Stunting


Penurunan jumlah stunting telah ditetapkan sebagai program prioritas
nasional yang dimasukkan kedalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang
membutuhkan pendekatan multi-sektor melalui program-program nasional, lokal,
dan masyarakat di tingkat pusat maupun daerah. Salah satu instansi yang terkait
program penurunan angka stunting adalah instansi kesehatan, dimana puskesmas
merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan. Program-program penurunan
angka stunting dapat difasilitasi oleh puskesmas, seperti Kesehatan Ibu dan Anak
(KIA), program konseling gizi, dan intervensi gizi, yang dapat dilakukan didalam
maupun diluar gedung contohnya dengan posyandu yang dilakukan rutin satu
bulan sekali.

3
1.1.4 Profil Puskesmas Slungkang
Puskesmas Silungkang didirikan pada tahun 1983, diresmikan oleh
Gubernur Sumatera Barat, Bapak Azwar Anas. Pada awal berdiri Puskesmas
Silungkang termasuk Wilayah Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung, dengan adanya
PP No. 44 tahun 1990 tentang perubahan batas wilayah Kotamadya Sawahlunto
dan sekarang menjadi salah satu dari 6 puskesmas yang ada di kota Sawahlunto.
Puskesmas ini didirikan di tanah hibah masyarakat Kenagarian Silungkang.

Peta Wilayah Kerja Puskesmas Silungkang

Wilayah kerja Puskesmas Silungkang meliputi seluruh wilayah kecamatan


Silungkang dengan luas daerah 3.625 km2 yang terdiri dari 5 desa yaitu :
a. Desa Silungkang Oso
b. Desa Silungkang Duo
c. Desa Silungkang Tigo
d. Desa Muaro Kalaban
e. Desa Taratak Bancah

Batas – batas wilayah kerja Puskesmas Silungkang adalah :


a. Utara : Kecamatan X Koto Sungai Lasik Pustu
4
b. Selatan : Kecamatan Lembah Segar
c. Barat : Kecamatan Lembah Segar
d. Timur : Kecamatan Kupitan

1.1.5 Sumber Daya Manusia Puskesmas Silungkang


Jumlah karyawan di Puskesmas Silungkang adalah 65 orang terdiri dari
tenaga medis, kefarmasian, gizi, keperawatan, bidan dan sanitasi. Untuk tenaga
medis yaitu dokter umum 3 orang, dokter gigi 1 orang, SKM 2 orang, nurse 3
orang, perawat 20 orang, bidan 20 orang, tenaga farmasi 3 orang, tenaga gizi 2
orang, sanitasi 2 orang, perawat gigi 2 orang, analis 1 orang, sopir 2 orang, juru
masak 1 orang, dan cleaning service 3 orang.

1.1.6 Kepadatan Penduduk Puskesmas Silungkang


Salah satu masalah kependudukan di kecamatan silungkang adalah
penyebaran penduduk yang tidak merata. Hal ini berkaitan dengan daya dukung
lingkungan dan luas wilayah yang tidak seimbang antara wilayah yang dapat
diusahakan dan wilayah yang tidak dapat diusahakan sama sekali sehingga rata-
rata kepadatan penduduknya adalah 342,54 jiwa per km2. Jumlah penduduk
kecamatan silungkang tahun 2018 adalah 11.280 jiwa.

1.1.7 Data Gizi Puskesmas Silungkang

Pelacakan kasus bertujuan untuk mengetahui penyebab muncul masalah.


Pelacakan dilakukan oleh petugas gizi puskesmas dan Pembina wilayah. Adapun
kegiatan yang dilakukan dalam pelacakan adalaha melakukan pengukuran ulang
antropometri untuk mengetahui status gizi sebenarnya, selanjutnya dilakukan
wawancara dengan ibu balita untuk mendapatkan data umum (pekerjaan,
Pendidikan, umur orang tua) serta data kusus (pemberian asi, imunisasi, riwayat
penyakit, berat badan lahir dll). Setelah data di dapatkan selanjutnya dilakukan
penatalaksanaan sesuai kasus, tahun 2018 didapatkan 2 kasus gizi buruk dengan

5
indicator berat badan menurut umur kurang dari -3 standart deviasi BB/TB < -3
SD.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana gambaran kejadian Stunting serta faktor-faktor yang
mempengaruhi di wilayah kerja Puskesmas Silungkang?
1.2.2 Bagaimana upaya kesehatan terhadap Stunting di wilayah kerja Puskesmas
Silungkang?

1.3 Tujuan Penulisan


Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran kemungkinan
stunting pada anak usia 0-59 bulan, dan untuk mengetahui faktor risiko yang
berperan dalam terjadinya stunting diwilayah kerja Puskesmas Silungkang.

1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat bagi Penulis
a. Melaksanakan kegiatan mini project dalam rangka Program Internsip
Dokter Indonesia.
b. Berperan serta dalam upaya pengumpulan data anak dengan kemungkinan
stunting khususnya di wilayah kerja Puskesmas Silungkang

1.4.2 Manfaat bagi Puskesmas


Membantu puskesmas mengetahui gambaran faktor-faktor yang
mempengaruhi kejadian stunting di wilayah kerja Puskesmas Silungkang

1.4.3 Manfaat bagi Masyarakat


a. Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang stunting.

6
b. Mendorong masyarakat untuk melakukan pencegahan stunting kepada
anak usia 0-59 bulan sehingga meningkatkan kualitas hidup anak kelak.

7
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Stunting


Stunting atau perawakan pendek menggambarkan status gizi kurang yang
bersifat kronik pada masa pertumbuhan dan perkembangan sejak awal
kehidupan.Keadaan ini dipresentasikan dengan nilai z-score tinggi badan menurut
umur (TB/U) kurang dari -2 Standar Deviasi (SD) berdasarkan standar
pertumbuhan menurut WHO8. Salah satu indikator kesehatan yang dinilai
keberhasilan pencapaiannya dalam SDGs adalah status gizi anak balita. Masa
anak balita merupakan kelompok yang rentan mengalami kurang gizi salah
satunya stunting8. Stunting terjadi mulai janin masih dalam kandungan dan baru
nampak saat anak berusia dua tahun3.
Stunting pada anak merupakan dampak dari defisiensi nutrien selama 1000
Hari Pertama Kehidupan (HPK). Hal ini menimbulkan gangguan perkembangan
fisik anak yang irreversible, sehingga menyebabkan Penurunan performa kerja.
Anak stunting memiliki rerata skor Intelligence Quotient (IQ) sebelas poin lebih
rendah dibandingkan rerata skor IQ pada anak normal. Gangguan tumbuh
kembang anak akibat kekurangan gizi bila tidak mendapatkan intervensi sejak dini
akan berlanjut hingga dewasa5

2.2 Epidemiologi

Kejadian balita pendek atau biasa disebut dengan stunting merupakan


salah satu masalah gizi yang dialami oleh balita di dunia saat ini. Pada tahun 2017
terdapat 22,2% atau sekitar 150,8 juta balita di dunia mengalami stunting. Namun
angka ini sudah mengalami penurunan jika dibandingkan dengan angka stunting
pada tahun 2000 yaitu 32,6%.

8
Gambar 2.1 Prevalensi Balita Pendek (stunting) di Dunia Tahun 2000-2017

Data prevalensi balita stunting yang dikumpulkan World Health


Organization (WHO), Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan
prevalensi tertinggi di regional Asia Tenggara/South-East Asia Regional (SEAR).
Rata-rata prevalensi balita stunting di Indonesia tahun 2005-2017 adalah 36,4%.

Gambar 2.2 Prevalensi Balita Pendek (stunting) di Regonal Asia Tenggara 2015-2017

Prevalensi stunting di Indonesia lebih tinggi daripada negara-negara lain di


Asia Tenggara, seperti Myanmar (29,2%), Thailand (10,5%). Di Indonesia, sekitar

9
36,4 % atau hampir 9 juta balita mengalami stunting dan Indonesia adalah negara
dengan prevalensi stunting kelima terbesar di Dunia. Di Indonesia pravelensi
stunting secara nasional pada tahun 2013 adalah 37,2%, pada tahun 2018 adalah
30,8%, pada tahun 2019 terus menurun menjadi 27,67%. Sehingga Presiden
Republik Indonesia meningkatkan target RPJM 2025 yang awalnya sebesar 19%
menjadi 14%. Sehingga menjadi tantangan untuk segala sektor untuk mencapai
target tersebut.6

Gambar 2.3 Peta Prevalensi Balita Pendek di Indonesia Tahun 2019


Sumber : SSGBI,2019

Terdapat 20 provinsi dengan prevalensi diatas nasional (37,2%) dengan


yang tertinggi terdapat di Nusa Tenggara Timur, terendah di Bali 7. Prevalensi
stunting di Sumatera Barat tahun 2019 mencapai 27,7%. Sedangkan, prevalensi
stunting pada balita di Kota Sawahlunto tahun 2019 mencapai 11,1% .

10
Gambar 2.3 Proporsi Stunting pada Balita Status Menurut Provinsi tahun 2019
(Sumber : SSGBI,2019)

2.3 Etiologi
Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi. Banyak hal yang
menyebabkan terjadinya stunting terutama kesalahan pola asuh yang terjadi pada
1000 Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK). Contoh kesalahan yang dapat terjadi
dalam hal ini antara lain adalah :
1. Praktek pengasuhan yang tidak baik
- Kurangnya pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum
dan pada masa kehamilan, serta setelah ibu melahirkan.
- 60% dari anak usia 0-6 bulan tidak mendapatlan ASI eksklusif.
- 2 dari 3 anak usia 0-24 bulan tidak menerima Makanan Pengganti
ASI (MP-ASI)
2. Masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan Ante Natal Care
(ANC), Post Natal dan pembelajaran dini yang berkualitas.
- 1 dari 3 anak usia 3-6 tahun tidak terdaftar di Pendidikan Anak Usia
Dini (PAUD).
- 2 dari 3 ibu hamil belum mengkonsumsi suplemen zat besi yang
memadai.
- Menurunnya tingkat kehadiran anak di posyandu (dari 79% di 2007
menjadi 64% di 2013).

11
- Tidak mendapat akses yang memadai ke layanan imunisasi
3. Masih kurangnya akses kepada makanan bergizi.
- 1 dari 3 ibu hamil anemia.
- Makanan bergizi mahal.
4. Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi.
- 1 dari 5 rumah tangga masih BAB diruang terbuka.
- 1 dari 3 rumah taangga belum memiliki akses ke air minum bersih8

2.4 Faktor Risiko


Beberapa faktor resiko yang berhubungan dengan kejadian stunting, antara
lain :
1. Berat badan lahir rendah
Berat badan lahir rendah (BBLR) sering dihubungkan dengan tinggi dan
yang kurang atau stunting.
2. Riwayat infeksi balita
Kejadian infeksi seperti diare dan infeksi saluran pernafasan.
3. Riwayat penyakit kehamilan
Ibu yang mengalami kekurangan anemia akan melahirkan bayi dengan
berat badan lahir rendah (BBLR).
4. Tinggi badan orang tua
Ibu yang memiliki tinggi badan <145cm memiliki risiko lebih tinggi
untuk tumuh menjadi stunting pada anaknya.
5. Faktor sosial ekonomi.
Faktor sosial ekonomi meliputi pendapatan perkapita, pendidikan orang
tua, pengetahuan iu tentang gizi dan jumlah anggota dalam rumah
tangga secara tidak langsung juga berhubungan dengan kejadian
stunting. Rendahnya pendidikan disertai rendahnya pengetahuan gizi
sering dihubungkan dengan kejadian malnutrisi3,4

12
2.5 Pencegahan Stunting
Upaya untuk pencegahan terjadinya stunting dilakukan melalui dua
intervensi, yaitu intervensi gizi spesifik untuk mengatasi penyebab langsung dan
intervensi gizi sensitif untuk mengatasi penyebab tidak langsung.

2.5.1 Intervensi Gizi Spesifik


Intervensi gizi spesifik merupakan kegiatan yang langsung mengatasi
terjadinya stunting seperti asupan makanan, infeksi, status gizi ibu, penyakit
menular, dan kesehatan lingkungan. Intervensi spesifik ini umumnya diberikan
oleh sektor kesehatan.[ CITATION Placeholder12 \l 1033 ]
Intervensi gizi spesifik dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu:
1. Intervensi prioritas, merupakan intervensi yang diidentifikasi memilik
dampak paling besar pada pencegahan stunting dan ditujukan untuk
menjangkau semua sasaran prioritas;
2. Intervensi pendukung, merupakan intervensi yang berdampak pada
masalah gizi dan kesehatan lain yang terkait stunting dan diprioritaskan
setelah intervensi prioritas dilakukan
3. Intervensi prioritas sesuai kondisi tertentu, yaitu intervensi yang
diperlukan sesuai dengan kondisi tertentu, termasuk untuk kondisi darurat
bencana (program gizi darurat)

Intervensi gizi spesifik dilakukan dengan salah satu gerakan yang dikenal
sebagai 1000 HPK (Hari Pertama Kehidupan). Berikut ini merupakan penjabaran
dari setiap intervensi yang dilakukan dalam 1000 HPK:2
Kelompok sasaran 1.000 HPK
1. Ibu hamil
- Intervensi Prioritas :
o Pemberian makanan tambahan (PMT) pada ibu hamil pada
kelompok miskin atau Kurang Energi Kronik (KEK)
o Suplementasi tablet tambah darah untuk mengatasi
kekurangan zat besi dan asam folat

13
- Intervensi Pendukung
o Suplementasi kalsium
o Pemeriksaan kehamilan minimal 4 kali
o Memberikan imunisasi Tetanus Toksoid (TT)
- Prioritas sesuai kondisi tertentu
o Pencegahan HIV
o Pemberian obat cacing untuk menanggulangi kecacingan
pada ibu hamil
o Program melindungi ibu hamil dari Malaria
2. Ibu menyusui dan anak usia 0-6 bulan
- Intervensi Prioritas
o Memberikan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan
o Mendorong Inisiasi Menyusui Dini (IMD)
o Pemberian ASI colostrum
o Mendorong pemberian ASI Ekslusif
o Promosi dan konseling menyusui
- Intervensi Pendukung
o Imunisasi dasar
o Pantau tumbuh kembang secara rutin setiap bulan
o Penanganan bayi sakit secara tepat

3. Ibu menyusui dan anak 7-23 bulan


- Intervensi Prioritas :
o Promosi dan konseling menyusui untuk mendorong
penerusan pemberian ASI hingga usia 23 bulan
o Promosi dan konseling pemberian MP-ASI
o Tatalaksana gizi buruk
o Pemberian makanan tambahan pemulihan bagi anak yang
kurus
o Pemantauan dan promosi pertumbuhan

14
- Intervensi Pendukung
o Suplementasi kapsul vitamin A
o Suplementasi zinc untuk pengobatan diare
o Menyediakan obat cacing
o Memberikan imunisasi lengkap
o Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
- Prioritas sesuai kondisi tertentu
o Pencegahan kecacingan

2.5.2 Intervensi Gizi Sensitif


Intervensi gizi sensitif ini mencakup aspek-aspek seperti dibawah ini:6
1. Menyediakan dan Memastikan Akses pada Air Bersih melalui program
PAMSIMAS (Penyediaan Air Bersih dan Sanitasi berbasis
Masyarakat)
Selain pemerintah pusat, PAMSIMAS juga dilakukan dengan
kontribusi dari pemerintah daerah serta masyakart melalui pelaksanaan
beberapa jenis kegiatan seperti dibawah:
 Meningkatkan praktik hidup bersih dan sehat di masyarakat
 Meningkatkan jumlah masyarakat yang memiliki akses air
minum dan sanitasi yang berkelanjutan
 Meningkatkan kapasitas masyarakat dan kelembagaan lokal
(pemerintah daerah maupun masyarakat) dalam
penyelenggaraan layanan air minum dan sanitasi berbasis
masyarakat
 Meningkatkan efektifitas dan kesinambungan jangka panjang
pembangunan sarana dan prasarana air minum dan sanitasi
berbasis masyarakat

15
2. Menyediakan dan Memastikan Akses pada Sanitasi melalui Kebijakan
Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM)
STBM merupakan pendekatan untuk merubah perilaku higiene dan
sanitasi melalui pemberdayaan masyarakat dengan metode pemicuan.
Sanitasi Total Berbasis Masyarakat menekankan pada 5 (lima)
perubahan perilaku hygienis, yang biasa dikenal sebagai  5 pilar
STBM.

Lima Pilar STBM terdiri dari:7


a) Stop Buang Air Besar Sembarangan (Stop BABS)
Tidak ada masyarakat yang buang air besar di tempat terbuka/
sembarangan (di kebun, sungai, semak-semak, pantai, dll )

Gambar 2.4 Pilihan Jamban Untuk MCK


b) Cuci tangan pakai sabun (CTPS)
Perilaku cuci tangan dengan menggunakan air bersih yang
mengalir dan sabun. Golongan penyakit infeksi dapat dicegah
dengan ctps : diare, ispa, flu burung, cacingan, infeksimata,
hepatitis a, polio. Ctps yang benar mencegah: 80% penyakit infeksi
umum dan 45 % penyakit infeksi berat

16
Gambar 2.5 Cara Mencuci Tangan Dengan Sabun dan Air

Enam waktu penting CPTS :


- Sebelum makan
- Setelah buang air besar
- Setelah menceboki anak
- Sebelum memegang bayi
- Sebelum menyiapkan makanan
- Setelah kontak dengan binatang

c) Pengelolaan Air Minum dan Makanan di Rumah Tangga (PAMM-


RT)
Melakukan kegiatan mengelola air minum dan makanan di rumah
tangga untuk memperbaiki dan menjaga kualitas air dari sumber air
yang akan digunakan untuk air minum, serta untuk menerapkan

17
prinsip hygiene sanitasi pangan dalam proses pengelolaan makanan
di rumah tangga.

Gambar 2.6 Pengelolaan Air Minum Rumah Tangga

d) Pengamanan Sampah Rumah Tangga


Melakukan kegiatan pengolahan sampah di rumah tangga dengan
mengedepankan prinsip mengurangi, memakai ulang, dan mendaur
ulang.
Prinsip Utama :
- Meminimalkan resiko kesehatan;
- Sampah tidak dapat dijangkau oleh binatang seperti
lalat, babi, anjing, dll.

e) Pengamanan Limbah Cair Rumah Tangga.


Melakukan kegiatan pengolahan limbah cair di rumah tangga yang
berasal dari sisa kegiatan mencuci, kamar mandi dan dapur yang
memenuhi standar baku mutu kesehatan lingkungan dan
persyaratan kesehatan yang mampu memutusa mata rantai
penularan penyakit.

18
Prinsip :
- Tidak mencemari sumber air minum (air permukaan
maupun air tanah);
- Tidak menjadi media berkembang biaknya binatang
pembawa penyakit;
- Tidak mengotori permukaan tanah, menimbulkan bau;
- Konstruksi sederhana dengan bahan yang murah dan
mudah didapat;
- Pelestarian sumber saya air (misalnya, pemanfaatan
kembali air limbah rumah tangga).

3. Melakukan Fortifikasi Bahan Pangan (Garam, Terigu, dan Minyak


Goreng)
4. Menyediakan Akses kepada Layanan Kesehatan dan Keluarga
Berencana (KB)
5. Menyediakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
6. Menyediakan Jaminan Persalinan Universal (Jampersal)
7. Memberikan Pendidikan Pengasuhan pada Orang tua
8. Memberikan Pendidikan Gizi Masyarakat.
Kegiatan yang dilakukan berupa:
• Peningkatan pendidikan gizi.
• Penanggulangan Kurang Energi Protein.
• Menurunkan prevalansi anemia, mengatasi kekurangan zinc dan zat
besi, mengatasi Ganguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) serta
kekurangan Vitamin A
• Perbaikan keadaan zat gizi lebih.
• Peningkatan Survailans Gizi.
• Pemberdayaan Usaha Perbaikan Gizi Keluarga/Masyarakat

19
9. Memberikan Edukasi Kesehatan Seksual dan Reproduksi, serta Gizi
pada Remaja.
10. Menyediakan Bantuan dan Jaminan Sosial bagi Keluarga Miskin.
11. Meningkatkan Ketahanan Pangan dan Gizi
12. Kegiatan yang dilakukan berupa:
• Menjamin akses pangan yang memenuhi kebutuhan gizi terutama
ibu hamil, ibu menyusui, dan anak-anak.
• Menjamin pemanfaatan optimal pangan yang tersedia bagi semua
golongan penduduk.
• Memberi perhatian pada petani kecil, nelayan, dan kesetaraan
gender.
• Pemberdayaan Ekonomi Mikro bagi Keluarga dengan Bumil KEK
(Kurang Energi Protein).
• Peningkatan Layanan KB

Upaya penurunan stunting akan lebih efektif apabila intervensi gizi


spesifik dan sensitif dilakukan secara terintegrasi atau terpadu. Pada beberapa
penelitian baik dari dalam maupun luar negeri telah menunjukkan bahwa
keberhasilan pendekatan terintegrasi yang dilakukan pada sasaran prioritas fokus
untuk mencegah dan menurunkan stunting.7

2.6 Terapi Stunting


Untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia masa depan maka usaha
yang paling efisien adalah mencegah terjadinya malnutrisi dengan
mensosialisasikan praktik pemberian makan yang benar pada 1000 hari pertama
kehidupan yang berbasis bukti. Sosialisasi dan edukasi kepada keluarga terutama
kepada ibu tentang 1000 HPK sangat penting untuk dilakukan. Hal ini disebabkan
karena pengetahuan ibu tentang pola asuh yang benar sangat berpengaruh
terhadap status gizi anaknya di kemudian hari4

20
Dalam penanganan kasus stunting di Indonesia, pemerintah memiliki
peran yang sangat besar untuk menekan angka terjadi kekurangan gizi kronis ini.
Oleh karena itu pemerintah mengeluarkan banyak kebijakan dan stategi untuk
menangani masalah ini. Adapun Kebijakan dan strategi yang mengatur pola asuh
ini ada pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal
128, Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 2012 tentang ASI, dan Rencana
Strategis Kementerian Kesehatan 2015-2019, Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor HK.02.02/MENKES/52/20158
Dalam Amanat pada UU Nomor 36 Tahun 2009 menyatakan tentang
pemberian ASI pada bayi yang berisikan:
1. Setiap bayi berhak mendapatkan ASI Eksklusif sejak dilahirkan selama 6
bulan, kecuali atas indikasi medis.
2. Selama pemberian ASI pihak keluarga, pemerintah, pemerintah daerah,
dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan
penyediaan waktu dan fasilitas khusus.
Amanat tentang UU tersebut diatur dalam PP Nomor 33 Tahun 2013
tentang ASI yang menyebutkan:
1. Setiap ibu yang melahirkan harus memberikan ASI Eksklusif. Pengaturan
pemberian ASI Eksklusif bertujuan untuk: a. menjamin pemenuhan hak
bayi untuk mendapatkan ASI Eksklusif sejak dilahirkan sampai dengan
berusia 6 (enam) bulan dengan memperhatikan pertumbuhan dan
perkembangannya; b. memberikan perlindungan kepada ibu dalam
memberikan ASI Eksklusif kepada bayinya; dan c. meningkatkan peran
dan dukungan keluarga, masyarakat, pemerintah daerah, dan pemerintah
terhadap pemberian ASI Eksklusif.
2. Tenaga kesehatan dan penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan wajib
melakukan inisiasi menyusui dini terhadap bayi yang baru lahir kepada
ibunya paling singkat selama 1 (satu) jam. Inisiasi menyusui dini
sebagaimana dimaksud dilakukan dengan cara meletakkan bayi secara
tengkurap di dada atau perut ibu sehingga kulit bayi melekat pada kulit
ibu.3,4

21
Selain mengeluarkan serangkaian kebijakan dan regulasi,
kementerian/lembaga (K/L) juga sebenarnya telah memiliki program baik terkait
intervensi gizi spesifik maupun intervensi gizi sensitif, yang berpotensial untuk
menurunkan stunting. Intervensi Program Gizi Spesifik dilakukan oleh
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melalui Pusat Kesehatan Masyarakat
(Puskesmas) dan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) melalui Gerakan 1.000 Hari
Pertama Kegiatan (HPK). Berikut ini adalah identifikasi beberapa program gizi
spesifik yang telah dilakukan oleh pemerintah:

2 Program terkait Intervensi dengan sasaran Ibu Hamil, yang dilakukan


melalui beberapa program/kegiatan berikut:
• Pemberian makanan tambahan pada ibu hamil untuk mengatasi
kekurangan energi dan protein kronis
• Program untuk mengatasi kekurangan zat besi dan asam folat
• Program untuk mengatasi kekurangan iodium
• Pemberian obat cacing untuk menanggulangi kecacingan pada
ibu hamil
• Program untuk melindungi ibu hamil dari Malaria.

Jenis kegiatan yang telah dan dapat dilakukan oleh


pemerintah baik di tingkat nasional maupun di tingkat lokal
meliputi pemberian suplementasi besi folat minimal 90 tablet,
memberikan dukungan kepada ibu hamil untuk melakukan
pemeriksaan kehamilan minimal 4 kali, memberikan imunisasi
Tetanus Toksoid (TT), pemberian makanan tambahan pada ibu
hamil, melakukan upaya untuk penanggulangan cacingan pada ibu
hamil, dan memberikan kelambu serta pengobatan bagi ibu hamil
yang positif malaria.

3 Program yang menyasar Ibu Menyusui dan Anak Usia 0-6 bulan
termasuk diantaranya mendorong IMD/Inisiasi Menyusui Dini
melalui pemberian kolostrum dan memastikan edukasi kepada ibu
untuk terus memberikan ASI Eksklusif hingga usia 6 bulan. Kegiatan

22
terkait termasuk memberikan pertolongan persalinan oleh tenaga
kesehatan, Inisiasi Menyusui Dini (IMD), promosi menyusui ASI
eksklusif (konseling individu dan kelompok), imunisasi dasar, pantau
tumbuh kembang secara rutin setiap bulan, dan penanganan bayi
sakit secara tepat.7,8

Selain pemberian intervensi secara spesifik, langkah penanganan terjadinya


stunting juga dilakukan dengan melakukan Intervensi Gizi Sensitif. Idealnya
dilakukan melalui berbagai kegiatan pembangunan diluar sektor kesehatan dan
berkontribusi pada 70% Intervensi Stunting.Sasaran dari intervensi gizi spesifik
adalah masyarakat secara umum dan tidak khusus ibu hamil dan balita pada 1.000
Hari Pertama Kehidupan (HPK).

1. Menyediakan dan Memastikan Akses pada Air Bersih.


2. Menyediakan dan Memastikan Akses pada Sanitasi.
3. Melakukan Fortifikasi Bahan Pangan.
4. Menyediakan Akses kepada Layanan Kesehatan dan Keluarga Berencana
(KB).
5. Menyediakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
6. Menyediakan Jaminan Persalinan Universal (Jampersal).
7. Memberikan Pendidikan Pengasuhan pada Orang tua.
8. Memberikan Pendidikan Anak Usia Dini Universal.
9. Memberikan Pendidikan Gizi Masyarakat.
10. Memberikan Edukasi Kesehatan Seksual dan Reproduksi, serta Gizi pada
Remaja.
11. Menyediakan Bantuan dan Jaminan Sosial bagi Keluarga Miskin.
12. Meningkatkan Ketahanan Pangan dan Gizi.[ CITATION Placeholder13 \l
1033 ]

3.1 Komplikasi Stunting


Sejak lahir sampai usia 2 tahun, bayi mengalami perkembangan otak yang
pesat, Sehingga pada usia pertumbuhan kritis ini harus dijaga agar gizi terpenuhi

23
dengan baik dan pertumbuhan tidak terhambat. Demikian pula dengan
pertumbuhan linear, batita perempuan mencapai 50% tinggi badan pada usia 18
bulan, sedangkan laki-laki pada usia 2 tahun. Terhambatnya pertumbuhan pada
masa kritis ini akan menimbulkan dampak yang luas.8
Dampak yang ditimbulkan stunting dapat dibagi menjadi dampak jangka pendek
dan jangka panjang.

1. Dampak Jangka Pendek.


a) Peningkatan kejadian kesakitan dan kematian;
b) Perkembangan kognitif, motorik, dan verbal pada anak tidak optimal
c) Peningkatan biaya kesehatan.

2. Dampak Jangka Panjang.


a) Postur tubuh yang tidak optimal saat dewasa (lebih pendek
dibandingkan pada umumnya);
b) Meningkatnya risiko obesitas dan penyakit lainnya
c) Menurunnya kesehatan reproduksi;
d) Kapasitas belajar dan performa yang kurang optimal saat masa
sekolah
e) Produktivitas dan kapasitas kerja yang tidak optimal.7

24
BAB 3
METODOLOGI

Bab ini akan membahas tentang metode yang akan digunakan dalam
penelitian gambaran faktor-faktor pencegahan terjadinya Stunting.

3.1. Penetapan Topik Masalah


Sesuai pernyataan masalah yang dikemukakan pada Bab Pendahuluan,
maka topik masalah dalam mini-project ini adalah “Apa faktor-faktor yang
mempengaruhi kejadian stunting di wilayah Puskesmas Silungkang tahun
2020?”

3.2. Pengumpulan data


3.2.1 Tempat dan waktu pengumpulan
Pengumpulan data dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Silungkang
Periode bulan Februari – Agustus 2020.

3.2.2 Metode pengumpulan data


Metode pengumpulan data yang digunakan adalah pengumpulan data
secara sekunder yang diambil di Puskesmas Silungkang.

3.2.3 Populasi dan sampel data


Populasi yang digunakan adalah anak 0-59 bulan yang tercatat dan
menjalani penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan di
wilayah kerja puskesmas Silungkang pada bulan februari-agustus 2020

25
BAB IV

HASIL PENELITIAN

Berdasarkan data yang diperoleh pada penelitian ini yang merupakan data
sekunder yang bersumber dari rekam data Puskesmas Silungkang bulan Februari
dan Agustus tahun 2020, didapatkan data yang kemudian dianalisis secara tabuler
yang dapat dilihat pada Tabel 4.1 dan Tabel 4.2. Jumlah total data yang diperoleh
adalah 841 subjek yang merupakan balita. Dari data ini diperoleh informasi bahwa
pada bulan Februari prevalensi stunting adalah 13,8%, yang menurun sebesar
3,5% di bulan Agustus menjadi 10,3%.

Tabel 4.1. Data Tinggi Badan Balita Terhadap Umur di Wilayah Kerja
Puskesmas Silungkang pada Bulan Februari

TB/U
Desa/Kelurahan Sangat
Pendek Normal Tinggi Stunting
Pendek
Silungkang Oso 2 8 112 0 8,2%
Taratak Bancah 1 8 42 0 17,6%
Muoro Kalaban 8 40 343 0 12,3%
Silungkang Tigo 6 12 134 0 11,8%
Silungkang Duo 1 12 85 0 13,3%
Total 35 80 716 0 13,8%

Tabel 4.2. Data Tinggi Badan Balita Terhadap Umur di Wilayah Kerja
Puskesmas Silungkang pada Bulan Agustus

26
TB/U
Desa/Kelurahan Sangat
Pendek Normal Tinggi Stunting
Pendek
Silungkang Oso 1 6 129 0 5,1%
Taratak Bancah 0 5 45 0 10,0%
Muoro Kalaban 4 43 355 0 11,7%
Silungkang Tigo 4 12 131 0 10,9%
Silungkang Duo 0 10 79 0 11,2%
Total 9 76 739 0 10,3%

BAB V

PEMBAHASAN

27
5.1. Prevalensi Stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Silungkang pada
Bulan Februari dan Agustus 2020
Pada bagian pembahasan ini akan dibahas mengenai jumlah balita
(berusia 0-59 bulan) yang memiliki keadaan stunting di wilayah kerja
Puskesmas Silungkang pada bulan Februari tahun 2020 dan Agustus tahun
2020. Dari total 831 balita yang dilakukan pengukuran tinggi badan per usia
(TB/U) pada bulan Februari tahun 2020, dapat dilihat pada Tabel 4.1 bahwa
total balita yang mengalami stunting adalah sebesar 13,8%, dimana yang
memiliki jumlah terbanyak adalah Desa Taratak Bancah sebesar 17,6% dan
yang paling sedikit adalah Desa Silungkang Oso, dengan jumlah balita yang
stunting adalah sebesar 8,2%.

Prevalensi
17.60% Stunting
18.00% 13.30% 13.80%
12.30% 11.80%
16.00%
14.00% 11.7% 10.9% 11.2%
8.20% 10.0% 10.3%
12.00%
10.00%
8.00% 5.1%
6.00%
4.00%
2.00% Februari
0.00% Agustus
Silungkang Taratak Muoro Silungkang Silungkang Total
Oso Bancah Kalaban Tigo Duo

Desa/Kelurahan

Agustus Februari

Tabel 4.2 menunjukkan bahwa dari total 824 balita yang dilakukan
pengukuran TB/U, jumlah balita yang mengalami stunting adalah sebesar
10,3%, dimana Desa Muoro Kalahan merupakan Desa dengan jumlah
terbanyak, yaitu sebesar 11,7% sementara Desa Silungkang Oso adalah yang
paling sedikit, yaitu sebesar 5,1%.

28
Berdasarkan hasil penelitian yang dievaluasi dalam 6 bulan tersebut,
dapat dilihat bahwa terjadi penurunan angka balita yang mengalami stunting
sebesar 3,5% pada bulan Agustus 2020 dibandingkan dengan bulan Februari
2020, yaitu dari 13,8% (Februari 2020) menjadi 10,3% (Agustus 2020).
Pada Gambar 5.1 juga dapat dilihat bahwa terjadi penurunan angka stunting
balita di semua desa di Puskesmas Silungkang. Desa Silungkang Oso dari
8,20% turun menjadi 5,1%, Desa Taratak Bancah dari 17,60% menjadi
10,0%, Desa Muoro Kalahan dari 12,30% menjadi 11,7%, Desa Silungkang
Tigo dari 11,80% menjadi 10,9%, dan Desa Silungkang Duo dari 13,30%
menjadi 11,2%.

Dari data ini juga dapat diperoleh informasi bahwa penurunan yang
terbesar ditemukan pada desa Taratak Bancah sebesar 7,6%, dan penurunan
yang terkecil ada pada desa Muoro Kalaban sebesar 0,6%. Penurunan dari
angka stunting dalam waktu 6 bulan ini menggambarkan keberhasilan dari
program pencegahan dan penanganan stunting pada Balita di masing-masing
desa.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Riset Kesehatan Dasar tahun


2018, ditemukan bahwa prevalensi stunting di Indonesia adalah sebesar
30,8%. Menurut data dari Studi Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) tahun
2019, terjadi penurunan dari angka stunting di Indonesia sebesar 3,1%
menjadi 27,7. Data SSGBI di provinsi Sumatera Barat menunjukkan angka
stunting sebesar 27,5%. Hal ini menyatakan bahwa prevalensi stunting di

29
wilayah kerja Puskesmas Silungkang jauh lebih rendah dibandingkan
prevalensi stunting di provinsi Sumatera Barat bahkan di seluruh Indonesia
sekalipun.11,13

5.2. Faktor Determinan Kejadian Stunting


Faktor-faktor determinan yang menentukan kejadian stunting
antara lain adalah ASI eksklusif, keikutsertaan dengan JKN/BPJS,
ketersediaan air bersih, kecacingan, jamban sehat, imunisasi, adanya
keluarga yang merokok, adanya KEK pada ibu saat kehamilan, dan
adanya penyakit penyerta.

5.2.1. ASI Eksklusif


Tabel 5.1 menjelaskan mengenai cakupan ASI eksklusif pada
subjek penelitian di wilayah kerja Puskesmas Silungkang bulan
Januari hingga Agustus. Dari data tersebut didapatkan bahwa
cakupan ASI eksklusif sudah sangat baik.

Stunting dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Status


menyusu merupakan salah satu faktor risiko terhadap kejadian
stunting. Rendahnya pemberian ASI eksklusif menjadi salah satu
pemicu terjadinya stunting pada anak balita yang disebabkan oleh
kejadian masa lampau dan akan berdampak terhadap masa depan
balita. Pemberian ASI yang kurang sesuai dapat menyebabkan bayi
menderita gizi kurang dan gizi buruk, termasuk stunting. Sebaliknya,
pemberian ASI yang baik oleh ibu akan membantu menjaga
keseimbangan gizi anak sehingga tercapai pertumbuhan anak yang
normal.11,12

Tabel 5.1. Cakupan ASI eksklusif di wilayah kerja Puskesmas


Silungkang bulan Januari hingga Agustus tahun 2020

30
Bulan Cakupan ASI Eksklusif
Januari 89,3%
Februari 83,1%
Maret 81,2%
April 100%
Mei 81,1%
Juni 84,3%
Juli 81,5%
Agustus 82,8%

Pencegahan stunting bermula dari upaya pemenuhan nutrisi


pada 1000 hari pertama kehidupan, dimana pada periode ini, asupan
nutrisi utama diperoleh dari ASI ibu yang diberikan secara eksklusif
(6 bulan tanpa disertai asupan nutrisi dari sumber lain). Kajian
biologis dan pada lingkup kesehatan masyarakat telah membuktikan
bahwa kandungan nutrisi pada ASI sangat mencukupi tumbuh
kembang anak.12

Menurut Handayani, dkk pada penelitiannya tahun 2019 di


Desa Watugajah Kabupaten Gunungkidul, terdapat hubungan antara
pemberian ASI eksklusif dengan kejadian stunting (nilai P = 0,000
dan nilai r 0,609). Nilai P menunjukkan adanya hubungan sangat
kuat dan nilai r bernilai positif menunjukkan hubungan yang positif,
yang artinya semakin baik pemberian ASI secara eksklusif maka
semakin baik pula pertumbuhan anak berdasarkan TB/U. Penelitian
ini juga sejalan dengan penelitian Anugraheni (2012), dimana
terdapat hubungan bermakna antara pemberian ASI eksklusif dengan
kejadian stunting. Semakin baik pemberian ASI eksklusif yang
dilakukan oleh ibu untuk anaknya, maka semakin baik pula status
gizi anak.13

31
5.2.2. Keikutsertaan JKN/BPJS
Tabel 5.2 menjelaskan mengenai cakupan keikutsertaan
JKN/BPJS pada subjek penelitian di wilayah kerja Puskesmas
Silungkang bulan Agustus tahun 2020. Dari data tersebut didapatkan
bahwa cakupan keikutsertaan JKN adalah sebesar 71,4%, dimana
yang terbesar adalah di Desa Silungkang Tigo (85,7%) dan yang
terkecil adalah di Desa Silungkang Oso (50,0%).

Tabel 5.2. Cakupan keikutsertaan JKN/BPJS di wilayah kerja


Puskesmas Silungkang bulan Agustus tahun 2020

Desa/Kelurahan Ya Tidak Cakupan


Silungkang Oso 1 1 50,0%
Taratak Bancah 0 0 -
Muoro Kalaban 4 3 57,1%
Silungkang Tigo 12 2 85,7%
Silungkang Duo 3 2 60,0%
Total 20 8 71,4%

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Rukundo dan Gerber


pada tahun 2017 di Uganda menyatakan bahwa asuransi kesehatan
berbasis komunitas dapat memperbaiki prevalensi stunting pada
komunitas tersebut. Penelitian tersebut menyatakan bahwa terdapat
15,4% penurunan angka stunting per tahunnya selama lima tahun
sebuah komunitas aktif dalam asuransi kesehatan.2

Jaminan kesehatan yang dimiliki Indonesia berupa BPJS


Kesehatan dapat menjadi cara untuk memperbaiki angka stunting di
Indonesia, dan lebih spesifik di wilayah kerja Puskesmas
Silungkang. Oleh karena itu, mungkin dibutuhkan perbaikan dari
cakupan keikutsertaan JKN/BPJS pada beberapa desa, yaitu Desa
Silungkang Oso, Desa Muoro Kalaban, dan Desa Silungkang Duo.

32
5.2.3. Ketersediaan Air Bersih
Tabel 5.3 menjelaskan mengenai cakupan ketersediaan air
bersih pada subjek penelitian di wilayah kerja Puskesmas Silungkang
bulan januari hingga agustus tahun 2020. Dari data tersebut
didapatkan bahwa cakupan ketersediaan air bersih seluruh wilayah
kerja Puskesmas Silungkang rata-rata masih dibawah 60%.

Tabel 5.3. Cakupan ketersediaan air bersih di wilayah kerja


Puskesmas Silungkang dari bulan Januari sampai Agustus tahun
2020

Bulan Cakupan air bersih


Januari 51%
Februari 50,7%
Maret 50,8%
April -
Mei -
Juni 50,4%
Juli 51,2%
Agustus 60%

Tabel 5.4. Cakupan ketersediaan air bersih di wilayah kerja


Puskesmas Silungkang pada kasus stunting bulan Agustus tahun
2020

Desa/Kelurahan Ya Tidak Cakupan


Silungkang Oso 2 0 100%
Taratak Bancah 0 0 -
Muoro Kalaban 7 0 100%
Silungkang Tigo 14 0 100%
Silungkang Duo 5 0 100%

33
Total 28 0 100%

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Kwami CS, dkk


menyatakan bahwa WASH (Water, Sanitation, and Hygiene)
berhubungan dengan kejadian stunting, dimana akses pada
ketersediaan air bersih dapat membantu mempromosikan perbaikan
kesehatan jangka panjang pada anak. Berdasarkan data pada table 5.4
yang diperoleh, ketersediaan air bersih di silungkang tidak
mempengaruhi kejadian stunting wilayah di Puskesmas Silunkang.7

5.2.4. Kecacingan
Tabel 5.5 menjelaskan mengenai prevalensi kecacaingan
pada subjek penelitian di wilayah kerja Puskesmas Silungkang bulan
Agustus tahun 2020. Dari data tersebut didapatkan bahwa tidak ada
kejadian kecacingan yang ditemukan pada wilayah kerja Puskesmas
Silungkang. Namun, tidak ada data yang diperoleh dari Desa Taratak
Bancah dan Desa Silungkang Duo.

Kecacingan atau infeksi cacing pada saluran cerna sudah


banyak diteliti sebagai salah satu faktor penyebab dari malnutrisi,
termasuk juga stunting. Dua penelitian yang dilakukan di Cina dan di
Nigeria menyatakan hal yang sama, yaitu bahwa infestasi cacing
dapat mengganggu absorpsi nutrisi dan pertumbuhan anak, sehingga
strategi pencegahan dengan gaya hidup sehat dan pemberantasan
infestasi cacing dengan konsumsi obat cacing menjadi sangat penting
untuk memperbaiki nutrisi pada anak Balita. Berdasarkan data yang
diperoleh, angka bebas infeksi cacing pada wilayah kerja Puskesmas
Silungkang sudah sangat baik.9,10

Tabel 5.5. Prevalensi kecacingan di wilayah kerja Puskesmas


Silungkang bulan Agustus tahun 2020

34
Desa/Kelurahan Ya Tidak Prevalensi
Silungkang Oso 0 1 0
Taratak Bancah 0 0 -
Muoro Kalaban 0 6 0
Silungkang Tigo 0 5 0
Silungkang Duo 0 0 -
Total 0 12 0

5.2.5. Jamban Sehat


Tabel 5.6 menjelaskan mengenai cakupan jamban sehat pada
subjek penelitian di wilayah kerja Puskesmas Silungkang bulan
Agustus tahun 2020. Dari data tersebut didapatkan bahwa cakupan
jamban sehat adalah sebesar 74,1%, dimana yang terbesar adalah di
Desa Muoro Kalaban (85,7%) dan yang terkecil adalah di Desa
Silungkang Oso dan Desa Silungkang Duo (50,0% dan 50,0% secara
berurutan).

Tabel 5.6. Cakupan jamban sehat di wilayah kerja Puskesmas


Silungkang bulan Agustus tahun 2020

Desa/Kelurahan Ya Tidak Cakupan


Silungkang Oso 1 1 50,0%
Taratak Bancah 0 0 -
Muoro Kalaban 6 1 85,7%
Silungkang Tigo 11 3 78,6%
Silungkang Duo 2 2 50,0%
Total 20 7 74,1%

Sebuah penelitian berupa review sistematis yang dilakukan


oleh Novianti dan Padmawati pada tahun 2020 menyatakan bahwa

35
tersedianya jamban sehat mempunyai pengaruh yang cukup besar
terhadap kejadian stunting, dimana keluarga yang mempunyai akses
pada jamban sehat 1,8 hingga 7,3 kali lipat lebih terlindungi dari
kejadian stunting dibandingkan dengan keluarga yang tidak
mempunyai akses pada jamban sehat.6,11

Apabila melihat pada data yang telah diperoleh, perlu


perbaikan yang cukup signifikan pada Desa Silungkang Oso dan
Desa Silungkang Duo mengenai ketersediaan jamban sehat, untuk
mempebaiki angka stunting.

5.2.6. Imunisasi
Tabel 5.7 menjelaskan mengenai cakupan imunisasi pada
subjek penelitian di wilayah kerja Puskesmas Silungkang bulan
Januari sampai Agustus tahun 2020. Dari data tersebut didapatkan
bahwa cakupan imunisasi pada bulan maret mencapai 80,1% sampai
saat ini masih terus menurun karena berkurangnya kegiatan
posyandu akbiat pandemic Covid-19

Tabel 5.6. Cakupan Imunisasi di wilayah kerja Puskesmas


Silungkang bulan Januari hingga Agustus tahun 2020

Bulan Cakupan Imunisasi


Januari 68,3%
Februari 66,8%
Maret 81,2%
April 60,6%
Mei 55,9%
Juni 45,5%
Juli 72,5%
Agustus 57,5%

36
Desa/Keluraha
Ya Tidak Cakupan
n
Silungkang Oso 2 0 100%
Taratak Bancah 0 0 -
Muoro Kalaban 7 0 100%
Silungkang Tigo 14 0 100%
Silungkang Duo 4 0 100%
Total 27 0 100%

Tabel 5.8. Cakupan imunisasi di wilayah kerja Puskesmas


Silungkang pada balita Stunting bulan Agustus tahun 2020

Pemberian imunisasi pada anak adalah hal yang sangat


penting karena dapat meningkatkan daya tahan tubuh anak.
Pemberian imunisasi yang lengkap dianggap memiliki pengaruh
terhadap kejadian stunting. Anak disebut sudah mendapat imunisasi
lengkap apabila sudah mendapatkan satu kali HB-0, satu kali BCG,
tiga kali DPT-HB, empat kali polio, dan satu kali imunisasi campak.
Pemberian imunisasi dapat membentuk kekebalan sehingga anak
akan lebih jarang terkena infeksi sehingga terhindar dari risiko
permasalahan gizi akibat penyakit infeksi.13

Namun, beberapa penelitian juga menyatakan bahwa


imunisasi dasar tidak menjamin anak atau balita akan terhindar dari
suatu penyakit, karena tergantung dari efektivitas pemberian vaksin
seperti kualitas vaksin yang diberikan, sehingga dianggap anak yang
memiliki imunisasi lengkap maupun tidak lengkap memiliki peluang
yang sama untuk mengalami stunting. Anak yang tidak diberikan
imunisasi dasar yang lengkap tidak serta merta menderita penyakit
infeksi, sebab imunitas anak dipengaruhi berbagai faktor lain, seperti
status gizi, kekebalan kelompok, kebutuhan nutrien yang baik.11,12

37
5.2.7. Adanya Keluarga yang Merokok
Tabel 5.7 menjelaskan mengenai prevalensi merokok pada
keluarga pada subjek penelitian di wilayah kerja Puskesmas
Silungkang bulan Agustus tahun 2020. Dari data tersebut didapatkan
bahwa prevalensi merokok pada keluarga adalah sebesar 67,9%,
dimana yang terbesar adalah di Desa Muoro Kalaban (85,7%) dan
yang terkecil adalah di Desa Silungkang Oso (50,0%).

Tabel 5.7. Prevalensi keluarga merokok di wilayah kerja Puskesmas


Silungkang bulan Agustus tahun 2020

Desa/Kelurahan Ya Tidak Prevalensi


Silungkang Oso 1 1 50,0%
Taratak Bancah 0 0 -
Muoro Kalaban 6 1 85,7%
Silungkang Tigo 8 6 57,1%
Silungkang Duo 4 1 80,0%
Total 19 9 67,9%

Merokok merupakan akar permasalahan dari banyak


penyakit, dimana salah satunya adalah stunting. Sebuah penelitian
yang dilakukan di Indonesia pada tahun 2007 menyatakan bahwa
ayah yang merokok berhubungan dengan adanya peningkatan
malnutrisi termasuk stunting pada anak di lingkungan urban.
Penelitian lain yang juga dilakukan di Indonesia pada tahun 2020
menyatakan bahwa paparan terhadap asap rokok meningkatkan

38
risiko terjadinya stunting pada anak Balita sebesar sekitar 10 kali
lipat.7,8

Pengendalian asap rokok dan penurunan prevalensi keluarga


yang merokok sangat pentung untuk dilakukan di wilayah kerja
Puskesmas Silungkang, mengingat prevalensinya yang masih sangat
tinggi.

5.2.8. Adanya KEK pada Ibu


Tabel 5.8 menjelaskan mengenai prevalensi KEK pada ibu
subjek penelitian di wilayah kerja Puskesmas Silungkang bulan
Agustus tahun 2020. Dari data tersebut didapatkan bahwa prevalensi
KEK pada ibu adalah sebesar 21%, dimana yang terbesar adalah
dibulan agustus.

Tabel 5.8. Cakupan Ibu dengan KEK di wilayah kerja Puskesmas


Silungkang bulan Januari hingga Agustus tahun 2020

Bulan Cakupan ibu KEK


Januari 11%
Februari 10%
Maret 13%
April 13%
Mei 13%
Juni 17%
Juli 13%
Agustus 21%

Tabel 5.9. Prevalensi KEK pada ibu di wilayah kerja Puskesmas


Silungkang bulan Agustus tahun 2020

Desa/Kelurahan Ya Tidak Prevalensi

39
Silungkang Oso 0 2 0
Taratak Bancah 0 0 -
Muoro Kalaban 0 7 0
Silungkang Tigo 5 9 35,7%
Silungkang Duo 1 4 20,0%
Total 6 22 21,4%

Faktor risiko lain terjadinya stunting pada balita adalah status


gizi ibu hamil. Status gizi ibu hamil terhadap pertumbuhan dan
perkembangan janinnya harus diperhatikan sejak masih dalam
kandungan. Jika terjadi kekurangan status gizi awal kehidupan maka
akan berdampak pada kehidupan selanjutnya, seperti pertumbuhan
janin terhambat, berat badan lahir rendah (BBLR), bayi akan kecil,
pendek kurus, daya tahan tubuh rendah, dan risiko meninggal dunia.
Dalam hal ini permasalah gizi pada ibu hamil adalah kekurangan
energi kronik (KEK) yang dapat dinilai dari ukuran lingkar lengan
atas (LiLA) yang kurang dari 23,5 cm. Dilaporkan bahwa ibu hamil
dengan KEK berisiko memiliki anak yang stunting apabila tidak
ditangani dengan baik dan benar. KEK sendiri merupakan kondisi
yang disebabkan karena adanya ketidakseimbangan asupan gizi
antara energi dan protein, sehingga zat gizi yang dibutuhkan tubuh
tidak tercukupi.11

Status gizi dan kesehatan ibu pada masa pra hamil, saat
kehamilannya, dan termasuk saat menyusui merupakan periode yang
sangat kritis. Di dalam kandungan, janin akan tumbuh dan
berkembang melalui pertambahan berat dan panjang badan,
perkembangan otak serta organ-organ lainnya. Kekurangan gizi yang
terjadi di dalam kandungan dan awal kehidupan menyebabkan janin
melakukan reaksi penyesuaian. Secara paralel penyesuaian tersebut
meliputi perlambatan pertumbuhan dengan pengurangan jumlah dan

40
pengembangan sel-sel tubuh. Hasil reaksi penyesuaian akibat
kekurangan gizi diekspresikan pada usia akan datang dalam bentuk
tubuh yang pendek.11

5.2.9. Adanya Penyakit Penyerta


Tabel 5.9 menjelaskan mengenai prevalensi penyakit
penyerta subjek penelitian di wilayah kerja Puskesmas Silungkang
bulan Agustus tahun 2020. Dari data tersebut didapatkan bahwa
kejadian adanya penyakit penyerta adalah nol.

Tabel 5.9. Prevalensi penyakit penyerta di wilayah kerja Puskesmas


Silungkang bulan Agustus tahun 2020

Desa/Kelurahan Ya Tidak Prevalensi


Silungkang Oso 0 2 0
Taratak Bancah 0 0 -
Muoro Kalaban 0 7 0
Silungkang Tigo 0 14 0
Silungkang Duo 0 5 0
Total 0 28 0

Faktor risiko lainnya dari kejadian stunting adalah


peningkatan paparan terhadap penyakit infeksi. Penyakit infeksi pada
balita dapat mengganggu pertumbuhan linier dengan terlebih dahulu
mempengaruhi status gizi anak balita. Hal ini terjadi karena penyakit
infeksi dapat menurunkan intake makanan, mengganggu absorbsi zat
gizi, menyebabkan hilangnya zat gizi secara langsung, meningkatkan
kebutuhan metabolik.15

Terdapat interaksi bolak balik antara status gizi dengan


penyakit infeksi. Malnutrisi dapat meningkatkan risiko infeksi,
sedangkan infeksi dapat menyebabkan malnutrisi yang mengarahkan

41
ke lingkaran setan. Apabila kondisi ini terjadi dalam waktu lama dan
tidak segera diatasi, maka dapat menurunkan intake makanan dan
mengganggu zat gizi, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya
stunting pada anak balita.16

Foto kegiatan posyandu balita

42
43
BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan
Prevalensi dari stunting di wilayah kerja Puskesmas Silungkang
adalah sebesar 13,8% pada bulan Februari 2020 dan 10,3% pada bulan
Agustus 2020. Prevalensi ini relatif jauh lebih rendah dibandingkan
prevalensi di Provinsi Sumatera Barat dan prevalensi nasional. Adapun
faktor-faktor determinan dari kejadian stunting antara lain adalah ASI
eksklusif, keikutsertaan dengan JKN/BPJS, ketersediaan air bersih,
kecacingan, jamban sehat, imunisasi, adanya keluarga yang merokok,
adanya KEK pada ibu saat kehamilan, dan adanya penyakit penyerta. Untuk
pencegahan stunting dengan cara intervensi, Puskesmas Silungkang sudah
cukup lengkap dalam mengadakan kegiatan intervensi spesifik maupun
sensitif

6.2. Saran
1. Meningkatkan cakupan keikutsertaan JKN/BPJS
2. Meningkatkan ketersediaan jamban sehat
3. Mengimplementasikan program berhenti merokok di wilayah kerja
Puskesmas Silungkang untuk menurunkan prevalensi kelurga yang
merokok
4. Meningkatkan program suplementasi gizi ibu hamil untuk mencegah
KEK
5. Fokus pada 1000 HPK
6. Membentuk pendekatan keluarga
7. Memastikan MP-ASI untuk anak 6-12 bulan dari bahan lokal dan
berkualitas dari segi nilai zat gizinya
8. Rembuk stunting

44
9. Mengikutsertakan masyarakat desa untuk berperan memantau
ketersediaan layanan dari berbagai sektor terutama pada rumah
tangga 1000HPK
10. memberi 5 paket pelayanan untuk rumah tangga 1000HPK yaitu
KIA, konseling gizi terpadu, air minum dan sanitasi, PAUD, dan
perlindungan social.

45
DAFTAR PUSTAKA

1. Izwardy D. Studi status gizi balita terintegrasi Susenas 2019. Rakernas


Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2020.
2. Aridiyah FO, Rohmawati N, Ririanty M. Faktor-faktor yang mempengaruhi
kejadian stunting pada anak balita di wilayah pedesaan dan perkotaan. E-Jurnal
Pustaka Kesehatan. 2015; 3(1): 163-70.
3. Pengan J, Kawengian S, Rombot DV. Hubungan antara riwayat pemberian ASI
eksklusif dengan kejadian stunting pada anak usia 12-36 bulan di Wilayah Kerja
Puskesmas Luwuk Kecamatan Luwuk Selatan Kabupaten Banggai Sulawesi
Tengah. Kesehatan Masyarakat Samratulangi. 2017.
4. Hikmarachim HG, Rohsiswatmo R, Ronoatmodjo. Efek ASI eksklusif terhadap
stunting pada anak usia 6-59 bulan di Kabupaten Bogor tahun 2019. Jurnal
Epidemiologi Kesehatan Indonesia. 2019; 3(2): 77-82.
5. Handayani S, Kapota WN, Oktaviano E. Hubungan status asi eksklusif dengan
kejadian stunting pada batita usia 24-36 bulan di Desa Watugajah Kabupaten
Gunungkidul. Jurnal Medika Respati. 2019; 14(4): 287-300.
6. Rukundo EN, Gerber N. Impact of community-based health insurance on child
health outcomes? Evidence on stunting from rural Uganda. Universitat Bonn.
2017.
7. Kwami CS, Godfrey S, Gavilan H, Lakhanpaul M, Parikh P. Water, sanitation, and
hygiene: Linkages with stunting in rural Ethiopia. Int J Environ Res Public Health.
2019; 16(3793).
8. Guan M, Han B. Association between intestinal worm infection and malnutrition
among rural children aged 9–11 years old in Guizhou Province, China. BMC
Public Health. 2019; 19(1204).
9. Ihejirika OC, Nwaorgu OC, Ebirim CI, Nwokeji CM. Effects of intestinal parasitic
infections on nutritional status of primary children in Imo State Nigeria. Pan Afr
Med J. 2019; 33(34).

46
10. Novianti S, Padmawati RS. Hubungan faktor lingkungan dan perilaku dengan
kejadian stunting pada Balita: Scoping review. Jurnal Kesehatan Komunitas
Indonesia. 2020; 16(1): 153-64.
11. Lupiana M, Ilyas H, Oktiani K. Hubungan status imunisasi, pendidikan ibu, sikap
ibu dan pendapatan keluarga dengan status gizi balita di Kelurahan Beringin Jaya
Kecamatan Kemiling Kota Bandar Lampung. Holistik Jurnal Keehatan. 2018;
12(3): 146-53.
12. Azriful, Bujawati E, Aeni S, Yusdarif. Determinan kejadian stunting pada balita
usia 24-59 bulan di Kelurahan Rangas Kecamatan Banggae Kabupaten Majene.
Al-sihah: Public Health Science Journal. 2018; 10(2): 192-203.
13. Setiawan E, Machmud R, Masrul. Faktor-faktor yang berhubungan dengan
kejadian stunting pada anak usia 24-59 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas
Andalas Kecamatan Padang Timur Kota Padang Tahun 2018. Jurnal Kesehatan
Andakas. 2018; 7(2): 275-84.
14. Semba RD, Kalm LM, Pee S, Ricks MO, Sari M, Bloem MW. Paternal smoking is
associated with increased risk of child malnutrition among poor urban families in
Indonesia. Public Health Nutr. 2007; 10(1): 7-15.
15. Astuti DD, Handayani TW, Astuti DP. Cigarette smoke exposure and increased
risks of stunting among under-five children. Clin Epidemiol Glob Health. 2020.
16. Alfarisi R, Nurmalasari Y, Nabila S. Status gizi ibu hamil dapat menyebabkan
kejadian stunting pada balita. Universitas Malahayati. 2019; 5(3): 271-8.

47

Anda mungkin juga menyukai