Oleh:
dr. Windy Silvia
Pendamping:
dr. Salma Lira
i
HALAMAN PENGESAHAN
Mini Project
Judul
KEJADIAN STUNTING
DI PUSKESMAS SILUNGKANG
PERIODE FEBRUARI - AGUSTUS 2020
Oleh:
dr. Windy Silvia
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan
progam dokter internsip di Puskesmas Silungkang.
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan
berkat dan karunia-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan laporan kasus
yang berjudul “KEJADIAN STUNTING DI PUSKESMAS SILUNGKANG
PERIODE FEBRUARI DAN AGUSTUS 2020” Laporan kasus ini merupakan
salah satu syarat menyelesaikan Program Internsip Dokter Indonesia dari
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia di Puskesmas Silungkang.
Penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. Salma Lira selaku
pembimbing dalam penulisan laporan kasus ini, serta kepada semua pihak yang
telah membantu hingga tulisan ini dapat diselesaikan.
Penyusun menyadari masih banyak kekurangan dalam laporan kasus ini.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat
diharapkan demi perbaikan di masa yang akan datang. Semoga tulisan ini dapat
memberi ilmu dan manfaat bagi yang membacanya.
Penyusun
iii
DAFTAR ISI
Halaman Judul..................................................................................................... I
Halaman Pengesahan.......................................................................................... II
Kata Pengantar.................................................................................................... III
Daftar Isi.............................................................................................................. IV
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................... 7
BAB III METODE ............................................................................................. 25
BAB IV HASIL….............................................................................................. 27
BAB IV PEMBAHASAN…............................................................................... 28
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN............................................................ 41
Daftar Pustaka…………………………………………………………………..24
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
berhubungan. Stunting pada anak merupakan dampak dari defisiensi nutrien
selama seribu hari pertama kehidupan. Hal ini menimbulkan gangguan
perkembangan fisik anak yang irreversible termasuk gangguan dalam
perkembangan otak sehingga menyebabkan penurunan kemampuan kognitif dan
motorik. Anak dengan status gizi stunting memiliki rerata skor Intelligence
Quotient (IQ) sebelas poin lebih rendah dibandingkan rerata skor IQ pada anak
normal. Gangguan tumbuh kembang yang terjadi pada anak akibat kekurangan
gizi bila tidak mendapatkan intervensi sejak dini akan berlanjut hingga dewasa
sehingga dapat menyebabkan penurunan performa kerja di kemudian hari. Studi
terkini menunjukkan anak yang mengalami stunting berkaitan dengan prestasi di
sekolah yang buruk, tingkat pendidikan yang rendah dan pendapatan yang rendah
saat dewasa.[ CITATION Placeholder11 \l 1057 ]
Stunting pada balita perlu mendapatkan perhatian khusus karena dapat
menyebabkan terhambatnya pertumbuhan fisik, perkembangan mental dan status
kesehatan pada anak.Anak yang mengalami stunting memiliki kemungkinan lebih
besar tumbuh menjadi individu dewasa yang tidak sehat. Stunting pada anak juga
berhubungan dengan peningkatan kerentanan anak terhadap penyakit, baik
penyakit menular maupun Penyakit Tidak Menular (PTM). Stunting juga berisiko
untuk meningkatkan angka kejadian terjadinya overweight dan obesitas yang
dapat kemudian dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit degeneratif. Kasus
stunting pada anak dapat dijadikan prediktor rendahnya kualitas sumber daya
manusia suatu negara. Keadaan stunting menyebabkan buruknya kemampuan
kognitif, rendahnya produktivitas, serta meningkatnya risiko penyakit
mengakibatkan kerugian jangka panjang bagi Indonesia [ CITATION Tri15 \l 1057 \m
BPP07]
1.1.2 Puskesmas
Puskesmas sesuai dengan Permenkes 75 Tahun 2014 merupakan fasilitas
pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan
upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan
2
upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya di wilayah kerjanya.
Fasilitas Pelayanan Kesehatan sendiri merupakan suatu tempat yang
digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif,
preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah,
pemerintah daerah dan atau masyarakat.
Sesuai dengan Pasal 2 pada Permenkes 75 Tahun 2014 Tujuan Puskesmas sendiri
adalah :
a. Pembangunan kesehatan yang diselenggarakan di Puskesmas
bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang:
i. Memiliki perilaku sehat yang meliputi kesadaran, kemauan dan
kemampuan hidup sehat;
ii. Mampu menjangkau pelayanan kesehatan bermutu
iii. Hidup dalam lingkungan sehat; dan
iv. Memiliki derajat kesehatan yang optimal, baik individu, keluarga,
kelompok dan masyarakat.
Pembangunan kesehatan yang diselenggarakan di Puskesmas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mendukung terwujudnya
kecamatan sehat.
3
1.1.4 Profil Puskesmas Slungkang
Puskesmas Silungkang didirikan pada tahun 1983, diresmikan oleh
Gubernur Sumatera Barat, Bapak Azwar Anas. Pada awal berdiri Puskesmas
Silungkang termasuk Wilayah Kabupaten Sawahlunto/Sijunjung, dengan adanya
PP No. 44 tahun 1990 tentang perubahan batas wilayah Kotamadya Sawahlunto
dan sekarang menjadi salah satu dari 6 puskesmas yang ada di kota Sawahlunto.
Puskesmas ini didirikan di tanah hibah masyarakat Kenagarian Silungkang.
5
indicator berat badan menurut umur kurang dari -3 standart deviasi BB/TB < -3
SD.
1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat bagi Penulis
a. Melaksanakan kegiatan mini project dalam rangka Program Internsip
Dokter Indonesia.
b. Berperan serta dalam upaya pengumpulan data anak dengan kemungkinan
stunting khususnya di wilayah kerja Puskesmas Silungkang
6
b. Mendorong masyarakat untuk melakukan pencegahan stunting kepada
anak usia 0-59 bulan sehingga meningkatkan kualitas hidup anak kelak.
7
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Epidemiologi
8
Gambar 2.1 Prevalensi Balita Pendek (stunting) di Dunia Tahun 2000-2017
Gambar 2.2 Prevalensi Balita Pendek (stunting) di Regonal Asia Tenggara 2015-2017
9
36,4 % atau hampir 9 juta balita mengalami stunting dan Indonesia adalah negara
dengan prevalensi stunting kelima terbesar di Dunia. Di Indonesia pravelensi
stunting secara nasional pada tahun 2013 adalah 37,2%, pada tahun 2018 adalah
30,8%, pada tahun 2019 terus menurun menjadi 27,67%. Sehingga Presiden
Republik Indonesia meningkatkan target RPJM 2025 yang awalnya sebesar 19%
menjadi 14%. Sehingga menjadi tantangan untuk segala sektor untuk mencapai
target tersebut.6
10
Gambar 2.3 Proporsi Stunting pada Balita Status Menurut Provinsi tahun 2019
(Sumber : SSGBI,2019)
2.3 Etiologi
Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi. Banyak hal yang
menyebabkan terjadinya stunting terutama kesalahan pola asuh yang terjadi pada
1000 Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK). Contoh kesalahan yang dapat terjadi
dalam hal ini antara lain adalah :
1. Praktek pengasuhan yang tidak baik
- Kurangnya pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum
dan pada masa kehamilan, serta setelah ibu melahirkan.
- 60% dari anak usia 0-6 bulan tidak mendapatlan ASI eksklusif.
- 2 dari 3 anak usia 0-24 bulan tidak menerima Makanan Pengganti
ASI (MP-ASI)
2. Masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan Ante Natal Care
(ANC), Post Natal dan pembelajaran dini yang berkualitas.
- 1 dari 3 anak usia 3-6 tahun tidak terdaftar di Pendidikan Anak Usia
Dini (PAUD).
- 2 dari 3 ibu hamil belum mengkonsumsi suplemen zat besi yang
memadai.
- Menurunnya tingkat kehadiran anak di posyandu (dari 79% di 2007
menjadi 64% di 2013).
11
- Tidak mendapat akses yang memadai ke layanan imunisasi
3. Masih kurangnya akses kepada makanan bergizi.
- 1 dari 3 ibu hamil anemia.
- Makanan bergizi mahal.
4. Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi.
- 1 dari 5 rumah tangga masih BAB diruang terbuka.
- 1 dari 3 rumah taangga belum memiliki akses ke air minum bersih8
12
2.5 Pencegahan Stunting
Upaya untuk pencegahan terjadinya stunting dilakukan melalui dua
intervensi, yaitu intervensi gizi spesifik untuk mengatasi penyebab langsung dan
intervensi gizi sensitif untuk mengatasi penyebab tidak langsung.
Intervensi gizi spesifik dilakukan dengan salah satu gerakan yang dikenal
sebagai 1000 HPK (Hari Pertama Kehidupan). Berikut ini merupakan penjabaran
dari setiap intervensi yang dilakukan dalam 1000 HPK:2
Kelompok sasaran 1.000 HPK
1. Ibu hamil
- Intervensi Prioritas :
o Pemberian makanan tambahan (PMT) pada ibu hamil pada
kelompok miskin atau Kurang Energi Kronik (KEK)
o Suplementasi tablet tambah darah untuk mengatasi
kekurangan zat besi dan asam folat
13
- Intervensi Pendukung
o Suplementasi kalsium
o Pemeriksaan kehamilan minimal 4 kali
o Memberikan imunisasi Tetanus Toksoid (TT)
- Prioritas sesuai kondisi tertentu
o Pencegahan HIV
o Pemberian obat cacing untuk menanggulangi kecacingan
pada ibu hamil
o Program melindungi ibu hamil dari Malaria
2. Ibu menyusui dan anak usia 0-6 bulan
- Intervensi Prioritas
o Memberikan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan
o Mendorong Inisiasi Menyusui Dini (IMD)
o Pemberian ASI colostrum
o Mendorong pemberian ASI Ekslusif
o Promosi dan konseling menyusui
- Intervensi Pendukung
o Imunisasi dasar
o Pantau tumbuh kembang secara rutin setiap bulan
o Penanganan bayi sakit secara tepat
14
- Intervensi Pendukung
o Suplementasi kapsul vitamin A
o Suplementasi zinc untuk pengobatan diare
o Menyediakan obat cacing
o Memberikan imunisasi lengkap
o Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)
- Prioritas sesuai kondisi tertentu
o Pencegahan kecacingan
15
2. Menyediakan dan Memastikan Akses pada Sanitasi melalui Kebijakan
Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM)
STBM merupakan pendekatan untuk merubah perilaku higiene dan
sanitasi melalui pemberdayaan masyarakat dengan metode pemicuan.
Sanitasi Total Berbasis Masyarakat menekankan pada 5 (lima)
perubahan perilaku hygienis, yang biasa dikenal sebagai 5 pilar
STBM.
16
Gambar 2.5 Cara Mencuci Tangan Dengan Sabun dan Air
17
prinsip hygiene sanitasi pangan dalam proses pengelolaan makanan
di rumah tangga.
18
Prinsip :
- Tidak mencemari sumber air minum (air permukaan
maupun air tanah);
- Tidak menjadi media berkembang biaknya binatang
pembawa penyakit;
- Tidak mengotori permukaan tanah, menimbulkan bau;
- Konstruksi sederhana dengan bahan yang murah dan
mudah didapat;
- Pelestarian sumber saya air (misalnya, pemanfaatan
kembali air limbah rumah tangga).
19
9. Memberikan Edukasi Kesehatan Seksual dan Reproduksi, serta Gizi
pada Remaja.
10. Menyediakan Bantuan dan Jaminan Sosial bagi Keluarga Miskin.
11. Meningkatkan Ketahanan Pangan dan Gizi
12. Kegiatan yang dilakukan berupa:
• Menjamin akses pangan yang memenuhi kebutuhan gizi terutama
ibu hamil, ibu menyusui, dan anak-anak.
• Menjamin pemanfaatan optimal pangan yang tersedia bagi semua
golongan penduduk.
• Memberi perhatian pada petani kecil, nelayan, dan kesetaraan
gender.
• Pemberdayaan Ekonomi Mikro bagi Keluarga dengan Bumil KEK
(Kurang Energi Protein).
• Peningkatan Layanan KB
20
Dalam penanganan kasus stunting di Indonesia, pemerintah memiliki
peran yang sangat besar untuk menekan angka terjadi kekurangan gizi kronis ini.
Oleh karena itu pemerintah mengeluarkan banyak kebijakan dan stategi untuk
menangani masalah ini. Adapun Kebijakan dan strategi yang mengatur pola asuh
ini ada pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal
128, Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 2012 tentang ASI, dan Rencana
Strategis Kementerian Kesehatan 2015-2019, Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor HK.02.02/MENKES/52/20158
Dalam Amanat pada UU Nomor 36 Tahun 2009 menyatakan tentang
pemberian ASI pada bayi yang berisikan:
1. Setiap bayi berhak mendapatkan ASI Eksklusif sejak dilahirkan selama 6
bulan, kecuali atas indikasi medis.
2. Selama pemberian ASI pihak keluarga, pemerintah, pemerintah daerah,
dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan
penyediaan waktu dan fasilitas khusus.
Amanat tentang UU tersebut diatur dalam PP Nomor 33 Tahun 2013
tentang ASI yang menyebutkan:
1. Setiap ibu yang melahirkan harus memberikan ASI Eksklusif. Pengaturan
pemberian ASI Eksklusif bertujuan untuk: a. menjamin pemenuhan hak
bayi untuk mendapatkan ASI Eksklusif sejak dilahirkan sampai dengan
berusia 6 (enam) bulan dengan memperhatikan pertumbuhan dan
perkembangannya; b. memberikan perlindungan kepada ibu dalam
memberikan ASI Eksklusif kepada bayinya; dan c. meningkatkan peran
dan dukungan keluarga, masyarakat, pemerintah daerah, dan pemerintah
terhadap pemberian ASI Eksklusif.
2. Tenaga kesehatan dan penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan wajib
melakukan inisiasi menyusui dini terhadap bayi yang baru lahir kepada
ibunya paling singkat selama 1 (satu) jam. Inisiasi menyusui dini
sebagaimana dimaksud dilakukan dengan cara meletakkan bayi secara
tengkurap di dada atau perut ibu sehingga kulit bayi melekat pada kulit
ibu.3,4
21
Selain mengeluarkan serangkaian kebijakan dan regulasi,
kementerian/lembaga (K/L) juga sebenarnya telah memiliki program baik terkait
intervensi gizi spesifik maupun intervensi gizi sensitif, yang berpotensial untuk
menurunkan stunting. Intervensi Program Gizi Spesifik dilakukan oleh
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melalui Pusat Kesehatan Masyarakat
(Puskesmas) dan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) melalui Gerakan 1.000 Hari
Pertama Kegiatan (HPK). Berikut ini adalah identifikasi beberapa program gizi
spesifik yang telah dilakukan oleh pemerintah:
3 Program yang menyasar Ibu Menyusui dan Anak Usia 0-6 bulan
termasuk diantaranya mendorong IMD/Inisiasi Menyusui Dini
melalui pemberian kolostrum dan memastikan edukasi kepada ibu
untuk terus memberikan ASI Eksklusif hingga usia 6 bulan. Kegiatan
22
terkait termasuk memberikan pertolongan persalinan oleh tenaga
kesehatan, Inisiasi Menyusui Dini (IMD), promosi menyusui ASI
eksklusif (konseling individu dan kelompok), imunisasi dasar, pantau
tumbuh kembang secara rutin setiap bulan, dan penanganan bayi
sakit secara tepat.7,8
23
dengan baik dan pertumbuhan tidak terhambat. Demikian pula dengan
pertumbuhan linear, batita perempuan mencapai 50% tinggi badan pada usia 18
bulan, sedangkan laki-laki pada usia 2 tahun. Terhambatnya pertumbuhan pada
masa kritis ini akan menimbulkan dampak yang luas.8
Dampak yang ditimbulkan stunting dapat dibagi menjadi dampak jangka pendek
dan jangka panjang.
24
BAB 3
METODOLOGI
Bab ini akan membahas tentang metode yang akan digunakan dalam
penelitian gambaran faktor-faktor pencegahan terjadinya Stunting.
25
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan data yang diperoleh pada penelitian ini yang merupakan data
sekunder yang bersumber dari rekam data Puskesmas Silungkang bulan Februari
dan Agustus tahun 2020, didapatkan data yang kemudian dianalisis secara tabuler
yang dapat dilihat pada Tabel 4.1 dan Tabel 4.2. Jumlah total data yang diperoleh
adalah 841 subjek yang merupakan balita. Dari data ini diperoleh informasi bahwa
pada bulan Februari prevalensi stunting adalah 13,8%, yang menurun sebesar
3,5% di bulan Agustus menjadi 10,3%.
Tabel 4.1. Data Tinggi Badan Balita Terhadap Umur di Wilayah Kerja
Puskesmas Silungkang pada Bulan Februari
TB/U
Desa/Kelurahan Sangat
Pendek Normal Tinggi Stunting
Pendek
Silungkang Oso 2 8 112 0 8,2%
Taratak Bancah 1 8 42 0 17,6%
Muoro Kalaban 8 40 343 0 12,3%
Silungkang Tigo 6 12 134 0 11,8%
Silungkang Duo 1 12 85 0 13,3%
Total 35 80 716 0 13,8%
Tabel 4.2. Data Tinggi Badan Balita Terhadap Umur di Wilayah Kerja
Puskesmas Silungkang pada Bulan Agustus
26
TB/U
Desa/Kelurahan Sangat
Pendek Normal Tinggi Stunting
Pendek
Silungkang Oso 1 6 129 0 5,1%
Taratak Bancah 0 5 45 0 10,0%
Muoro Kalaban 4 43 355 0 11,7%
Silungkang Tigo 4 12 131 0 10,9%
Silungkang Duo 0 10 79 0 11,2%
Total 9 76 739 0 10,3%
BAB V
PEMBAHASAN
27
5.1. Prevalensi Stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Silungkang pada
Bulan Februari dan Agustus 2020
Pada bagian pembahasan ini akan dibahas mengenai jumlah balita
(berusia 0-59 bulan) yang memiliki keadaan stunting di wilayah kerja
Puskesmas Silungkang pada bulan Februari tahun 2020 dan Agustus tahun
2020. Dari total 831 balita yang dilakukan pengukuran tinggi badan per usia
(TB/U) pada bulan Februari tahun 2020, dapat dilihat pada Tabel 4.1 bahwa
total balita yang mengalami stunting adalah sebesar 13,8%, dimana yang
memiliki jumlah terbanyak adalah Desa Taratak Bancah sebesar 17,6% dan
yang paling sedikit adalah Desa Silungkang Oso, dengan jumlah balita yang
stunting adalah sebesar 8,2%.
Prevalensi
17.60% Stunting
18.00% 13.30% 13.80%
12.30% 11.80%
16.00%
14.00% 11.7% 10.9% 11.2%
8.20% 10.0% 10.3%
12.00%
10.00%
8.00% 5.1%
6.00%
4.00%
2.00% Februari
0.00% Agustus
Silungkang Taratak Muoro Silungkang Silungkang Total
Oso Bancah Kalaban Tigo Duo
Desa/Kelurahan
Agustus Februari
Tabel 4.2 menunjukkan bahwa dari total 824 balita yang dilakukan
pengukuran TB/U, jumlah balita yang mengalami stunting adalah sebesar
10,3%, dimana Desa Muoro Kalahan merupakan Desa dengan jumlah
terbanyak, yaitu sebesar 11,7% sementara Desa Silungkang Oso adalah yang
paling sedikit, yaitu sebesar 5,1%.
28
Berdasarkan hasil penelitian yang dievaluasi dalam 6 bulan tersebut,
dapat dilihat bahwa terjadi penurunan angka balita yang mengalami stunting
sebesar 3,5% pada bulan Agustus 2020 dibandingkan dengan bulan Februari
2020, yaitu dari 13,8% (Februari 2020) menjadi 10,3% (Agustus 2020).
Pada Gambar 5.1 juga dapat dilihat bahwa terjadi penurunan angka stunting
balita di semua desa di Puskesmas Silungkang. Desa Silungkang Oso dari
8,20% turun menjadi 5,1%, Desa Taratak Bancah dari 17,60% menjadi
10,0%, Desa Muoro Kalahan dari 12,30% menjadi 11,7%, Desa Silungkang
Tigo dari 11,80% menjadi 10,9%, dan Desa Silungkang Duo dari 13,30%
menjadi 11,2%.
Dari data ini juga dapat diperoleh informasi bahwa penurunan yang
terbesar ditemukan pada desa Taratak Bancah sebesar 7,6%, dan penurunan
yang terkecil ada pada desa Muoro Kalaban sebesar 0,6%. Penurunan dari
angka stunting dalam waktu 6 bulan ini menggambarkan keberhasilan dari
program pencegahan dan penanganan stunting pada Balita di masing-masing
desa.
29
wilayah kerja Puskesmas Silungkang jauh lebih rendah dibandingkan
prevalensi stunting di provinsi Sumatera Barat bahkan di seluruh Indonesia
sekalipun.11,13
30
Bulan Cakupan ASI Eksklusif
Januari 89,3%
Februari 83,1%
Maret 81,2%
April 100%
Mei 81,1%
Juni 84,3%
Juli 81,5%
Agustus 82,8%
31
5.2.2. Keikutsertaan JKN/BPJS
Tabel 5.2 menjelaskan mengenai cakupan keikutsertaan
JKN/BPJS pada subjek penelitian di wilayah kerja Puskesmas
Silungkang bulan Agustus tahun 2020. Dari data tersebut didapatkan
bahwa cakupan keikutsertaan JKN adalah sebesar 71,4%, dimana
yang terbesar adalah di Desa Silungkang Tigo (85,7%) dan yang
terkecil adalah di Desa Silungkang Oso (50,0%).
32
5.2.3. Ketersediaan Air Bersih
Tabel 5.3 menjelaskan mengenai cakupan ketersediaan air
bersih pada subjek penelitian di wilayah kerja Puskesmas Silungkang
bulan januari hingga agustus tahun 2020. Dari data tersebut
didapatkan bahwa cakupan ketersediaan air bersih seluruh wilayah
kerja Puskesmas Silungkang rata-rata masih dibawah 60%.
33
Total 28 0 100%
5.2.4. Kecacingan
Tabel 5.5 menjelaskan mengenai prevalensi kecacaingan
pada subjek penelitian di wilayah kerja Puskesmas Silungkang bulan
Agustus tahun 2020. Dari data tersebut didapatkan bahwa tidak ada
kejadian kecacingan yang ditemukan pada wilayah kerja Puskesmas
Silungkang. Namun, tidak ada data yang diperoleh dari Desa Taratak
Bancah dan Desa Silungkang Duo.
34
Desa/Kelurahan Ya Tidak Prevalensi
Silungkang Oso 0 1 0
Taratak Bancah 0 0 -
Muoro Kalaban 0 6 0
Silungkang Tigo 0 5 0
Silungkang Duo 0 0 -
Total 0 12 0
35
tersedianya jamban sehat mempunyai pengaruh yang cukup besar
terhadap kejadian stunting, dimana keluarga yang mempunyai akses
pada jamban sehat 1,8 hingga 7,3 kali lipat lebih terlindungi dari
kejadian stunting dibandingkan dengan keluarga yang tidak
mempunyai akses pada jamban sehat.6,11
5.2.6. Imunisasi
Tabel 5.7 menjelaskan mengenai cakupan imunisasi pada
subjek penelitian di wilayah kerja Puskesmas Silungkang bulan
Januari sampai Agustus tahun 2020. Dari data tersebut didapatkan
bahwa cakupan imunisasi pada bulan maret mencapai 80,1% sampai
saat ini masih terus menurun karena berkurangnya kegiatan
posyandu akbiat pandemic Covid-19
36
Desa/Keluraha
Ya Tidak Cakupan
n
Silungkang Oso 2 0 100%
Taratak Bancah 0 0 -
Muoro Kalaban 7 0 100%
Silungkang Tigo 14 0 100%
Silungkang Duo 4 0 100%
Total 27 0 100%
37
5.2.7. Adanya Keluarga yang Merokok
Tabel 5.7 menjelaskan mengenai prevalensi merokok pada
keluarga pada subjek penelitian di wilayah kerja Puskesmas
Silungkang bulan Agustus tahun 2020. Dari data tersebut didapatkan
bahwa prevalensi merokok pada keluarga adalah sebesar 67,9%,
dimana yang terbesar adalah di Desa Muoro Kalaban (85,7%) dan
yang terkecil adalah di Desa Silungkang Oso (50,0%).
38
risiko terjadinya stunting pada anak Balita sebesar sekitar 10 kali
lipat.7,8
39
Silungkang Oso 0 2 0
Taratak Bancah 0 0 -
Muoro Kalaban 0 7 0
Silungkang Tigo 5 9 35,7%
Silungkang Duo 1 4 20,0%
Total 6 22 21,4%
Status gizi dan kesehatan ibu pada masa pra hamil, saat
kehamilannya, dan termasuk saat menyusui merupakan periode yang
sangat kritis. Di dalam kandungan, janin akan tumbuh dan
berkembang melalui pertambahan berat dan panjang badan,
perkembangan otak serta organ-organ lainnya. Kekurangan gizi yang
terjadi di dalam kandungan dan awal kehidupan menyebabkan janin
melakukan reaksi penyesuaian. Secara paralel penyesuaian tersebut
meliputi perlambatan pertumbuhan dengan pengurangan jumlah dan
40
pengembangan sel-sel tubuh. Hasil reaksi penyesuaian akibat
kekurangan gizi diekspresikan pada usia akan datang dalam bentuk
tubuh yang pendek.11
41
ke lingkaran setan. Apabila kondisi ini terjadi dalam waktu lama dan
tidak segera diatasi, maka dapat menurunkan intake makanan dan
mengganggu zat gizi, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya
stunting pada anak balita.16
42
43
BAB VI
6.1. Kesimpulan
Prevalensi dari stunting di wilayah kerja Puskesmas Silungkang
adalah sebesar 13,8% pada bulan Februari 2020 dan 10,3% pada bulan
Agustus 2020. Prevalensi ini relatif jauh lebih rendah dibandingkan
prevalensi di Provinsi Sumatera Barat dan prevalensi nasional. Adapun
faktor-faktor determinan dari kejadian stunting antara lain adalah ASI
eksklusif, keikutsertaan dengan JKN/BPJS, ketersediaan air bersih,
kecacingan, jamban sehat, imunisasi, adanya keluarga yang merokok,
adanya KEK pada ibu saat kehamilan, dan adanya penyakit penyerta. Untuk
pencegahan stunting dengan cara intervensi, Puskesmas Silungkang sudah
cukup lengkap dalam mengadakan kegiatan intervensi spesifik maupun
sensitif
6.2. Saran
1. Meningkatkan cakupan keikutsertaan JKN/BPJS
2. Meningkatkan ketersediaan jamban sehat
3. Mengimplementasikan program berhenti merokok di wilayah kerja
Puskesmas Silungkang untuk menurunkan prevalensi kelurga yang
merokok
4. Meningkatkan program suplementasi gizi ibu hamil untuk mencegah
KEK
5. Fokus pada 1000 HPK
6. Membentuk pendekatan keluarga
7. Memastikan MP-ASI untuk anak 6-12 bulan dari bahan lokal dan
berkualitas dari segi nilai zat gizinya
8. Rembuk stunting
44
9. Mengikutsertakan masyarakat desa untuk berperan memantau
ketersediaan layanan dari berbagai sektor terutama pada rumah
tangga 1000HPK
10. memberi 5 paket pelayanan untuk rumah tangga 1000HPK yaitu
KIA, konseling gizi terpadu, air minum dan sanitasi, PAUD, dan
perlindungan social.
45
DAFTAR PUSTAKA
46
10. Novianti S, Padmawati RS. Hubungan faktor lingkungan dan perilaku dengan
kejadian stunting pada Balita: Scoping review. Jurnal Kesehatan Komunitas
Indonesia. 2020; 16(1): 153-64.
11. Lupiana M, Ilyas H, Oktiani K. Hubungan status imunisasi, pendidikan ibu, sikap
ibu dan pendapatan keluarga dengan status gizi balita di Kelurahan Beringin Jaya
Kecamatan Kemiling Kota Bandar Lampung. Holistik Jurnal Keehatan. 2018;
12(3): 146-53.
12. Azriful, Bujawati E, Aeni S, Yusdarif. Determinan kejadian stunting pada balita
usia 24-59 bulan di Kelurahan Rangas Kecamatan Banggae Kabupaten Majene.
Al-sihah: Public Health Science Journal. 2018; 10(2): 192-203.
13. Setiawan E, Machmud R, Masrul. Faktor-faktor yang berhubungan dengan
kejadian stunting pada anak usia 24-59 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas
Andalas Kecamatan Padang Timur Kota Padang Tahun 2018. Jurnal Kesehatan
Andakas. 2018; 7(2): 275-84.
14. Semba RD, Kalm LM, Pee S, Ricks MO, Sari M, Bloem MW. Paternal smoking is
associated with increased risk of child malnutrition among poor urban families in
Indonesia. Public Health Nutr. 2007; 10(1): 7-15.
15. Astuti DD, Handayani TW, Astuti DP. Cigarette smoke exposure and increased
risks of stunting among under-five children. Clin Epidemiol Glob Health. 2020.
16. Alfarisi R, Nurmalasari Y, Nabila S. Status gizi ibu hamil dapat menyebabkan
kejadian stunting pada balita. Universitas Malahayati. 2019; 5(3): 271-8.
47