Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

MENIERE’S DISEASE

Disusun oleh :
Alisa Melyani
406172032

Pembimbing :
dr. Jodi Setiawan, Sp. THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA


KEPANITERAAN ILMU THT-KL
PERIODE 9 SEPTEMBER – 13 OKTOBER 2019
RSUD CIBINONG

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, Penulis dapat menyelesaikan
referat yang berjudul “Meniere’s Disease”. Referat ini disusun dalam rangka memenuhi
tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Telinga Hidung Tenggorokan Universitas
Tarumanagara di Rumah Sakit Umum Daerah Cibinong Periode 9 september – 13
Oktober 2019.

Penyusunan referat ini tidak terlepas dari dukungan dan bimbingan dari beberapa
pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, penulis hendak mengucapkan terima kasih
kepada :
1. dr. Dadang Chandra, Sp. THT – KL, selaku kepala SMF THT – KL.
2. dr. Jody Setiawan, Sp. THT – KL, selaku dokter pembimbing referat yang
telah bersedia meluangkan waktu memberikan bimbingan dan masukan
kepada penulis, sehingga referat ini dapat tersusun dengan baik.
3. dr. Jenny, Sp. THT - KL, FICS, selaku dokter pembimbing yang telah bersedia
meluangkan waktu memberikan bimbingan dan masukan kepada penulis,
sehingga referat ini dapat tersusun dengan baik.
4. Teman-teman satu kepaniteraan klinik ilmu THT-KL di Rumah Sakit Umum
Daerah Cibinong.

Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
semua kritik dan saran yang besifat membangun diterima dengan baik dan dapat
dijadikan perbaikan di masa datang. Penulis berharap agar referat ini memberikan
manfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Cibinong, Oktober 2019

Alisa Melyani

406172032

2
DAFTAR ISI

Halaman Sampul ............................................................................................................ i


Kata Pengantar .............................................................................................................. ii
Daftar Isi ...................................................................................................................... iii
Bab 1. Pendahuluan ...................................................................................................... 4
Bab 2. Tinjauan Pustaka ............................................................................................... 5
2.1. Anatomi Telinga Dalam ............................................................................ 5
2.2. Definisi Penyakit Meniere ....................................................................... 7
2.3. Epidemiologi Penyakit Meniere .............................................................. 7
2.4. Patofisiologi Penyakit Meniere ................................................................. 7
2.5. Faktor Risiko Penyakit Meniere.............................................................. 10
2.6. Manifestasi Klinis dan Diagnosis Penyakit Meniere .............................. 11
2.7 Diagnosis Penyakit Meniere ................................................................... 12
2.8 Pemeriksaan Penunjang Penyakit Meniere ............................................. 12
2.9. Kriteria Diagnosis Penyakit Meniere ...................................................... 14
2.10. Diagnosis Banding Penyakit Meniere ................................................. 17
2.11. Tatalaksana Penyakit Meniere ............................................................ 17
2.12. Prognosis dan Komplikasi Penyakit Meniere ......................................... 20
Bab 3. Kesimpulan ...................................................................................................... 21
Daftar Pustaka ............................................................................................................. 22

3
BAB I
PENDAHULUAN

Meniere’s disease atau penyakit Meniere adalah suatu kelainan labirin


membranosa telinga dalam, yang bermanifestasi sebagai vertigo, tinitus, tuli
sensorineural, dan perasaan penuh di telinga baik dengan penyebab yang diketahui
maupun tidak diketahui. Sebagian besar kasus bersifat unilateral dan sekitar 10-20%
kasus bersifat bilateral. (1) Pada tahun 1861, Penyakit ini ditemukan oleh seorang dokter
asal Prancis bernama Meniere yang menyatakan bahwa penyakit berada dalam teinga,
sedangkan saat itu para ahli menduga bahwa penyakit tersebut berasal dari otak.
Pendapat ini kemudian dibuktikan oleh Hallpike dan Cairn tahun 1938, dengan
ditemukannya hidrops endolimfa setelah memeriksa tulang temporal pasien dengan
dugaan penyakit Meniere.(2)
Insidensi penyakit Meniere di dunia berkisar 12 per 1.000 orang, dan sekitar 100.000
pasien mengalami penyakit Meniere setiap tahunnya. (2) Studi yang dilakukan di Jepang
menunjukkan prevalensi sebesar 17 kasus per 100.000 populasi. (1) Indonesia belum
memiliki data mengenai penyakit Meniere, karena seringkali penyakit salah didiagnosis
sebagai vertigo dan berbagai kelainan lainnya.
Usia pada awal serangannya berkisar pada dekade ketiga hingga keenam
kehidupan, dan diduga ada peran faktor genetik pada 20% pasien. Beberapa dugaan
faktor risiko penyakit Meniere adalah riwayat infeksi virus atau saluran napas, riwayat
alergi, merokok, stres, kelelahan, dan penggunaan alkohol. (2) Penyakit Meniere juga
melibatkan interaksi faktor-faktor psikologis dan somatik, yang menurunkan kualitas
(3)
hidup orang-orang yang mengalaminya. Oleh karena itu, sangat penting untuk
mendiagnosis dan menatalaksana penyakit Meniere dengan baik.
Referat ini bertujuan membahas definisi, epidemiologi, faktor risiko,
manifestasi klinis, diagnosis banding, komplikasi dan prognosis orang-orang dengan
penyakit Meniere. Semoga referat ini berguna bagi para pembaca.

4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Telinga Dalam

Telinga manusia dibagi menjadi tiga bagian besar, yaitu telinga luar, tengah, dan dalam.
Telinga bagian dalam terdiri dari koklea (yang berfungsi untuk mendengar) dan sistem
vestibular (yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan). Telinga bagian dalam terdiri
dari struktur-struktur membranosa, yang secara kolektif dikenal sebagai labirin
membranosa yang dikemas oleh cangkang tulang yang disebut labrin tulang. Pada
labirin membranosa terdapat cairan ekstraselular yang kaya akan kalium yang disebut
endolimfe. Sedangkan ruang antara labirin membranosa dan labirin tulang berisi cairan
yang yang disebut perilimfe, yang komposisi ionnya serupa dengan cairan ekstraselular
yang ditemukan di semua bagian tubuh lainnya. (4)

Gambar 1. Anatomi telinga dalam(6)


Labirin membranosa terdiri dari skala media, skala vestibuli, dan skala timpani,
dan juga duktus reuniens, sakulus, utrikulus, kanalis semisirkularis, duktus
endolimfatikus, dan sakus endolimfatikus. Struktur-struktur tersebut dibagi menjadi
dua kompartemen terpisah, yang dihubungkan oleh duktus reuniens, yaitu
kompartemen vestibularis (sakulus, utrikulus, kanalis semisirkularis, dan duktus serta
sakus endolimfatikus) serta kompartemen koklearis (skala media, skala vestibuli, dan
skala timpani). (4)

5
Gambar 2. Anatomi koklea (8)

Gambar 3. Anatomi koklea dengan gambaran skala media (7)


Endolimfe memiliki komposisi yang berbeda dengan semua cairan lain pada
tubuh manusia. Endolimfe mengandung kalium dalam jumlah yang sangat tinggi (150-
180 mmol/L), yang menciptakan lingkungan yang memungkinkan timbulnya potensi
listrik yang tinggi pada skala media di koklea (+80 hingga +110 mV). Tidak hanya itu,
endolimfe juga hampir tidak mengandung natrium. Endolimfe diduga terbentuk dari
perilimfe dan bukan dari plasma. Transpor kalium diduga berlangsung secara
transepitelial dari perilimfe ke endolimfe diduga melalui pompa on Na+,K+-ATPase,
untuk mempertahankan potensi elektrik endokoklea yang besar dan komposisi
endolimfe yang cukup unik. Endolimfe tetap mengalir dalam labirin membranosa

6
karena ada dua mekanisme, yaitu aliran radial (yang penting untuk metabolisme energi
dan pertukaran ion sekitar regio sel sensori) dan aluran longitudinal yang lebih lambat
(yang memungkinkan reabsorpsi endolimfe dan pembuangan produk dan debris oleh
sakus endolimfatikus). Kedua mekanisme ini berjalan bersamaan secara terus menerus.
(4)

Vaskularisasi telinga Telinga dalam memperoleh pendarahan dari A.auditori


interna (A.labirintin) yang berasal dari A.serebelli anterior atau langsung dari
a.basilaris yang merupakan suatu end arteri dan tidak mempunyai pembuluh darah
anastomosis. Setelah memasuki meatus akustikus internus, arteri ini bercabang tiga,
yaitu :
1. Arteri vestibularis anterior yang memperdarahi makula utrikuli, sebagian makula
sakuli, krista ampularis, kanalis semisirkularis superior dan lateral serta sebagian
dari utrikulus dan sakulus
2. Arteri vestibulokokhlearis yang memperdarahi makula sakuli, kanalis semisirkularis
posterior, bagian inferior utrikulus dan sakulus serta putaran berasal dari kokhlea.
3. Arteri kokhlearis yang memasuki mediolus dan menjadi pembuluh-pembuluh arteri
spiral yang memperdarahi organ korti, skala vestibuli, skala timpani sebelum
berakhir pada stria vaskularis. (5)
Aliran vena pada telinga dalam melalui tiga jalur utama. Vena auditori interna
berasal dari putaran tengah dan apikal kokhlea. Vena aquaduktus kokhlearis berasal
dari putaran basiler kokhlea, sakulus, dan utrikulus dan berakhir pada sinus petrosus
inferior. Vena akquaduktus vestibularis berasal dari kanalis semisirkularis sampai
utrikulus. Vena ini mengikuti duktus dan masuk ke sinus sigmoid.(5)
Persarafan (inervasi) telinga n.akustikus bersama n.fasialis masuk ke dalam
porus dari meatus akustikus internus dan bercabang dua sebagai n.vestibularis dan
n.kokhlearis. Pada dasar meatus akustikus internus terletak ganglion vestibularis dan
pada mediolus terletak ganglion spiralis. (4,5)

2.2. Definisi Penyakit Meniere

Meniere’s disease atau penyakit Meniere adalah suatu kelainan labirin membranosa
telinga dalam, yang bermanifestasi sebagai vertigo, tinitus, tuli sensorineural, dan aural
fullness, baik dengan penyebab yang diketahui maupun tidak diketahui. (1) Penyakit

7
Meniere dinamakan berdasarkan Meniere, yang merupakan orang pertama yang
mendeskripsikan fakta bahwa vertigo dapat berasal dari gangguan telinga dalam.(9)

2.3. Epidemiologi

Penyakit ini umumnya menyerang usia 30 sampai 60 tahun dan diduga terdapat peran
faktor genetik pada 20% pasien.. Insidensi penyakit Meniere di dunia berkisar 12 per
1.000 orang, dan sekitar 100.000 pasien mengalami penyakit Meniere setiap tahunnya.
(2)
Studi yang dilakukan di Jepang menunjukkan prevalensi sebesar 17 kasus per
(1)
100.000 populasi. Indonesia belum memiliki data mengenai penyakit Meniere,
karena seringkali penyakit salah didiagnosis sebagai vertigo dan berbagai kelainan
lainnya.

2.4. Patofisiologi Penyakit Meniere

Secara umum, gejala klinis penyakit Meniere disebabkan oleh kondisi hidrops
endolimfe (peningkatan endolimfa yang menyebabkan labirin membranosa berdilatasi)
pada koklea dan vestibulum. Beberapa penyebab yang diduga menyebabkan hidrops
yang mendadak dan hilang timbul adalah : 1) meningkatnya tekanan hidrostatik pada
ujung arteri; 2) berkurangnya tekanan osmotik dalam kapiler; 3) meningkatnya tekanan
osmotik ruang ekstrakapiler; 4) sumbatan jalan keluar sakus endolimfatikus (akibat
jaringan parut atau karena defek dari sejak lahir), sehingga terjadi penimbunan cairan
endolimfe.(10) Manapun mekanismenya, hidrops disebabkan oleh overproduksi
endolimfe dan atau penurunan absorpsi endolimfe.(4)
Hidrops endolimfa ini lama kelamaan menyebabkan penekanan yang bila mencapai
dilatasi maksimal akan terjadi ruptur labirin membran dan endolimfa akan bercampur
dengan perilimfa. Pencampuran ini menyebabkan potensial aksi di telinga dalam
sehingga menimbulkan gejala vertigo, tinnitus, dan gangguan pendengaran serta rasa
penuh di telinga. Ketika tekanan sudah sama, maka membran akan sembuh dengan
sendirinya dan cairan perilimfe dan endolimfe tidak bercampur kembali namun
penyembuhan ini tidak sempurna.(10)
Penyakit Meniere dapat menimbulkan :
1. Kematian sel rambut pada organ korti di telinga tengah Serangan berulang
penyakit Meniere menyebabkan kematian sel rambut organ korti. Dalam
setahun dapat menimbulkan tuli sensorineural unilateral. Sel rambut vestibuler

8
masih dapat berfungsi, namun dengan tes kalori menunjukkan kemunduran
fungsi. (9.10)
2. Perubahan mekanisme telinga Dimana disebabkan periode pembesaran
kemudian penyusutan utrikulus dan sakulus kronik. Pada pemeriksaan
histopatologi tulang temporal ditemukan perubahan morfologi pada membran
Reissner. Terdapat penonjolan ke dalam skala vestibuli terutama di apeks
kokhlea (helikoterma). Sakulus juga mengalami pelebaran yang sama yang
dapat menekan utrikulus. Pada awalnya pelebaran skala media dimulai dari
apeks kokhlea kemudian dapat meluas mengenai bagian tengah dan basal
kokhlea. Hal ini dapat menjelaskan tejadinya tuli saraf nada rendah pada
penyakit ini.(9.10)

Gambar 4. Hidrops endolimfatik(9)


Hidrops endolimfatik ditandai akumulasi cairan endolimfe, yang mengakibatkan
ekspansi spatium endolimfatik. Progresi penyakit Meniere dikaitkan dengan
perburukan hidrops. Membran tipis yang membatasi endolimfe dan perilimfe bersifat
flaksid. Ketika terjadi ruptur pada labirin membranosa dan kolaps spatium
endolimfatikus, biasanya terjadi hidrops endolimfatik pada bagian lain telinga dalam.

Selain itu, faktor genetik juga diduga memainkan peran dalam penyakit
Meniere, dengan pola pewarisan autosomal dominan, yang menyebabkan gejala klinis
yang lebih parah pada keturunannya. (4) Beberapa gen yang diduga berkaitan dengan
inisiasi dan progresi penyakit Meniere dapat dikelompokkan menjadi empat kategori
utama, yaitu: 1) saluran permukaan sel; 2) protein matriks ekstraselular; 3) terkait
imunitas; dan 4) gen-gen proliferasi dan kesintasan sel. (10)
Faktor autoimunitas juga diduga berhubungan dengan penyakit Meniere,
mengingat insidensi penyakit-penyakit autoimun yang cukup tinggi pada orang-orang

9
dengan penyakit Meniere. Beberapa penyakit yang dikorelasikan dengan penyakit
Meniere adalah artritis rematik, lupus eritematosus sistemik (SLE), dan spondilitis
ankilosa. Penyakit-penyakit autoimun diduga mengubah kapasitas absorptif sistem
drainase endolimfe melalui mekanisme: 1) kerusakan langsung, yang disebabkan
autoantibodi terhadap sel-sel dalam jaringan; 2) deposit kompleks antigen-antibodi,
yang menyebabkan aktivasi kaskade komplemen dan kerusakan jaringan; atau 3) reaksi
inflamasi yang dimediasi sel limfosit T yang telah tersensitisasi. (4)
Histopatologi tulang temporal manusia telah digunakan untuk mengamati
perubahan-perubahan patologis yang mendasari terjadinya penyakit Meniere. Salah
satu tanda paling awal dan penting adalah adanya distensi sistem endolimfatik pasien.
Studi-studi menunjukan adanya keterlibatan seluruh struktur pars inferior telinga dalam
(sakulus dan koklea), dan tidak terlalu banyak peran pars superior (utrikulus dan kanalis
semisirkularis). Berbagai variasi anatomi tulang temporal meliputi perubahan anatomi
dan posisi akuaduktus vestibularis, duktus dan sakus endolimfatikus, dan sinus lateralis
(sigmoid), dan juga adanya pneumatisasi (adanya spatium terisi udara) tulang petrosus.
Pada tulang temporal pasien-pasien dengan penyakit Meniere, sering ditemukan
penyempitan istmus duktus endolimfatikus. Penilaian histopatologis koklea
menunjukkan adanya distensi skala media dengan ballooning membran Reissner ke
skala vestibuli. Mikroskop cahaya menunjukkan struktur sel rambut sensorik koklea
dan pola inervasi yang normal, namun adanya degenerasi ganglion spiral dari apeks
koklea pada penyakit Meniere yang telah berlangsung cukup lama.(10)

2.5. Faktor Risiko Penyakit Meniere

Menurut beberapa penelitian, beberapa faktor risiko penyakit Meniere adalah:


 Migrain, terutama pada pasien-pasien berusia <50 tahun
 Obstructive sleep apnea (OSA)
 Penyakit-penyakit autoimun
 Koagulopati
 Vaskulopati
 Iskemi serebrovaskular
 Kebiasaan merokok

1
0
 Berbagai faktor risiko serebrovaskular seperti hipertensi, hiperlipidemia, atau
riwayat stroke atau infark miokardium. (9)
 Usia yang lebih tua
 Ras kulit putih
 Jenis kelamin perempuan
 Indeks massa tubuh yang lebih besar. (12)

Selain itu, penyakit Meniere juga ditemukan berkorelasi dengan gangguan


vertigo lainnya, terutama benign paroxysmal positional vertigo (BPPV), yang diduga
akibat adanya kerusakan pada utrikulus yang menyebabkan lepasnya otokonia (kristal
kalsium karbonat yang biasanya menempel pada utrikulus) yang bermigrasi ke telinga.
(9)

2.6. Manifestasi Klinis dan Diagnosis Penyakit Meniere

Seringkali pasien datang dengan keluhan pusing, dan terkadang sulit dibedakan dengan
penyebab-penyebab pusing lainnya.(13) Penyakit Meniere memiliki tiga trias, yaitu
vertigo, tinitus, dan tuli sensorineural terutama pada nada rendah. Serangan pertama
seringkali sangat berat, yaitu episode vertigo yang disertai muntah. Vertigo biasanya
dialami selama 20 menit hingga 2 jam, dan jarang bertahan lebih dari tujuh jam. Setiap
pasien berusaha berdiri, pasien merasa berputar, mual, kemudian muntah lagi. Tinitus
biasanya berlangsung hingga 20 menit. Episode ini dapat berlangsung beberapa hari
hingga minggu, dan secara berangsur keadaanya membaik. Serangan kedua dan
berikutnya seringkali lebih ringan, dan semakin mereda pada serangan-serangan
berikutnya. Setiap episode serangan biasanya disertai gangguan pendengaran. Pada
kondisi bebas serangan, pendengaran membaik (pulih). Gejala lain yang menyertai
adalah tinitus yang kadang menetap bahkan di luar serangan, dan perasaan penuh di
dalam telinga (aural fullness). Rasa penuh pada telinga dirasakan seperti saat kita
mengalami perubahan tekanan udara perbedaannya rasa penuh ini tidak hilang dengan
perasat valsava dan toynbee.(10)

1
1
Gambar 5. Gejala-gejala klinis yang berkaitan dengan penyakit Meniere (9)
2.7. Diagnosis Penyakit Meniere

Diagnosis penyakit Meniere ditegakkan dengan adanya tiga kriteria, yaitu:


1) Vertigo yang hilang timbul, disertai dengan tinnitus dan rasa penuh pada telinga,
2) Fluktuasi gangguan pendengaran yang berupa tuli sensorineural
3) Menyingkirkan kemungkinan penyebab-penyebab sentral, seperti tumor N. VIII
dimana serangan vertigo periodik, mula-mula lemah dan semakin lama makin kuat.
Pada sklerosis multipel vertigo periodik dengan intensitas sama pada tiap serangan.
Pada neuritis vestibuler serangan vertigo tidak periodik dan makin lama
menghilang. Pada VPPJ, keluhan vertigo datang akibat perubahan posisi kepala
yang dirasakan sangat berat dan terkadang disertai rasa mual dan muntah namun
tidak berlangsung lama. Jika ditemukan gejala-gejala klas penyakit Meniere pada
anamnesis, diagnosis penyakit Meniere dapat ditegakkan. (10)
Pemeriksaan fisik diperlukan untuk memperkuat diagnosis. Bila dari hasil
pemeriksaan fisik telinga dengan otoskop kemungkinan kelainan telinga luar dan
tengah dapat disingkirkan dan dipastikan kelainan berasal dari telinga dalam misalnya
dari anamnesis didapatkan riwayat fluktuatif pendengaran sedangkan pemeriksaanya
garpu tala terdapat tuli sensorineural dengan hasil test rinne positif, test weber
lateralisasi ke telinga sehat, sudah dapat mendiagnosis penyakit Meniere, sebab tidak
ada tuli saraf yang membaik kecuali pada penyakit Meniere. (10)
2.8. Pemeriksaan Penunjang Penyakit Meniere

Beberapa pemeriksaan penunjang penyakit Meniere adalah sebagai berikut:


1. Audiometri
1
2
Pemeriksaan audiometri menentukan tingkat pendengaran pasien menggunakan
audiometer. Pada kasus-kasus terjadinya disfungsi koklea, terjadi tuli nada rendah yang
akut. Hasil uji yang sering ditemukan pada penyakit Meniere adalah tuli fluktuatif
(pure-tone audiometry).(9)
2. Uji VEMP

Uji VEMP merupakan penilaian neurofisiologis yang dilakukan untuk menilai fungsi
sakulus dan utrikulus, dan terdiri dari pengukuran potensial diikuti stimulus akustik
atau mekanik (vibrasi tulang) melalui elektroda permukaan yang diletakkan pada
muskulus sternokleidomastoideus (cVEMP) atau pada muskulus inferior oblik
(ekstraokular; ocular VEMP / oVEMP). Tipikal uji cVEMP dapat menunjukkan rasio
asimetrisitas >0,33, yang menyatakan bahwa salah satu telinga menunjukkan respons
yang abnormal (respons augmentasi atau berkurang, tergantung letak abnormalitas).
Pemeriksaan oVEMP digunakan untuk menguji fungsi utrikulus, dan dapat terjadi hasil
augmentasi (rasio asimetrisitas >0,40), yang menandakan pembesaran kompensasi
hidrops utrikulus seiring meningkatnya tekanan endolimfe pada utrikulus. (9)
3. Uji kalorik

Uji kalorik merupakan uji yang digunakan untuk menilai refleks vestibulookular
(VOR), yang meliputi irigasi kanalis auditori eksternal dengan air atau udara yang
panas atau dingin, yang biasanya akan menyebabkan nistagmus jika batang otak tetap
intak. Uji kalorik pasien dengan penyakit Meniere biasanya menunjukkan defisit VOR
horizontal, yang menyatakan defisit kanalis semisirkularis horizontal. (9)
4. Uji gliserol

Uji gliserol merupakan uji yang menggunakan agen dehidrasi seperti gliserol, yang
berasal dari hipotesis bahwa penyakit Meniere disebabkan oleh volume endolimfatik
yang membesar, dengan efeknya pada perilaku membran labirin. Tujuannya adalah
mengurangi volume endolimfe pada telinga dalam dan memperbaiki gejala klinis serta
penilaian audiometri. Uji gliserol diberikan secara oral dengan konsentrasi 86-95%
dalam larutan fisiologis kepada pasien, dengan pasien dalam kondisi puasa. Pengujian
audiometri pure-tone diulang pada jam ke-1, 2, dan 3 pemberian gliserol. Uji
dinyatakan positif jika: 1) batas pendengaran menurun setidaknya 15 dB pada tiga
frekuensi; atau 2) ada perubahan batas pendengaran pure tone sebesar 25 dB pada tiga
frekuensi berturut-turut; atau 3) ada perbaikan 16% pada diskriminasi kata-kata. (9)
1
3
5. Elektrokokleografi (ECOG)

Elektrokokleografi menggunakan elektroda yang diletakkan pada kanalis akustikus


atau telinga tengah untuk merekam potensi listrik sebagai respons terhadap stimulasi
suara. Hasil yang sering ditemukan pada elektrokokleografi adalah rasio summating
potential yang dibandingkan dengan action potential yang besar. (8)
6. MRI dan GBCA

Pemeriksaan langsung merupakan satu-satunya cara membedakan jenis-jenis penyakit


Meniere, dan biasanya dilakukan dengan MRI dengan gadolinium-based contrast agent
(GBCA). Visualisasi dilakukan secara intratimpanik dengan memasukkan GBCA
menggunakan sistem Tesla 3 dengan inversi 3D dengan cairan. Kelemahan ini adalah
prosedur ini sedikit invasif dan melibatkan penggunaan GBCA tanpa indikasi
sah/resmi. Selain itu, ada kemungkinan kualitas gambar akan berkurang karena
penetrasi GBCA kurang baik pada membran bulat dan oval, serta hanya pada area
telinga dalam yang diinjeksikan. Saat ini, sedang dikembangkan pencitraan dengan
hybrid of reversed image of positive endolymph signal and native image of positive
perilymph signal (HYDROPS). (9)
Pada kondisi tertentu, dapat terjadi penyakit Meniere bilateral. Penentuan
telinga mana yang menyebabkan vertigo episodik pada penyakit Meniere bilateral sulit
dilakukan. Saat satu telinga menunjukkan arefleksia kalor (refleks menurun atau tidak
ada) dan telinga satunya memiliki fungsi kalorik residual, pemeriksa dapat menduga
bahwa telinga dengan fungsi residual sebagai penyebab vertigo episodik. Jika hanya
satu telinga yang mengalami gejala aural, pemeriksaan test battery dapat mengarahkan
diagnosis ke arah penyakit Meniere bilateral.

2.9. Kriteria Diagnosis Penyakit Meniere

Beberapa kriteria diagnosis penyakit Meniere adalah sebagai berikut:


Tabel 1. Kriteria Diagnosis Penyakit Meniere (9)
Kriteria AAOHNS Possible Penyakit Meniere
1995  Adanya vertigo episodik tipe Meniere tanpa hilangnya
fungsi pendengaran
 Tuli sensorineural, fluktuasi atau secara pasti, dengan
disekuilibrium, namun tanpa episode definitif

1
4
 Eksklusi penyebab-penyebab lainnya
Probable Penyakit Meniere
 Satu episode vertigo definitif
 Tercatat hilangnya fungsi pendengaran secara
audiometri pada setidaknya satu kejadian
 Tinitus atau aural fullness pada telinga yang diobati
 Eksklusi penyebab-penyebab lainnya
Penyakit Meniere Definitif
 Setidaknya dua episode spontan vertigo definitif yang
berlangsung setidaknya 20 menit
 Tercatat hilangnya fungsi pendengaran secara
audiometri pada setidaknya satu kejadian
 Tinitus atau aural fullness pada telinga yang diobati
 Eksklusi penyebab-penyebab lainnya
Penyakit Meniere Pasti
 Penyakit Meniere definitif, ditambah konfirmasi
histopatologis

AAOO 1972  Penyakit Meniere koklear, atau penyakit Meniere tanpa


vertigo, yang ditandai tuli sensorineural fluktuatif dan
progresif dengan hasil auditori yang tipikal penyakit
Meniere. Banyak pasien merasakan penuh pada
telinga, yang bersamaan dengan menurunnya fungsi
pendengaran. Beberapa pasien mengalami dizzy spells
definitif.
 Penyakit Meniere vestibular, atau penyakit Meniere
tanpa tuli, ditandai oleh spell definitif vertigo. Kondisi
ini lebih sulit didiagnosis karena tidak ada temuan
objektif antar episode spell. Diagnosis dapat
ditegakkan secara eksklusionam. Beberapa pasien
mengalami ketulian.

Kriteria 2015 yang Penyakit Meniere Definitif


Diajukan  Setidaknya dua episode spontan vertigo, yang
berlangsung dari 20 menit hingga 12 jam
 Secara audiometri mencatat tuli sensorineural frekuensi
rendah hingga sedang, pada satu telinga setidaknya
satu episode sebelum, selama, atau setelah salah satu
episode vertigo.
 Gejala aural yang fluktuatif (pendengaran, tinitus, atau
rasa penuh) pada telinga yang terkena

1
5
 Tidak lebih baik memenuhi diagnosis vestibular
lainnya.
Penyakit Meniere Probable
 Setidaknya dua episode vertigo atau pusing, yang
berlangsung dari 20 menit hingga 24 jam
 Gejala aural yang fluktuatif (pendengaran, tinitus, atau
rasa penuh) pada telinga yang terkena
 Tidak lebih baik memenuhi diagnosis vestibular
lainnya.

Diagnosis penyakit Meniere ditegakkan berdasarkan diagnosis klinis


berdasarkan anamnesis, disertai hasil uji telinga bagian dalam. Dua tipe kriteria
klasifikasi yang digunakan saat ini adalah kriteria AAOHNS 1995 dan kriteria 2015.
Meskipun penyakit Meniere sering berkaitan dengan hidrops endolimfatik, harus
diingat bahwa hidrops endolimfatik tidak hanya terjadi pada penyakit Meniere, dan
bahwa deteksi hidrops tidak diharuskan untuk mengklasifikasikan penyakit Meniere
menurut panduan tahun 2015. (9)
Subgrup klinis pasien-pasien dengan penyakit Meniere unilateral dan bilateral
adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Subgrup klinis pasien dengan penyakit Meniere unilateral dan bilateral (11)

Penyakit Meniere (MD) Unilateral


Tipe 1 MD sporadik (jika ada migrain, penyakit autoimun, atau keturunan
MD yang terjadi bersamaan, pasien dikeluarkan dari subgrup ini)
Tipe 2 MD yang tertunda (tuli mendahului serangan vertigo dalam jangka
waktu bulanan hingga tahunan)
Tipe 3 MD familial (setidaknya dua pasien pada kerabat derajat pertama
atau kedua)
Tipe 4 MD sporadik dengan migrain (tidak perlu adanya hubungan
temporal)
Tipe 5 MD sporadik ditambah penyakit autoimun
Penyakit Meniere Bilateral
Tipe 1 Hilangnya pendengaran unilateral menjadi bilateral
Tipe 2 Tuli bersamaan (biasanya simetris) secara sporadis
Tipe 3 MD familial (kebanyakan keluarga mengalami tuli bilateral, namun
kasus bilateral dan unilateral dapat ditemukan pada keluarga yang
sama)

1
6
Tipe 4 MD sporadik dengan migraine
Tipe 5 MD sporadik dengan penyakit autoimun

2.10. Diagnosis Banding Penyakit Meniere

Beberapa kondisi lain juga dapat berkaitan dengan vertigo dan/atau hilangnya fungsi
pendengaran. Kondisi-kondisi harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding
sebagai berikut:
 Sindrom akuaduktus vestibular besar
 Sindrom dehisen kanal superior
 Sindrom rendahnya tekanan cairan serebrospinal
 Fistula perilimfatik
 Tuli sensorineural mendadak idiopatik
 Tuli sensorineural nada rendah akut
 Hidrops endolimfatik lanjutan, yaitu awitan vertigo episodik diikuti tuli
sensorineural bermakna yang tertunda.
 Otosifilis
 Otosklerosis
 Migrain vestibularis
 Tuli atau vertigo akibat penyakit-penyakit yang dimediasi sistem imun
 Vertigo dan pusing paska-traumatik
 Schwannoma vestibular. (9)

Beberapa kelainan yang dapat menyebabkan tinitus antara lain:


Tabel 3. Diagnosis banding tinitus (13)
Faktor otologi Presbiakusis, noise-induced hearing loss, otosklerosis
Metabolik Hipotiroidisme, hipertiroidisme, hiperlipidemia, defisiensi
zink, defisiensi vitamin
Neurologik Trauma kepala, whiplash injury, sklerosis multipel, efek
meningitis
Faktor farmakologi Senyawa aspirin, obat antiinflamasi non-steroid,
aminoglikosida, logam berat, antidepresan heterosiklik
Faktor gigi Sindron temporo-mandibular joint
Faktor psikologis Depresi, ansietas

1
7
2.11. Tatalaksana Penyakit Meniere

Tujuan tatalaksana penyakit Meniere adalah mengurangi frekuensi, dan kemudian


keparahan krisis vertigo, dan meminimalisir gangguan fungsi pendengaran.
Tatalaksananya bersifat simtomatik dan harus selalu berkaitan dengan keluhan utama
pasien. Langkah awal selalu bersifat konservatif. (15)
Langkah awal tatalaksana adalah modifikasi gaya hidup termasuk tidur dengan
cukup, dan meminimalisir gangguan tidur seperti obstructive sleep apnea (OSA), serta
mengurangi stres, menghindari kafein, alkohol, rokok serta mengurangi konsumsi
garam dalam diet. Langkah medikamentosa awal adalah pemberian diuretik, dan
disarankan menggunakan hidroklorotiazid (HCT). Selain itu, dapat digunakan
asetazolamid dan klortalidon. Betahistin sering digunakan di Perancis, Eropa, Jepang,
dan Australia, namun tidak digunakan di Amerika. (15)
Setelah penggunaan tatalaksana lini pertama, para peneliti menyatakan bahwa
80% pasien sudah mengalami remisi penyakit Meniere, terutama vertigo. Bagi pasien-
pasien yang belum mengalami remisi, dapat diberikan injeksi steroid secara
intratimpani sebagai tatalaksana lini kedua. Deksametason lebih sering digunakan
dibandingkan metilprednisolon. Dosis larutan deksametason yang diberikan adalah 4
mg/mL selama lima hari berturut-turut, yang dapat diberikan hingga 1-4 minggu
berturut-turut. Pemberian steroid intratimpani memperbaiki frekuensi dan keparahan
vertigo dibandingkan plasebo setelah tatalaksana selama 24 bulan. (15)
Langkah ketiga yang diambil biasanya merupakan langkah operatif, dan teknik
operasi yang paling disukai adalah endolymphatic sac surgery (ELSS). Bagaimanapun,
prosedur ini masih kontroversial dan belum diketahui memberikan hasil yang lebih
unggul. Meskipun demikian, para peneliti sepakat bahwa langkah ini harus menjadi
langkah pertama yang dilakukan setelah kegagalan terapi medis konservatif pada pasien
muda dan fungsi pendengaran masih baik. (15)
Injeksi gentamisin intratimpani (ITG) adalah tatalaksana non-operatif yang
paling efektif untuk mengeradikasi vertigo pada penyakit Meniere, namun juga
merupakan metode ablatif yang membawa risiko hilangnya fungsi pendengaran. ITG
disarankan dipakai pada kasus-kasus pendengaran terganggu pada pasien-pasien
dengan fungsi vestibular kontralateral yang baik. Meta-analisis oleh Syed dkk juga

1
8
menyarankan memberikan ITG dengan protokol titrasi, untuk mengurangi hilangnya
fungsi pendengaran. (15)
Langkah kelima adalah operasi destruktif, dengan labirintektomi dan
neurorektomi vestibular (VN) operatif. VN terbukti lebih efisien dibandingkan ITG,
dan diindikasikan untuk pasien-pasien dengan krisis vertigo yang tidak kunjung
membaik dan tidak dipengaruhi oleh pengobatan, dengan fungsi vestibular kontralateral
yang baik. Labirintektomi semakin jarang dilakukan, meskipun efikasinya mendekati
VN, karena menghilangkan seluruh fungsi pendengaran yang tersisa. Saran yang dapat
diberikan pada para ahli yang melaksanakan labirintektomi adalah dengan mengikutkan
implantasi koklea. (15)
Terkadang, dapat terjadi kasus penyakit Meniere bilateral. Prevalensinya tidak
jelas, namun diperkirakan sekitar 2-47%. Bilateralisasi dapat terjadi melalui proses
sekunder setelah beberapa tahun. Penyakit Menier bilateral harus diobati secara
konservatif untuk menghindari deaferensiasi bilateral, dan juga sebisanya menghindari
tatalaksana ablatif. Kejadian ini harus selalu diantisipasi saat mengobati telinga
pertama, terutama saat dicurigai adanya keterlibatan telinga kontralateral. Alasan inilah
yang menyebabkan semua kasus penyakir Meniere harus diobati secara konservatif
dahulu, dan pelan-pelan dieskalasi dari ITG menjadi ITS. Jika harus diambil langkah
operatif, operasi yang dapat dilakukan pada kasus penyakit Meniere bilateral adalah
ELSS. (15)

1
9
Gambar 7. Proposisi algoritma yang digunakan mengobati penyakit Meniere oleh
ICON (15)
Jika terjadi kasus serangan vertigo akut, dapat diberikan obat-obatan untuk motion
sickness, sebagai contohnya antihistamin aksi sentral dengan efek antikolinergik yang
memiliki fungsi supresi sistem vestibular sekaligus antiemetik. Dimenhidrinat
merupakan obat dengan awitan tercepat, meklizin merupakan yang paling tidak sedatif,
dan prometazin adalah yang paling sedatif namun dapat diberikan secara supositoria
per rektal (berguna jika pasien muntah-muntah). Benzodiazepin juga dapat
dipertimbangkan untuk digunakan karena memiliki efek agonis GABA, namun hindari
penggunaan harian karena menyebabkan kecanduan dan gejala withdrawal. Lorazepam
memiliki awitan tercepat dan durasinya paling cocok untuk serangan vertigo penyakit
Meniere. (9)
Secara non-farmakologi, pasien juga dapat diberikan beberapa program tambahan,
seperti latihan yang melibatkan koordinasi mata dan kepala, sambil berjalan dan
menyeimbangkan posisi tubuh. Tatalaksana non-farmakologi ini dapat dilakukan jika
pasien mengalami disekuilibrium antar serangan vertigo. (9)

2.12. Prognosis dan Komplikasi Penyakit Meniere

Pasien-pasien dengan penyakit Meniere memiliki kualitas hidup (QoL) yang lebih
rendah dibandingkan orang-orang tanpa kelainan tersebut, meskipun tidak semua area
kehidupan terkena dampaknya. Hal ini disebabkan oleh keparahan gejala dan
keparahan gejala flare-up, yang dapat berdampak hingga mengganggu aktivitas sehari-
hari dan disabilitas. Seiring waktu, kualitas hidup pasien akan membaik, dan pasien
akan beradaptasi dengan kondisi barunya. (9)
Pasien-pasien dengan penyakit Meniere kronik menyatakan bahwa tuli yang
mereka alami lebih parah dibandingkan vertigo, tinitus, dan hiperakusis. Gangguan
berjalan juga dinyatakan lebih parah dibandingkan rasa penuh pada telinga. Sekitar 16
tahun setelah gejala, 68% pasien menyatakan masih mengalami rasa penuh pada
telinga, meskipun penyakitnya sudah tidak terlalu parah. Masing-masing gejala secara
individu dan sulitnya menebak kapan mereka muncul menyebabkan kesulitan bergaul,
yang dapat dibantu dengan dukungan dari lingkungan sekitar pasien. Pasien-pasien

2
0
yang memiliki dukungan sosial yang baik menyatakan memiliki kualitas hidup yang
lebih baik secara keseluruhan. (9)

2
1
BAB 3
KESIMPULAN

Meniere’s disease atau penyakit Meniere adalah suatu kelainan labirin membranosa
telinga dalam, berupa hidrops (pembengkakan) endolimfa pada kokhlea dan
vestibulum. Penyakit ini memiliki trias gejala yang sering dialami yaitu vertigo, tinitus,
dan tulis sensorineural, terutama pada nada rendah. Penyakit ini umumnya menyerang
usia 30 sampai 60 tahun dan diduga terdapat peran faktor genetik pada 20% pasien.
Diagnosis ditegakkan dengan gejala klinis 1) Vertigo yang hilang timbul, disertai
dengan tinnitus yang kadang menetap bahkan di luar serangan, dan rasa penuh pada
telinga (aural fullness), 2) Fluktuasi gangguan pendengaran yang berupa tuli
sensorineural, 3) Menyingkirkan kemungkinan penyebab-penyebab sentral, seperti
tumor N. VIII. Keluhan pada serangan pertama seringkali sangat berat dan serangan
kedua dan berikutnya seringkali lebih ringan. Pada pemeriksaan fisik dengan
menggunakan garpu tala hasil test rinne positif, test weber lateralisasi ke telinga sehat
dengan interpretasi tuli sensorineural, selain itu dapat juga dipastikan dengan berbagai
pemeriksaan diagnostik seperti audiometri, Uji VEMP, uji kalorik, uji gliserol,
elektrokokleografi (ECOG), MRI dan GBCA.
Pendekatan tatalaksana yang dapat diambil dimulai dari tatalaksana konversatif
yang perlahan-lahan menuju tatalaksana yang lebih invasif, untuk menghindari
berbagai efek samping yang tidak diinginkan. Pengobatannya dilakukan secara
farmakologis dan non-farmakologis, dan ditangani secara berbulan hingga bertahun-
tahun. Prognosis penyakit ini dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup akibat
awitan gejala yang mendadak dan malu yang dialami pasien, namun dengan pendekatan
dan dukungan keluarga serta lingkungan sosial pasien, pasien dapat menjalani hidupnya
dengan lebih baik dan mengalami kesembuhan yang lebih menyeluruh.

2
2
DAFTAR PUSTAKA

1. Teixeira LS, Cavalcante AMG. Meniere’s disease: epidemiology. Up to date on


Meniere’s disease. 29-38.
2. Pray S. Meniere’s disease. Medscape [Online]. Diakses 2019 Sep 20 dari:
https://www.medscape.com/viewarticle/509085_2.
3. Orji FT. The influence of psychological factors in Meniere’s disease. Ann Med
Health Sci Res. 2014 Jan-Feb; 4(1): 3-7.
4. Cureoglu S, da Costa Monsanto R, Paparella MM. Histopathology of Meniere’s
disease. Oper Tech Otolayngol Head Neck Surg. 2016 Des; 27(4): 194-204.
5. Ellis H. The Special Senses : The Ear. In : Clinical Anatomy, Applied Anatomi for
Students and Junior Doctor. 6th Ed. Massachussetts. Blackwell Publishing. 2006.
384-387.
6. Hussain B, Ali M, Qasim M, Masoud MS, Khan L. Hearing impairments,
presbycusis and the possible therapeutic interventions. Biomed Res Ther. 2017;
4(4): 1228-45.
7. Background knowledge of Cochlea. [Online] Diakses 2019 Sep 20 dari:
http://bme240.eng.uci.edu/students/09s/hsiniy/cochlear_anatomy.htm.
8. Morrill S, He DZZ. Apoptosis in inner ear sensory hair cells. J Otol. 2017 Des;
12(4): 151-64.
9. Nakashima T, Pyykko I, Arroll MA, Casselbrant ML, Foster CA, Manzoor NF, et
al. Meniere’s disease. Nat Rev Dis Primers. 2016 Mei 12; 2: 16028.
10. Hadjar E, Bashiruddin J, Bramantyo B. Penyakit Meniere. Dalam: Soepardi EA,
Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD (editor). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Ed 7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2017. 87-
8.
11. Lopez-Escamez JA, Batuecas-Caletrio A, Bisdorff A. Towards personalized
medicine in Meniere’s disease. F1000Res. 2018; 7: F1000 Faculty Rev-1295.
12. Tyrrell JS, Whinney DJ, Ukoumunne OC, Fleming LE, Osborne NJ. Prevalence,
associated factors, and comorbid conditions for Meniere’s disease. Ear Hear. 2014
Jul-Aug; 35(4): e162-9.

2
3
13. Vassilou A, Vlastarakos PV, Maragoudakis P, Candiloros D, Nikolopoulos TP.
Meniere’s disease: Still a mystery disease with difficult differential diagnosis. Ann
Indian Acad Neurol. 2011 Jan-Mar; 14(1): 12-8.
14. Sharma DK. Audiological assessment in Meniere’s disease. [Online] 2017 Okt 4.
Diakses 2019 Sep 22 dari: https://www.intechopen.com/books/up-to-date-on-
meniere-s-disease/audiological-assessment-in-meniere-s-disease.
15. Nevoux J, Barbara M, Dornhoffer J, Gibson W, Kitahara T, Darrouzet V.
International consensus (ICON) on treatment of Ménière's disease. Eur Ann
Otorhinolaryngol Head Neck Dis. 2018 Feb; 135(1S): S29-32.

2
4

Anda mungkin juga menyukai