Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

LABIOPALATOSCHIZIS

Pembimbing:

dr. Huntal Napoleon Simamora, Sp.BP-RE, Subsp LBL(K).

Disusun oleh:

Muhammad Alif Adril

(41221396100043)

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU BEDAH

RUMAH SAKIT BHAYANGKARA TK. I PUSDOKKES POLRI

FAKULTAS KEDOKTERAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

PERIODE 12 JUNI – 18 AGUSTUS 2023


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan
hidayah-Nya sehingga referat yang berjudul “Labiopalatoschizis” ini dapat
diselesaikan. Penulisan referat ini merupakan bagian dari pembelajaran penulis selama
mengikuti Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta di Rumah Sakit Bhayangkara Tk.
I Pusdokkes Polri.

Keberhasilan dalam penulisan referat ini tidak lepas dari bantuan berbagai
pihak, khususnya dr. Huntal Napoleon Simamora, Sp.BP-RE, Subsp LBL(K), selaku
pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk membimbing, memberikan arahan,
dan membagikan ilmunya, serta seluruh dosen dan teman-teman yang mendukung
terlaksananya penulisan referat ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan referat ini masih terdapat banyak
kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
sehingga referat ini bisa menjadi lebih baik. Semoga referat ini dapat bermanfaat untuk
pembaca khususnya bagi kami yang sedang menempuh pendidikan Profesi Dokter.

Jakarta, 7 Agustus 2023

Muhammad Alif Adril


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................... 2


DAFTAR ISI ................................................................................................................. 3
BAB I ............................................................................................................................ 4
PENDAHULUAN......................................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang..................................................................................................... 4
1.2 Tujuan .................................................................................................................. 5
1.3 Manfaat ................................................................................................................ 5
BAB II ........................................................................................................................... 6
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................ 6
2.1 Anatomi Bibir dan Lelangit ..................................................................................... 6
2.3 Etiologi Labiopalatoschizis ................................................................................... 10
2.4 Epidemiologi Labiopalatoschizis ...................................................................... 11
2.5 Patofisiologi Labiopalatoschizis ....................................................................... 12
2.6 Klasifikasi Labiopalatoschizis........................................................................... 13
2.7 Diagnosis Labiopalatoschizis ............................................................................ 15
2.8 Tata Laksana Labiopalatoschizis ....................................................................... 16
2.9 Komplikasi Labiopalatoschizis ......................................................................... 21
2.10 Prognosis Labiopalatoschizis .......................................................................... 22
2.11 Evaluasi Pasca Operasi .................................................................................... 22
2.12 Standar Kompetensi Dokter Umum ................................................................ 23
BAB III........................................................................................................................ 24
KESIMPULAN ........................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 25
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Labiopalatoschizis atau dalam bahasa inggris disebut Cleft Lip and Palate
adalah suatu kelainan atau malformasi wajah yang biasa terjadi pada 1 dari 700
kelahiran di dunia.1 Masyarakat Indonesia biasa menyebut kelainan tersebut sebagai
bibir sumbing dan lelangit. Kelainan ini menyebabkan terbentuknya celah pada bibir
hingga lelangit (Palatum) yang disebabkan oleh kegagalan organogenesis saat
perkembangan embriologi di dalam kandungan.2

World Health Organization (WHO) menyatakan pada tingkat global terdapat


satu kasus Labiopalatoschizis diantara 1000 – 1500 kelahiran. Faktor genetik menjadi
faktor risiko terbesar yang ditemukan, akan tetapi buruknya nutrisi pada masa
kehamilan juga menjadi salah satu faktor yang berpengaruh secara signifikan. Hal ini
akan semakin parah dengan angka mortalitas yang tinggi, jika pada masa neonatal ibu
hamil memiliki kebiasaan tidak sehat berupa merokok, konsumsi alkohol, dan berat
badan berlebih (obesitas).3,4

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa


prevalensi kasus Labiopalatoschizis atau bibir sumbing dan lelangit di Indonesia
berada di angka 2,4% dengan nilai insidensi per tahun nya adalah 7500 kasus. DKI
Jakarta menjadi provinsi dengan prevalensi kasus tertinggi sebanyak 13,9%, disusul
oleh Sumatera Selatan (10,6‰), Kepulauan Riau (9,9‰), Nusa Tenggara Barat (8,6‰),
dan Nanggroe Aceh Darussalam (7,8‰).2 Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr.
Cipto Mangunkusumo Jakarta melalui Cleft and Craniofacial Center menyebutkan
secara spesifik di Indonesia kasus Labiopalatoschizis terjadi pada sekitar dua dari 1000
kelahiran per tahunnya.5

Kasus Labiopalatoschizis atau bibir sumbing dan lelangit menjadi tantangan


tersendiri bagi dunia kesehatan di Indonesia, karena dari total sekitar 7500 kasus per
tahunnya hanya terdapat 1000 – 1500 pasien yang mendapat kesempatan untuk
menjalani operasi dan hal ini tentu sangat tidak ideal. Kendala yang dihadapi adalah
kurangnya informasi di masyarakat tentang pencegahan dan pengobatan
Labiopalatoschizis, kurangnya tenaga dokter terutama di daerah yang jauh dari
perkotaan, dan biaya operasi yang mahal.6

Dengan demikian, peningkatan pengetahuan dan pemahaman terkait


Labiopalatoschizis di masyarakat Indonesia adalah hal yang harus segera ditingkatkan.
Peningkatan edukasi pada masyarakat juga harus diikuti dengan peningkatan jumlah
alat kesehatan yang berkualitas dan jumlah tenaga dokter yang mampu untuk
menangani kasus Labiopalatoschizis. Jika semua sudah dilakukan maka diharapkan
dapat menurunkan angka kejadian labiopalatoschizis di masyarakat Indonesia.2

1.2 Tujuan

Tujuan dari penulisan referat ini adalah:

a) Tujuan Umum: Untuk mengetahui dan memahami mengenai


Labiopalatoschizis.
b) Tujuan Khusus: Menjelaskan definisi, etiologi, epidemiologi,
patofisiologi, diagnosis, tatalaksana, komplikasi, serta prognosis dari
Labiopalatoschizis.

1.3 Manfaat

a) Referat ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber informasi dan


menambah wawasan tentang Labiopalatoschizis.
b) Referat ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi untuk
mengembangkan referat lebih lanjut yang sejenis.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Bibir dan Lelangit

A. Bibir

Bibir terbagi menjadi dua bagian, yaitu bagian atas dan bawah. Bibir atas dimulai
dari area cavum nasi dan dasar ala nasi dan berakhir pada lateral dari lipatan nasolabial.
Bibir atas dibagi oleh sebuah struktur yang disebut phitral colums, struktur ini
terbentuk oleh serat m. orbicularis oris. M. orbicularis oris adalah otot bibir yang
paling penting, berfungsi sebagai sfingter dan untuk bicara. Diantara phitral colums
terdapat struktur berbentuk cekungan yang disebut phitral grove.7

Gambar 2.1 Anatomi Bibir.7

Bibir bagian bawah dimulai dari lipatan nasolabial di lateral dan dibatasi oleh
lipatan labiomental. Bibir atas dan bawah menyatu di komisura. Bagian kulit dan
vermilion dibatasi oleh bagian putih disebut white roll. Warna dan lekukan white roll
dibentuk oleh serat m. orbicularis oris, dimana ketebalannya semakin berkurang ke
arah komisura seperti vermillion. Vermillion terdiri dari epitel stratified squamous di
bagian luar dan transisi menjadi epitel squamous di dalam mulut.7
Gambar 2.2 Anatomi Bibir dan Lelangit.8

Pada daerah bibir, darah dialirkan melalui arteri karotis eksterna yang
diteruskan ke arteri fasialis. Arteri fasialis bercabang menjadi arteri labialis superior
dan inferior. Sedangkan bibir dipersarafi oleg cabang dari Nervus Facialis (N.VII).7

B. Lelangit (Palatum)

Lelangit (palatum) manusia terdiri dari bagian keras yaitu hard palate dan
bagian fibromuskular disebut soft palate. Bagian hard palate dibagi menjadi hard
palate primer dan hard palate sekunder. Bagian hard palate primer berada di depan
foramen incisivus, sedangkan hard palate sekunder berada dibelakang memisahkan
hidung dan faring.9
Gambar 2.3 Anatomi Lelangit.9

Soft palate, atau bisa disebut velum merupakan bagian fibromuscular yang
menutup di belakang ke bagian hard palate dan tersusun atas lima pasang otot yaitu m.
palatoglossus, m. palatopharyngeus, m. levator veli palatine, tendon tensor veli
palatine, dan uvulae.9

2.2 Embriologi

Perkembangan wajah dimulai pada minggu keempat, diawali dengan


terbentuknya lima facial primordia yang terdiri dari:

• Satu frontonasal prominence


• Sepasang maxillary prominence
• Sepasang mandibular prominence

Bagian yang pertama terbentuk adalah rahang bawah dan bibir, kemudian frontonasal
prominence berploriferasi dan membentuk nasal placodes pada minggu kelima nasal
placodes akan terbagi menjadi tiga yaitu: lateral nasal process, media nasal process,
dan frontonatal process. Pada minggu keenam nasal placodes akan melengkung kearah
bawah dan membentuk nasal pits, disaat bersamaan maxillary prominence akan
berproliferasi kearah medial akan tetapi akan dipisahkan oleh lateral nasal process.
Selanjutnya media nasal process akan berfusi dengan maxillary process dan akan
membentuk bibir bagian atas. Media nasal process juga akan bergabung menjadi satu
dan membentuk intermaxillary segment yang akan berkembang menjadi palatum
primer.1,10

Gambar 2.4 Embriologi Perkembangan Bibir.10

Palatum primer terbentuk pada minggu kedelapan, berasal dari bagian


belakang intermaxillary segment memanjang sampai ke foramen insisivus. Selanjutnya
akan muncul palatine shelves yang akan tumbuh di kedua sisi lidah dan kemudian akan
berfusi sehingga akan membentuk palatum primer dan tidak akan ada celah.1

Palatum sekunder mulai berkembang pada minggu kesembilan, awalnya


palatum sekunder berkembang kearah bawah karena masih ada lidah embryonal,
seiring waktu perkembangan palatum sekunder akan bergerak ke arah medial, dan
selanjutnya akan berfusi, septum nasal juga akan berfusi dengan palatum sekunder.
Selanjutnya akan terjadi proses osifikasi, akan tetapi pada bagian dorsal proses
osifikasi tidak terjadi dan akhirnya akan membentuk struktur yang disebut palatum
mole dan uvula.1

Seluruh proses diatas akan selesai pada minggu kedua belas, kegagalan yang
terjadi pada proses diatas menjadi penyebab utama terjadinya kasus labiopalatoschizis,
kegagalan proses yang menyebabkan sering kali terbentuknya celah pada bibir dan
lelangit sekaligus.11
2.3 Etiologi Labiopalatoschizis

Secara garis besar Labiopalatoschizis terbagi menjadi dua, yaitu:6,12

- Sindromik: bila terdapat >1 malformasi dan menyangkut >1 daerah


perkembangan.
- Non Sindromik: hanya terdapat satu malformasi atau terdapat beberapa anomali
yang berasal dari satu daerah perkembangan.

Faktor utama terjadinya kasus Labiopalatoschizis adalah kegagalan proses


pembentukan wajah, khususnya pada bagian bibir dan rahang bawah pada minggu
keempat sampai kedua belas masa kehamilan. National Health Services of United
Kingdom menemukan terdapat beberapa faktor penunjang yang diduga menjadi
pencetus terjadinya kegagalan faktor tersebut, antara lain adalah:8,13

• Gen yang diturunkan oleh orang tua.


• Merokok dan konsumsi alkohol pada saat hamil.
• Obesitas saat hamil.
• Defisiensi Asam Folat.
• DM saat hamil.
• Konsumsi obat teratogenik pada trimester awal kehamilan (anti kejang dan
kortikosteroid seperti asam valproat, asam retinoate, fenitoin, dioksin, dan
thalidomid).

Labiopalatoschizis dapat ditemukan pada sekitar 200 sindrom kongenital yang


berbeda, yang paling banyak didiskusikan adalah sindrom CHARGE (coloboma, heart
defects, atresia choanae, growth retardation, genital abnormalities, and ear
abnormalities). Terdapat juga kehilangan atau kerusakan kromosom tertentu yang
dapat berakibat terjadinya labiopalatoschizis yaitu gen 22q11, hal ini disebut sebagai
velocardiofacial atau DiGeorge Syndrome.

Pada kasus yang lebih langka terdapat Moebius Syndrome yaitu kelainan
kongenital yang belum dapat diketahui penyebabnya dan menyebakan abnormalitas
pada neurologis penderitanya. Kemudian Treacher Collins Syndrome kasus ini dialami
dengan perbandingan 1:50.000 anak di seluruh dunia. Penyakit ini bisa terjadi akibat
adanya mutasi genetik TCOF1, POLR1B, PLOR1C, dan POLR1D. Namun, penyebab
paling banyak adalah mutasi genetik dari TCOF1. Gen ini berada pada kromosom 5
yang memengaruhi perkembangan pada area wajah ketika bayi berada dalam
kandungan. Pada kasus ini gen mengalami perubahan secara tiba-tiba tanpa diketahui
penyebabnya.9,10

Ada hubungan kekeluargaan yang jelas untuk labiopalatoschizis karena jika kasus
tersebut terjadi pada orang tua dan saudara kandung akan meningkatkan risiko untuk
anak selanjutnya. Adapun besar risiko yang akan dihadapi sebagai berikut:10,14

• Seorang anak yang lahir dari orang tua yang memiliki riwayat
labiopalatoschizis akan memiliki risiko sebesar 3-4%.
• Untuk orang tua yang memiliki satu anak dengan riwayat
labiopalatoschizis, maka anak berikutnya akan memiliki risiko
sebanyak 4%.
• Orang tua yang memiliki dua anak dengan riwayat
labiopalatoschizis, maka anak berikutnya akan mengalami
peningkatan risiko menjadi 9%.
• Pada orang tua dan anak yang sama-sama memiliki riwayat
labiopalatoschizis, maka risiko yang dihadapi oleh anak berikutnya
akan menjadi 14-17%.

2.4 Epidemiologi Labiopalatoschizis

Labiopalatoschizis adalah cacat pada bagian kepala dan leher yang paling umum
atau yang paling banyak ditemukan pada bayi baru lahir, dan merupakan anomali
kongenital terbanyak nomor empat. Kasus Labiopalatoschizis menurut beberapa
penelitian muncul pada satu banding 650 kelahiran hingga satu banding 1000 kelahiran
diseluruh dunia dengan orang asia dua kali lipat lebih berpeluang dibanding dengan
orang non asia (eropa, afrika). Bayi dengan jenis kelamin laki-laki juga dua kali lipat
lebih berisiko untuk menderita labiopalatoschizis dibanding dengan bayi berjenis
kelamin perempuan.9,15 Sebuah studi global yang dibuat oleh National Institute of
Dental and Craniofacial Research pada tahun 2015 menyebutkan dari total 7,5 juta
kelahiran di seluruh dunia, ditemukan angka 6,64% kasus labiopalatoschizis dari
10.000 kelahiran termasuk bayi yang lahir dalam keadaan mati atau di terminasi.16

2.5 Patofisiologi Labiopalatoschizis

Mekanisme terjadinya Labiopalatoschizis diawali dengan gagalnya proses


perkembangan wajah pada minggu keempat janin didalam kandungan. Faktor yang
menyebabkan hal tersebut dapat berasal dari internal berupa kerusakan pada kromosom
dan dapat juga berasal dari eksternal seperti pengaruh gaya hidup dari ibu yang tidak
sehat. Labiopalatoschizis dapat membuat penderitanya mengalami berbagai gangguan
lanjutan pasca lahir, seperti: kesulitan bicara, gangguan pendengaran, kesulitan
menelan, dan gangguan pertumbuhan gigi. Hal tersebut dapat menurunkan quality of
life pasien dan membuat tumbuh kembang menjadi terhambat.10,11,17

Gambar 2.4 Patogenesis Labiopalatoschizis.17


2.6 Klasifikasi Labiopalatoschizis

Labiopalatoschizis dapat terjadi pada bagian bibir saja, masyarakat


menyebutnya bibir sumbing atau cleft lip (labioschizis). Jika celah hanya terjadi pada
bagian lelangit atau palatum maka disebut cleft palate (palatoschizis). Adapun
pembagian yang dibuat oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia sebagai
berikut2:

A. Bibir sumbing unilateral

• Bibir sumbing mikroform


• Bibir sumbing inkomplet
• Bibir sumbing komplet.

Gambar 2.4 Klasifikasi Bibir Sumbing Unilateral10.


B. Bibir sumbing bilateral

• Bibir sumbing inkomplet bilateral


• Bibir sumbing komplet bilateral

Gambar 2.5 Klasifikasi Bibir Sumbing Bilateral10,18.

C. Sumbing lelangit

• Bibir sumbing dan lelangit unilateral


• Bibir sumbing dan lelangit bilateral
• Sumbing lelangit isolated
• Sumbing lelangit submukosa.

Gambar 2.6 Klasifikasi Sumbing Lelangit19.


Terdapat pembagian klasifikasi atau terminologi dengan sistem LAHSHAL
yang dibuat oleh Otto Gustav Adolf Kriens atau Otto Kriens dan menjadi acuan dalam
pembelajaran di Departemen Bedah Plastik FK Universitas Airlangga Surabaya12.

Gambar 2.7 Terminologi LAHSHAL12.

Keterangan:

• L : Lips (Bibir).
• A : Alveolus (Gusi).
• H : Hard Palate.
• S : Soft Palate.
• Bila tidak ada celah/normal, maka huruf dicoret.
• Bila celah complete, maka ditulis dengan huruf besar.
• Bila celah incomplete, maka ditulis dengan huruf kecil.
• Bila terdapat kelainan microform, maka ditulis dengan huruf kecil.

2.7 Diagnosis Labiopalatoschizis

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menyebutkan penegakkan


diagnosis dari Labiopalatoschizis dapat ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, hal ini harus dilakukan sedini mungkin
karena setiap tata laksana yang akan dilakukan memiliki golden period masing-masing
yang bergantung kepada tahapan perkembangan anak2.

2.8 Tata Laksana Labiopalatoschizis

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menyebutkan tata laksana ideal


adalah dilakukan di masa kehamilan, yaitu dengan melalui pemeriksaan USG, maka
keluarga pasien dapat mengetahui sedini mungkin kondisi pasien.2 Tatalaksana utama
yang dapat dilakukan adalah pembedahan dengan pendekatan multi disiplin, prinsip
yang harus selalu diutamakan adalah penatalaksanaan dilakukan sedini mungkin pada
pasien. Pasien sudah dapat disiapkan untuk melakukan Tindakan pembedahan pada
usia 3 bulan, hal ini karena pada usia tiga bulan, tubuh pasien sudah dianggap mampu
untuk mengatasi kemungkinan terjadinya perdarahan pada saat operasi dan juga pada
usia tiga bulan diharapkan pertumbuhan pasien sudah lebih baik sehingga
memudahkan untuk dilakukan pembedahan secara lebih teliti.8,12

Saat pasien berusia <3 bulan dilakukan pemasangan NAM (Nasoalveolar


Molding) pemasangan alat ini dilakukan oleh dokter gigi spesialis ortodonti. Adapun
fungsi dari dilakukan tindakan tersebut adalah:

• Memperbaiki lengkung gusi (alveolar) dan mendekatkan celah antar segmen


cleft.
• Mendekatkan dasar hidung.
• Memanjangkan sekat antara lubang hidung kanan dan kiri (columella) secara
non bedah.
• Mendekatkan celah bibir sehingga mengurangi tegangan pada bibir saat
operasi.

NAM hanya akan digunakan sampai usia tiga bulan atau pasca operasi Labioplasty dan
setelah itu akan dilakukan pemasangan Hotz Plate hingga pasien siap menjalani proses
operasi Palatoplasty pada usia minimal 6 bulan yang berfungsi untuk:
• Mencegah kolaps rahang atas setelah pembedahan.
• Mencegah agar lidah tidak masuk ke celah langit-langit.
• Memungkinkan dan melatih pola normal penelanan.

Penatalaksanaan oleh dokter spesialis bedah plastik dan rekonstruksi estetika


akan dimulai saat pasien memasuki usia tiga bulan. Operasi dapat dilakukan jika pasien
dapat memenuhi kriteria Rule of Ten untuk dapat dilakukan tindakan Labioplasty dan
Rhinoplasty. Adapun Rule of Ten yang harus dipenuhi sebagai berikut12:

• Berat Badan: >10 Pon


• Hb: >10gr/dL
• Usia: >10 Minggu

Pasien akan memerlukan banyak tindakan pembedahan seiring bertambahnya


usia. Hal ini bertujuan untuk dapat memperbaiki tampilan wajah, meningkatkan fungsi
pernapasan, meningkatkan fungsi pendengaran. Pasien Labiopalatoschizis mungkin
akan memerlukan jenis perawatan lain seperti perawatan gigi khusus dan terapi
wicara2,6,8,12. Adapun tindakan yang akah dihadapi oleh pasien adalah sebagai
berikut2,12:
Gambar 2.8 Tahapan Tata Laknsana Labiopalatoschizis.12

Pasien akan melakukan tindakan Labioplasty dan Rhinoplasty pada usia 3 bulan
dan dilanjutkan dengan tindakan Palatoplasty pada usia minimal 6 bulan sampai 2
tahun. Setelah itu akan dilakukan evaluasi berkala setiap satu tahun sekali untuk
mengetahui apakah tindakan operasi berhasil secara estetik dan fungsional.

Pada usia 5 tahun jika terdapat gangguan dalam berbicara pada pasien dapat
dilakukan tindakan operasi VPI (Velophryngeal Inssufficiency). Selanjutnya akan
dilakukan evaluasi setiap 5 tahun sekali dan saat pasien sudah mencapai usia 15 tahun
maka pasien akan disiapkan untuk menjalani tindakan Orthognatic Surgery yang
berfungsi untuk mengkoreksi rahang atas dan bawah (mandibulla) yang tidak rata
karena sudah terjadi Skeletal Maturity.
Teknik Operasi yang dilakukan:2,6

• Teknik Operasi Bibir Sumbing Fisher

Gambar 2.9 Teknik Fisher.2

• Teknik Operasi Bibir Sumbing Millard

Gambar 2.10 Teknik Operasi Millard.2

• Teknik Operasi Sumbing Lelangit Von Langenback


Gambar 2.11 Teknik Operasi Von Langenback.2

• Teknik Operasi Veau-Wardill-Kilner atau VY Pushback


Palatoplasty

Gambar 2.11 Teknik Operasi Veau-Wardill-Kilner.2

• Teknik Operasi 2 Flap Palatoplasty

Gambar 2.12 Teknik Operasi 2 Flap Palatoplasty.2

• Teknik Operasi Furlow Double Opposing Z-Palatoplasty


Gambar 2.13 Teknik Operasi Furlow Double Opposing Z-Palatoplasty.2

2.9 Komplikasi Labiopalatoschizis

Terdapat beberapa kemungkinan komplikasi yang terjadi terutama pasca


pembedahan yang dapat dialami oleh pasien, hal yang dapat terjadi antara lain adalah:2

• Dehisensi
Dehisensi adalah komplikasi yang paling sering terjadi akibat ketegangan yang
berlebih dari tempat operasi. Hal ini dapat dicegah dengan membuat flap yang
dapat membagi ketegangan jaringan secara merata diarea operasi.
• Fistula
Fistula merupakan komplikasi yang dapat terjadi pasca- palatoplasti. Hal ini
terjadi akibat jebolnya flap yang dibuat saat palatoplasti. Untuk memperbaiki
fistula diperlukan operasi repair fistula.
• Infeksi
Infeksi luka merupakan komplikasi yang cukup jarang terjadi karena wajah
memiliki pasokan darah yang cukup besar. Hal ini dapat terjadi akibat
kontaminasi pasca-operasi, trauma yang tak disengaja dari anak yang aktif
dimana sensasi pada bibirnya dapat berkurang pasca-operasi, dan inflamasi
lokal yang dapat terjadi akibat simpul yang terbenam. Untuk operasi
palatoplasty kejadian infeksi dapat dicegah dengan pemberian profilaksis
antibiotik broad spectrum yang adekuat.
• Nekrosis
Nekrosis jaringan dapat terjadi apabila tidak cukupnya suplai pembuluh darah
di jaringan. Untuk tata laksana yang dapat dilakukan adalah dengan
dilakukannya debridement untuk memisahkan jaringan nekrotik dengan yang
sehat dan perlu dicari etiologi dari nekrosis.

2.10 Prognosis Labiopalatoschizis

Prognosis dari Labiopalatoschizis sangat bergantung terhadap tindakan


pengobatan yang dilakukan oleh orang tua pasien, tindakan sedini mungin membuat
prognosis pasien menjadi lebih baik. Akan tetapi jika penatalaksanaan tidak dilakukan
sedini mungkin maka prognosis akan memburuk dan dapat meningkatkan angka
morbiditas serta mortalitas pada pasien tersebut20.

2.11 Evaluasi Pasca Operasi

Pasca Operasi Labioplasty dan Rhinoplasty

Dapat menggunakan indeks estetik Asher-McDade untuk menilai tampilan


nasolabial. Pada indeks ini ada 4 hal yang dinilai yaitu:2

• Bentuk hidung dari tampilan frontal.


• Deviasi hidung dari tampilan frontal.
• Bentuk dari batas vermilion.
• Profil hidung termasuk bibir atas.
• Fungsi hidung.
Gambar 2.14 Indeks Estetik Asher-McDade.2

Pasca Operasi Palatoplasty2

• Tidak adanya fistula dari posterior alveolus sampai dengan uvula.


• Perbaikan klinis dari kemampuan bicara dengan parameter masing-
masing bagian terkait.

2.12 Standar Kompetensi Dokter Umum

Merujuk ke Standar Kompetensi Dokter Indonesia Tahun 2012,


Labiopalatoschizis termasuk kedalam kasus dengan Tingkat Kemampuan 2, yang
berarti seorang dokter umum harus mampu mendiagnosis penyakit tersebut dan
merujuk pasien ke rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya.
Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.21

Gambar 2.15 Standar Kompetensi untuk kasus Labiopalatoschizis21


BAB III

KESIMPULAN

Labiopalatoschizis atau bibir sumbing dan lelangit adalah sebuah kelainan saat
terbentuknya celah pada bibir hingga lelangit (Palatum) yang disebabkan oleh
kegagalan organogenesis saat perkembangan embriologi di dalam kandungan.
Penegakkan diagnosis dapat mulai dilakukan sejak pasien masih berada didalam
kandungan melalui pemeriksaan USG.

Penanganan multidisiplin dan berkelanjutan sangat diperlukan dalam


menangani kasus Labiopalatoschizis sehingga dapat menghasilkan prognosis yang
bagus bagi pasien. Terdapat beberapa komplikasi pasca operasi yang dapat muncul dan
harus diwaspadai oleh dokter dan orang tua pasien.

Beberapa evaluasi pasca operasi diperlukan untuk menilai tingkat keberhasilan


penatalaksanaan labiopalatoschizis. Dokter umum diwajibkan untuk mampu
mendiagnosis awal dan merujuk pasien dengan dugaan Labiopalatoschizis ke dokter
spesialis yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sadler TW. Langman’s Medical Embryology. 12th ed. Lippincott Williams and
Wilkins, editor. Philadelphia: EGC; 2014.
2. Dirjen Yankes. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Bibir
Sumbing dan Lelangit. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2019.
3. WHO. Cleft Lip and Palate [Internet]. World Health Organization. 2023 [cited
2023 Jun 24]. Available from: https://www.who.int/news-room/fact-
sheets/detail/oral-
health#:~:text=Orofacial%20clefts%2C%20the%20most%20common,studies
%20and%20populations%20(1).
4. Salari N, Darvishi N, Heydari M, Bokaee S, Darvishi F, Mohammadi M. Global
Prevalence of Cleft Palate, Cleft Lip and Cleft Palate and Lip: A Comprehensive
Systematic Review and Meta-Analysis. J Stomatol Oral Maxillofac Surg. 2022
Apr;123(2):110–20.
5. Info RSCM. Cleft and Craniofacial Center [Internet]. RSUPN Dr Cipto
Mangunkusumo. 2017 [cited 2023 Jun 25]. Available from:
https://www.rscm.co.id/index.php?XP_webview_menu=0&pageid=160&title=
Cleft%20&%20Craniofacial%20Center%20(CCC)
6. Hendry Irawan, Kartika. Teknik Operasi Labiopalatoskizis. CDK Journal. 2014;
7. Matros E, Pribaz J J. Reconstruction of Acquired Lip Deformities. In: Grabb and
Smith’s Plastic Surgery. New York: Lippincott Williams & Wilkins; 2014.
8. CDC. Orofacial Cleft: Cleft Palate. US Department of Health & Human
Services. 2022;
9. Burg M. Epidemiology, Etiology, and Treatment of Isolated Cleft Palate. Front
Physiol. 2016;VII.
10. Worley ML, Patel KG, Kilpatrick LA. Cleft Lip and Palate. Clin Perinatol. 2018
Dec;45(4):661–78.
11. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of Anatomy and Physiology. 13th ed.
Bonnie R, editor. United States of America: John Wiley & Sons, Inc; 2012.
12. Noer SM. Cleft Lip and Palate. Surabaya: Departemen Bedah Plastik
Rekonstruksi dan Estetik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Rumah
Sakit Umum Dr. Soetomo Surabaya; 2013.
13. NHS. Overview Cleft Lip and Palate [Internet]. National Health Services. 2023
[cited 2023 Jul 1]. Available from: https://www.nhs.uk/conditions/cleft-lip-and-
palate/
14. Phalke N, Joshua GJ. Cleft Palate. National Library of Medicine. 2022;
15. IPDTOC Working Group. Prevalence at Birth of Cleft Lip with or without Cleft
Palate: Data from The International Perinatal Database of Typical Oral Clefts
(IPDTOC). Cleft Palate Craniofac J. 2011 Jan;48(1):66–81.
16. Ysunza PA, Pamplona MC, Repetto G. Cleft Palate, Interdisciplinary Diagnosis,
and Treatment. Biomed Res Int. 2015;2015:1–2.
17. Marshall Thibedeau. Orofacial Clefts (Cleft Lip & Cleft Palate: Pathogenesis &
Complications. The Calgary Guide to Understanding Disease. 2018;
18. Wang KH, Heike CL, Clarkson MD, Mejino JL V, Brinkley JF, Tse RW, et al.
Evaluation and integration of disparate classification systems for clefts of the
lip. Front Physiol. 2014;5:163.
19. Healthdirect Australia. Cleft Lip and Cleft Palate [Internet]. Australian Cleft Lip
and Palate Association. 2021 [cited 2023 Jul 16]. Available from:
https://www.healthdirect.gov.au/cleft-lip-and-cleft-palate
20. Ali Hassan S, Bhateja S, Arora G, Prathyusha F. Orofacial clefts in children and
its management. IP International Journal of Medical Paediatrics and Oncology.
2020 Jul 28;6(2):38–42.
21. KKI. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Kedua. Jakarta: Konsil Kedokteran
Indonesia; 2012.

Anda mungkin juga menyukai