Anda di halaman 1dari 43

MAKALAH

KEPERAWATAN ANAK
ASUHAN KEPERAWATAN
PADA LABIOPALATOSKISIS

DISUSUN OLEH :
(Kelompok 1)

1. Fitri Wahyuni (19013)


2. Laili Zafira (19018)
3. Intan Rahmawati (19015)
4. Ratna Inggriani (19025)
5. Riski Fatimah (19028)

Dosen: Susiana Jansen, Ns.,M.Kep..,Sp.Kep.An


Dekat Gedung TK BARUNAWATI 2, Akses Belakang RS
PELNI Petamburan, Jl. Ks. Tubun No.8, RT.13/RW.1, Slipi,
Kec. Palmerah, Kota Jakarta Barat, Daerah Khusus Ibukota
Jakarta 11410

1
Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas perkenanNya
kami dapat menyusun makalah Kepeawatan Anak dengan sub tema Asuhan
Keperawatan Pada Labiopalatosikis, dengan lancar. Tugas ini tidak dapat kami
selesaikan tampa bantuan dari pihak-pihak terkait, oleh sebab itu kami berterima kasih
kepada pihak yang telah membantu. Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak
mendapat tantangan dan hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak
tantangan itu bisa teratasi. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang
kepada semua pihak yang telah membatu dalam penyusunan makalah ini, semoga
bantuannya mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa.
Kami menyusun makalah ini sebagai bahan pembelajaran kami di semester IV ,
sebagai bahan penambah pengetahuan untuk bekal kami sebelum melakukan praktek
keperawatan langsung ke pasien.Dengan menyusun makalah ini di harapkan kami
dapat memperdalam pengetahuan kami tentang Asuhan Keperawatan Pada
Labiopalatosikis sehingga dapat memeberikan penyuluhan dan edukasi kepda pasien
dan masyarakat dengan benar dan tepat dalam rangka meningkatkan taraf kesehatan
masyarakat.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari
bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik yang membangun dari pembaca kepada
penulis diharapkan dapat menyempurnaan makalah selanjutnya. Demikanlah makalah
ini kami susun, semoga bermanfaat.

Jakarta, 24 Mei 2021

(Kelompok 1)

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................vi

BAB II.............................................................................................................................1

Tinjauan Pustaka.............................................................................................................1

2.1.Pengertian Labiopalatoskisis.........................................................................1

2.2.Epidemiologi.................................................................................................1

2.3.Embriologi.....................................................................................................3

Embriogenesis dan Embriopati7-10.......................................................................6

2.4.Patofisiologi.................................................................................................10

2.5.Pathway.......................................................................................................11

2.6.Etiologi........................................................................................................12

2.7.Klasifikasi....................................................................................................15

2.8.Manifestasi Klinis........................................................................................19

2.9.Pemerisaan Penunjang.................................................................................19

2.10. Penatalaksanaan.....................................................................................21

2.11. Prognosis................................................................................................27

2.12. Komplikasi.............................................................................................27

BAB III ASKEP TEORITIS.........................................................................................29

3.1.PENGKAJIAN............................................................................................29

iii
3.2.DIAGNOSA KEPERAWATAN.................................................................30

3.3.INTERVENSI.............................................................................................31

BAB IV..........................................................................................................................36

4.1.Kesimpulan..................................................................................................36

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................37

iv
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Labiopalatoskisis adalah suatu kelainan yang dapat terjadi pada daerah mulut,
palato skisis (sumbing palatum) dan labio skisis (sumbing tulang) untuk
menyatu selama perkembangan embrio (Hidayat, Aziz, 2005:21).
Berdasarkan Asian Congress of Oral dan Maxillofacial Surgeons (ACOMS)
ke-10 yang dilaksanakan di Kuta , Bali pada 15-18 November 2012 didapati
bahwa penderita kelainan labiopalatoskisis di Indonesia setiap tahun bertambah
rata-rata 7500 orang yang mana kira-kira dijumpai 1 anak yan menderita
labiopalatoskisis dari sekitar 700 kelahiran anak di Indonesia. (Antara News,
2012). Sementara itu di Banyumas sendiri terdapat 117 kasuspada tahun 2013,
86 kasus pada tahun 2014 , 45 kasus pada tahun 2015 danterakhir sekitar 110
kasus pada tahun 2016. (Satelitpost,2016).

1.2 RumusanMasalah
1) Apa yang dimaksud dengan labiopalatoskisis ?
2) Bagaimana klasifikasi labiopalatoskisis ?
3) Bagaimana etiologi labiopalatoskisis ?
4) Bagaimana patofisiologi labiopalatoskisis ?
5) Bagaimana manifestasi klinis labiopalatoskisis ?
6) Apa saja pemeriksaan penunjang pada labiopalatoskisis ?
7) Bagaimana penatalaksanaan labiopalatoskisis ?
8) Apa saja komplikasi yang mungkin terjadi pada labiopalatoskisis ?
9) Bagaimana konsep asuhan keperawatan pada labiopalatoskisis ?

1.3 Tujuan
1) Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan labiopalatoskisis.
2) Untuk mengetahui klasifikasi labiopalatoskisis.
3) Untuk mengetahui etiologi labiopalatoskisis.
4) Untuk mengetahui patofisiologi labiopalatoskisis.
5) Untuk mengetahui manifestasi klinis labiopalatoskisis.
6) Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang pada labiopalatoskisis.
7) Untuk mengetahui penatalaksanaan labiopalatoskisis.
8) Untuk mengetahui komplikasi yang dapat terjadi pada labiopalatoskisis.
9) Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan pada labiopalatoskisis.
vi
BAB II
Tinjauan Pustaka

2.1. Pengertian Labiopalatoskisis


Labiopalatoskisis berasal dari kata labium yang berarti bibir,

palatum yang berarti langit-langit, dan skisis yang berarti celah. Jadi,

Labiopalatoskisis merupakan deformitas kongenital daerah orofacial, baik

labium, palatum, atau keduanya. Celah pada labium disebut labioskisis

sedangkan celah pada palatum disebut palatoskisis. Kelainan ini dapat

merupakan bagian dari suatu sindrom atau berdiri sendiri. Defek yang ada

akan menyebabkan gangguan produksi suara, gangguan makan, gangguan

pertumbuhan maxilofacial, dan pertumbuhan gigi abnormal. Mengingat

banyaknya masalah yang ada, maka Labiopalatoskisis merupakan salah

satu defek yang melibatkan banyak disiplin ilmu dalam penanganannya.1,2,5

2.2. Epidemiologi
Perbandingan antara laki-laki dan perempuan, labioskisis dan celah

kombinasi lebih banyak pada laki-laki, sedangkan palatoskisis saja lebih

banyak pada perempuan. Angka prevalensi celah berbeda untuk tiap ras.

Prevalensi labiopalatoskisis lebih rendah pada kulit hitam dan lebih tinggi

pada orang Asia Timur. Diantara populasi penderita labiopalatoskisis,

yang di diagnosis dengan labiopalatoskisis 46%, palatoskisis 33%,

kemudian labioskisis 21%. Mayoritas labioskisis bilateral (86%) dan

labioskisis unilateral (68%) berhubungan dengan palatoskisis. Celah


1
unilateral sembilan kali lebih sering daripada celah bilateral,dan terjadi

dua kali lebih sering pada sisi kiri dari pada kanan. labiopalatoskisis memiliki

angka kejadian sekitar 1:500-600 kelahiran hidup, dan untuk celah palatum saja 1

dari 1000 kelahiran hidup. Insidensi lebih tinggi ditemukan pada kelompok Asia

(1:500) dan lebih rendah pada kelompok kulit hitam (1:2000). 1-5

Berdasarkan data yang didapatkan dari dr. TS Karasutisna, kepala bagian

Bedah Mulut RS Hasan Sadikin Bandung, pasien labiopalatoskisis lebih

sering didapatkan pada kelompok sosio-ekonomi rendah, karena salah satu

penyebab labiopalatoskisis ini ialah rendahnya nutrisi pada saat kehamilan

terutama kurangnya konsumsi asam folat (mitosis sel). Rata-rata penderita

labiopalatoskisis yang datang untuk berobat ialah ketika usia sudah

melebihi batas usia optimal untuk operasi membuat operasi hanya untuk

keperluan kosmetika saja sedangkan secara fisiologis tidak tercapai, fungsi

bicara tetap terganggu seperti sengau dan lafalisasi beberapa huruf tetap

tidak sempurna, tindakan speech therapy pun tidak banyak bermanfaat.

Hal itu mungkin terjadi karena untuk mendapatkan tindakan medis dalam

hal ini tindakan operasi, penderita labiopalatoskisis harus memenuhi

kriteria Rule of ten yang meliputi Berat badan >10 pon (5 kg), Usia > 10

minggu (3bulan), dan Kadar hemoglobin > 10 g%.

2.3. Embriologi
2
Pada akhir minggu ke-4, processus facialis terbentuk secara
primer oleh sel mesenkim yang berasal dari krista neuralis. Proses
pembentukan facial secara keseluruhan di mulai dengan berpindahnya sel
dari regio facial ke sel mesenkim. Processus maxillaris dapat dikenali di
sebelah lateral stomodeum, dan processus mandibularis di sebelah caudal
stomadeum. 7

Gambar 1. A. Pandangan dari sisi lateral embrio pada akhir minggu ke-4
menunjukkan posisi dari arkus faringeal. B. Pandangan dari arah frontal
embrio minggu ke 5 menunjukkan processus mandibula dan maxilaris. C.
Electron micrograph embrio manusia dengan usia minggu sama dengan B.
7

Processus frontonasalis dibentuk oleh proliferasi sel mesenkim di sebelah


ventral vesikel otak, merupakan tepi atas stomodeum. Pada kedua sisi dari
processus frontonasalis, muncul penebalan permukaan ektoderm, yaitu
plakoda nasalis, yang berasal dari bagian ventral otak depan. 7
Pada minggu kelima, plakoda nasalis akan berinvaginasi membentuk
3
cavitas nasalis, setiap cavitas dan placoda nasalis membentuk rigi jaringan.
Processus pada tepi luar dari cavitas merupakan processus nasalis
lateral; dan yang berada pada tepi dalam merupakan processus nasalis
medial. 7

Gambar 2. Pandangan dari aspek frontal. A. Embrio minggu ke-5. B.


Embrio minggu ke-6. Processus nasalis terpisah secara bertahap dari
processus maxillaris.

C. Electron micrograph dari embrio seekor tikus dengan usia minggu sama
dengan B. 7
Selama 2 minggu selanjutnya, ukuran processus maxillaris terus
bertambah dan tumbuh ke arah medial, sehingga mendesak processus nasalis
medial ke arah garis tengah. Selanjutnya celah diantara processus nasalis medial
dan processus maxillaris menutup secara perlahan, kedua processus maxillaris
dan kedua processus nasalis medialis yang berdifusi bergabung membentuk
segmen inter maxillaris. Segmen inter maxillaris membentuk 1 komponen
labium superior (membentuk filtrum dari labium superior), komponen rahang
4
atas (alveolus dan 4 gigi insisivus), dan palatum (palatum primer triangular).
Processus nasalis lateralis tidak ikut membentuk labium superior. Labium
inferior dan rahang bawah dibentuk oleh processus mandibula yang menyatu di
garis tengah.7

Gambar 3. Aspek frontal dari wajah. A. Embrio minggu ke-7. Processus


maxillaris berfusi dengan processus nasalis medial. B. Embrio minggu ke-
10. C. Electron micrograph dari embrio manusia dengan usia minggu
sama dengan A. 7

Labioskisis terjadi dari kegagalan menyatunya sebagian atau seluruhnya


dari jembatan epitel karena kekurangan pertumbuhan jaringan mesoderm
dan proliferasi processus maxillaris dan processus nasalis medialis. Celah
palatum primer pada satu atau kedua sisi, selalu muncul di depan foramen
insisivus. Disebabkan oleh pertumbuhan ke arah medial dari processus
maxillaris, kedua processus nasalis medial tidak hanya tumbuh pada
permukaan tetapi juga pada bagian yang terdalam. 7

5
Struktur yang terbentuk oleh kedua processus yaitu processus
maxillaris, yang terdiri dari (a) komponen labialis, yang membentuk
filtrum dari labium superior; (b) komponen rahang atas, yang berisi 4 gigi
insisivus ; dan (c) komponen palatum, yang membentuk palatum
trianguaris primer. 7

Gambar 4. Segmen intermaxillaris dan processus maxillaris. B. Segmen


intermaxillaris menghasilkan filtrum labium superior, bagial medial dari
os maxillaris dengan keempat gigi insisivus dan palatum triangularis
primer. 7

Embriogenesis dan Embriopati7-10

1. Perkembangan pada regio facial di mulai dari penyatuan processus di akhir

minggu ke-3, manakala terdapat dua gabungan proses yaitu pada minggu

ke-8 merupakan terbentuknya facial secara sempurna, sedangkan pada

minggu ke-10 merupakan terbentuknya palatum.

2. Penggabungan palatum secara sempurna pada epithelium mediolateralis

merupakan hal utama dari susunan palatum.

3. Skisis merupakan penyebab dari berbagai faktor, termasuk hipoplasia,

migrasi yang abnormal dari perkembangan wajah.

4. Skisis facial tipe non syndromic dan syndromic merupakan dasar genetik

yang mungkin juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan.

5. Sebanyak 70% dari pasien labiopalatoskisis, dan 50% pasien dengan

palatoskisis merupakan tipe nonsyndromic


6
6. Lebih dari 400 tipe syndromic merupakan kumpulan dari labioskisis

dengan atau tanpa palatoskisis.


Meskipun palatum primer berasal dari segmen intermaxillaris,

bagian utama palatum tetap dibentuk oleh dua lempeng dari processus

maxillaris. Pada kedua tonjolan ini, yaitu lempeng palatina muncul di

minggu ke-6 perkembangan dan mengarah ke bawah secara oblik pada sisi

kanan dan kiri lingua. Pada minggu ke-7, lempeng-lempeng palatina

mengarah ke atas untuk mencapai posisi horizontal di atas lingua dan

berfusi membentuk palatum sekunder. Pada bagian anterior, lempeng-

lempeng tersebut bersatu, satu sama lain sehingga membentuk palatum

sekunder. Saat lempeng-lempeng dari palatina berfusi, pada waktu yang

bersamaan septum nasalis tumbuh ke bawah dan bersatu dengan

permukaan atas palatum yang baru terbentuk. 7

Gambar 5. Potongan frontal kepala pada embrio minggu ke-7. Lingua

mengarah ke bawah dan lempeng-lempeng palatina mencapai posisi

horizontal. B. Aspek ventral dari lempeng-lempeng palatina setelah

7
mandibula dan lingua diangkat. Lempeng-lempeng palatina mengarah ke

arah horizontal. Septum nasi dapat

8
terlihat. C. Electron micrograph dari seekor tikus dengan usia minggu

sama dengan A. D. Lempeng-lempeng palatum pada usia minggu sama

dengan B.7

Teori fusi dan teori klasik menyatakan bahwa labioskisis terjadi akibat

kegagalan penyatuan antara processus maxillaris dengan processus nasalis

medialis. Skema proses terjadinya fusi adalah sebagai berikut, teori

penetrasi mesoderm menyatakan bahwa palatoskisis terjadi akibat hilang

atau terhambatnya membran epitel, sehingga tidak dipenetrasi oleh

mesoderm di sekitarnya. Gabungan teori fusi dan teori penetrasi mesoderm

diajukan pertama kali oleh Patten.7

Pada proses fusi ini sangat diperlukan faktor-faktor pertumbuhan,

yang berperan adalah dua macam regulator pertumbuhan yaitu TGFα dan

β. TGFα adalah suatu mitogen kuat, yang berperan di dalam aktivasi enzim

Cyclin Dependent Kinase 1 (CDK 1) pada fase G1 siklus sel yang akan

masuk ke fase sintesis, dan selanjutnya terjadilah pembelahan sel. Oleh

karena itu apabila terdapat hambatan sintesis atau berkurangnya intensitas

faktor pertumbuhan tersebut maka pertumbuhan jaringan mesoderm disana

juga akan terhambat, dan terjadi kegagalan fusi tersebut sehingga

terbentuklah celah pada daerah tersebut. 7

9
2.4. Patofisiologi

Kegagalan penyatuan atau perkembangan jaringan lunak dan atau


tulang selama fase embrio pada trimester I. Terbelahnya bibir dan atau
hidung karena kegagalan proses nosal medial dan maksilaris untuk menyatu
terjadi selama kehamilan 6-8 minggu. Palatoskisis adalah adanya celah
pada garis tengah palato yang disebabkan oleh kegagalan penyatuan
susunan palato pada masa kehamilan 7-12 minggu. Penggabungan komplit
garis tengah atas bibir antara 7-8 minggu masa kehamilan.

nasi

Adany
Adanya a
disfungsi tuba ganggu
Reflex mengisap Bayi rewel, Adanya eustachi yang an
ASI, yang menangis, sumbing dapat pertum
terganggu akibat tidak dapat pada bibir mengakibatkan buhan
adanya patologis, beristirahat dan terjadinya otitis anatom
pucat, turgor dengan tenang palatum media serta i
kulit jelek, kulit dan nyaman,
gangguan nasofar
kering, perut sulit menhisap
pendengaran, ing,
kembung, BB dan menelan
adanya sifat adanya
menurun ASI.
kurang garis
menerima, jahitan
sensitive, pada
daerah

10
2.5. Pathway

Insufisiensi zat
untuk tumbuh Toksikosis Infeksi Genetic
kembang selama
kehamilan

Kegagalan fungsi palatum kegagalan fungsi

Resti
trauma
sisi Resti
Resti trauma Ganggua
Perubahan pembed perubahan
sisi n rasa
nutrisi kurang ahan menjadi
pembedahan nyaman,
dari kebutuhan orangtua
tubuh nyeri

Pada garis tengah dengan septum

Referensi :

1. Ngastiyah. 2005. Perawatan anak sakit edisi 2. Jakarta : EGC


2. Doengoes Marlin. 2001. Rencana Asuhan Keperawatan, Jakarta : EGC

11
2.6. Etiologi
Seperti kebanyakan kasus kelainan kongenital, celah orofacial

disebabkan oleh adanya interaksi antara faktor genetik dan lingkungan.

Artinya, faktor genetik merupakan suatu kerentanan yang dimiliki individu

tertentu, sedangkan faktor lingkungan sebagai pemicu ekspresi gen

tersebut. Interaksi keduanya akan menyebabkan gangguan perkembangan

pada tahap awal kehamilan.1,5,7

Proporsi faktor genetik dan lingkungan bervariasi menurut jenis

kelamin individu yang mengalami kelainan celah. Pada celah bibir dan

kombinasi, juga terdapat variasi derajat keparahan dan lateralisasi anomali.

Proporsi paling tinggi terdapat pada kelompok wanita dengan celah

bilateral dan proporsi terkecil adalah kelompok pria dengan celah

unilateral.1,2,5

Dasar genetika kelainan celah sendiri cukup heterogen. Terdapat

berbagai pola genetik, seperti autosomal resesif, autosomal dominan, dan

x-linked, yang berkaitan dengan klinis labiopalatoskisis. Pada keseluruhan

orang tua, memiliki anak dengan celah adalah 1:600-700. Seperti yang

telah dijelaskan, etiologi kelainan ini masih belum jelas. Beberapa faktor

lingkungan yang dapat memicu munculnya fenotif berupa kelainan celah,

antara lain: konsumsi alkohol pada periode embrional. Beberapa bahan

teratogen seperti fenitoin, asam retinoid, dan beberapa agen anestetik juga

12
dapat memicu terjadinya kelainan ini. Ibu yang merokok pada masa

kehamilan juga dapat penyebabkan peningkatan angka kejadian

labiopalatoskisis sebanyak 2 kali. 1,5,7,11

Pemetaan genetik pada keluarga yang memiliki labiopalatoskisis yang

diturunkan, berhasil mengidentifikasi gen yang berperan dalam kejadian

labiopalatoskisis. Kelainan palatoskisis dengan ankiloglossia merupakan

kelainan terkait-x yang menunjukkan adanya mutasi pada gen TBX22.

Ekspresi gen TBX22 pada lempeng palate berperan dalam proses

penyatuan. Mutasi pada gen ini akan menyebabkan palatoskisis. 3,5,10,12

Gen lain yang juga berperan adalah MSX1 dan TGFB3 yang terbukti
menyebabkan kelainan celah pada uji coba hewan pengerat. Terakhir,
beberapa gen yang telah ditemukan berkaitan dengan kelainan
labiopalatoskisis adalah gen D4S192, RARA, MTHFR, RFC1, GABRB3,
PVRL1, dan IRF6. 3,5,10,12

Meskipun semakin banyak gen yang diketahui berperan terhadap

terjadinya labiopalatoskisis, namun bentuk interaksi gen-gen tersebut

dengan faktor lingkungan masih sulit dipahami, baik pada kelainan

sindrom maupun nonsindrom. Oleh sebab itu, perlu adanya upaya

pencegahan baik berupa skrining genetik maupun menghindari berbagai

faktor risiko yang telah terbukti berkaitan dengan labiopalatoskisis. 3,5,10

2. Insufisiensi zat untuk tumbuh kembang organ selama masa embrional, baik
kualitas maupun kuantitas (Gangguan sirkulasi foto maternal). Zat – zat yang
berpengaruh adalah: a. Asam folat
3. Vitamin C
4. Zn
1) Apabila pada kehamilan, ibu kurang mengkonsumsi asam folat,
vitamin C dan Zn dapat berpengaruh pada janin. Karena zat - zat
tersebut dibutuhkan dalam tumbuh kembang organ selama masa
embrional. Selain itu gangguan sirkulasi foto maternal juga

13
berpengaruh terhadap tumbuh kembang organ selama masa
embrional.
2) Pengaruh obat teratogenik.Yang termasuk obat teratogenik adalah:
Jamu
Mengkonsumsi jamu pada waktu kehamilan dapat
berpengaruh pada janin, terutama terjadinya labio palatoschizis.
Akan tetapi jenis jamu apa yang menyebabkan kelainan kongenital
ini masih belum jelas. Masih ada penelitian lebih lanjut.
5. kontrasepsi hormonal.
Pada ibu hamil yang masih mengkonsumsi kontrasepsi
hormonal, terutama untuk hormon estrogen yang berlebihan akan
menyebabkan terjadinya hipertensi sehingga berpengaruh pada janin,
karena akan terjadi gangguan sirkulasi fotomaternal.
6. Obat – obatan yang dapat menyebabkan kelainan kongenital terutama labio
palatoschizis. Obat – obatan itu antara lain :
1) Talidomid, diazepam (obat – obat penenang)
2) Aspirin (Obat – obat analgetika)
3) Kosmetika yang mengandung merkuri & timah hitam (cream pemutih)
7. Faktor lingkungan
Beberapa faktor lingkungan yang dapat menyebabkan Labio palatoschizis,
yaitu:
8. Zat kimia (rokok dan alkohol)
Pada ibu hamil yang masih mengkonsumsi rokok dan alkohol dapat
berakibat terjadi kelainan kongenital karena zat toksik yang terkandung
pada rokok dan alkohol yang dapat mengganggu pertumbuhan organ
selama masa embrional.
9. Gangguan metabolik (DM)
Untuk ibu hamil yang mempunyai penyakit diabetessangat rentan
terjadi kelainan kongenital, karena dapat menyebabkan gangguan
sirkulasi fetomaternal. Kadar gula dalam darah yang tinggi dapat
berpengaruh padatumbuh kembang organ selama masa embrional.
10. Penyinaran radioaktif
Untuk ibu hamil pada trimester pertama tidak dianjurkan terapi
penyinaran radioaktif, karena radiasi dari terapi tersebut dapat
mengganggu proses tumbuh kembang organ selama masa embrional.

14
11. Infeksi, khususnya virus (toxoplasma) dan klamidial . Ibu hamil yang terinfeksi
virus (toxoplasma) berpengaruh pada janin sehingga dapat berpengaruh terjadinya
kelainan kongenital terutama labio palatoschizis.
12. Faktor usia ibu
Dengan bertambahnya usia ibu sewaktu hamil, maka bertambah pula
resiko dari ketidaksempurnaan pembelahan meiosis yang akan
menyebabkan bayi dengan kehamilan trisomi. Wanita dilahirkan
dengan kira-kira 400.000 gamet dan tidak memproduksi gamet-gamet
baru selama hidupnya. Jika seorang wanita umur 35tahun maka sel-sel
telurnya juga berusia 35 tahun. Resiko mengandung anak dengan cacat
bawaan tidak bertambah besar sesuai dengan bertambahnya usia ibu.
13. Stress Emosional
Korteks adrenal menghasilkan hidrokortison yang berlebih. Pada
binatang percobaan telah terbukti bahwa pemberian hidrokortison yang
meningkat pada keadaan hamil menyebabkan cleft lips dan cleft palate.
14. Trauma
Salah satu penyebab trauma adalah kecelakaan atau benturan pada saat hamil
minggu kelima.

2.7. Klasifikasi
Beberapa klasifikasi labiopalatoskisis ditujukan untuk

menggambarkan derajat, lokasi dan variasi kondisi celah. Klasifikasi yang

dibuat sudah seharusnya sederhana,jelas, fleksibel, pasti, dan dapat

digambarkan. Salah satu klasifikasi tersebut adalah klasifikasi dengan

sistem LAHSHAL dari Otto Kriens yang mampu menggambarkan lokasi,

ukuran, dan tipe celah.1,3

Celah atau skisis komplit labium, alveolus, palatum durum dan

palatum mole dideskripsikan dengan huruf kapital LAH dan S, sedangkan

bila skisis inkomplit dituliskan dengan huruf kecil. Skisis mikro dapat

15
ditulis dengan asteriks. Dengan demikian, penulisan LAHSHAL

menunjukkan skisis pada labium, alveolar, dan palatum komplit bilateral.

Contoh lain, lahSh menunjukkan labioskisis inkomplit unilateral kanan

dan alveolus, dengan skisis komplit palatum mole yang melebar hingga

sebagian palatum durum. 1,3

Gambar 6. Tipe labioskisis: (a) unilateral inkomplit, (b) unilateral komplit, (c)

bilateral komplit.1

Gambar 7. Tipe palatoskisis: (a) inkomplit, (b) unilateral komplit, (c) bilateral komplit.1

Beberapa tipe labiopalatoskisis meliputi labiopalatoskisis komplit dan

inkomplit. Dikatakan komplit bila skisis mencapai dasar hidung (nasal floor) dan

inkomplit bila di bagian cranial dari skisis tersebut masih terdapat kulit dan

mukosa, tetapi tanpa lapisan otot dan jaringan mesodermal lain

(simonart'sband).1,3

16
Gambar 8. (A) Labioskisis unilateral inkomplit, (B) Labioskisis unilateral

(C) Labioskisis bilateral dengan Palatoskisis dan tulang alveolar, (D)

Palatoskisis.12

Baik labioskisis maupun palatoskisis dapat terjadi bilateral dan unilateral.

Pada skisis palatum molle tunggal yang selalu memiliki defek di bagian tengah,

maka dapat disebut pula palatoschizismediana. Palatoskisis submukosa sering

tidak terlalu tampak adanya skisis pada palatum mole, namun muskulus dektra

dan sinistranya tidak menyatu sehingga akan tampak adanya uvula bifida.

Penderita ini akan sengau suaranya bila defek tidak dikoreksi.1,3,5

Klasifikasi labiopalatoskisis berdasarkan variasi dan pola genetik, yaitu:

1) Labioskisis nonsindrom dengan atau tanpa palatoskisis

2) Palatoskisis nonsindrom

3) Labioskisis sindromik dengan atau tanpa palatoskisis

17
4) Palatoskisis sindromik

Klasifikasi Y dari Kernohan untuk labiopalatoskisis yang kemudian

dimodifikasi oleh Millard, juga mendeskripsikan keterlibatan nasal, seperti pada

gambar berikut:

Gambar 9. Modifikasi Millard dari klasifikasi Y Kernohan untuk klasifikasi CLP.1

Lingkaran kecil di tengah menunjukkan foramen incisivus, segitiga menunjukkan

ujung dan dasar nasalis.

18
2.8. Manifestasi Klinis
1. Pada Labio skisis
1) Distorsi pada hidung
2) Tampak sebagian atau keduanya
3) Adanya celah pada bibir
2. Pada Palato skisis
1) Tampak ada celah pada tekak (unla), palato lunak, keras dan faramen
incisive.
2) Adanya rongga pada hidung.
3) Distorsi hidung
4) Teraba ada celah atau terbukanya langit-langit saat diperiksa dengan
jari.
5) Kesulitan dalam menghisap/makan.
6) Distersi nasal sehingga bisa menyebabkan gangguan pernafasan
7) Gangguan komunikasi verbal

2.9. Pemerisaan Penunjang


1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan prabedah rutin (misalnya hitung darah lengkap)

Pemeriksaan Hasil Normal


leukosit 13.000 mg/dl 9000 – 12000/ mm3
eritrosit 3500 mg/dl 4,7-6,1 juta
trombosit 270.000 mg/dl 200.000 -400.000 mg/dl
Hb 16 gr/dl 12-24 gr/dl
Ht 30 33-38
Kalium 4,8 mEq 3,6-5,8 mEq
Natrium 138 mEq 134-150 mEq

2. Pemeriksaan Diagnosis
1) Foto Rontgen
Beberapa celah orofasial dapat terdiagnosa dengan USG
prenatal, namun tidak terdapat skrining sistemik untuk celah
orofasial. Diagnosa prenatal untuk celah bibir baik
unilateral maupun bilateral, memungkinkan dengan USG
pada usia janin 18 minggu. Celah palatum tersendiri tidak
dapat didiagnosa pada pemeriksaan USG prenatal. Ketika
diagnosa prenatal dipastikan, rujukan kepada ahli bedah
19
plastik tepat untuk konseling dalam usaha mencegah.

Setelah lahir, tes genetic mungkin membantu


menentukan perawatan terbaik untuk seorang anak,
khususnya jika celah tersebut dihubungkan dengan kondisi
genetik. Pemeriksaan genetik juga memberi informasi pada
orangtua tentang resiko mereka untuk mendapat anak lain
dengan celah bibir atau celah palatum.
3. Radiologi
Pemeriksaan radiologi dilakukan dengan melakukan foto
rontgen pada tengkorak. Pada penderita dapat ditemukan celah
processus maxilla dan processus nasalis media.
1) Pemeriksaan fisik
2) MRI untuk evaluasi abnormal

20
2.10. Penatalaksanaan
Karena banyaknya masalah yang di hadapi, maka kelainan ini
harus ditanggulangi bersama-sama interdisipliner. Ahli bedah plastik
melakukan pembedahan pada cacat yang ada, ahli THT mengobati
masalah telinga, speech therapist membantu bicara yang benar,
orthodontist mengatur rahang dan gigi yang biasanya dilakukan
menjelang tumbuhnya gigi permanen, pekerja sosial dan psikolog
membantu mengatasi keluhan kejiwaan setelah penderita dilahirkan.2

Adapun tahapan penatalaksanaan labiopalatoskisis adalah sebagai


berikut:1,3,5,13

1. Labioplasty dimulai umur 10 minggu (3 bulan), Berat badan 10

pon (5 Kg), dan Hb>10g%.

2. Palatoplasty dimulai umur 10-12 bulan

3. Speech therapy segera setelah dilakukan

cheilopalatoraphy untuk mencegah timbulnya suara nasal

4. Pharyngoplasty dilakukan umur 5-6 tahun

5. Orthodonti dilakukan untuk memperbaiki lengkung alveolus pada

umur 8-9 tahun

6. Bone grafting dilakukan umur 9-11 tahun, dan

dilanjutkan hingga pertumbuhan gigi berhenti

7. Operasi advancement osteotomi Le Fort I umur 17 tahun, dimana

os facial telah berhenti pertumbuhannya.

Manajemen labiopalatoskisis sendiri secara umum dibagi

menjadi dua tahapan besar, yaitu manajemen primer dan sekunder.

Manajemen primer mencakup diagnosis antenatal, feeding (termasuk

masalah airway), dan koreksi bedah, sedangkan manajemen sekunder


21
mencakup seluruh prosedur penanganan hearing, speech, dan

dental.2,3,5,7,13

22
Salah satu teknik untuk koreksi labiopalatoskisis adalah

teknik modifikasi Millard. Teknik modifikasi Millard merupakan

teknik yang digunakan secara luas, terutama untuk memperbaiki

labioskisis bilateral. Teknik ini juga dapat digunakan untuk

memperbaiki skisis inkomplit atau asimetrik bilateral. 2,3,5,7,13

Gambar 10. Tehnik modifikasi Millard. Tepi-tepi celah antara labium

dan nasal diinsisi (A dan B). Bagian bawah cavum nasi dijahit (C).

Bagian superior dari jaringan labium ditutup (D), dan jahitan

diperpanjang hingga menutup seluruh bagian yang terbuka(E).14

23
Teknik penutupan celah submukosa sebenarnya serupa dengan penutupan

celah di bagian palatum. Teknik pharyngeal flap atau phryngoplasty

dapat dilakukan untuk masalah ini. Pharyngoplasty meliputi 2 flap yang

diposisikan disisi faring dan dirotasikan ke atas untuk memperkecil

terbukanya palatum, sehingga akan memungkinkan penutupan palatum

molle. Metode ini lebih baik pada pola penutupan sirkular atau koronal,

karena tidak mengganggu gerakan palatum ke posterior. Pemilihan

teknik penutupan sendiri bergantung pola penutupan palatum preoperatif.


2,3,5,7,13

Alveolar bone-grafting merupakan bagian tak terpisahkan dari

koreksi celah yang meliputi maxillaris anterior. Dengan adanya union dari

os akan membantu mencegah kolaps segmental maxillaris, untuk menutup

fistula oronasal, dan untuk mendorong erupsi gigi. Bone-grafting pada

pasien yang berusia di bawah 2 tahun perlu dipertimbangkan bone-grafting

primer dan sekunder (2 tahap). Material graft dapat diperoleh dari hip,

costae, fibula, atau lapisan luarkranium. Meskipun terdapat morbiditas

bagi donor, namun keuntungan yang dicapai dalam menutup celah

maxillaris jauh lebih besar dibanding potensi risikonya. 2,3,5,7,13,14

Beberapa hal yang perlu dilakukan dan dipantau pada


pasien labiopalatoskisis paska bedah adalah: 2,3,5,7,13

1) Paska bedah, feeding dilakukan dengan menggunakan ujung dot

lembut yang dipotong ujungnya.

2) Bayi perlu dihospitalisasi untuk pemberian cairan intravena hingga

intake oral memungkinkan dilakukan


24
3) Jahitan hams tetap bersih dengan berkumur / dilusi larutan hidrogen

peroksida 3 kali sehari setelah makan

4) Bila menggunakan benang jahit yang nonresorbable, jahitan dapat


dilepas pada hari ke-5 paskaoperasi.

Manajemen perawatan celah bibir


1. Perawatan pra bedah
1) Pemberian makan
Pemberian makan pertama kali sukar, tetapi tergantung pada
derajat deformitas yang dialami pada kasus ringan, ada
kemungkinan memberi ASI langsung kepada bayi. Jika tidak,
pemberian susu botol mudah dilakukan. Akan tetapi, bila
menghisap susu dari botol sulit dilakukan bayi, makanan dapat
diberikan menggunakan sendok atau biarkan bayi menghisap
dari sendok.
a) Bila celah bibir tidak disertai celah palatum, bayi hanya
mengalami sedikit kesukaran dalam makan atau sama
sekali tidak kesukaran.
b) Jika celah bibir disertai celah palatum, bayi mengalami
masalah bukan saja dalam menelan tetapi juga dalam
menghisap karena palatum yang lengkap dan utuh
diperlukan untuk memanifulasi puting dan menghisap ASI.
Regurgitasi ASI melalui hidung menimbulkan masalah lain
yang membahayakan. Inhalasi ASI harus dicegah dengan
mempersiapkan penyedot setiap saat. Pemenuhan
kebutuhan nutrisi adekuat penting agar menjamin bahwa
bayi dalam keadaan fisik yang baik, mengalami kenaikan
BB dan tidak mengalami anemia. Bila dijumpai adanya
anemia, harus ditangani kapan saja terjadi.
2) Pemberian antibiotik
Pemberian antibiotik sebagai profilaksis bertujuan
menjamin bahwa pada masa pascabedah, anak tidak mengalami
bahaya yang disebabkan oleh mikroorganisme yang telah ada
ataupun yang masuk selama masa bedah dan pascabedah .
3) Persiapan Prabedah
25
Prinsip manajemen prabedah bertujuan mencapai atau
mempertahankan status fisik yang menjamin bahwa anak mampu
mengatasi trauma akibat intervensi bedah. Tujuan selanjutnya
adalah menghilangkan atau mengurangi terjadinya komplikasi
selama atau setelah pembedahan melalui antisipasi yang saksama
dan pengobatan yang tepat.
4) Perawatan pascabedah
Hal-hal yang perlu diperhatikan saat merawat anak yang sudah
selesai mengalami operasi perbaikan celah bibir meliputi :
a) Imobilisasi lengan merupakan aspek penting perawatan, untuk
mencegah bayi menyentuh garis jahitan
b) Sedasi, anak yang menangis dapat mengingkatkan tegangan pada
garis jahitan. Pemberian sedasi sering kali dianjurkan untuk
mengurangi tegangan, walaupun tegangan sudah dikurangi dengan
mengenakan peralatan seperti busur logam
c) Pembalutan garis sedasi, biasanya jahitan sudah dibuka antar hari
ke-5 dan ke-8. Garis jahitan biasanya ditinggal tanpa penutup dan
kebersihan dipertahankan dengan mengelap area tersebut dengan
air steril atau salin normal setelah selesai makan.
d) Pemberian makan dapat segera dimulai setelah bayi sadar dan
refleks menelan positif.
2. Manajemen perawatan celah palatum
Saat optimum untuk operasi perbaikan celah palatum tetap
merupakan masalah konvensional. Tindakan pembedahan
umumnya dilakukan sebelum anak mulai berbicara. Sebagian besar
ahli bedah plastik melakukan pembedahan diantara usia 15 dan 18
bulan tetapi beberapa berpendapat bahwa operasi harus ditunda
sampai usia 7 tahun untuk memungkinkan perkembangan tulang
wajah secara lengkap. Operasi lebih baik dilakukan oleh ahli bedah
dengan pengalaman khusus dalam pekerjaan ini. Infeksi luka harus
dicegah dengan antibiotik yang sesuai.
Pemberian makan dapat merupakan masalah yang sulit pada
anak tersebut, karena adanya lubang antara rongga mulut dan
hidung. Namun, pemberian ASI dapat dilakukan pada sebagian
26
besar kasus. Bila pemberian ASI tidak dapat dilakukan secara
langsung, sebaiknya digunakan puting karet besar yang menutup
sebagian lubang palatum. Pembesaran lubang puting karet dapat
menolong banyak anak penderita celah palatum. Banyak percobaan
yang mungkin diperlukan untuk membentuk kebiasaan makan yang
benar. Terkadang, penggunaan pipet mengatasi masalah pemberian
makan. Pemberian makan melalui sonde harus dihindari karena
akan menghalangi penggunaan otot orofaring
Diet pascabedah langsung harus terdiri atas cairan jernih,
seperti minuman glukosa. Sekali diberikan diet normal harus terdiri
atas makanan lunak disusul dengan air steril. Makanan keras dan
manisan harus diberikan selama 2/3 minggu setelah pembedahan.
Pengangkatan jahitan biasanya dilakukan di kamar bedah dibawah
sedasi diantara hari ke-8 atau ke-10
Bila kemampuan bicara anak tidak berkembang secara memuaskan,
berikan terapi wicara. Ahli terapi wicara harus dijadikan sumber
konsultasi pada semua kasus dan rencana disusun untuk memastikan
perkembangan bicara yang adekuat. Kuantitas pengobatan atau
latihan yang akan diberikan oleh seorang ahli terapi wicara terbatas,
sehingga beban utama ditanggung oleh ibu. Oleh sebab itu, baik ibu
maupun anak harus ambil bagian dalam pelajaran ini dengan ahli
terapi wicara sehingga ibu dapat melanjutkan terapi dirumah.
Melalui latihan yang cermat, ada kemungkinan bagi anak untuk
mencapai tingkat bercakap yang memungkinkan anak untuk
berkomunikasi bebas dengan orang lain pasa saat mulai sekolah.
Orang tua memerlukan dukungan yang banyak dari unit celah
palatum menyimpan album foto gambaran sebelum dan sesudah dari
kasus yang berhasil untuk memperlihatkan kepada orang tua dan
menenteramkannya bahwa bayinya akan terlihat baik setelah
operasi.
3. Pemberian makan dan minum
Pemberian makan dan minum pada pasien dengan
labioschisis dan palatoschisis bertujuan untuk membantu pasien
dalam memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit sesuai program
27
pengobatan.

2.11. Prognosis
Kelainan labiopalatoskisis merupakan kelainan kongenital yang

dapat dimodifikasi atau disembuhkan. Kebanyakan anak yang lahir dengan

kondisi ini melakukan operasi saat usia masih dini, dan hal ini sangat

memperbaiki penampilan wajah secara signifikan. Dengan adanya teknik

pembedahan yang makin berkembang, 80% anak dengan labiopalatoskisis

yang telah ditatalaksana mempunyai perkembangan kemampuan bicara

yang baik. Terapi bicara yang berkesinambungan menunjukkan hasil

peningkatan yang baik pada masalah- masalah berbicara pada anak

labiopalatoskisis.3,7

2.12. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada pasien dengan Labio palatoschizis adalah:
1. Kesulitan berbicara – hipernasalitas, artikulasi, kompensatori.
Dengan adanya celah pada bibir dan palatum, pada faring
terjadi pelebaran sehingga suara yang keluar menjadi sengau.
2. Maloklusi – pola erupsi gigi abnormal. Jika celah melibatkan
tulang alveol, alveol ridge terletak disebelah palatal, sehingga
disisi celah dan didaerah celah sering terjadi erupsi.
3. Masalah pendengaran – otitis media rekurens sekunder. Dengan
adanya celah pada paltum sehingga muara tuba eustachii
terganggu akibtnya dapat terjadi otitis media rekurens sekunder.
4. Aspirasi. Dengan terganggunya tuba eustachii, menyebabkan
reflek menghisap dan menelan terganggu akibatnya dapat
terjadi aspirasi.

28
5. Distress pernafasan. Dengan terjadi aspirasi yang tidak dapat
ditolong secara dini, akan mengakibatkan distress pernafasan
6. Resiko infeksi saluran nafas. Adanya celah pada bibir dan
palatum dapat mengakibatkan udara luar dapat masuk dengan
bebas ke dalam tubuh, sehingga kuman – kuman dan bakteri
dapat masuk ke dalam saluran pernafasan.
7. Pertumbuhan dan perkembangan terlambat. Dengan adanya
celah pada bibir dan palatum dapat menyebabkan kerusakan
menghisap dan menelan terganggu. Akibatnya bayi menjadi
kekurangan nutrisi sehingga menghambat pertumbuhan dan
perkembangan bayi.
8. Asimetri wajah. Jika celah melebar ke dasar hidung “ alar
cartilago ” dan kurangnya penyangga pada dasar alar pada sisi
celah menyebabkan asimetris wajah.
9. Penyakit peri odontal. Gigi permanen yang bersebelahan
dengan celah yang tidak mencukupi di dalam tulang. Sepanjang
permukaan akar di dekat aspek distal dan medial insisiv
pertama dapat menyebabkan terjadinya penyakit peri odontal.
10. Crosbite. Penderita labio palatoschizis seringkali
paroksimallnya menonjol dan lebih rendah posterior
premaxillary yang colaps medialnya dapat menyebabkan
terjadinya crosbite.
11. Perubahan harga diri dan citra tubuh. Adanya celah pada bibir
dan palatum serta terjadinya asimetri wajah menyebabkan
perubahan harga diri dan citra tubuh.

29
BAB III ASKEP TEORITIS

3.1. PENGKAJIAN
1. Identitas klien : Meliputi nama,alamat,umur
2. Keluhan utama : Alasan klien masuk ke rumah sakit
3. Riwayat Kesehatan
a) Riwayat Kesehatan Dahulu ; Mengkaji riwayat kehamilan ibu, apakah ibu
pernah mengalami trauma pada kehamilan Trimester I. bagaimana pemenuhan
nutrisi ibu saat hamil, obat-obat yang pernah dikonsumsi oleh ibu dan apakah
ibu pernah stress saat hamil.
b) Riwayat Kesehatan Sekarang ; Mengkaji berat / panjang bayi saat lahir, pola
pertumbuhan, pertambahan / penurunan berat badan, riwayat otitis media dan
infeksi saluran pernafasan atas.
c) Riwayat Kesehatan Keluarga ; Riwayat kehamilan, riwayat keturunan,
labiopalatoskisis dari keluarga, penyakit sifilis dari orang tua laki-laki.
4. Pemeriksaan Fisik
a) Inspeksi kecacatan pada saat lahir untuk mengidentifikasi karakteristik
sumbing.
b) Kaji asupan cairan dan nutrisi bayi
c) Kaji kemampuan hisap, menelan, bernafas.
d) Kaji tanda-tanda infeksi
e) Palpasi dengan menggunakan jari
f) Kaji tingkat nyeri pada bayi

 Pengkajian Keluarga
a. Observasi infeksi bayi dan keluarga
b. Kaji harga diri / mekanisme koping dari anak/orangtua
c. Kaji reaksi orangtua terhadap operasi yang akan dilakukan
d. Kaji kesiapan orangtua terhadap pemulangan dan kesanggupan mengatur perawatan
di rumah.

30
e. Kaji tingkat pengetahuan keluarga

3.2. DIAGNOSA KEPERAWATAN


1. Pra Pembedahan :
2) Resiko aspirasi berhubungan dengan gangguan menelan. (NANDA, 2005-
2006)
3) Resiko Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan refleks menghisap pada anak tidak adekuat.
(NANDA, 2005-2006)
4) Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan kelaina
anatomis (labiopalatoskisis). (NANDA, 2005-2006)
5) Nyeri berhubungan dengan insisi pembedahan. (NANDA, 2005-2006)

2. Pasca Pembedahan

1) Resiko infeksi berhubungan dengan insisi pembedahan. (NANDA, 2005-2006)


2) Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan keluarga tentang
penyakit. (NANDA, 2005-2006).
3) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan insisi pembedahan.

31
3.3. INTERVENSI

Rencana Keperawatan
N Dx Tujuan/Kriteria Intervensi Rasional
o Keperawatan
1. Resiko aspirasi Tidak akan  Pantau tanda-  Perubahan yg
berhubungan mengalami aspirasi: tanda aspirasi terjadi pada
dengan  Menunjukkan selama proses proses pemberian
gangguan peningkatan pemberian makanan dan
menelan. kemampuan makan dan pengobatan bisa
menelan. pemberian saja menyebabkan
 Bertoleransi thd pengobatan.
asupan oral dan  Tempatkan aspirasi.
sekresi tanpa aspirasi. pasien pada posisi  Agar
 Bertoleransi thd semi- fowler atau mempermudah
pemberian perenteral fowler. mengeluarkan
tanpa aspirasi.  Sediakan kateter sekresi.
penghisap  Mencegah sekresi
disamping tempat menyumbat jalan
tidur dan lakukan napas, khususnya
penghisapan bila kemampuan
selama makan, menelan
sesuai dengan terganggu.
kebutuhan.

32
2. Ketidakseimba Menunjukkan status gizi :  Pantau  Memberikan
ngan nutrisi  Mempertahankan kandungan nutrisi informasi
kurang dari BB dalam batas dan kalori pada sehubungan dgn
kebutuhan normal. catatan asupan. keb nutrisi &
tubuh  Toleransi thd diet  Ketahui keefektifan terapi.
berhubungan yang dianjurkan. makanan  Meningkatkan
dengan refleks  Menyatakan kesukaan pasien. selera makan
menghisap keinginannya  Ciptakan klien.
pada anak untuk mengikuti lingkungan  Meningkatkan
tidak adekuat diet. yang sosialisasi &
menyenangkan memaksimalkan
untuk makan. kenyamanan klien
bila kesakitan
makan
menyebabkan
malu.

3. Kerusakan  Menunjukka  Anjurkan  Melatih agar


komunikasi n pasien untuk bisa
verbal kemampuan berkomunikasi berkomunikasi
berhubungan komunikasi : secara perlahan lebih lancar.
dengan  Menggunakan bahasa dan mengulangi  Pujian dapat
kelainan tertulis, berbicara permintaan. membuat
anatomis atau nonverbal.  Sering berikan keadaan klien
(labiopalatoski  Mengguanakan pujian positif akan lebih
zis). bahasa isyarat. pada pasien membaik karena
 Pertukaran pesan yang berusaha mendapat
dengan orang untuk dorongan.
lain. berkomunikasi.  Membantu
 Menggunakan klien
kata dan kalimat memahami
33
pembicaraan.
yang singkat.
4. Gangguan Meningkatkan rasa  Kaji pola  Mencegah
rasa nyaman nyaman : istirahat kelelahan dan
nyeri  Menunjukkan teknik bayi/anak dan dapat
berhubungan relaksasi secara kegelisahan. meningkatkan
dengan insisi individual yang  Bila klien anak, koping terhadap
pembedahan. efektif untuk berikan stres atau
mencapai aktivitas ketidaknyamanan.
kenyamanan. bermain yang  Meningkatkan
 Mempertahankan sesuai dengan relaksasi dan
tingkat nyeri pada usia dan membantu pasien
atau kurang (skala 0- kondisinya. memfokuskan
10)  Berikan perhatian pada
 Melaporkan nyeri analgetik sesuai sesuatu disamping
pada penyedia program. diri sendiri
perawatan /
kesehatan. ketidaknyamanan
dapat
menurunkan

34
kebutuhan dosis /
frekuensi
analgesik.
 Derajat nyeri
sehubungan
dengan luas dan
dampak psikologi
pembedahan
sesuai dengan
kondisi tubuh.

5. Resiko infeksi Mencegah infeksi  Berikan posisi  Meningkatkan


berhubungan :Terbebas dari tanda yang tepat setelah mobilisasi sekret,
dengan insisi atau gejala infeksi. makan, miring menurunkan
pembedahan. kekanan, kepala resiko
 Menunjukkan higiene
agak sedikit tinggi pneumonia.
pribadi yang adekuat.
supaya makanan  Deteksi dini
 Menggambarkan
tertelan dan terjadinya infeksi
faktor yang
mencegah aspirasi memberikan
menunjang penularan
yang dapat pencegahan
infeksi.
berakibat komplikasi lebih
pneumonia. serius.
 Kaji tanda-tanda  Mencegah
infeksi, termasuk kontaminasi dan
drainage, bau dan kerusakan sisi
demam. operasi.

6. Ansietas Rasa cemas teratasi :  Kaji tingkat  Untuk


berhubungan  Mencari informasi kecemasan klien. mengetahui
dengan untuk menurunkan  Berikan terapi seberapa besar
kurangnya kecemasan. bermain kepada si kecemasan yang

35
pengetahuan  Menghindari sumber anak untuk dirasakan klien
keluarga kecemasan bila mengalihkan ras sekarang.
tentang mungkin. cemasnya.  Untuk
penyakit.  Menggunakan teknik  Berikan mengurangi
relaksasi untuk penyuluhan pada kecemasan yang
menurunkan klien dan keluarga dirasakan klien,
kecemasan. tentang penyakit berikan suasana
dan proses yang tenang dan
penyembuhannya. nyaman.
 Untuk
mengetahui
bagaimana untuk
memudahkan
memberikan
support atau
penyuluhan.

Sumber : Doenges, Marilynn E, (1999).


BAB IV

4.1. Kesimpulan
Celah bibir dan langit-langit (Cleft lip and palate) adalah suatu
cacat/kelainan bawaan berupa celah pada bibir, gusi, dan langit-langit. Labio /
Palato skisis merupakan kongenital yang berupa adanya kelainan bentuk pada
struktur wajah (Ngastiah, 2005 : 167).
Klasifikasi labiopalatoskisis dibagi menjadi palatum primer dan palatum
sekunder.
Penyebab labiopalatoskisis diantaranya faktor genetik, insufisiensi zat untuk
tumbuh kembang organ, pengaruh obat teratogenik, dan faktor lingkungan.
Manifestasi klinis labiopalatoskisis antara lain deformitas pada bibir, kesukaran
dalam menghisap/makan, kelainan susunan archumdentis.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan penunjang
dan pemeriksaan diagnosis.
Asuhan keperawatan pada labiopalatoskisis meliputi pengkajian (biodata,
riwayat kesehatan, pemeriksaan fisik), diagnosa keperawatan, perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi.
DAFTAR PUSTAKA

1) http://digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MWYyZjljNTJj

MzhiMTQxOThkMDI1ZWMzZjJkMDQ5MGI2MjI3OTNmYQ==.pdf

2) http://www.cdkjournal.com/index.php/CDK/article/view/1150

3) http://jurnal.fk.unand.ac.id/index.php/jka/article/download/723/579

4) https://www.slideshare.net/evhamariaefriliana/askep-labiopalatoskisis

5) https://www.academia.edu/15363433/Asuhan_Keperawatan_Labiopalatoskisis

6) askeplabiopalatoskisis-130928073244-phpapp01.pdf

7) Stoll C, et al. Analysis of polymorphic TGFB1 codons 10, 25, and 263 in a

German patient group with non-syndromic cleft lip, alveolus, and palate

compared with healthy adults. BMC Medical Genetics 2004, 5:15 [cited on 8th

August, 2012]. Available on: http://www.biomedcentral.com/1471-

a. 2350/5/15

8) Gulli LF,et al. Cleft Lip Repair. In Encyclopedia of Surgey. 2012 [cited on

8thAugust, 2012]. Available on: http://www.surgeryencyclopedia.com/Ce-

a. Fi/Cleft-Lip-Repair.html
9) Freitas, et al. Rehabilitative treatment of cleft lip and palate: experience of the
Hospital for Rehabilitation of Craniofacial Anomalies/USP (HRAC/USP) - Part
1: overall aspects. J. Appl. Oral Sci. vol.20 no.1 Bauru Jan./Feb. 2012 [cited 8th
August, 2012]. Available on: http://dx.doi.org/10.1590/S1678-77572012000100003

Anda mungkin juga menyukai