Anda di halaman 1dari 28

Laporan Kasus

LABIOPALATOSKISIS

Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat dalam Menjalani


Kepaniteraan Klinik Senior pada Bagian/SMF Ilmu Bedah
Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Syiah Kuala
Rumat Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

Oleh:

Elly Anggia Shinta


Tiararoza Faradilla

Pembimbing:
dr. M. Jailani, Sp.BP-RE (K)

BAGIAN/SMF ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada ke hadirat Allah SWT yang telah
menciptakan manusia dengan akal dan budi dan berkat rahmat dan hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Labiopalatoskisis”.
Shalawat beriring salam penulis sampaikan kepada nabi besar Muhammad SAW,
atas semangat perjuangan dan panutan bagi umatnya.
Adapun tugas laporan kasus ini diajukan sebagai salah satu tugas dalam
menjalankan kepaniteraan klinik senior pada bagian/SMF Ilmu Bedah Fakultas
Kedokteran Universitas Syiah Kuala, Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin
Banda Aceh.
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada dr. M. Jailani, Sp.BP-RE (K) yang telah meluangkan waktunya untuk
memberi arahan dan bimbingan dalam menyelesaikan tugas ini.
Penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan. Saran dan
kritik dari dosen pembimbing dan teman-teman akan penulis terima dengan tangan
terbuka, semoga dapat menjadi bahan pembelajaran dan bekal di masa mendatang.

Banda Aceh, Maret 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 3


2.1 Definisi ...................................................................................................... 3
2.2 Anatomi dan Fisiologi............................................................................... 3
2.3 Embriologi ................................................................................................ 5
2.4 Etiologi ...................................................................................................... 7
2.5 Patofisiologi .............................................................................................. 9
2.6 Klasifikasi ............................................................................................... 11
2.7 Manifestasi Klinis ................................................................................... 15
2.8 Pemeriksaan Fisik Diagnostik................................................................. 15
2.9 Penatalaksanaan ...................................................................................... 16

BAB III LAPORAN KASUS .............................................................................. 19


3.1 Identitas Pasien ....................................................................................... 19
3.2 Anamnesis ............................................................................................... 19
3.3 Pemeriksaan Fisik ................................................................................... 20
3.3.1 Status Internus .......................................................................... 20
3.3.2 Status General ........................................................................... 20
3.4 Pemeriksaan Penunjang .......................................................................... 22
3.5 Diagnosis Kerja ....................................................................................... 22
3.6 Tatalaksana ............................................................................................. 22
3.7 Foto Klinis .............................................................................................. 22

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 24

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Pertumbuhan dan perkembangan wajah serta rongga mulut merupakan suatu


proses yang sangat kompleks. Gangguan yang terjadi pada saat intra uterin terutama
pada masa-masa pembentukan organ, bisa menyebabkan timbulnya kelainan pada
anak yang akan dilahirkan. Kelainan yang sering muncul adalah kelainan pada
wajah, antara lain celah bibir.1
Pertumbuhan yang salah pada awal perkembangan merupakan dasar dari
kelainan kranofasial. Pada kelainan celah bibir terjadi karena kegagalan penyatuan
prosesus frontonasalis dengan prosesus maksilaris pada masa kehamilan antara
minggu ke-4 hingga minggu ke-7. Pertumbuhan wajah berkembang cepat pada usia
5 tahun pertama dan setelah usia 13 tahun mulai menurun.2
Embrio pada daerah kepala dan leher mesoderm bermigrasi melalui atas
maupun samping kepala. Migrasi melalui samping kepala dan atas memperkuat
dinding epithelial dan membran bibir. Setelah lebih banyak mesoderm bermigrasi
kearah medial, maka terbentuklah dasar hidung sampai nostril sill disusul terjadinya
bibir dan akhirnya merah bibir. Kegagalan dari proses ini menyebabkan kelainan
pada bentuk bibir yang dinamakan bibir sumbing (celah bibir).3
Faktor lingkungan sebagai penyebab celah bibir dan langit-langit telah
banyak diketahui, walaupun tidak sepenting faktor genetik, tetapi faktor lingkungan
adalah faktor yang dapat dikendalikan sehingga dapat dilakukan upaya
pencegahan.4
Menurut penelitian di Amerika serikat dari 700 kelahiran terdapat satu
kelahiran dengan celah bibir dan langit-langit. Kedua deformitas akan sangat
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan seorang anak. Biasanya celah bibir
terjadi secara bersamaan dengan celah langit-langit, hanya kurang lebih 5% celah
bibir yang ditemukan tanpa di sertai dengan celah langit-langit. Celah bibir
kebanyakan terjadi hanya pada satu sisi saja ( unilateral ) dan lebih dari 20%
kasusnya terjadi pada sisi kanan.5
Kejadian celah bibir dan celah langit-langit hampir 45%, di ikuti dengan celah
langit-langit saja 35% dan celah bibir saja hampir 20%. Frekuensi kejadian pada

1
2

laki-laki dua kali lipat dari pada wanita. Celah bibir satu sisi lebih sering
dibandingkan dua sisi dan lebih sering terjadi pada sisi kiri, perbandingan insidensi
sisi kiri dan sisi kanan adalah 6 : 3. Celah bibir lebih sering terjadi pada anak laki-
laki dari pada anak perempuan, dengan perbandingan 3 : 2, sedangkan celah langit-
langit saja lebih sering terjadi pada anak perempuan.2
Kelainan yang ditimbulkan akibat celah bibir dapat terlihat, terasa dan
terdengar maka kelainan tersebut menyebabkan penderitaan bagi pasien. Adanya
kelainan ini juga menimbulkan shock barat bagi orang tua. Akibat fisik yang
ditimbulkan antara lain berupa kelainan bentuk wajah, rongga mulut, suara,
gangguan pertumbuhan dan perkembangan rahang, erupsi dan letak gigi tidak
teratur. Hal tersebut mengakibatkan aktifitas makan dan minum terganggu, suara
sengau, bicara kurang jelas karena intonasi huruf tidak sempurna. Dampak yang
kemudian muncul adalah rasa rendah diri.5, 6
Untuk mengatasi keadaan tersebut maka tindakan bedah labioplasty atau
palatoplasty perlu dilakukan untuk merekonstruksi celah bibir dan celah langit-
langit. Syarat pembedahan mengacu pada “The Rule of Tens”, yaitu berat bayi
mencapai 10 pound ( 4,5 kg ), jumlah leukosit dibawah 10.000 per milimeter kubik,
HB di atas 10 gr%, dan umur di atas 10 minggu. Sedangakan menurut Fisher,
rekonstruksi celah bibir sebaiknya dikerjakan sedini mungkin.1, 6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi

Labiopalatoschisis adalah malformasi yang disebabkan oleh gagalnya


prosesus nasal median dan maksilaris untuk menyatu selama perkembangan
embrionik.7, 8
Labio/palato skisis merupakan kongenital anomali yang berupa
adanya kelainan bentuk pada struktur wajah oleh karena gangguan perkembangan
wajah pada masa embrio. Celah pada bibir disebut labiochisis sedangkan celah pada
langit-langit mulut disebut palatoschisis.9, 10

2.2 Anatomi dan Fisiologi

Anatomi bibir dan hidung merupakan hal yang penting dalam memahami
kelainan yang disebabkan oleh celah facial. Elemen yang terdapat pada bibir normal
terdiri dari philtrum sentral, sebelah lateral dibatasi oleh collum philtral dan sebelah
inferior dibatasi oleh tuberkel dan cupid bow. Cupid bow merupakan bagian tengah
dari bibir atas yang dibentuk oleh philtrum groove dan collum philtral yang
kedalamannya berbeda untuk tiap individu, sedangkan tuberkel adalah bagian
tengah vermillion yang menonjol. Pertemuan antara vermillion dan kulit
merupakan jembatan mukokutaneus yang biasa disebut white roll. Dua cuping
hidung dipisahkan oleh kolumella pada bagian luar dan septum pada bagian dalam.
Otot primer pada bibir adalah orbicularis oris, yang memiliki dua komponen
yaitu komponen eksternal dan internal. Serabut otot internal berjalan horizontal atau
sirkumferensial yang berperan dalam proses makan. Sedangkan serabut otot
eksternal berjalan obliq dan berfungsi untuk membentuk ekspresi dan pergerakan
bibir saat berbicara.11
Kompetensi oris dikendalikan oleh m. orbicularis oris, dengan musculus
ekspresi wajah lainnya daerah otot ini dikenal dengan istilah modiolus.

1. Muskulus elevator terdiri dari m. levator labii superior alaeque nasi, m.


levator labii superior, m. zygomaticum major, m. zygomaticum minor dan
m. levator anguli oris.
2. Muskulus retraktor bibir atas disusun oleh m. zygomaticum major, m.
zygomaticum minor dan m. levator anguli oris.

3
4

3. Muskulus depresor meliputi m. depresor anguli oris danm. depresor labii


inferior. Muskulus retraktor bibir bawah terdiri dari m. depresor anguli oris
dan m. platysma, sedangkan m. mentalis berfungsi untuk protrusi bibir.12
Pada bibir atas, levator labii superioris berperan dalam pembentukan bibir.
Serabutnya berjalan dari arah medial lingkaran infraorbita, melingkupi kebawah
masuk ke daerah dekat vermillion cutaneus junction. Hampir semua dari serabut
medial elevator labii superioris ke bawah untuk masuk ke sudut ipsilateral dari
collum philtrum dan vermillion junction, membantu untuk mempertahankan daerah
terbawah collum philtrum dan puncak dari cupid bow.11, 13

Gambar 2. Otot pada bibir


(A – m. levator labii superioris,B – m. zygomaticus minor, C - m. zygomaticus
major, D - m. risorius, E - m. depressor anguli oris, F - m. labii inferioris, G - m.
orbicularis oris)

Begitu halnya dengan otot-otot nasal juga memegang peranan penting.


Levator superioris alaeque berjalan dari arah processus frontralis maxillaris dan
masuk pada permukaan mukosa pada bibir dan ala nasalis transverse berjalan
sepanjang dorsum nasal dan melingkupi sekeliling ala untuk masuk sepanjang
ambang nasi dari lateral ke medial menuju tulang nasal anterior dan puncak incisal.
Kemudian seratnya bergabung dengan serabut obliq dari orbicularis dan depressi
septi, dimana berjalan dari alveolus diantara sentral dan lateral incisors kemudian
masuk ke kulit culomella selanjutnya ke puncak nasi dan lantai dasar dari crura
media.11
Celah unilateral demikian mengganggu perjalaran akhir yang normal serabut
otot yang menyilang embryologic fault line dari processus nasalis dan maxillaris.
5

Hasilnya simetris tetapi terjadi pembentukan otot yang abnormal diantara


equilibrium normal yang ada dengan kelompok otot oral dan nasolabial. Dengan
adanya premaksila yang tidak terkendali, terbentuk deformitas dengan perbedaan
pertumbuhan dari masing-masing elemen. Alar cartilages merenggang keluar dan
berputar ke arah caudal, dimana terjadi subluksasi dari posisi yang normal.
Konsekuensinya puncak nasi melebar, columella memendek serta dasar ala nasi
berputar menjauhi kepala.11
Vaskularisasi berasal dari a. labialis superior dan inferior, cabang dari a.
facialis.Arteri labialis terletak antara m. orbicularis oris dan submukosa sampai
zona transisi vemlilion-mukosa.12

Inervasi
Inervasi sensoris bibir atas berasal dari cabang n. cranialis V (n. trigeminus)
dan n. infraorbitalis.Bibir bawah mendapat inervasi sensoris dari n. mentalis.
Pengetahuan inervasi sensoris ini penting untuk melakukan tindakan blok anestesi.
Inervasi motorik bibir berasal dari n. cranialis VII (n. facialis).Ramus buccalis
n.facialis menginervasi m. orbicularis oris dan m. elevator labii. Ramus
mandibularis n. facialis menginervasi m. orbicularis oris dan m. depressor labii.12

2.3 Embriologi

Secara embriologik rangka dan jaringan ikat pada wajah (kecuali kulit dan
otot), termasuk palatum, berasal dari sel-sel neural crest di cranial, sel-sel inilah
yang memberikan pola pada pertumbuhan dan perkembangan wajah. Pertumbuhan
facial sendiri dimulai sejak penutupan neuropore (neural tube) pada minggu ke-4
masa kehamilan yang kemudian dilanjutkan dengan rangkaian proses kompleks
berupa migrasi, kematian sel terprogram, adhesi dan proliferasi sel-sel neural
crest.12, 13
Ada 3 pusat pertumbuhan facial, yaitu :
1. Sentra prosensefalik,
Bertanggung jawab atas pertumbuhan dan perkembangan lobus frontal otak,
tulang frontal. Dorsum nasal dan bagian tengah bibir atas, premaksila dan septum
nasal (regio fronto-nasal).
2. Rombensefalik
6

Membentuk bagian posterior kepala, lateral muka dan sepertiga muka bagian
bawah (regio latero posterior). Ada bagian-bagian yang mengalami tumpang
tindih akibat impuls-impuls pertumbuhan yang terjadi, disebut diacephalic
borders.
3. Diasefalik
Diacephalik borders pertama yaitu sela tursika, orbita dan ala nasi, selanjutnya
ke arah filtrum; dan filtrum merupakan penanada (landmark) satu-satunya dari
diacephalic borders yang bertahan seumur hidup. Diacephalic borders kedua
adalah regio spino-kaudal dan leher.11

Gambar 3. Embrio berusia 2 minggu dengan sentra pertumbuhan

Pembentukan bibir atas melalui rangkaian proses sebagaimana berikut. Sisi


lateral bibir atas, dibentuk oleh prominensi maksila kiri dan kanan; sisi medial
(filtrum) dibentuk oleh fusi premaksila dengan prominensi nasal. Ketiga
prominensi ini kemudian mengalami kontak membentuk seluruh bibir atas yang
utuh. Gangguan yang terjadi pada rangkaian proses sebagaimana diuraikan diatas
akan menyebabkan adanya celah baik pada bibir (jaringan lunak) maupun gnatum,
palatum, nasal, frontal bahkan maksila dan orbita (rangka tulang). Berdasarkan teori
ini, dikatakan bahwa bibir sumbing dan langit-langit, merupakan suatu bentuk
malformasi (aplasi-hipoplasi) yang paling ringan dari facial cleft, yang
mencerminkan gangguan pertumbuhan pada sentra prosensefalik, rombensefalik
dan diasefalik.12
Beberapa teori yang menggambarkan terjadinya celah bibir :12
1. Teori Fusi
Disebut teori klasik. Pada akhir minggu keenam dan awal minggu ketujuh masa
kehamilan, prosesus maksilaris berkembang ke arah depan menuju garis
7

median, mendekati prosesus nasomedialis dan kemudian bersatu. Bila terjadi


kegagalan fusi antara prosesus maksilaris dengan prosesus medialis maka celah
bibir akan terjadi.
2. Teori Mesodermal sebagai kerangka membran brankhial
Pada minggu kedua kehamilan, membran brankhial memerlukan jaringan
mesodermal yang bermigrasi melalui puncak kepala dan kedua sisi ke arah
wajah. Bila mesodermal tidak ada maka dalam pertumbuhan embrio membran
brankhial akan pecah sehingga akan terbentuk celah bibir.
3. Gabungan teori fusi dan penyusupan mesodermal.
Patten pada tahun 1971, pertama kali menggabungkan kemungkinan terjadinya
celah bibir, yaitu adanya fusi prosesus maksilaris dan penggabungan kedua
prosesus naso medialis yang kelak akan membentuk bibir bagian tengah.

2.4 Etiologi

Etiologi celah bibir adalah multifaktorial dan etiologi celah bibir belum dapat
diketahui secara pasti.14 Pembentukan bibir terjadi pada masa embrio minggu
keenam sampai minggu kesepuluh kehamilan. Penyebab kelainan ini dipengaruhi
berbagai faktor, disamping faktor genetik sebagai penyebab celah bibir, juga faktor
non genetik yang justeru lebih sering muncul dalam populasi, kemungkinan terjadi
satu individu dengan individu lain berbeda.15
 Faktor genetik
Faktor herediter mempunyai dasar genetik untuk terjadinya celah bibir
telah diketahui tetapi belum dapat dipastikan sepenuhnya. Kruger (1957)
mengatakan sejumlah kasus yang telah dilaporkan dari seluruh dunia tendensi
keturunan sebagai penyebab kelainan ini diketahui lebih kurang 25-30%.
Dasar genetik terjadinya celah bibir dikatakan sebagai gagalnya mesodermal
berproliferasi melintasi garis pertemuan, di mana bagian ini seharusnya
bersatu dan biasa juga karena atropi dari pada epithelium ataupun tidak
adanya perubahan otot pada epithelium ataupun tidak adanya perubahan otot
pada daerah tersebut. Sebagai tanda adanya hipoplasia mesodermal. Adanya
gen yang dominan dan resesif juga merupakan penyebab terjadinya hal ini.
Teori lain mengatakan bahwa celah bibir terjadi karena :
8

 Dengan bertambahnya usia ibu hamil dapat menyebabkan ketidak


kebalan embrio terhadap terjadinya celah.
 Adanya abnormalitas dari kromosom menyebabkan terjadinya
malformasi kongenital yang ganda.
 Adanya tripel autosom sindrom termasuk celah mulut yang diikuti
dengan anomali kongenital yang lain.15
 Faktor Non-Genetik
Faktor non-genetik memegang peranan penting dalam keadaan krisis
dari penyatuan bibir pada masa kehamilan. Beberapa hal yang berperan
penyebab terjadinya celah bibir :
a. Defisiensi nutrisi
Nutrisi yang kurang pada masa kehamilan merupakan satu hal
penyabab terjadinya celah. Melalui percobaan yang dilakukan pada
binatang dengan memberikan vitamin A secara berlebihan atau kurang.
Yang hasilnya menimbulkan celah pada anak-anak tikus yang baru lahir.
Begitu juga dengan defisiensi vitamin riboflavin pada tikus yang sedang dan
hasilnya juga adanya celah dengan persentase yang tinggi, dan pemberiam
kortison pada kelinci yang sedang hamil akan menimbulkan efek yang sama.
b. Zat kimia
Pemberian aspirin, kortison dan insulin pada masa kehamilan
trimester pertama dapat meyebabkan terjadinya celah. Obat-obat yang
bersifat teratogenik seperti thalidomide dan phenitonin, serta alkohol,
kaffein, aminoptherin dan injeksi steroid.
c. Virus rubella
Frases mengatakan bahwa virus rubella dapat menyebabkan cacat
berat, tetapi hanya sedikit kemungkinan dapat menyebabkan celah.

d. Beberapa hal lain yang juga berpengaruh yaitu :


 Kurang daya perkembangan
 Radiasi merupakan bahan-bahan teratogenik yang potent
 Infeksi penyakit menular sewaktu trimester pertama kehamilan
yang dapat menganngu foetus
9

 Gangguan endokrin
 Pemberian hormon seks, dan tyroid
 Merokok, alkohol, dan modifikasi pekerjaan
Faktor-faktor ini mempertinggi insiden terjadinya celah mulut, tetapi
intensitas dan waktu terjadinya lebih penting dibandingkan dengan jenis
faktor lingkungan yang spesifik.
e. Trauma
Strean dan Peer melaporkan bahwa trauma mental dan trauma fisik
dapat menyebabkan terjadinya celah. Stress yang timbul menyebabkan
fungsi korteks adrenal terangsang untuk mensekresi hidrokortison sehingga
nantinya dapat mempengaruhi keadaan ibu yang sedang mengandung dan
dapat menimbulkan celah, dengan terjadinya stress yang mengakibatkan
celah yaitu : terangsangnya hipothalamus adrenocorticotropic hormone
(ACTH). Sehingga merangsang kelenjar adrenal bagian glukokortikoid
mengeluarkan hidrokortison, sehingga akan meningkat di dalam darah yang
dapat menganggu pertumbuhan.14

2.5 Patofisiologi

Lingkungan teratogen dan faktor genetik yang terlibat dalam celah bibir dan
langit-langit. eksposur intrauterine dengan fenitoin antikonvulsan dikaitkan dengan
peningkatan 10 kali lipat dalam kejadian bibir sumbing. ibu yang merokok selama
kehamilan, teratogen lain, seperti alkohol, antikonvulsan, dan asam retinoat,
berhubungan dengan pola malformasi yang mencakup celah bibir dan langit-langit,
tapi belum terkait langsung dengan hubungan celah.16
Kelainan genetik dapat mengakibatkan sindrom yang mencakup celah langit-
langit primer atau sekunder selama masa area perkembangan. Lebih dari 40% dari
bibir sumbing yang berhubungan dan merupakan bagian dari sindrom malformasi,
dibandingkan dengan kurang dari 15% dari kasus celah bibir dan langit-langit.
Sindrom yang paling umum terkait dengan celah bibir dan langit-langit adalah van
sindrom derWoude dengan atau tanpa lubang bibir bawah atau sinus.
Microdeletions kromosom 22q mengakibatkan velocardiofacial, DiGeorge, atau
sindrom anomali conotruncal adalah diagnosis yang paling umum terkait dengan
10

bibir sumbing yang terisolasi. meskipun ada komponen genetik yang diakui
nonsyndromic celah bibir dan / atau langit-langit, tampaknya menjadi
multifaktorial.16
Selama minggu ketiga dan kedelapan, lima prominences pada wajah
digabungkan. Bibir kemudian berkembang antara minggu ketiga dan ketujuh yang
diikuti dengan langit-langit antara minggu kelima dan kedua belas minggu. Karena
proses ini sangat rumit, beberapa faktor-faktor genetik dan lingkungan dapat
mempengaruhi jenis dan tingkat keparahan celah bibir dan langit-langit dan
mengakibatkan kerusakan jaringan berbagai yang terlibat.17
Terjadi fusi antara prominensia maxillaris, nasal media dan lateral melalui
apoptosis, diferensiasi epithelial, dan subepitelial mesenkim. Celah bibir dan celah
palatum terjadi jika terdapat kegagalan fusi dari jaringan ini.Beberapa penelitian
menunjukkan kelainan ini merupakan akibat sekunder dari defek pertumbuhan
mesenkim atau differensiasi epitel.Selain itu kesalahan dari pemprograman genetic
juga dapat mengganggu fusi prominensia maxillaries dan nasal medial. Akibatnya,
suplai darah dan otot terganggu dan mengakibatkan terjadinya cacat pada bibir dan
palatum.
11

PATHWAY10, 18

2.6 Klasifikasi

Klasifikasi yang diusulkan oleh Veau dibagi dalam 4 golongan yaitu : 14


Golongan I : Celah pada langit-langit lunak (gambar 1).
Golongan II : Celah pada langit-langit lunak dan keras dibelakang foramen
insisivum (gambar 2).
Golongan III : Celah pada langit-langit lunak dan keras mengenai tulang alveolar
dan bibir pada satu sisi (gambar 3).
Golongan IV : Celah pada langit-langit lunak dan keras mengenai tulang alveolar
dan bibir pada dua sisi (gambar 4)
12

Gambar 1. A. Celah pada langit-langit lunak saja. B. Celah pada langit-langit lunak dan keras. C.
Celah yang meliputi langit-langit dan lunak keras juga alveolar pada satu sisi. D. Celah yang
meliputi langit lunak dan keras juga alveolar dan bibir pada dua sisi.

Beberapa jenis bibir sumbing yang di ketahui yaitu :14


1. Unilateral Inkomplete
Apabila celah sumbing terjadi hanya di salah satu sisi bibir dan tidak
memanjang hingga ke hidung.
13

2. Unilateral Complete
Apabila celah sumbing terjadi di kedua sisi bibir dan memanjang hingga
ke hidung.

3. Bilateral Complete
Apabila celah sumbing terjadi di ke dua sisi bibir dan memanjang hingga
ke hidung.

4. Bilateral Inkomplit
Jika celah ini terjadi secara inkomplit dimana kedua hidung dan daerah
kedua premaxilla tidak mengalarni pemisahan dan hanya menyertakan dua
sisi bibir
14

Ada cara penulisan lokasi celah bibir dan langit-langit yang diperkenalkan
oleh Otto Kriens, yaitu sistem LAHSHAL yang sangat sederhana dapat
menjelaskan setiap lokasi celah pada bibir, alveolar, hard palate dan soft palate.
Kelainan komplit, inkomplit, microform, unilateral atau bilateral.17
Bibir disingkat sebagai L (lips), gusi disingkat sebagai A (alveolar), langit-
Iangit dibagi menjadi dua bagian yaitu H (hard palate) dan S (soft palate). Bila
norrnal (tidak ada celah) maka urutannya dicoret, celah komplit (lengkap) dengan
huruf besar, celah inkomplit (tidak lengkap) dengan huruf kecil dan huruf kecil
dalam kurung untuk kelainan microform. Pemakaian sistem LAHSHAL ini juga
sesuai dengan ICD(International Code Of Diagnosis).17
LAHSAL SYSTEM
L=Lip; A=Alveolus; H=Hard Palate; S=Soft Palate
 S selalu di tengah
 Yang mendahului S adalah bagian kanan dan sesudah S adalah bagian kiri
 Huruf besar menunjukkan bentuk ce1ah total
 Huruf kecil menunjukkan bentuk partial
 Di dalam kurung adalah bentuk microform
 Strip berarti normal atau intak.1

Gambar 11. Sistem LAHSHAL

Contoh :
1. CLP/L-----L
Cleft Lip and Palate lokasi celah berada di bibir kanan dan kiri, celah komplit
2. CLP/-----SHAL
15

CLP dengan lokasi celah komplit pada soft palate, alveolus dan bibir bagian
kiri.
3. CLP/ I-----
CLP celah bibir sebelah kanan inkomplit.1

2.7 Manifestasi Klinis

 Deformitas pada bibir.


 Kesukaran dalam menghisap/makan
 Kelainan susunan archumdentis
 Distersi nasal sehingga bisa menyebabkan gangguan pernafasan.
 Gangguan komunikasi verbal
 Regurgitasi makanan.
 Pada Labio skisis
 Distorsi pada hidung
 Tampak sebagian atau keduanya
 Adanya celah pada bibir
 Pada Palato skisis
 Tampak ada celah pada tekak (unla), palato lunak, keras dan faramen
incisive
 Ada rongga pada hidung
 Distorsi hidung
 Teraba ada celah atau terbukanya langit-langit saat diperiksadn jari
 Kesukaran dalam menghisap/makan

2.8 Pemeriksaan Fisik Diagnostik

Diagnosis Cleft lip and palate ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis,


pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Pada anamnesis adanya keluhan yang diderita sejak lahir berupa celah pada
bibir yang menyebabkan kesulitan menyusui, makan, berbicara, dan
16

kesulitan mendengar. Riwayat keluarga dengan keluhan serupa, adanya


riwayat defisiensi nutrisi/vitamin pada ibu dan penggunaan obat-obatan
teratogenik selama trimester pertama kehamilan, serta adanya riwayat
penyalahgunaan alcohol dan kebiasaan merokok saat hamil.
2. Pemeriksaan Fisis
Pada pemeriksaan Fisis di daerah wajah diagnosis CLP dapat di tegakkan.
Pembagian berdasarkan International Classification of the Diseases (ICD),
mencakup celah anatomis organ terlibat, lengkap atau tidaknya celah,
unilateral atau bilateral; digunakan untuk sistem pencatatan dan pelaporan
yang dilakukan oleh World Health Organization (WHO).
3. Pemeriksaan Penunjang
Pada saat dalam kehamilan, pemeriksaan celah dini pada janin dapat kita
lihat dengan menggunakan transvagina ultrasonografi pada minggu ke-l1
masa kehamilan dan bisa juga dideteksi dengan menggunakan
transabdominal ultrasonografi pada usia kehamilan minggu ke-16.

2.9 Penatalaksanaan

Bayi yang baru lahir dengan Labiopalatoskisis segera dipertemukan dengan


pekerja sosial untuk diberi penerangan (edukasi) agar keluarga penderita tidak
mengalami stress dan menerangkan harapan yang bisa didapatkan dengan
perawatan yang menyeluruh bagi anaknya. Selain itu dijelaskan juga masalah yang
akan dihadapi kelak pada anak. Menerangkan bagaimana memberi minum bayi agar
tidak banyak yang tumpah. Pekerja sosial membuatkan suatu record psicososial
pasien dari sini diambil sebagai bagian record CLP pada umumnya. Pekerja sosial
akan mengikuti perkembangan psikososial anak serta keadaan keluarga dan
lingkungannya. Ahli THT untuk mencegah dan menangani timbulnya otitis media
dan kontrol pendengaran.1 Labioplasty dengan Rule Of Ten, yaitu Bayi berumur 3
bulan (>10 minggu), Berat 10 pon (5 kg), Memiliki Hb lebih dari 10 gr%.
Dalam penanganan penderita Labiopalatoskisis diperlukan kerjasama para
spesialis dalam suatu tim yang akan diatur dalam sebuah protokol
Labiopalatoskisis, yaitu:

1. Pasien umur 3 bulan (Rule of Ten)


17

a. Operasi bibir dan hidung


b. Pencetakan model gigi
c. Evaluasi telinga
d. Pemasangan grommets bila perlu
2. Pasien umur 10 – 12 bulan
a. Operasi palatum
b. Evaluasi pendengaran dan telinga
3. Pasien umur 1 - 4 tahun
a. Evaluasi bicara, dimulai 3 bulan pasca operasi, follow up dilakukan oleh
speech theraphist.
b. Evaluasi pendengaran dan telinga

4. Pasien umur 4 tahun


Kalau bicara tetap jelek dipertimbangkan repalatografy atau pharyngoplasty.

5. Pasien umur 6 tahun


a. Evaluasi gigi dan rahang,, pembuatan model
b. Melakukan nasoendoskopibagi yang memerlukan
c. Evaluasi pendengaran

6. Pasien umur 9-10 tahun


Alveolar bone graft

7. Pasien umur 12 -13 tahun


Final touch untuk operasi-operasi yang dulu pemah dilakukan, bila masih ada
kekurangannya.

8. Pasien umur 17 tahun


a. Evaluasi tulang-tulang muka

b. Operasi advancement osteotomy Le Fort I

Post-Operative
Makanan oral: untuk anak yang masih menyusui, setelah operasi boleh
langsung disusui. Namun ada beberapa center yang masih menganjurkan untuk
18

memberikan makanan lewat NGT sampai 10 hari postoperatif kemudian baru bisa
makan sebagaimana biasa.
Aktifitas: menginstruksikan kepada kedua orang tua untuk tidak
memberikan mainan atau dot yang memiliki permukaan yang tajam selama 2
minggu setelah operasi. Beberapa center menganjurkan untuk memakai Velcro
elbow immobilizers pada pasien selama 10 hari untuk meminimalisir resiko cedera
pada bibir yang telah direkonstruksi. Secara periodik diganti beberapa kali sehari
dibawah supervisi.
Perawatan Bibir: garis jahitan luka yang terbuka pada dasar dari bibir dan
hidung dapat dibersihkan menggunakan cotton swabs yang dicelupkan ke hidrogen
peroksida serta antibiotik topikal dapat diberikan beberapa kali sehari.
Pengangkatan jahitan luka yang permanen pada 5 sampai 7 hari postoperatif jika
menggunakan cyanoacrylate adhesive, tidak ada penatalaksanaan tambahan selama
periode pertengahan postoperatif dan secara bertahap mulai meningkat 6-12 bulan
setelah rekonstruksi. Kedua orang tua juga diinstruksikan untuk memijat bibir atas
selama fase ini dan mencegah untuk menempatkan anak pada daerah yang terkena
cahaya matahari langsung sampai scarnya sembuh.
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien

 Nama Inisial : MS
 No RM : 0910202119
 Umur : 9 tahun
 Jenis Kelamin : Laki-Laki
 Agama : Islam
 Alamat : Bireun
 Bangsa : Indonesia
 Ruangan : RS Malahayati
 Tanggal Masuk : 10-02-2019
 Tanggal Pemeriksaan : 10-02-2019

3.2 Anamnesis

 Keluhan Utama
Sering tersedak saat minum
 Keluhan Tambahan
Pasien dengan celah bibir dan celah langit-langit
 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien merupakan pasien RS Malahayati datang dengan keluhan sering
tersedak saat minum. Keluhan ini sudah dirasakan pasien sejak lahir. Saat
bayi, pasien sering tersedak saat minum ASI. Keluhan demam (-), batuk
(-), sesak napas (-), susah makan (+), BAB (+) konsistensi kenyal, warna
kekuningan, darah (-). BAK (+), konsistensi cair, berwarna putih
kekuningan, 5-6 kali per hari.
 Riwayat Penyakit Dahulu
Disangkal
 Riwayat Penyakit Keluarga
Disangkal
 Riwayat Pengobatan

19
20

Tidak ada
 Riwayat Kehamilan : tidak ada riwayat sakit selama kehamilan
 Riwayat Persalinan : pasien lahir normal. BBL 3500 gr langsung menangis

3.3 Pemeriksaan Fisik

3.3.1 Status Internus


Keadaan Umum : Baik
Kesadaraan : Compos Mentis
TD : 110/70
Nadi : 100 kali/menit
Pernapasan : 23 kali/menit
Suhu : 37,2 oC
BB : 24 kg
TB : 120 cm

3.3.2 Status General


A. Kulit
Warna : Sawo matang
Turgor : Cepat Kembali
Sianosis : Tidak ada
Ikterus : Tidak ada
Oedema : Tidak ada

B. Kepala
Bentuk : Normosefali, Ubun-ubun membenjol (-)
Wajah : Simetris, edema (-)
Mata : Konjungtiva palpebra inferior pucat (-/-), ikterik(-), pupil
isokor 3mm/3mm, RCL (+), RCTL (+)
Telinga : Bentuk normal, serumen minimal.
Hidung : NCH (-/-), Sekret (-/-), mukosa hiperemis (-/-) edema
mukosa (-/-)
Mulut : Sianosis tidak ada.
21

C. Leher
Inspeksi : Tidak ada deformitas, Pembesaran KGB (-).
Palpasi : Kaku kuduk tidak ada, pemeriksaan KGB (-)

D. Thoraks
Inspeksi : Simestris, retraksi interkostal (+/+).
Palpasi : Simetris (-/-), krepitasi (-)
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)

E. Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba di linea midklavikula sinistra
Perkusi : Batas jantung kesan normal
Auskultasi : Bising (-)

F. Abdomen
Inspeksi : Distensi (-), darm steifung (-), darm contour (-)
Auskultasi : Bising peristaltic usus (+) 4x/menit,
Palpasi : Soepel, nyeri tekan (-)
Perkusi :Timpani (+) di keempat kuadran

G. Ekstremitas

Superior Inferior
Kanan Kiri Kanan Kiri
Edema - - - -
Sianosis - - - -
Akral Dingin - - - -
Capillary refill time <2’ <2’ <2’ <2’

H. Genitalia
Inspeksi : Laki-laki, fimosis (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-)
22

3.4 Pemeriksaan Penunjang

Hasil Laboratorium : Tidak ada data

3.5 Diagnosis Kerja

- Palatoskisis

3.6 Tatalaksana

- Rencana Operasi palatum (palatoplasty)

3.7 Foto Klinis


23
DAFTAR PUSTAKA

1. Gunarto S, Prihatiningsih. Rekonstruksi Celah Bibir Bilateral Pada Pasien


Pasca Operasi Labioplasti. Maj Ked Gi. 2008:121-4.

2. Wulandari P, Soelistiono. Labioplasty Metode Barsky Dengan Anestesi


Lokal Pada Penderita Celah Bibir Bilateral Inkomplit. Maj Ked Gi.
2008:131-4.

3. Artono A, Prihatiningsih. Labioplasty Metode Barsky Dengan


Pemotongan Tulang Vomer Pada Penderita Bibir Sumbing Dua Sisi
Komplit Di Bawah Anestesi Umum. Maj Ked Gi. 2008:149-52.

4. Arumsari A, Kasim A. Embriogenesis Celah Bibir Dan Langit-Langit


Akibat Merokok Selama Kehamilan. PABMI. 2004:268-71.

5. Pricillia SP, Alawiyah T. Kelainan Celah Bibir Serta Langit-Langit Dan


Permasalahannya Dalam Kaitan Dengan Interaksi Sosial Dan Perilaku.
JITEKGI. 2011;8(2):42-6.

6. Astuti ERT. Evaluasi Klinis Pasca Palatoplasti Di Poliklinik Bedah Mulut


Rumah Sakit Umum Pusat Dr Sardjito Yogyakarta 2006-2009: Universitas
Gadjah Mada; 2010.

7. Arif M. Kapita Selekta Kedokteran. 3rd ed.2000.

8. Wong DL. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC. 2004.

9. Hidayat AA. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak 1. Jakarta: Salemba


Medika. 2005.

10. Ngastiyah. Perawatan Anak Sakit. 2 ed. Jakarta: EGC; 2005.

11. Patel P. Craniofacial, Unilateral Cleft Lip Repair [4 May 2017]. Available
from: http://emedicine.medscape.com/article/1279641-overview#showall.

12. Al Fatih M. Labio Gnato Palatoschisis [4 May 2017]. Available from:


http://www.scribd.com/doc/55885689/labio-gnato-palatoschisis.

13. Dixon MJ, Marazita ML, Beaty TH, Murray JC. Cleft Lip and Palate:
Understanding Genetic and Environmental Influences. Nature Reviews
Genetics. 2011;12(3):167-78.

14. Sudiono J. Gangguan Tumbuh Kembang Dentokraniofasial. Jakarta: EGC.


2008:23-6.

15. Vinod K. Cleft Lips and Cleft Palate. Textbook of Oral and Maxillofacial
Surgery. 2nd ed. New Delhi: Arya Publishers House; 2009. p. 572-85.

24
25

16. Hopper RA, Cutting C, Grayson B. Cleft Lip and Palate. Grabb and
Smith’s Plastic Surgery 6th Edition Philladelphia: Lippincott Williams and
Wilkins. 2007;201.

17. Marzoeki J, Jailani M. Teknik Pembedahan Celah Bibir Dan Langit-


Langit. Jakarta: Sagung Seto; 2001.

18. Marylin DE. Rencana Asuhan Keperawatan Maternal/Bayi. Jakarta: EGC;


2001.

Anda mungkin juga menyukai