Anda di halaman 1dari 19

MAKSILEKTOMI MEDIAL ENDOSKOPIK

Pendahuluan
Tumor sinonasal pada umumnya jarang ditemukan, baik yang jinak maupun ganas.
Kekerapan jenis yang ganas hanya sekitar 1 % dari keganasan seluruh tubuh atau 3% dari
keseluruhan keganasan di kepala dan leher. Hidung dan sinus paranasal atau juga disebut
sinonasal merupakan rongga yang dibatasi oleh tulang-tulang wajah yang merupakan daerah
terlindung sehingga tumor yang timbul di daerah ini sulit dikenalpasti secara dini. Sehingga
kebanyakan pasien yang datang berobat dalam keadaan lanjut dan tumor sudah memenuhi
hidung dan sinus. Kebanyakan tumor ini berkembang dari sinus maksilaris dan tipe histologi
yang paling sering ditemukan adalah karsinoma sel skuamosa.1,2
Paparan terhadap substansi-substansi seperti serbuk kayu, debu tekstil dan kulit binatang,
nikel, isopropyl oil, formaldehid dan lain sebagainya, terlibat sebagai faktor predisposisi
keganasan sinonasal ini. Gejala klinis bergantung pada letak dan luasnya tumor. Gejala nasal
berupa obstruksi hidung unilateral, rinorea, sekret bercampur darah atau terjadi epistaksis. Tanda
dan gejala ini sering diabaikan oleh penderita dan sering sulit dibedakan dari lesi benigna dan
inflammatory disorder. serta hanya diterapi dengan antibiotika biasa sehingga tumor ganas
sinonasal ini selalu terdiagnosis dalam stadium lanjut. 1,2
Pemeriksaan penunjang seperti CT scan, MRI, Positron emission tomography (PET) sangat
menolong dalam diagnosis banding, sedangkan pemeriksaan histopatologi merupakan diagnosis
pasti. Tumor ganas sinonasal merupakan penyebab kesakitan dan kematian di bidang
otorinolaringologi di seluruh dunia. Untuk itu diperlukan suatu profil penderita tumor ganas
sinonasal sehingga dapat dilakukan tindakan deteksi dini dan pengobatan sesegera mungkin. 1,2

ANATOMI DAN EMBRIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL


Kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi di
bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri.
Kavum Nasi
Pintu masuk cavum nasi disebut nares anteriores atau nosetril sedangkan batas antara
cavum nasi dan nasopharynx adalah choana (nares posteriores).
Kavum nasi merupakan suatu ruangan yang dibatasi oleh atap, lantai, lateral dan medial.
Atap cavum nasi : os frontonasal, os ethmoidal, os sphenoidal
Lantai cavum nasi : palatum durum (processus palatina os maxilla, lamina horisontal os
palatina)
Dinding lateral : a. os nasal, os maxilla, os lacrimal, os ethmoidal, os concha nasalis
inferior, dan pars perpendicularis os palatini
b. cartilago lateralis nasi, cartilago alaris mayor crus
lateral, cartilago alaris minor, dan cartilago sessamoid
Kavum nasi kanan dan kiri dibatasi oleh septum nasi yang dibentuk oleh 2 tulang dan 2
kartilago:
1. os vomer dan lamina perpendicular os ethmoidal
2. kartilago alaris mayor crus medial dan cartilago septi nasi
1. Sinus frontal
2. Sinus etmoid
anterior
3. Aliran dari sinus frontal
4. Aliran dari
ethmoid
5. Sinus etmoid
posterior
6. Konka media
7. Sinus sphenoid
8. Konka Inferior
9. Hard palate

Gambar 1. Dinding lateral hidung (Hazenfield, 2009)

Vaskularisasi Kavum Nasi


1. Arteri ethmoidalis anterior et posterior - Arteri nasalis anterior lateral et septi
2. Arteri sphenopalatina – arteri nasalis posterior lateral et septi.
Arteri nasalis posterior septi akan berjalan menuju canalis incisivus dan nantinya akan
beranastomosis dengan arteri palatina mayor. Isi canalis incisivus adalah a palatina mayor, a
nasalis posterior septi dan nervus nasopalatinus. Plexus Kiesselbach adalah anyaman pembuluh
darah di bagian anterior septum nasi. Pembentuknya adalah a nasalis anterior septi et posterior
septi, a palatina mayor, a labialis superior.
Gambar 2: Arteri-arteri dalam cavum nasi3

Gambar 3: Persarafan cavum nasi3


Persarafan Kavum Nasi
Pada bagian anterior, n nasalis anterior (cabang dari n ethmoidalis anterior) merupakan
inervasi sensoris. Nasalis anterior juga mempercabangkan r nasalis eksternus yang menginervasi
hidung bagian luar.
Pada bagian posterior, n. nasalis posterior inferior et superior (cabang dari
ganglion sphenopalatina untuk membawa inervasi parasimpatis dan ganglion servikal superior
untuk inervasi simpatis. Efek parasimpatis pada cavum nasi adalah sekresi
mukus dan vasodilatasi.
Sinus Paranasal
Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang terletak di sekitar nasal
dan mempunyai hubungan dengan kavum nasi melalui ostiumnya. Terdapat empat pasang sinus
paranasal, yaitu sinus frontalis, sfenoidalis, etmoidalis, dan maksilaris. Sinus maksilaris dan
etmoidalis mulai berkembang selama dalam masa kehamilan.4

Gambar 4: Sinus Paranasal secara cross section dan horizontal section3


Sinus maksilaris berkembang secara cepat hingga usia tiga tahun dan kemudian mulai lagi
saat usia tujuh tahun hingga 18 tahun dan saat itu juga air-cell ethmoid tumbuh dari tiga atau
empat sel menjadi 10-15 sel per sisi hingga mencapai usia 12 tahun. Sinus maksilaris adalah
sinus paranasal pertama yang mulai berkembang dalam janin manusia. Sinus ini mulai
berkembang pada dinding lateral nasal sekitar hari 65 kehamilan. Sinus ini perlahan membesar
tetapi tidak tampak pada foto polos sampai bayi berusia 4-5 bulan. Pertumbuhan dari sinus ini
bifasik dengan periode pertama di mulai pada usia tiga tahun dan tahap kedua di mulai lagi pada
usia tujuh hingga 12 tahun. Selama tahap kedua ini, pneumatisasi meluas secara menyamping
hingga dinding lateral mata dan bagian inferior ke prosesus alveolaris bersamaan dengan
pertumbuhan gigi permanen. Perluasan lambat dari sinus maksilaris ini berlanjut hingga umur 18
tahun dengan kapasitasnya pada orang dewasa rata-rata 14,75 ml. Sinus maksilaris mengalirkan
sekret ke dalam meatus media.
Sel etmoid mulai berkembang dalam bulan ketiga pada proses perkembangan janin. Sinus
etmoidalis anterior merupakan evaginasi dari dinding lateral nasal dan bercabang ke samping
dengan membentuk sinus etmoidalis posterior dan terbentuk pada bulan keempat kehamilan. Saat
dilahirkan sel ini diisi oleh cairan sehingga sukar untuk dilihat dengan rontgen. Saat usia satu
tahun sinus etmoidalis baru bisa dideteksi melalui foto polos dan setelah itu membesar dengan
cepat hingga usia 12 tahun. Sinus etmoidalis anterior dan posterior ini dibatasi oleh lamina
basalis. Jumlah sel berkisar 4-17 sel pada sisi masing-masing dengan total volume rata-rata 14-
15 ml. Sinus etmoidalis anterior mengalirkan sekret ke dalam meatus media, sedangkan sinus
etmoidalis posterior mengalirkan sekretnya ke dalam meatus superior. Menurut Kennedy, diseksi
sel-sel etmoid anterior dan posterior harus dilakukan dengan hati-hati karena terdapat dua daerah
rawan. Daerah pertama adalah daerah arteri etmoid anterior yang merupakan cabang arteri
oftalmika, terdapat di atap sinus etmoidalis dan membentuk batas posterior resesus frontal. Arteri
ini berada pada dinding koronal yang sama dengan dinding anterior bula etmoid. Daerah yang
kedua adalah variasi anatomi yang disebut dengan sel onodi. Sel onodi adalah sel udara etmoid
posterior yang berpneumatisasi ke postero-lateral atau postero-superior terhadap dinding depan
sinus sfenoidalis dan melingkari nervus optikus dan dapat dikira sebagai sinus sfenoidalis.
Sinus frontalis mulai berkembang sepanjang bulan keempat kehamilan, merupakan satu
perluasan ke arah atas dari sel etmoidal anterosuperior. Sinus frontalis jarang tampak pada
pemeriksaan foto polos sebelum umur lima atau enam tahun setelah itu perlahan tumbuh, total
volume 6-7 ml. Pneumatisasi sinus frontalis mengalami kegagalan pengembangan pada salah
satu sisi sekitar 4-15% populasi. Sinus frontalis mengalirkan sekretnya ke dalam resesus
frontalis.
Sinus sfenoidalis mulai tumbuh sepanjang bulan keempat masa kehamilan yang
merupakan evaginasi mukosa dari bagian superoposterior kavum nasi. Sinus ini berupa suara
takikan kecil di dalam os sfenoid sampai umur tiga tahun ketika mulai pneumatisasi lebih lanjut,
Pertumbuhan cepat untuk mencapai tingkat sella tursika pada umur tujuh tahun dan menjadi
ukuran orang dewasa setelah umur 18 tahun, total volume 7,5 ml. Sinus sfenoidalis mengalirkan
sekretnya ke dalam meatus superior bersama dengan etmoid posterior.
Mukosa sinus terdiri dari ciliated pseudostratified, columnar epithelial cell, sel Goblet,
dan kelenjar submukosa menghasilkan suatu selaput lendir bersifat melindungi. Selaput lendir
mukosa ini akan menjerat bakteri dan bahan berbahaya yang dibawa oleh silia, kemudian
mengeluarkannya melalui ostium dan ke dalam nasal untuk dibuang.

EPIDEMIOLOGI
Tumor ganas sinonasal diperkirakan sebesar 1% dari seluruh neoplasma ganas manusia dan
3% dari jumlah ini ditemukan pada kepala dan leher. Secara tipikal ditemukan pada dekade ke
lima dan ke tujuh kehidupan dan rasio perbandingan antara pria dan wanita adalah sebesar 2:1.
Insiden tumor ganas sinonasal rendah pada kebanyakan populasi (<1,5/100.000 pada pria dan
<0,1/100.000 pada wanita).1,5
Insiden tertinggi keganasan sinonasal ditemukan di Jepang yaitu 2-3,6 per 100.000
penduduk pertahun, juga ditemukan di beberapa tempat tertentu di Cina dan India. Di
Departemen THT FKUI RS Cipto Mangunkusumo, keganasan ini berada pada peringkat kedua
setelah karsinoma nasofaring dengan ditemukan pada 10-15% dari seluruh tumor ganas THT.1
Di RSUP H. Adam Malik Medan selama Januari 2002 sampai dengan Desember 2008 pasien
yang dirawat dengan diagnosis karsinoma hidung dan sinus paranasal adalah sebanyak 52 kasus.
Insidensi di India sekitar 0,44% dari seluruh keganasan di India. Kebanyakan melibatkan sinus
maksila. 5
Karsinoma sel skuamosa merupakan jenis yang paling sering ditemukan. Enam puluh
persen tumor sinonasal berkembang di dalam sinus maksilaris, 20-30% di dalam rongga nasal,
10-15% di dalam sinus etmoidalis, dan 1% di dalam sinus sfenoidalis dan frontalis. Apabila
hanya melibatkan sinus-sinus paranasal tersendiri, 77% tumor maligna muncul di dalam sinus
maksilaris, 22% di dalam sinus etmoidalis dan 1% di dalam sinus sfenoidalis dan frontalis.6

ETIOLOGI
Etiologi tumor ganas sinonasal belum diketahui dengan pasti, tetapi diduga beberapa zat
kimia atau bahan industri merupakan penyebab antara lain nikel, debu kayu, kulit, formaldehid,
kromium, isopropyl oil dan lain-lain. Pekerja di bidang ini mendapat kemungkinan terjadi
keganasan sinonasal jauh lebih besar. Alkohol, asap rokok, makanan yang diasin atau diasap
diduga meningkatkan kemungkinan terjadi keganasan, sebaliknya buah-buahan dan sayuran
mengurangi kemungkinan terjadi keganasan.5,6
Paparan yang terjadi pada pekerja industri kayu, terutama debu kayu keras seperti beech dan
oak, merupakan faktor resiko utama yang telah diketahui untuk tumor ganas sinonasal. Efek
paparan ini mulai timbul setelah 40 tahun atau lebih sejak pertama kali terpapar dan menetap
setelah penghentian paparan.5,6

GAMBARAN KLINIS
Gejala tergantung dari asal primer tumor serta arah dan perluasannya. Tergantung dari
perluasan tumor, gejala yang ditimbulkan dapat dikategorikan sebagai gejala nasal, gejala orbital,
oral, fasial dan gejala intrakranial.1,5
Mungkin hanya berupa rasa penekanan atau nyeri, atau tidak dijumpai rasa nyeri. Sumbatan
nasal satu sisi dapat diduga suatu tumor sampai dapat dibuktikan dengan pemeriksaan-
pemeriksaan penunjang lain. Sekret dapat encer, serosanguinosa atau purulen. Mungkin
ditemukan parastesia, anesthesia pada wajah. Mungkin pula gejalanya menjalar ke gigi atas atau
gigi palsu bagian atas terasa menjadi tidak pas lagi. Dapat terjadi pembengkakan wajah sebelah
atas, penonjolan daerah pipi, pembengkakan palatum durum, palatum mole, tepi alveolar atau
lipatan mukosa mulut dan epistaksis. Pada 9% hingga 12% pasien sering asimtomatik sehingga
diagnosis sering terlambat dan penyakit telah memasuki stadium lanjut.1,6
Perubahan daerah orbita pada tumor sinus relatif sering ditemukan. Dapat pula terdapat
gangguan persarafan otot-otot eksterna bola mata. Bisa timbulnya proptosis dan eksoftalmus.
Sumbatan saluran lakrimalis dapat timbul. Trismus merupakan gejala yang mengganggu dan ini
merupakan pertanda perluasan penyakit ke arah daerah pterigoid. Perluasan ke arah nasofaring
dapat menimbulkan gejala sumbatan tuba Eustachius, seperti nyeri telinga, tinnitus dan gangguan
pendengaran.1,5,6
Metastasis regional dan jauh jarang terjadi meskipun penyakit telah berada dalam stadium
lanjut. Insidensi metastasis servikal pada gejala awal bervariasi dari 1% hingga 26% kasus.1,5
DIAGNOSIS
Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologi. Namun sebelum melakukan
tindakan, anamnesia dan pemeriksaan fisik yang baik sangat penting bagi menegakkan suatu
diagnosis.

1. Anamnesis
Pemeriksa menanyakan hal yang berkaitan dengan kejadian tumor dan faktor risiko
terjadinya tumor. Gejala biasanya timbul setelah tumor membesar, mendorong, atau menembus
dinding tulang sehingga ke rongga hidung, rongga mulut, pipi atau orbita. Meskipun bukan
patognomonik, mati rasa (kebas) atau hypesthesia syaraf infraorbital (V2) atau supraorbital (V3)
secara kuat merupakan sangkaan invasi keganasan. Temuan-temuan lain seperti proptosis,
diplopia, kelemahan otot ekstraokular, dan adanya massa di pipi, gingival atau sulkus
gingivobuccal juga sangkaan adanya tumor sinonasal. Gejala pada sinus yang unilateral
memerlukan pemeriksaan selanjutnya. Hilang atau berkurangnya penghidu atau pernah ada
epistaksis juga harus dipertimbangkan.1,7

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara seksama, dengan pemeriksaan pada regio
sinonasal, orbita dan harus dilakukan endoskopi nasal. 1,7
Inspeksi terhadap wajah, mata, pipi, geraham dan palatum dilakukan. Palpasi tumor yang
tampak dengan menilai konsistensi, batasnya, perubahan warna kulit, berbenjol-benjol untuk
membandingkan tumor jinak atau ganas. Rinoskopi anterior untuk menilai tumor dalam rongga
hidung. Rinoskopi posterior untuk melihat adanya ekstensi tumor ke nasofaring. Pemeriksaan
nasofaring dilakukan untuk mengetahui adanya massa tumor yang berasal dari sinus sfenoid atau
perluasan tumor hidung ke posterior.1,5

Pemeriksaan lain yang harus dilakukan adalah pemeriksaan telinga untuk mengetahui
otitis media atau tuli konduktif akibat masa tumor yang menutup tuba Eustachius, pemeriksaan
visus dan gerakan bolamata, pemeriksaan saraf perifer dan pemeriksaan kelenjar getah bening
leher walaupun keganasan di hidung dan sinus paranasal jarang bermetastasis ke kelenjar getah
bening regional.1,5
3. Pemeriksaan Penunjang
Foto polos
Radiologic imaging penting untuk menentukan staging. Foto polos menunjukkan
destruksi tulang, meskipun demikian pada beberapa kasus dapat menunjukkan keadaan normal.

Gambar 5: Posisi Water’s pada sinus paranasal yang normal; 1- sinus frontalis, 2- orbit,
3- sinus maksilaris, 4- septum nasi, 5- cavum nasi, 6- cavum oris

CT-Scan
Screening computed tomography (CT) scan potongan koronal lebih akurat untuk menilai
struktur tulang sinus paranasal. CT scan merupakan pemeriksaan superior untuk menilai batas
tulang traktus sinonasal dan dasar tulang tengkorak.5,6
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI dipergunakan untuk membedakan sekitar tumor dengan soft tissue, dan
menunjukkan penyebaran perineural. Coronal MRI image terdepan untuk mengevaluai foramen
rotundum, vidian canal, foramen ovale dan optic canal..6,7
Gambar 6: MRI
PENATALAKSANAAN
1. Pembedahan
Pembedahan atau lebih sering bersama dengan modalitas terapi. Pembedahan dikontra
indikasikan pada kasus-kasus yang telah bermetastasis jauh, sudah meluas ke sinus kavernosus
bilateral atau tumor sudah mengenai orbita.8 Luasnya operasi tergantung pada sampai dimana
batas tumornya. Pembedahan merupakan penatalaksanaan tunggal untuk tumor maligna traktus
sinonasal dengan angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar 19% hingga 86%.9,10 Pada tumor jinak
dilakukan ekstirpasi tumor sebersih mungkin. Bila perlu dilakukan pendekatan rinotomi lateral atau
degloving (peningkapan). 8,9
Untuk tumor ganas tindakan operasi harus dilakukan seradikal mungkin. Biasanya
dilakukan maksilektomi. Bila tumor di sinus maksila dan infrastruktur dilakukan maksilektomi
parsial. Bila tumor sudah memenuhi maksila dilakukan maksilektomi radikal, yaitu mengangkat
seluruh isirongga sinus maksila, ginggivo-alveolaris dan palatum durum. Maksilektomi radikal
dilakukan misalnya pada tumor yang sudah mengenai dinding sinus maksila dan sering juga
masuk ke rongga orbita, sehingga pengangkatan maksila dilakukan secara en bloc disertai
eksenterasi orbita. Jika tumor sudah masuk ke rongga intrakranial dan sinus sphenoid dilakukan
reseksi kraniofasial dan kalau perlu kraniotomi. 9,10
Bila tumor sudah meluas ke nasofaring dan fosa pterigopalatina kita anggap sudah
‘inoperable’ dan hanya diberikan penyinaran (radioterapi) saja. Frozen section harus digunakan
untuk melihat batas bebas tumor.9,10

2. Rehabilitasi
Tujuan utama rehabilitasi post operasi adalah penyembuhan luka primer, memelihara
atau rekonstruksi bentuk wajah dan pemulihan oronasal yang terpisah kemudian memperlancar
proses bicara dan menelan. Rehabilitasi setelah reseksi pembedahan dapat dicapai dengan dental
prosthesis atau reconstructive flap. Bila diikuti dengan eksenterasi orbita, maka digunakan
protesa mata.9
3. Terapi Radiasi
Radiasi digunakan sebagai metode tunggal untuk membantu pembedahan atau sebagai
terapi paliatif. Radiasi post operasi dapat mengontrol secara lokal tetapi tidak menyebabkan
kelangsungan hidup spesifik atau absolut.8,9

MAKSILEKTOMI MEDIAL

Dokter bedah harus mendapatkan visibilitas dan akses sebaik mungkin untuk dapat
melakukan pengangkatan tumor. Endoskopi maxillectomy medial adalah pendekatan kami
pilihan dalam kasus tumor jinak yang melibatkan dinding anterior dan lantai dari sinus
maksilaris dan untuk tumor ganas sinonasal ganas yang terbatas pada dinding lateral rongga
hidung atau medial sinus maksilla.

INDIKASI

Indikasi maksilektomi medial endoskopik hampir sama dengan maksilektomi medial terbuka
atau prosedur terbuka lainnya, yaitu tumor jinak sinonasal seperti inverted papilloma, dan
penyakit inflamasi sinonasal berulang. Pada penanganan keganasan sinonasal tetap dianjurkan
prosedur terbuka.Untuk menentukan reseksi komplit dengan endoskop kadang agak sulit
dilakukan karena kurangnya visualisasi, utamanya dinding anterior sinus maksilla. Prosedur
maksilektomi medial endoskopik tidak disarakan jika ada perluasan jaringan lunak di luar daerah
sinonasal.Pemeriksaan lengkap tentang tumor dan anatomi sekitar harus dilakukan sebelum
merekomendasikan penggunaan teknik ini.Walaupun dengan menggunakan endoskop bersudut,
anatomi sinus dan lokasi tumor membatasi aplikasi teknik maksilektomi medial secara
endoskopik. Sehingga penyampaian teknik operasi yang akan dilakukan pada pasien harus
menyebutkan pendekatan kombinasi antara endoskopik dan terbuka, seperti operasi Caldwell
Luc atau midfacial degloving. Visualisasi yang sangat baik yg diperlihatkan oleh endoskop
sangat membantu dalam identifikasi mukosa yang sehat.Sehingga preservasi mukosa dapat
dilakukan sebanyak mungkin dibandingkan dengan prosedur terbuka.1,3
TEKNIK
Prosedur dimulai dengan reseksi anterior sepertiga dari konka dan etmoidektomi radikal.
Lamina papiracea dan fovea ethmoidal yang terkena dan juga rostrum sinus sphenoid. Jika
diperlukan, arteri ethmoid dapat di kauter dengan kauter bipolar. Prosesus uncinatus, tulang
lakrimal dan anterior lakrimal crest diangkat bersama dengan duktus nasolakrimal, konka
inferior dan tepi apertura piriformis. Dengan menggunakan Hajek-Kofler atau Kerrison efisien
menghilangkan puncak lakrimal anterior dan bor diamond kasar dapat digunakan ketika tulang
terlalu tebal. Setelah elevasi mukosa hidung, tulang pada aperture piriformis dan dinding medial
sinus maksila dibuka dengan bor atau osteotome. Besar antrostomi pada meatus media diperluas
ke dasar hidung dan dinding posterior sinus maksilaris. 10,11
Mukosa dinding hidung dan tumor pada kedua sisi di buka dari permukaan sinus
maksilaris bagian lateral. Ketika lapisan dibedah dari dinding posterior sinus maksilaris dan
Krista ethmoidalis, kauterisasi arteri sfenopalatina biasanya diperlukan. Posterior attachment
konka inferior dipotong dan dinding lateral bersama dengan tumor diangkat. Umumnya,
nasolakrimalis duktus yang di potong oblik untuk menghindari stenosis duktus dan epifora. Stent
dari kantung lakrimal selama operasi tidak diperlukan. Saat ini maksillektomi medial via
endoskopi dapat diperlebar, untuk mengangkat dinding posterior sinus maksila, juga
memungkinkan akses ke daerah pterygomaxillary dan fossa pterygopalatine. Sinus sphenoid dan
frontal dibuka jika tumor meluas ke sana dan mukosa dikeluarkan. Perluasan prosedur bedah
endoskopik disesuaikan berdasarkan tingkat penyakit. Tumor sinonasal yang melibatkan dinding
inferomedial dari sinus frontalis (Yang biasanya terjadi di sebagian besar di antaranya ada
keterlibatan sinus frontal) dapat dikeluarkan dengan melakukan prosedur modifikasi Lothrop
atau Draf III. Di kasus di mana ada keterlibatan bagian lateral atau lebih superior dari sinus
frontal dapat di operasi tetapi ini memerlukan instrumen yang lebih melengkung. Namun, jika
inverted papilloma terdapat sebagian besar di sinus frontalis, terutama ketika terjadi
pneumatisasi, flap mungkin diperlukan untuk mendapatkan eksposur yang memadai. Saat ini,
endoskopi transnasal reseksi lebih sering dilakukan daripada en bloc reseksi. Pada beberapa
kasus, inverted papilloma sangat berkaitan erat dengan tulang. Di sini, pengambilan atau
penipisan tulang dengan bor diamond dengan hati-hati. Hal ini biasanya dilakukan di atas lamina
papyracea dan fovea ethmoidalis. 10,11
Keterampilan dan pengalaman dokter bedah endoskopik adalah faktor kunci dalam
keberhasilan prosedur. Selain itu, perhatian ketat harus diberikan untuk mengidentifikasi lokasi
attachment dari tumor dan reseksi agresif dari margin mukosa dan tulang di lokasi. Teknik
endoskopik yang sama dapat dilakukan dalam kasus revisi, ketika kekambuhan terjadi.10,11

Potongan sagital setelah pengangkatan lengkap dari konka inferior, termasuk attachment lamelar ke
dinding lateral (panah). Seluruh dinding maksila medial diangkat, anterior dan dinding sinus maksilaris
posterior, lantai orbita, dan lantai hidung. duktus nasolakrimalis biasanya dibuang untuk mengekspos
dinding sinus maksilaris anterior. Juga, ethmoidektomi total dan pengangkatan lamina papyracea biasanya
dilakukan sebagai bagian dari maksilektomi medial. NL = katup Hasner dan duktus lakrimal membran di
meatus inferior. 11

Potongan sagital setelah pengangkatan seluruh dinding medial sinus maksilaris. IN = saraf dan pembuluh
infraorbital. Panah menunjukkan dinding sinus maksilaris anterior setelah pengangkatan duktus
nasolakrimalis.11
LAPORAN KASUS

DATA PASIEN
Nama : An. I
Umur : 15 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Mamuju
MRS : 16 februari 2015

ANAMNESIS
Penderita datang ke Rumah Sakit Unhas dengan keluhan utama obstruksi nasi dialami sejak 3
bulan yang lalu Rinore ada, post nasal drips ada, cephalgia ada, epistaksis tidak ada, blood
stained rinore tidak ada, bersin berseri tidak ada, penghidu kesan normal. Gangguan pada telinga
dan tenggorok tidak ada.

PEMERIKSAAN FISIS
Keadaan umum : Baik / gizi cukup / composmentis
Tanda vital : T=100/80 mmHg, N=72x/mnt, S=36,5C, P=16x/mnt

PEMERIKSAAN FISIS THT


Rinoskopi anterior : Kavum nasi dekstra : tampak massa yang mendesak septum kearah kiri,
tidak mudah berdarah, sekret ada.
Kavum nasi sinistra : kavum nasi sempit, konka media dan inferior sulit
dinilai
Otoskopi : Membran timpani intak dekstra dan sinistra, ada pantulan cahaya, tidak
ada sekret.
Faringoskopi : Tonsil tidak hiperemis, pembesaran tonsil T1/T1.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
- WBC : 5700 CT/BT : 8’/2’
- RBC : 4,09 . 106 PT/APTT : 12,0 / 27,7
- HGB : 12,6 HBsAg : Non Reaktif
- HCT : 35,8 Anti HCV : Non Reaktif
- PLT : 279.000 GDS : 117
- Ureum : 21 SGOT : 20
- Creatinin : 0,7 SGPT :9
Kesan: Dalam Batas Normal
Foto thoraks
- Corakan bronkovaskular dalam batas normal
- Tidak tampak proses spesifik maupun lesi-lesi nodular pada
kedua lapangan paru
- Cor: CTI dalam batas normal
- Kedua sinus dan diafragma baik
- Tulang-tulang baik
Kesan:
- Pulmo Normal
CT-Scan Kepala potongan Coronal
Telah dilakukan pemeriksaan CT Scan SPN tanpa kontras irisan coronal dengan hasil sebagai
berikut:
- Lesi hipodens (9 HU) bentuk bulat, batas tegas dengan kalsifikasi pada perifernya (139
HU), berukuran 4,6 x 6,2 cm pada cavum nasi bilateral maxillaris dextra dan ethmoidalis
bilateral yang mendestruksi os maxilla dextra, ethmoid, dan dinding inferior orbita kanan
serta mendestruksi septum nasi
- Perselubungan (18 HU) pada sinus frontalis kanan
- Sinus sphenoid bilateral dan maxillaris kiri dalam batas normal
- Area orofaring yang terscan dalam batas normal
- Tulang-tulang intak

Kesan:
- Massa sinonasal kesan intraosseus yang mendestruksi struktur disekitarnya dan meluas ke
choana
- Sinusitis frontalis dextra
Patologi Anatomi
Makroskopik : I,II sediaan tumor mengandung proliferasi jaringan fibrous yang
didalamnya terdapat banyak pembentukan trabekel-trabekel tulang yang
dilapisi oleh osteoblast di bagian tepinya. Tidak terdapat gambaran sel-sel
atipik ataupun cirri-ciri lain dari keganasan pada sediaan ini.
Kesan: Sesuai dengan ossifying fibroma DD/ Fibrous Displasia

DIAGNOSA KERJA
Tumor Sinonasal (Ossifying Fibroma)
TINDAKAN
Maksilektomi Medial
Laporan operasi :
- Pasien baring terlentang dalam General Anestesi, ETT terpasang
- Lakukan prosedur sepsis dan antiseptik pada lapangan operasi dengan alkohol 70% dan
betadine, pasang doek steril

- Identifikasi cavum nasi dextra, tampak massa memenuhi cavum nasi dextra mudah
berdarah.
- Ekstirpasi tumor tampak dinding mengalami osifikasi, dan jaringan di dalamnya lunak.
- Dilakukan reseksi dinding maksila medial sampai ke dasar kavum nasi. Ekstirpasi sisa
tumor dalam sinus maksila.
- Ambil jaringan  kirim ke Patologi Anatomi
- Kontrol perdarahan, perdarahan tidak ada
- Pasang tampon boorzalf pada cavum nasi dextra, dan pasang tampon konde pada cavum
nasi dextra
- Operasi selesai, perdarahan durante operasi 1050 cc
FOLLOW UP
Diagnosis pasca operasi adalah debulking tumor sinonasal dengan maksilektomi medial. Terapi
yang diberikan terapi IVFD Ringger Laktat 16 tetes permenit, injeksi seftriakson 750 mg per 12
jam intravena, injeksi metronidazole 400mg per 8jam intravena, injeksi deksametason 5 mg per
12 jam intravena, injeksi ranitidine 50 mg per 12 jam intravena, ketorolac 15 mg per 12 jam
intravena, transfusi PRC 2 bag
Follow up hari 1 pasca operasi, keluhan nyeri pada luka operasi ada minimal, demam
tidak ada, epistaksis tidak ada. Tanda vital dalam batas normal, Hb post transfusi 11,3 gr/dl,
terpasang tampon boorzalf cavum nasi dextra. Terapi IVFD Ringer Laktat 16 tetes permenit,
injeksi seftriakson 750 mg per 12 jam Intravena, injeksi metronidazole 400mg per 8jam
intravena, injeksi deksametason 5 mg per 12 jam intravena, injeksi ranitidine 50 mg per 12 jam
intravena, ketorolac 15 mg per 12 jam intravena.
Follow up hari 2 pasca operasi, keluhan nyeri pada luka operasi ada minimal, demam
tidak ada, epistaksis tidak ada. Tanda vital dalam batas normal, terpasang tampon boorzalf
cavum nasi dextra. Terapi IVFD Ringer Laktat 16 tetes permenit, injeksi seftriakson 750 mg per
12 jam Intravena, injeksi metronidazole 400mg per 8 jam intravena, injeksi deksametason 5 mg
per 12 jam intravena, injeksi ranitidine 50 mg per 12 jam intravena, ketorolac 15 mg per 12 jam
intravena.
Follow up hari 3 pasca operasi, keluhan nyeri pada luka operasi ada minimal, demam
tidak ada, epistaksis tidak ada. Tanda vital dalam batas normal, terpasang tampon boorzalf
cavum nasi dextra. Terapi IVFD Ringer Laktat 16 tetes permenit, injeksi seftriakson 750 mg per
12 jam Intravena, injeksi metronidazole 400mg per 8 jam intravena, injeksi deksametason 5 mg
per 12 jam intravena, injeksi ranitidine 50 mg per 12 jam intravena, ketorolac 15 mg per 12 jam
intravena, af tampon boorzalf sedikit2.
Follow up hari 4 pasca operasi, keluhan nyeri pada luka operasi ada minimal, demam
tidak ada, epistaksis tidak ada. Tanda vital dalam batas normal, terpasang tampon boorzalf
cavum nasi dextra. Terapi IVFD Ringer Laktat 16 tetes permenit, injeksi seftriakson 750 mg per
12 jam Intravena, injeksi metronidazole 400mg per 8 jam intravena, injeksi deksametason 5 mg
per 12 jam intravena, injeksi ranitidine 50 mg per 12 jam intravena, ketorolac 15 mg per 12 jam
intravena, af tampon boorzalf sedikit2.
Follow up hari 5 pasca operasi, keluhan nyeri pada luka operasi ada minimal, demam
tidak ada, epistaksis tidak ada. Tanda vital dalam batas normal, terpasang tampon boorzalf
cavum nasi dextra. Terapi af infus, obat oral cefadroxil 2x500mg, paracetamol 3x500mg,
dexamethason 3x5mg, af tampon boorzalf sedikit2, boleh rawat jalan, kontrol poli tht pada hari
ke 7.
DISKUSI
Teknik maksilektomi medial endoskopik untuk penanganan tumor jinak sinonasal sangat
disukai untuk meminimalisir morbiditas dan rekurensi tumor .Keuntungan dari pendekatan
secara endoskopik adalah jaringan yang berdekatan dapat secara seksama dievaluasi dan
dibedakan dengan mukosa sehat.Keuntungan lainnya adalah visualisasi bersudut dan pembesaran
lapangan operasi yang memungkinkan paparan lebih jelas ke dalam kavum nasi dan sinus
paranasal. Namun limitasi pendekatan endoskopik jika massa tumor meluas ke ekstra nasal atau
lokasi tumor berada pada daerah yang sulit dijangkau oleh instrumentasi endoskopik. Pemilihan
prosedur maksilektomi medial endoskopik kedua kasus ini didasarkan pada hasil pemeriksaan
CT Scan yang memperlihatkan tidak adanya destruksi tulang yang lebih jauh dan hasil biopsi
yang menunjukkan tumor jinak.
Evaluasi dilakukan satu minggu setelah operasi secara endoskopik , dan tidak nampak
adanya pertumbuhan massa tumor yang baru dan mukosa sinonasal baik. Follow up pasca
operasi sangat diperlukan untuk mengatasi komplikasi yang timbul dan untuk mengetahui
rekurensi secara cepat sehingga dapat direseksi segera.Mayoritas kekambuhan terjadi pada 2
tahun pertama dan evaluasi dengan endoskopi dapat membantu dalam mendeteksi kambuhnya
ossifying fibroma secara lebih cepat.6

Anda mungkin juga menyukai