Anda di halaman 1dari 64

FRAKTUR

Definisi
 Fraktur adalah terputusnya hubungan/kontinuitas struktur tulang atau tulang rawan
bisa komplet atau inkomplet
 Diskontinuitas tulang yang disebabkan oleh gaya yang melebihi elastisitas tulang

Secara umum fraktur dibagi menjadi dua, yaitu :


1. Fraktur tertutup (close fracture) jika kulit diatas tulang yang fraktur masih utuh,
2. Fraktur terbuka (open fracture)  fraktur yang terjadi hubungan dengan dunia luar
atau rongga tubuh yang tidak steril, sehingga mudah terjadi kontaminasi bakteri dan
dapat menyebabkan komplikasi infeksi.

Klasifikasi
I. Menurut Penyebab terjadinya
A. Faktur Traumatik  direct atau indirect
B. Fraktur Fatik atau Stress,  Trauma berulang, kronis, mis: fr. Fibula pd
olahragawan
C. Fraktur patologis  biasanya terjadi secara spontan
II. Menurut hubungan dg jaringan ikat sekitarnya
A. Fraktur Simple  fraktur tertutup
B. Fraktur Terbuka  bone expose
C. Fraktur Komplikasi  kerusakan pembuluh darah, saraf, organ visera
III. Menurut bentuk
A. Fraktur Komplet
Garis fraktur membagi tulang menjadi 2 fragmen atau lebih. Garis fraktur bisa
transversal, oblique, spiral.
Kelainan ini menentukan arah trauma, fraktur stabil atau tidak
B. Fraktur Inkomplet  sifat stabil, misal greenstik fraktur
C. Fraktur Kominutif  lebih dari 2 segmen
D. Fraktur Kompresi / Crush fracture  umumnya pada tulang kanselus

Etiologi
Fraktur terjadi bila ada suatu trauma yang mengenai tulang, dimana trauma tersebut
kekuatannya melebihi kekuatan tulang. 2 faktor mempengaruhi terjadinya fraktur
1. Ekstrinsik meliputi kecepatan dan durasi trauma yang mengenai tulang, arah
dan kekuatan trauma.
2. Intrinsik meliputi kapasitas tulang mengasorbsi energi trauma, kelenturan,
kekuatan, dan densitas tulang.

Diagnosis
I. Riwayat
Anamnesis dilakukan untuk menggali riwayat mekanisme cedera (posisi kejadian) dan
kejadian-kejadian yang berhubungan dengan cedera tersebut. riwayat cedera atau
fraktur sebelumnya, riwayat sosial ekonomi, pekerjaan, obat-obatan yang dia konsumsi,
merokok, riwayat alergi dan riwayat osteoporosis serta penyakit lain.

II. Pemeriksaan Fisik


A. Inspeksi / Look
Deformitas  angulasi, rotasi, pemendekan, pemanjangan, bengak
Pada fraktur terbuka  klasifikasi Gustilo
B. Palpasi / Feel  nyeri tekan (tenderness), Krepitasi
Status neurologis dan vaskuler di bagian distalnya perlu diperiksa.
Lakukan palpasi pada daerah ekstremitas tempat fraktur tersebut, meliputi
persendian diatas dan dibawah cedera, daerah yang mengalami nyeri, efusi, dan
krepitasi
Neurovaskularisasi bagian distal fraktur  pulsasi aretri, warna kulit,
pengembalian cairan kapler (Capillary refill test) sensasi
C. Gerakan / Moving
D. Pemeriksaan trauma di tempat lain  kepala, toraks, abdomen, pelvis

Sedangkan pada pasien dengan politrauma, pemeriksaan awal dilakukan menurut


protokol ATLS. Langkah pertama adalah menilai airway, breathing, dan circulation.
Perlindungan pada vertebra dilakukan sampai cedera vertebra dapat disingkirkan
dengan pemeriksaan klinis dan radiologis. Saat pasien stabil, maka dilakukan secondary
survey.

III. Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium  darah rutin, faktor pembekuan darah, golongan darah, cross-test, dan
urinalisa.
Radiologis untuk lokasi fraktur harus menurut rule of two, terdiri dari :
1. 2 gambaran, anteroposterior (AP) dan lateral
2. Memuat dua sendi di proksimal dan distal fraktur
3. Memuat gambaran foto dua ekstremitas, yaitu ekstremitas yang cedera dan yang
tidak terkena cedera (pada anak) ; dan dua kali, yaitu sebelum tindakan dan
sesudah tindakan.

Pergeseran fragmen Tulang ada 4 :


1. Alignman  perubahan arah axis longitudinal, bisa membentuk sudut
2. Panjang  dapat terjadi pemendekan (shortening0
3. Aposisi  hububgan ujung fragmen satu dengan lainnya
4. Rotasi  terjadi perputaran terhadap fragmen proksimal

Komplikasi Fraktur
Komplikasi fraktur dapat diakibatkan oleh trauma itu sendiri atau akibat penanganan
fraktur yang disebut komplikasi iatrogenik .
1. Komplikasi umum
Syok karena perdarahan ataupun oleh karena nyeri, koagulopati diffus dan
gangguan fungsi pernafasan.
Ketiga macam komplikasi tersebut diatas dapat terjadi dalam 24 jam pertama pasca
trauma dan setelah beberapa hari atau minggu akan terjadi gangguan metabolisme,
berupa peningkatan katabolisme. Komplikasi umum lain dapat berupa emboli lemak,
trombosis vena dalam (DVT), tetanus atau gas gangren
2. Komplikasi Lokal
a. Komplikasi dini
Komplikasi dini adalah kejadian komplikasi dalam satu minggu pasca trauma,
sedangkan apabila kejadiannya sesudah satu minggu pasca trauma disebut
komplikasi lanjut.
Pada Tulang
 Infeksi, terutama pada fraktur terbuka.
 Osteomielitis dapat diakibatkan oleh fraktur terbuka atau tindakan
operasi pada fraktur tertutup. Keadaan ini dapat menimbulkan
delayed union atau bahkan non union
Komplikasi sendi dan tulang dapat berupa artritis supuratif yang sering
terjadi pada fraktur terbuka atau pasca operasi yang melibatkan sendi
sehingga terjadi kerusakan kartilago sendi dan berakhir dengan degenerasi

Pada Jaringan lunak


 Lepuh , Kulit yang melepuh adalah akibat dari elevasi kulit
superfisial karena edema. Terapinya adalah dengan menutup kasa
steril kering dan melakukan pemasangan elastik
 Dekubitus.. terjadi akibat penekanan jaringan lunak tulang oleh
gips. Oleh karena itu perlu diberikan bantalan yang tebal pada
daerah-daerah yang menonjol
Pada Otot
Terputusnya serabut otot yang mengakibatkan gerakan aktif otot tersebut
terganggu. Hal ini terjadi karena serabut otot yang robek melekat pada
serabut yang utuh, kapsul sendi dan tulang. Kehancuran otot akibat
trauma dan terjepit dalam waktu cukup lama akan menimbulkan
sindroma crush atau trombus (Apley & Solomon,1993).
Pada pembuluh darah
Pada robekan arteri inkomplit akan terjadi perdarahan terus menerus.
Sedangkan pada robekan yang komplit ujung pembuluh darah mengalami
retraksi dan perdarahan berhenti spontan.
Pada jaringan distal dari lesi akan mengalami iskemi bahkan nekrosis.
Trauma atau manipulasi sewaktu melakukan reposisi dapat menimbulkan
tarikan mendadak pada pembuluh darah sehingga dapat menimbulkan
spasme. Lapisan intima pembuluh darah tersebut terlepas dan terjadi
trombus. Pada kompresi arteri yang lama seperti pemasangan torniquet
dapat terjadi sindrome crush. Pembuluh vena yang putus perlu dilakukan
repair untuk mencegah kongesti bagian distal lesi (Apley & Solomon,
1993).

Sindroma kompartemen terjadi akibat tekanan intra kompartemen otot


pada tungkai atas maupun tungkai bawah sehingga terjadi penekanan
neurovaskuler sekitarnya. Fenomena ini disebut Iskhemi Volkmann. Ini
dapat terjadi pada pemasangan gips yang terlalu ketat sehingga dapat
menggangu aliran darah dan terjadi edema dalam otot.
Apabila iskhemi dalam 6 jam pertama tidak mendapat tindakan dapat
menimbulkan kematian/nekrosis otot yang nantinya akan diganti dengan
jaringan fibrus yang secara periahan-lahan menjadi pendek dan disebut
dengan kontraktur volkmann. Gejala klinisnya adalah 5 P yaitu Pain
(nyeri), Parestesia, Pallor (pucat), Pulseness (denyut nadi hilang) dan
Paralisis
Pada saraf
Berupa kompresi, neuropraksi, neurometsis (saraf putus), aksonometsis
(kerusakan akson). Setiap trauma terbuka dilakukan eksplorasi dan
identifikasi nervus (Apley & Solomon,1993).

b. Komplikasi lanjut
Pada tulang dapat berupa malunion, delayed union atau non union. Pada
pemeriksaan terlihat deformitas berupa angulasi, rotasi, perpendekan atau
perpanjangan.
 Delayed union
Proses penyembuhan lambat dari waktu yang dibutuhkan secara normal.
Pada pemeriksaan radiografi, tidak akan terlihat bayangan sklerosis pada
ujung-ujung fraktur,
Terapi  konservatif selama 6 bulan  gagal  Osteotomi
Lebih 20 minggu  cancellus grafting (12-16 minggu)

 Non union
Dimana secara klinis dan radiologis tidak terjadi penyambungan.
 Tipe I (hypertrophic non union) tidak akan terjadi proses
penyembuhan fraktur dan diantara fragmen fraktur tumbuh
jaringan fibrus yang masih mempunyai potensi untuk union dengan
melakukan koreksi fiksasi dan bone grafting.
 Tipe II (atrophic non union) disebut juga sendi palsu (pseudoartrosis)
terdapat jaringan sinovial sebagai kapsul sendi beserta rongga
sinovial yang berisi cairan, proses union tidak akan dicapai walaupun
dilakukan imobilisasi lama.

Beberapa faktor yang menimbulkan non union seperti disrupsi periosteum


yang luas, hilangnya vaskularisasi fragmen-fragmen fraktur, waktu
imobilisasi yang tidak memadai, implant atau gips yang tidak memadai,
distraksi interposisi, infeksi dan penyakit tulang (fraktur patologis)

 Mal union
Penyambungan fraktur tidak normal sehingga menimbukan deformitas.
Tindakan refraktur atau osteotomi koreksi .

 Osteomielitis
Osteomielitis kronis dapat terjadi pada fraktur terbuka atau tindakan
operasi pada fraktur tertutup sehingga dapat menimbulkan delayed union
sampai non union (infected non union). Imobilisasi anggota gerak yang
mengalami osteomielitis mengakibatkan terjadinya atropi tulang berupa
osteoporosis dan atropi otot

 Kekakuan sendi
Kekakuan sendi baik sementara atau menetap dapat diakibatkan
imobilisasi lama, sehingga terjadi perlengketan peri artikuler, perlengketan
intraartikuler, perlengketan antara otot dan tendon. Pencegahannya
berupa memperpendek waktu imobilisasi dan melakukan latihan aktif dan
pasif pada sendi. Pembebasan periengketan secara pembedahan hanya
dilakukan pada penderita dengan kekakuan sendi menetap (Apley &
Solomon,1993).
Penatalaksanaan

Prinsip penanganan fraktur  4R (chairudin Rasjad) :


1. Recognition  diagnosis dan penilaian fraktur
2. Reduction  Reposisi
3. Retention Immobilisasi
4. Rehabilitation  mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin

Tujuan Pengobatan fraktur :


I.Reduction  Reposisi
Tujuan mengembalikan fragmen keposisi anatomi
1. Tertutup  Traksi (kulit, skeletal)
Reduksi tertutup diindikasikan untuk keadaan sebagai berikut:
• Fraktur dengan tak ada pergeseran,
• Fraktur yang stabil setelah reposisi/ reduksi,
• Fraktur pada anak-anak,
• Cedera jangan luk minimal
• Trauma berenergi rendah.
2. Terbuka
Reduksi terbuka diindikasikan untuk keadaan sebagai berikut:
• Reposisi tertutup gagal • Fraktur yang
• Fraktur yg tidak stabil, mengalami pemendekan
• Fragmen bergeser dari • Mobilisasi dini
apa yang diharapkan • Fraktur multiple
• Fraktur intraartikuler • Fraktur Patologis
yang mengalami
pergeseran
.
II.Retention Immobilisasi
Tujuan mempertahankan posisi fragmen post reposisi sampai Union.
Jenis Fiksasi :
1. Ekternal / OREF
• Gips ( plester cast/Plaster of Paris))
• Traksi  Indikasi
 Pemendekan (shortening)
 Fraktur unstabel  oblique, spiral
 Kerusakan hebat pada kulit dan jaringan sekitar
o Traksi Gravitasi  U- Slab pada fraktur hunerus
o Skin traksi  Tujuan menarik otot dari jaringan sekitar fraktur
sehingga fragmen akan kembali ke posisi semula. Beban maksimal
4-5 kg karena bila kelebihan kulit akan lepas
o Sekeletal traksi  K-wire, Steinmann pin atau Denham pin.
Dipasang pada distal tuberositas tibia (trauma sendi koksea, femur,
lutut), pada tibia atau kalkaneus ( fraktur kruris)
Komplikasi Traksi :
 Gangguan sirkulasi darah  beban > 12 kg
 Trauma saraf peroneus (kruris)  droop foot
 Sindroma kompartemen
 Infeksi  tmpat masuknya pin
Indikasi OREF :
 Fraktur terbuka derajat III
 Fraktur dengan kerusakan jaringan lunak yang luas
 fraktur dengan gangguan neurovaskuler
 Fraktur Kominutif
 Fraktur Pelvis
 Fraktur infeksi yang kontraindikasi dengan ORIF
 Non Union
 Trauma multiple
2. Internal / ORIF  K-wire, plating, screw, k-nail

III. Rehabilitation  mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin


Penyembuhan fraktur ada 5 Stadium :
1. Pembentukan Hematom
kerusakan jaringan lunak dan penimbunan darah

2. Organisasi Hematom / Inflamasi


Dalam beberapa jam post fraktur  fibroblast ke hematom  beberapa hari terbentuk
kapiler  jaringan granulasi
berakhir kurang lebih satu hingga dua minggu yang pada awalnya terjadi reaksi
inflamasi. Peningkatan aliran darah menimbulkan hematom fraktur yang segera
diikuti invasi dari sel-sel peradangan yaitu netrofil, makrofag dan sel fagosit. Sel-sel
tersebut termasuk osteoklas berfungsi untuk membersihkan jaringan nekrotik untuk
menyiapkan fase reparatif. Secara radiologis, garis fraktur akan lebih terlihat karena
material nekrotik disingkirkan

3. Pembentukan kallus
Fibroblast paa jaringan granulasi  kolagenoblast kondroblast  partisipasi
osteoblast sehat terbentuk kallus (Woven bone)

4. Konsolidasi  woven bone berubah menjadi lamellar bone


Umumnya beriangsung beberapa bulan. Fase ini ditandai dengan differensiasi dari sel
mesenkim pluripotensial. Hematom fraktur lalu diisi oleh kondroblas dan fibroblas
yang akan menjadi tempat matrik kalus. Mula-mula terbentuk kalus lunak, yang terdiri
dari jaringan fibrosa dan kartilago dengan sejumlah kecil jaringan tulang. Osteoblas
kemudian yang mengakibatkan mineralisasi kalus lunak membah menjadi kalus keras
dan meningkatkan stabilitas fraktur. Secara radiologis garis fraktur mulai tak tampak.

5. Remodelling  Kalus berlebihan menjadi tulang normal


Membutuhkan waktu bulanan hingga tahunan untuk merampungkan penyembuhan
tulang meliputi aktifitas osteoblas dan osteoklas yang menghasilkan perubahan
jaringan immatur menjadi matur, terbentuknya tulang lamelar sehingga menambah
stabilitas daerah fraktur (McCormack,2000).
Prinsip terjadinya UNION:
 Dewasa  Kortikal 3 bulan, Kanselus 6 minggu
 Anak-anak  separuh dari orang dewasa
Fraktur Terbuka
Gustilo and Anderson classification of open fractures
Type Description
I Skin wound less than 1 cm
Clean
Simple fracture pattern
II Skin wound more than 1 cm
Soft-tissue damage not extensive
No flaps or avulsions
Simple fracture pattern
III High-energy injury involving extensive soft-tissue damage
Or multifragmentary fracture, segmental fractures, or bone loss irrespective of the
size of skin wound
Or severe crush injuries
Or vascular injury requiring repair
Or severe contamination including farmyard injuries

Gustilo classification of type III open fractures


Type Description
IIIA Adequate soft-tissue cover of bone despite extensive soft-tissue damage
IIIB Extensive soft-tissue injury with periosteal stripping and bone exposure
Major wound contamination
IIIC High-energy injury involving extensive soft-tissue damage

Klasifikasi lanjut fraktur terbuka tipe III (Gustillo dan Anderson, 1976) oleh Gustillo,
Mendoza dan Williams (1984):
Tipe Batasan
IIIA Periosteum masih membungkus fragmen fraktur dengan kerusakan jaringan
lunak yang luas
IIIB Kehilangan jaringan lunak yang luas, kontaminasi berat, periosteal striping atau
terjadi bone expose
IIIC Disertai kerusakan arteri yang memerlukan repair tanpa melihat tingkat
kerusakan jaringan lunak.

Hubungan garis fraktur dengan energi trauma


Garis Fraktur Mekanisme Energi
trauma
Transversal, oblik, spiral, (sedikit bergeser / masih ada Angulasi / Ringan
kontak) memutar
Butterfly, transversal (bergeser), sedikit kominutif Kombinasi Sedang
Segmental kominutif (sangat bergeser) Variasi Berat
Klasifikasi fraktur terbuka sesuai Sistem Skoring Sardjito (Khairuddin & Armis, 2002).
Batasan Skor
I. Skin Damage
A. Wound:
• < 5 cm long ( in-out) 1
• 5-10 cm 2
• 10 cm long 3

B. Condition of Skin: 1
• No devitalized edge of wound without contussion 2
• Contused edge of wound/ subcutan or with small area of degloving 3
• Large area of degloving or skin loss or skin avulsion
II. Muscle Damage
• No muscle contusion or sircumscribed muscle contusion or partial 1
rupture 2
• Total rupture of one compartement muscle 3
• Muscle defect with extensive muscle crush
III. Bone Damage
• Simple Fracture: Transverse, Oblique, Spiral, butterfly or with little 1
comminution.
• Simple Fracture with gross displacement, segmental fracture (little 2
displaced) or moderate comunition
• Gross comminution, boneloss / defect 3
IV. Neurovascular Damage
• No Neurovascular trauma 1
• Isolated or localized neurovascular trauma 2
• Extensive neurovascular trauma 3
V. Contamination
• No particle 5
• Only syperficial particle 10
• Deep particle 15*)
Note : *Add one for public watering accident or from farm accident or treated after
gol den period (deep particle score =15+1=16)

Skor untuk fraktur terbuka grade I atau ringan: 10, grade II atau sedang 11-20, grade III atau
berat : 21-31. Grade IIIA bila fragmen fraktur masih tertutup jaringan lunak, grade IIIB bila
terdapat ekspose fragmen fraktur, dan grade III C bila terdapat kerusakan pembuluh darah
vital sehingga untuk mempertahankan kehidupan bagian distal fraktur membutuhkan
tindakan repair. (Khairuddin & Armis, 2002; Supriyanto & Armis, 2004 ).

Untuk menghindari kesalahan maka dikenal formulasi hukum dua, yaitu:


• Two views  (proyeksi AP/Anteroposterior dan Lateral, karena proyeksi yang salah
akan dapat memberikan informasi yang salah maka pemeriksaan radiologis harus
benar-benar AP dan lateral),
• Two joints  (terlihat dua sendi, pada bagian proksimal dan distal fraktur)
• Two limbs/side  ( dua anggota gerak sisi kanan dan kiri)
• Two injuries  (biasanya pada multipel trauma yang bisa melibatkan trauma di
tempat lain dalam tubuh).

Penanganan Fraktur terbuka


Prinsip penanganan fraktur terbuka derajat III secara umum adalah sebagai berikut:
1. Pertolongan Pertama.
Secara umum adalah untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri dan mencegah
gerakan-gerakan fragmen yang dapat merusak jaringan sekitarnya. Stabilisasi fraktur
bisa menggunakan splint atau bandage yang mudah dikerjakan dan efektif. Luka
ditutup dengan material yang bersih dan steril.
2. Resusitasi
Penatalaksanaan sesuai prinsip ATLS (Advance Trauma Life Support) dengan
memberikan penanganan sesuai prioritas (resusitasi), bersamaan itu pula dikerjakan
penanganan fraktur terbuka agar terhindar dari komplikasi. Kehilangan darah yang
banyak pada fraktur terbuka derajat III dapat mengakibatkan syok hipovolemik dan
dapat diperberat oleh rasa nyeri yang dapat menyebabkan syok neurogenik. Tindakan
resusitasi dilakukan bila ditemukan tanda syok hipovolemik, gangguan napas atau
denyut jantung karena fraktur terbuka seringkali terjadi bersamaan dengan cedera
organ lain. Penderita diberikan resusitasi cairan Ringer Laktat atau tranfusi darah dan
pemberian analgetik selama tidak ada kontraindikasi. Pemeriksaan radiologis
dikerjakan setelah kondisi pasien stabil. (Apley & Solomon, 1993; Trafton, 2000)
3. Penilaian awal.
Pemeriksaan yang teliti dan hati-hati merupakan dasar dalam observasi dan
penanganan awal yang memadai. Fakta-fakta pada pemeriksaan harus direkam
dengan baik termasuk trauma pada daerah atau organ lain dan komplikasi akibat
fraktur itu sendiri. (Rasjad, 1998; Trafton, 2000).
4. Terapi Antibiotik dan Anti Tetanus Serum (ATS)
Pemberian antibiotik sebaiknya diberikan segera mungkin setelah terjadinya trauma.
Antibiotik adalah yang berspektrum luas yaitu sefalosporin generasi I (cefazolin 1-2
gram) dan dikombinasikan dengan aminoglikosid (gentamisin 1-2 mg/kg BB tiap 8
jam) selama 5 hari. Selanjutnya perawatan luka dilakukan setiap hari dengan
memperhatikan sterilitas, dan pemberian antibiotik disesuaikan dengan hasil kultur
dan sensitifitas terbaru.
Bila dalam perawatan ditemukan gejala dan tanda infeksi, maka dilakukan
pemeriksaan kultur dan sensifitas ulang untuk penyesuaian ulang pemberian
antibiotik yang digunakan.
Pemberian anti tetanus diindikasikan pada fraktur kruris terbuka derajat III
berhubungan dengan kondisi luka yang dalam, luka yang terkontaminasi, luka dengan
kerusakan jaringan yang luas serta luka dengan kecurigaan sepsis. Pada penderita
yang belum pernah mendapat imunisasi anti tetanus dapat diberikan gamaglobulin
anti tetanus manusia dengan dosis 250 unit pada penderita diatas usia 10 tahun dan
dewasa , 125 unit pada usia 5-10 tahun dan 75 unit pada anak dibawah 5 tahun. Dapat
pula diberikan serum anti tetanus dari binatang dengan dosis 1500 unuit dengan tes
subkutan 0,1 selama 30 menit. Jika telah mendapat imunisasi toksoid tetanus (TT) maka
hanya diberikan 1 dosis boster 0,5 ml secara intramuskuler.
5. Debridemen
a. Ambil sample dari luka untuk pemeriksaan kultur dan sensitifitas pra
debridemen
b. Pembersihan luka dengan irigasi cairan fisiologis sebanyak 6-10 liter.
c. Jaringan mati atau fragmen tulang kecil yang mati maupun benda asing
dibuang.
d. Pembuluh darah vital untuk bagian distal yang terputus dilakukan repair.
e. Saraf yang terputus diberi tanda pada ujung saraf untuk dilakukan delayed
repair
f. Reposisi fragmen fraktur.
g. Pengambilan sampel pada luka yang bersih untuk kultur dan tes sentifitas pasca
debridmen.
h. Luka dibiarkan terbuka atau dilakukan jahitan parsial, bila perlu ditutup setelah
satu minggu dimana oedem sudah menghilang.
i. Fiksasi awal yang baik untuk fraktur terbuka kruris derajat III adalah fiksasi
eksternadengan external fixation device sehingga akan mempermudah dalam
perawatan luka harian. Bila fasilitas tidak memadai, pemasangan gips sirkuler
dengan jendela atau temporary splinting dengan gips atau traksi dapat digunakan
dan kemudian dapat direncanakan operasi pemasangan fiksasi interna setelah
luka baik (delayed internal fixation).
j. Pemakaian suntikan antibiotik dilanjutkan 3-5 hari, dimonitor tanda klinis dan
penunjang
k. Bila dalam perawatan harian di bangsal ditemukan gejala dan tanda infeksi
dilakukan debridemen dan pemeriksaan kultur dan sensitifitas ulang untuk
mendapatkan penanganan yang memadai. (Apley & Solomon, 1993; Behrens,
1996; Rasjad, 1998; Trafton, 2000; Hutagalung , 2003 ).
6. Penanganan jaringan lunak.
Pada kehilangan jaringan lunak yang luas dapat dilakukan soft tissue tranplantation atau
flap pada tindakan berikutnya, sedangkan tulang yang hilang dapat dilakukan bone
grafting setelah pengobatan infeksi berhasil baik.
7. Penutupan Luka
Pada luka yang kecil dan tidak banyak kontaminasi setelah dilakukan debridemen dan
irigasi dapat langsung dilakukan penutupan secara primer tanpa tegangan. Pada luka
yang luas dan dicurigai kontaminasi yang berat sebaiknya dirawat secara terbuka, luka
dibalut kassa steril dan dilakukan evaluasi setiap hari. Setelah 5-7 hari dan luka bebas
dari infeksi dapat dilakukan penutupan kulit secara sekunder atau melalui tandur
kulit. Pada anak sebaiknya dihindari perawatan terbuka untuk menghindari terjadi
khondrolisis yaitu kerusakan epiphyseal plate akibat infeksi. Penyambungan tulang pada
anak relatif lebih cepat maka reposisi dan fiksasi dikerjakan secepatnya untuk
mencegah deformitas.
8. Stabilisasi fraktur
Dalam melakukan stabilisasi fraktur awal penggunaan gips sebagai temporary splinting
dianjurkan sampai dicapai penanganan luka yang adekuat, kemudian bisa dilanjutkan
dengan pemasangan gips sirkuler atau diganti fiksasi dalam dengan plate and screw,
intermedullary nail atau external fixator devices sebagai terapi stabilisasi definitif.
Pemasangan fiksasi dalam dengan plate and screw pada fraktur terbuka dengan
kontaminasi tidak direkomendasikan. Namun demikian fiksasi dalam dapat dipasang
setelah luka jaringan lunak baik dan diyakini tidak ada infeksi lagi. Penggunaan fiksasi
luar (external fixation devices) pada fraktur terbuka derajat III adalah salah satu pilihan
untuk memfiksasi fragmen-fragmen fraktur tersebut dan untuk mempermudah
perawatan luka harian.
Fiksasi
Pemasangan Fiksasi dalam sering menjadi pilihan terapi yang paling diperlukan dalam
stabilisasi fraktur pada umumnya termasuk fraktur kruris terbuka derajat III. Pilihan
metode yang dipergunakan untuk fiksasi dalam ada beberapa macam yaitu:
a. Pemasangan plate and screws
Pemasangan fiksasi dalam pada fraktur terbuka mempunyai resiko tinggi terjadi
komplikasi infeksi, non-union dan refraktur. Pada penelitian awalnya pemasangan plat
pada fraktur terbuka diketahui telah memperbaiki fraktur dengan penyambungan
kortek langsung tanpa pembentukan kalus. Osteosit langsung menyeberangi gap antar
fragmen fraktur. Tapi pada kenyataannya terjadi osteogenesis meduler dan sedikit
pembenrukan kalus periosteum. Pada penelitian selanjutnya diketahui bahwa pada
pemasangan plat itu sendiri telah mengganggu vaskularisasi ke kortek tulang oleh plat
yang berakibat gangguan aliran darah yang menyebabkan nonunion. Mengatasi
permasalahan ini para pakar AO/ASIF dari Swiss telah menciptakan antara lain
LCDCP (limited contact dynamic compression plate) dan ada yang membuat inovasi baru
dengan merekonstruksi plat yang non-rigid dengan tidak memasang sekrup yang
banyak sehingga terjadi pembentukan kalus (Matter, 1997 cit. Trafton, 2000 ).
Pemasangan plat perlu hati-hati dalam melakukan irisan jaringan lunak agar tidak
terjadi kerusakan periosteum, fascia dan otot karena dapat mengakibatkan nonunion.
Penutupan kulit diatas plat sering mengalami kesulitan dan dapat terjadi nekrosis kulit
atau infeksi superfisial. Untuk pencegahan kerusakan jaringan lunak dilakukan
dengan pemasangan plat dibawah kulit dan sekrup langsung dipasang ke tulang
dengan bantuan alat fluoroskopi

b. Pemasangan screws or wires


Untuk melakukan fiksasi fraktur diafisis jarang menghasilkan fraktur yang stabil.
Pemasangan skru banyak digunakan dalam fiksasi fraktur intraartikuler dan
periartikuler baik digunakan secara tunggal atau kombinasi bersamaan dengan
pemasangan plat atau external fixation device. (Behrens, 1996).

c. Pemasangan intramedullary nai/ rods


Pada pemasangan reamed intramedullary nails dapat menyebabkan ujung-ujung fragmen
fraktur diafisis mengalami robekan periosteum kehilangan blood supply sehingga
meningkatkan kejadian infeksi dan nonunion. Beberapa penelitian awal
menyimpulkan bahwa penggunaan unreamed intramedullary nails pada fraktur tibia
terbuka cukup aman terhadap vaskularisasi intrameduler dan direkomendasikan
untuk stabilisasi fraktur terbuka derajat I,II dan III A, sedangkan untuk derajat IIIB dan
IIIC sementara disarankan dengan traksi atau fiksasi luar. Secondary nailing
dilaksanakan setelah fiksasi luar dengan syarat tidak ada tanda infeksi lokal maupun
pin tract infection.

d. Pemasangan external fixation devices


Akhir-akhir ini para pakar lebih tertarik pemasangan fiksasi luar dari pada
pemasangan plat. Menurut Van der Linden dan Larson (1979) pada penelitian
pemasangan plat dibanding konservatif ternyata angka infeksi lebih tinggi pada
pemasangan plat seperti infeksi superfisial, nekross kulit dan osteomielitis. Kejadian
infeksi pada pemasangan plat akan memerlukan operasi berulangkali. Sedangkan
Clifford et al.( 1988) menyarankan pemasangan plat dilaksanakan untuk stabilisasi
fraktur terbuka derajat I dan derajat II dan fraktur avulsi. Menurut Bach dan Hansen
(1989) yang membandingkan pemasangan plat dengan fiksasi luar pada fraktur kruris
terbuka menyimpulkan bahwa pemasangan plat kurang ideal pada fraktur terbuka
derajat II dan III. ( cit. Court-Brown et al., 1996).

Komplikasi fraktur terbuka


1. Komplikasi Umum
Syok, koagulopati difus atau gangguan fungsi pernapasan yang dapat terjadi dalam 24
jam pertama setelah trauma dan setelah beberapa hari kemudian akan terjadi
gangguan metabolisme berupa peningkatan katabolisme. Komplikasi umum yang lain
dapat berupa sindrom peremukan (crushing syndrome), emboli lemak, trombosis vena
dalam, infeksi tetanus atau gas gangren.

2. Komplikasi Lokal Dini.


Komplikasi dalam 1 minggu pertama pasca trauma disebut sebagai komplikasi lokal
dini dan bila lebih 1 minggu setelah trauma disebut sebagai komplikasi lokal lanjut.
Macam komplikasi lokal dini dapat mengenai tulang, otot, jaringan lunak, sendi,
pembuluh darah, saraf, organ visceral maupun timbulnya sindrom kompartemen atau
nekrosis avaskuler.

3. Komplikasi Lokal Lanjut.


Komplikasi pada tulang, osteomielitis kronis, kekakuan sendi (joint stiffness),
degenerasi sendi, batu saluran kemih maupun neurosis pasca trauma. Dalam
penyembuhan fraktur dapat juga terjadi komplikasi karena teknik, perlengkapan
ataupun keadaan yang kurang baik, sehingga mengakibatkan terjadinya infeksi,
nonunion, delayed union, malunion, kekakuan sendi.

EKSTREMITAS SUPERIOR

I. Fraktur Skapula
Akibat trauma langsung.. Fraktur korpus dan kollum scapula umumnya terjadi
pergeseran akibat tarikan otot-otot yang melekat disitu
Terapi  konservatif (Istirahat dan mobilisasi dini setelah sakit hilang.)

Mayo Classification – Scapula Fracture


Trauma sendi akromioklavikularis
Sendi ini kurang stabil dan mudah terjadi Subluksasi. Dislokasi komplet terjadi akibat
ruptur total ligamentum akromioklavikularis dan korakoklavikularis.
Klasifikasi :
I. Sratin, Ligamen intak
II. Subluksasi  Robekan ligamen (+) klavikula tidak terangkat karena ligamn Korako-
klavikuler utuh
III. Dislokasi . Robekan kedua ligamen dan klavikula terangkat

Dislokasi sendi sternoklavikularis


Terbagi menjadi anterior dan posterior. Dislokasi posterior akan menekan organ-organ
dalam sehingga perlu tindakan emergency

Trauma Otot-otot Rotator / Rotator Cuff


Otot Rotator terdiri dari :
1. Supraspinatus ( atas )
2. Infraspinatus ( belakang )
3. teres minor
4. Subskapula ( depan )

Otot ini berfungsi sebagai stabilisator, sehingga robekan kecil pada otot supraspinatus
menimbulkan Tendinitis supraspinatus dan bila robekan luas penderita tidak bisa abduksi
Terapi  repair

Dislokasi sendi bahu


Sendi bahu / sendi humeri yang dikenal sebagai sendi humeroskapularis. Dibagi menjadi :
1. Anterior
Kejadian paling sering, dimana kaput humeri bergeser ke medial dibawah prosesus
korakoideus
Komplikasi :
1. Kerusakan saraf regio axillaris
2. Kerusakan kapsul sendi
3. Kekakuan sendi
4. Dislokasi rekurens  lakukan tes Apprehension
Cara : Abduksi dan rotasi eksterna , terlihat raut muka penderita ketakutan dan
mencoba melawan tindakan tersebut.  Instabilitas anterior (+)
Terapi :
a. Hipokrates metode
Handuk atau kain dililitkan di regio aksillaris penderita, operator melakukan
tarikan pada posisi semi abduksi lengan

b. Kocher metode  4 manuver


i.Siku difleksikan 900 lakukan traksi ssuai aksis humerus
ii.Humerus dirotasi eksterna
iii.Selanjutnya humerus digeser kemedial (adduksi) diatas dada penderita
iv.Humerus dirotasi interna dengan memutar lengan bawah kedalam
 Post reposisi  Imobilisassi dengan sling 2 minggu
2. Posterior
Kejadian sangat jarang karena tidak mempunyai ruangan diposterior maka kaput
humeri masih tetap dilateral tapi berada di posterior dalam fosa infraspinatus.
Diagnosis klinis ditegakkan, dimana bentuk segiempat pada bahu, kaput humeri tidak
pada tempatnya.

II. Fraktur Clavicula


Penyebab biasanya trauma langsung /direct atau tidak langsung/indirect , misal jatuh
dengan tangan / siku menumpu.
Diagnosis
• Riwayat  waktu jatuh posisi tangan menumpu
• Deformitas  menonjol, udem, fr. 1/3 lateral tanpa ruptur lig
korakoklavikulare deformitas tidak jelas
• Nyeri tekan (tenderness)
• Krepitasi
• Penunjang  radiologi dan laboratorium
Penatalaksanaan
• Konservatif  Pasang ransel verban (Figure of eight0 sampai rasa sakit hilang
• Operatif  Indikasi
1. Fraktur terbuka
2. Ruptur lig korakoklavikulare
3. Gangguan neurovaskuler
4. Delayed / non Union
5. Kosmetik

Union terjadi 3 minggu disertai kallus yang menonjol dimana pada anak akan hilang
sebab mempunyai daya remodelling

III. Fraktur Humerus


Klasifikasi NEER
1. Pergeseran < 1 cm dengan angulasi < 450
2. Fraktur collum anatomikum, pergeseran > 1 cm
3. Fraktur collum chirrugikum dengan pergeseran dan angulasi
4. Fraktur tuberkulum majus dengan 2 atau 3 fragmen
5. Fraktur tuberkulum majus dengan lebih 2 fragmen
6. Fraktur dislokasi

Macamnya :
1. Fraktur Kollum Chirrugikum humeri
Pada anak muda dipikirkan reposii terbuka dengan fiksasi interna
Terapi  Imobilisasi collar and cuff selama 3 minggu

2. Fraktur Shaft humerus


Setiap fraktur humerus tengah dapat mengenai saraf radial, karena saraf ini
melewati sulkus nervi radialis yang terletak dibagian tengah dan belakang
humerus.
Komplikasi : Radial Palsy
Terapi :
• Konservatif  Collar and Cuff, hanging cast
• Operatif
a. Radial palsy non union
b. Gangguan vaskuler
Radial palsy akan sembuh sekitar 6-8 minggu, bila tidak pulih lakuakan
EMG dan eksplorasi

3. Fraktur Suprakondilaris humeri


Berdasarkan pergeseran fragmen distal ada 3 type :
a. Fragmen tanpa pergeseran
b. Fragmen dengan pergeseran tetapi masih ada kontak
c. Fragmen distal dan proksimal tidak ada kontak
Terapi :
• Anak-anak  reposisi tertutup
• Dewasa  Collar and Cuff selama 3 minggu
 Hasil reposisi dievaluasi dengan sudut Baumann

Anatomi
Sendi siku terjadi antara trochlea dan capitulum humerus dengan incisura trochlearis
ulnae dan caput radii. Sendi siku dillalui oleh beberapa bangunan, di sebelah anterior
terdapat muskulus brachialis, tendo muskulus biceps, nervus medianus dan arteri
brachialis. Di sebelah posterior terdapat muskulus biceps dan bursa minor. Nervus
ulnaris terdapat di sebelah medial dan tendo muskulus ekstensor communis dan
muskulus supinator terletak di lateral.
Suprakondilar humerus terletak di bagian distal dari humerus, tulang tersebut kurang
kuat dibanding tempat lain karena adanya fossa koronoid, fossa olekranon dan fossa radii.
Kolum medial suprakondilar lebih tipis dan substansi tulang kurang bila dibanding
dengan kolum lateral suprakondilar. Sendi siku mampu untuk melakukan gerakan
fleksi dan ekstensi, dimana gerakan fleksi dilakukan oleh muskulus brachialis,
muskulus biceps, muskulus brachioradialis dan muskulus pronator teres. Sedangkan
gerakan ekstensi dilakukan oleh muskulus triceps dan muskulus anconeus.

Dari proyeksi anteroposterior (AP), perlu dinilai sudut yang di bentuk oleh garis
longitudinal humerus dan garis yang melalui koronal kapitulum humeri, sudut ini
disebut sudut bowman. Normal didapatkan sudut bowman sebesar 800 – 890, bila
didapatkan sudut ini kurang dari 50, dikatakan bahwa posisi tulang tersebut tidak
aceptable. Sudut yang lain yaitu sudut antara diaphisis dan metaphisis, sebesar 90 0.

Proyeksi lateral, normal didapatkan garis antero humeral akan melewati pusat
osifikasi pada kondilus humeri dan bagian distal dari kondilus akan membentuk sudut
ke anterior sebesar 400.

Mekanisme dan Patofisiologi


1. Tipe Ekstensi
Akibat trauma langsung pada humerus distal melalui benturan pada siku,
lengan bawah dalam posisi supinasi dengan siku hiperekstensi dengan tangan
yang terfiksasi, olekranon terdorong ke depan sehingga terjadi fraktur. Garis
fraktur selalu melewati fossa olekranon dan pada kolum medial dan lateral
metaphise. Fragmen distal dari fraktur akan terdorong ke arah posterior dan
proksimal, hal ini karena gaya fraktur yang diteruskan ke atas melalui tulang
lengan bawah dan disebabkan tarikan muskulus biceps, sehingga fragmen ini
akan miring ke lateral atau medial dan berotasi ke medial. Dari proyeksi
anterior, ujung distal dari fragmen proksimal akan menembus periosteum dan
mengenai muskulus brachialis dan muskulus biceps brachii. Akibatnya akan
terjadi perdarahan local dan pembengkakan. Nervus dan pembuluh darah akan
mengalami laserasi karena fragmen tulang.

2. Tipe Fleksi
Anak jatuh pada telapak tangan dengan tangan dan lengan bawah dalam posisi
pronasi dan siku dalam posisi sedikit fleksi. Kortek anterior akan mengalami
pergeseran sehingga pada fragmen distal akan ke anterior pada bidang sagital,
dan pada bidang coronal, fragmen distal akan bergeser ke lateral. Sehingga
fragmen distal pada fraktur tipe ini akan bergeser ke arah anterior dan
proksimal. jarang terjadi komplikasi neurovaskular, yaitu cedera nervus ulna
biasanya karena terkena ujung dari fragmen proksimal.
Klasifikasi
Pada prinsipnya, klasifikasi fraktur suprakondilar tipe ekstensi dibagi berdasarkan
derajat pergeseran fragmen distal terhadap fragmen proksimal.
Gartland ( 1959 ), membagi 3 Type :
I undisplaced or minimally displaced
IA : non displaced
IB : medial impaction
Pada tipe I, fraktur tanpa adanya pergeseran dari kedua fragmen, kadangkala
garis fraktur sukar dilihat pada gambaran radiologis.
II displaced with angulasi and rotation
IIA : posterior angulasi
IIB : malrotation with or without posterior angulation.
III displaced complete
IIIA : fragmen distal ke arah posteriormedial
IIIB : fragmen distal ke arah posteriorlateral

Penatalaksanaan
Pada prinsipnya mengembalikan fragmen ke posisi anatomis dan mempertahankan
kedudukan tersebut dan mencegah terjadinya komplikasi.
Sebelum dilakukan pemeriksaan radiologis, perlu dilakukan immobilisasi dengan
bidai. Pada fraktur tipe ekstensi, posisi fleksi pada siku harus dihindari karena
menyebabkan kerusakan labih lanjut dari system neurovaskular. Anggota gerak dibuat
immobilisasi degan bidai pada posisi yang mengalami deformitas, dengan posisi siku
ekstensi dan lengan bawah pronasi. Sirkulasi harus selalu dicek sebelum dan selama
melakukan tindakan reposisi. Penanganan fraktur suprakondilar tergantung tipe dari
fraktur tersebut.
Pada fraktur suprakondilar tipe ekstensi :
Tipe I
Tanpa pergeseran, immobilisasi dengan posisi siku fleksi tidak lebih dari 900. Bila
terdapat pergeseran penanganannya dengan menggunakan back slap long arm dengan
posisi siku fleksi.
Fleksi dilakukan sampai 1200 sehingga lebih stabil dan juga pada posisi ini dapat
mengurangi resiko terjadinya trauma neurovaskular karena tindakan. Untuk reposisi
tertutup perlu relaksasi yang sempurna dan hanya bisa dicapai dengan anestesi umum,
operator menarik lengan bawah sedikit fleksi 300 dan supinasi.
Fleksi 300 tersebut untuk melindungi kerusakan pembuluh darah dan saraf akibat
tegangan karena tarikan. Operator melakukan koreksi posisi pada fragmen distal. Bila
berada di medial dilakukan dorongan ke lateral agar berada satu garis dengan fragmen
proksimal, demikian juga sebaliknya. Setelah itu kedua ibu jari operator berada pada
posisi posterior fragmen distal mendorong ke anterior disertai tekanan jari – jari lain
yang berada di humerus proksimal ke dorsal, kemudian dilakukan fleksi maksimum.

Posisi dipertahankan selama 3 sampai 4 minggu, dengan pemeriksaan radiologis pada


satu minggu pertama dan minggu terakhir.

Tipe II :
Bila fraktur disertai angulasi dengan aligment yang masih bagus, lebih adekuat untuk
dilakukan tindakan minimal reposisi. Reposisi dilakukan dengan siku dalam keadaan
pronasi dan fleksi tidak lebih dari 1200,
Bila disertai rotasi dipilih percutaneus pinning. Percutaneus pinning yang digunakan
yaitu fiksasi dengan k-wire, dilakukan setelah kedudukan anatomis kedua fragmen
tercapai menghasilkan immobilisasi yang cukup bagus. Pemasangan pinning yang
paling stabil dapat dilakukan dengan cara pin yang mennyilang dari kondilus lateral
dan kondilus medial. Kontra indikasi pemasangan percutaneus pinning antara lain
oedem hebat, reposisi tertutup yang tidak tercapai, fraktur kominutuif dan fraktur
terbuka.

Tipe III :
1. reposisi
2. percutaneus pinning dengan fiksasi k-wire
3. reposisi terbuka
Reposisi terbuka atau operasi pada fraktur suprakondilar tipe ekstensi dilakukan
pada reposisi tertutup yang gagal, fraktur terbuka atau gangguan neurovaskuler.
Pada pembengkakan yang hebat akan terjadi hematom yang banyak di daerah
tersebut, maka perlu dikeluarkan sehingga penekanan terhadap neurovaskuler akan
berkurang. Kejelekan dilakukannya open reduksi antara lain terjadinya kekakuan
sendi, terjadinya myositis osifikan, iskhemik dan kerusakan pada tempat pertumbuhan
tulang dan adanya resiko infeksi.

Reposisi dikatakan berhasil bila baik secara klinis atau radiologis. Secara klinis
dikatakan baik bila :
1. sendi siku dapat fleksi maksimal, bila tidak bisa fleksi maskimal kemungkinan
sudut antara sumbu longitudinal humeri dengan kondilus belum tercapai atau
adanya interposisi jaringan lunak antara kedua fragmen.
2. setelah hiperfleksi secara hati – hati, dilakukan ekstensi dan dibandingkan
dengan sisi yang sehat.

Pemeriksaan radiologis dilakukan setelah reposisi, dengan foto posisi AP dan lateral.
Untuk posisi lateral dinilai sudut longitudinal humeri dan distal kondilar. Dinilai
apakah ada crescent sign, yang berarti terjadi kubitus varus. Pada posisi AP, dinilai
sudut bowman, sudut diaphisis – metaphisis. Bila fragmen distal terjadi rotasi tampak
gambaran fish tail.
Hasil reposisi dikatakan adekuat bila tidak terjadi angulasi ke lateral atau medial,
pergeseran ke medial atau lateral tidak lebih dari 25% dan angulasi ke posterior tidak
lebih dari 100. Perbedaan sudut bowman antara sisi yang sehat dan yang sakit tidak
lebih dari 40. Rotasi ke medial merupakan predisposisi terjadinya kubitus varus karena
akan terjadi angulasi koronal. Walaupun adanya rotasi tersebut bukan merupakan
deformitas dan rotasi lengan akan di koreksi oleh sendi bahu. Manipulasi yang
berulang sebaiknya dihindari karena akan mencederai pembuluh darah dan saraf.

Komplikasi
Pada fraktur suprakondilar tipe ekstensi komplikasi yang paling sering terjadi cedera
pembuluh darah dan saraf.
1. Cedera pada arteri brakhialis, dimana hal ini akan menyebabkan terjadinya
volkman’s iskemik. Kelainan ini akan menyebabkan nekrosis dari otot dan saraf
tanpa disertai ganggren perifer. Gejala dari volkman’s iskemi adanya pain,
pallor, hilangnya pulsus, parestesi dan paralysis.
2. Cedera saraf yang paling sering terjadi adalah cedera pada nervus radialis,
nervus median dan nervus ulna.
3. Myositis osifikans, jarang terjadi dan biasanya terjadi karena manipulasi yang
berlebihan atau terjadi pada reposisi terbuka yang terlambat dilakukan.
4. Malunion dapat merupakan komplikasi dari fraktur ini, biasanya terjadi kubitus
varus, disebabkan reposisi yang tidak adekuat.

Sedangkan pada fraktur suprakondilar tipe fleksi


1. Cedera nervus ulna merupakan komplikasi yang sering terjadi.
2. Malunion dapat juga terjadi pada fraktur ini yaitu terjadi kubitus varus.

Iskhemik Volkman  klinis 5P


1. Pulseless (denyut nadi lemah –hilang )
2. Pallor (warna biru / pucat )
3. Pain
4. Paresthesia (rasa tebal )
5. Parese atau Paralise (kekuatan otot lemah sp lumpuh)

Kontraktur Volkman
Akibat m. Fleksor digitorum profundus mati diganti jaringan fibrous.
Jari-jari posisi fleksi  Claw Hand

IV. Trauma Siku


a. Fraktur Kondilus Lateralis humeri  sangat penting
1. Pada anak masih kartilagineus  sering tak terdiagnosa pada X-ray.
Dan menyerang pusat pertuimbuhan ( epiphyseal plate)
2. menimbulkan malunion atau non union
3. Tempat Origo otot ekstensor shingga fragmen akan bergeser
4. Terjadi kerusakanepiphyseal dan fraktur intraartikuler

b. Fraktue Epikondilus Medialis humeri


Merupakan tempat origo otot fleksor.
Komplikasi  Ulanr palsy
Klasifikasi radiologis :
I. Fraktur pada satu kondilus
II. Fraktur Inter-kondiler
III. Fraktur kominutif  sering bersama fraktur suprakondiler
Terapi  non displaced , gips sirkuler 6 minggu

c. Fraktur Olekranon
Tempat insersi otot Trisep brachii, sehingga bila terjadi fraktur akan terjadi
pergeseran ke proksimal.
Klasifikasi :
I. Tanpa pergeseran  gips sirkuler
II. Dengan pergeseran  Screw atau TBW
III. Kominutif  Eksisi fragmen & melekatkan kembali otrisep pada olekranon

d. Dislokasi sendi siku


Sendi siku terdiri dari :
1. Humero-ulnaris
2. Humero-radialis
3. Radio-ulnaris
Pada trauma ini penting periksa neurovaskuler bagian distal.
Terapi  Reposisi segera
Cara : siku difleksikan, olekranon didorong kedistal, selanjutnyagipssirkuler 3
minggu
Komplikasi :
1. Trauma vaskuler
2. kekakuan sendi
3. Miositis ossifikans

V. Fraktur Antebrachii
Anatomi
Tulang radius dan ulna tidak saja sebagai penghubung lengan atas dan maupun
tangan tapi mempunyai fungsi pronasi dan supinasi dengan gerakan radius dan ulna.
Kedua tulang lengan bawah dihubungkan oleh sendi radioulna yang diperkuat oleh
ligamentum anulare yang melingkar kapitupulum radius dan di distal oleh sendi
radioulna yang diperkuat oleh ligamentum radiuulna yang mengandung fibrokartilago
triangularis. Membran interosea memperkuat hubungan ini sehingga radius dan ulna
merupakan satu kesatuan yang kuat. Oleh karena itu, patah yang hanya mengenai satu
tulang agak jarang terjadi atau bila patahnya hanya mengenai satu tulang saja hampir
selalu disertaii dislokasi sendi radioulna yang dekat dengan patah tersebut.
Selain itu, radius dan ulna dihubungkan oleh otot antar tulang yaitu musculus
supinator, musculus pronator teres, musculus pronator kuadratus yang membuat
gerakan pronasi dan supinasi. Ketiga otot itu bersama dengan otot lain yang berinsersi
dengan radius dan ulna menyebabkan patah tulang lengan bawah disertai dislokasi
angulasi dan rotasi terutama radius.
Antebrachii terdiri atas dua buah tulang parallel yang berbeda panjang bentuknya ; os
radius dan os ulna. Disebelah proksimal membentuk tiga persendian sedangkan
sebelah distal dua persendian. Tulang radius, lebih pendek daripada ulna, bentuk lebih
melengkung dan bersendi dengan os ulna pada bagian proksimal dan distal “radio-
ulnar joint” yang bersifat rotator. Antara kedua tulang ini juga dihubungkan oleh
membran interroseus, suatu jaringan fibrous yang berjalan abliq dari ulna ke radius.
Membran ini berfungsi merotasikan tulang radius terhadap os ulna, yang
menghasilkan gerakan pada lengan bawah
Muskuli antebrachii dapat dikelompokan menjadi :
a. Kompartemen anterior di isi oleh muskuli fleksor
b. kompartemen posterior di isi oleh muskuli ekstensor.
Beberapa muskuli ada yang berperan dominan dalam mempertahankan posisi dan
gerakan sendi lengan bawah dan tangan (elbow and wrist joint). Muskulus tersebut
adalah :

No Fungsi Muskulus
1 Fleksor elbow m. brachialis, m. Biceps, m. Brachioradialis
2 Ekstensor elbow m. triceps, m. Anconeus
3 Supinator elbow m. supinator, m. Biceps
4 Pronator elbow m. pronator teres, m. Pronator guadratus
5 Fleksor pergelangan m. fleksor carpi radialis, m. Fleksor carpi ulnaris
tangan
6 Ekstensor m. ekstensor carpi radialis longus dan brevis,
pergelangan tangan m. Ekstensor carpi ulnaris

Aliran darah regio antebrachii merupakan lanjutan dari a brachialis, yang bercabang
menjadi a radialis dan a ulnaris setinggi caput os radii. Sedangkan persyarafan
antebrachii berasal dari tiga nervus, n radialis, n ulnaris, n medianus.
Terapi manipulasi Fraktur antebrachii
• Bila garis fraktur di proksimal  dilakukan gips posisi supinasi
• Bila garis fraktur di tengah  Gips posisi netral
• Bila garis fraktur di distal  Gips posisi pronasi

a. Fraktur Monteggia
Fraktur Ulna 1/3 proksimal / tengah dengan dislokasi kaput radii antrior /
posterior
Pemeriksaan penting pada saraf radialis dan olekranon

b. Fraktur Galeazzi
Fraktur Radius 1/3 distal / tengah disertai subluksasio sendi radiuulnaris.
Jenis fraktur ini biasanya tidak stabil artinya penangananya dilakukan operasi.
Untuk menjaga panjang antomi tulang radius.
c. Fraktur antebrachii distal
Anatomi, Fisiologi dan Mekanisme :
Lengan bawah mempunyai dua tulang, yang radius dan ulna yang ke distal
berakhir dan membentuk persendian radioulnaris distal dan persendian dengan
tulang carpalia. Stabilitas persediaan ini dipertahankan oleh 5 struktur :
1. ligamentum radio – ulnaris volaris
2. ligamentum radio – ulnaris dorsalis
3. tendon m. extensor carpi ulnaris dalam “fibro osseus tunnelnya”
4. fibro – cartilage disc.
5. ligamentum collateralis ulnaris.
Tulang radius ke arah distal membentuk permukaan yang lebar sampai
persendian dengan tulang carpalia. Dan peralihan antara dense cortex dan
cancellous bone pada bagian distal merupakan bagian yang sangat lemah dan
mudah terjadi fraktur. Penting sekali diketahuii kedudukan anatomis yang
normal dari pergelangan tangan, terutama posisi dari ujung distal radius.
Perlu diperhatikan 3 ukuran yang utama :
1. Radial height : Yaitu jarak proccesus styloideus radii terhadap ulna.
Diukur dari jarak antara garis horizontal yang ditarik melalui ujung
procesus styloideus radii dan melalui ujung distal ulna. Ukuran normalnya
kira-kira 1 cm.
2. Derajat “ulna tilt” atau “ulna deviation” dari permukaan sendi ujung
distal radius pada posisi anterior posterior. Normal, permukaan sendi ini
letaknya miring menghadap ke ulnar. Derajat miringnya diukur dari
besarnya sudut antara garis horizontall yang tegak lurus pada sumbu
radius dan garis yang sesuai dengan permukaan sendi. Normal : 15 – 30
derajat, rata-rata 23 derajat.
3. Derajat “volar tilt” (volar deviation) dari permukaan sendi radius pada
posisi lateral. Normal : permukaan sendi ini miring menghadap kebawah
dan kedepan. Besarnya diukur dengan sudut antara garis horizontal tegak
lurus sumbu radius dan garis yang sesuai dengan permukaan sendi.
Normal : 1 – 23 derajat, rata-rata 11 derajat.
Alat-alat gerak yang meliputi ini ialah :
▪ Posterior :
Berbentuk cembung dan terdapat sekumpulan tendon/otot extensor yang
mempunyai fungsi ekstensi.
▪ Anterior :
Berbentuk cekung dan terdapat sekumpulan tendon/otot fleksor yang
mempunyai fungsi fleksi lengan bawah dan tangan. Dan pada bagian dalam ada:
m. pronator quadratus yang berjalan menyilang dan berfungsi terutama untuk
pronasi.
• Lateral :
Tampak m. supinator longus yang mempunyai insersi pada procesus. styloideus
radii yang mempunyai fungsi utama sebagai supinasi.

Fisiologi dan mekanisme terjadinya fraktur :


▪ Biasanya disebabkan karena trauma langsung, atau sebagai akibat jatuh dimana
sisi dorsal lengan bawah menyangga berat badan.
▪ Secara ilmu gaya dapat diterangkan sebagai berikut :
Trauma langsung dimana lengan bawah dalam posisi supinasi penuh yang
terkunci dan berat badan waktu jatuh memutar pronasi pada bagian proximal
dengan tangan relatif terfixir pada tanah. Putaran tersebut merupakan
kombinasi tekanan yang kuat dan berat, akan memberikan mekanisme yang
ideal dari penyebab fraktur Smith.
▪ Trauma lain diduga disebabkan karena tekanan yang mendadak pada dorsum
manus, dimana posisi tangan sedang mengepal. Ini biasanya didapatkan pada
penderita yang mengendarai sepeda yang mengalamii trauma langsung pada
dorsum manus.

1. Fraktur Colles
Fraktur Colles paling sering ditemukan pada orang dewasa usia lanjut, dengan
insidensi yang tinggi berhubungan dengan permulaan osteoporosis pasca
menopause,oleh sebab itu pasien biasanya wanita dengan riwayat jatuh dengan
tangan terentang. Burkhaeta (1985) mengatakan pada saat memikirkan fraktur
pada ekstremitas atas pada usia lanjut maka segera terpikirkan pertama kali
adalah fraktur Colles.
Patah tulang antebrachii sering terjadi pada bagian distal yang umumnya
disebabkan oleh gaya pematah langsung sewaktu jatuh dengan posisi tangan
hiperekstensi. Hal ini dapat diterangkan oleh karena adanya mekanisme refleks
jatuh di mana lengan menahan badan dengan posisi siku agak menekuk seperti
gaya jatuhnya atlit atau penerjun payung.
Fraktur Colles adalah fraktur pada tulang radius berjarak kurang atau sama
dengan 2,5 cm dari pergelangan tangan (Mc Rae, 1992), Apley dan Solomon,
1987.
Sheikh dan Murthy (2000), memberi batasan sebagai fraktur metafisis distal
radius, biasanya terjadi pada 3 – 4 cm dari facies artikularis dengan angulasi
volar dari apex fraktur (deformitas garpu perak), pergeseran ke dorsal dari
fragmen distal dengan diikuti pemendekan (shortening) radial. Keadaan ini dapat
atau tidak disertai fraktur styloideus ulnae. Variasi intraartikular dapat
melibatkan facies artikularis distal radius serta artikulatio radiocarpea dan
radioulnaris.
Fraktur Colles diuraikan pertama kali oleh Abraham Colles tahun 1814 sebagai
fraktur dislokasi ujung distal radius berjarak satu setengah inci dari sendi, yang
ternyata terbukti kebenarannya dengan perkembangan radiolografi (Pool, 1973).

Anatomi, Fisiologi dan Mekanisme Trauma


Radius bagian distal bersendi dengan tulang karpus yaitu tulang lunatum dan
navikulare ke arah distal, dan dengan tulang ulna bagian distal ke arah medial.
Bagian distal sendi radiokarpal kolateral ulnar dan radial. Antara radius dan
ulna selain terdapat ligamentum dan kapsulal yang memperkuat hubungan
tersebut, terdapat pula diskus artikularis yang melekat pada semacam meniskus
yang berbentuk segitiga, yang melekat pada ligamentum koleteral ulnar.
Ligamentum kolateral ulnar bersama dengan meniskus homolognya dan diskus
artikularis bersama ligamentum radioulnar dorsal dan volar, yang kesemuanya
menghubungkan radius dan ulna, disebut Triangular fibro cartilage complex
(TFCC) (Sjamsuhidajat, 1997), berguna untuk menstabilkan artikulatio
radioulnaris distal (Zabinski dan Weiland, 1999). Gerakan pergelangan tangan
sangatlah luas (mobile) dan kemampuannya mencapai 160° untuk fleksi dan
ekstensi dan 180° untuk rotasi lengan bawah. Kurang dari 80% dari transmisi
beban melaluii pergelangan tangan lewat artikulatio radiocarpal sementara 20%
sisanya melalui artikulatio ulnocarpal lewat Triangular fibro cartilage complex.
(Zabinski dan Weiland, 1999).
Fraktur Colles terjadi pada penderita dengan riwayat jatuh dengan tangan
terentang (Apley dan Solomon, 1987). Trauma yang terjadii merupakan trauma
langsung yaitu jatuh pada permukaan tangan sebelah volar menyebabkan
dislokasi fragmen fraktur sebelah distal ke arah dorsal. Dislokasi ini
menyebabkan bentuk lengan bawah dan tangan bila dilihat dari samping
menyerupai garpu terbalik.

Diagnosis Fraktur Colles :


Diagnosis fraktur Colles ditegakkan dengan pemeriksaan klinis dan radiologis.
Kita dapat mengenal fraktur ini dengan adanya deformitas dinner fork seperti
telah disebutkan diatas, dengan penonjolan pada punggung pergelangan tangan
(ke arah dorsal) dan depresi di depan. Pada pasien dengan sedikit deformitas
mungkin hanya terdapat nyeri tekan lokal dan nyeri bila pergelangan tangan
digerakkan
Dari pemeriksaan radiologis posisi anteroposterior dan lateral dapat dijumpai
suatu fraktur transversal pada tulang radius kurang dari 2,5 cm dari
pergelangan tangan, dan sering disertai patahnya processus stiloideus ulnae.
Fragmen distal (1) bergeser dan miring ke dorsal (2) bergeser dan miring ke
radial, dan (3) terimpaksi. Kadang-kadang fragmen distal mengalami kerusakan
dan kominutif yang hebat.

Klasifikasi :
Gertland dan Werley cit Zabinski dan Weiland (1999), mula-mula membagi
trauma distal radius ke dalam fraktur ekstra artikular dan intraartikular.
Kebanyakan klasifikasi fraktur dibuat berdasarkan anatomii fraktur. Klasifikasi
Frykman didasarkan pada keterlibatan artikulatio radiokarpal dan atau
radioulnar serta ada tidaknya fraktur styloideus ulnae.

Klasifikasi Fraktur Colles menurut Frykman


Tipe Uraian
I : Fraktur radius ekstra artikuler
II : Fraktur radius ekstra artikuler dengan fraktur ulna
III : Fraktur radius intra artikuler melibatkan sendi radiokarpal
IV : Fraktur radius intra artikuler melibatkan sendi radiokarpal disertai
fraktur ulna distal.
V : Fraktur radius intra artikuler melibatkan sendi radioulnaris distal
VI : Fraktur radius intra artikuler melibatkan sendi radioulnaris distal
disertai Fraktur ulna distal
VII : Fraktur radius intra artikuler melibatkan sendi radiokarpal dan
radio ulnaris distal.
VIII : Fraktur sendi radiokarpal dan radioulnaris distal disertai fragmen
ulnaris
Klasifikasi anatomi yang paling komprehensif dan lengkap adalah sistem AO
(Zabinski dan Weiland, 1999). Sistem ini membagi trauma menjadi tipe A (ekstra
artikuler), tipe B (artikular simpel) dan tipe C (artikuler komplek).
Lidstrom cit Roysam (1993), berdasarkan gambaran radiologis membagi fraktur
Colles kedalam empat tingkatan derajat keparahan pergeseran fragmen fraktur
(derajat anatomis) dan kualitas reduksi yaitu derajat I, II, III dan IV sesuai
beratnya deformitas meliputi angulasi ke dorsal dan pemendekan (shortening)
tulang radius )

Derajat Keparahan Fraktur Colles Menurut Lidstrom.


Derajat Deformitas
I. Tidak ada atau tidak bermakna. Angulasi dorsal < 0° atau
shortening < 3 mm
II. Ringan, Angulasi dorsal 1 – 10° dan / atau shortening 3 – 6
mm
III. Sedang, Angulasi dorsal 11 – 14° dan / atau shortening 7 – 11
mm
IV. Berat, Angulasi dorsal > 15° atau shortening > 11 mm.
Penanganan Fraktur Colles :
Penanganan fraktur Colles umumnya dilakukan rawat jalan yaitu setelah
terdiagnosis diberikan tindakan reposisi tertutup. Bila tidak ada pergeseran,
cukup di imobilisasi dengan gip bawah siku. Bila terjadii pergeseran atau sedikit
pergeseran perlu tindakan reposisi dengan anestesi lokal, regional atau umum,
kemudian dilakukan gip bawah siku dengan posisi fragmen distal fleksi dan
pronasi. Pada hari berikutnya anggota gerak atas elevasi. Adapun jari-jari
sesegera mungkin melakukan latihan. Seminggu kemudian dilakukan
pemotretan dengan sinar X kontrol untuk menilai apakah terjadi pergeseran
kembali (redisplacement). (Armis, 1994).
Imobilisasi dengan gip bertujuan mencegah pergeseran kembali fragmen fraktur
paska reposisi. Sebagai tulang kanselus, maka penyembuhan tulang radius distal
diperkirakan tuntas kurang lebih 6 minggu dari saat terjadinya trauma. Oleh
sebab itu pada fraktur Colles gip dapat dilepas umumnya 5 – 6 minggu (Mc Rae,
1992; Apley dan Solomon, 1987; Gartland dan Werley, 1951).
Mengenai imobilisasi gip bawah siku atau atas siku masih terdapat perbedaan
pandangan. Apley dan Solomon (1987), serta Mc. Rae (1992), menyatakan
penanganan fraktur Colles cukup dengan gip bawah siku sedangkan ahli lain
menyatakan harus dengan gip atas siku (Way, 1994). Sheikh dan Murthy (2000)
menganjurkan imobilisasi kombinasi yaitu gip atas siku pada minggu-minggu
awal dilanjutkan gip bawah siku kecuali pada penderita di atas 60 tahun harus
dipasang gip bawah siku untuk mencegah kekakuan sendi siku.

2. Fraktur Smith
Fraktur Smith adalah fraktur dari radius bagian distal yang lokasinya ½ - 1 inch
dari ujung distal radius dengan pergeseran fragmen distal ke depan (volar) dan
ke atas disertai pergeseran ulna bagian distallke belakang (dorsal).
Robert William Smith di Dublin (1847) mengatakan bahwa fraktur jenis ini
jarang terjadii dan merupakan lawan dari fraktur Colles. John Rhea Barton di
Philadelpia (1838), mengemukakan bahwa faktur Barton adalah: fraktur anterior
dan posterior dengan dislokasi pergelangan tangan. Fraktur Colles adalah
fraktur posterior dengan dislokasi pergelangan tangan. Dan fraktur anterior
dengan dislokasi pergelangan tangan inii disebut sebagai salah satu tipe dari
fraktur Smith.
Thomas (1957), mencoba membagi fraktur Smith ini menjadi 3 tipe dan fraktur
barton jenis anterior dengan dislokasi pergelangan tangan salah satu tipe dari
fraktur Smith.

Pembagian fraktur Smith secara klinis dan radiologi :


I fraktur Smith yang comminutive dan oblique
II fraktur Barton, yang disebut anterior fraktur tipe fleksi marginal i dengan
dislokasi pergelangan tangan.
III fraktur transversal yang disebut juga fraktur radius bagian distall yang tidak
dengan tipe fleksi kominutif.

Penatalaksanaan
• Konservatif :
 Mills (1957), telah menganjurkan cara manipulasi dari fraktur Smith
dengan mengembalikan arah persendian seperti semula. Mills dan
Thomas menyarankan cara mengunci fragmen pada tempatnya dengan
posisii supinasi penuh. Imobilisasi dengan sirkuler gips diatas siku selama
5 – 6 minggu.
 Plewer (1962), menganjurkan untuk mobilisasi setelah gips dibuka supaya
cepat, sebab kalau kurang aktif akan mengakibatkan pergerakan pronasi
yang terbatas dan terjadi kekakuan sendi tangan dan siku.
 De Palma menganjurkan sebagai berikut
1. Type I : Fraktur Smith dengan comminutive yang oblique dilakukan
reduksii dengan traksi, manipulasi dan transfiksasi dengan pin.
2. Type II : Fraktur Barton atau disebut pula fraktur marginal anterior
tipe fleksi.
▪ Disini dilakukan reduksi dengan traksi dan menipulasi dengan
anestesi umum.
▪ Penderita tidur telentang dan posisi siku tegak lurus, lengan
bawah pada posisi pertengahan (mid position).
▪ Dilakukan traksi dengan alat Weinberg pada jari-jari diatas siku
yang diikatkan ke bawah meja.
▪ Selama traksi, dengan dua tangan diletakkan pada
pergelangan tangan, lalu pergelangan tangan diletakkan dalam
posisi dorsoflexi ringan dan lengan bawah dalam mid position,
kemudian dipasang circuler gips dari bawah siku sampai
tangan setinggi persendian metacarpo-phalangeal.
▪ Sesudah itu alat traksi dilepas. Kontrol foto AP dan Lateral
untuk melihat kedudukan tulang tersebut.
3. Type III : Fraktur Smith yang non comminutive, tipe fleksi :
▪ Disini juga dilakukan reduksi dengan traksi dan manipulasi
dengan anestesi umum dan lengan bawah posisi supinasi.
▪ Penderita tidur terlentang dan posisi siku tegak lurus lalu
dilakukan traksi dengan alat Weinberg pada jari-jari diatas siku
yang diikatkan di bawah meja.
▪ Dengan dua tangan dimana jari-jari II – V diletakkan pada
fragmen proximal sebelah dorsal dan dua ibu jari menekan ke
atas dan ke belakang pada fragmen yang distal sampai
pergelangan tangan dalam posisi dorsofleksi dan deviasi
kearah ulnar.
▪ Lalu dipasang sirkuler gip dari bawah siku ke distal sampai
setinggii persendian metacarpo – phalangeal dan kemudian
alat traksi dilepas. Sesudah reposisi, dilakukan :
▪ Kontrol foto, bila kedudukan jelek, reposisi lagi.

• Operatif :
Cauchoix, Dupare dan Potel (1960), Menganjurkan pengobatan fraktur
Smith dengan fiksasi dalam (internal fixation) dengan memakai plat kecil
berbentuk T (Ellis plate) dimana dua sekrup dipasang pada fragmen
proximal sedangkan fragmen distall ditahan dengan kuat tanpa memakai
sekrup.
tehnik operasi yang dianjurkan adalah sebagai berikut :
▪ Incisi vertikal melalui sisi radial arah volar dari lengan bawah
bagian distal dan incisi diperdalam sampai m. pronator quadratus
antara m. flexor carpi radialis pada sisi lateral dan m. palmaris longus
dan medianus pada sisi medial.
▪ M. flexor pollicis longus ditarik ke lateral dan tendon m. flexor
digitorum sublimis ke medial, dan m. pronator quadratus tampak pada
sisi inferior dari tulang radius bagian bawah.
▪ Fraktur diperbaiki dengan plat kecil, menyudut untuk
menyesuaikan dengan permukaan dari tulang, lalu dipasang
sekrup pada fragmen proximal 2 buah dan pada fragmen yang
distal plat tanpa sekrup berguna untuk menyangga yang kuat dari
fragmen yang telah dilakukan reposisi.
▪ Akhir-akhir ini plat berbentuk T yang kecil telah tersedia, dimana
pada fragmen tulang yang proximal dengan 2 sekrup pada bagian
vertikal.
▪ Lalu luka operasi ditutup lapis demi lapis sampai kulit dan
dipasang bebat tekan.
▪ Mobilisasi jari-jari dimulai sejak hari pertama dan pergerakan
pergelangan tangan, lengan bawah dimulai segera setelah bebab
tekan dilepas.

Keuntungan :
▪ Hasilnya cukup memuaskan.
▪ Sesudah operasi pergerakan dapat dilakukan dengan segera tanpa
terjadi redisplacement dari fragmen yang mengalami fraktur.
▪ Diantara ke 3 tipe dari fraktur Smith, tipe Barton adalah yang paling
memuaskan pada pengobatan dengan cara operasi ini, juga pada
tipe yang lain cukup memuaskan.

Komplikasi :
a. Kerusakan jaringan lunak : Yang penting disini adalah kerusakan n.
medianus karena tekanan dari fragmen radius yang fraktur.
b. Malunion : Karena reposisi dan immbolisasi yang kurang baik.
c. Non union :
d. Osteoarthritis
e. Gangguan pronasi dan supinasi

3. Fraktur radius sepertiga distal


Fraktur radius saja biasanya terjadi akibat suatu trauma langsung dan sering
terjadi pada bagian proksimal radius. Fragmen fraktur akan terdislokasi. Dan
fraktur ini sulit direposisi secara tertutup atau akan mengalami redislokasi bila
reposisi berhasil, oleh karena itu dianjurkan reposisi terbuka dan biasanya
dipasang fiksasi interna dengan jenis plat jenis kompresi

4. Fraktur ulna sepertiga distal


Fraktur ulna biasanya disebabkan oleh trauma langsung misalnya menangkis
pukulan dengan lengan bawah relatif sering terjadi fraktur yang tidak berubah
posisinya. Pengobatan biasanya dengan pemasangan gips, kadang juga terjadi
fraktur yang terdislokasi dalam hal ini harus diteliti. Apakah ada juga fraktur
tulang radius atau dislokasi sendi radioulnar. Pada fraktur yang kominutif dapat
terjadi pergeseran lambat atau pseudoartrosis ini memerlukan tindakan operatif.

5. Fraktur radius distalis pada anak


Fraktur radius distalis pada anak sering juga disebut juvenile colles fracture
Pembagian fraktur daerah ini sesuai dengan klasifikasi Salter-Harris

Type 1. Grs. Fraktur melewati epifisial plate seperti Slippe femoral epiphysis
Type 2. Grs fraktur melewati epifisial plate kemudian sebagian berlanjut ke
metafisis
Type 3. Grs. Fraktur dari permukaan sendi ke proximal kemudian berlanjut
ke epifisial plate (intra artikuler)
Type 4. Grs Fraktur dari permukaan sendi ke proximal yang berakhir di
metafisis (intra artikuler)
Type 5. kerusakan dari sebagian epifisial plate akibat gaya trauma kompresi

Diagnosis.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis pemeriksaan klinis dan radiologis
anterior posterior dan lateral.
Penanganannya  Dengan gips selama 4 minggu

Fraktur Antebrachii Proksimal


NO Klasifikasi Pengelolaan
1 Klas A. Fiksasi dengan “long arm cast”, posisi elbow
Fraktur Olekranon 50˚ - 90˚ dan antebrachii posisi netral. Fiksasi
selama 6 – 8 minggu. Altyernatif lain yaitu
IA. Tranversal non-displace fiksasi dengan : posterior long arm splint
IB. Kominutif non-displace dengan sendi elbow 90˚.
Fiksasi interna (ORIF). Pengelolaan awal
IIA. Tranversal displace sebelumnya dengan pemasangan splint
IIB. Kominutif displace dengan posisi fleksi 90˚
IIC. Avulsi Displace
IID. Olecranon+Separasi epifis

2 Klas B. Jika < ⅓ dari permukaan sendi dan displace <


Fr caput dan Colum radii 1 mm, difikasi dengan “long arm
cast/posterior long arm splint”
IA. Dengan tepi non-displace Jika angulasi < 30˚, terapi konservatif dengan
IB. Tanpa Angulasi Colum fiksasi interna.
Radii Displace < ⅓ permukaan sendi dilakukan
IC Fraktur Komunitif Caput “long arm cast”. Displace >⅓ permukaan
Radii sendi dan dipresi >3 mm di lakukan fiksasi
interna
IIA. Fraktur Displace Jika ada angulasi > 30˚ atau fraktur komunitif
IIB. Displace+Depresi Caput dilakukan fiksasi interna.
Radii
IIC. Fraktur Komunitif

3 Klas B. Angulasi <15˚ difikasi dengan “Posterior long


Fr Caput dan Colum arm splint”
Radii/Epifisis Pada Anak Angulasi > 15˚ dengan “long arm cast”
dengan anestesi umum. Angulasi > 60˚
I. Tanpa Angulasi dilakukan reduksi terbuka
II. Dengan Angulasi

4 Klas C. Fiksasi dengan “posterior long arm splint”


Fr Prosesus Coronoid dan posisi elbow 90˚ serta supinasi atebrachii.
Fiksasi interna
IA. Fragmen kecil
IB. Displace minimal
IC. Displace
ID. Displace dg posterior
dislokasi

Fraktur Shaft Antebrachii


NO Klasifikasi Pengelolaan
1 Klas A. Fiksasi dengan “long arm
Fraktur Radii cast/anteroposterior splint”. Posisi elbow 90˚
dan antebrachii supinasi.
IA. Proksimal non Displace Fiksasi interna
IB. ⅓ proksimal non displace Masih kontroversi karena letaknya yang
IC. 1/5 proksimal non-Displace sempit.
Fiksasi dengan “long arm cast/anteropasterior
IIA. Midshaft non displace splint” posisi elbow 90˚ dan antebrachii
IIB. Midshaft displace supinasi.
Fiksasi dengan “long arm cast/anteropsterior
IIIA. ⅓ distal displace dan splint”. Posisi elbow 90˚ dan antebrachii
fraktur Galeazzi moderat supinasi
Fiksasi interna
Fraktur biasanya disertai sublukasi radioulna
distal.
Fiksasi interna

2 Klas B. Fiksasi dengan “long arm cast”. Posisi elbow


Fraktur Ulna 90˚ dan antebrachii netral. Untuk fraktur ulna
⅓ proksimal disarankan untuk fiksasi interna.
I. Non-Displace. Fiksasi interna
II. Displace Fiksasi interna
III. Fraktur Monteggia 60 percen
IIIA.Fraktur ulna dengan 15 percen
dislokasi anterior caput radii 20 percen
IIIB.Fraktur ulna dengan 5 percen
dislokasi lateral caput radii
IIIC.fraktur ulna dengan
dislokasi anterolateral caput
radii
IIID.Fraktur ulna dan radii
dengan dislokasi anterior caput
radii

3 Klas C. Fraktur ini sangat jarang. Fiksasi dengan


Fraktur Radii dan Ulna “long arm cast/anteroposterior splint” posisi
elbow 90˚ dan antebrachii netral.
IA. Non-displace Reduksi tertutup dapat dilakukan dengan
IB. Non-angulasi hasil biasanya kurang memuaskan.
IIA. displace Fiksasi dengan “long arm cast” 4-6 minggu
IIB. displace + shortening Angulasi <15˚ fiksasi dengan “long arm cast”
IIC. komunitif Fiksasi interna
IIIA. Torus
IIIB. greenstick
IV. Fraktur ⅓ posterior dan
dislokasi anterior caput radii

EKSTREMITAS INFERIOR
Anatomy of the lower Extremity

IV. Fraktur Pelvis


Cincin pelvis dibentuk oleh : Os Ileum kanan kiri, Os Sacrum (belakang), dan Os Pubis
kanan kiri.
Fraktur pelvis ditimbulkan uleh trauma yang hebat kecuali pada wanita tua dengan
osteoporosis . Bila terjadi trauma daerah pelvis jangan lupa evaluasi vesika urinaria,
urethra, rektum, anus, pembuluh darah besar dan gangguan neurologis (pleksus
lumbalis, pleksus sacralis)

Klasifikasi TILE dan PENNAL (1980)


A : Stabil
A1 : Fraktur isolated tanpa fraktur cincin pelvis
A2 : Fraktur cincin pelvis tanpa pergeseran

A1: Avulsion A2: Non-displaced A3: Transverse sacral or


fracture pelvic ring fracture coccyx fractures

B : Rotasi (tidak stabil) dan Vertikal (stabil)


B1 : Open book
Stage 1 Symphisiolisis < 2,5 cm  bed rest
Stage 2 Symphisiolisis > 2,5 cm  OREF
Stage 3 Bilateral Lessio  OREF
B2 : Kompresi lateral / ipsilateral
B3 : Kompresi lateral / kontralateral (bucker handle)  OREF

B1: Stage 1 B1: Stage 2 B1: Stage 3


Symphysis pubis Symphysis pubis Symphysis pubis
disruption < than disruption > 2.5 cm disruption > 2.5 cm with
2.5 cm bilateral post ring injury

B2: lateral compression injury B3: lateral compression


(ipsilateral) (contralateral / Buckle Handle)

C : Rotasi dan vertikal (tidak stabil)


C1 : Unilateral
C2: : Bilateral
C3 : dengan fraktur asetabulum

C1: Ipsilateral C2: Bilateral C3: Any pelvic fracture with an


anterior and hemipelvic associated acetabular fracture
posterior pelvic disruption
injuries

Management :
 Evaluasi A, B, C
Syok akibat perdarahan , infus dan transfusi 4-6 U (24-36 jam pertama) 
perdarahan tetap transfusi 10-12 U (24-36 jam pertama)  perdarahan hebat
lakukan laparotomi dan repair  pikirkan artrografi.
 Konservatif  Istirahat sampai nyeri hilang  tipe A
Pelvik sling  tipe B stage 2
 Operatif  Hentikan perdarahan, Stabilkan fraktur  tipe C, Cytostomi, Repair
arteri

II. Fraktur Astabulum


Klasifikasi Apley dan Solomon 1993 :
I. Pilar anterior
II. Posterior
III. Transversal
IV. Komposit

I II III IV
Dislokasi posterior sendi kokse ( dasboard Injury / Putri malu : terdiri dari Fleksi,
adduksi, internal rotasi dan Shortening

Klasifikasi radiologis, Epstein 1973 Dislokasi Coxae :


I : tanpa fraktur  skin traksi, hemispika (3 minggU0
II : dengan fraktur segmen
III : dengan fraktur comminutif bibir asetabulum
IV : fraktur dasar asetabulum
V : dislokasi posterior dengan fraktur head femur

Komplikasi ;
1. Trauma saraf skiatika
2. Osteoarthritis
3. Nekrosis avaskuler kaput femoris

II. Fraktur Femur


Anatomi

Klasifikasi
A. Menurut AO dibagi menjadi :
I. Proksimal / Hip fraktur
a. Fraktur Caput femoris
b. Fraktur Collum femoris
c. Fraktur Intertrochanterica
d. Fraktur Subtrochanterica
II. Diafise
III. Distal
a. Fraktur Supracondylar
b. Fraktur Intercondyler
B. Berdasarkan hubungan thd kapsul :
I. Ekstra kapsuler
II. Intra kapsuler

C. Menurut Garis Fraktur dibagi :


I. Subcapital
II. Transcervical
III. Basiccervical
D. Berdasarkan radiologist dibagi menjadi
Pauwel  berdasarkan Sudut Fraktur dibagi 3 Type :
I. 30 derajat
II. 50 derajat
III. 70 derajat

E. Garden (1961)  berdasarkan derajat displaced 4 type :


I. Incomplete impacted  skin traksi sampai nyeri hilang
II. Complete Undisplaced
III. Partially displaced  ORIF untuk pertahankan hidup dan fungsi
IV. Total displaced

Grade I Grade II Grade III Grade IV

Evan’s Classification
III. Hip Fraktur / Caput femur
HIP adalah batas antara pelvis dengan ekstremitas bawah, sedang HIP JOINT
dibentuk dari caput femoris dan acetabulum

Os Femur dibagi menjadi :


 Head of Femur  mengabsorbsi berat badan & mendistribusikan ke batang femur
 Neck of Femur  penyangga ketika berdiri
 Shaft of Femur  batang femur

Ligamentum yang memperkuat HIP :


1. Ligamentum Teres  membatasi adduksi danrotasi yang berlebihan
2. Ligamentum orbicularis  mencegah caput femoris bergeser kelateral
3. Ligamentum Iliofemoralis
4. Ligamentum Ischiofemoralis
5. Ligamentum Pubocapsulare  menghambat abduksi daneksorotasi

Fraktur caput femur dibagi menjadi :


1. Intrakapsuler
Pada fraktur ini akan merusak vaskularisasi dan akan terjadi non union.
Terapi
usia muda  screw, nailing
Usia lanjut  AMP, jika undisplaced dengan ORIF

2. Ekstrakapsuler
Pada frakur ini akan tidak merusak vaskularisasi sehingga nekrosis vaskuler tidak
terjadi. Sering pada wanita usia lanjut akibat osteoporosis
Terapi :
Usia muda  screw and plate, angle palte, condyler plate
Usia lanjut  ORIF, bila menolak skintraksi sampai nyeri hilang

Fraktur Collum Femur/Neck Femur


Adalah fraktur mengenai proksimal dari garis intertrochanter pada regio intrakapuler
dari sendi koksea. Collum femur terdiri dari tulang Cancellus.

Vaskularisasi Caput femoris berasal dari :


1. a. Retinakularis  Berjalan melalui kapsul bagian posterior
2. a. Medularis  collum femur
3. a. Sentralis / a. Teres capitis

Berjalan melalui Ligamentum Teres. Arteri ini dominan pada anak-anak , dan pada
orang tua akan mengalami resolusi, artinya jika terjadi fraktur maka nutrisi kaput
femoris terganggu terjadi nekrosis avaskuler
Pada fraktur collum femur akan merusak ketiga vaskularisasi diatas.
Pada fraktur Collum femur (Intrakapsuler) mempunyai resiko tinggi terjadi Non union
dan avaskuler nekrosis karena :
1. Gangguan aliran darah ke kaput femoris karena vaskularisasi minimal
2. Daerah ini tidak ada periosteum sehingga penyembuhan melalui endosteum
3. Daerah ini terdapat cairan sinovial yang menghancurkan bekuan2 fibrin
sehingga memperlambat penyembuhan fraktur
Insiden fraktur collum femur lebih banyak pada wanita daripada lak-laki, karena ada
hubungan dengan penurunan kadar estrogen yang menyebabkan osteoporosis. Pada
fraktur collum seslalu terjadi displaced upward dan downward terhadap caput femur,
dimana menyebabkan rotasi eksternal dan pemendekan kaki (shortening). Jika klinis
curiga fraktur, radiologi tidak terlihat lakukan pemeriksaan Bone scanning dan untuk
melihat displaced secara jelas dengan MRI

Terapi :
Operatif  Displaced
 Usia muda ; ORIF
 Usia tua  kualitas tulang baik : Orif  Kualitas tulang jelek : Uni / bipoler
hemiarthroplasty

Femoral Neck Region Intertrochanteric Area Subtrochanteric


Area

Russell – Taylor Classification

Fraktur Shaft Femur


Pada fraktur ini akan terjadi pemendekan tungkai dan ekstensi akibat tarikan m.
Gluteus dan m. Illiopsos.

OTA Classifications of Femoral Shaft Fractures


Simple A1:spiral A2: oblique A3: transverse
fracture

Wedge B1:spiral B2: bending B3: fragmented


fracture

Complex C1:spiral C2: segmental C3: irregular


fracture

Klasifikasi Winguist – Hansen :


0 : Non communitih (transversal, oblique, spiral)
1 : Small fragmen
2 : Large fragment < 50% cortex
3 : Large fragment > 50% cortex
4 : Communitif, tidak ada kontak fragment distal dan proksimal
Indikasi operasi fraktur shaft femur pada anak :
 Open fraktur
 Neurovaskuler injury
 Multiple injuri

Fraktur Suprakondyler Femur


Adalah fraktur yang terjadi di proksimal kondilus atau antara diafise distalisdan diatas
permukaan artikularis condylus atau berlokasi didaerah metafise. Bila disertai fraktur
kruris proksimal disebut ’’ Floating knee ’’. Imobilisasi dengan gips posisi fleksi agar
m. Gastrocnemius relaksasi. Pemeriksaan NVD sangat penting  trauma a. Poplitea.
Klasifikasi OA / ASIF :
A : Ekstra-artikuler
B : Intra-articuler uncomminutif
C : Communitif fracture
Terapi :
 Konservatif
Knee fleksi 300, Sekeletal traksi tibia proksimal 5-10 kg (4-6 minggu)  klinikal
union (+)  cast brace
 Operasi  Orif Condyler plate
AO Classification Supracondyler Fracture

Klasifikasi Intercondyler Fractur :


I : Undisplaced T or Y
IIa : T or Y medial displaced
IIb : T or Y lateral displaced
III : comminutif

Fraktur Hoffa adalah fraktur kondylus femoris akibat trauma langsung pada lutut
dalam posisi fleksi sehingga permukaan sendi pada condylus tersebut pecah,
merupakan bagian dari fraktur distal femur. Fragmen distal fraktur tersebut dapat
mengalami pergeseran (displaced) atau tidak sama sekali (undisplaced).
Fraktur Hoffa dibagi menurut implikasi prognosisnya menjadi 3 tipe yaitu
I. Garis fraktur intra artikuler yang menjalar ke daerah suprakondilaris femoris
dengan beberapa jaringan lunak masih melekat pada fragmen distal .
II. Fraktur intra artikularis tanpa ada perlekatan jaringan lunak pada fragmen
distal
III. Garis fraktur sedikit ke anterior dan ke proksimal dari kondilus demoris dengan
perlekatan jaringan lunak serta ligamentum pada fragmen distal.
Hoffa adalah seorang pengarang buku “ Lehrbuch der Frakturen und Luxationen “
pada tahun 1904 . Dialah orang pertama yang menulis tentang fraktur yang terjadi di
kondilus femoris pada daerah posterior. Oleh sebab itu Smillie dan Crenshaw menulis
bahwa fraktur di daerah tersebut disebut fraktur Hoffa. Fraktur Hoffa terjadi berdiri
sendiri (isolated) pada sisi lateral (terbanyak) atau sisi medial bahkan dapat terjadi
pada kedua sisi (lateral dan medial).

Letenneur membuat klasifikasi fraktur Hoffa ini menjadi 3 tipe dan kemudian
dilakukan penelitian oleh lewis et. al pada mayat sebagai berikut :

Tipe I
Garis fraktur Intraartikular yang menjalar ke daerah
suprakondiler Femoris dan beberapa jaringan lunak
masih melekat pada fragmen distal fraktur sehingga
prognosis baik karena otot popliteus dan gastroknemius
masih melekat.
Tipe II
fraktur intraartikular komplit dan tidak ada jaringan
lunak yang melekat pada fragmen distal sehingga dapat
terjadi nekrosis avaskular.
Pada tipe ini di bagi lagi menjadi a, b dan c
Prognosis tipe II ini adalah jelek karena perlengketan
otot popliteus dan gastroknemius sangat kurang
bahkan tidak ada sama sekali seperti tipe II c.
Tipe III
Garis fraktur sedikit ke anterior permukaan sendi dan
ke proksimo-posterior dari kondilus femoris Jaringan
lunak atau ligamentum masih melekat pada fragmen
distal sehingga prognosis tipe III adalah baik karena
garis fraktur berada di anterior dari ligamentum
krusiatum anterior maupun ligamentum kolaterale
fibulare dan ligamentum tibiale.

Pemeriksaan radiografi dengan proyeksi AP (antero-posterior) dan lateral digunakan


sebagai baku emas untuk diagnosis fraktur Hoffa. Permasalahannya bila pada fraktur
tersebut tidak terjadi pergeseran fragmen (undisplaced) maka proyeksi AP dan lateral
pada pemeriksaan radiografi sulit dianalisis. Keadaan ini memerlukan pemeriksaan
tomografi atau CT- Scan bagian distal femoris .
Mekanisme trauma kebanyakan akibat kecelakaan lalu-lintas dari pengendara sepeda
motor dengan lutut membentur langsung atau akibat jatuh dari ketinggian dengan
lutut membentur benda keras.
Kondilus femoris yang terkena trauma tersebut dalam posisi lutut fleksi sehingga tepi
bawah permukaan sendi tersebut menjadi pecah. Kebanyakan kondilus sisi lateral,
tetapi bila trauma tersebut sangat keras maka kedua sisi lateral dan medial kondilus
dapat terjadi fraktur dan bahkan kulit dan jaringan lunak yang terkena trauma dapat
rusak dan sobek sehingga terjadi fraktur terbuka.
Pada fraktur Hoffa yang bergeser (displaced) dilakukan operasi dan fiksasi dalam
dengan menggunakan skru. Bila fiksasi cukup stabil maka latihan gerakan sendi lutut
dapat dilakukan lebih dini sehingga komplikasi kekakuan sendi lutut dapat dicegah .
Apabila stabilitas tidak tercapai maka perlu penambahan fiksasi luar yaitu memakai
gip atas lutut (above knee plester cast) dengan posisi lutut ekstensi penuh
Fraktur Hoffa ini sangat jarang dan didalam literatur baru 27 kasus yang ditulis
dengan perincian 20 kasus oleh Letenneur et. al dan 7 kasus oleh Lewis et. al maka dari
itu, kami menulis satu kasus dengan diagnosis fraktur Hoffa tipe I sinister terbuka tipe
III B dengan dislokasi lateral patela sinister.

Classification of the patella fracture

Schatzker Classification
Type I : Type II:
A Split weight fracture of the split depression fracture of
lateral plateau without any joint the lateral plateau.
depression. There is a high risk
of ligamentous injury.

Type III: Type IV:


A pure depression fracture. A fracture of the medial
There is a low risk of plateau
ligamentous injury

Type V: Type VI :
A big condylar fracture. Separation of the metaphysis
from the diaphysis

IV. Fraktur Tibia

Anatomi
Tibia merupakan tulang medial besar cruris,
yang berartikulasi dengan condylus femoris
dan caput fibulae di proximal dan dengan talus
serta ujung distal fibula di bagian distalnya.
Pada bagian ujung proximal terdapat condylus
medialis dan lateralis (plateau tibialis
medialis dan lateralis), yang berartikulasi
dengan condylus medialis dan laterlis femur,
dipisahkan oleh kartilago semilunaris medialis
dan lateralis (meniscus medialis dan lateralis).
Condylus lateralis memiliki facies artikularis
sirkularis untuk caput fibulae pada aspek
lateralnya. Condylus medialis mempunyai
sebuah alur pada aspek posteriornya untuk
insersio m. semimembranosus. Corpus tibia
berbentuk segitiga pada potongan melintang,
dengan 3 margo dan 3 facies. Margo anterior
dan medial, dengan facies medialis
diantaranya, terdapat di subkutan.
Pada pertemuan margo anterior dengan ujung atas tibia terdapat tuberositas, tempat
melekat lig. Patellae. Margo lateral atau interossea menjadi tempat perlekatan
membrane interossea. Facies posterior corpus tampak garis serong linea musculi solei.
Ujung distal tibia sedikit melebar dan pada aspek inferiornya tampak permukaan sendi.
Ujung bawahnya memanjang ke bawah membentuk malleolus medialis. Facies lateralis
malleolus medialis berartikulasi dengan talus.
Membrana interossea membagi cruris menjadi tiga ruang: anterior, lateral dan
posterior. Arteri poplitea mensuplai darah ke tibia dan fibula, bercabang menjadi a.
tibialis anterior, a. tibialis posterior dan a. peroneal. Nervus tibialis posterior mengikuti
a. tibialis posterior dan menginervasi ruang posterior yaitu m. gastrocnemius, m.
plantaris, m. soleus dibagian superficial serta m. popliteus, m. flexor digitorum longus,
m. flexor hallucis longus dan m. tibialis posterior dibagian profunda. Arteri nutrisial ke
tulang tibia berasal dari a. tibialis posterior. N. tibialis anterior menginervasi ruang
anterior, yaitu m. tibialis anterior, m. extensor digitorum longus m. peroneus tertius,
dan m. exstensor hallucis longus. Ruang lateralis berisi m. peroneus longus dan brevis
yang diinervasi n. peronealis.
Fraktur Tungkai Bawah disebut juga tulang Tibia Fibula (Levin & William, 1997).
Secara anatomis tungkai bawah dibagi tiga yaitu:
1. Fraktur tungkai bawah proksimal disebut juga fraktur plateau tibia.
2. Fraktur tungkai bawah media disebut fraktur shaft.
3. Fraktur tungkai bawah distal disebut fraktur pilon atau tibial plafond.

Melihat susunan anatomi tungkai bawah dengan permukaan medial tibia hanya
dilindungi jaringan subkutan periosteum yang melapisi tibia agak tipis terutama
bagian depan yang hanya dilapisi kulit sehingga tulang ini mudah patah dan susunan
frakturnya bergeser. Karena letaknya yang berada langsung di bawah kulit sering
memudahkan terjadinya fraktur terbuka. Fraktur tungkai bawah merupakan akibat
terbanyak dari kecelakaan lalu lintas. Tenaga rotasi dapat terjadi juga pada
olahragawan seperti saat bermain bola. Cedera biasanya terjadi akibat gaya angulasi
yang menyebabkan garis fraktur transversal atau miring kadang dengan fragmen
kominutif.
a. Fraktur Plateau Tibia
Menurut Schatzker dan Mc Broom, fraktur plateau tibia dibagi 6 tipe, yaitu:
I. Fraktur kondilus lateral, biasanya terdapat pada usia muda
II. Fraktur condylus dengan impresi
III. Fraktur impresi sentral plateau lateral tanpa fraktur condylus
IV. Fraktur plateau tibia medial
V. Fraktur bicondylar yang terdiri dari plateau condylus medial dan lateral,
VI. Fraktur kompleks yang menyebabkan terpisahnya metaphysis dengan
diaphysis tibia.

I II III
IV V VI

Bagian proximal tibia dengan korteks yang tipis mudah terkena cedera, terutama
pada orang dewasa berusia > 50 tahun dengan kondisi tulang yang osteoporotik.
Mekanisme trauma biasanya berupa trauma abduksi, atau pukulan langsung
pada bagian lateral tungkai dengan kaki terfiksasi pada permukaan tanah.
Trauma menekan lutut kearah valgus medial dan mendorong kondilus femur ke
plateau tibia lateralis. Tulang yang osteoporotik akan mengalami fraktur
sebelum ligament kolateral medial lutut robek. Permukaan sendi plateau tibia
lateralis akan terdesak ke kaudal dan lateral. Trauma membengkokkan,
memuntir atau trauma sumbu pada daerah plateau tibia dapat juga
menimbulkan berbagai fraktur plateau tibia, seperti fraktur sendi sentral
terdepresi. Lebih sering trauma menimbulkan kominutif, yang meluas ke
korteks metaphysis tibia. Satu atau kedua condylus bila terlibat disertai
hilangnya keharmonisan permukaan sendi tibia proximal.
Setiap fraktur plateau tibia harus memeriksa stabilitas ligament lutut dalam
posisi ekstensi penuh dan fleksi 15o-30o, sebab trauma didaerah tersebut
kemungkinan besar dapat mengakibatkan instabilitas sendi. Tujuan tindakan
terapi pada fraktur plateau tibia adalah mencapai gerakan penuh, aligmen dan
stabilitas sendi.
Secara klinik ditemukan nyeri lutut dank arena fraktur terjadi intraartikular
didapatkan hemartrosis. Hemartrosis yang besar, tegang, dan nyeri harus
diaspirasi dalam kondisi aseptik.
Semua fraktur yang tak ada pergeseran atau pergeseran kecil, diterapi secara
konservatif seperti imobilisasi dengan gip yang disebut “Long leg plester cast”.
Pada perpindahan fragmen atau fraktur kominutif permukaan sendi tibia dapat
dipikirkan penggunaan traksi. Pergeseran yang hebat pada setiap permukaan
sendi adalah indikasi untuk dilakukan operasi dan fiksasi interna.
Bila depresi fragmen fraktur <5 mm dan sendi lutut stabil dilakukan terapi
konservatif seperti diatas, tetapi bila depresi >5 mm atau bila kominutif
menyebabkan pergeseran angularis pada condylus, maka terapi operatif
diperlukan, yaitu mengangkat fragmen tersebut sehingga sejajar dengan
permukaan sendi kemudian diikuti peletakan graft dan fiksasi interna.

Setiap fraktur pada daerah ini harus diperiksa :


 NVD pada distal lutut
 Stabilitas ligament.
 Jika terjadi Hemarthrosis disertai nyeri  Aspirasi

Terapi :
Pergeseran (-)  konservatif dengan Long leg gips
Pergeseran (+) , comminutif(+)  traksi  orif

b. Fraktur Shaft Tibia


Fraktur tibia dapat disertai dengan fraktur fibula. Garis fraktur ditibia dan fibula
dalam posisi satu level umumnya akibat trauma yang menghasilkan gaya
angulasi dengan garis fraktur transversal atau obliq. Pada trauma dengan gaya
memutar akan menghasilkan garis fraktur spiral. Bila disertai fraktur fibula
maka fraktur kedua tulang tersebut tidak satu level.
Prinsip penanganan fraktur tibia secara umum :
 Menjaga kerusakan jaringan lunak yang terjadi tidak lebih hebat dengan
memberikan imobilisasi yang memadai
 Mencegah sindrom kompartemen, mencapai atau menjaga aligmen,
 Weight bearing lebih dini dan gerakan sendi sesegera mungkin.

Fraktur tertutup tibia dengan garis fraktur transversal yang stabil dan tak ada
pergeseran, cukup diimobilisasi dengan gips atas lutut (Long-leg plester).
Pemasangan gip pada kaki harus posisi dorsofleksi 90 o. Pada lutut gip dipasang
dalam posisi lutut sedikit fleksi.
Fraktur dengan dislokasi fragmen dan tidak stabil atau garis fraktur obliq
membutuhkan traksi kalkaneus kontinyu selama 3 minggu. Setelah terbentuk
kalus fibrosis, dipasang gips atas lutut sampai 6 minggu.
Garis fraktur yang miring dan membentuk spiral tidak stabil karena cenderung
membengkok dan memendek sesudah reposisi tertutup, memerlukan tindakan
reposisi terbuka dan penggunaan fiksasi interna atau eksterna. Operasi dan
fiksasi interna dengan plate-screw untuk mencapai stabilisasi fragmen-fragmen
tersebut. Fiksasi interna dapat juga menggunakan nail dengan interlocking
screw.
Untuk fraktur terbuka, debridemen segera, irigasi dan antibiotika diperlukan.
Penutupan luka primer biasanya tidak diindikasikan. Penggunaan external
fixator device hanya pada fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan yang
hebat. Dengan cara ini perawatan luka akan lebih mudah dan mobilisasi serta
rehabilitasi dapat dilakukan dini. Intervensi bedah untuk fraktur tertutup
memberikan resiko infeksi dan harus dipertimbangkan terhadap resiko terapi
tertutup. Setiap selesai tindakan harus dilakukan pemeriksaan sinar x untuk
menilai aligmen, kontak fragmen dan apakah ada rotasi.

c. Fraktur Tibia Distalis


Fraktur ujung distal tibia disebut juga pilon atau plafond fractures, fraktur ini
meliputi permukaan sendi distal tibia pada articulatio tibiotalar. Fraktur Pilon
atau tibial plafond adalah fraktur pada distal tibia yang meluas ke ankle joint.
Menurut Dickson cit McCormack (2000) fraktur distal disebut juga fraktur
hammer dimana sekitar 20-25% kasus berupa fraktur terbuka. Aliran darah
bagian distal tibia mendapat vaskularisasi dari a. tibialis anterior dan a. tibialis
posterior, bagian distal fibula mendapat vaskularisasi dari cabang a. peroneal.

McCormack (2000) menjelaskan bahwa fraktur tungkai bawah distal disebabkan


karena trauma dengan energi besar yang biasanya berupa kekuatan deselerasi
akibat jatuh dari tempat yang tinggi atau akibat kecelakaan lalu lintas. Dua
mekanisme yang menyebabkan terjadinya fraktur adalah rotasi dan kompresi
axial, sehingga menyebabkan garis fraktur berbentuk spiral yang meluas dari
diafise tibia ke persendian. Mekanisme rotasi adalah trauma dengan energi
rendah pada distal tibia yang meluas ke persendian, biasanya akibat terjatuh
atau kecelakaan saat berolahraga, terutama ski. Mekanisme kompresi
disebabkan energi yang lebih besar akibat beban kekuatan axial yang hasilnya
adalah impaksi permukaan sendi distal tibia dan komunitif metafise tulang.
Trauma dapat menyebabkan fraktur nondisplaced sampai fraktur “tipe
explosion” komunitif berat.
Seperti fraktur intraartikular yang lain, tujuan terapi adalah memperbaiki
anatomi permukaan sendi. Hal ini memang sulit dan kadang tak mungkin
dilakukan. Reduksi tertutup pada fraktur displacement hamper tak pernah
berhasil. Tulang tungkai bawah merupakan tulang panjang yang paling sering
mengalami fraktur .Fraktur tibia distal sering terjadi terutama pada remaja dan
orang dewasa. Selain jatuh dari ketinggian, trauma kendaraan bermotor dengan
kecepatan tinggi masih merupakan penyebab terbanyak terjadinya fraktur tibia
distal.
Penanganan fraktur tibia distal masih menjadi kontroversi. Hipocrates
menyatakan bahwa fraktur tibia distal akan bermasalah apabila tidak segera
ditangani dengan baik, dan fraktur ditempat tersebut memerlukan perhatian
yang lebih besar dibanding fraktur ditempat lain (Levin & William, 1997).
Penanganan fraktur tibia distal biasanya dilakukan dengan Imobilisasi Gips
atau operasi. Imobilisasi bertujuan untuk mencegah pergeseran susunan tulang.
Hooper et al. (1991) menulis penanganan dengan operasi pada fraktur tibia distal
memberikan hasil yang baik dibanding dengan penanganan gips, ini
dikarenakan penyambungan tulang dapat lebih cepat, sedikit terjadi mal union,
dan segera dapat kembali bekerja. Bone et al (1997), juga menyebutkan hasil
penanganan dengan operasi lebih baik dibanding dengan pemakaian gips.
Bonnier cit McCormack, 2000, menyebutkan keberhasilan penyembuhan dengan
imobilisasi gips pada kasus fraktur tibia distal lebih rendah dan lebih lama
dibandingkan dengan operasi . McCormack (2000), menyebutkan bahwa
sebagian besar kasus fraktur tibia distal disertai dengan pergeseran persendian,
maka pilihan penanganan rekonstruksi yang paling baik adalah dengan operasi.

Namun sebelumnya perlu juga dipertimbangkan kondisi penderita dan kondisi


jaringan lunak akibat trauma, untuk menentukan pilihan tindakan yang akan
dilakukan. Bila fraktur dapat difiksasi interna, reduksi terbuka dengan plates
dan screws serta fiksasi internal fibula bila perlu, dengan atau tanpa bone
grafting, sebaiknya dicoba. Bila fraktur sangat kominutif sehingga fiksasi interna
tak dapat dilakukan, dapat dicoba reduksi indirek dengan ligamentotaxis:
reduksi terbuka dan fiksasi internal fraktur fibula untuk memperbaiki
panjangnya, serta reduksi tertutup dan fiksasi eksternal tibia dengan
tibiocalcaneal frame. Ini dapat mengembalikan kontur normal dan aligmen distal
cruris, dan mempermudah fusi tibiotalar. Fraktur ini biasanya disertai dengan
kerusakan jaringan lunak. Pembengkakan dapat terjadi dan biasanya dilakukan
prolonged leg elevation, terutama untuk mencegah surgical wound problems
setelah reduksi terbuka. Penyembuhannya lambat dan weight bearing sebaiknya
dimulai bila hasil pemeriksaan radiologik menunjukkan adanya pemulihan
tulang.

Klasifikasi Fraktura Tungkai Bawah Distal


I. Kellam dan Waddell cit. McCormack (2000) membuat klasifikasi fraktur
tungkai bawah distal berdasarkan mekanisme terjadinya trauma, yaitu:
• Tipe A : biasanya berhubungan dengan fraktur yang berbentuk oblik
atau transversal pada fraktur fibula diatas level plafond, sehingga
prognosisnya baik.
• Tipe B atau fraktur kompresi : kominutif pada kortek tibia anterior
yang berat, terdapat fragmen multipel pada persendian dan impaksi
metafise. Umumnya tidak berhubungan dengan fraktur fibula, tapi
mempunyai prognosis yang lebih buruk dibandingkan tipe A.

II. Klasifikasi berdasarkan pada derajat pergeseran dan kominutif permukaan


sendi dibuat oleh Ruedi - Allgower cit. Armis, (2003) sebagai berikut:
 Tipe A : fraktur persendian tanpa pergeseran yang jelas atau minimal
 Tipe B : fraktur disertai pergeseran sendi dan kominutif minimal
 Tipe C : fraktur disertai pergeseran & kominutif berat pada persendian

III. Kemudian Muller cit. Annis, (2003) mengusulkan klasifikasi yang lebih
mendetail, sehingga disebut sebagai AO Muller Classification. Pembagiannya
dibagi menjadi 3
 Tipe A : fraktur ekstra artikuler
 Tipe B : fraktur partial artikuler yang hanya melibatkan permukaan
sendi
 Tipe C : fraktur komplit pada persendian dengan permukaan artikuler
kominutif

The Ruede and Algower Classification Systems

Type I:
Undisplaced Fracture

Type II:
Displaced Fracture with
Split Type Fracture
Type III:
Crush or Impacted Injury
with comminution and
displacement articular
surface

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pasien dengan fraktur tibia dan fibula memerlukan pengetahuan
tentang anatomi topografik, vaskularisasi dan neural ekstremitas inferior. Pada
cidera cruris, memposisikan cruris secara anatomic dapat memperlancar aliran
darah.
Semua punctum dan laserasi pada integumentum harus dipikirkan sebagai
fraktur terbuka sampai terbukti atau diruang operasi, dimana irigasi dan
debridemen luka terbuka diperlukan. Capilary refill, toe pulp turgor dan suhu
harus diperiksa, serta pulsasi a. tibialis posterior dan dorsalis pedis. Bila pulsasi
tak teraba karena syok atau vasokonstriksi, dapat menggunakan pemeriksaan
dopler. Cidera vascular biasanya terjadi diatas trifurcation a. poplitea, sehingga
bila terjadi fraktur dilokasi ini maka perlu dicurigai terjadi cidera vascular.
Bila capillary refill lambat atau dicurigai terjadi kerusakan vascular, arteriografi
dapat dipertimbangkan, terutama pada kasus fraktur dislokasi sendi lutut.
Palpasi sepanjang tulang tibia dapat menunjukkan adanya pembengkakan yang
menggambarkan pergeseran fraktur minimal. Pemeriksaan sendi lutut dan
pergelangan kaki untuk menyingkirkan adanya cidera ligamentum, seperti pada
fraktur plateau tibia yang dapat menyebabkan kerusakan ligament collateral
medial. Adanya angulasi varus atau valgus lutu dapat dicurigai terjadi fraktur
plateau tibia atau fraktur femur distal.
Pemeriksaan sensorik perlu dilakukan. Pada fraktur fibula proximal dapat
menyebabkan kerusakan n. peroneal, disertai gangguan sensorik dan motorik.
Disfungsi n. tibialis anterior dan n. peroneus profunda mengindikasikan adanya
sindrom kompartemen, hilangnya sensibilitas terhadap sentuhan ringan pada
plantar pedis menunjukkan adanya kompresi n. tibialis posterior.
Sindrom kompartemen merupakan peningkatan tekanan jaringan dalam
kompartemen fascia tertutup, hal ini dapat terjadi pada fraktur tibia terbuka
maupun tertutup. Bila tekanan intrakompartemen melebihi tekanan kapiler,
maka akan mengganggu perfusi jaringan sehingga terjadi anoksia dan nekrosis
jaringan dalam kompartemen.2 Tanda dan gejalanya yaitu nyeri pada keadaan
istirahat, parestesia, pucat, paresis, paralysis, denyut nadi hilang, gangguan
diskriminasi dua titik.

Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan radiologik tibia dan fibula anteroposterior dan lateral. Sebaiknya
memvisualisasi sendi lutut dan pergelangan kaki (ankle joint) untuk mencegah
fraktur misdiagnosis fraktur intraartikularis.
Pada cidera high-energy foto ipsilateral femur dan pelvis diperlukan untuk
menyingkirkan adanya floating knee atau trauma pelvis. Empat puluh lima
derajat obliq radiograf dapat membantu evaluasi plateau tibia. Tomografi dapat
membantu pada fraktur plateau tibia dan plafond untuk mengetahui luas
kompresi sendi. CT-scan terbukti berguna dalam merencanakan operasi reduksi
dan fiksasi interna fraktur komlpeks.

Komplikasi
• Trauma pada pembuluh darah, saraf, sindrom kompartemen
• Pada tulang , seperti
 Delayed union
 Nonunion
 Malunion.

Nonunion atau delayed union umumnya etrjadi bila terdapat displacement


berat, kominutif, fraktur terbuka atau kerusakan jaringan lunak yang berat dan
infeksi. Nonunion dapat diterapi bone grafting, peningkatan stabilitas fraktur,
atau dengan stimilasi elektrik yang masih kontroversi. Penambahan tulang
seperti graft corticocancellous; transver mikrovaskular fibula bebas; transposisi
fibula; deep circumflex arteri iliaca osteocutaneus compositetransfer; substitusi
tulang seperti
kalsium fosfat, allograft, atau hidroksiapatit; dan metode Ilizarov yaitu
mentransport segmen tulang dengan distraksi kalus.
Malunion merupakan penyambungan fraktur yang tidak normal sehingga
menimbulkan deformitas.
Pada fraktur tibial shaft, deformitas varus atau valgus sampai dengan 5o masih
dapat diterima. Rotasi internal 5o dan rotasi eksternal 20o juga dapat diterima.
Infeksi biasanya merupakan komplikasi pada fraktur tibia terutama bila ada luka
terbuka. Salah satu komplikasi terberat pada fraktur terbuka adalah nonunion
dengan infeksi. Penanganan nonunion diatasi terlebih dahulu kemudian
mengatasi infeksinya.
Komplikasi lain dapat berupa penyakit vena stasis, arthritis traumatic, claw toes
akibat sindrom kompartemen posterior, dan amputasi. Kronik joint pain atau
stiffness dapat terjadi pada tibial plafond walaupun jarang.

Penatalaksanaan
Penanganan fraktur tibia distal umumnya dilakukan dengan dua cara yaitu
pemakaian gips dan operatif (Karunakar M.A, 2004).
• Indikasi penanganan pemakaian gips
 Trauma berenergi rendah
 Cidera jaringan lunak minimal (Tscherne & Gotzen 0, 1)
 Tipe fraktur stabil
• Indikasi penangan operatif( Karunakar M.A, 2004)
 Trauma berenergi tinggi
 Cidera jaringan lunak moderat hingga berat
 Tipe fraktur tidak stabil

Penilaian Keberhasilan Penanganan  klasiflkasi menurut Edward


Baik Sedang Jelek
Nyeri Sedikit /tidak Ringan Berat
ada
Kemampuan Normal Sulit / tidak Hanya bekerja di
bekerja mampu untuk tempat duduk
bekerja berat
Pincang Tidak ada Ringan / setelah Menetap
latihan berat
Aktivitas olah raga Normal Kemampuan Hanya berjalan
menurun pendek
Pergerakan lutut Stabil, ekstensi Stabil, ekstensi Ekstensi penuh
penuh, fleksi < penuh berkurang, fleksi
20 0 < 90 0
Pergerakan ankle Dorsiflaxi <10° Dorsoflexi >90° Dorsofleksi < 90
plantarflexi < 20 plantarfleksi < 30 0
0 0 plantarfleksi >
30 0
Pergerakan kaki Pro dan supinasi Penurunan Penurunan berat
menurun < 25% sedang
Bengkak pada Ringan, hanya Ringan Menetap
tungkai bawah setelah latihan

d. Fraktur Tibia Fibula


Fraktur Kondilus tibia  Sering terjdi pada kondilus lateral daripada medial.
Fraktur tidak bergeser bila depresi < 4 mm, sedang yang bergeser apabila melebihi
4 mm
Terapi :
• Konservatif  Non displaced dan depresi < 4 mm
• Operatif  depresi > 4 mm , evakuasi depresi dengan bone graft

Komplikasi ;
• genu valgum,
• kekakuan sendi,
• osteoarthritis

e. Fraktur & Fraktur dislokasi pergelangan kaki


Sering disebut sebagai Fraktur POTT. Talus dilindungi oleh maleolus lateral dan
medial yang diikat oleh ligamen.
Klasifikasi Danis dan Weber (1991) berdasar lokasi fraktur terhadap sindesmosis
tibiofibuler :
A. Fraktur Maleolus dibawah sindesmosis
B. Fraktur maleolus lateral, avulsi maleolus medial disertai robekan ligamen
tibiofibular ke depan
C. Fraktur Fibula diatas sindesmosis, avulsi tbia disertai robekan maleolus
medialis  dikenal Fraktur Dupuytren.

Terapi :
• Konservatif  non displaced, gips sirkuler bawah lutut
• Operatif  adanya robekan ligamen dan dislokasi talus

Denis-Weber Classification (AO/ASIF System)


Trauma Ligamen pada Lutut :
1. Ligamen Medial
Terjadi sewaktu tibia mengalami abduksi pada femur disertai trauma rotasi.
Trias O’ Donoghue :
a. Lesi ligamen kolateral medial tibia  Stress tes lutut fleksi 30, ekstensi
penuh
b. Krusiatum anterior  berjalan seakan mau jatuh (giving way)
c.Meniskus medial

2. Ligamen lateral  terjadi akibat adduksi terhadap femur


3. Ligamen Krusiatum
Sering bersama-sama robekan ligamen kolateral medial.
Pemeriksaan :
Penderita posisi telentang, lutut fleksi 900 , tungkai bawah dipegang dibagian
proksimal tibia ditarik ke depan dan belakang. Bila pergerakan bebas :
 Ke depan  robekan ligamentum krusiatum anterior
 Ke belakang  robekan ligamentum posterior  Drawer test (+)
Instabilitas sendi dengan menggerakkan bagian proksimal tibia ke depan
dengan lutut fleksi 10-200  Lachman test

Congenital Talipes Equino Varus

Congenital talipes equino varus (CTEV) atau club foot adalah deformitas kaki dimana tumit
terpuntir kedalam dari garis tengah tungkai bawah dan kaki mengalami plantar-fleksi.
Kelainan ini merupakan kelainan bawaan pada kaki dan pergelangan kaki dengan posisi
kaki sebagai berikut :
• Varus - inversi  pada bagian depan dan tengah
• Equino – varus  pada kaki bagian belakang

Penanganan CTEV sangat dipengaruhi oleh ketepatan dalam penegakan diagnosis secara
dini, sehingga penanganan secara konservatif maupun secara operatif memerlukan evaluasi
terhadap hasil penanganan tersebut, baik secara klinis maupun secara radiologis. Insidens
CTEV yaitu 1-2 : 1000 kelahiran hidup dan lebih sering pada laki-laki dari pada perempuan
(2:1) dan sekitar 30-50 % bersifat bilateral.

CTEV adalah kelaianan sejak lahir dimana :


• Tumit (kecil) inversi dan supinasi ( gerakan mengarah ke anterior, depan atau atas)
• Kelainan kaki berupa varus membuat tumit mengarah ke dalam (inversi) dan telapak
kaki mengarah keatas (supinasi)
• Fore foot (bagian anterior kaki ) dan hind foot (talus + kalkaneus)
• Kelainan varus membengkok ke dalam jadi harus adduksi  mendekati sumbu tubuh
• Ankle  equinus , akibat tarikan tendo achilles yang pendek
• Talus  menonjol

Etiologi
Belum diketahui dengan pasti, teori tentang penyebab kelainan CTEV antara lain :
• Keturunan : kelainan genetik
• Mekanik tekanan intra uterin (Dennis Brown)
• Neuromyo maldevelopment prenatal
• Perkembangan janin terhenti
• Defek primer sperma
• Keterlambatan rotasi & non rotasi ektremitas

Patologi
Kelainan bentuk pada CTEV (deformitas-equinovarus) terdiri 3 unsur yaitu :
• Pergelangan kaki dalam keadaan equinus
• Sendi subtalus dalam keadaan varus
• Bagian tengah dan depan kaki dalam keadaan varus.

Whitman (1930) membagi klasifikasi kelainan major CTEV sebagai berikut :


• Varus  tumit kearah axial tubuh
• Valgus  kebalikan varus
• Equinus  kaki fleksi kearah telapak berjalan dg ujumg jari kaki
• Calcaneus  kebalikan equinus

Perkembangan posisi kaki bayi sebagai berikut :


 Sejak lahir sampai usia 2 tahun : datar dan abduksi
 Usia 1 tahun otot berkembang melalui hecking dan kegiatan merangkak
 Saat usia berdiri tidak perlu segera hrs berjalan sebelum alamiah siap untuk itu.
 Usia 2-4 tahun lengkung longitudinal sendi mulai berdeviasi

Pemeriksaan Fisik
Pada CTEV akan ditemukan kelainan-kelainan bentuk pada kaki sebagai berikut:
 Inversi pada kaki depan
 Adduksi atau deviasi internal dari kaki depan terhadap kaki belakang
 Ekuinus atau plantar fleksi
 Pengecilan dari otot-otot betis dan peroneal
 Kaki tidak dapat digerakkan secara pasif pada batas eversi dan dorsofleksi normal.
Kelainan bentuk pada kaki tersebut bisa bersifat unilateral ataupun bilateral.
Normalnya kaki bayi dapat dorsoflexi dan eversi jari-jari kaki menyentuh bagian depan
tungkai bawah

Radiologi
Pemeriksaan radiologi sangat penting sebagai sarana evaluasi club foot pada setiap pasien
sebelum, selama dan setelah terapi. Standar radiologinya :
• Anak belum bisa berdiri  posisi AP dan stress dorsoflexion lateral
• Anak sudah bisa berdiri  posisi anteroposterior (AP) dan lateral.
Dalam keadaan normal gambaran radiologis anteroposterior proyeksi garis yang
melalui pertengahan os talus akan melewati metatarsal I, sedangkan pada CTEV akan
bergeser ke lateral (metatarsal III)

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan CTEV bertujuan untuk mengembalikan fungsi anatomi dan
menghilangkan nyeri pada kaki akibat CTEV dan kelihatan normal kaki plantigrade, dengan
mobilitas baik tanpa calus dan tidak menggunakan modifikasi sepatu atau secara singkat
tujuan terapi CTEV sebagai berikut :
• Correct deformity early
• Correct deformity fully
• Hold the correction until growth stops

CTEV Ada 2 type ;


I. Esay  konservatif
• Splinting  usia 2-3 hr, tiap minggu diganti (6-8 mgg) secara bertahap
• Bila gagal  operasi

II. Resisten  operasi


• 8 minggu  pemanjangan tendo achilles & Posterior release
 Adalah pemotongan tendo m. tibialis posterior, dimana otot ini berfungsi adduksi
dan inverse dan tendo digitalis communis
 Setelah operasi pasang gips selama 3-4 bulan dan dilanjutkan pemasangan
bidai dari Denis Browne
• 5-10 tahun  osteotomi, arthodesis sendi kalkaneo-kuboid (cara Evans)
selanjutnya dipertahankan dg sepatu
• 12-15 tahun  Operasi radikal berupa fusi dari ketiga sendi, kalkaneo-kuboid,
subtalar, talo-navikuler dikenal sebagai Arthrodesis Triple

Penatalaksanaan sebaiknya dimulai sejak minggu pertama setelah lahir karena jaringan soft
tissuenya masih elastis . Penatalaksanaan CTEV secara umum dibagi menjadi:
I. Non operatif (konservatif)
Konsultasi antara dokter dengan orang tua tentang :
 kelainan CTEV
 Rencana Pengobatan :
 Plan  Konservatif/ Operasi
 Respon
 Recurent Deformity
 Lama Pengobatan
Tujuan akhir dari pengobatan yaitu :
 Plantigrade
 Pliable
 Cosmetically acceptable foot
 One operation  Minimal Risk
 Relatively short treatment time

Evaluasi penanganan secara konservatif di kontrol berdasarkan klinis dan radiologis


 Kriteria klinis
 Sempurna :
o Apabila pada koreksi yang paripurna bentuk tanpa gejala dan dapat
melaksanakan segala aktifitas fisik.
o Lingkup gerak : 25 0 _ Oo - 25o pergelangan kaki ( - 15 o subtalar )
 Baik :
o Hampir koreksi sempurna
o Tidak ada gejala tapi ada gangguan aktifitas yang ringan
o Lingkup gerak : 10o - Oo - 20o pergelangan kaki ( - 10 o subtalar )
 Cukup :
o Koreksi partial
o Kekuatan betis menurun tanpa gangguan fungsional
o Lingkup gerak : Oo – 10o – 20 o pergelangan kak ( - 10o subtalar )
o Ada gangguan aktifitas kegiatan sehari – hari
o Perlu koreksi labih dari 1 kali
o Tindakan bedah

 Buruk :
o Tidak terkoreksi
o Kekuatan betis menurun
o Lingkup gerak terbatas subtalar 5o
o Nyeri pada kegiatan sehari- hari

• Kriteria radiologis
Kaki bagian belakang :
 AP : Sudut talo – kalkaneal
 Timpang tindih Talo navikuler
 Sudut talokalkaneal dari samping ( lateral )
 Posisi navikuler

Macam-macam tindakan konservatif :


1. Splinting
2. Taping
3. Casting

Ketiga hal tersebut dilakukan berdasarkan usia saat diagnosis dini ditegakkan,sehingga
pada usia minggu pertama sampai enam (6) minggu setelah kelahiran dilakukan
manipulasi splinting, taping, dan casting. Kemudian dievaluasi kakinya setiap minggu
secara klinis dan radiologis .
Apabila kelainan CTEV –nya diketahui sejak awal rigid (kaku) maka tindakan operasi
bisa dipertimbangkan sejak awal diagnosa ditegakkan.
1. Plaster Of Paris Casting
 Cast menggunakan 3 inch sampai diatas lutut, Jari – jari kaki harus terlihat
 Posisi cast dorsoflexi dan mengarah keluar metatarsal I.
 Diganti tiap 1 minggu selama 6 – 8 minggu

2. Brace And Splints


 Menggunakan Denis Browne Splint
 Dua sepatu kaki dihubungkan oleh Bar Cross
 Untuk mencegah disuse atropi

Operative
Indikasi tindakan sebagai berikut :
1. Konservatif gagal
2. Kelainan menetap setelah dilakukan operasi ( Recurrent deformity )
3. CTEV Rigid

Macam-macam tindakan operasi pada CTEV :


1. Soft Tissue Release
Dengan one stage posteromedial release ( PMR ) dengan internal fixation.
Teknik operasi :
2. Tendon Transfers
A. Tibialis Posterior Transfer
 Untuk usia 2,5 – 8 tahun
 dilakukan : release soft tissue or Reserving tendon transfer
 Teknik operasi :
• Insisi Longitudinal pada media plantar
• Expose tendon tibialis posterior dan talonavicular joint
• Insisi dibagian medial
• Bagian anterior tibia di retraksi ke lateral untuk mengekspos
membran intereosseus.
B. Tibialis Anterior Transfer

3. Bony operation
 Calcaneocuboid Arthrodesis
 Enukleation Prosedur
 Metatarsal Osteotomy
 Osteotomy of the Calcaneus
 Osteotomy of the Tibia
 Telectomy

Ketiga hal tersebut bisa dilakukan one stage operation atau two stage operation. Usia
optimal untuk dioperasi yaitu 1- 2 tahun, dan maximal 6 tahun.

Konsep dasar tindakan operasi CTEV


1. Kelainan CTEV yaitu kelainan congenital subluxatio pada sendi
talocalcaneonaviculer.
2. Koreksi kelainan pada tarsal relationship bertujuan untuk mencegah rigiditas
pasca operasi karena terjadi kontraktur soft tissue.
3. Hasil akhir dari koreksi CTEV yaitu stabilnya permukaan sendi.
4. Tidak mungkin mengkoreksi semua komponen kelainan CTEV tanpa
mengeliminasi yang lainnya.

Komplikasi
1. Cara konservatif
 Decubitus akibat pemasangan cast.
 Bentuk tidak terkoreksi (Recurrent Deformity)
2. Cara Operatif
 Infeksi
 Koreksi tidak sempurna (Recurrent Deformity)
 Avaskuler Nekrosisi Navikuler (Kohler)
 Kaku
 Nyeri pada waktu jalan, Over correction manjadi Planovagus.

Anatomi Tulang
Tulang berasal dari embryonic hyaline cartilage yang mana melalui proses osteogenesis
menjadi tulang. Proses ini dilakukan oleh sel-sel yang disebut osteoblast. Proses
mengerasnya tulang akibat penimbunan garam kalsium.

Sel-sel yang terdapat pada jaringan tulang:


 Osteoblas : Sel yang berperan dalam aktivitas sintesis komponen organik tulang, yang
disebut sebagai prebone atau osteoid. Osteoblas terletak dalam suatu garis di sepanjang
permukaan jaringan tulang. Saat aktif, osteoblas cenderung berbentuk kubus dan
bersifat basofilik. Sedangkan saat kurang aktif, maka bentuknya akan menjadi lebih
kempis dan kurang basofilik. Ketika aktivitas sintesis matriks berhenti dan osteoblas
telah memasuki matriks tersebut maka osteoblas berubah namanya menjadi osteosit.
 Osteosit : Sel-sel tulang dewasa yang bertindak sebagai suatu lintasan untuk
pertukaran kimiawi melalui tulang yang padat. Osteosit berada di dalam suatu
ruangan berbentuk oval bernama lakuna yang terletak di dalam matriks yang telah
termineralisasi. Lakuna memiliki penjuluran halus yang disebut kanalikuli. Kanalikuli
menghubungkan antar lacuna yang berdekatan sehingga osteosit mampu mencapai
pembuluh darah untuk pertukaran nutrisi dan sisa metabolisme.
 Osteoklas : Sel-sel besar berinti banyak yang memungkinkan mineral dan matriks
tulang dapat diabsorpsi. Tidak seperti osteoblast dan osteosit, osteoklas mengikis
tulang. Sel-sel ini menghasilkan enzim proteolitik yang memecahkan matriks dan
beberapa asam yang melarutkan mineral tulang, sehingga kalsium dan fosfat terlepas
ke dalam aliran darah.

Lapisan-lapisan tulang: 5
 Periosteum : Bagian luar lebih banyak mengandung sabut – sabut jaringan pengikat,
pembuluh darah, dan saraf dengan sedikit sel. Lapisan ini dinamakan stratum
fibrosum. Bagian dalam lebih banyak mengandung sel – sel pipih yang mampu
berdiferensiasi menjadi osteoblas, sabut – sabut elastis, dan kolagen tersusun lebih
longgar. Bagian ini disebut stratum germinativum.
 Endosteum : Mempunyai struktur dan komponen yang sama dengan periosteum tetapi
lebih tipis dan tidak memperlihatkan 2 lapisan seperti pada periosteum. Ke arah luar
bersifat osteogenik, ke arah dalam bersifat hemopoetik.
Bagian anatomi tulang panjang: 4
• Diafisis atau batang: Bagian tengah tulang yang berbentuk silinder. Bagian ini tersusun
dari tulang kortikal yang memiliki kekuatan besar.
• Metafisis : Bagian tulang yang melebar di dekat ujung akhir batang. Daerah ini
terutama disusun oleh tulang trabekular atau tulang spongiosa yang mengandung sel-
sel hematopoietik. Bagian ini juga menopang sendi dan menyediakan daerah yang
cukup luas untuk perlekatan tendon dan ligamen pada epifisis.
• Lempeng epifisis (ephyfisial plate) : Daerah pertumbuhan longitudinal pada anak-
anak, dan bagian ini akan menghilang pada tulang dewasa.
• Epifisis : Epifisis langsung berbatasan dengan sendi tulang panjang yang bersatu
dengan metafisis sehingga pertumbuhan memanjang tulang panjang berhenti.
Fisiologi tulang:
• Mendukung jaringan tubuh dan memberikan bentuk tubuh
• Melindungi organ tubuh dan jaringan lunak
• Memberikan pergerakan
• Membentuk sel-sel darah merah di dalam sum-sum tulang belakang
• Menyimpan garam mineral (kalsium dan fosfor)

Osteomielitis
Definisi
 Osteomielitis adalah infeksi bone marrow pada tulang yang disebabkan oleh
Staphylococcus aureus, Haemophylus influenza, dan organisme piogenik lain. Dapat
terlokalisasi ataupun tersebar melalui tulang, melibatkan sumsum, korteks, jaringan
kanselosa, dan periosteum.
Etiologi
• Sebanyak 90% disebabkan oleh Staphylococcus aureus hemolitikus (koagulasi positif)
dan jarang oleh streptokokus hemolitikus.
• Pada anak umur dibawah 4 tahun sebanyak 50 % disebabkan oleh Hemofilus influenza.
• Adapun organisme lain seperti B. Colli, B. Aerogenus kapsulata, Pneumokokus,
Salmonella tifosa, Pseudomonas aerogenus, Proteus mirabilis, Brucella, dan bakteri
anaerobik yaitu Bakteroides fragilis juga dapat menyebabkan osteomielitis hematogen
akut.
Infeksi dapat terjadi secara:
a. Hematogen, dari fokus yang jauh seperti kulit dan tenggorokan
b. Kontaminasi dari luar: fraktur terbuka dan tindakan operasi pada tulang
c. Perluasan infeksi jaringan ke tulang di dekatnya

Patofisiologi
• Tulang yang terinfeksi menyerang soft tissue dan sumsum tulang hingga
terjadi pembengkakan jaringan tersebut  menekan dinding luar tulang  terjadilah
kompresi pada sumsum tulang  pasokan darah ke tulang menjadi berkurang atau
berhenti  jaringan-jaringan pada tulang menjadi mati
• Pada daerah yang jaringannya sudah mati tidak dapat melakukan perbaikan jaringan
kembali dan mengobati infeksi sel bahkan dengan antibiotik yang seharusnya dapat
mmbantu memerangi infeksi. Sehingga infeksi terus berulang hingga dapat menyebar
keluar jaringan tulang hingga mengenai jaringan lunak sekitarnya seperti otot yang
kemudian terbentuk kumpulan nanah.
• Osteomyelitis dapat menyebar melalui aliran darah, penyebaran langsung (infeksi),
infeksi jaringan lunak sekitarnya.

Tanda peradangan:
• Stadium Peradangan: Perubahan awal adalah reaksi radang akut dengan gangguan
vaskuler, cairan eksudat, dan infiltrate leukosit PMN. Tekanan intraosseus meningkat
secara cepat, menyebabkansemakin sering kesakitan, obstruksi peredaran dan
trombosis intravaskuler. Sering pada stadium awal jaringan iskemik harus diobati
segera.
• Stadium Supurasi: Pada 2-3 hari, terbentuk pus berada di dalam tulang dan memaksa
menuju permukaan melalui kanal Volkmann dimana akan terbentuk subperiosteal
abses. Dari situ pus ini akan menyebar sepanjang tepi tulang, untuk masuk kembali ke
tulang pada daerahlainnya, atau menyebar melalui jaringan lunak yang
mengelilinginya. Pada bayi, infeksisering menyebar melalui fisis menuju epifisis dan
kadang ke persendian. Pada anak yanglebih tua, fisis merupakan sarana untuk
penyebaran secara langsung tapi pada sebagian metafisis intra kapsular (seperti pada
tanggul), pus dapat melewati periosteum menuju persendian. Pada orang dewasa,
abses lebih cenderung menyebar melalui celah medular.Infeksi vertebrata dapat
menyebar melalui end-plate, dan discus intervertebralis ke tulangyang bersebelahan.
• Stadium Nekrosis: Peningkatan intraosseus, vaskular statis, trombosis, dan periosteum
yang terlepas meningkatkan kompensasi pembuluh darah, pada hari ke 7 biasanya
ditemukan kejadian kematian tulang secara mikroskomis. Racun bakteri dan enzim dari
leukosit juga dapat berperan dalam proses destruksi tulang. Pada bayi, lempeng
pertumbuhan sering rusak dan tidak dapat diperbaiki dan dapat mengalami nekrosis
avaskuler. Dengan tingkat pertumbuhan dari jaringan granulasi batas antara tulang
yang mati dan hidup dapat terlihat. Bagian dari tulang mati terpisah sebagai bagian
sekuestrum yang bervariasi bentuknya dari kecil ke besar. Markofag dan limfosit juga
meningkat jumlahnya, dan sisanya perlahan dihilangkan dengan kombinasi fagositosis
dan reabsorbsi osteoklast. Bagaimanapun sekuestrum yang besar menetap pada saluran
tulang, tidak dapat dilalui sehingga terjadi destruksi tulang akhir.
• Stadium pembentukan tulang baru: Tulang baru terbentuk dari bagian dalam dari
periosteum yang terlepas,ini merupakan ciri infeksi piogenik dan biasanya terlihat jelas
pada akhir minggu ke dua. Seiring perjalanan waktu, tulang baru menebal dan
membentuk involukrum yang berdekatan dengan jaringan yang terinfeksi dan
sekuestrum. Jika infeksi, pus dan tulang sekuestrum yang tipis bertahan/menetap
dapat berlanjut menjadi perforasi pada involukrum dan melalui saluran menuju ke
permukaan kulit, pada kondisi ini dikenal osteomielitis kronis.
• Stadium resolusi dan penyembuhan: “Once osteomyelitis, osteomyelitis forever”. Jika
infeksi ini dikendalikan dan tekanan intraosseus dibebaskan pada stadium awal, maka
perkembangan ini dapat dicegah.

Klasifikasi
1. Osteomielitis Hematogen Akut
• Osteomielitis hematogen akut merupakan infeksi tulang dan sumsum tulang akut
yang disebabkan oleh bakteri piogen dimana mikroorganisme berasal dari fokus
ditempat lain dan beredar melalui sirkulasi darah.
• Osteomielitis akut diidentifikasi dengan adanya onset penyakit dalam 7-14 hari.
• Kelainan ini sering ditemukan pada anak – anak dan sangat jarang pada orang
dewasa.
• Trauma, hematogen akibat trauma pada daerah metafisis, merupakan salah satu
faktor predisposisi terjadinya osteomielitis hematogen akut.
• Lokasi osteomielitis hematogen akut sering terjadi pada daerah metafisis karena
daerah ini merupakan daerah aktif tempat terjadinya pertumbuhan tulang.

Patologi dan Patogenesis


Penyebaran osteomielitis terjadi melalui dua cara, yaitu :
1. Penyebaran umum
 Melalui sirkulasi darah berupa bakterimia dan septikemia
 Melalui embolus infeksi yang menyebabkan infeksi multifocal pada daerah -
daerah lain
2. Penyebaran lokal
 Subperiosteal abses akibat penerobosan abses melalui periost
 Selulitis akibat abses subperiosteal menembus sampai dibawah kulit
 Penyebaran ke dalam sendi sehingga terjadi artritis septik
 Penyebaran ke medula tulang sekitarnya sehingga sistem sirkulasi dalam
tulang terganggu. Hal ini menyebabkan kematian tulang local dengan
terbentuknya tulang mati yang disebut sekuestrum.
• Patologi yang terjadi pada osteomielitis hematogen akut tergantung pada umur,
daya tahan penderita, lokasi infeksi serta virulensi kuman.
• Infeksi terjadi melalui aliran darah dari fokus tempat lain dalam tubuh pada fase
bakterimia dan dapat menimbulkan septikemia.
• Embolus infeksi kemudian masuk kedalam juksta epifisis pada daerah metafisis
tulang panjang.
• Proses selanjutnya terjadi hiperemi dan edema didaerah metafisis disertai
pembentukan pus.
• Terbentuknya pus menyebabkan tekanan dalam tulang bertambah. Peninggian
tekanan dalam tulang mengakibatkan terganggunya sirkulasi dan timbul
trombosis pada pembuluh darah tulang yang akhirnya menyebabkan nekrosis
tulang.
• Disamping itu pembentukan tulang baru yang ekstensif terjadi pada bagian dalam
periosteum sepanjang diafisis (terutama anak – anak ) sehingga terbentuk suatu
lingkungan tulang seperti peti mayat yang disebut involucrum dengan jaringan
sekuestrum didalamnya.
• Proses ini terlihat jelas pada akhir minggu kedua. Apabila pus menembus tulang,
maka terjadi pengaliran pus (discharge) dari involucrum keluar melalui lubang
yang disebut kloaka atau melalui sinus pada jaringan lunak dan kulit.
• Pada tahap selanjutnya akan berkembang menjadi osteomielitis kronis. Pada
daerah tulang kanselosa, infeksi dapat terlokalisir serta diliputi oleh jaringan
fibrosa yang membentuk abses tulang kronik yang disebut abses Brodie.
Gambaran Klinis
• Nyeri yang konstan pada daerah infeksi yang menyebabkan gangguan pergerakan
sendi oleh karena pembengkakan sendi dan gangguan akan bertambah berat bila
terjadi spasme lokal.
• Nyeri tekan dan terdapat gangguan fungsi anggota gerak yang bersangkutan
• Panas tinggi
• Malaise serta nafsu makan yang berkurang. Pada pemeriksaan fisik ditemukan
adanya:

Pemeriksaan Radiologis:
• Pemeriksaan foto polos dalam sepuluh hari pertama, tidak ditemukan kelainan
radiologik yang berarti dan mungkin hanya ditemukan pembengkakan jaringan
lunak.
• Gambaran destruksi tulang dapat terlihat setelah sepuluh hari (2 minggu) berupa
refraksi tulang yang bersifat difus pada daerah metafisis dan pembentukan tulang
baru dibawah periosteum yang terangkat.
Proyeksi lateral dan AP pada tibia terlihat gambaran sklerotik di
diametafisis tibia

Tampak destruksi tulang pada tibia dengan pembentukan tulang subperiosteal

2. Osteomielitis Hematogen Subakut


Gejala osteomielitis hematogen subakut lebih ringan oleh karena organisme
penyebabnya kurang purulen dan penderita lebih resisten. Durasi dari osteomielitis
subakut adalah antara 14 hari sampai 3 bulan.

Patologi
Biasanya terdapat kavitas dengan batas tegas pada tulang kanselosa dan mengandung
cairan seropurulen. Kavitas dilingkari oleh jaringan granulasi yang terdiri atas sel – sel
inflamasi akut dan kronik dan biasanya terdapat penebalan trabekula.

Gambaran Klinis
Osteomielitis hematogen subakut biasanya ditemukan pada anak–anak dan remaja.
Gambaran klinis yang dapat ditemukan adalah atrofi otot, nyeri lokal, sedikit
pembengkakan dan dapat pula penderita menjadi pincang. Terdapat rasa nyeri pada
daerah sekitar sendi selama beberapa minggu atau mungkin berbulan – bulan. Suhu
tubuh biasanya normal.

Pemeriksaan Radiologis
Osteomielitis subakut memiliki gambaran radiologis yang merupakan kombinasi dari
gambaran akut dan kronis. Seperti osteomielitis akut, maka ditemukan adanya
osteolisis dan elevasi periosteal. Seperti osteomielitis kronik, maka ditemukan adanya
zona sirkumferensial tulang yang sklerotik. Dengan foto rontgen biasanya ditemukan
kavitas berdiameter 1-2 cm terutama pada daerah metafisis dari tibia dan femur atau
kadang – kadang pada daerah diafisis tulang panjang.

Radiologik dari abses Brodie yang dapat ditemukan pada osteomielitis sub
akut/kronik. (Pada gambar terlihat kavitas yang dikelilingi oleh daerah sclerosis)

3. Osteomielitis Kronis
Osteomielitis kronis umumnya merupakan lanjutan dari osteomielitis akut yang tidak
terdiagnosis atau tidak diobati dengan baik. Osteomielitis kronis juga dapat terjadi
setelah fraktur terbuka atau setelah tindakan operasi pada tulang. osteomielitis kronik
merupakan infeksi tulang yang perjalanan klinisnya terjadi lebih dari 3 bulan. Kondisi
ini berhubungan dengan adanya nekrosis tulang pada episentral yang disebut
sekuester yang dibungkus involukrum.

Patologi dan patogenesis


Infeksi tulang dapat menyebabkan terjadinya sekuestrum yang menghambat terjadinya
resolusi dan penyembuhan spontan yang normal pada tulang. Sekuestrum ini
merupakan benda asing bagi tulang dan mencegah terjadinya penutupan kloaka (pada
tulang) dan sinus (pada kulit). Sekuestrum diselimuti oleh involucrum yang tidak
dapat keluar/dibersihkan dari medula tulang kecuali dengan tindakan operasi. Proses
selanjutnya terjadi destruksi dan sklerosis tulang yang dapat terlihat pada foto rontgen.

Gambaran Klinis
Penderita sering mengeluhkan adanya cairan yang keluar dari luka/sinus setelah
operasi yang bersifat menahun. Kelainan kadang–kadang disertai demam dan nyeri
lokal yang hilang timbul didaerah anggota gerak tertentu. Pada pemeriksan fisik
ditemukan adanya sinus, fistel atau sikatriks bekas operasi dengan nyeri tekan.
Mungkin dapat ditemukan sekuestrum yang menonjol keluar melalui kulit. Biasanya
terdapat riwayat fraktur terbuka atau osteomielitis pada penderita.

Pemeriksaan Radiologis:
1. Foto polos
Pada foto rontgen dapat ditemukan adanya tanda – tanda porosis dan sklerosis tulang,
penebalan periost, elevasi periosteum dan mungkin adanya sekuestrum.
Proyeksi AP wrist terlihat gambaran lesi osteolitik dan sclerosis extensive
dibagian distal metafisis pada radius

Osteomielitis lanjut pada seluruh tibia dan fibula kanan. Ditandai dengan
adanya gambaran sekuestrum (panah).

Anda mungkin juga menyukai