Definisi
Fraktur adalah terputusnya hubungan/kontinuitas struktur tulang atau tulang rawan
bisa komplet atau inkomplet
Diskontinuitas tulang yang disebabkan oleh gaya yang melebihi elastisitas tulang
Klasifikasi
I. Menurut Penyebab terjadinya
A. Faktur Traumatik direct atau indirect
B. Fraktur Fatik atau Stress, Trauma berulang, kronis, mis: fr. Fibula pd
olahragawan
C. Fraktur patologis biasanya terjadi secara spontan
II. Menurut hubungan dg jaringan ikat sekitarnya
A. Fraktur Simple fraktur tertutup
B. Fraktur Terbuka bone expose
C. Fraktur Komplikasi kerusakan pembuluh darah, saraf, organ visera
III. Menurut bentuk
A. Fraktur Komplet
Garis fraktur membagi tulang menjadi 2 fragmen atau lebih. Garis fraktur bisa
transversal, oblique, spiral.
Kelainan ini menentukan arah trauma, fraktur stabil atau tidak
B. Fraktur Inkomplet sifat stabil, misal greenstik fraktur
C. Fraktur Kominutif lebih dari 2 segmen
D. Fraktur Kompresi / Crush fracture umumnya pada tulang kanselus
Etiologi
Fraktur terjadi bila ada suatu trauma yang mengenai tulang, dimana trauma tersebut
kekuatannya melebihi kekuatan tulang. 2 faktor mempengaruhi terjadinya fraktur
1. Ekstrinsik meliputi kecepatan dan durasi trauma yang mengenai tulang, arah
dan kekuatan trauma.
2. Intrinsik meliputi kapasitas tulang mengasorbsi energi trauma, kelenturan,
kekuatan, dan densitas tulang.
Diagnosis
I. Riwayat
Anamnesis dilakukan untuk menggali riwayat mekanisme cedera (posisi kejadian) dan
kejadian-kejadian yang berhubungan dengan cedera tersebut. riwayat cedera atau
fraktur sebelumnya, riwayat sosial ekonomi, pekerjaan, obat-obatan yang dia konsumsi,
merokok, riwayat alergi dan riwayat osteoporosis serta penyakit lain.
Komplikasi Fraktur
Komplikasi fraktur dapat diakibatkan oleh trauma itu sendiri atau akibat penanganan
fraktur yang disebut komplikasi iatrogenik .
1. Komplikasi umum
Syok karena perdarahan ataupun oleh karena nyeri, koagulopati diffus dan
gangguan fungsi pernafasan.
Ketiga macam komplikasi tersebut diatas dapat terjadi dalam 24 jam pertama pasca
trauma dan setelah beberapa hari atau minggu akan terjadi gangguan metabolisme,
berupa peningkatan katabolisme. Komplikasi umum lain dapat berupa emboli lemak,
trombosis vena dalam (DVT), tetanus atau gas gangren
2. Komplikasi Lokal
a. Komplikasi dini
Komplikasi dini adalah kejadian komplikasi dalam satu minggu pasca trauma,
sedangkan apabila kejadiannya sesudah satu minggu pasca trauma disebut
komplikasi lanjut.
Pada Tulang
Infeksi, terutama pada fraktur terbuka.
Osteomielitis dapat diakibatkan oleh fraktur terbuka atau tindakan
operasi pada fraktur tertutup. Keadaan ini dapat menimbulkan
delayed union atau bahkan non union
Komplikasi sendi dan tulang dapat berupa artritis supuratif yang sering
terjadi pada fraktur terbuka atau pasca operasi yang melibatkan sendi
sehingga terjadi kerusakan kartilago sendi dan berakhir dengan degenerasi
b. Komplikasi lanjut
Pada tulang dapat berupa malunion, delayed union atau non union. Pada
pemeriksaan terlihat deformitas berupa angulasi, rotasi, perpendekan atau
perpanjangan.
Delayed union
Proses penyembuhan lambat dari waktu yang dibutuhkan secara normal.
Pada pemeriksaan radiografi, tidak akan terlihat bayangan sklerosis pada
ujung-ujung fraktur,
Terapi konservatif selama 6 bulan gagal Osteotomi
Lebih 20 minggu cancellus grafting (12-16 minggu)
Non union
Dimana secara klinis dan radiologis tidak terjadi penyambungan.
Tipe I (hypertrophic non union) tidak akan terjadi proses
penyembuhan fraktur dan diantara fragmen fraktur tumbuh
jaringan fibrus yang masih mempunyai potensi untuk union dengan
melakukan koreksi fiksasi dan bone grafting.
Tipe II (atrophic non union) disebut juga sendi palsu (pseudoartrosis)
terdapat jaringan sinovial sebagai kapsul sendi beserta rongga
sinovial yang berisi cairan, proses union tidak akan dicapai walaupun
dilakukan imobilisasi lama.
Mal union
Penyambungan fraktur tidak normal sehingga menimbukan deformitas.
Tindakan refraktur atau osteotomi koreksi .
Osteomielitis
Osteomielitis kronis dapat terjadi pada fraktur terbuka atau tindakan
operasi pada fraktur tertutup sehingga dapat menimbulkan delayed union
sampai non union (infected non union). Imobilisasi anggota gerak yang
mengalami osteomielitis mengakibatkan terjadinya atropi tulang berupa
osteoporosis dan atropi otot
Kekakuan sendi
Kekakuan sendi baik sementara atau menetap dapat diakibatkan
imobilisasi lama, sehingga terjadi perlengketan peri artikuler, perlengketan
intraartikuler, perlengketan antara otot dan tendon. Pencegahannya
berupa memperpendek waktu imobilisasi dan melakukan latihan aktif dan
pasif pada sendi. Pembebasan periengketan secara pembedahan hanya
dilakukan pada penderita dengan kekakuan sendi menetap (Apley &
Solomon,1993).
Penatalaksanaan
3. Pembentukan kallus
Fibroblast paa jaringan granulasi kolagenoblast kondroblast partisipasi
osteoblast sehat terbentuk kallus (Woven bone)
Klasifikasi lanjut fraktur terbuka tipe III (Gustillo dan Anderson, 1976) oleh Gustillo,
Mendoza dan Williams (1984):
Tipe Batasan
IIIA Periosteum masih membungkus fragmen fraktur dengan kerusakan jaringan
lunak yang luas
IIIB Kehilangan jaringan lunak yang luas, kontaminasi berat, periosteal striping atau
terjadi bone expose
IIIC Disertai kerusakan arteri yang memerlukan repair tanpa melihat tingkat
kerusakan jaringan lunak.
B. Condition of Skin: 1
• No devitalized edge of wound without contussion 2
• Contused edge of wound/ subcutan or with small area of degloving 3
• Large area of degloving or skin loss or skin avulsion
II. Muscle Damage
• No muscle contusion or sircumscribed muscle contusion or partial 1
rupture 2
• Total rupture of one compartement muscle 3
• Muscle defect with extensive muscle crush
III. Bone Damage
• Simple Fracture: Transverse, Oblique, Spiral, butterfly or with little 1
comminution.
• Simple Fracture with gross displacement, segmental fracture (little 2
displaced) or moderate comunition
• Gross comminution, boneloss / defect 3
IV. Neurovascular Damage
• No Neurovascular trauma 1
• Isolated or localized neurovascular trauma 2
• Extensive neurovascular trauma 3
V. Contamination
• No particle 5
• Only syperficial particle 10
• Deep particle 15*)
Note : *Add one for public watering accident or from farm accident or treated after
gol den period (deep particle score =15+1=16)
Skor untuk fraktur terbuka grade I atau ringan: 10, grade II atau sedang 11-20, grade III atau
berat : 21-31. Grade IIIA bila fragmen fraktur masih tertutup jaringan lunak, grade IIIB bila
terdapat ekspose fragmen fraktur, dan grade III C bila terdapat kerusakan pembuluh darah
vital sehingga untuk mempertahankan kehidupan bagian distal fraktur membutuhkan
tindakan repair. (Khairuddin & Armis, 2002; Supriyanto & Armis, 2004 ).
EKSTREMITAS SUPERIOR
I. Fraktur Skapula
Akibat trauma langsung.. Fraktur korpus dan kollum scapula umumnya terjadi
pergeseran akibat tarikan otot-otot yang melekat disitu
Terapi konservatif (Istirahat dan mobilisasi dini setelah sakit hilang.)
Otot ini berfungsi sebagai stabilisator, sehingga robekan kecil pada otot supraspinatus
menimbulkan Tendinitis supraspinatus dan bila robekan luas penderita tidak bisa abduksi
Terapi repair
Union terjadi 3 minggu disertai kallus yang menonjol dimana pada anak akan hilang
sebab mempunyai daya remodelling
Macamnya :
1. Fraktur Kollum Chirrugikum humeri
Pada anak muda dipikirkan reposii terbuka dengan fiksasi interna
Terapi Imobilisasi collar and cuff selama 3 minggu
Anatomi
Sendi siku terjadi antara trochlea dan capitulum humerus dengan incisura trochlearis
ulnae dan caput radii. Sendi siku dillalui oleh beberapa bangunan, di sebelah anterior
terdapat muskulus brachialis, tendo muskulus biceps, nervus medianus dan arteri
brachialis. Di sebelah posterior terdapat muskulus biceps dan bursa minor. Nervus
ulnaris terdapat di sebelah medial dan tendo muskulus ekstensor communis dan
muskulus supinator terletak di lateral.
Suprakondilar humerus terletak di bagian distal dari humerus, tulang tersebut kurang
kuat dibanding tempat lain karena adanya fossa koronoid, fossa olekranon dan fossa radii.
Kolum medial suprakondilar lebih tipis dan substansi tulang kurang bila dibanding
dengan kolum lateral suprakondilar. Sendi siku mampu untuk melakukan gerakan
fleksi dan ekstensi, dimana gerakan fleksi dilakukan oleh muskulus brachialis,
muskulus biceps, muskulus brachioradialis dan muskulus pronator teres. Sedangkan
gerakan ekstensi dilakukan oleh muskulus triceps dan muskulus anconeus.
Dari proyeksi anteroposterior (AP), perlu dinilai sudut yang di bentuk oleh garis
longitudinal humerus dan garis yang melalui koronal kapitulum humeri, sudut ini
disebut sudut bowman. Normal didapatkan sudut bowman sebesar 800 – 890, bila
didapatkan sudut ini kurang dari 50, dikatakan bahwa posisi tulang tersebut tidak
aceptable. Sudut yang lain yaitu sudut antara diaphisis dan metaphisis, sebesar 90 0.
Proyeksi lateral, normal didapatkan garis antero humeral akan melewati pusat
osifikasi pada kondilus humeri dan bagian distal dari kondilus akan membentuk sudut
ke anterior sebesar 400.
2. Tipe Fleksi
Anak jatuh pada telapak tangan dengan tangan dan lengan bawah dalam posisi
pronasi dan siku dalam posisi sedikit fleksi. Kortek anterior akan mengalami
pergeseran sehingga pada fragmen distal akan ke anterior pada bidang sagital,
dan pada bidang coronal, fragmen distal akan bergeser ke lateral. Sehingga
fragmen distal pada fraktur tipe ini akan bergeser ke arah anterior dan
proksimal. jarang terjadi komplikasi neurovaskular, yaitu cedera nervus ulna
biasanya karena terkena ujung dari fragmen proksimal.
Klasifikasi
Pada prinsipnya, klasifikasi fraktur suprakondilar tipe ekstensi dibagi berdasarkan
derajat pergeseran fragmen distal terhadap fragmen proksimal.
Gartland ( 1959 ), membagi 3 Type :
I undisplaced or minimally displaced
IA : non displaced
IB : medial impaction
Pada tipe I, fraktur tanpa adanya pergeseran dari kedua fragmen, kadangkala
garis fraktur sukar dilihat pada gambaran radiologis.
II displaced with angulasi and rotation
IIA : posterior angulasi
IIB : malrotation with or without posterior angulation.
III displaced complete
IIIA : fragmen distal ke arah posteriormedial
IIIB : fragmen distal ke arah posteriorlateral
Penatalaksanaan
Pada prinsipnya mengembalikan fragmen ke posisi anatomis dan mempertahankan
kedudukan tersebut dan mencegah terjadinya komplikasi.
Sebelum dilakukan pemeriksaan radiologis, perlu dilakukan immobilisasi dengan
bidai. Pada fraktur tipe ekstensi, posisi fleksi pada siku harus dihindari karena
menyebabkan kerusakan labih lanjut dari system neurovaskular. Anggota gerak dibuat
immobilisasi degan bidai pada posisi yang mengalami deformitas, dengan posisi siku
ekstensi dan lengan bawah pronasi. Sirkulasi harus selalu dicek sebelum dan selama
melakukan tindakan reposisi. Penanganan fraktur suprakondilar tergantung tipe dari
fraktur tersebut.
Pada fraktur suprakondilar tipe ekstensi :
Tipe I
Tanpa pergeseran, immobilisasi dengan posisi siku fleksi tidak lebih dari 900. Bila
terdapat pergeseran penanganannya dengan menggunakan back slap long arm dengan
posisi siku fleksi.
Fleksi dilakukan sampai 1200 sehingga lebih stabil dan juga pada posisi ini dapat
mengurangi resiko terjadinya trauma neurovaskular karena tindakan. Untuk reposisi
tertutup perlu relaksasi yang sempurna dan hanya bisa dicapai dengan anestesi umum,
operator menarik lengan bawah sedikit fleksi 300 dan supinasi.
Fleksi 300 tersebut untuk melindungi kerusakan pembuluh darah dan saraf akibat
tegangan karena tarikan. Operator melakukan koreksi posisi pada fragmen distal. Bila
berada di medial dilakukan dorongan ke lateral agar berada satu garis dengan fragmen
proksimal, demikian juga sebaliknya. Setelah itu kedua ibu jari operator berada pada
posisi posterior fragmen distal mendorong ke anterior disertai tekanan jari – jari lain
yang berada di humerus proksimal ke dorsal, kemudian dilakukan fleksi maksimum.
Tipe II :
Bila fraktur disertai angulasi dengan aligment yang masih bagus, lebih adekuat untuk
dilakukan tindakan minimal reposisi. Reposisi dilakukan dengan siku dalam keadaan
pronasi dan fleksi tidak lebih dari 1200,
Bila disertai rotasi dipilih percutaneus pinning. Percutaneus pinning yang digunakan
yaitu fiksasi dengan k-wire, dilakukan setelah kedudukan anatomis kedua fragmen
tercapai menghasilkan immobilisasi yang cukup bagus. Pemasangan pinning yang
paling stabil dapat dilakukan dengan cara pin yang mennyilang dari kondilus lateral
dan kondilus medial. Kontra indikasi pemasangan percutaneus pinning antara lain
oedem hebat, reposisi tertutup yang tidak tercapai, fraktur kominutuif dan fraktur
terbuka.
Tipe III :
1. reposisi
2. percutaneus pinning dengan fiksasi k-wire
3. reposisi terbuka
Reposisi terbuka atau operasi pada fraktur suprakondilar tipe ekstensi dilakukan
pada reposisi tertutup yang gagal, fraktur terbuka atau gangguan neurovaskuler.
Pada pembengkakan yang hebat akan terjadi hematom yang banyak di daerah
tersebut, maka perlu dikeluarkan sehingga penekanan terhadap neurovaskuler akan
berkurang. Kejelekan dilakukannya open reduksi antara lain terjadinya kekakuan
sendi, terjadinya myositis osifikan, iskhemik dan kerusakan pada tempat pertumbuhan
tulang dan adanya resiko infeksi.
Reposisi dikatakan berhasil bila baik secara klinis atau radiologis. Secara klinis
dikatakan baik bila :
1. sendi siku dapat fleksi maksimal, bila tidak bisa fleksi maskimal kemungkinan
sudut antara sumbu longitudinal humeri dengan kondilus belum tercapai atau
adanya interposisi jaringan lunak antara kedua fragmen.
2. setelah hiperfleksi secara hati – hati, dilakukan ekstensi dan dibandingkan
dengan sisi yang sehat.
Pemeriksaan radiologis dilakukan setelah reposisi, dengan foto posisi AP dan lateral.
Untuk posisi lateral dinilai sudut longitudinal humeri dan distal kondilar. Dinilai
apakah ada crescent sign, yang berarti terjadi kubitus varus. Pada posisi AP, dinilai
sudut bowman, sudut diaphisis – metaphisis. Bila fragmen distal terjadi rotasi tampak
gambaran fish tail.
Hasil reposisi dikatakan adekuat bila tidak terjadi angulasi ke lateral atau medial,
pergeseran ke medial atau lateral tidak lebih dari 25% dan angulasi ke posterior tidak
lebih dari 100. Perbedaan sudut bowman antara sisi yang sehat dan yang sakit tidak
lebih dari 40. Rotasi ke medial merupakan predisposisi terjadinya kubitus varus karena
akan terjadi angulasi koronal. Walaupun adanya rotasi tersebut bukan merupakan
deformitas dan rotasi lengan akan di koreksi oleh sendi bahu. Manipulasi yang
berulang sebaiknya dihindari karena akan mencederai pembuluh darah dan saraf.
Komplikasi
Pada fraktur suprakondilar tipe ekstensi komplikasi yang paling sering terjadi cedera
pembuluh darah dan saraf.
1. Cedera pada arteri brakhialis, dimana hal ini akan menyebabkan terjadinya
volkman’s iskemik. Kelainan ini akan menyebabkan nekrosis dari otot dan saraf
tanpa disertai ganggren perifer. Gejala dari volkman’s iskemi adanya pain,
pallor, hilangnya pulsus, parestesi dan paralysis.
2. Cedera saraf yang paling sering terjadi adalah cedera pada nervus radialis,
nervus median dan nervus ulna.
3. Myositis osifikans, jarang terjadi dan biasanya terjadi karena manipulasi yang
berlebihan atau terjadi pada reposisi terbuka yang terlambat dilakukan.
4. Malunion dapat merupakan komplikasi dari fraktur ini, biasanya terjadi kubitus
varus, disebabkan reposisi yang tidak adekuat.
Kontraktur Volkman
Akibat m. Fleksor digitorum profundus mati diganti jaringan fibrous.
Jari-jari posisi fleksi Claw Hand
c. Fraktur Olekranon
Tempat insersi otot Trisep brachii, sehingga bila terjadi fraktur akan terjadi
pergeseran ke proksimal.
Klasifikasi :
I. Tanpa pergeseran gips sirkuler
II. Dengan pergeseran Screw atau TBW
III. Kominutif Eksisi fragmen & melekatkan kembali otrisep pada olekranon
V. Fraktur Antebrachii
Anatomi
Tulang radius dan ulna tidak saja sebagai penghubung lengan atas dan maupun
tangan tapi mempunyai fungsi pronasi dan supinasi dengan gerakan radius dan ulna.
Kedua tulang lengan bawah dihubungkan oleh sendi radioulna yang diperkuat oleh
ligamentum anulare yang melingkar kapitupulum radius dan di distal oleh sendi
radioulna yang diperkuat oleh ligamentum radiuulna yang mengandung fibrokartilago
triangularis. Membran interosea memperkuat hubungan ini sehingga radius dan ulna
merupakan satu kesatuan yang kuat. Oleh karena itu, patah yang hanya mengenai satu
tulang agak jarang terjadi atau bila patahnya hanya mengenai satu tulang saja hampir
selalu disertaii dislokasi sendi radioulna yang dekat dengan patah tersebut.
Selain itu, radius dan ulna dihubungkan oleh otot antar tulang yaitu musculus
supinator, musculus pronator teres, musculus pronator kuadratus yang membuat
gerakan pronasi dan supinasi. Ketiga otot itu bersama dengan otot lain yang berinsersi
dengan radius dan ulna menyebabkan patah tulang lengan bawah disertai dislokasi
angulasi dan rotasi terutama radius.
Antebrachii terdiri atas dua buah tulang parallel yang berbeda panjang bentuknya ; os
radius dan os ulna. Disebelah proksimal membentuk tiga persendian sedangkan
sebelah distal dua persendian. Tulang radius, lebih pendek daripada ulna, bentuk lebih
melengkung dan bersendi dengan os ulna pada bagian proksimal dan distal “radio-
ulnar joint” yang bersifat rotator. Antara kedua tulang ini juga dihubungkan oleh
membran interroseus, suatu jaringan fibrous yang berjalan abliq dari ulna ke radius.
Membran ini berfungsi merotasikan tulang radius terhadap os ulna, yang
menghasilkan gerakan pada lengan bawah
Muskuli antebrachii dapat dikelompokan menjadi :
a. Kompartemen anterior di isi oleh muskuli fleksor
b. kompartemen posterior di isi oleh muskuli ekstensor.
Beberapa muskuli ada yang berperan dominan dalam mempertahankan posisi dan
gerakan sendi lengan bawah dan tangan (elbow and wrist joint). Muskulus tersebut
adalah :
No Fungsi Muskulus
1 Fleksor elbow m. brachialis, m. Biceps, m. Brachioradialis
2 Ekstensor elbow m. triceps, m. Anconeus
3 Supinator elbow m. supinator, m. Biceps
4 Pronator elbow m. pronator teres, m. Pronator guadratus
5 Fleksor pergelangan m. fleksor carpi radialis, m. Fleksor carpi ulnaris
tangan
6 Ekstensor m. ekstensor carpi radialis longus dan brevis,
pergelangan tangan m. Ekstensor carpi ulnaris
Aliran darah regio antebrachii merupakan lanjutan dari a brachialis, yang bercabang
menjadi a radialis dan a ulnaris setinggi caput os radii. Sedangkan persyarafan
antebrachii berasal dari tiga nervus, n radialis, n ulnaris, n medianus.
Terapi manipulasi Fraktur antebrachii
• Bila garis fraktur di proksimal dilakukan gips posisi supinasi
• Bila garis fraktur di tengah Gips posisi netral
• Bila garis fraktur di distal Gips posisi pronasi
a. Fraktur Monteggia
Fraktur Ulna 1/3 proksimal / tengah dengan dislokasi kaput radii antrior /
posterior
Pemeriksaan penting pada saraf radialis dan olekranon
b. Fraktur Galeazzi
Fraktur Radius 1/3 distal / tengah disertai subluksasio sendi radiuulnaris.
Jenis fraktur ini biasanya tidak stabil artinya penangananya dilakukan operasi.
Untuk menjaga panjang antomi tulang radius.
c. Fraktur antebrachii distal
Anatomi, Fisiologi dan Mekanisme :
Lengan bawah mempunyai dua tulang, yang radius dan ulna yang ke distal
berakhir dan membentuk persendian radioulnaris distal dan persendian dengan
tulang carpalia. Stabilitas persediaan ini dipertahankan oleh 5 struktur :
1. ligamentum radio – ulnaris volaris
2. ligamentum radio – ulnaris dorsalis
3. tendon m. extensor carpi ulnaris dalam “fibro osseus tunnelnya”
4. fibro – cartilage disc.
5. ligamentum collateralis ulnaris.
Tulang radius ke arah distal membentuk permukaan yang lebar sampai
persendian dengan tulang carpalia. Dan peralihan antara dense cortex dan
cancellous bone pada bagian distal merupakan bagian yang sangat lemah dan
mudah terjadi fraktur. Penting sekali diketahuii kedudukan anatomis yang
normal dari pergelangan tangan, terutama posisi dari ujung distal radius.
Perlu diperhatikan 3 ukuran yang utama :
1. Radial height : Yaitu jarak proccesus styloideus radii terhadap ulna.
Diukur dari jarak antara garis horizontal yang ditarik melalui ujung
procesus styloideus radii dan melalui ujung distal ulna. Ukuran normalnya
kira-kira 1 cm.
2. Derajat “ulna tilt” atau “ulna deviation” dari permukaan sendi ujung
distal radius pada posisi anterior posterior. Normal, permukaan sendi ini
letaknya miring menghadap ke ulnar. Derajat miringnya diukur dari
besarnya sudut antara garis horizontall yang tegak lurus pada sumbu
radius dan garis yang sesuai dengan permukaan sendi. Normal : 15 – 30
derajat, rata-rata 23 derajat.
3. Derajat “volar tilt” (volar deviation) dari permukaan sendi radius pada
posisi lateral. Normal : permukaan sendi ini miring menghadap kebawah
dan kedepan. Besarnya diukur dengan sudut antara garis horizontal tegak
lurus sumbu radius dan garis yang sesuai dengan permukaan sendi.
Normal : 1 – 23 derajat, rata-rata 11 derajat.
Alat-alat gerak yang meliputi ini ialah :
▪ Posterior :
Berbentuk cembung dan terdapat sekumpulan tendon/otot extensor yang
mempunyai fungsi ekstensi.
▪ Anterior :
Berbentuk cekung dan terdapat sekumpulan tendon/otot fleksor yang
mempunyai fungsi fleksi lengan bawah dan tangan. Dan pada bagian dalam ada:
m. pronator quadratus yang berjalan menyilang dan berfungsi terutama untuk
pronasi.
• Lateral :
Tampak m. supinator longus yang mempunyai insersi pada procesus. styloideus
radii yang mempunyai fungsi utama sebagai supinasi.
1. Fraktur Colles
Fraktur Colles paling sering ditemukan pada orang dewasa usia lanjut, dengan
insidensi yang tinggi berhubungan dengan permulaan osteoporosis pasca
menopause,oleh sebab itu pasien biasanya wanita dengan riwayat jatuh dengan
tangan terentang. Burkhaeta (1985) mengatakan pada saat memikirkan fraktur
pada ekstremitas atas pada usia lanjut maka segera terpikirkan pertama kali
adalah fraktur Colles.
Patah tulang antebrachii sering terjadi pada bagian distal yang umumnya
disebabkan oleh gaya pematah langsung sewaktu jatuh dengan posisi tangan
hiperekstensi. Hal ini dapat diterangkan oleh karena adanya mekanisme refleks
jatuh di mana lengan menahan badan dengan posisi siku agak menekuk seperti
gaya jatuhnya atlit atau penerjun payung.
Fraktur Colles adalah fraktur pada tulang radius berjarak kurang atau sama
dengan 2,5 cm dari pergelangan tangan (Mc Rae, 1992), Apley dan Solomon,
1987.
Sheikh dan Murthy (2000), memberi batasan sebagai fraktur metafisis distal
radius, biasanya terjadi pada 3 – 4 cm dari facies artikularis dengan angulasi
volar dari apex fraktur (deformitas garpu perak), pergeseran ke dorsal dari
fragmen distal dengan diikuti pemendekan (shortening) radial. Keadaan ini dapat
atau tidak disertai fraktur styloideus ulnae. Variasi intraartikular dapat
melibatkan facies artikularis distal radius serta artikulatio radiocarpea dan
radioulnaris.
Fraktur Colles diuraikan pertama kali oleh Abraham Colles tahun 1814 sebagai
fraktur dislokasi ujung distal radius berjarak satu setengah inci dari sendi, yang
ternyata terbukti kebenarannya dengan perkembangan radiolografi (Pool, 1973).
Klasifikasi :
Gertland dan Werley cit Zabinski dan Weiland (1999), mula-mula membagi
trauma distal radius ke dalam fraktur ekstra artikular dan intraartikular.
Kebanyakan klasifikasi fraktur dibuat berdasarkan anatomii fraktur. Klasifikasi
Frykman didasarkan pada keterlibatan artikulatio radiokarpal dan atau
radioulnar serta ada tidaknya fraktur styloideus ulnae.
2. Fraktur Smith
Fraktur Smith adalah fraktur dari radius bagian distal yang lokasinya ½ - 1 inch
dari ujung distal radius dengan pergeseran fragmen distal ke depan (volar) dan
ke atas disertai pergeseran ulna bagian distallke belakang (dorsal).
Robert William Smith di Dublin (1847) mengatakan bahwa fraktur jenis ini
jarang terjadii dan merupakan lawan dari fraktur Colles. John Rhea Barton di
Philadelpia (1838), mengemukakan bahwa faktur Barton adalah: fraktur anterior
dan posterior dengan dislokasi pergelangan tangan. Fraktur Colles adalah
fraktur posterior dengan dislokasi pergelangan tangan. Dan fraktur anterior
dengan dislokasi pergelangan tangan inii disebut sebagai salah satu tipe dari
fraktur Smith.
Thomas (1957), mencoba membagi fraktur Smith ini menjadi 3 tipe dan fraktur
barton jenis anterior dengan dislokasi pergelangan tangan salah satu tipe dari
fraktur Smith.
Penatalaksanaan
• Konservatif :
Mills (1957), telah menganjurkan cara manipulasi dari fraktur Smith
dengan mengembalikan arah persendian seperti semula. Mills dan
Thomas menyarankan cara mengunci fragmen pada tempatnya dengan
posisii supinasi penuh. Imobilisasi dengan sirkuler gips diatas siku selama
5 – 6 minggu.
Plewer (1962), menganjurkan untuk mobilisasi setelah gips dibuka supaya
cepat, sebab kalau kurang aktif akan mengakibatkan pergerakan pronasi
yang terbatas dan terjadi kekakuan sendi tangan dan siku.
De Palma menganjurkan sebagai berikut
1. Type I : Fraktur Smith dengan comminutive yang oblique dilakukan
reduksii dengan traksi, manipulasi dan transfiksasi dengan pin.
2. Type II : Fraktur Barton atau disebut pula fraktur marginal anterior
tipe fleksi.
▪ Disini dilakukan reduksi dengan traksi dan menipulasi dengan
anestesi umum.
▪ Penderita tidur telentang dan posisi siku tegak lurus, lengan
bawah pada posisi pertengahan (mid position).
▪ Dilakukan traksi dengan alat Weinberg pada jari-jari diatas siku
yang diikatkan ke bawah meja.
▪ Selama traksi, dengan dua tangan diletakkan pada
pergelangan tangan, lalu pergelangan tangan diletakkan dalam
posisi dorsoflexi ringan dan lengan bawah dalam mid position,
kemudian dipasang circuler gips dari bawah siku sampai
tangan setinggi persendian metacarpo-phalangeal.
▪ Sesudah itu alat traksi dilepas. Kontrol foto AP dan Lateral
untuk melihat kedudukan tulang tersebut.
3. Type III : Fraktur Smith yang non comminutive, tipe fleksi :
▪ Disini juga dilakukan reduksi dengan traksi dan manipulasi
dengan anestesi umum dan lengan bawah posisi supinasi.
▪ Penderita tidur terlentang dan posisi siku tegak lurus lalu
dilakukan traksi dengan alat Weinberg pada jari-jari diatas siku
yang diikatkan di bawah meja.
▪ Dengan dua tangan dimana jari-jari II – V diletakkan pada
fragmen proximal sebelah dorsal dan dua ibu jari menekan ke
atas dan ke belakang pada fragmen yang distal sampai
pergelangan tangan dalam posisi dorsofleksi dan deviasi
kearah ulnar.
▪ Lalu dipasang sirkuler gip dari bawah siku ke distal sampai
setinggii persendian metacarpo – phalangeal dan kemudian
alat traksi dilepas. Sesudah reposisi, dilakukan :
▪ Kontrol foto, bila kedudukan jelek, reposisi lagi.
• Operatif :
Cauchoix, Dupare dan Potel (1960), Menganjurkan pengobatan fraktur
Smith dengan fiksasi dalam (internal fixation) dengan memakai plat kecil
berbentuk T (Ellis plate) dimana dua sekrup dipasang pada fragmen
proximal sedangkan fragmen distall ditahan dengan kuat tanpa memakai
sekrup.
tehnik operasi yang dianjurkan adalah sebagai berikut :
▪ Incisi vertikal melalui sisi radial arah volar dari lengan bawah
bagian distal dan incisi diperdalam sampai m. pronator quadratus
antara m. flexor carpi radialis pada sisi lateral dan m. palmaris longus
dan medianus pada sisi medial.
▪ M. flexor pollicis longus ditarik ke lateral dan tendon m. flexor
digitorum sublimis ke medial, dan m. pronator quadratus tampak pada
sisi inferior dari tulang radius bagian bawah.
▪ Fraktur diperbaiki dengan plat kecil, menyudut untuk
menyesuaikan dengan permukaan dari tulang, lalu dipasang
sekrup pada fragmen proximal 2 buah dan pada fragmen yang
distal plat tanpa sekrup berguna untuk menyangga yang kuat dari
fragmen yang telah dilakukan reposisi.
▪ Akhir-akhir ini plat berbentuk T yang kecil telah tersedia, dimana
pada fragmen tulang yang proximal dengan 2 sekrup pada bagian
vertikal.
▪ Lalu luka operasi ditutup lapis demi lapis sampai kulit dan
dipasang bebat tekan.
▪ Mobilisasi jari-jari dimulai sejak hari pertama dan pergerakan
pergelangan tangan, lengan bawah dimulai segera setelah bebab
tekan dilepas.
Keuntungan :
▪ Hasilnya cukup memuaskan.
▪ Sesudah operasi pergerakan dapat dilakukan dengan segera tanpa
terjadi redisplacement dari fragmen yang mengalami fraktur.
▪ Diantara ke 3 tipe dari fraktur Smith, tipe Barton adalah yang paling
memuaskan pada pengobatan dengan cara operasi ini, juga pada
tipe yang lain cukup memuaskan.
Komplikasi :
a. Kerusakan jaringan lunak : Yang penting disini adalah kerusakan n.
medianus karena tekanan dari fragmen radius yang fraktur.
b. Malunion : Karena reposisi dan immbolisasi yang kurang baik.
c. Non union :
d. Osteoarthritis
e. Gangguan pronasi dan supinasi
Type 1. Grs. Fraktur melewati epifisial plate seperti Slippe femoral epiphysis
Type 2. Grs fraktur melewati epifisial plate kemudian sebagian berlanjut ke
metafisis
Type 3. Grs. Fraktur dari permukaan sendi ke proximal kemudian berlanjut
ke epifisial plate (intra artikuler)
Type 4. Grs Fraktur dari permukaan sendi ke proximal yang berakhir di
metafisis (intra artikuler)
Type 5. kerusakan dari sebagian epifisial plate akibat gaya trauma kompresi
Diagnosis.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis pemeriksaan klinis dan radiologis
anterior posterior dan lateral.
Penanganannya Dengan gips selama 4 minggu
EKSTREMITAS INFERIOR
Anatomy of the lower Extremity
Management :
Evaluasi A, B, C
Syok akibat perdarahan , infus dan transfusi 4-6 U (24-36 jam pertama)
perdarahan tetap transfusi 10-12 U (24-36 jam pertama) perdarahan hebat
lakukan laparotomi dan repair pikirkan artrografi.
Konservatif Istirahat sampai nyeri hilang tipe A
Pelvik sling tipe B stage 2
Operatif Hentikan perdarahan, Stabilkan fraktur tipe C, Cytostomi, Repair
arteri
I II III IV
Dislokasi posterior sendi kokse ( dasboard Injury / Putri malu : terdiri dari Fleksi,
adduksi, internal rotasi dan Shortening
Komplikasi ;
1. Trauma saraf skiatika
2. Osteoarthritis
3. Nekrosis avaskuler kaput femoris
Klasifikasi
A. Menurut AO dibagi menjadi :
I. Proksimal / Hip fraktur
a. Fraktur Caput femoris
b. Fraktur Collum femoris
c. Fraktur Intertrochanterica
d. Fraktur Subtrochanterica
II. Diafise
III. Distal
a. Fraktur Supracondylar
b. Fraktur Intercondyler
B. Berdasarkan hubungan thd kapsul :
I. Ekstra kapsuler
II. Intra kapsuler
Evan’s Classification
III. Hip Fraktur / Caput femur
HIP adalah batas antara pelvis dengan ekstremitas bawah, sedang HIP JOINT
dibentuk dari caput femoris dan acetabulum
2. Ekstrakapsuler
Pada frakur ini akan tidak merusak vaskularisasi sehingga nekrosis vaskuler tidak
terjadi. Sering pada wanita usia lanjut akibat osteoporosis
Terapi :
Usia muda screw and plate, angle palte, condyler plate
Usia lanjut ORIF, bila menolak skintraksi sampai nyeri hilang
Berjalan melalui Ligamentum Teres. Arteri ini dominan pada anak-anak , dan pada
orang tua akan mengalami resolusi, artinya jika terjadi fraktur maka nutrisi kaput
femoris terganggu terjadi nekrosis avaskuler
Pada fraktur collum femur akan merusak ketiga vaskularisasi diatas.
Pada fraktur Collum femur (Intrakapsuler) mempunyai resiko tinggi terjadi Non union
dan avaskuler nekrosis karena :
1. Gangguan aliran darah ke kaput femoris karena vaskularisasi minimal
2. Daerah ini tidak ada periosteum sehingga penyembuhan melalui endosteum
3. Daerah ini terdapat cairan sinovial yang menghancurkan bekuan2 fibrin
sehingga memperlambat penyembuhan fraktur
Insiden fraktur collum femur lebih banyak pada wanita daripada lak-laki, karena ada
hubungan dengan penurunan kadar estrogen yang menyebabkan osteoporosis. Pada
fraktur collum seslalu terjadi displaced upward dan downward terhadap caput femur,
dimana menyebabkan rotasi eksternal dan pemendekan kaki (shortening). Jika klinis
curiga fraktur, radiologi tidak terlihat lakukan pemeriksaan Bone scanning dan untuk
melihat displaced secara jelas dengan MRI
Terapi :
Operatif Displaced
Usia muda ; ORIF
Usia tua kualitas tulang baik : Orif Kualitas tulang jelek : Uni / bipoler
hemiarthroplasty
Fraktur Hoffa adalah fraktur kondylus femoris akibat trauma langsung pada lutut
dalam posisi fleksi sehingga permukaan sendi pada condylus tersebut pecah,
merupakan bagian dari fraktur distal femur. Fragmen distal fraktur tersebut dapat
mengalami pergeseran (displaced) atau tidak sama sekali (undisplaced).
Fraktur Hoffa dibagi menurut implikasi prognosisnya menjadi 3 tipe yaitu
I. Garis fraktur intra artikuler yang menjalar ke daerah suprakondilaris femoris
dengan beberapa jaringan lunak masih melekat pada fragmen distal .
II. Fraktur intra artikularis tanpa ada perlekatan jaringan lunak pada fragmen
distal
III. Garis fraktur sedikit ke anterior dan ke proksimal dari kondilus demoris dengan
perlekatan jaringan lunak serta ligamentum pada fragmen distal.
Hoffa adalah seorang pengarang buku “ Lehrbuch der Frakturen und Luxationen “
pada tahun 1904 . Dialah orang pertama yang menulis tentang fraktur yang terjadi di
kondilus femoris pada daerah posterior. Oleh sebab itu Smillie dan Crenshaw menulis
bahwa fraktur di daerah tersebut disebut fraktur Hoffa. Fraktur Hoffa terjadi berdiri
sendiri (isolated) pada sisi lateral (terbanyak) atau sisi medial bahkan dapat terjadi
pada kedua sisi (lateral dan medial).
Letenneur membuat klasifikasi fraktur Hoffa ini menjadi 3 tipe dan kemudian
dilakukan penelitian oleh lewis et. al pada mayat sebagai berikut :
Tipe I
Garis fraktur Intraartikular yang menjalar ke daerah
suprakondiler Femoris dan beberapa jaringan lunak
masih melekat pada fragmen distal fraktur sehingga
prognosis baik karena otot popliteus dan gastroknemius
masih melekat.
Tipe II
fraktur intraartikular komplit dan tidak ada jaringan
lunak yang melekat pada fragmen distal sehingga dapat
terjadi nekrosis avaskular.
Pada tipe ini di bagi lagi menjadi a, b dan c
Prognosis tipe II ini adalah jelek karena perlengketan
otot popliteus dan gastroknemius sangat kurang
bahkan tidak ada sama sekali seperti tipe II c.
Tipe III
Garis fraktur sedikit ke anterior permukaan sendi dan
ke proksimo-posterior dari kondilus femoris Jaringan
lunak atau ligamentum masih melekat pada fragmen
distal sehingga prognosis tipe III adalah baik karena
garis fraktur berada di anterior dari ligamentum
krusiatum anterior maupun ligamentum kolaterale
fibulare dan ligamentum tibiale.
Schatzker Classification
Type I : Type II:
A Split weight fracture of the split depression fracture of
lateral plateau without any joint the lateral plateau.
depression. There is a high risk
of ligamentous injury.
Type V: Type VI :
A big condylar fracture. Separation of the metaphysis
from the diaphysis
Anatomi
Tibia merupakan tulang medial besar cruris,
yang berartikulasi dengan condylus femoris
dan caput fibulae di proximal dan dengan talus
serta ujung distal fibula di bagian distalnya.
Pada bagian ujung proximal terdapat condylus
medialis dan lateralis (plateau tibialis
medialis dan lateralis), yang berartikulasi
dengan condylus medialis dan laterlis femur,
dipisahkan oleh kartilago semilunaris medialis
dan lateralis (meniscus medialis dan lateralis).
Condylus lateralis memiliki facies artikularis
sirkularis untuk caput fibulae pada aspek
lateralnya. Condylus medialis mempunyai
sebuah alur pada aspek posteriornya untuk
insersio m. semimembranosus. Corpus tibia
berbentuk segitiga pada potongan melintang,
dengan 3 margo dan 3 facies. Margo anterior
dan medial, dengan facies medialis
diantaranya, terdapat di subkutan.
Pada pertemuan margo anterior dengan ujung atas tibia terdapat tuberositas, tempat
melekat lig. Patellae. Margo lateral atau interossea menjadi tempat perlekatan
membrane interossea. Facies posterior corpus tampak garis serong linea musculi solei.
Ujung distal tibia sedikit melebar dan pada aspek inferiornya tampak permukaan sendi.
Ujung bawahnya memanjang ke bawah membentuk malleolus medialis. Facies lateralis
malleolus medialis berartikulasi dengan talus.
Membrana interossea membagi cruris menjadi tiga ruang: anterior, lateral dan
posterior. Arteri poplitea mensuplai darah ke tibia dan fibula, bercabang menjadi a.
tibialis anterior, a. tibialis posterior dan a. peroneal. Nervus tibialis posterior mengikuti
a. tibialis posterior dan menginervasi ruang posterior yaitu m. gastrocnemius, m.
plantaris, m. soleus dibagian superficial serta m. popliteus, m. flexor digitorum longus,
m. flexor hallucis longus dan m. tibialis posterior dibagian profunda. Arteri nutrisial ke
tulang tibia berasal dari a. tibialis posterior. N. tibialis anterior menginervasi ruang
anterior, yaitu m. tibialis anterior, m. extensor digitorum longus m. peroneus tertius,
dan m. exstensor hallucis longus. Ruang lateralis berisi m. peroneus longus dan brevis
yang diinervasi n. peronealis.
Fraktur Tungkai Bawah disebut juga tulang Tibia Fibula (Levin & William, 1997).
Secara anatomis tungkai bawah dibagi tiga yaitu:
1. Fraktur tungkai bawah proksimal disebut juga fraktur plateau tibia.
2. Fraktur tungkai bawah media disebut fraktur shaft.
3. Fraktur tungkai bawah distal disebut fraktur pilon atau tibial plafond.
Melihat susunan anatomi tungkai bawah dengan permukaan medial tibia hanya
dilindungi jaringan subkutan periosteum yang melapisi tibia agak tipis terutama
bagian depan yang hanya dilapisi kulit sehingga tulang ini mudah patah dan susunan
frakturnya bergeser. Karena letaknya yang berada langsung di bawah kulit sering
memudahkan terjadinya fraktur terbuka. Fraktur tungkai bawah merupakan akibat
terbanyak dari kecelakaan lalu lintas. Tenaga rotasi dapat terjadi juga pada
olahragawan seperti saat bermain bola. Cedera biasanya terjadi akibat gaya angulasi
yang menyebabkan garis fraktur transversal atau miring kadang dengan fragmen
kominutif.
a. Fraktur Plateau Tibia
Menurut Schatzker dan Mc Broom, fraktur plateau tibia dibagi 6 tipe, yaitu:
I. Fraktur kondilus lateral, biasanya terdapat pada usia muda
II. Fraktur condylus dengan impresi
III. Fraktur impresi sentral plateau lateral tanpa fraktur condylus
IV. Fraktur plateau tibia medial
V. Fraktur bicondylar yang terdiri dari plateau condylus medial dan lateral,
VI. Fraktur kompleks yang menyebabkan terpisahnya metaphysis dengan
diaphysis tibia.
I II III
IV V VI
Bagian proximal tibia dengan korteks yang tipis mudah terkena cedera, terutama
pada orang dewasa berusia > 50 tahun dengan kondisi tulang yang osteoporotik.
Mekanisme trauma biasanya berupa trauma abduksi, atau pukulan langsung
pada bagian lateral tungkai dengan kaki terfiksasi pada permukaan tanah.
Trauma menekan lutut kearah valgus medial dan mendorong kondilus femur ke
plateau tibia lateralis. Tulang yang osteoporotik akan mengalami fraktur
sebelum ligament kolateral medial lutut robek. Permukaan sendi plateau tibia
lateralis akan terdesak ke kaudal dan lateral. Trauma membengkokkan,
memuntir atau trauma sumbu pada daerah plateau tibia dapat juga
menimbulkan berbagai fraktur plateau tibia, seperti fraktur sendi sentral
terdepresi. Lebih sering trauma menimbulkan kominutif, yang meluas ke
korteks metaphysis tibia. Satu atau kedua condylus bila terlibat disertai
hilangnya keharmonisan permukaan sendi tibia proximal.
Setiap fraktur plateau tibia harus memeriksa stabilitas ligament lutut dalam
posisi ekstensi penuh dan fleksi 15o-30o, sebab trauma didaerah tersebut
kemungkinan besar dapat mengakibatkan instabilitas sendi. Tujuan tindakan
terapi pada fraktur plateau tibia adalah mencapai gerakan penuh, aligmen dan
stabilitas sendi.
Secara klinik ditemukan nyeri lutut dank arena fraktur terjadi intraartikular
didapatkan hemartrosis. Hemartrosis yang besar, tegang, dan nyeri harus
diaspirasi dalam kondisi aseptik.
Semua fraktur yang tak ada pergeseran atau pergeseran kecil, diterapi secara
konservatif seperti imobilisasi dengan gip yang disebut “Long leg plester cast”.
Pada perpindahan fragmen atau fraktur kominutif permukaan sendi tibia dapat
dipikirkan penggunaan traksi. Pergeseran yang hebat pada setiap permukaan
sendi adalah indikasi untuk dilakukan operasi dan fiksasi interna.
Bila depresi fragmen fraktur <5 mm dan sendi lutut stabil dilakukan terapi
konservatif seperti diatas, tetapi bila depresi >5 mm atau bila kominutif
menyebabkan pergeseran angularis pada condylus, maka terapi operatif
diperlukan, yaitu mengangkat fragmen tersebut sehingga sejajar dengan
permukaan sendi kemudian diikuti peletakan graft dan fiksasi interna.
Terapi :
Pergeseran (-) konservatif dengan Long leg gips
Pergeseran (+) , comminutif(+) traksi orif
Fraktur tertutup tibia dengan garis fraktur transversal yang stabil dan tak ada
pergeseran, cukup diimobilisasi dengan gips atas lutut (Long-leg plester).
Pemasangan gip pada kaki harus posisi dorsofleksi 90 o. Pada lutut gip dipasang
dalam posisi lutut sedikit fleksi.
Fraktur dengan dislokasi fragmen dan tidak stabil atau garis fraktur obliq
membutuhkan traksi kalkaneus kontinyu selama 3 minggu. Setelah terbentuk
kalus fibrosis, dipasang gips atas lutut sampai 6 minggu.
Garis fraktur yang miring dan membentuk spiral tidak stabil karena cenderung
membengkok dan memendek sesudah reposisi tertutup, memerlukan tindakan
reposisi terbuka dan penggunaan fiksasi interna atau eksterna. Operasi dan
fiksasi interna dengan plate-screw untuk mencapai stabilisasi fragmen-fragmen
tersebut. Fiksasi interna dapat juga menggunakan nail dengan interlocking
screw.
Untuk fraktur terbuka, debridemen segera, irigasi dan antibiotika diperlukan.
Penutupan luka primer biasanya tidak diindikasikan. Penggunaan external
fixator device hanya pada fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan yang
hebat. Dengan cara ini perawatan luka akan lebih mudah dan mobilisasi serta
rehabilitasi dapat dilakukan dini. Intervensi bedah untuk fraktur tertutup
memberikan resiko infeksi dan harus dipertimbangkan terhadap resiko terapi
tertutup. Setiap selesai tindakan harus dilakukan pemeriksaan sinar x untuk
menilai aligmen, kontak fragmen dan apakah ada rotasi.
III. Kemudian Muller cit. Annis, (2003) mengusulkan klasifikasi yang lebih
mendetail, sehingga disebut sebagai AO Muller Classification. Pembagiannya
dibagi menjadi 3
Tipe A : fraktur ekstra artikuler
Tipe B : fraktur partial artikuler yang hanya melibatkan permukaan
sendi
Tipe C : fraktur komplit pada persendian dengan permukaan artikuler
kominutif
Type I:
Undisplaced Fracture
Type II:
Displaced Fracture with
Split Type Fracture
Type III:
Crush or Impacted Injury
with comminution and
displacement articular
surface
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pasien dengan fraktur tibia dan fibula memerlukan pengetahuan
tentang anatomi topografik, vaskularisasi dan neural ekstremitas inferior. Pada
cidera cruris, memposisikan cruris secara anatomic dapat memperlancar aliran
darah.
Semua punctum dan laserasi pada integumentum harus dipikirkan sebagai
fraktur terbuka sampai terbukti atau diruang operasi, dimana irigasi dan
debridemen luka terbuka diperlukan. Capilary refill, toe pulp turgor dan suhu
harus diperiksa, serta pulsasi a. tibialis posterior dan dorsalis pedis. Bila pulsasi
tak teraba karena syok atau vasokonstriksi, dapat menggunakan pemeriksaan
dopler. Cidera vascular biasanya terjadi diatas trifurcation a. poplitea, sehingga
bila terjadi fraktur dilokasi ini maka perlu dicurigai terjadi cidera vascular.
Bila capillary refill lambat atau dicurigai terjadi kerusakan vascular, arteriografi
dapat dipertimbangkan, terutama pada kasus fraktur dislokasi sendi lutut.
Palpasi sepanjang tulang tibia dapat menunjukkan adanya pembengkakan yang
menggambarkan pergeseran fraktur minimal. Pemeriksaan sendi lutut dan
pergelangan kaki untuk menyingkirkan adanya cidera ligamentum, seperti pada
fraktur plateau tibia yang dapat menyebabkan kerusakan ligament collateral
medial. Adanya angulasi varus atau valgus lutu dapat dicurigai terjadi fraktur
plateau tibia atau fraktur femur distal.
Pemeriksaan sensorik perlu dilakukan. Pada fraktur fibula proximal dapat
menyebabkan kerusakan n. peroneal, disertai gangguan sensorik dan motorik.
Disfungsi n. tibialis anterior dan n. peroneus profunda mengindikasikan adanya
sindrom kompartemen, hilangnya sensibilitas terhadap sentuhan ringan pada
plantar pedis menunjukkan adanya kompresi n. tibialis posterior.
Sindrom kompartemen merupakan peningkatan tekanan jaringan dalam
kompartemen fascia tertutup, hal ini dapat terjadi pada fraktur tibia terbuka
maupun tertutup. Bila tekanan intrakompartemen melebihi tekanan kapiler,
maka akan mengganggu perfusi jaringan sehingga terjadi anoksia dan nekrosis
jaringan dalam kompartemen.2 Tanda dan gejalanya yaitu nyeri pada keadaan
istirahat, parestesia, pucat, paresis, paralysis, denyut nadi hilang, gangguan
diskriminasi dua titik.
Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan radiologik tibia dan fibula anteroposterior dan lateral. Sebaiknya
memvisualisasi sendi lutut dan pergelangan kaki (ankle joint) untuk mencegah
fraktur misdiagnosis fraktur intraartikularis.
Pada cidera high-energy foto ipsilateral femur dan pelvis diperlukan untuk
menyingkirkan adanya floating knee atau trauma pelvis. Empat puluh lima
derajat obliq radiograf dapat membantu evaluasi plateau tibia. Tomografi dapat
membantu pada fraktur plateau tibia dan plafond untuk mengetahui luas
kompresi sendi. CT-scan terbukti berguna dalam merencanakan operasi reduksi
dan fiksasi interna fraktur komlpeks.
Komplikasi
• Trauma pada pembuluh darah, saraf, sindrom kompartemen
• Pada tulang , seperti
Delayed union
Nonunion
Malunion.
Penatalaksanaan
Penanganan fraktur tibia distal umumnya dilakukan dengan dua cara yaitu
pemakaian gips dan operatif (Karunakar M.A, 2004).
• Indikasi penanganan pemakaian gips
Trauma berenergi rendah
Cidera jaringan lunak minimal (Tscherne & Gotzen 0, 1)
Tipe fraktur stabil
• Indikasi penangan operatif( Karunakar M.A, 2004)
Trauma berenergi tinggi
Cidera jaringan lunak moderat hingga berat
Tipe fraktur tidak stabil
Komplikasi ;
• genu valgum,
• kekakuan sendi,
• osteoarthritis
Terapi :
• Konservatif non displaced, gips sirkuler bawah lutut
• Operatif adanya robekan ligamen dan dislokasi talus
Congenital talipes equino varus (CTEV) atau club foot adalah deformitas kaki dimana tumit
terpuntir kedalam dari garis tengah tungkai bawah dan kaki mengalami plantar-fleksi.
Kelainan ini merupakan kelainan bawaan pada kaki dan pergelangan kaki dengan posisi
kaki sebagai berikut :
• Varus - inversi pada bagian depan dan tengah
• Equino – varus pada kaki bagian belakang
Penanganan CTEV sangat dipengaruhi oleh ketepatan dalam penegakan diagnosis secara
dini, sehingga penanganan secara konservatif maupun secara operatif memerlukan evaluasi
terhadap hasil penanganan tersebut, baik secara klinis maupun secara radiologis. Insidens
CTEV yaitu 1-2 : 1000 kelahiran hidup dan lebih sering pada laki-laki dari pada perempuan
(2:1) dan sekitar 30-50 % bersifat bilateral.
Etiologi
Belum diketahui dengan pasti, teori tentang penyebab kelainan CTEV antara lain :
• Keturunan : kelainan genetik
• Mekanik tekanan intra uterin (Dennis Brown)
• Neuromyo maldevelopment prenatal
• Perkembangan janin terhenti
• Defek primer sperma
• Keterlambatan rotasi & non rotasi ektremitas
Patologi
Kelainan bentuk pada CTEV (deformitas-equinovarus) terdiri 3 unsur yaitu :
• Pergelangan kaki dalam keadaan equinus
• Sendi subtalus dalam keadaan varus
• Bagian tengah dan depan kaki dalam keadaan varus.
Pemeriksaan Fisik
Pada CTEV akan ditemukan kelainan-kelainan bentuk pada kaki sebagai berikut:
Inversi pada kaki depan
Adduksi atau deviasi internal dari kaki depan terhadap kaki belakang
Ekuinus atau plantar fleksi
Pengecilan dari otot-otot betis dan peroneal
Kaki tidak dapat digerakkan secara pasif pada batas eversi dan dorsofleksi normal.
Kelainan bentuk pada kaki tersebut bisa bersifat unilateral ataupun bilateral.
Normalnya kaki bayi dapat dorsoflexi dan eversi jari-jari kaki menyentuh bagian depan
tungkai bawah
Radiologi
Pemeriksaan radiologi sangat penting sebagai sarana evaluasi club foot pada setiap pasien
sebelum, selama dan setelah terapi. Standar radiologinya :
• Anak belum bisa berdiri posisi AP dan stress dorsoflexion lateral
• Anak sudah bisa berdiri posisi anteroposterior (AP) dan lateral.
Dalam keadaan normal gambaran radiologis anteroposterior proyeksi garis yang
melalui pertengahan os talus akan melewati metatarsal I, sedangkan pada CTEV akan
bergeser ke lateral (metatarsal III)
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan CTEV bertujuan untuk mengembalikan fungsi anatomi dan
menghilangkan nyeri pada kaki akibat CTEV dan kelihatan normal kaki plantigrade, dengan
mobilitas baik tanpa calus dan tidak menggunakan modifikasi sepatu atau secara singkat
tujuan terapi CTEV sebagai berikut :
• Correct deformity early
• Correct deformity fully
• Hold the correction until growth stops
Penatalaksanaan sebaiknya dimulai sejak minggu pertama setelah lahir karena jaringan soft
tissuenya masih elastis . Penatalaksanaan CTEV secara umum dibagi menjadi:
I. Non operatif (konservatif)
Konsultasi antara dokter dengan orang tua tentang :
kelainan CTEV
Rencana Pengobatan :
Plan Konservatif/ Operasi
Respon
Recurent Deformity
Lama Pengobatan
Tujuan akhir dari pengobatan yaitu :
Plantigrade
Pliable
Cosmetically acceptable foot
One operation Minimal Risk
Relatively short treatment time
Buruk :
o Tidak terkoreksi
o Kekuatan betis menurun
o Lingkup gerak terbatas subtalar 5o
o Nyeri pada kegiatan sehari- hari
• Kriteria radiologis
Kaki bagian belakang :
AP : Sudut talo – kalkaneal
Timpang tindih Talo navikuler
Sudut talokalkaneal dari samping ( lateral )
Posisi navikuler
Ketiga hal tersebut dilakukan berdasarkan usia saat diagnosis dini ditegakkan,sehingga
pada usia minggu pertama sampai enam (6) minggu setelah kelahiran dilakukan
manipulasi splinting, taping, dan casting. Kemudian dievaluasi kakinya setiap minggu
secara klinis dan radiologis .
Apabila kelainan CTEV –nya diketahui sejak awal rigid (kaku) maka tindakan operasi
bisa dipertimbangkan sejak awal diagnosa ditegakkan.
1. Plaster Of Paris Casting
Cast menggunakan 3 inch sampai diatas lutut, Jari – jari kaki harus terlihat
Posisi cast dorsoflexi dan mengarah keluar metatarsal I.
Diganti tiap 1 minggu selama 6 – 8 minggu
Operative
Indikasi tindakan sebagai berikut :
1. Konservatif gagal
2. Kelainan menetap setelah dilakukan operasi ( Recurrent deformity )
3. CTEV Rigid
3. Bony operation
Calcaneocuboid Arthrodesis
Enukleation Prosedur
Metatarsal Osteotomy
Osteotomy of the Calcaneus
Osteotomy of the Tibia
Telectomy
Ketiga hal tersebut bisa dilakukan one stage operation atau two stage operation. Usia
optimal untuk dioperasi yaitu 1- 2 tahun, dan maximal 6 tahun.
Komplikasi
1. Cara konservatif
Decubitus akibat pemasangan cast.
Bentuk tidak terkoreksi (Recurrent Deformity)
2. Cara Operatif
Infeksi
Koreksi tidak sempurna (Recurrent Deformity)
Avaskuler Nekrosisi Navikuler (Kohler)
Kaku
Nyeri pada waktu jalan, Over correction manjadi Planovagus.
Anatomi Tulang
Tulang berasal dari embryonic hyaline cartilage yang mana melalui proses osteogenesis
menjadi tulang. Proses ini dilakukan oleh sel-sel yang disebut osteoblast. Proses
mengerasnya tulang akibat penimbunan garam kalsium.
Lapisan-lapisan tulang: 5
Periosteum : Bagian luar lebih banyak mengandung sabut – sabut jaringan pengikat,
pembuluh darah, dan saraf dengan sedikit sel. Lapisan ini dinamakan stratum
fibrosum. Bagian dalam lebih banyak mengandung sel – sel pipih yang mampu
berdiferensiasi menjadi osteoblas, sabut – sabut elastis, dan kolagen tersusun lebih
longgar. Bagian ini disebut stratum germinativum.
Endosteum : Mempunyai struktur dan komponen yang sama dengan periosteum tetapi
lebih tipis dan tidak memperlihatkan 2 lapisan seperti pada periosteum. Ke arah luar
bersifat osteogenik, ke arah dalam bersifat hemopoetik.
Bagian anatomi tulang panjang: 4
• Diafisis atau batang: Bagian tengah tulang yang berbentuk silinder. Bagian ini tersusun
dari tulang kortikal yang memiliki kekuatan besar.
• Metafisis : Bagian tulang yang melebar di dekat ujung akhir batang. Daerah ini
terutama disusun oleh tulang trabekular atau tulang spongiosa yang mengandung sel-
sel hematopoietik. Bagian ini juga menopang sendi dan menyediakan daerah yang
cukup luas untuk perlekatan tendon dan ligamen pada epifisis.
• Lempeng epifisis (ephyfisial plate) : Daerah pertumbuhan longitudinal pada anak-
anak, dan bagian ini akan menghilang pada tulang dewasa.
• Epifisis : Epifisis langsung berbatasan dengan sendi tulang panjang yang bersatu
dengan metafisis sehingga pertumbuhan memanjang tulang panjang berhenti.
Fisiologi tulang:
• Mendukung jaringan tubuh dan memberikan bentuk tubuh
• Melindungi organ tubuh dan jaringan lunak
• Memberikan pergerakan
• Membentuk sel-sel darah merah di dalam sum-sum tulang belakang
• Menyimpan garam mineral (kalsium dan fosfor)
Osteomielitis
Definisi
Osteomielitis adalah infeksi bone marrow pada tulang yang disebabkan oleh
Staphylococcus aureus, Haemophylus influenza, dan organisme piogenik lain. Dapat
terlokalisasi ataupun tersebar melalui tulang, melibatkan sumsum, korteks, jaringan
kanselosa, dan periosteum.
Etiologi
• Sebanyak 90% disebabkan oleh Staphylococcus aureus hemolitikus (koagulasi positif)
dan jarang oleh streptokokus hemolitikus.
• Pada anak umur dibawah 4 tahun sebanyak 50 % disebabkan oleh Hemofilus influenza.
• Adapun organisme lain seperti B. Colli, B. Aerogenus kapsulata, Pneumokokus,
Salmonella tifosa, Pseudomonas aerogenus, Proteus mirabilis, Brucella, dan bakteri
anaerobik yaitu Bakteroides fragilis juga dapat menyebabkan osteomielitis hematogen
akut.
Infeksi dapat terjadi secara:
a. Hematogen, dari fokus yang jauh seperti kulit dan tenggorokan
b. Kontaminasi dari luar: fraktur terbuka dan tindakan operasi pada tulang
c. Perluasan infeksi jaringan ke tulang di dekatnya
Patofisiologi
• Tulang yang terinfeksi menyerang soft tissue dan sumsum tulang hingga
terjadi pembengkakan jaringan tersebut menekan dinding luar tulang terjadilah
kompresi pada sumsum tulang pasokan darah ke tulang menjadi berkurang atau
berhenti jaringan-jaringan pada tulang menjadi mati
• Pada daerah yang jaringannya sudah mati tidak dapat melakukan perbaikan jaringan
kembali dan mengobati infeksi sel bahkan dengan antibiotik yang seharusnya dapat
mmbantu memerangi infeksi. Sehingga infeksi terus berulang hingga dapat menyebar
keluar jaringan tulang hingga mengenai jaringan lunak sekitarnya seperti otot yang
kemudian terbentuk kumpulan nanah.
• Osteomyelitis dapat menyebar melalui aliran darah, penyebaran langsung (infeksi),
infeksi jaringan lunak sekitarnya.
Tanda peradangan:
• Stadium Peradangan: Perubahan awal adalah reaksi radang akut dengan gangguan
vaskuler, cairan eksudat, dan infiltrate leukosit PMN. Tekanan intraosseus meningkat
secara cepat, menyebabkansemakin sering kesakitan, obstruksi peredaran dan
trombosis intravaskuler. Sering pada stadium awal jaringan iskemik harus diobati
segera.
• Stadium Supurasi: Pada 2-3 hari, terbentuk pus berada di dalam tulang dan memaksa
menuju permukaan melalui kanal Volkmann dimana akan terbentuk subperiosteal
abses. Dari situ pus ini akan menyebar sepanjang tepi tulang, untuk masuk kembali ke
tulang pada daerahlainnya, atau menyebar melalui jaringan lunak yang
mengelilinginya. Pada bayi, infeksisering menyebar melalui fisis menuju epifisis dan
kadang ke persendian. Pada anak yanglebih tua, fisis merupakan sarana untuk
penyebaran secara langsung tapi pada sebagian metafisis intra kapsular (seperti pada
tanggul), pus dapat melewati periosteum menuju persendian. Pada orang dewasa,
abses lebih cenderung menyebar melalui celah medular.Infeksi vertebrata dapat
menyebar melalui end-plate, dan discus intervertebralis ke tulangyang bersebelahan.
• Stadium Nekrosis: Peningkatan intraosseus, vaskular statis, trombosis, dan periosteum
yang terlepas meningkatkan kompensasi pembuluh darah, pada hari ke 7 biasanya
ditemukan kejadian kematian tulang secara mikroskomis. Racun bakteri dan enzim dari
leukosit juga dapat berperan dalam proses destruksi tulang. Pada bayi, lempeng
pertumbuhan sering rusak dan tidak dapat diperbaiki dan dapat mengalami nekrosis
avaskuler. Dengan tingkat pertumbuhan dari jaringan granulasi batas antara tulang
yang mati dan hidup dapat terlihat. Bagian dari tulang mati terpisah sebagai bagian
sekuestrum yang bervariasi bentuknya dari kecil ke besar. Markofag dan limfosit juga
meningkat jumlahnya, dan sisanya perlahan dihilangkan dengan kombinasi fagositosis
dan reabsorbsi osteoklast. Bagaimanapun sekuestrum yang besar menetap pada saluran
tulang, tidak dapat dilalui sehingga terjadi destruksi tulang akhir.
• Stadium pembentukan tulang baru: Tulang baru terbentuk dari bagian dalam dari
periosteum yang terlepas,ini merupakan ciri infeksi piogenik dan biasanya terlihat jelas
pada akhir minggu ke dua. Seiring perjalanan waktu, tulang baru menebal dan
membentuk involukrum yang berdekatan dengan jaringan yang terinfeksi dan
sekuestrum. Jika infeksi, pus dan tulang sekuestrum yang tipis bertahan/menetap
dapat berlanjut menjadi perforasi pada involukrum dan melalui saluran menuju ke
permukaan kulit, pada kondisi ini dikenal osteomielitis kronis.
• Stadium resolusi dan penyembuhan: “Once osteomyelitis, osteomyelitis forever”. Jika
infeksi ini dikendalikan dan tekanan intraosseus dibebaskan pada stadium awal, maka
perkembangan ini dapat dicegah.
Klasifikasi
1. Osteomielitis Hematogen Akut
• Osteomielitis hematogen akut merupakan infeksi tulang dan sumsum tulang akut
yang disebabkan oleh bakteri piogen dimana mikroorganisme berasal dari fokus
ditempat lain dan beredar melalui sirkulasi darah.
• Osteomielitis akut diidentifikasi dengan adanya onset penyakit dalam 7-14 hari.
• Kelainan ini sering ditemukan pada anak – anak dan sangat jarang pada orang
dewasa.
• Trauma, hematogen akibat trauma pada daerah metafisis, merupakan salah satu
faktor predisposisi terjadinya osteomielitis hematogen akut.
• Lokasi osteomielitis hematogen akut sering terjadi pada daerah metafisis karena
daerah ini merupakan daerah aktif tempat terjadinya pertumbuhan tulang.
Pemeriksaan Radiologis:
• Pemeriksaan foto polos dalam sepuluh hari pertama, tidak ditemukan kelainan
radiologik yang berarti dan mungkin hanya ditemukan pembengkakan jaringan
lunak.
• Gambaran destruksi tulang dapat terlihat setelah sepuluh hari (2 minggu) berupa
refraksi tulang yang bersifat difus pada daerah metafisis dan pembentukan tulang
baru dibawah periosteum yang terangkat.
Proyeksi lateral dan AP pada tibia terlihat gambaran sklerotik di
diametafisis tibia
Patologi
Biasanya terdapat kavitas dengan batas tegas pada tulang kanselosa dan mengandung
cairan seropurulen. Kavitas dilingkari oleh jaringan granulasi yang terdiri atas sel – sel
inflamasi akut dan kronik dan biasanya terdapat penebalan trabekula.
Gambaran Klinis
Osteomielitis hematogen subakut biasanya ditemukan pada anak–anak dan remaja.
Gambaran klinis yang dapat ditemukan adalah atrofi otot, nyeri lokal, sedikit
pembengkakan dan dapat pula penderita menjadi pincang. Terdapat rasa nyeri pada
daerah sekitar sendi selama beberapa minggu atau mungkin berbulan – bulan. Suhu
tubuh biasanya normal.
Pemeriksaan Radiologis
Osteomielitis subakut memiliki gambaran radiologis yang merupakan kombinasi dari
gambaran akut dan kronis. Seperti osteomielitis akut, maka ditemukan adanya
osteolisis dan elevasi periosteal. Seperti osteomielitis kronik, maka ditemukan adanya
zona sirkumferensial tulang yang sklerotik. Dengan foto rontgen biasanya ditemukan
kavitas berdiameter 1-2 cm terutama pada daerah metafisis dari tibia dan femur atau
kadang – kadang pada daerah diafisis tulang panjang.
Radiologik dari abses Brodie yang dapat ditemukan pada osteomielitis sub
akut/kronik. (Pada gambar terlihat kavitas yang dikelilingi oleh daerah sclerosis)
3. Osteomielitis Kronis
Osteomielitis kronis umumnya merupakan lanjutan dari osteomielitis akut yang tidak
terdiagnosis atau tidak diobati dengan baik. Osteomielitis kronis juga dapat terjadi
setelah fraktur terbuka atau setelah tindakan operasi pada tulang. osteomielitis kronik
merupakan infeksi tulang yang perjalanan klinisnya terjadi lebih dari 3 bulan. Kondisi
ini berhubungan dengan adanya nekrosis tulang pada episentral yang disebut
sekuester yang dibungkus involukrum.
Gambaran Klinis
Penderita sering mengeluhkan adanya cairan yang keluar dari luka/sinus setelah
operasi yang bersifat menahun. Kelainan kadang–kadang disertai demam dan nyeri
lokal yang hilang timbul didaerah anggota gerak tertentu. Pada pemeriksan fisik
ditemukan adanya sinus, fistel atau sikatriks bekas operasi dengan nyeri tekan.
Mungkin dapat ditemukan sekuestrum yang menonjol keluar melalui kulit. Biasanya
terdapat riwayat fraktur terbuka atau osteomielitis pada penderita.
Pemeriksaan Radiologis:
1. Foto polos
Pada foto rontgen dapat ditemukan adanya tanda – tanda porosis dan sklerosis tulang,
penebalan periost, elevasi periosteum dan mungkin adanya sekuestrum.
Proyeksi AP wrist terlihat gambaran lesi osteolitik dan sclerosis extensive
dibagian distal metafisis pada radius
Osteomielitis lanjut pada seluruh tibia dan fibula kanan. Ditandai dengan
adanya gambaran sekuestrum (panah).