Disusun oleh:
Denny Firdaus
1
3. Perdarahan saluran cerna
1. Pada organ padat seperti hepar dan limpa dengan gejala utama perdarahan
2. Pada organ berongga seperti usus dan saluran empedu dengan gejala utama adalah
peritonitis
Berdasarkan daerah organ yang cedera dapat dibagi dua, yaitu :
A. Trauma tumpul
Mekanisme terjadinya trauma tumpul disebabkan adanya deselerasi cepat dan adanya
non complient organ yaitu organ yang tidak memiliki kelenturan seperti hati, lien,
pankreas, dan ginjal. Secara umum mekanisme terjadinya trauma tumpul abdomen
yaitu:
2
3. Gaya kompresi eksternal yang menyebabkan peningkatan tekanan intra
abdomen yang tiba-tiba dan mencapai puncaknya biasanya menyebabkan
ruptur organ berongga. Berat ringannya perforasi tergantung dari gaya yang
didapat serta luasnya permukaan organ yang terkena cedera.
Trauma tumpul sendiri dibagi lagi menjadi tiga,yaitu:
c. Burst Injury
3
Terjadi akibat peningkatan tekanan intra abdominal yang tiba-tiba. Misalnya
akibat ledakan.Kerusakan organ lunak karena trauma tumpul biasanya terjadi sesuai
dengan tulang yang terkena. Seperti pada fraktur costae kanan, organ yang terkena
adalah hepar dan menyebabkan cedera pada hepar. Sedangankan jika trauma yang
terjadi adalah fraktur costae kiri, maka cedera yang mungkin terjadi adalah ruptur
lien. Pada kontusio midepigastrium, dapat terjadi perforasi duodenum. Pada fraktur
prosessus transveralis lumbal, dapat menyebabkan cedera pada ginjal.
B. Trauma tajam
Trauma tajam abdomen adalah suatu ruda paksa yang mengakibatkan luka
pada permukaan tubuh dengan penetrasi ke dalam rongga peritoneum yang
disebabkan oleh tusukan benda tajam. Trauma akibat benda tajam dikenal dalam tiga
bentuk luka yaitu: luka iris atau luka sayat (vulnus scissum), luka tusuk (vulnus
punctum) atau luka bacok (vulnus caesum).
Luka tusuk
Akibat trauma ini tergantung pada daerah trauma, arah trauma dan kekuatan tusukan
dan panjang dan ukuran dari tusukan. Mekanismenya bisa berupa sayatan dan
robekan pada jaringan.
Luka tembak
Mekanisme luka tembak lebih kompleks, tergantung pada energi kinetic yang
tersimpat pada proyektil dan kemampuannya untuk meledakan benda-benda
4
disekitarnya. Energi kinetic proyektil tergantung pada besarnya massa proyektil
dikalikan dengan kecepatannya. “Proyectil velocity” adalah kemampuan proyektil
untuk mengakibatkan kerusakan (luka), berdasarkan ini maka senjata api dikenal
dengan “low, medium, and high velocity”, ini ditentukan oleh “muzzle velocity” yaitu
untuk low velocity < 305 m/detik, medium 305 – 610 m/detik, high > 610 m/detik
“Low velocity projectil” menyebabkan robekan langsung dan trauma “chrusing” pada
jaringan local. Secara khas, hanya luka masuk terlihat dan terdapat peluru
didalamnya. “High-velocity projectile” ketika menyebabkan kerusakan dan
“chrusing” pada jaringan local juga menyebabkan kerusakan jaringan dengan cavitasi
(terowongan).
Anamnesis
Riwayat trauma sangat penting untuk menilai penderita yang cedera dalam
tabrakan kendaraan bermotor. Anamnesis yang teliti terhadap pasien yang mengalami
trauma abdomen akibat tabrakan kendaraan bermotor harus mencakup:
1. Kecepatan kendaraan, jenis tabrakan
2. Berapa besar penyoknya bagian kendaraan ke dalam ruang penumpang
3. Jenis pengaman yang dipergunakan
4. Ada/tidak air bag
5. Posisi pasien dalam kendaraan
6. Penggunaan sabuk pengaman, Tipe sabuk pengaman
7. Status penumpang lainnya
8. Riwayat pengunaan alkohol dan obat-obatan sebelumnya
Keterangan ini dapat diperoleh langsung dari pasien, penumpang lain, polisi
maupun petugas emergensi jalan raya. Informasi mengenai tanda-tanda vital, luka-
luka yang ada maupun respons terhadap perawatan pra-rumah sakit harus dapat
diberikan oleh petugas-petugas pra-rumah sakit. Bila meneliti pasien dengan trauma
tajam, anamnesis yang teliti harus diarahkan pada:
1. Waktu terjadinya trauma, jenis senjata yang dipergunakan (pisau, pistol,
senapan)
5
2. Jarak dari pelaku
3. Jumlah tikaman atau tembakan
4. Jumlah perdarahan eksternal yang tercatat di tempat kejadian.
Bila mungkin, informasi tambahan harus diperoleh dari pasien mengenai
hebatnya maupun lokasi dari setiap nyeri abdominalnya, dan apakah ada nyeri-alih ke
bahu. Selain itu pada luka tusuk dapat diperkirakan organ mana yang terkena dengan
mengetahui arah tusukan, bentuk pisau dan cara memegang alat penusuk tersebut.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik abdomen harus dilakukan secara teliti dan sistematis,
dengan urutan inspeksi, auskultasi, perkusi, dan palpasi. Penemuannya positif dan
negatif harus dicatat dengan teliti dalam rekam medik.
1. Inspeksi
Baju penderita harus dibuka semua untuk memudahkan penilaian. Perut depan
dan belakang, dan juga bagian bawah dada dan perineum, harus diperiksa apakah ada
goresan, robekan, ekimosis, luka tembus, benda asing yang tertancap, keluarnya
omentum atau usus kecil, dan status hamil. Seat belt sign, dengan tanda konstitusi
atau abrasi pada abdomen bagian bawah, biasanya sangat berhubungan dengan cedera
intraperitoneal. Adanya distensi abdominal, yang biasanya berhubungan dengan
pneumoperitoneum, dilatasi gaster, atau ileus sebagai akibat dari iritasi peritoneal
merupakan hal penting yang harus diperhatikan. Adanya kebiruan yang melibatkan
region flank, punggung bagian bawah (Grey Turner sign) menandakan adanya
perdarahan retroperitoneal yang melibatkan pankreas, ginjal, atau fraktur pelvis.
Kebiruan di sekitar umbilicus (Cullen sign) menandakan adanya perdarahan
peritoneal biasanya selalu melibatkan perdarahan pankreas, akan tetapi tanda-tanda ini
biasanya baru didapati setelah beberapa jam atau hari. Fraktur costae yang melibatkan
dada bagian bawah, biasanya berhubungan dengan cedera lien atau liver.
2. Auskultasi
Melalui auskultasi ditentukan apakah bising usus ada atau tidak. Penurunan
suara usus dapat berasal dari adanya peritonitis kimiawi karena perdarahan atau ruptur
organ berongga. Cedera pada struktur berdekatan seperti tulang iga, tulang belakang
atau tulang panggul juga dapat mengakibatkan ileus meskipun tidak ada cedera
6
intraabdominal, sehingga tidak adanya bunyi usus bukan berarti pasti ada cedera
intrabdominal. Adanya suara usus pada thorax menandakan adanya cedera pada
diafragma.
3. Perkusi
Manuver ini menyebabkan pergerakan peritoneum, dan dapat menunjukkan
adanya peritonitis yang masih meragukan. Perkusi juga dapat menunjukkan adanya
bunyi timpani di kuadran atas akibat dari dilatasi lambung akut atau bunyi redup bila
ada hemoperitoneum.
4. Palpasi
Kecenderungan untuk mengeraskan dinding abdomen (voluntary guarding)
dapat menyulitkan pemeriksaan abdomen. Sebaliknya defans muskuler (involuntary
guarding) adalah tanda dari iritasi peritoneum. Tujuan palpasi adalah untuk
mendapatkan apakah didapati nyeri serta menentukan lokasi nyeri tekan superficial,
nyeri tekan dalam, atau nyeri lepas tekan. Nyeri lepas tekan menandakan adanya
peritonitis yang timbul akibat adanya darah atau isi usus. Pada truma tumpul abdomen
perlu juga disertai kecurigaan adanya fraktur pelvis. Untuk menilai stabilitas pelvis,
yaitu dengan cara menekankan tangan pada tulang-tualng iliaka untuk
membangkitkan gerakan abnormal atau nyeri tulang yang menandakan adanya fraktur
pelvis.
Walaupun tidak ditemukan tanda dan gejala, adanya perubahan sensoris atau
cedera extraabdominal yang disertai nyeri pada pasien trauma tumpul abdomen harus
lebih mengarahkan kepada cedera intrabdominal. Lebih dari 10% pasien dengan
cedera kepala tertutup, disertai dengan cedera intraabdominal, dan 7% pasien trauma
tumpul dengan cedera extraabdominal memiliki cedera intraabdominal, walaupun
tanpa disertai rasa nyeri.
7
Pada pasien sadar tanpa cedera luar yang terlihat, gejala yang paling terlihat
dari trauma tumpul abdomen adalah nyeri dan peritoneal findings. Pada 90% kasus,
pasien dengan cedera visceral datang dengan nyeri lokal atau nyeri general. Tanda-
tanda ini bukan merupakan tanda yang spesifik, karena dapat pula ditemukan pada
isolated thoracoabdominal wall constitution atau pada fraktur costa bawah. Dan yang
paling penting, tidak adanya nyeri pada pasien sadar dan stabil lebih menandakan
tidak adanya cedera. Meskipun demikian, cedera intrabdominal bisa didapati pada
pasien sadar dan tanpa nyeri.
Hipotensi pada trauma tumpul abdomen sering sebagai akibat dari perdarahan
organ padat abdomen atau cedera vasa abdominal. Walaupun sumber perdarahan
extraabdominal (misalnya, laserasi kulit kepala, cedera dada, atau fraktur tulang
panjang) harus segera diatasi, tapi evaluasi cavitas peritoneal juga tidak boleh
diabaikan. Pasien dengan cedera kepala ringan tidak bisa menyebabkan shock, kecuali
pada pasien dengan cedera intracranial, atau pada bayi dengan perdarahan intracranial
atau cephalohematoma.
Studi Laboratorium
Blood typing
8
Pada pasien trauma harus dilakukan pengecekan golongan darah dan cross-match,
sebagai antisipasi jika sewaktu-waktu diperlukan transfusi, terlebih pada pasien
dengan perdarahan yang mengancam jiwa.
Hitung leukosit
Pada trauma tumpul abdomen akut, hitung leukosit tidak spesifik. Ephinefrin yang
dilepaskan tibuh pada saat trauma dapat menyebabkan demarginasi dan dapat
meningkatkan jumlah leukosit mencapai 12000-20000/mm3 dengan pergeseran ke
kir yang moderat.
Enzim pankreas
Kadar amilase dan lipase dalam serum tidak terlalu memiliki arti penting untuk
menunjang diagnostik. Kadar amilase dan lipase yang normal dalam serum tidak
dapt menyingkirkan kecurigaan adanay trauma pankreas. Peningkatan mungkin
mengarah pada cedera pankreas, tapi juga mungkin dari cedera abdomen non
pankreas. Jika ada kecurigaan cedera pankreas, masih diperlukan pemeriksaan
lebih lanjut, misal CT scan.
Analisis toksikologi
Skrening rutin penyalahgunaan obat dan alkohol belum dilakukan pada
penatalaksanaan trauma tumpul abdomen, terlebih pada pasien dengan status
mental normal.
Urinalisis
9
Gross hematuri mengarah pada adanya cedera ginjal serius dan membutuhkan
investigai yang lebih lanjut. Diperlukan juga pemeriksaan terhadap adanya
hematuri mikro yang dapat mengindikasikan cedra serius. Oleh karena itu, penting
dialakukan pemeriksaan mikroskopik atau urinalisis dipstick pada semua pasien
trayma tumpul abdomen. Adanya nyeri abdomen dan hematuri memiliki tingkat
sensitifitas 64% dan 94% spesifik untuk cedera intraabdominal yang telah
dibuktilkan melalui CT scan.
A. Radiologi
Tes radiologi dapat menyampaikan informasi penting untuk penatalaksanaan
pasien trauma tumpul abdomen. Pemeriksaan radiologi diindikasikan pada pasien
stabil, jika dari pemeriksaan fisik dan lab tidak bisa disimpulkan diagnosik.
Pasien yang tidak kooperatif, dapat mengganggu hasil tes radiologi dan dapat
beresiko mengalami cedera spinal. Penyebab dari pasien yang tidak koopertatif ini
harus dievaluasi, misalnya karena hipoksia atau cedera otak. Demi kelancaran, pasien
tersebut dapat dipertimbangkan untuk diberi sedatif.
Rontgen untuk screening adalah Ro-foto cervical lateral, thorax AP, dan pelvis
AP dilakukan pada pasien trauma tumpul dengan multitrauma. Rontgen foto abdomen
3 posisi (telentang, setengah tegak dan lateral dekubitus) berguna untuk melihat
adanya udara bebas di bawah diafragma ataupun udara di luar lumen di
retroperitoneum, yang kalau ada pada keduanya menjadi petunjuk untuk dilakukannya
laparotomi. Hilangnya bayangan psoas menunjukkan adanya kemungkinan cedera
retroperitoneal. Foto polos abdomen memiliki kegunaan yang terbatas, dan sudah
digantikan oleh CT-scan dan USG
Keuntungan CT-scan :
1. non invasive
2. mendeteksi cedera organ dan potensial untuk penatalaksanaan non operatif
cedera hepar dan lien
3. mendeteksi adanya perdarahan dan mengetahui dimana sumber perdarahan
4. retroperitoneum dan columna vetebra dapat dilihat
5. imaging tambahan dapat dilakukan jika diperlukan
Kelemahan CT-scan
11
C. Ultrasound
1. portabel
2. dapat dilaksanakan dengan cepat
3. tingkat sesitifitas sebesar 65-95% dalam mendeteksi paling sedikit 100 ml cairan
intraperitoneal.
4. spesifik untuk hemoperitoneum
5. tanpa radiasi atau kotras
6. mudah dilakuakn pemeriksaan serial jika diperlukan
7. tekniknya mudah dipelajari
8. non invasif
9. lebih murah dibandingkan CT-scan atau peritoneal lavage
Kelemahan USG
1. cedera parenkim padat, retroperitoneum, atau diafragma tidak bisa dilihat dengan
baik
12
2. kualitas gambar akan dipengaruhi pada pasien yang tidak kooperatif, obesitas,
adanya gas usus, dan udara subkutan
3. darah tidak bisa dibedakan dari ascites
4. tidak sensitif untuk mendeteksi cedera usus.
13
Metode pemeriksaan ultrasound pada kasus trauma tumpul abdomen adalah
FAST (Focused Abdominal Sonogram for Trauma). Tujuan primer dari FAST adalah
mengidentifikasi adanyan hemoperitonium pada pasien dengan kecurigaan cidera intra-
abdomen. Indikasi FAST adalah pasien yang secara hemodinamik unstable dengan
kecurigaan cedera abdomen dan pasien-pasien serupa yang juga mengalami cedera
ekstra-abdominal signifikan (ortopedi, spinal, thorax, dll.) yang memerlukan bedah non-
abdomen emergensi.
FAST sebaiknya dilakukan oleh ahli bedah yang hadir pada saat itu di IGD/ ICU
sebagai prosedur bedside sementara resusitasi dapat terus berlangsung. FAST
direkomendasikan menggunakan 3,5 atau 5 MHz ultrasound sector transducer probe dan
gray scale ‘B mode’ ultrasound scanning.
14
Indikasi:
1. Tanda-tanda vital yang tidak stabil merupakan alasan utama untuk operasi emergensi.
Harus diingat bahwa luka tusuk pada dada bagian bawah dapat mencederai organ-organ
15
intrathoraks seperti jantung dan paru, sehingga hipotensi pada keadaan ini dapat saja
bukan oleh kehilangan darah intraperitonial.
2. Eviserasi dari organ intraperitonial membawa resiko 60% terhadap cedera organ
intraabdomen,
3. Tanda-tanda peritonitis, keadaan ini tidak boleh ditunda dengan pemeriksaan lain
Eksplorasi dari luka dinding abdomen (“local wound explorasi; LWE”) dengan memakai
anestetik local bisa menentukan tembus tidaknya peritoneum. Pemeriksaan yang negative
(“clearly negative”) pasien bisa dipulangkan setelah perawatan luka. Pemeriksaan yang
positif atau ragu-ragu menentukan untuk intervensi atau pemeriksaan lanjut.
LWE positif harus dilakukan laparotomi. Seluruh pasien yang dicurigai atau sudah jelas
tembus peritoneum dan tanda-tanda vital stabil dianjurkan untuk DPL. Saat ini, jika
dicurigai trauma hepar dianjurkan untuk pemeriksaan CT scan. Laparoskopi juga banyak
digunakan untuk menilai cedera organ intraperitonial
Tindakan laparotomi eksplorasi dapat dilakukan pada kasus trauma tusuk abdomen,
menyesuaikan algoritma yang telah ada. Indikasi laparotomi eksplorasi adalah
1. Obstruksi usus
16
Obstruksi usus adalah hambatan mekanik atau fungsional pada intestin yang mencegah
transit produk – produk intestin, gas dan cairan. Obstruksi ini dapat terjadi secara partial
ataupun total. Obstruksi dapat terjadi di bagian usus manapun (di usus kecil atau usus
besar) dan merupakan suatu kasus emergensi.
Obstruksi mekanik usus merupakan hambatan fisik lumen baik sebagian atau
total. Sekitar 85% dari obstruksi mekanik terjadi pada usus halus dan 15% diantaranya
terjadi pada usus besar.
1. Obstruksi mekanik
Obstruksi mekanis biasanya timbul akibat usus tersumbat sehingga isi usus tidak
dapat lewat Etiologinya berupa hernia, jaringan parut (postoperatif adhesi),
impacted feses, gallstone, tumor, volvulus, intususepsi, benda asing.
c. Stadium strangulasi
Vaskularisasi dinding usus terjepit ( strangulasi ) sehingga usus
mengalami nekrosis. Strangulasi dapat terjadi akibat tingginya tekanan
17
dalam lumen itu sendiri karena membesarnya usus oleh gas dan cairan.
Tetapi sesungguhnya strangulasi itu lebih sering terjadi apabila mekanisme
obstruksi tersebut tidak saja menyumbat lumen usus tetapi juga menyumbat
suplai darah mesenterik. Dengan demikian strangulasi lebih banyak ditemui
pada lengkung tertutup daripada jenis obstruksi sederhana.
2. Obstruksi nonmekanik
Obstruksi non mekanis atau ileus adinamik sering terjadi setelah
pembedahan abdomen karena adanya refleks penghambatan peristaltik akibat
visera abdomen yang tersentuh tangan. Refleks penghambatan peristaltik ini
sering disebut sebagai ileus paralitik, walaupun paralisis peristaltik ini tidak
terjadi secara total. Kondisi ini biasanya hanya berlangsung secara temporer dan
akan menghilang dalam waktu 48-72 jam. Fungsi usus halus yang terganggu
postoperatif biasanya akan kembali normal dalam hitungan jam. Dan pada
kolon, akan kembali normal dalam 3-5 hari. Ileus postoperatif ini dimediasi oleh
aktivasi dari refleks inhibisi spinal. Secara anatomi, ada 3 refleks yang
mempengaruhi:
2. Peritonitis
Ada 2 jenis peritonitis
A. Peritonitis lokal
1. Appendisitis acute
18
Keluhan Klasik ialah nyeri ulu hati menjalar ke daerah sekitar pusat
selanjutnya menetap didaerah Mc Burney.Diare,disuria.Nyeri tekan/tanda defans
muskuler didaerah Mc Burney.
Pada anamnesis, keluhan utama apendisitis biasanya mula-mula dirasakan di
epigastrium atau region umbilical yang kemudian dapat menyebar dan dirasakan di
seluruh perut. Nyeri kemudian dirasakan berpindah ke perut kanan bawah, tepatnya di
titik Mc Burney. Selain itu terdapat pula keluhan anoreksia, mual, muntah, obstipasi,
dan febris. Namun, keluhan yang dirasakan pasien apendisitis dapat berbeda oleh karena
gejala ditentukan dari posisi ujung apendiks.
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik hasil yang didapatkan ditentukan terutama oleh posisi
anatomis dari apendiks yang meradang, serta oleh apakah organ tersebut telah
mengalami ruptur ketika pasien pertama diperiksa.
Tanda rangsangan peritoneum lokal di titik Mc Burney yaitu nyeri tekan, nyeri
lepas, dan defens muskuler. Sedangkan nyeri rangsang peritoneum tidak langsung dapat
berupa
1. Nyeri pada sisi kanan bawah yang timbul saat dilakukan palpasi dengan
tekanan pada kuadran kiri bawah– Rovsing’s sign
2. Nyeri pada sisi kanan bawah yang timbul saat palpasi dengan tekanan pada
kuadran kanan bawah dilepaskan tiba-tiba- Blumberg’s sign
3. Nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti saat nafas dalam,
berjalan, batuk, mengedan
Status Generalis
Keadaan umum pasien tampak kesakitan, membungkuk, dan memegang
perut kanan bawah. Tanda-tanda vital tidak banyak berubah pada apendisitis
tanpa perforasi. Pada pemeriksaan suhu biasanya didapatkan demam ringan
dengan suhu sekitar 37,5-38,5oC, denyut nadi normal atau sedikit meningkat.
Perubahan signifikan biasanya menunjukkan bahwa komplikasi telah terjadi atau
diagnosis lain harus dipertimbangkan.
Status lokalis
19
- Inspeksi: tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada
penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa
dilihat pada masa atau abses periapendikuler.
- Palpasi: didapatkan nyeri terbatas pada regio iliaka kanan, bisa disertai nyeri
lepas (Blumberg’s sign). Defens muskuler menunjukan adanya rangsangan
peritoneum parietal. Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan kunci
diagnosis.
- Perkusi: nyeri ketuk Mc Burney karena rangsangan peritoneum
- Auskultasi: peristaltik usus sering normal tetapi juga dapat menghilang
akibat adanya ileus paralitik pada peritonitis generalisata yang disebabkan
oleh apendisitis perforasi.
Pemeriksaan khusus
- Rovsing’s sign
Positif jika dilakukan palpasi dengan tekanan pada kuadran kiri bawah
dan timbul nyeri pada sisi kanan.
- Psoas sign
- Obturator sign
Pada pasien dilakukan fleksi panggul dan dilakukan rotasi internal pada
panggul. Positif jika timbul nyeri pada hipogastrium atau vagina bilamana
apendiks yang meradang bersentuhan dengan otot obturator internus yang
merupakan dinding panggul kecil. Gerakan fleksi dan endorotasi sendi
panggul pada posisi terlentang akan menimbulkan nyeri pada apendisitis
pelvika.
20
bergeser ke kanan sampai ke pinggang kanan.Tanda pada kehamilan trimester I tidak
berbeda dengan pada orang tidak hamil karena itu perlu dibedakan apakah keluhan nyeri
berasal dari uterus atau apendiks. Bila penderita miring ke kiri, nyeri akan berpindah
sesuai dengan pergeseran uterus, maka nyeri tersebut bukan berasal dari apendiks.
Pemeriksaan Laboratorium
Laboratorium darah
Urin lengkap
Pemeriksaan Radiologi
21
Ultrasound dengan radiasi pengion yang rendah harus menjadi
penunjang pilihan pada pasien muda, dan efektif mengidentifikasi apendiks
abnormal, terutama pada pasien yang kurus.
Apendiks yang meradang memiliki diameter lebih besar dari 6 mm, dan
biasanya dikelilingi oleh hyperechoic inflamed fat di sonografi. Tanda-tanda
yang sangat mendukung apendisitis yaitu adanya appendicolith, penebalan
caecal apikal.
Barium enema
Yaitu suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium ke colon
melalui anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi dari
appendicitis pada jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosis
banding.
Foto barium enema yang dilakukan perlahan pada apendisitis akut
memperlihatkan tidak adanya pengisian apendiks dan efek massa pada tepi
medial serta inferior dari caecum; pengisisan lengkap dari apendiks
menyingkirkan apendisitis.
Laparoskopi
22
Meskipun dilakukan pemeriksaan dengan cermat dan teliti, diagnosis klinis
apendisitis akut masih mungkin salah pada sekitar 15-20% kasus dimana lebih sering
terjadi pada perempuan terutama yang masih muda oleh karena keluhan yang
menyerupai timbul dari genitalia interna (seperti ovulasi, menstruasi, radang di pelvis,
atau penyakit ginekologik lain).
23
Pasien dengan riwayat klasik dan temuan pemeriksaan fisik, dengan analisis urin
normal (atau piuria) dan jumlah leukosit yang tinggi dengan pergeseran ke kiri biasanya
tidak memerlukan studi pencitraan tambahan sebelum apendektomi. Pembedahan juga
diindikasikan pada pasien dengan presentasi atipikal dan temuan radiografi yang
konsisten dengan apendisitis. Setiap pasien dengan nyeri perut atipikal yang memiliki
(1) nyeri persisten dan menjadi demam, (2) peningkatan jumlah leukosit, atau (3)
temuan pemeriksaan klinis memburuk harus menjalani laparoskopi diagnostik dan usus
buntu.
Sebelum dilakukan operasi, maka perlu dilakukan persiapan seperti hidrasi yang
adekuat harus dipastikan, kelainan elektrolit harus diperbaiki, dan kondisi jantung, paru,
dan ginjal harus ditangani terlebih dahulu. Sebuah penelitian meta-analisis telah
menunjukkan efikasi antibiotik pra operasi dalam menurunkan komplikasi infeksi di
apendisitis. Pada apendisitis akut tanpa komplikasi, tidak ada manfaat dalam
memperluas cakupan antibiotik melampaui 24 jam. Pada apendisitis perforasi atau
dengan gangren, antibiotik dilanjutkan sampai pasien tidak demam dan memiliki jumlah
sel darah putih normal. Untuk infeksi intra-abdominal dari saluran pencernaan yang
ringan sampai sedang, Surgical Infection Society telah merekomendasikan terapi
tunggal dengan cefoxitin, cefotetan, atau asam klavulanat tikarsilin. Untuk infeksi yang
lebih berat, terapi tunggal dengan carbapenems atau terapi kombinasi dengan
sefalosporin generasi ketiga, monobactam, atau aminoglikosida ditambah untuk
anaerobik dengan klindamisin atau metronidazole..Rekomendasi serupa untuk anak-
anak.
24
Penggunaan antibiotik terbatas 24 sampai 48 jam dalam kasus apendisitis
nonperforasi. Sedangkan untuk apendisitis perforasi, dianjurkan terapi diberikan selama
7 sampai 10 hari. Antibiotik IV biasanya diberikan sampai jumlah sel darah putih
normal dan pasien tidak demam selama 24 jam. Selain itu pemberian analgesik untuk
menghilangkan nyeri juga diberikan pada pasien baik sebelum maupun sesudah operasi
untuk mengurangi keluhan.
Interval apendektomi dilakukan minimal 6 minggu setelah kejadian akut
direkomendasikan untuk semua pasien yang diobati baik nonoperatif atau dengan
drainase abses sederhana.
2. Kholesistitis acute
KU: nyeri hebat didaerah subkostal kanan dan pemerksaan fisik:Nyeri tekan/defans
didaerah subkostal kanan.
Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik perut di
sebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan, takikardia serta kenaikan suhu tubuh.
Keluhan tersebut dapat memburuk secara progresif. Kadang – kadang rasa sakit
menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat berlangsung sampai 60 menit tanpa
reda. Berat ringannya keluhan sangat bervariasi tergantung dari adanya kelainan
inflamasi yang ringan sampai dengan gangren atau perforasi kandung empedu. Sekitar
60 – 70% pasien melaporkan adanya riwayat serangan yang sembuh spontan.
25
rangsangan peritoneum generalisata dan rigiditas abdomen biasanya tidak ditemukan,
asalkan tidak ada perforasi. Ikterus dijumpai pada 20% kasus, umumnya derajat ringan
(bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila konsentrasi bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya
batu di saluran empedu ekstra hepatik. Pada pasien – pasien yang sudah tua dan dengan
diabetes mellitus, tanda dan gejala yang ada tidak terlalu spesifik dan kadang hanya
berupa mual saja.
Tatalaksana
Terapi konservatif
Walaupun intervensi bedah tetap merupakan terapi utama untuk kolestasis akut
dan komplikasinya, mungkin diperlukan periode stabilisasi di rumah sakit sebelum
kolesistektomi. Pengobatan umum termasuk istirahat total, perbaiki status hidrasi
pasien, pemberian nutrisi parenteral, diet ringan, koreksi elektrolit, obat penghilang rasa
nyeri seperti petidin dan antispasmodik. Pemberian antibiotik pada fase awal sangat
penting untuk mencegah komplikasi seperti peritonitis, kolangitis dan septisemia.
Golongan ampisilin, sefalosporin dan metronidazol cukup memadai untuk mematikan
kuman – kuman yang umum terdapat pada kolesistitis akut seperti E. Coli, Strep.
faecalis dan Klebsiela, namun pada pasien diabetes dan pada pasien yang
memperlihatkan tanda sepsis gram negatif, lebih dianjurkan pemberian antibiotik
kombinasi.
26
intravena dapat membantu merangsang pengosongan kandung empedu dan mencegah
statis aliran empedu lebih lanjut. Pasien – pasien dengan kolesistitis akut tanpa
komplikasi yang hendak dipulangkan harus dipastikan tidak demam dengan tanda –
tanda vital yang stabil, tidak terdapat tanda – tanda obstruksi pada hasil laboratorium
dan USG, penyakit – penyakit lain yang menyertai (seperti diabetes mellitus) telah
terkontrol. Pada saat pulang, pasien diberikan antibiotik yang sesuai seperti
Levofloxasin 1 x 500 mg PO dan Metronidazol 2 x 500 mg PO, anti-emetik dan
analgesik yang sesuai.
Terapi bedah
27
B.Peritonitis Diffusa
Keluhan & tanda2 fisik peritonitis diffusa ialah : nyeri hebat seluruh perut dan
nyeri tekan disertai defans muskuler seluruh dinding perut.
28
Dalam prosedur diagnosis ini penting melihat aspirat dari Naso Gastric Tube (NGT).
Aspirat berwarna putih keruh menandakan perdarahan tidak aktif, aspirat berwarna merah
marun menandakan perdarahan massif sangat mungkin perdarahan arteri. Seperti halnya
warna feses maka warna aspirat pun dapat memprediksi mortalitas pasien. Walaupun
demikian pada sekitar 30% pasien dengan perdarahan tukak duodeni ditemukan adanya aspirat
yang jernih pada NGT.
Dalam prosedur diagnostik ini perlu dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang.
Antara lain laboratorium darah lengkap, faal hemostasis, faal hati, faal ginjal, gula darah,
elektrolit, golongan darah, rontgen dada dan elektrokardiografi.
Dalam prosedur diagnosis ini pemeriksaan endoskopi merupakan gold standard.
Tindakan endoskopi selain untuk diagnostik dapat dipakai pula untuk terapi. Prosedur ini tidak
perlu dilakukan segera (bukan prosedur emergensi), dapat dilakukan dalam kurun waktu 12 -
24 jam setelah pasien masuk dan keadaan hemodinamik stabil. Tidak ada keuntungan yang
nyata bila endoskopi dilakukan dalam keadaan darurat. Dengan pemeriksaan endoskopi ini
lebih dari 95% pasien-pasien dengan hemetemesis, melena atau hematemesis –melena dapat
ditentukan lokasi perdarahan dan penyebab perdarahannya.
Untuk kepentingan klinik biasanya dibedakan perdarahan karena ruptur varises dan
perdarahan bukan karena ruptur varises (variceal bleeding dan non variceal bleeding).
Identifikasi varises biasanya memakai cara red whale marking. Yaitu dengan
menentukan besarnya varises (F1-F2-F3), jumlah kolom (sesuai jam), lokasi di esophagus
(Lm,Li,Lg) dan warna ( biru, cherry red, hematocystic).
Untuk ulkus memakai kriteria Forrest.
- Forrest Ia : Tukak dengan perdarahan aktif dari arteri
- Forrest Ib : Tukak dengan perdarahan aktif berupa oozing
- Forrest IIa : Tukak dengan visible vessel
- Forrest IIb : Tukak dengan ada klot diatasnya yang sulit dilepas
- Forrest IIc : Tukak dengan klot diatasnya yang dapat dilepas
- Forrest III : Tukak dengan dasar putih tanpa klot.
Pada beberapa keadaan dimana pemeriksaan endoskopi tidak dapat dilakukan,
pemeriksaan dengan kontras barium( OMD) mungkin dapat membantu. Untuk pasien yang
tidak mungkin dilakukan endoskopi dapat dilakukan pemeriksaan dengan angiografi atau
skintigrafi. Hasil pemeriksaan endoskopi untuk pasien-pasien perdaahan non varises
29
mempunyai nilai prognostik. Dengan menganalisis semua data yang ada dapat ditentukan
strategi penanganan yang lebih adekwat.
1. Penatalaksanaan
Pengelolaan pasien dengan perdarahan akut SCBA meliputi tindakan umum dan
tindakan khusus .
Tindakan umum:
Tindakan umum terhadap pasien diutamakan untuk ABC. Terhadap pasien yang
stabil setelah pemeriksaan dianggap memadai, pasien dapat segera dirawat untuk
terapi lanjutan atau persiapan endoskopi. Untuk pasien-pasien risiko tinggi perlu
tindakan lebih agresif seperti:
a. Pemasangan IV line paling sedikit 2 dengan jarum(kateter) yang besar minimal
no 18. Hal ini penting untuk keperluan transfusi. Dianjurkan pemasangan CVP.
b. Oksigen sungkup/ kanula. Bila ada gangguan A-B perlu dipasang ETT.
c. Mencatat intake output, harus dipasang kateter urine
d. Memonitor Tekanan darah, Nadi, saturasi oksigen dan keadaan lainnya sesuai
dengan komorbid yang ada.
e. Melakukan bilas lambung agar mempermudah dalam tindakan endoskopi.
Dalam melaksanakan tindakan umum ini, terhadap pasien dapat diberikan terapi :
o transfusi untuk mempertahankan hematokrit > 25%
o Pemberian vitamin K
o Obat penekan sintesa asam lambung (PPI)
o Terapi lainnya sesuai dengan komorbid
Terhadap pasien yang diduga kuat karena ruptura varises gastroesofageal dapat
diberikan oktreotid bolus 50 µg dilanjutkan dengan drip 50 µg tiap 4 jam.
Sebagian besar pasien dengan perdarahan SCBA dapat berhenti sendiri, tetapi
pada 20% dapat berlanjut. Walaupun sudah dilakukan terapi endoskopi pasien
dapat mengalami perdarahan ulang. Oleh karena itu perlu dilakuka assessmen
yang lebih akurat untuk memprediksi perdarahan ulang dan mortalitas.
Terapi khusus
1. Varises gastroesofageal:
- Terapi medikamentosa dengan obat vasoaktif (Otreotid, Somatostatin,
Glipressin (Terlipressin)
30
- Terapi mekanik dengan balon Sengstaken Blackmore atau Minesota
- Terapi endoskopi (Skleroterapi, Ligasi)
- Terapi secara radiologik dengan pemasangan TIPS (Transjugular Intrahepatic
Portosystemic Shunting) dan Perkutaneus obliterasi spleno – porta.
- Terapi pembedahan (Shunting, Transeksi esofagus + devaskularisasi +
splenektomi, Devaskularisasi + splenektomi )
Outcome pasien ruptura varises gastroesofageal sangat bergantung pada
berbagai faktor antara lain 1) Beratnya penyakit hati (Kriteria Child-Pugh), 2)
Ada tidak adanya varises gaster, walupun disebutkan dapat diatasi dengan
semacam glue (histoakrilat) 3) Komorbid yang lain seperti ensefalopati,
koagulopati, hepato renal sindrom dan infeksi.
2. Tukak peptik
- Terapi medikamentosa (PPI, Obat vasoaktif )
- Terapi endoskopi : Injeksi (adrenalin-saline, sklerosan,glue,etanol), Termal
(koagulasi, heatprobelase), Mekanik (hemoklip, stapler)
- Terapi bedah
Untuk pasien -pasien yang dilakukan terapi non bedah perlu dimonitor akan
kemungkinan perdarahan ulang. Second look endoscopy masih kontroversi
Realimentasi bergantung pada hasil endoskopi. Pasien-pasien bukan risiko
tinggi dapat diberikan diet segera setelah endoskopi sedangkan pasen dengan
risiko tinggi perlu puasa antara 24 -48 jam, kemudian baru diberikan makanan
secara bertahap.
Untuk mencegah perdarahan berulang dapat dilakukan tindakan :
Varises esophagus :
- Terapi medik dengan betabloker nonselektif
- Terapi endoskopi dengan skleroterapi atau ligasi
Tukak peptik
- Tukak gaster PPI selama 8-12 minggu dan tukak duodeni PPI 6-8 minggu.
- Bila ada infeksi helicobacter pilory perlu dieradikasi dengan pemberian
antibiotik.
- Bila pasien memerlukan NSAID, diganti dulu dengan analgetik dan kemudian
dipilih NSAID selektif ditamabh dengan PPI atau misoprostol.
31
32