Anda di halaman 1dari 32

KULIAH BEDAH DIGESTIF

Disusun oleh:

Denny Firdaus

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RSUD Dr MOEWARDI
SURAKARTA
2018

Kegawatdaruratan Bedah Abdomen


Jenis jenis kegawat daruratan bedah abdomen
1. Kegawat daruratan karena trauma
a.Trauma tumpul abdomen
b.Trauma tajam abdomen
2. Kegawat daruratan karena non trauma
Terbagi atas 3 keadaan :
1. Obstruksi Usus
2. Peritonitis

1
3. Perdarahan saluran cerna

1. kegawat daruratan karena trauma

Berdasaran jenis organ yang cedera dapat dibagi dua :

1. Pada organ padat seperti hepar dan limpa dengan gejala utama perdarahan
2. Pada organ berongga seperti usus dan saluran empedu dengan gejala utama adalah
peritonitis
Berdasarkan daerah organ yang cedera dapat dibagi dua, yaitu :

1. Organ Intraperitoneal : Ruptur HatiRuptur LimpaRuptur Usus Halus


2. Organ Retroperitoneal. Retroperitoneal abdomen terdiri dari ginjal, ureter,
pancreas, aorta, dan vena cava. Trauma pada struktur ini sulit ditegakkan
diagnosis berdasarkan pemeriksaan fisik. Evaluasi regio ini memerlukan CT scan,
angiografi, dan intravenous pyelogram.trauma pada daerah ini menyebabkan
ruptur Ginjal, ruptur Pankreas,ruptur Ureter.

A. Trauma tumpul

Trauma tumpul kadang tidak menimbulkan kelainan yang jelas pada


permukaan tubuh, tetapi dapat mengakibatkan cedera berupa kerusakan daerah organ
sekitar, patah tulang iga, cedera perlambatan (deselerasi), cedera kompresi,
peningkatan mendadak tekanan darah, pecahnya viskus berongga, kontusi atau
laserasi jaringan maupun organ dibawahnya.

Mekanisme terjadinya trauma tumpul disebabkan adanya deselerasi cepat dan adanya
non complient organ yaitu organ yang tidak memiliki kelenturan seperti hati, lien,
pankreas, dan ginjal. Secara umum mekanisme terjadinya trauma tumpul abdomen
yaitu:

1. Saat pengurangan kecepatan menyebabkan perbedaan gerak di antara struktur.


Akibatnya, terjadi tenaga potong dan menyebabkan robeknya organ berongga,
organ padat, organ visceral dan pembuluh darah, khususnya pada bagian distal
organ yang terkena.
2. Isi intra abdominal hancur diantara dinding abdomen anterior dan columna
vertebra atau tulang toraks posterior. Hal ini dapat menyebabkan ruptur,
biasanya terjadi pada organ-organ padat seperti lien, hati, dan ginjal.

2
3. Gaya kompresi eksternal yang menyebabkan peningkatan tekanan intra
abdomen yang tiba-tiba dan mencapai puncaknya biasanya menyebabkan
ruptur organ berongga. Berat ringannya perforasi tergantung dari gaya yang
didapat serta luasnya permukaan organ yang terkena cedera.
Trauma tumpul sendiri dibagi lagi menjadi tiga,yaitu:

a. Trauma kompresi (Crush Injury)


Trauma kompresi terjadi bila bagian depan dari badan berhenti bergerak,
sedangkan bagian belakang dan bagian dalam tetap bergerak ke depan. Organ-organ
terjepit dari belakang oleh bagian belakang thorakoabdominal dan kolumna vetebralis
dan di depan oleh struktur yang terjepit. Trauma abdomen menggambarkan variasi
khusus mekanisme trauma dan menekankan prinsip yang menyatakan bahwa keadaan
jaringan pada saat pemindahan energi mempengaruhi kerusakan jaringan. Pada
tabrakan, maka penderita akan secara refleks menarik napas dan menahannya dengan
menutup glotis. Kompresi abdominal mengkibatkan peningkatan tekanan
intrabdominal dan dapat menyebabkan ruptur diafragma dan translokasi organ-organ
abdomen ke dalam rongga thorax. Transient hepatic kongestion dengan darah sebagai
akibat tindakan valsava mendadak diikuti kompresi abdomen ini dapat menyebabkan
pecahnya hati. Keadaan serupa dapat terjadi pada usus halus bila ada usus halus yang
closed loop terjepit antra tulang belakang dan sabuk pengaman yang salah
memakainya. Contoh trauma kompresi yaitu suatu pukulan langsung, misalnya
terbentur setir atau bagian mobil lainnya.

b. Trauma Tarikan (Shearing Injury)


Trauma tarikan (shearing injury) terhadap organ visera terjadi bila suatu alat
pengaman (misalnya seat-belt) tidak digunakan dengan benar. Agar berfungsi dengan
baik, sabuk pengaman harus dipakai di bawah spina iliaka anterior superior, dan di
atas femur, tidak boleh mengendur saat tabrakan dan harus mengikat penumpang
dengan baik. Bila dipakai terlalu tinggi (di atas SIAS) maka hepar, lien, pankreas,
usus halus, diodenum, dan ginjal akan terjepit di antara sabuk pengaman dan tulang
belakang, dan timbul burst injury atau laserasi. Hiperfleksi vertebra lumbalis akibat
sabuk yang terlalu tinggi mengakibatkan fraktur kompresi anterior dan vertebra
lumbal.

c. Burst Injury

3
Terjadi akibat peningkatan tekanan intra abdominal yang tiba-tiba. Misalnya
akibat ledakan.Kerusakan organ lunak karena trauma tumpul biasanya terjadi sesuai
dengan tulang yang terkena. Seperti pada fraktur costae kanan, organ yang terkena
adalah hepar dan menyebabkan cedera pada hepar. Sedangankan jika trauma yang
terjadi adalah fraktur costae kiri, maka cedera yang mungkin terjadi adalah ruptur
lien. Pada kontusio midepigastrium, dapat terjadi perforasi duodenum. Pada fraktur
prosessus transveralis lumbal, dapat menyebabkan cedera pada ginjal.

B. Trauma tajam

Trauma tajam abdomen adalah suatu ruda paksa yang mengakibatkan luka
pada permukaan tubuh dengan penetrasi ke dalam rongga peritoneum yang
disebabkan oleh tusukan benda tajam. Trauma akibat benda tajam dikenal dalam tiga
bentuk luka yaitu: luka iris atau luka sayat (vulnus scissum), luka tusuk (vulnus
punctum) atau luka bacok (vulnus caesum).

Luka tusuk maupun luka tembak akan mengakibatkan kerusakan jaringan


karena laserasi ataupun terpotong. Luka tembak dengan kecepatan tinggi akan
menyebabkan transfer energi kinetik yang lebih besar terhadap organ viscera, dengan
adanya efek tambahan berupa temporary cavitation, dan bisa pecah menjadi fragmen
yang mengakibatkan kerusakan lainnya. Kerusakan dapat berupa perdarahan bila
mengenai pembuluh darah atau organ yang padat. Bila mengenai organ yang
berongga, isinya akan keluar ke dalam rongga perut dan menimbulkan iritasi pada
peritoneum.

Luka tusuk

Akibat trauma ini tergantung pada daerah trauma, arah trauma dan kekuatan tusukan
dan panjang dan ukuran dari tusukan. Mekanismenya bisa berupa sayatan dan
robekan pada jaringan.

Luka tembak

Mekanisme luka tembak lebih kompleks, tergantung pada energi kinetic yang
tersimpat pada proyektil dan kemampuannya untuk meledakan benda-benda

4
disekitarnya. Energi kinetic proyektil tergantung pada besarnya massa proyektil
dikalikan dengan kecepatannya. “Proyectil velocity” adalah kemampuan proyektil
untuk mengakibatkan kerusakan (luka), berdasarkan ini maka senjata api dikenal
dengan “low, medium, and high velocity”, ini ditentukan oleh “muzzle velocity” yaitu
untuk low velocity < 305 m/detik, medium 305 – 610 m/detik, high > 610 m/detik

“Low velocity projectil” menyebabkan robekan langsung dan trauma “chrusing” pada
jaringan local. Secara khas, hanya luka masuk terlihat dan terdapat peluru
didalamnya. “High-velocity projectile” ketika menyebabkan kerusakan dan
“chrusing” pada jaringan local juga menyebabkan kerusakan jaringan dengan cavitasi
(terowongan).

Diagnosis, pemeriksaan dan tatalaksana

Anamnesis
Riwayat trauma sangat penting untuk menilai penderita yang cedera dalam
tabrakan kendaraan bermotor. Anamnesis yang teliti terhadap pasien yang mengalami
trauma abdomen akibat tabrakan kendaraan bermotor harus mencakup:
1. Kecepatan kendaraan, jenis tabrakan
2. Berapa besar penyoknya bagian kendaraan ke dalam ruang penumpang
3. Jenis pengaman yang dipergunakan
4. Ada/tidak air bag
5. Posisi pasien dalam kendaraan
6. Penggunaan sabuk pengaman, Tipe sabuk pengaman
7. Status penumpang lainnya
8. Riwayat pengunaan alkohol dan obat-obatan sebelumnya
Keterangan ini dapat diperoleh langsung dari pasien, penumpang lain, polisi
maupun petugas emergensi jalan raya. Informasi mengenai tanda-tanda vital, luka-
luka yang ada maupun respons terhadap perawatan pra-rumah sakit harus dapat
diberikan oleh petugas-petugas pra-rumah sakit. Bila meneliti pasien dengan trauma
tajam, anamnesis yang teliti harus diarahkan pada:
1. Waktu terjadinya trauma, jenis senjata yang dipergunakan (pisau, pistol,
senapan)
5
2. Jarak dari pelaku
3. Jumlah tikaman atau tembakan
4. Jumlah perdarahan eksternal yang tercatat di tempat kejadian.
Bila mungkin, informasi tambahan harus diperoleh dari pasien mengenai
hebatnya maupun lokasi dari setiap nyeri abdominalnya, dan apakah ada nyeri-alih ke
bahu. Selain itu pada luka tusuk dapat diperkirakan organ mana yang terkena dengan
mengetahui arah tusukan, bentuk pisau dan cara memegang alat penusuk tersebut.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik abdomen harus dilakukan secara teliti dan sistematis,
dengan urutan inspeksi, auskultasi, perkusi, dan palpasi. Penemuannya positif dan
negatif harus dicatat dengan teliti dalam rekam medik.

1. Inspeksi
Baju penderita harus dibuka semua untuk memudahkan penilaian. Perut depan
dan belakang, dan juga bagian bawah dada dan perineum, harus diperiksa apakah ada
goresan, robekan, ekimosis, luka tembus, benda asing yang tertancap, keluarnya
omentum atau usus kecil, dan status hamil. Seat belt sign, dengan tanda konstitusi
atau abrasi pada abdomen bagian bawah, biasanya sangat berhubungan dengan cedera
intraperitoneal. Adanya distensi abdominal, yang biasanya berhubungan dengan
pneumoperitoneum, dilatasi gaster, atau ileus sebagai akibat dari iritasi peritoneal
merupakan hal penting yang harus diperhatikan. Adanya kebiruan yang melibatkan
region flank, punggung bagian bawah (Grey Turner sign) menandakan adanya
perdarahan retroperitoneal yang melibatkan pankreas, ginjal, atau fraktur pelvis.
Kebiruan di sekitar umbilicus (Cullen sign) menandakan adanya perdarahan
peritoneal biasanya selalu melibatkan perdarahan pankreas, akan tetapi tanda-tanda ini
biasanya baru didapati setelah beberapa jam atau hari. Fraktur costae yang melibatkan
dada bagian bawah, biasanya berhubungan dengan cedera lien atau liver.

2. Auskultasi
Melalui auskultasi ditentukan apakah bising usus ada atau tidak. Penurunan
suara usus dapat berasal dari adanya peritonitis kimiawi karena perdarahan atau ruptur
organ berongga. Cedera pada struktur berdekatan seperti tulang iga, tulang belakang
atau tulang panggul juga dapat mengakibatkan ileus meskipun tidak ada cedera
6
intraabdominal, sehingga tidak adanya bunyi usus bukan berarti pasti ada cedera
intrabdominal. Adanya suara usus pada thorax menandakan adanya cedera pada
diafragma.

3. Perkusi
Manuver ini menyebabkan pergerakan peritoneum, dan dapat menunjukkan
adanya peritonitis yang masih meragukan. Perkusi juga dapat menunjukkan adanya
bunyi timpani di kuadran atas akibat dari dilatasi lambung akut atau bunyi redup bila
ada hemoperitoneum.

4. Palpasi
Kecenderungan untuk mengeraskan dinding abdomen (voluntary guarding)
dapat menyulitkan pemeriksaan abdomen. Sebaliknya defans muskuler (involuntary
guarding) adalah tanda dari iritasi peritoneum. Tujuan palpasi adalah untuk
mendapatkan apakah didapati nyeri serta menentukan lokasi nyeri tekan superficial,
nyeri tekan dalam, atau nyeri lepas tekan. Nyeri lepas tekan menandakan adanya
peritonitis yang timbul akibat adanya darah atau isi usus. Pada truma tumpul abdomen
perlu juga disertai kecurigaan adanya fraktur pelvis. Untuk menilai stabilitas pelvis,
yaitu dengan cara menekankan tangan pada tulang-tualng iliaka untuk
membangkitkan gerakan abnormal atau nyeri tulang yang menandakan adanya fraktur
pelvis.

Walaupun melalui pemeriksaan fisik dapat dideteksi cedera intraperitoneal,


keakuratan pemeriksaan fisik pada pasien dengan trauma tumpul abdomen hanya
berkisar antara 55–65%. Tidak adanya tanda dan gejala yang ditemukan dalam
pemeriksaan fisik tidak menyingkirkan adanya cedera yang serius, sehingga
diperlukan pemeriksaan yang lebih spesifik lagi untuk menghindarkan missed injury.

Walaupun tidak ditemukan tanda dan gejala, adanya perubahan sensoris atau
cedera extraabdominal yang disertai nyeri pada pasien trauma tumpul abdomen harus
lebih mengarahkan kepada cedera intrabdominal. Lebih dari 10% pasien dengan
cedera kepala tertutup, disertai dengan cedera intraabdominal, dan 7% pasien trauma
tumpul dengan cedera extraabdominal memiliki cedera intraabdominal, walaupun
tanpa disertai rasa nyeri.
7
Pada pasien sadar tanpa cedera luar yang terlihat, gejala yang paling terlihat
dari trauma tumpul abdomen adalah nyeri dan peritoneal findings. Pada 90% kasus,
pasien dengan cedera visceral datang dengan nyeri lokal atau nyeri general. Tanda-
tanda ini bukan merupakan tanda yang spesifik, karena dapat pula ditemukan pada
isolated thoracoabdominal wall constitution atau pada fraktur costa bawah. Dan yang
paling penting, tidak adanya nyeri pada pasien sadar dan stabil lebih menandakan
tidak adanya cedera. Meskipun demikian, cedera intrabdominal bisa didapati pada
pasien sadar dan tanpa nyeri.

Hipotensi pada trauma tumpul abdomen sering sebagai akibat dari perdarahan
organ padat abdomen atau cedera vasa abdominal. Walaupun sumber perdarahan
extraabdominal (misalnya, laserasi kulit kepala, cedera dada, atau fraktur tulang
panjang) harus segera diatasi, tapi evaluasi cavitas peritoneal juga tidak boleh
diabaikan. Pasien dengan cedera kepala ringan tidak bisa menyebabkan shock, kecuali
pada pasien dengan cedera intracranial, atau pada bayi dengan perdarahan intracranial
atau cephalohematoma.

Terdapat perbedaan dalam mendiagnosis antara trauma tumpul dan trauma


tajam. Pada luka tembak antara intercostae 4 dan simphisis pubis, yang diduga
menembus peritoneal, disarankan melakukan laparotomy. Sementara luka tembak
yang berasal dari belakang punggung lebih sulit untuk dievaluasi karena ketebalan
jaringan antara organ dan abdomen dan kulit. Sementara luka tusuk yang menembus
rongga peritoneal lebih jarang menimbulkan kerusakan intra abdomen. Luka tusuk
anterior maupun lateral sebaiknya dieksplorasi dengan anestesi lokal untuk
menentukan apakah peritoneum terdapat kerusakan. Luka tusuk yang tidak mencapai
rongga peritoneal tidak memerlukan evaluasi lebih lanjut. Pada luka tusuk abdomen,
diagnosis menggunakan DPL (Diagnosis peritoneal savage) memiliki sensitivitas
hingga 95%. DPL dinyatakan postifi jika aspirasi darah yang diambil mencapai 10 ml,
jika kurang dari 10 ml, maka NaCl sebanyak 1 liter diberikan dan diambil sampel
darah untuk diperiksa pemeriksaan darah lengkap, amilase alkalin phosphatase dan
bilirubin. Eritrosit bernilai lebih dari 100.000/uL dinilai positif.

Studi Laboratorium

 Blood typing

8
Pada pasien trauma harus dilakukan pengecekan golongan darah dan cross-match,
sebagai antisipasi jika sewaktu-waktu diperlukan transfusi, terlebih pada pasien
dengan perdarahan yang mengancam jiwa.

 Hematocrit/Darah lengkap Serial


Hematocrit dapat berguna sebagai dasar penilaian pada pasien trauma abdomen,
terlabih untuk jika diukur secara berkala untuk melihat perdarah yang terus
berlangsung.

 Hitung leukosit
Pada trauma tumpul abdomen akut, hitung leukosit tidak spesifik. Ephinefrin yang
dilepaskan tibuh pada saat trauma dapat menyebabkan demarginasi dan dapat
meningkatkan jumlah leukosit mencapai 12000-20000/mm3 dengan pergeseran ke
kir yang moderat.

 Enzim pankreas
Kadar amilase dan lipase dalam serum tidak terlalu memiliki arti penting untuk
menunjang diagnostik. Kadar amilase dan lipase yang normal dalam serum tidak
dapt menyingkirkan kecurigaan adanay trauma pankreas. Peningkatan mungkin
mengarah pada cedera pankreas, tapi juga mungkin dari cedera abdomen non
pankreas. Jika ada kecurigaan cedera pankreas, masih diperlukan pemeriksaan
lebih lanjut, misal CT scan.

 Tes fungsi hati


Cedera hepar bisa meningkatkan kadar transaminase dalam serum, akan tetapi
peningkatan ini tidak akan terjadi pada konstitusi minor. Pasien denagn komorbid
seperti pada pasien dengan alcohol induced liver disease bisa memiliki kadar
transaminase yang abnormal

 Analisis toksikologi
Skrening rutin penyalahgunaan obat dan alkohol belum dilakukan pada
penatalaksanaan trauma tumpul abdomen, terlebih pada pasien dengan status
mental normal.

 Urinalisis

9
Gross hematuri mengarah pada adanya cedera ginjal serius dan membutuhkan
investigai yang lebih lanjut. Diperlukan juga pemeriksaan terhadap adanya
hematuri mikro yang dapat mengindikasikan cedra serius. Oleh karena itu, penting
dialakukan pemeriksaan mikroskopik atau urinalisis dipstick pada semua pasien
trayma tumpul abdomen. Adanya nyeri abdomen dan hematuri memiliki tingkat
sensitifitas 64% dan 94% spesifik untuk cedera intraabdominal yang telah
dibuktilkan melalui CT scan.

Studi Diagnostik Khusus

A. Radiologi
Tes radiologi dapat menyampaikan informasi penting untuk penatalaksanaan
pasien trauma tumpul abdomen. Pemeriksaan radiologi diindikasikan pada pasien
stabil, jika dari pemeriksaan fisik dan lab tidak bisa disimpulkan diagnosik.

Pasien yang tidak kooperatif, dapat mengganggu hasil tes radiologi dan dapat
beresiko mengalami cedera spinal. Penyebab dari pasien yang tidak koopertatif ini
harus dievaluasi, misalnya karena hipoksia atau cedera otak. Demi kelancaran, pasien
tersebut dapat dipertimbangkan untuk diberi sedatif.

Rontgen untuk screening adalah Ro-foto cervical lateral, thorax AP, dan pelvis
AP dilakukan pada pasien trauma tumpul dengan multitrauma. Rontgen foto abdomen
3 posisi (telentang, setengah tegak dan lateral dekubitus) berguna untuk melihat
adanya udara bebas di bawah diafragma ataupun udara di luar lumen di
retroperitoneum, yang kalau ada pada keduanya menjadi petunjuk untuk dilakukannya
laparotomi. Hilangnya bayangan psoas menunjukkan adanya kemungkinan cedera
retroperitoneal. Foto polos abdomen memiliki kegunaan yang terbatas, dan sudah
digantikan oleh CT-scan dan USG

B. Computed Tomography ( CT-scan )


CT merupakan prosedur diagnostik yang memerlukan transport penderita
ke scanner, pemberian kontras oral maupun intravena, dan scanning dari abdomen
atas bawah dan juga panggul. Proses ini makan waktu dan hanya digunakan pada
penderita dengan hemodinamik normal. CT-scan mampu memberikan informasi yang
berhubungan dengan cedera organ tertentu dan tingkat keparahannya, dan juga dapat
10
mendiagnosis cedera retroperitoneum dan organ panggul yang sukar diakses melalui
pemeriksaan fisik maupun DPL. Kotraindikasi relatif terhadap penggunaan CT
meliputi penundaan karena menunggu scanner, pendrita yang tidak kooperatif, dan
alergi terhdap bahan kontras.

Keuntungan CT-scan :

1. non invasive
2. mendeteksi cedera organ dan potensial untuk penatalaksanaan non operatif
cedera hepar dan lien
3. mendeteksi adanya perdarahan dan mengetahui dimana sumber perdarahan
4. retroperitoneum dan columna vetebra dapat dilihat
5. imaging tambahan dapat dilakukan jika diperlukan

Kelemahan CT-scan

1. kurang sensitif untuk cedera pankreas, diafragma, usus, dan mesenterium


2. diperlukan kontras intra vena
3. mahal
4. tidak bisa dilakukan pada pasien yang tidak stabil

11
C. Ultrasound

Ultrasound digunakan untuk mendeteksi adanya darah intraperitonum setelah


terjadi trauma tumpul. USG difokuskan pada daerah intraperitoneal dimana sering
didapati akumulasi darah, yaitu pada
1. kuadran kanan atas abdomen (Morison's space antara liver ginjal kanan)
2. kuadran kiri ats abdomen (perisplenic dan perirenal kiri)
3. Suprapubic region (area perivesical)
4. Subxyphoid region (pericardiumhepatorenal space)
Daerah anechoic karena adanya darah dapat terlihat paling jelas jika
dibandingkan dengan organ padat di sekitarnya. Banyak penelitian retrospektif
menyatakan manfaat USG pada pasien dengan hemodinamik yang stabil atau tidak stabil
untuk mendeteksi adanya perdarahan intraperitoneal. Beberapa RCT menunjukkan
penggunaan FAST untuk diagnostik akan menghasil pasien dengan hasil perawatan yang
lebih baik.
Keuntungan USG :

1. portabel
2. dapat dilaksanakan dengan cepat
3. tingkat sesitifitas sebesar 65-95% dalam mendeteksi paling sedikit 100 ml cairan
intraperitoneal.
4. spesifik untuk hemoperitoneum
5. tanpa radiasi atau kotras
6. mudah dilakuakn pemeriksaan serial jika diperlukan
7. tekniknya mudah dipelajari
8. non invasif
9. lebih murah dibandingkan CT-scan atau peritoneal lavage
Kelemahan USG

1. cedera parenkim padat, retroperitoneum, atau diafragma tidak bisa dilihat dengan
baik

12
2. kualitas gambar akan dipengaruhi pada pasien yang tidak kooperatif, obesitas,
adanya gas usus, dan udara subkutan
3. darah tidak bisa dibedakan dari ascites
4. tidak sensitif untuk mendeteksi cedera usus.

13
Metode pemeriksaan ultrasound pada kasus trauma tumpul abdomen adalah
FAST (Focused Abdominal Sonogram for Trauma). Tujuan primer dari FAST adalah
mengidentifikasi adanyan hemoperitonium pada pasien dengan kecurigaan cidera intra-
abdomen. Indikasi FAST adalah pasien yang secara hemodinamik unstable dengan
kecurigaan cedera abdomen dan pasien-pasien serupa yang juga mengalami cedera
ekstra-abdominal signifikan (ortopedi, spinal, thorax, dll.) yang memerlukan bedah non-
abdomen emergensi.
FAST sebaiknya dilakukan oleh ahli bedah yang hadir pada saat itu di IGD/ ICU
sebagai prosedur bedside sementara resusitasi dapat terus berlangsung. FAST
direkomendasikan menggunakan 3,5 atau 5 MHz ultrasound sector transducer probe dan
gray scale ‘B mode’ ultrasound scanning.

Scan dimulai dari sub-xiphoid region di sagittal plane. Probe kemudian


digerakkan ke kanan untuk memeriksa Morrison’s pouch (hepato-renal) (sagittal plane).
Setelah itu, probe digerakkan ke arah kiri untuk untuk menilai kavum spleno-renal
(sagittal plane). Pada keadaan ini, direkomendasikan agar bladder diisikan dengan 200-
300 ml dengan larutan normal steril melalui kateter urin yang kemudian diklem. Cara
ini akan memberikan excellent sonological window untuk memvisualisasi pelvis
(transverse plane). Pada pasien yang dicurigai mengalami cedera bladder, hindari
prosedur pengisian di atas. Gantikan dengan meletakkan kantong berisi saline di atas
hipogastrium, dengan demikian akan menimbulkan acoustic window untuk
pelvis.Waktu total yang dibutuhkan untuk seluruh prosedur ini sebaiknya antara 5-8
menit.

D. Diagnostic Peritoneal Lavage

Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL) memiliki peran besar pada penatalaksanaan


trauma tumpul abdomen. DPL paling berguna pada pasien yang memiliki resiko tinggi
cedera organ berongga, terutama jika dari CT-scan dan USG hanya terdeteksi sedikit
cairan, dan pada pasien dengan demam yang nyata, peritonitis, atau keduanya. Keadaan
ini berlangsung selama 6-12 jam setelah cedera organ berongga.

14
Indikasi:

 Perubahan sensorium – cedera kepala,intoksikasi alkohol, penggunaan


obat terlarang.
 Perubahan perasaan – cedera jaringan saraf tulang belakang.
 Cedera pada struktur berdekatan – tulang iga bawah, panggul, tulang
belakang dari pinggang bawah (lumbar spine).
 Pemeriksaan fisik yang meragukan.

Pada kasus trauma tajam, diperlukan sedikit pemeriksaan. Pemeriksaan


dilakukan saat pasien sedang dalam kondisi stabil. Pemeriksaan X-ray berguna dan
direkomendasikan. Pemeriksaan ini dilakukan untuk memeriksa adanya pneumothorax,
abnormalitas pada diafragma,hingga fraktur. Pemeriksaan urinalisis juga diperlukan
untuk menilai ada tidaknya hematuria. Pada kasus yang diduga terdapat cedera pada
diafragma, pemeriksaan laparoskopi sangat dianjurkan dan merupakan pemeriksaan
rutin. CT scan juga dapat dilakukan untuk pasien yang dilakukan manajemen non
operatif. Sedangkan sigmoidoscopy diperlukan untuk pasien dengan luka tembak pada
daerah pelvis dengan kecurigaan cedera pada rectum.

Laparotomi dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh informasi yang tidak


tersedia melalui metode diagnostik klinis. Hal ini biasanya dilakukan pada pasien
dengan nyeri akut abdomen, pada pasien yang telah mengalami trauma abdomen, dan
kadang-kadang pada pasien dengan keganasan. Setelah abdomen dibuka, maka
dilakukan eksplorasi terhadap organ intra abdomen yaitu: hepar, lien, gaster, usus halus
dan usus besar.

Indikasi laparotomi eksplorasi

Tahap 1: Indikasi operasi

1. Tanda-tanda vital yang tidak stabil merupakan alasan utama untuk operasi emergensi.
Harus diingat bahwa luka tusuk pada dada bagian bawah dapat mencederai organ-organ

15
intrathoraks seperti jantung dan paru, sehingga hipotensi pada keadaan ini dapat saja
bukan oleh kehilangan darah intraperitonial.

2. Eviserasi dari organ intraperitonial membawa resiko 60% terhadap cedera organ
intraabdomen,

3. Tanda-tanda peritonitis, keadaan ini tidak boleh ditunda dengan pemeriksaan lain

Tahap 2: Apakah ada peritoneal cedera (tembus)

Eksplorasi dari luka dinding abdomen (“local wound explorasi; LWE”) dengan memakai
anestetik local bisa menentukan tembus tidaknya peritoneum. Pemeriksaan yang negative
(“clearly negative”) pasien bisa dipulangkan setelah perawatan luka. Pemeriksaan yang
positif atau ragu-ragu menentukan untuk intervensi atau pemeriksaan lanjut.

Tahap 3: Apakah ada cedera organ intraperitonial

LWE positif harus dilakukan laparotomi. Seluruh pasien yang dicurigai atau sudah jelas
tembus peritoneum dan tanda-tanda vital stabil dianjurkan untuk DPL. Saat ini, jika
dicurigai trauma hepar dianjurkan untuk pemeriksaan CT scan. Laparoskopi juga banyak
digunakan untuk menilai cedera organ intraperitonial

Tindakan laparotomi eksplorasi dapat dilakukan pada kasus trauma tusuk abdomen,
menyesuaikan algoritma yang telah ada. Indikasi laparotomi eksplorasi adalah

1. Abdominal trauma dengan hemoperitoneum dan hemodinamik yang tidak stabil


2. Nyeri abdomen dan penemuan klinis menyatakan kebutuhan operasi darurat
3. Nyeri abdomen kronik
4. Perdarahan obscure sistem gastrointestinal

Kontraindikasi laparotomi eksplorasi

 Pasien tidak bisa menerima anestesi umum


 Peritonitis dengan sepsis berat
 Tumor malignant
2. kegawat daruratan karena non trauma

1. Obstruksi usus

16
Obstruksi usus adalah hambatan mekanik atau fungsional pada intestin yang mencegah
transit produk – produk intestin, gas dan cairan. Obstruksi ini dapat terjadi secara partial
ataupun total. Obstruksi dapat terjadi di bagian usus manapun (di usus kecil atau usus
besar) dan merupakan suatu kasus emergensi.

Obstruksi mekanik usus merupakan hambatan fisik lumen baik sebagian atau
total. Sekitar 85% dari obstruksi mekanik terjadi pada usus halus dan 15% diantaranya
terjadi pada usus besar.

Obstruksi sederhana maksudnya suatu hambatan pada satu tempat saja,


sedangkan obstruksi yang terjadi pada dua tempat atau lebih dikenal dengan sebutan
lengkung tertutup.

Berdasarkan penyebabnya, obstruksi usus dapat dibagi menjadi dua, yaitu :

1. Obstruksi mekanik
Obstruksi mekanis biasanya timbul akibat usus tersumbat sehingga isi usus tidak
dapat lewat Etiologinya berupa hernia, jaringan parut (postoperatif adhesi),
impacted feses, gallstone, tumor, volvulus, intususepsi, benda asing.

Obstruksi mekanik dapat dibagi menjadi 3 stadium, yaitu:

a. Stadium obstruksi partial


Obstruksi terjadi sebagian, makanan masih bisa sedikit lewat, dapat
flatus/ defekasi sedikit. Obstruksi usus jenis ini biasanya dapat diterapi
dengan terapi non operatif.

b. Stadium obstruksi total / simpel / nonstrangulasi


Terjadi sumbatan total tetapi belum terjadi gangguan vaskularisasi
dinding usus. Usus masih dapat hidup. Obstruksi usus jenis ini harus
diterapi secara operatif.

c. Stadium strangulasi
Vaskularisasi dinding usus terjepit ( strangulasi ) sehingga usus
mengalami nekrosis. Strangulasi dapat terjadi akibat tingginya tekanan

17
dalam lumen itu sendiri karena membesarnya usus oleh gas dan cairan.
Tetapi sesungguhnya strangulasi itu lebih sering terjadi apabila mekanisme
obstruksi tersebut tidak saja menyumbat lumen usus tetapi juga menyumbat
suplai darah mesenterik. Dengan demikian strangulasi lebih banyak ditemui
pada lengkung tertutup daripada jenis obstruksi sederhana.

2. Obstruksi nonmekanik
Obstruksi non mekanis atau ileus adinamik sering terjadi setelah
pembedahan abdomen karena adanya refleks penghambatan peristaltik akibat
visera abdomen yang tersentuh tangan. Refleks penghambatan peristaltik ini
sering disebut sebagai ileus paralitik, walaupun paralisis peristaltik ini tidak
terjadi secara total. Kondisi ini biasanya hanya berlangsung secara temporer dan
akan menghilang dalam waktu 48-72 jam. Fungsi usus halus yang terganggu
postoperatif biasanya akan kembali normal dalam hitungan jam. Dan pada
kolon, akan kembali normal dalam 3-5 hari. Ileus postoperatif ini dimediasi oleh
aktivasi dari refleks inhibisi spinal. Secara anatomi, ada 3 refleks yang
mempengaruhi:

a. Ultrashort reflexes, mempengaruhi dinding usus.


b. Short reflexes, meliputi ganglia prevertebral
c. Long reflexes, meliputi medula spinalis.
Etiologinya lainnya berupa proses inflamasi, infeksi, efek samping obat –
obatan.

Menurut letak sumbatannya maka ileus obstruktif dibagi menjadi dua :

1. Obstruksi letak tinggi, bila mengenai usus halus.


2. Obstruksi letak rendah, bila mengenai usus besar.

2. Peritonitis
Ada 2 jenis peritonitis
A. Peritonitis lokal
1. Appendisitis acute

18
Keluhan Klasik ialah nyeri ulu hati menjalar ke daerah sekitar pusat
selanjutnya menetap didaerah Mc Burney.Diare,disuria.Nyeri tekan/tanda defans
muskuler didaerah Mc Burney.
Pada anamnesis, keluhan utama apendisitis biasanya mula-mula dirasakan di
epigastrium atau region umbilical yang kemudian dapat menyebar dan dirasakan di
seluruh perut. Nyeri kemudian dirasakan berpindah ke perut kanan bawah, tepatnya di
titik Mc Burney. Selain itu terdapat pula keluhan anoreksia, mual, muntah, obstipasi,
dan febris. Namun, keluhan yang dirasakan pasien apendisitis dapat berbeda oleh karena
gejala ditentukan dari posisi ujung apendiks.

Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik hasil yang didapatkan ditentukan terutama oleh posisi
anatomis dari apendiks yang meradang, serta oleh apakah organ tersebut telah
mengalami ruptur ketika pasien pertama diperiksa.

Tanda rangsangan peritoneum lokal di titik Mc Burney yaitu nyeri tekan, nyeri
lepas, dan defens muskuler. Sedangkan nyeri rangsang peritoneum tidak langsung dapat
berupa

1. Nyeri pada sisi kanan bawah yang timbul saat dilakukan palpasi dengan
tekanan pada kuadran kiri bawah– Rovsing’s sign
2. Nyeri pada sisi kanan bawah yang timbul saat palpasi dengan tekanan pada
kuadran kanan bawah dilepaskan tiba-tiba- Blumberg’s sign
3. Nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti saat nafas dalam,
berjalan, batuk, mengedan
 Status Generalis
Keadaan umum pasien tampak kesakitan, membungkuk, dan memegang
perut kanan bawah. Tanda-tanda vital tidak banyak berubah pada apendisitis
tanpa perforasi. Pada pemeriksaan suhu biasanya didapatkan demam ringan
dengan suhu sekitar 37,5-38,5oC, denyut nadi normal atau sedikit meningkat.
Perubahan signifikan biasanya menunjukkan bahwa komplikasi telah terjadi atau
diagnosis lain harus dipertimbangkan.
 Status lokalis

19
- Inspeksi: tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada
penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa
dilihat pada masa atau abses periapendikuler.
- Palpasi: didapatkan nyeri terbatas pada regio iliaka kanan, bisa disertai nyeri
lepas (Blumberg’s sign). Defens muskuler menunjukan adanya rangsangan
peritoneum parietal. Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan kunci
diagnosis.
- Perkusi: nyeri ketuk Mc Burney karena rangsangan peritoneum
- Auskultasi: peristaltik usus sering normal tetapi juga dapat menghilang
akibat adanya ileus paralitik pada peritonitis generalisata yang disebabkan
oleh apendisitis perforasi.
 Pemeriksaan khusus
- Rovsing’s sign
Positif jika dilakukan palpasi dengan tekanan pada kuadran kiri bawah
dan timbul nyeri pada sisi kanan.
- Psoas sign

Pasien dibaringkan pada sisi kiri, kemudian dilakukan ekstensi dari


panggul kanan. Positif jika timbul nyeri pada kanan bawah, menandakan
apendiks yang meradang menempel di otot psoas mayor.

- Obturator sign
Pada pasien dilakukan fleksi panggul dan dilakukan rotasi internal pada
panggul. Positif jika timbul nyeri pada hipogastrium atau vagina bilamana
apendiks yang meradang bersentuhan dengan otot obturator internus yang
merupakan dinding panggul kecil. Gerakan fleksi dan endorotasi sendi
panggul pada posisi terlentang akan menimbulkan nyeri pada apendisitis
pelvika.

- Pemeriksaan colok dubur menyebabkan nyeri bila daerah infeksi dapat


dicapai dengan jari telunjuk, misalnya pada apendisitis pelvika. Pada
apendisitis pelvika, tanda perut sering meragukan sehingga kunci diagnosis
adalah nyeri terbatas pada jam 9-12 sewaktu dilakukan colok dubur.

Pada wanita hamil terjadi pergeseran sekum ke kraniolaterodorsal oleh uterus,


oleh karenanya keluhan nyeri pada apendisitis sewaktu hamil trimester II dan III akan

20
bergeser ke kanan sampai ke pinggang kanan.Tanda pada kehamilan trimester I tidak
berbeda dengan pada orang tidak hamil karena itu perlu dibedakan apakah keluhan nyeri
berasal dari uterus atau apendiks. Bila penderita miring ke kiri, nyeri akan berpindah
sesuai dengan pergeseran uterus, maka nyeri tersebut bukan berasal dari apendiks.

Pemeriksaan Laboratorium

 Laboratorium darah

Leukositosis ringan (10.000-18.000 sel/mm3) biasanya didapatkan pada


pasien dengan akut apendisitis tanpa komplikasi, dan sering disertai dengan
dominasi polimorfonuklear. Jumlah sel darah putih di atas 18.000 sel/mm3
meningkatkan kemungkinan apendiks perforasi dengan atau tanpa abses.

 Urin lengkap

Urinalisis berguna untuk menyingkirkan saluran kemih sebagai sumber


infeksi. Meskipun beberapa sel darah putih atau merah bisa berasal dari ureter
atau iritasi kandung kemih sebagai akibat dari radang pada apendiks, bakteriuria
dalam spesimen urin yang diperoleh melalui kateter umumnya tidak terlihat
dalam apendisitis akut.

Pemeriksaan Radiologi

 Foto polos abdomen

Foto polos abdomen jarang mampu menegakkan diagnosis, namun


berguna dalam mengidentifikasi free gas, dan dapat menunjukkan appendicolith
di 7-15% kasus. Ditemukannya sebuah appendicolith membuat kemungkinan
apendisitis akut hingga 90%.
Pada pasien dengan apendisitis akut, pola gas usus yang abnormal sering
terlihat namun bukan merupakan penemuan yang spesifik
 Ultrasonografi

21
Ultrasound dengan radiasi pengion yang rendah harus menjadi
penunjang pilihan pada pasien muda, dan efektif mengidentifikasi apendiks
abnormal, terutama pada pasien yang kurus.

Graded compression sonography telah diusulkan sebagai cara yang


akurat untuk menegakkan diagnosis apendisitis. Diagnosis sonografi apendisitis
akut memiliki sensitivitas dari 55-96% dan spesifisitas 85-98%. Hasil scan
dianggap positif jika terdapat gambaran aperistaltik, noncompressible apendiks
≥6 mm pada arah anteroposterior. Terlihatnya appendicolith menetapkan
diagnosis. Penebalan dinding apendiks dan adanya cairan periappendiceal sangat
sugestif. Demonstrasi sonografi dari usus buntu yang normal yaitu compressible,
struktur tabung blind-ending berukuran ≤5 mm, dapat menyingkirkan diagnosis
apendisitis akut.

Apendiks yang meradang memiliki diameter lebih besar dari 6 mm, dan
biasanya dikelilingi oleh hyperechoic inflamed fat di sonografi. Tanda-tanda
yang sangat mendukung apendisitis yaitu adanya appendicolith, penebalan
caecal apikal.

 Barium enema
Yaitu suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium ke colon
melalui anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi dari
appendicitis pada jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosis
banding.
Foto barium enema yang dilakukan perlahan pada apendisitis akut
memperlihatkan tidak adanya pengisian apendiks dan efek massa pada tepi
medial serta inferior dari caecum; pengisisan lengkap dari apendiks
menyingkirkan apendisitis.

 Laparoskopi

dapat berfungsi baik sebagai manuver diagnostik dan terapeutik untuk


pasien dengan sakit perut akut dan yang diduga apendisitis akut.

22
Meskipun dilakukan pemeriksaan dengan cermat dan teliti, diagnosis klinis
apendisitis akut masih mungkin salah pada sekitar 15-20% kasus dimana lebih sering
terjadi pada perempuan terutama yang masih muda oleh karena keluhan yang
menyerupai timbul dari genitalia interna (seperti ovulasi, menstruasi, radang di pelvis,
atau penyakit ginekologik lain).

Untuk menurunkan angka kesalahan diagnosis apendisitis akut, bila diagnosis


meragukan, sebaiknya penderita diobservasi di rumah sakit dengan frekuensi setiap 1-2
jam. Pemeriksaan ultrasonografi dapat meningkatkan akurasi diagnosis.

Kemungkinan apendisitis dapat diyakinkan dengan menggunakan skor Alvarado.


Sistem skor dibuat untuk meningkatkan cara mendiagnosis apendisitis.

The Modified Alvarado Score Skor


Gejala Perpindahan nyeri dari ulu hati ke perut kanan 1
bawah
Mual-Muntah 1
Anoreksia 1
Tanda Nyeri di perut kanan bawah 2
Nyeri lepas 1
Demam diatas 37,5°C 1
Pemeriksaan Lab Leukositosis 2
Hitung jenis leukosit shift to the left 1
Total 10

Tabel Interpretasi dari Modified Alvarado Score: The


 0-4 : kemungkinan Apendisitis kecil
 5-6 : bukan diagnosis Apendisitis
 7-8 : kemungkinan besar Apendisitis
 9-10 : hampir pasti menderita Apendisitis

Modified Alvarado score

Tatalaksana apendisitis pada kebanyakan kasus adalah apendektomi.


Keterlambatan dalam tatalaksana dapat meningkatkan kejadian perforasi.Oleh
karenanya, meskipun terdapat modalitas diagnostik yang lebih canggih, pentingnya
intervensi operasi segera tidak harus diminimalkan. Pada pasien dengan presentasi
atipikal, pemeriksaan fisik adalah alat yang paling penting dalam memutuskan apakah
pasien membutuhkan operasi.

23
Pasien dengan riwayat klasik dan temuan pemeriksaan fisik, dengan analisis urin
normal (atau piuria) dan jumlah leukosit yang tinggi dengan pergeseran ke kiri biasanya
tidak memerlukan studi pencitraan tambahan sebelum apendektomi. Pembedahan juga
diindikasikan pada pasien dengan presentasi atipikal dan temuan radiografi yang
konsisten dengan apendisitis. Setiap pasien dengan nyeri perut atipikal yang memiliki
(1) nyeri persisten dan menjadi demam, (2) peningkatan jumlah leukosit, atau (3)
temuan pemeriksaan klinis memburuk harus menjalani laparoskopi diagnostik dan usus
buntu.

Apendektomi dapat dilakukan dengan open atau laparoskopi Menurut Society of


American Gastrointestinal and Endoscopic Surgeons (SAGES) 2010 keadaan yang
sesuai untuk dilakukan laparoskopi diantaranya pada pasien dengan apendisitis tanpa
komplikasi, anak-anak, dan wanita hamil. Prosedur apendektomi laparoskopi sudah
terbukti menghasilkan nyeri pasca bedah yang lebih sedikit, pemulihan yang lebih cepat
dan angka kejadian infeksi luka yang lebih rendah, akan tetapi terdapat peningkatan
kejadian abses intra abdomen dan pemanjangan waktu operasi. Laparoskopi dikerjakan
untuk diagnosa dan terapi pada pasien dengan akut abdomen, terutama pada wanita.

Sebelum dilakukan operasi, maka perlu dilakukan persiapan seperti hidrasi yang
adekuat harus dipastikan, kelainan elektrolit harus diperbaiki, dan kondisi jantung, paru,
dan ginjal harus ditangani terlebih dahulu. Sebuah penelitian meta-analisis telah
menunjukkan efikasi antibiotik pra operasi dalam menurunkan komplikasi infeksi di
apendisitis. Pada apendisitis akut tanpa komplikasi, tidak ada manfaat dalam
memperluas cakupan antibiotik melampaui 24 jam. Pada apendisitis perforasi atau
dengan gangren, antibiotik dilanjutkan sampai pasien tidak demam dan memiliki jumlah
sel darah putih normal. Untuk infeksi intra-abdominal dari saluran pencernaan yang
ringan sampai sedang, Surgical Infection Society telah merekomendasikan terapi
tunggal dengan cefoxitin, cefotetan, atau asam klavulanat tikarsilin. Untuk infeksi yang
lebih berat, terapi tunggal dengan carbapenems atau terapi kombinasi dengan
sefalosporin generasi ketiga, monobactam, atau aminoglikosida ditambah untuk
anaerobik dengan klindamisin atau metronidazole..Rekomendasi serupa untuk anak-
anak.

24
Penggunaan antibiotik terbatas 24 sampai 48 jam dalam kasus apendisitis
nonperforasi. Sedangkan untuk apendisitis perforasi, dianjurkan terapi diberikan selama
7 sampai 10 hari. Antibiotik IV biasanya diberikan sampai jumlah sel darah putih
normal dan pasien tidak demam selama 24 jam. Selain itu pemberian analgesik untuk
menghilangkan nyeri juga diberikan pada pasien baik sebelum maupun sesudah operasi
untuk mengurangi keluhan.
Interval apendektomi dilakukan minimal 6 minggu setelah kejadian akut
direkomendasikan untuk semua pasien yang diobati baik nonoperatif atau dengan
drainase abses sederhana.
2. Kholesistitis acute
KU: nyeri hebat didaerah subkostal kanan dan pemerksaan fisik:Nyeri tekan/defans
didaerah subkostal kanan.

Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik perut di
sebelah kanan atas epigastrium dan nyeri tekan, takikardia serta kenaikan suhu tubuh.
Keluhan tersebut dapat memburuk secara progresif. Kadang – kadang rasa sakit
menjalar ke pundak atau skapula kanan dan dapat berlangsung sampai 60 menit tanpa
reda. Berat ringannya keluhan sangat bervariasi tergantung dari adanya kelainan
inflamasi yang ringan sampai dengan gangren atau perforasi kandung empedu. Sekitar
60 – 70% pasien melaporkan adanya riwayat serangan yang sembuh spontan.

Tanda peradangan peritoneum seperti peningkatan nyeri dengan penggetaran


atau pada pernapasan dalam dapat ditemukan. Pasien mengalami anoreksia dan sering
mual. Muntah relatif sering terjadi dan dapat menimbulkan gejala dan tanda deplesi
volume vaskuler dan ekstraseluler. Pada pemeriksaan fisis, kuadran kanan atas abdomen
hampir selalu nyeri bila dipalpasi. Pada seperempat sampai separuh pasien dapat diraba
kandung empedu yang tegang dan membesar. Inspirasi dalam atau batuk sewaktu
palpasi subkosta kudaran kanan atas biasanya menambah nyeri dan menyebabkan
inspirasi terhenti (tanda Murphy).

Ketokan ringan pada daerah subkosta kanan dapat menyebabkan peningkatan


nyeri secara mencolok. Nyeri lepas lokal di kuadran kanan atas sering ditemukan, juga
distensi abdomen dan penurunan bising usus akibat ileus paralitik, tetapi tanda

25
rangsangan peritoneum generalisata dan rigiditas abdomen biasanya tidak ditemukan,
asalkan tidak ada perforasi. Ikterus dijumpai pada 20% kasus, umumnya derajat ringan
(bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila konsentrasi bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya
batu di saluran empedu ekstra hepatik. Pada pasien – pasien yang sudah tua dan dengan
diabetes mellitus, tanda dan gejala yang ada tidak terlalu spesifik dan kadang hanya
berupa mual saja.

Walaupun manifestasi klinis kolesistitis akalkulus tidak dapat dibedakan dengan


kolesistitis kalkulus, biasanya kolesistitis akalkulus terjadi pada pasien dengan keadaan
inflamasi kandung empedu akut yang sudah parah walaupun sebelumnya tidak terdapat
tanda – tanda kolik kandung empedu. Biasanya pasien sudah jatuh ke dalam kondisi
sepsis tanpa terdapat tanda – tanda kolesistitis akut yang jelas sebelumnya.

Tatalaksana

Terapi konservatif

Walaupun intervensi bedah tetap merupakan terapi utama untuk kolestasis akut
dan komplikasinya, mungkin diperlukan periode stabilisasi di rumah sakit sebelum
kolesistektomi. Pengobatan umum termasuk istirahat total, perbaiki status hidrasi
pasien, pemberian nutrisi parenteral, diet ringan, koreksi elektrolit, obat penghilang rasa
nyeri seperti petidin dan antispasmodik. Pemberian antibiotik pada fase awal sangat
penting untuk mencegah komplikasi seperti peritonitis, kolangitis dan septisemia.
Golongan ampisilin, sefalosporin dan metronidazol cukup memadai untuk mematikan
kuman – kuman yang umum terdapat pada kolesistitis akut seperti E. Coli, Strep.
faecalis dan Klebsiela, namun pada pasien diabetes dan pada pasien yang
memperlihatkan tanda sepsis gram negatif, lebih dianjurkan pemberian antibiotik
kombinasi.

Berdasarkan rekomendasi Sanford, dapat diberikan ampisilin/sulbactam dengan


dosis 3 gram / 6 jam, IV, cefalosporin generasi ketiga atau metronidazole dengan dosis
awal 1 gram, lalu diberikan 500 mg / 6 jam, IV. Pada kasus – kasus yang sudah lanjut
dapat diberikan imipenem 500 mg / 6 jam, IV. Bila terdapat mual dan muntah dapat
diberikan anti – emetik atau dipasang nasogastrik tube. Pemberian CCK secara

26
intravena dapat membantu merangsang pengosongan kandung empedu dan mencegah
statis aliran empedu lebih lanjut. Pasien – pasien dengan kolesistitis akut tanpa
komplikasi yang hendak dipulangkan harus dipastikan tidak demam dengan tanda –
tanda vital yang stabil, tidak terdapat tanda – tanda obstruksi pada hasil laboratorium
dan USG, penyakit – penyakit lain yang menyertai (seperti diabetes mellitus) telah
terkontrol. Pada saat pulang, pasien diberikan antibiotik yang sesuai seperti
Levofloxasin 1 x 500 mg PO dan Metronidazol 2 x 500 mg PO, anti-emetik dan
analgesik yang sesuai.

Terapi bedah

kolesistostomi atau kolesistektomi darurat mungkin perlu dilakukan pada pasien


yang dicurigai atau terbukti mengalami komplikasi kolesistitis akut, misalnya empiema,
kolesistitis emfisematosa atau perforasi. Pada kasus kolesistitis akut nonkomplikata,
hampir 30 % pasien tidak berespons terhadap terapi medis dan perkembangan penyakit
atau ancaman komplikasi menyebabkan operasi perlu lebih dini dilakukan (dalam 24
sampai 72 jam). Komplikasi teknis pembedahan tidak meningkat pada pasien yang
menjalani kolesistektomi dini dibanding kolesistektomi yang tertunda. Penundaan
intervensi bedah mungkin sebaiknya dicadangkan untuk (1) pasien yang kondisi medis
keseluruhannya memiliki resiko besar bila dilakukan operasi segera dan (2) pasien yang
diagnosis kolesistitis akutnya masih meragukan.

Kolesistektomi dini/segera merupakan terapi pilihan bagi sebagian besar pasien


kolesistitis akut. Di sebagian besar sentra kesehatan, angka mortalitas untuk
kolesistektomi darurat mendekati 3 %, sementara resiko mortalitas untuk kolesistektomi
elektif atau dini mendekati 0,5 % pada pasien berusia kurang dari 60 tahun. Tentu saja,
resiko operasi meningkat seiring dengan adanya penyakit pada organ lain akibat usia
dan dengan adanya komplikasi jangka pendek atau jangka panjang penyakit kandung
empedu. Pada pasien kolesistitis yang sakit berat atau keadaan umumnya lemah dapat
dilakukan kolesistektomi dan drainase selang terhadap kandung empedu.
Kolesistektomi elektif kemudian dapat dilakukan pada lain waktu.

27
B.Peritonitis Diffusa

Keluhan & tanda2 fisik peritonitis diffusa ialah : nyeri hebat seluruh perut dan
nyeri tekan disertai defans muskuler seluruh dinding perut.

3.Pendarahan pada saluran cerna


Seperti dalam menghadapi pasien-pasien gawat darurat lainnya dimana dalam
melaksanakan prosedur diagnosis tidak harus selalu melakukan anamnesis yang sangat cermat
dan pemeriksaan fisik yang sangat detil, dalam hal ini yang diutamakan adalah penanganan A -
B – C ( Airway – Breathing – Circulation ) terlebih dahulu. Bila pasien dalam keadaan tidak stabil
yang didahulukan adalah resusitasi ABC. Setelah keadaan pasien cukup stabil maka dapat
dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lebih seksama.
Pada anamnesis yang perlu ditanyakan adalah riwayat penyakit hati kronis, riwayat
dispepsia, riwayat mengkonsumsi NSAID, obat rematik, alkohol, jamu –jamuan, obat untuk
penyakit jantung, obat stroke. Kemudian ditanya riwayat penyakit ginjal, riwayat penyakit paru
dan adanya perdarahan ditempat lainnya. Riwayat muntah-muntah sebelum terjadinya
hematemesis sangat mendukung kemungkinan adanya sindroma Mallory Weiss.
Dalam pemeriksaan fisik yang pertama harus dilakukan adalah penilaian ABC, pasien-
pasien dengan hematemesis yang masif dapat mengalami aspirasi atau sumbatan jalan nafas,
hal ini sering ini sering dijumpai pada pasien usia tua dan pasien yang mengalami penurunan
kesadaran. Khusus untuk penilaian hemodinamik (keadaan sirkulasi) perlu dilakukan evaluasi
jumlah perdarahan.
 Perdarahan < 8% ( hemodinamik stabil
 Perdarahan 8%-15% ( hipotensi ortostatik
 Perdarahan 15-25% ( renjatan (shock)
 Perdarahan 25%-40% ( renjatan + penurunan kesadaran
 Perdarahan >40% ( moribund
Pemeriksaan fisik lainnya yang penting yaitu mencari stigmata penyakit hati kronis
(ikterus, spider nevi, asites, splenomegali, eritema palmaris, edema tungkai), masa abdomen,
nyeri abdomen, rangsangan peritoneum, penyakit paru, penyakit jantung, penyakit rematik dan
lain-lain. Pemeriksaan yang tidak boleh dilupakan adalah colok dubur. Warna feses ini
mempunyai nilai prognostic.

28
Dalam prosedur diagnosis ini penting melihat aspirat dari Naso Gastric Tube (NGT).
Aspirat berwarna putih keruh menandakan perdarahan tidak aktif, aspirat berwarna merah
marun menandakan perdarahan massif sangat mungkin perdarahan arteri. Seperti halnya
warna feses maka warna aspirat pun dapat memprediksi mortalitas pasien. Walaupun
demikian pada sekitar 30% pasien dengan perdarahan tukak duodeni ditemukan adanya aspirat
yang jernih pada NGT.
Dalam prosedur diagnostik ini perlu dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang.
Antara lain laboratorium darah lengkap, faal hemostasis, faal hati, faal ginjal, gula darah,
elektrolit, golongan darah, rontgen dada dan elektrokardiografi.
Dalam prosedur diagnosis ini pemeriksaan endoskopi merupakan gold standard.
Tindakan endoskopi selain untuk diagnostik dapat dipakai pula untuk terapi. Prosedur ini tidak
perlu dilakukan segera (bukan prosedur emergensi), dapat dilakukan dalam kurun waktu 12 -
24 jam setelah pasien masuk dan keadaan hemodinamik stabil. Tidak ada keuntungan yang
nyata bila endoskopi dilakukan dalam keadaan darurat. Dengan pemeriksaan endoskopi ini
lebih dari 95% pasien-pasien dengan hemetemesis, melena atau hematemesis –melena dapat
ditentukan lokasi perdarahan dan penyebab perdarahannya.
Untuk kepentingan klinik biasanya dibedakan perdarahan karena ruptur varises dan
perdarahan bukan karena ruptur varises (variceal bleeding dan non variceal bleeding).
Identifikasi varises biasanya memakai cara red whale marking. Yaitu dengan
menentukan besarnya varises (F1-F2-F3), jumlah kolom (sesuai jam), lokasi di esophagus
(Lm,Li,Lg) dan warna ( biru, cherry red, hematocystic).
Untuk ulkus memakai kriteria Forrest.
- Forrest Ia : Tukak dengan perdarahan aktif dari arteri
- Forrest Ib : Tukak dengan perdarahan aktif berupa oozing
- Forrest IIa : Tukak dengan visible vessel
- Forrest IIb : Tukak dengan ada klot diatasnya yang sulit dilepas
- Forrest IIc : Tukak dengan klot diatasnya yang dapat dilepas
- Forrest III : Tukak dengan dasar putih tanpa klot.
Pada beberapa keadaan dimana pemeriksaan endoskopi tidak dapat dilakukan,
pemeriksaan dengan kontras barium( OMD) mungkin dapat membantu. Untuk pasien yang
tidak mungkin dilakukan endoskopi dapat dilakukan pemeriksaan dengan angiografi atau
skintigrafi. Hasil pemeriksaan endoskopi untuk pasien-pasien perdaahan non varises

29
mempunyai nilai prognostik. Dengan menganalisis semua data yang ada dapat ditentukan
strategi penanganan yang lebih adekwat.
1. Penatalaksanaan
Pengelolaan pasien dengan perdarahan akut SCBA meliputi tindakan umum dan
tindakan khusus .
 Tindakan umum:
Tindakan umum terhadap pasien diutamakan untuk ABC. Terhadap pasien yang
stabil setelah pemeriksaan dianggap memadai, pasien dapat segera dirawat untuk
terapi lanjutan atau persiapan endoskopi. Untuk pasien-pasien risiko tinggi perlu
tindakan lebih agresif seperti:
a. Pemasangan IV line paling sedikit 2 dengan jarum(kateter) yang besar minimal
no 18. Hal ini penting untuk keperluan transfusi. Dianjurkan pemasangan CVP.
b. Oksigen sungkup/ kanula. Bila ada gangguan A-B perlu dipasang ETT.
c. Mencatat intake output, harus dipasang kateter urine
d. Memonitor Tekanan darah, Nadi, saturasi oksigen dan keadaan lainnya sesuai
dengan komorbid yang ada.
e. Melakukan bilas lambung agar mempermudah dalam tindakan endoskopi.
Dalam melaksanakan tindakan umum ini, terhadap pasien dapat diberikan terapi :
o transfusi untuk mempertahankan hematokrit > 25%
o Pemberian vitamin K
o Obat penekan sintesa asam lambung (PPI)
o Terapi lainnya sesuai dengan komorbid
Terhadap pasien yang diduga kuat karena ruptura varises gastroesofageal dapat
diberikan oktreotid bolus 50 µg dilanjutkan dengan drip 50 µg tiap 4 jam.
Sebagian besar pasien dengan perdarahan SCBA dapat berhenti sendiri, tetapi
pada 20% dapat berlanjut. Walaupun sudah dilakukan terapi endoskopi pasien
dapat mengalami perdarahan ulang. Oleh karena itu perlu dilakuka assessmen
yang lebih akurat untuk memprediksi perdarahan ulang dan mortalitas.
 Terapi khusus
1. Varises gastroesofageal:
- Terapi medikamentosa dengan obat vasoaktif (Otreotid, Somatostatin,
Glipressin (Terlipressin)

30
- Terapi mekanik dengan balon Sengstaken Blackmore atau Minesota
- Terapi endoskopi (Skleroterapi, Ligasi)
- Terapi secara radiologik dengan pemasangan TIPS (Transjugular Intrahepatic
Portosystemic Shunting) dan Perkutaneus obliterasi spleno – porta.
- Terapi pembedahan (Shunting, Transeksi esofagus + devaskularisasi +
splenektomi, Devaskularisasi + splenektomi )
Outcome pasien ruptura varises gastroesofageal sangat bergantung pada
berbagai faktor antara lain 1) Beratnya penyakit hati (Kriteria Child-Pugh), 2)
Ada tidak adanya varises gaster, walupun disebutkan dapat diatasi dengan
semacam glue (histoakrilat) 3) Komorbid yang lain seperti ensefalopati,
koagulopati, hepato renal sindrom dan infeksi.
2. Tukak peptik
- Terapi medikamentosa (PPI, Obat vasoaktif )
- Terapi endoskopi : Injeksi (adrenalin-saline, sklerosan,glue,etanol), Termal
(koagulasi, heatprobelase), Mekanik (hemoklip, stapler)
- Terapi bedah
Untuk pasien -pasien yang dilakukan terapi non bedah perlu dimonitor akan
kemungkinan perdarahan ulang. Second look endoscopy masih kontroversi
Realimentasi bergantung pada hasil endoskopi. Pasien-pasien bukan risiko
tinggi dapat diberikan diet segera setelah endoskopi sedangkan pasen dengan
risiko tinggi perlu puasa antara 24 -48 jam, kemudian baru diberikan makanan
secara bertahap.
Untuk mencegah perdarahan berulang dapat dilakukan tindakan :
 Varises esophagus :
- Terapi medik dengan betabloker nonselektif
- Terapi endoskopi dengan skleroterapi atau ligasi
 Tukak peptik
- Tukak gaster PPI selama 8-12 minggu dan tukak duodeni PPI 6-8 minggu.
- Bila ada infeksi helicobacter pilory perlu dieradikasi dengan pemberian
antibiotik.
- Bila pasien memerlukan NSAID, diganti dulu dengan analgetik dan kemudian
dipilih NSAID selektif ditamabh dengan PPI atau misoprostol.

31
32

Anda mungkin juga menyukai