Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

Atresia duodenum merupakan suatu kelainan dimana saluran duodenum


tidak terbentuk secara sempurna, sehingga terjadi penyumbatan di duodenum
yang menyebabkan makanan dari lambung tidak dapat diteruskan ke usus halus.
Kasus atresia duodenum menjadi salah satu alasan cukup sering bayi
mendapatkan perawatan oleh spesialis bedah anak. Insiden atresia duodenum
adalah 1 dari 2.500-5.000 kelahiran hidup di dunia.1,2
Terjadinya atresia duodenum disebabkan adanya gangguan perkembangan
pada masa pembentukan fetus selama kehamilan. Pada tingkat seluler, traktus
digestivus berkembang dari embryonic gut, yang tersusun atas epitel yang
merupakan perkembangan dari endoderm yang dikelilingi oleh sel yang berasal
dari mesoderm. Hipotesis yang ada menyatakan bahwa pensinyalan sel antara ke
dua lapisan embrionik ini tampaknya berperan penting dalam mengkoordinasikan
pembentukan pola dan organogenesis dari duodenum. Mekanisme terjadinya
atresia duodenum disebabkan karena kegagalan rekanalisasi duodenal pada fase
padat intestinal bagian atas dan terdapat oklusi vaskular di daerah duodenum
dalam masa perkembangan fetus.1,2
Dapat diketahui bahwa setengah dari semua bayi baru lahir dengan atresia
duedenum juga mempunyai kelainan kongenital pada sistem organ lainnya.
Sebanyak 25-40 % pasien dengan obstruksi duodenum memiliki trisomi 21
(sindrom down). Adapun kelainan lain yang dapat ditemui pada kasus atresia
duodenum antara lain anular pankreas, kelainan jantung, kelainan ginjal, atresia
esofagus atau fistula trakeoesofageal, malrotasi, dan lain sebagainya.1,2
Berdasarkan hasil penelitian yang ada, menunjukan bahwa angka kejadian
atresia duodenum atau stenosis duodenum satu setengah kali lebih besar pada
neonatus yang lahir prematur dibandingkan dengan neonatus yang lahir normal.
Pada neonatus yang mengalami polihidramnion memiliki risiko 40 % lebih tinggi
mengalami obstruksi duodenum dibandingkan dengan neonatus yang normal.
Keterlambatan diagnosis dan tatalaksana yang tidak tepat mengakibatkan bayi

1
dapat mengalami asfiksia, dehidrasi, hiponatremia dan hipokalemia yang
diakibatkan muntah-muntah.1,2
Untuk membantu diagnosis dari atresia duodenum, maka dilakukan
pemeriksaan penunjang berupa foto roentgen. Foto roentgen di gunakan oleh para
dokter untuk melihat kondisi bagian dalam tubuh pasien. Lewat hasil roentgen
inilah dokter bisa mengetahui bagaimana kondisi kesehatan paru-paru, jantung,
bagian dalam perut, dan bagian-bagian dalam tubuh pasien yang lain. Dari foto
roentgen juga kita dapat mengetahui keadaan tulang-tulang. Apakah ada yang
patah, bengkok, atau ada ketidak normalan sambungan antar tulang. Tidak seperti
foto pada umumnya, foto roentgen menggunakan sinar X sebagai pemantul
cahayanya yang tidak bisa kita lihat dengan mata telanjang. Untuk memotret
bagian dalam tubuh, seseorang harus berada di antara tempat penyimpanan film
dan tabung yang memancarkan sinar X tersebut. Sinar X ini akan menembus kulit
dan bagian tubuh lain kecuali tulang. Bayangan sinar ini kemudian direkam pada
film. Setelah film tersebut dicuci, bagian yang tidak dapat ditembus sinar X akan
berwarna hitam, sedang bagian yang dapat ditembus oleh sinar X akan berwarna
putih.
Berikut ini akan diuraikan sebuah kasus bayi dengan atresia duodenum.
Selanjutnya akan dibahas apakah diagnosa, tindakan, dan penatalaksanaan yang
dilakukan sudah tepat dan sesuai dengan literatur, khususnya terkait seberapa jauh
peranan pemeriksaan penunjang radiografi dalam kasus atresia duodenum ini.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Atresia duodenum adalah kondisi dimana bentuk dari duodenum yang
tidak sempurna, yaitu duodenum tidak memiliki saluran terbuka (adanya
penyumbatan lengkap) sehingga tidak memungkinkan perjalanan makanan
dari lambung ke usus.1,2,3

B. EMBRIOLOGI
Embriologi susunan pencernaan berasal dari formasi dari tabung usus
primitif yang terdiri dari :4
 Endoderm yang merupakan awal dari epitel mukosa, kelenjar mukosa, dan
submukosa kelenjar saluran pencernaan
 Mesoderm yang merupakan awal dari lamina propria, muskularis mukosa,
submukosa jaringan ikat dan pembuluh darah, muskularis eksterna, dan
adventitia atau serosa.
 Neural crest yang merupakan awal dari neuron dan saraf submukosa, serta
pleksus mesentrika.

Sekitar 18-22 hari pada kehidupan fetus terjadi pelipatan fetus ke arah
cephalo caudal dan lateral, sehingga rongga yang dibatasi entoderm sebagian
tercakup ke dalam fetus dan membentuk usus sederhana, yaitu usus sederhana
depan (fore gut), usus sederhana belakang (hind gut), dan diantaranya disebut
usus sederhana tengah (mid gut) yang untuk sementara tetap berhubungan
dengan kandung kuning telur. Pada bagian kepala dan ekor mudigah, usus
sederhana membentuk tabung buntu. Dalam rongga perut, derivat fore gut di
perut mendapatkan vaskularisai dari cabang arteri celiac, derivat mid gut
diperdarahi oleh cabang arteri mesenterika superior, dan derivat hind gut
mendapatkan vaskularisai oleh cabang arteri mesenterika inferior.4

3
Gambar 1. Embriologi saluran pencernaan4

4
Tabel 1. Pembentukan organ dari fore gut, mid gut, dan hind gut4

Fore Gut Mid Gut Hind Gut


 Trakea dan traktus  Duodenum bawah  1/3 dital colon
respiratorius (vaskularisai dari transversum
 Paru-paru arteri  Colon descending
 Esofagus pankreatikoduodenalis  Colon sigmoid
 Gaster inferior)  Rektum
 Hepar  Jejenum  Kanal anal atas
 Kandung empedu dan  Ileum  Sinus urogenital
saluran empedu  Cecum
 Pankreas (dorsal dan  Appendix
ventral)  Colon ascending
 Duodenum atas  2/3 proksimal colon
(vaskularisai dari arteri transversum
pankreatikoduodenalis
superior)

Duodenum terbentuk dari bagian akhir fore gut dan bagian atas mid gut.
Titik pertemuan fore gut dan mid gut ini terletak tepat di distal dari tunas hati.
Sewaktu lambung berputar, duodenum berputar ke kanan membentuk
lengkung seperti huruf C. Perputaran ini, bersamaan dengan pertumbuhan
dari kaput pankreas, sehingga menggeser katup duodenum dari posisinya
yang semula berada di garis tengah menjadi ke sisi kiri rongga abdomen.
Duodenum dan kaput pankreas menekan dinding tubuh dorsal, dan
permukaan kanan mesoduodenum dorsal menyatu dengan peritoneum
didekatnya. Kedua lapisan kemudian menghilang, duodenum dan kaput
pankreas terfiksasi dalam posisi retroperitoneum. Karena itu, seluruh
pankreas terletak di retroperitoneum. Mesoduodenum dorsal menghilang
seluruhnya kecuali regio pilorus lambung, tempat sebagian kecil duodenum
mempertahankan mesentriumnya dan tetap terletak intraperitoneum.4
Pada minggu ke 4 kehidupan fetus, lumen duodenum mengalami obliterasi
akibat proliferasi sel-sel di dindingnya, pertumbuhan lapis epitel usus lebih
cepat dibandingkan panjang lempeng usus, sehingga terdapat sumbatan usus.
Namun, setelah itu lumen segera mengalami rekanalisasi. Karena fore gut
mendapat vaskularisasi dari arteri seliaka dan mid gut mendapat vaskularisasi
dari arteri mesenterika superior, sehingga hal ini menyebabkan duodenum

5
mendapat vaskularisasi dari cabang-cabang kedua arteri tersebut.
Rekanalisasi berakhir pada minggu ke 8-10 kehidupan fetus. Penyimpangan
rekanalisasi menyebabkan, stenosis, atresia, web atau diafragma mukosa.
Penyimpangan rekanalisasi paling sering di daerah papila vateri.4
Atresia duodenum disebabkan kegagalan rekanalisasi duodenal pada fase
padat intestinal bagian atas, terdapat oklusi vaskular dalam duodenum.
Terdapat hubungan kelainan perkembangan khususnya dengan pankreas
dalam bentuk baji yang interposisi antara bagian proksimal dan distal atresia,
kelainan ini disebut pankreas anulare.1,2,4
Pendapat lain mengungkapkan bahwa pankreas bagian ventral duodenum
mengadakan putaran ke kanan dan fusi dengan bagian dorsal. Bila saat
putaran berlangsung ujung pankreas bagian ventral melekat pada duodenum
maka akan berbentuk cincin pankreas (anulare) yang melingkari duodenum.
Duodenum tidak tumbuh sehingga terbentuk stenosis atau atresia. Akhir
saluran empedu umumnya duplikasi, masuk ke duodenum di atas dan bawah
atresia sehingga empedu dapat dijumpai baik diproksimal ataupun distal
atresia.1,2

C. ANATOMI
Duodenum (usus dua belas jari) memiliki panjang 25-38 cm dan diameter
3-5 cm yang menghubungkan antara gaster dengan jejunum. Duodenum
melengkung di sekitar caput pankreas. Duodenum merupakan bagian terminal
atau muara dari sistem apparatus biliaris dari hepar maupun dari pankreas.
Selain itu duodenum juga merupakan batas akhir dari saluran cerna atas.
Dimana saluran cerna dipisahkan menjadi saluran cerna atas dan bawah oleh
adanya ligamentum Treitz (m. suspensorium duodeni) yang terletak pada
flexura duodenojejunales yg merupakan batas antara duodenum dan jejunum.
Pada lumen duodenum terdapat lekukan-lekukan kecil yang disebut dengan
plica sircularis. Duodenum terletak di cavum abdomen pada regio
epigastrium dan umbilikalis. Duodenum memiliki penggantung yang disebut
dengan mesoduodenum.5,6

6
Duodenum terdiri atas 4 bagian, yaitu :5,6
1. Duodenum pars superior bermula dari pylorus dan berjalan ke sisi kanan
vertebrae lumbal I dan terletak di linea transpylorica.
2. Duodenum pars descendens berjalan turun setinggi vertebrae lumbal II-III.
Pada duodenum bagian ini terdapat papilla duodeni major dan minor yang
merupakan muara dari duktus pankreatikus major dan duktus choledocus
serta duktus pankreaticus minor yang merupakan organ apparatus billiaris
dan termasuk organ dari sistem enterohepatik.
3. Duodenum pars horizontal merupakan bagian dari duodenum yang
berjalan horizontal ke sinistra mengikuti pinggir bawah caput pankreas
setinggi vertebrae lumbal II.
4. Duodenum pars ascendens merupakan bagian terakhir dari duodenum yang
bergerak naik hingga pada flexura duodenujejunales yang merupakan batas
antara duodenum dan jejunum. Pada flexura duodenojejunales ini terdapat
ligamentum yang menggantung yang merupakan lipatan peritoneum yang
disebut dengan ligamentum Treitz (m. suspensorium duodeni) dimana
ligamentum ini juga merupakan batas yang membagi saluran cerna
menjadi saluran cerna atas dan saluran cerna bawah. Duodenum bagian ini
setinggi Vertebrae Lumbal I atau II.

Tabel 2. Batas-batas dari duodenum5,6

Batas
Pembagian
Anterior Posterior Superior Inferior
Duodenum  Lobus  Bursa omentalis Foramen Caput pankreas
pars superior quadrates  A. gastroduodenalis epiploica
hepatis  Ductus choledocus winslow
 Vesica velea  V. portae hepatis
 V. cava inferior
Duodenum  Fundus  Ureter dextra Batas Batas Lateral :
pars vesica felea  Hilus renalis dextra Medial :  Colon
decendens  Colon Caput ascendens
transersum pankreas  Fleksura coli
 Lobus dextra
hepatis  Lobus hepatis
dextra dextra

7
Duodenum  Mesenterium  Ureter dextra Caput Lekukan
pars usus halus  M. psoas dextra pankreas jejunum
horizontal  Vasa  Aorta
mesenterika
superior
 Lekukan
jejunum
Duodenum  Mesenterium  Pinggir kiri aorta
pars  Lekukan  Pinggir medial
ascendens jejunum m. psoas sinistra

Gambar 2. Letak duodenum diantara organ lainnya7


Keterangan :
1. Saluran empedu 12. Spleen
2. Saluran empedu intrahepatik 13. Esofaagus
3. Saluran hepar kiri dan kanan 14. Lambung
4. Saluran utama hepar 15. Duodenum
5. Saluran kistik 16. Jejunum
6. Saluran utama empedu 17. Pankreas
7. Ampulla vater 18. Saluran asesori pankreas
8. Papila duodenal mayor 19. Saluran pankreas
9. Kandung empedu 20-21. Kanan dan kiri ginjal
10-11. Kanan dan kiri lobus hepar

8
Gambar 3. Anatomi duodenum5

D. EPIDEMIOLOGI
Insiden atresia duodenum adalah 1 dari 2500-5000 kelahiran hidup di
dunia, sehingga hal tersebut menjadi salah satu alasan untuk mendapatkan
perawatan oleh dokter bedah anak. Sebanyak dua pertiga dari semua obstruksi
duodenum kongenital disebabkan oleh obstruksi intrinsik, yaitu atresia
duodenum 40-60%, duodenum web 35-45%, pankreas anular 10-30%, dan
stenosis duodenum 7-20%. Tidak perbedaan ras dan jenis kelamin pada
insidensi atresia duodenum dan stenosis duodenum. Kejadian atresia
duodenum tidak dianggap sebagai kondisi herediter, walaupun penelitian lain
telah melaporkan bahwa kondisi tersebut pernah dialami pada beberapa kasus
saudara kandung.1,2
Angka kejadian atresia duodenum atau stenosis duodenum satu setengah
kali lebih besar pada neonatus yang lahir prematur dibandingkan dengan
neonatus yang lahir normal. Pada neonatus yang mengalami hidramnion

9
memiliki risiko 40 % lebih tinggi mengalami obstruksi duodenum
dibandingkan dengan neonatus yang normal.1,2
Sekitar setengah dari bayi yang lahir dengan obstruksi duodenum
mempunyai kelainan kongenital dari sistem organ lain. Hal ini ditunjukan
dalam hasil penelitian sebagai berikut :

Tabel 3. Obstruksi duodenum disertai kelainan dari organ lainnya8

Tipe Jumlah
Jantung 53
Ginjal 19
Atresia esofagus atau fistula trakeoesofageal 8
Anus imperporata 7
Tulang 8
Sistem saraf pusat 4
Lainnya 11

Penelitian yang ada menunjukan bahwa atresia duodenum atau stenosis


duodenum paling sering dikaitkan dengan trisomi 21 (sindrom down), yaitu
sekitar 25-40 % pasien dengan obstruksi duodenum memiliki trisomi 21.1,2

E. ETIOLOGI
Tidak dapat dipungkiri bahwa penyebab atresia duodenum belum
diketahui secara pasti. Akan tetapi patofisiologi dari atresia duodenum dapat
dijelaskan dengan baik. Penelitian yang ada, sering kali menunjukan
keterkaitan antara atresia duodenum atau stenosis duodenum dengan
malformasi neonatal lainnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa anomali ini
disebabkan oleh gangguan perkembangan pada masa awal kehamilan. Atresia
duodenum berbeda dari atresia usus lainnya (atresia pada usus kecil dan usus
besar), yang kesalahannya disebabkan oleh gangguan vaskular mesenterika
pada perkembangan selanjutnya. Hingga saat ini, tidak ada faktor risiko
maternal sebagai predisposisi untuk terjadinya atresia duodenum. Meskipun
diketahui bahwa sepertiga pasien dengan atresia duodenum memiliki sindrom

10
down (trisomi 21), bukan berarti hal tersebut merupakan faktor risiko
independen untuk menyebabkan terjadinya atresia duodenum.1,2

F. PATOFISIOLOGI
Pada tingkat seluler, traktus digestivus berkembang dari embryonic gut,
yang tersusun atas epitel yang merupakan perkembangan dari endoderm yang
dikelilingi oleh sel yang berasal dari mesoderm. Hipotesis yang ada
menyatakan bahwa pensinyalan sel antara ke dua lapisan embrionik ini
tampaknya berperan penting dalam mengkoordinasikan pembentukan pola
dan organogenesis dari duodenum.1,2
Gangguan perkembangan duodenum terjadi akibat proliferasi endodermal
yang tidak adekuat dimana elongasi saluran cerna melebihi proliferasinya.
Hasil penelitian lainnya juga menunjukan bahwa kegagalan perkembangan
duodenum juga bisa diakibatkan oleh kegagalan rekanalisasi epitel
(kegagalan proses vakuolisasi).1,2
Banyak peneliti telah menunjukkan bahwa epitel duodenum berproliferasi
dalam usia kehamilan 30-60 hari lalu akan terhubung ke lumen duodenal
secara sempurna. Proses selanjutnya yang dinamakan vakuolisasi terjadi saat
duodenum mengalami rekanalisasi. Vakuolisasi dipercaya terjadi melalui
proses apoptosis atau kematian sel terprogram, yang timbul selama
perkembangan normal di antara lumen duodenum. Kadang-kadang, atresia
duodenum berkaitan dengan pankreas anular (jaringan pankreatik yang
mengelilingi sekeliling duodenum). Hal ini sepertinya lebih akibat gangguan
perkembangan duodenal daripada suatu perkembangan berlebih dari
pancreatic buds.1,2
Pada dasarnya, obstruksi duodenum dapat berupa sumbatan total, parsial,
atau tanpa mukosa diafragma. Diameter saluran yang terbuka dapat kecil
sekali atau besar (mendekati diameter lumen normal).1
Obstruksi duodenum dapat disebabkan oleh faktor intrinsik dan faktor
ekstrinsik berupa tekanan dari luar duodenum. Beberapa penyebab paling
umum terjadinya obstruksi duodenum dibagi menjadi 2, yaitu faktor intrinsik

11
dan faktor ekstrinsik berupa tekanan dari luar duodenum, diperlihatkan pada
tabel di bawah ini :

Tabel 4. Klasifikasi faktor penyebab obstruksi duodenum1

Jenis Lesi Kelainannya


 Atresia duodenum
Lesi Intrinsik  Stenosis duodenum
 Duodenum web
 Pankreas anular
 Malrotasi
Lesi Ekstrinsik
 Peritoneal bands
 Anterior portal vein

Atresia duodenum dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu :3


1. Tipe I (Mucosal web Tipe I atresia)
Insidensinya sebanyak 92 %. Duodenal web atau duodenal diafragma atau
Intraluminal Duodenal Diverticulum (IDD) sering ditemukan pada bayi.
Pada kondisi ini mukosal web masih utuh atau intak. Bentuk web tersebut
tipis, yang terdiri dari mukosa dan submukosa tanpa disertai lapisan
muskular. Lapisan ini dapat sangat tipis mulai dari satu hingga beberapa
millimeter. Dari luar tampak perbedaan diameter proksimal dan distal.
Bagian proksimal atresia, yaitu lambung dan duodenum proksimal
mengalami dilatasi. Arteri mesenterika superior intak.

2. Tipe II (Fibrous cord Tipe II atresia)


Insidensinya sebanyak 1 %. Dua ujung buntu duodenum dihubungkan oleh
pita jaringan ikat. Arteri mesenterika intak.

3. Tipe III (Complete separation Tipe III atresia)


Insidensinya sebanyak 7 %. Dua ujung buntu duodenum terpisah tanpa
hubungan pita jaringan ikat.

12
Gambar 4. Pembagian atresia duodenum berdasarkan tipenya9
a. D - E : tipe 1
b. A - B : tipe 2
c. C : tipe 3

Gambar 5. Penampang transversal dari


saluran pencernaan yang mengalami
obstruksi karena adanya web dan
fibrous cord3

13
G. MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala yang ada adalah akibat dari obstruksi intestinal letak
tinggi. Pada kondisi akut yaitu saat lahir, gejala yang ditunjukan berupa
muntah dan feeding problem. Seringkali bayi muntah bewarna hijau. Pada
kasus atresia duodenum, sebanyak 85 % bayi muntah dengan tanda biliosa,
namun dapat pula non-biliosa karena 15% kelainan ini terjadi di proksimal
dari ampula vateri.1,2
Jarang sekali, bayi dengan stenosis duodenum melewati deteksi
abnormalitas saluran cerna dan tumbuh hingga anak-anak, atau lebih jarang
lagi hingga dewasa tanpa diketahui mengalami obstruksi parsial. Sebaiknya
pada anak yang muntah dengan tampilan biliosa harus dianggap mengalami
obstruksi saluran cerna proksimal hingga terbukti sebaliknya, dan harus
segera dilakukan pemeriksaan menyeluruh.1,2
Distensi abdominal tidak sering terjadi dan terbatas pada abdomen bagian
atas. Banyak bayi dengan atresia duodenal mempunyai abdomen scaphoid,
sehingga obstruksi intestinal tidak segera dicurigai. Kadang dapat dijumpai
epigastrik yang penuh akibat dari dilatasi lambung dan duodenum proksimal.
Pengeluaran mekonium dalam 24 jam pertama kehidupan biasanya tidak
terganggu. Dehidrasi, penurunan berat badan, dan ketidakseimbangan
elektrolit segera terjadi kecuali kehilangan cairan dan elektrolit yang terjadi
segera diganti. Jika hidrasi intravena belum dimulai, maka timbulah alkalosis
metabolik hipokalemi atau hipokloremi dengan asiduria paradoksikal, sama
seperti pada obstruksi gastrointestinal letak tinggi lainnya. Tuba orogastrik
pada bayi dengan suspek obstruksi duodenal khas mengalirkan cairan
berwarna empedu (biliosa) dalam jumlah yang bermakna. Jaundice terlihat
pada 40 % pasien, dan diperkirakan karena peningkatan resirkulasi
enterohepatik dari bilirubin.1,2

14
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Foto roentgen
 Definisi foto roentgen
Sinar-X atau sinar roentgen adalah bentuk dari radiasi ion dan
dapat menimbulkan bahaya jika tidak digunakan secara benar. Sinar-X
merupakan salah satu bentuk dari radiasi elektromagnetik dengan
panjang gelombang berkisar antara 10 nanometer - 100 pikometer
(sama dengan frekuensi dalam rentang 30 petahertz - 30 exahertz) dan
memiliki energi dalam rentang 100 eV - 100 Kev.10

 Sejarah foto roentgen


Pada tahun 1895, Wilhem Conrad Roentgen seorang ahli fisika dari
Jerman yang pertama kali menemukan sinar-X sewaktu melakukan
eksperimen dengan sinar katoda. Baru dikemudian hari orang
menamakan sinar tersebut sinar roentgen sebagai penghormatan kepada
Wilhem Conrad Roentgen.10
Penemuan Wilhem Conrad Roentgen ini merupakan suatu revolusi
dalam dunia kedokteran karena ternyata dengan hasil penemuan itu
dapat diperiksa bagian-bagian tubuh manusia yang sebelumnya tidak
pernah dapat dicapai dengan cara-cara pemeriksaan konvesional. Salah
satu visualisasi penemuan Wilhem Conrad Roentgen adalah foto jari-
jari tangan istrinya yang dibuat dengan mempergunakan kertas potret
yang diletakkan di bawah tangan istrinya dan disinari dengan sinar baru
tersebut.10
Penemuan Wilhem Conrad Roentgen tersebut akhirnya menjadi
suatu pembicaraan dikalangan medis. Sehingga dibuatlah perkumpulan
ahli penyakit untuk membahas penemuan dari Wilhem Conrad
Roentgen. Pada pertemuan tersebut antara lain di utarakan bahwa untuk
dunia ilmu kedokteran tampaknya penemuan ini sangat penting. Banyak
bidang kedokteran yang bisa memanfaatkan temuan tersebut.10
Foto roentgen di gunakan oleh para dokter untuk melihat kondisi
bagian dalam tubuh pasien. Lewat hasil roentgen inilah dokter bisa
mengetahui bagaimana kondisi kesehatan paru-paru, jantung, bagian

15
dalam perut, dan bagian-bagian dalam tubuh pasien yang lain. Dari foto
roentgen juga dapat mengetahui keadaan tulang-tulang. Apakah ada
yang patah, bengkok, atau ada ketidak normalan sambungan antar
tulang.10

 Cara kerja alat roentgen


Tidak seperti foto pada umumnya, foto roentgen menggunakan
sinar-X sebagai pemantul cahayanya yang tidak bisa kita lihat dengan
mata telanjang. Untuk memotret bagian dalam tubuh, seseorang harus
berada di antara tempat penyimpanan film dan tabung yang
memancarkan sinar-X tersebut.10
Sinar-X ini akan menembus kulit dan bagian tubuh lain kecuali
tulang. Bayangan sinar ini kemudian direkam pada film. Setelah film
tersebut dicuci, bagian yang tidak dapat ditembus sinar-X akan
berwarna putih, sedangkan bagian yang dapat ditembus oleh sinar X
akan berwarna hitam. Pada dasarnya pesawat sinar-X terdiri dari tiga
bagian utama, yaitu tabung sinar-X, sumber tegangan tinggi yang
menyatu dengan tegangan listrik pada kedua elektrode dalam tabung
sinar-X, dan unit pengatur.10
Di dalam tabung roentgen ada katoda dan anoda dimana pada
tabung tersebut dalam keadaan vakum. Fungsinya agar elektron yang
bergerak cepat, dapat bergerak bebas dan tidak bertumbukan dengan
elektron lain. Kemudian pada tabung roentgen diberi sumber listrik
untuk memanaskan katoda (filament) kira-kira lebih dari 20.0000C
sampai menyala dengan mengantarkan listrik dari transformator,
Karena panas maka elektron-elektron dari katoda (filament) terlepas,
dengan memberikan tegangan tinggi maka elektron-elektron dipercepat
gerakannya menuju anoda (target). Elektron yang bergerak dengan
kecepatan tinggi (karena ada beda potensial 1000 Kvolt) yang mengenai
target anoda, tiba-tiba elektron tersebut akan mengalami perlambatan
saat mendekati target karena pengaruh gaya inti atom (target anoda).
Elektron-elektron tersebut mendadak dihentikan pada anoda (target)
sehingga terbentuk panas (99%) dan Sinar-X (1%). Sinar X akan keluar

16
dan diarahkan dari tabung melalui jendela yang disebut diafragma,
sedangkan panas yang ditimbulkan pada target (sasaran) akibat
benturan elektron dihilangkan dengan radiator pendingin.10

 Persiapan pasien
Dalam radiologi terkadang pasien memerlukan beberapa persiapan.
Persiapan sebelum pemeriksaan dengan menggunakan sinar roentgen
dapat dibedakan sebagai berikut :10
~ Radiografi konvensional tanpa persiapan, maksudnya saat pasien
datang bisa langsung difoto. Biasanya ini untuk pemeriksaan tulang
atau toraks.
~ Radiografi konvensional dengan persiapan, yaitu pemeriksaan
radiografi konvensional yang memerlukan persiapan di antaranya
untuk foto roentgen perut. Sebelum pelaksanaan, pasien diminta
untuk puasa beberapa jam atau hanya makan bubur kecap. Dengan
begitu ususnya bersih dan hasil fotonya pun dapat dengan jelas
memperlihatkan kelainan yang dideritanya.
~ Pemeriksaan dengan kontras, yaitu sebelum diroentgen kontras
dimasukkan ke dalam tubuh dengan cara diminum, atau
dimasukkan lewat anus, atau disuntikkan ke pembuluh vena. Alat
roentgen yang digunakan untuk pemeriksaan selanjutnya adalah
fluoroskopi.
Dikenal beberapa posisi dalam foto radiologi kedokteran, yaitu :10
1. PA (Postero-Anterior), yaitu sumber cahaya berada di belakang
pasien, dan pelat film berada di bagian depan pasien. Posisi ini
yang paling umum digunakan terutama untuk foto roentgen thorax.
2. AP (Antero-Posterior), yaitu sumber cahaya berada di depan
pasien, dan pelat film berada di bagian belakang pasien. Biasanya
digunakan pada pasien yang tidk mampu berdiri untuk mengambil
posisi PA karena sakit yang dideritanya.
3. Lateral (Samping).
4. Lateral dekubitus.
5. Oblik (miring).

17
 Pemakaian klinis
Sinar-X dapat dimanfaatkan sebagai alat diagnosis dan terapi di
bidang kedokteran. Pemanfaatan sinar-X di bidang kedokteran
merupakan salah satu sararana untuk meningkatkan kesehatan
masyarakat.10
Aplikasi ini telah cukup beragam mulai dari radiasi untuk
diagnostik, pemeriksaan sinar-X gigi, dan penggunaan radiasi sinar-X
untuk terapi. Radioterapi adalah suatu pengobatan yang menggunakan
sinar pengion yang banyak dipakai untuk menangani penyakit kanker.
Alat diagnosis yang banyak digunakan di daerah adalah pesawat
sinar-X yang berfungsi untuk photo thorax, tulang tangan atau kaki, dan
organ tubuh yang lainnya.10
Radiasi di bidang kedokteran membawa manfaat yang cukup nyata
bagi yang menggunakannya. Dengan radiasi suatu penyakit atau
kelainan organ tubuh dapat lebih awal diketahui, sehingga pasien akan
dengan cepat mendapatkan terapi.10
.

 Risiko roentgen
Sinar-X dapat membunuh sel- sel sehat yang terdapat di sekitar
area pemeriksaan. Risiko lain dari sinar-X adalah luka bakar berat,
kanker, leukemia, dan katarak. Sinar-X juga dapat mempercepat
penuaan, menurunkan sistem imun, dan merusak sel- sel reproduktif.10

 Foto polos abdomen pada atresia duodenum


Pada pemeriksaan foto polos abdomen bayi dalam keadaan posisi tegak
akan terlihat gambaran 2 bayangan gelembung udara (double bubble),
adanya gelembung udara di lambung dan duodenum proksimal dari tempat
adanya atresia. Bila 1 gelembung (single bubble) mungkin duodenum terisi
penuh cairan, terdapat atresia pylorus, atau membran prapilorik. Atresia
pilorik sangat jarang terdapat dan harus ditunjang muntah tidak hijau. Bila
2 gelembung disertai gelembung udara kecil kecil di distal, mungkin
stenosis duodenum, diafgrama membran mukosa, atau malrotasi dengan
atau tanpa volvulus.2

18
Gambar 6. Foto polos abdomen posisi AP dan lateral yang
memperlihatkan gambaran double-bubble sign pada atresia duodenum2

 USG Abdomen pada atresia duodenum


Penggunaan USG telah memungkinkan banyak bayi dengan obstruksi
duodenum teridentifikasi sebelum kelahiran. Pada penelitian cohort untuk
18 macam malformasi kongenital di 11 negara Eropa, menunjukan hasil
bahwa 52% bayi dengan obstruksi duodenum diidentifikasi sejak in utero.
Obstruksi duodenum ditandai khas oleh gambaran double-bubble pada
USG prenatal. Gelembung pertama mengacu pada lambung dan
gelembung kedua mengacu pada loop duodenal postpilorik dan prestenotik
yang terdilatasi. Pada USG tampak gambaran anechoic, dilatasi, dan
akumulasi cairan di lambung dan duodenum proksimal.2

Gambar 7. Prenatal
sonogram pada potongan
sagital oblik memberikan
gambaran double bubble
sign pada fetus dengan
atresia duodenum. In
utero, the stomach (S) dan
duodenum (D) terisi oleh
cairan2

19
I. DIAGNOSIS BANDING
Atresia duodenum dapat didiagnosis banding dengan beberapa kelainan,
seperti :
 Duodenal Web
Pada pemeriksaan foto polos abdomen bayi dalam keadaan posisi tegak
akan terlihat gambaran 2 bayangan gelembung udara (double bubble),
gelembung lambung dan proksimal duodenum. Gelembung tersebut bisa
disertai gelembung udara kecil-kecil di distal. Pemeriksaan gastric and
duodenal radiography dengan kontras terlihat lambung, duodenum
proksimal, dan duodenum distal pada bagian yang obstruksi mengalami
dilatasi. Kontras terlihat terhenti pada bagian distal dan kontras terlihat di
bagian distal obstruksi (Windsock appearance).11

 Anular Pankreas
Deformitas anular (seperti cincin) pada bagian tengah duodenum
descendens kadang terlihat pada kasus annular pankreas, seperti putaran
yang tidak sempurna pada bagian ventral yang meninggalkan berkas
untaian sel pankreas atau hanya jejak cincin fibrotik. Defek kongenital ini
sering ditemukan tidak sengaja pada saat pembedahan. Pada foto polos
abdomen anular pankreas, tampak gambaran double bubble sign yang
merupakan dilatasi lambung dan duodenum proksimal dengan tanpa udara
pada bagian distal. Diagnosis ditegakkan berdasarkan pencitraan seperti
Multislice Computed Tomography (MSCT), Magnetic Resonance Imaging
(MRI), Magnetic Resonance Cholangiopancreatography (MRCP), atau
Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP).11

 Midgut Volvulus
Midgut Volvulus adalah perputaran abnormal dari usus kecil ke arah arteri
mesenterica superior. Pada foto polos abdomen, tampak gambaran double-
bubble sign yang merupakan dilatasi lambung dan duodenum proksimal
dengan udara pada bagian distal. Pada USG tampak gambaran usus
membelit arteri dan vena mesenterika superior. Pada pemeriksaan
CT-abdomen ditemukan whirl sign. Pemeriksaan EGDR pada volvulus
ditemukan corkscrew sign.11

20
J. TERAPI
Terapi yang dapat dilakukan pada atresia duodenum adalah pembedahan
untuk mengembalikan fungsi dari duodenum. Namun, sebelum dilakukan
tindakan pembedahan ada persiapan pra bedah yang harus dilakukan.
 Persiapan pra bedah
Tindakan dekompresi dengan pemasangan sonde lambung (NGT) dan
lakukan pengisapan cairan dan udara. Tindakan ini untuk mencegah
muntah dan aspirasi. Resusitasi cairan dan elektrolit, koreksi asam basa,
hiponatremia dan hipokalemia perlu mendapat perhatian khusus.
Pembedahan elektif pada pagi hari berikutnya.

 Pembedahan
Secara umum semua bentuk obstruksi duodenal indikasi untuk dilakukan
tindakan pembedahan. Atresia duodenal bersifat relatif emergensi dan
harus dikoreksi dengan tindakan pembedahan selama hari pertama setelah
bayi lahir. Prosedur operatif standar saat ini berupa duodenoduodenostomi
melalui insisi pada kuadran kanan atas, meskipun dengan perkembangan
yang ada telah dimungkinkan untuk melakukan koreksi atresia duodenum
dengan cara yang minimal invasi. Atau dapat dilakukan tindakan
pembedahan anastomosis duodenoyeyunostomi. Tidak dilakukan reseksi
bagian atresia, karena dapat terjadi pemotongan ampula vateri dan saluran
wirsungi. Prosedur pembedahan dimulai dengan insisi tranversal pada
supra umbilikal abdominal, 2 cm di atas umbilikus dengan cakupan mulai
dari garis tengah sampai kuadran kanan atas. Setelah membuka kavum
abdominal, dilakukan inspeksi di dalamnya untuk mencari kemungkinan
adanya kelainan anomali lainnya. Untuk mendapatkan gambaran lapang
pandang yang baik pada pars superior duodenum, dengan sangat hati-hati
dilakukan penggeseran hati (liver) selanjutnya kolon asenden dan fleksura
coli dekstra disingkirkan dengan perlahan-lahan.8

21
Gambar 8. Insisi transverse supraumbilical abdominal8

Gambar 9. Dinding duodenum dibuka dan web dihapus. Kemudian, dinding


duodenum dijahit3

22
Gambar 10. Bypass untuk atresia
A duodenum.3
A. Segmen atresia duodenum dihapus
dan kedua ujung dijahit bersama-
sama (duodenoduodenostomy).
B. Segmen atresia dilewati dengan
menciptakan pembukaan antara
lambung dan jejunum
(gastrojejunostomy)

K. KOMPLIKASI
Dapat ditemukan kelainan kongenital lainnya. Mudah terjadi dehidrasi,
terutama bila tidak terpasang line intravena. Setelah pembedahan, dapat
terjadi komplikasi lanjut seperti pembengkakan duodenum (megaduodenum),
gangguan motilitas usus, atau refluks gastroesofageal. Di samping itu,
perdarahan, gangguan pernapasan, infeksi, hipotermia, output urine rendah,
obstruksi usus, dan komplikasi yang terkait dengan operasi besar sangat
mungkin terjadi.3

L. PROGNOSIS
Morbiditas dan mortalitas telah membaik secara bermakna selama
50 tahun terakhir. Dengan adanya kemajuan di bidang anestesi pediatrik,
neonatologi, dan teknik pembedahan, angka kesembuhannya telah meningkat
hingga 90%. Mortalitas umumnya berkaitan dengan kelainan anomali lain
yang dialami khususnya bayi dengan Trisomi 21 dan kelainan komplek
jantung (complex cardiac anomaly). Faktor lain yang turut mempengaruhi
tingkat mortalitas adalah prematuritas, BBLR (berat bayi lahir rendah), dan
keterlambatan diagnosis.1,2,3

23
BAB III
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
 Nama : By. Ny. M
 Umur : 4 hari
 Jenis kelamin : Perempuan
 Agama : Islam
 Alamat : Jogorimo 4/3 Klirong
 Tanggal masuk : 19 Maret 2015
 No MR : 879634

B. ANAMNESIS
Alloanamnesis dengan ibu pasien dan perawat di RSUD Kebumen pada
tanggal 23 Maret 2015.
 Keluhan Utama : Muntah terus warna hijau
 Riwayat Penyakit Sekarang :
Bayi usia 4 hari mengalami muntah bewarna hijau. Bayi tampak lemah.
Setiap dikasih susu pasti muntah dan saat dilakukan pengecekan residu,
residu banyak dan bewarna hijau.
 Riwayat Kelahiran :
Ibu pasien adalah rujukan dari bidan karena mengalami perdarahan. Bayi
lahir spontan dari ibu G3P2A0, umur kehamilan kurang bulan (36 minggu),
bayi lahir langsung menangis. Apgar score 8/9/10. Air ketuban berwarna
jernih. Berat badan lahir 2240 gram dengan panjang badan lahir 45 cm.
 Riwayat Keluarga, Sosial dan Ekonomi
Pasien adalah anak ke tiga. Orang tua pasien bekerja sebagai Ibu Rumah
Tangga. Biaya perawatan ditanggung oleh pemerintah (BPJS).

24
C. PEMERIKSAAN FISIK
 Keadaan umum : Tampak lemah
 Kesadaran : Compos mentis
 Nadi : 136 x/menit, isi cukup reguler
 Suhu : 34,30C
 Pernapasan : 37 x/menit
 Status generalis
 Kepala : Oksiput yang datar
 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), mata cekung (-/-)
 THT : Sekret (-)
 Mulut : Bibir kering (+), sianosis (-), terpasang OGT (+)
 Leher : Simetris, pembesaran kelenjar (-), deviasi trakea (-)
 Jantung
~ Auskultasi : SI-SII murni, reguler, bising (-)
 Paru :
~ Inspeksi : Pergerakkan simetris, statis, dinamis kanan dan kiri
~ Auskultasi : Suara dasar vesikuler + / +, Suara tambahan : - / -
 Abdomen
~ Inspeksi : Abdomen lebih tinggi dari dinding dada, distensi (+) di
proksimal abdomen.
~ Auskultasi : Bising usus (+)
~ Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba
~ Perkusi : Timpani
 Ekstremitas
~ Atas : capp. refill < 2 detik, sianosis (-), ikterik (-)
akral dingin (-)
~ Bawah : capp. refill < 2 detik, sianosis (-), ikterik (-)
akral dingin (+)
 Alat kelamin : Tidak ada kelainan.
 Anoperineal
~ Inspeksi : Anus (+)

25
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Darah Rutin ( tanggal 20 Maret 2015)
 Hb 16,1 g/dl; AL 13,7 x 103 / ul, AT 275 x 103 / ul, GDS 38 mg/dl

 Foto polos abdomen 3 posisi ( tanggal 23 Maret 2015 )

Gambar 11. Pada foto polos abdomen 3 posisi menunjukan bahwa


udara rektum, sigmoid, dan sistema colon (-); udara gaster (+), udara
di distal gaster (+), minimal udara intestinue lainnya (-), double
bubble (+). Kesan : suspek atresia duodenum

26
E. DIAGNOSIS
 Atresia duodenum
 Berat bayi lahir rendah
 Hipotermi

F. PENATALAKSANAAN
 Injeksi vitamin K
 Injeksi HbO
 Tetes mata
 IVFD D10 10 tpm
 Injeksi Ampisilin 2 x 120 mg
 Pemasangan OGT
 Bolus D10 2 cc / kgbb
 Dirujuk ke spesialis bedah anak

27
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien pada kasus ini didiagnosa menderita atresia duodenum. Diagnosis ini
ditentukan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan dikonfirmasi dengan hasil
pemeriksaan penunjang. Dari hasil anamnesis diperoleh bahwa bayi mengalami
muntah-muntah berwarna hijau, perut kembung terutama abdomen bagian atas
(upper abdominal distention) dan terdapat gangguan di dalam pemberian
makanan (feeding problem). Pada bayi yang mengalami muntah bewarna hijau
harus dianggap terdapat adanya obstruksi saluran cerna, sampai hal tersebut dapat
dibuktikan bahwa tidak terdapat obstruksi.
Muntah (emesis) merupakan salah satu tanda kelainan di saluran
gastrointestinal. Muntah adalah kondisi dimana isi saluran cerna bagian atas
(lambung dan kadang duodenum) terdorong kuat sehingga keluar melalui mulut.
Rangsangan yang paling sering menyebabkan muntah adalah iritasi dan distensi
lambung. Ketika ada rangsangan tersebut maka impuls saraf diteruskan ke pusat
muntah di medula oblongata, kemudian ada impuls balik yang kembali ke organ-
organ saluran cerna bagian atas, diafragma, dan otot perut, sehingga lambung
terperas diantara diafragma dan otot perut, lalu isi perut keluar dari sfingter
esofageal yang terbuka. Muntah yang berwarna hijau (bilious emesis)
menandakan kemungkinan adanya ileus atau obstruksi dibagian distal dari saluran
empedu ke duodenum.
Cairan empedu adalah cairan basa, pahit, dan berwarna kuning-kehijauan
yang diproduksi di hati dan disimpan di kantung empedu. Kantung empedu akan
mengeluarkan cairannya melalui cystic duct ke common bile duct. Sfingter oddi
mengatur aliran cairan empedu melalui common bile duct ke duodenum pars
desendens. Ketika terdapat obstruksi setelah pembukaan common bile duct di
sfingter oddi, muntah akan berwarna hijau. Jika obstruksi letaknya dibagian
proksimal dari muara saluran ini, maka muntah tidak akan berwarna hijau.

28
Gambar 12. Anatomi saluran empedu sampai ke duodenum12

Tanda dan gejala yang ada pada pasien merupakan akibat dari obstruksi
intestinal letak tinggi dan bisa mengarahkan ke diagnosis atresia duodenum.
Manifestasi klinis tersebut adalah bayi mengalami muntah banyak, berwarna
kehijauan akibat adanya empedu (biliosa), muntah terus-menerus meskipun bayi
dipuasakan selama beberapa jam, ditemukan distensi abdomen bagian atas
(abdomen proksimal), hilangnya bising usus setelah beberapa kali buang air besar
mekonium.
Setelah bayi lahir, bayi dengan atresia duodenal memiliki tanda khas berupa
abdomen skafoid. Kadang dapat dijumpai epigastrik yang penuh akibat dari
dilatasi lambung dan duodenum proksimal. Pengeluaran mekonium dalam 24 jam
pertama kehidupan biasanya tidak terganggu. Dehidrasi, penurunan berat badan,
dan ketidakseimbangan elektrolit segera terjadi kecuali kehilangan cairan dan
elektrolit yang terjadi segera diganti. Jika hidrasi intravena belum dimulai, maka

29
timbulah alkalosis metabolik hipokalemi/hipokloremi dengan asiduria
paradoksikal, sama seperti pada obstruksi gastrointestinal tinggi lainnya. Tuba
orogastrik pada bayi dengan suspek obstruksi duodenal khas mengalirkan cairan
berwarna empedu (biliosa) dalam jumlah yang bermakna.
Pada pemeriksaan radiologi didapatkan gambaran double buble tanpa udara
pada bagian distalnya. Radiografi polos yang menunjukkan gambaran double
bubble tanpa udara pada bagian distalnya adalah gambaran khas atresia
duodenum.

Tabel 5. Diagnosis banding pada kasus ini

Atresia Duodenum Anular Midgut


No. Tanda Kasus
duodenum web pankreas volvulus
1 Onset Baru lahir  Neonatus Baru  10 hari Baru
 Infant lahir ( 39 % ) lahir
 Older  3 bulan
infant ( > 90% )
 Dewasa

2 Bilious Bisa ya, Bisa ya, Bisa ya, Bisa ya,


Ya
vomiting bisa tidak bisa tidak bisa tidak bisa tidak
3 Doubble
Bubble,
Tidak Ya Ya Tidak Tidak
udara di
distal (+)
4 Doubble
Bubble,
Ya Tidak Tidak Ya Ya
udara di
distal (-)
5 Windsock
Tidak Ya Tidak Tidak Tidak
appearance

Berdasarkan manifestasi klinis yang ada maka pasien pada kasus ini
didiagnosis mengalami atresia duodenum, sehingga dirujuk ke spesialis bedah
anak untuk dilakukan pembedahan.

30
BAB V
KESIMPULAN

Dilaporkan pasien bayi dengan usia 4 hari dengan keluhan utama muntah
berwarna hijau dan pada pemeriksaan radiologis foto polos abdomen 3 posisi
didapatkan Double Bubble appearance dan udara di distal (-).
Kasus atresia duodenum insidensinya sangat jarang. Penegakkan diagnosis
atresia duodenum sering cepat dideteksi dikarenakan gejala klinis yang akut dan
khas. Selain itu, pemeriksaan radiografi dapat memberikan gambaran yang khas,
sehingga dapat membantu klinisi dalam menegakkan diagnosis. Hal tersebut
tentunya akan berpengaruh dalam penatalaksanaan lebih lanjut pada pasien
tersebut.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Karrer FM. 2014. Pediatric Duodenal Atresia. http://emedicine.medscape.


com/article/932917-overview#showall (diakses pada tanggal 23 Maret 2015
pukul 17.00 WIB)
2. Mandell G. 2013. Imaging in Duodenal Atresia. http://emedicine.medscape.
com/article/408582-overview (diakses pada tanggal 23 Maret 2015 pukul
17.30 WIB)
3. Anonim. 2015. Repair of Gastrointestinal Atresias. http://www.yoursurgery.
com/ProcedureDetails.cfm?BR=1&Proc=77 (diakses pada tanggal 24 Maret
2015 pukul 19.00 WIB)
4. Sadler TW. 2012. Langman's Medical Embryology (12th. ed.). Philadelpia :
Lippincott Williams & Wilkins, a Wolters Kluwer business
5. Micheau A. 2015. Anatomical illustrations of the digestive system. http://
www.imaios.com/en/e-Anatomy/Thorax-Abdomen-Pelvis/Digestive-system-
Illustrations (diakses pada tanggal 24 Maret 2015 pukul 21.00 WIB)
6. Putz R, Pabst R. 2007. Atlas Anatomi Manusia, Sobotta (Jilid 2). Jakarta :
EGC
7. Anonim. 2015. Ampulla of Vater. http://en.wikipedia.org/wiki/Ampulla_of_
Vater#/media/File:Biliary_system_multilingual.svg (diakses pada tanggal 24
Maret 2015 pukul 18.00 WIB)
8. Sweed Y. 2006. Duodenal obstruction. Pediatric Surgery, Springer Surgery
Atlas, pp 203-212.
9. http://www.surgicalcore.org/popup/55918 (diakses pada tanggal 23 Maret
2015 pukul 20.15 WIB)
10. Rasad S. 2013. Radiologi Diagnostik (edisi 2). Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
11. Demirtas H, Durmaz MS, Boneval C, Karaali K. 2013. Congenital Duodenal
Web Leading to Partial Obstruction. Causapaedia, 401(2): 1-6
12. http://www.medicalland.gr/wp-content/uploads/2014/11/%CF%80%CE%B1
%CE%B3%CE%BA%CF%81%CE%B5%CE%B1%CF%82.jpg (diakses
pada tanggal 25 Maret 2015 pukul 16.00 WIB)

32

Anda mungkin juga menyukai