Saat ini, penyakit muskuloskeletal telah menjadi masalah yang banyak dijumpai di
pusat-pusat pelayanan kesehatan di seluruh dunia. Bahkan WHO telah menetapkan
dekade ini (2000-2010) menjadi Dekade Tulang dan Persendian. Penyebab
fraktur terbanyak adalah karena kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan lalu lintas
ini, selain menyebabkan fraktur, menurut WHO, juga menyebabkan kematian 1,25
juta orang setiap tahunnya, dimana sebagian besar korbannya adalah remaja atau
dewasa muda.
Definisi
Fraktur adalah terputusnya hubungan/kontinuitas struktur tulang atau
tulang rawan bisa komplet atau inkomplet
Diskontinuitas tulang yang disebabkan oleh gaya yang melebihi elastisitas
tulang
Secara umum fraktur dibagi menjadi dua, yaitu fraktur tertutup dan fraktur
terbuka. Fraktur tertutup jika kulit diatas tulang yang fraktur masih utuh, tetapi
apabila kulit diatasnya tertembus maka disebut fraktur terbuka
Trauma langsung akibat benturan akan menimbulkan garis fraktur transversal dan
kerusakan jaringan lunak. Benturan yang lebih keras disertai dengan penghimpitan
tulang akan mengakibatkan garis fraktur kominutif diikuti dengan kerusakan
jaringan lunak yang lebih luas. Trauma tidak langsung mengakibatkan fraktur
terletak jauh dari titik trauma dan jaringan sekitar fraktur tidak mengalami
kerusakan berat. Pada olahragawan, penari dan tentara dapat pula terjadi fraktur
pada tibia, fibula atau metatarsal yang disebabkan oleh karena trauma yang
berulang. Selain trauma, adanya proses patologi pada tulang seperti. tumor atau
pada penyakit Paget dengan energi yang minimal saja akan mengakibatkan
fraktur. Sedang pada orang normal hal tersebut belum tentu menimbulkan fraktur.
Klasifikasi
I. Menurut Penyebab terjadinya
A. Faktur Traumatik direct atau indirect
B. Fraktur Fatik atau Stress
Trauma berulang, kronis, mis: fr. Fibula pd olahragawan
C. Fraktur patologis biasanya terjadi secara spontan
II.
A.
B.
C.
Etiologi
Fraktur terjadi bila ada suatu trauma yang mengenai tulang, dimana trauma tersebut
kekuatannya melebihi kekuatan tulang. 2 faktor mempengaruhi terjadinya fraktur
1. Ekstrinsik meliputi kecepatan dan durasi trauma yang mengenai tulang, arah
dan kekuatan trauma.
2. Intrinsik meliputi kapasitas tulang mengasorbsi energi trauma, kelenturan,
kekuatan, dan densitas tulang.
Diagnosis
I. Riwayat
Anamnesis dilakukan untuk menggali riwayat mekanisme cedera (posisi
kejadian) dan kejadian-kejadian yang berhubungan dengan cedera tersebut.
riwayat cedera atau fraktur sebelumnya, riwayat sosial ekonomi, pekerjaan, obatobatan yang dia konsumsi, merokok, riwayat alergi dan riwayat osteoporosis
serta penyakit lain.
II. Pemeriksaan Fisik
A. Inspeksi / Look
Deformitas angulasi, rotasi, pemendekan, pemanjangan, bengak
Pada fraktur terbuka klasifikasi Gustilo
B. Palpasi / Feel nyeri tekan (tenderness), Krepitasi
Status neurologis dan vaskuler di bagian distalnya perlu diperiksa. Lakukan
palpasi pada daerah ekstremitas tempat fraktur tersebut, meliputi persendian
diatas dan dibawah cedera, daerah yang mengalami nyeri, efusi, dan krepitasi
Neurovaskularisasi bagian distal fraktur pulsasi aretri, warna kulit,
pengembalian cairan kapler (Capillary refill test) sensasi
C. Gerakan / Moving
D. Pemeriksaan trauma di tempat lain kepala, toraks, abdomen, pelvis
Sedangkan pada pasien dengan politrauma, pemeriksaan awal dilakukan menurut
protokol ATLS. Langkah pertama adalah menilai airway, breathing, dan
circulation. Perlindungan pada vertebra dilakukan sampai cedera vertebra dapat
disingkirkan dengan pemeriksaan klinis dan radiologis. Saat pasien stabil, maka
dilakukan secondary survey.
III. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium darah rutin, faktor pembekuan darah, golongan darah,
cross-test, dan urinalisa.
Radiologis untuk lokasi fraktur harus menurut rule of two, terdiri dari :
1. 2 gambaran, anteroposterior (AP) dan lateral
2. Memuat dua sendi di proksimal dan distal fraktur
3. Memuat gambaran foto dua ekstremitas, yaitu ekstremitas yang cedera
dan yang tidak terkena cedera (pada anak) ; dan dua kali, yaitu sebelum
tindakan dan sesudah tindakan.
Pergeseran fragmen Tulang ada 4 :
1. Alignman perubahan arah axis longitudinal, bisa membentuk sudut
2. Panjang dapat terjadi pemendekan (shortening0
3. Aposisi hububgan ujung fragmen satu dengan lainnya
4. Rotasi terjadi perputaran terhadap fragmen proksimal
Komplikasi Fraktur
Komplikasi fraktur dapat diakibatkan oleh trauma itu sendiri atau akibat
penanganan fraktur yang disebut komplikasi iatrogenik .
1. Komplikasi umum
Syok karena perdarahan ataupun oleh karena nyeri, koagulopati diffus
dan gangguan fungsi pernafasan.
Ketiga macam komplikasi tersebut diatas dapat terjadi dalam 24 jam pertama
pasca trauma dan setelah beberapa hari atau minggu akan terjadi gangguan
metabolisme, berupa peningkatan katabolisme. Komplikasi umum lain dapat
berupa emboli lemak, trombosis vena dalam (DVT), tetanus atau gas
gangren
2.
Komplikasi Lokal
a. Komplikasi dini
Komplikasi dini adalah kejadian komplikasi dalam satu minggu pasca trauma,
sedangkan apabila kejadiannya sesudah satu minggu pasca trauma disebut
komplikasi lanjut.
Pada Tulang
- Infeksi, terutama pada fraktur terbuka.
- Osteomielitis dapat diakibatkan oleh fraktur terbuka atau tindakan
operasi pada fraktur tertutup. Keadaan ini dapat menimbulkan delayed
union atau bahkan non union
Komplikasi sendi dan tulang dapat berupa artritis supuratif yang sering
terjadi pada fraktur terbuka atau pasca operasi yang melibatkan sendi
sehingga terjadi kerusakan kartilago sendi dan berakhir dengan degenerasi
- Delayed union
Proses penyembuhan lambat dari waktu yang dibutuhkan secara normal. Pada
pemeriksaan radiografi, tidak akan terlihat bayangan sklerosis pada ujungujung fraktur,
Terapi konservatif selama 6 bulan gagal Osteotomi
Lebih 20 minggu cancellus grafting (12-16 minggu)
- Non union
Dimana secara klinis dan radiologis tidak terjadi penyambungan.
Tipe I (hypertrophic non union) tidak akan terjadi proses
penyembuhan fraktur dan diantara fragmen fraktur tumbuh jaringan
fibrus yang masih mempunyai potensi untuk union dengan melakukan
koreksi fiksasi dan bone grafting.
Tipe II (atrophic non union) disebut juga sendi palsu (pseudoartrosis)
terdapat jaringan sinovial sebagai kapsul sendi beserta rongga sinovial
yang berisi cairan, proses union tidak akan dicapai walaupun dilakukan
imobilisasi lama.
Beberapa faktor yang menimbulkan non union seperti disrupsi periosteum
yang luas, hilangnya vaskularisasi fragmen-fragmen fraktur, waktu
imobilisasi yang tidak memadai, implant atau gips yang tidak memadai,
distraksi interposisi, infeksi dan penyakit tulang (fraktur patologis)
- Mal union
Penyambungan fraktur tidak normal sehingga menimbukan deformitas.
Tindakan refraktur atau osteotomi koreksi .
- Osteomielitis
Osteomielitis kronis dapat terjadi pada fraktur terbuka atau tindakan operasi
pada fraktur tertutup sehingga dapat menimbulkan delayed union sampai non
union (infected non union). Imobilisasi anggota gerak yang mengalami
osteomielitis mengakibatkan terjadinya atropi tulang berupa osteoporosis dan
atropi otot
- Kekakuan sendi
Penatalaksanaan
Prinsip 4R (chairudin Rasjad) :
1. Recognition diagnosis dan penilaian fraktur
2. Reduction
3. Retention Immobilisasi
4. Rehabilitation mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin
Penatalaksanaan awal fraktur meliputi reposisi dan imobilisasi fraktur dengan splint.
Status neurologis dan vaskuler di bagian distal harus diperiksa baik sebelum maupun
sesudah reposisi dan imobilisasi. Pada pasien dengan multiple trauma, sebaiknya
dilakukan stabilisasi awal fraktur tulang panjang setelah hemodinamis pasien stabil.
Sedangkan penatalaksanaan definitif fraktur adalah dengan menggunakan gips atau
dilakukan operasi dengan ORIF maupun OREF.
2.
IMOBILISASI / FIKSASI
Tujuan mempertahankan posisi fragmen post reposisi sampai Union.
Jenis Fiksasi :
Ekternal / OREF
- Gips ( plester cast)
- Traksi
Indikasi
Pemendekan (shortening)
Fraktur unstabel oblique, spiral
Kerusakan hebat pada kulit dan jaringan sekitar
Indikasi OREF :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Fraktur Terbuka
-------------------------- RD Collection
2002
Klasifikasi fraktur terbuka yang sering dipergunakan adalah menurut Gustilo yang
membagi menjadi fraktur terbuka grade I, II, IIIA, IIIB dan IIIC. Namun klasifikasi
fraktur terbuka menurut Gustilo mempunyai beberapa kelemahan antara lain angka
kesepakatan rendah, batasan derajat kontaminasi kurang jelas, belum ada tolok
ukur yang obyektif. Sedangkan Armis, telah melakukan penilaian fraktur terbuka
dengan memberikan skoring pada setiap variabel yang meliputi kerusakan kulit,
kerusakan otot, kondisi tulang, kondisi neurovaskuler dan derajat kontaminasi,
dengan nama Sistem Skoring Sardjito (SSS) . Insidensi fraktur terbuka sebesar 4%
dari seluruh fraktur dengan perbandingan lakilaki dan perempuan sebesar 3,64:1
dengan kejadian terbanyak pada kelompok umur dekade kedua dan ketiga yang
relatif mempunyai aktifitas fisik dan mobilitas yang tinggi. Pada analisis
epidemiologi menunjukkan bahwa 40 % fraktur terbuka terjadi pada ekstemitas
bawah terutama daerah tibia dan femur tengah.
Pemasangan plat pada fraktur terbuka telah memperbaiki union fraktur atau
penyambungan kortek langsung tanpa pembentukan kalus. Osteosit langsung
menyeberangi gap antar fragmen fraktur. Tapi pada kenyataannya terdapat
osteogenesis meduler dan sedikit pembentukan kalus periosteum. Pada penelitian
selanjutnya diketahui bahwa pada pemasangan plat itu sendiri telah mengganggu
vaskularisasi ke kortek tulang oleh plat yang berakibat gangguan aliran darah
dan menyebabkan nonunion. Mengatasi permasalahan ini para pakar AO/ASIF dari
Swiss telah menciptakan LCDCP ( low contact dynamic compression plate) dan ada
juga yang membuat inovasi baru dengan cara merekonstruksi plat yang non-rigid
sehingga terjadi pembentukan kalus dengan tidak memasang sekrup yang banyak
Pemasangan plat perlu hati-hati yaitu pada saat melakukan irisan jaringan lunak agar
tidak terjadi kerusakan periosteum, fascia dan otot karena hal itu dapat
mengakibatkan nonunion. Penutupan kulit diatas plat sering mengalami kesulitan
dan dapat terjadi nekrosis kulit atau infeksi superfisial. Untuk pencegahan
kerusakan jaringan lunak dapat dilakukan dengan pemasangan plat dibawah kulit
dan pemasangan sekrup langsung ke tulang dengan bantuan alat fluoroskopi.
Pemasangan fiksasi dalam pada fraktur terbuka mempunyai resiko tinggi terjadi
Mekanisme
trauma
Angulasi /
memutar
Kombinasi
Variasi
Energi
Ringan
Sedang
Berat
Tipe I berupa luka kecil kurang dari 1 cm akibat tusukan fragmen fraktur dan
bersih. Kerusakan jaringan lunak sedikit dan fraktur tidak kominutif. Biasanya
luka tersebut akibat tusukan fragmen fraktur atau inout.
Tipe II terjadi jika luka lebih dari 1 cm tapi tidak banyak kerusakan jaringan
lunak dan fraktur tidak kominutif.
Pada tipe III dijumpai kerusakan hebat maupun kehilangan cukup luas pada
kulit, jaringan lunak dan putus atau hancurnya struktur neurovaskuler dengan
kontaminasi, juga termasuk fraktur segmental terbuka atau amputasi
traumatik.
Klasifikasi ini juga termasuk trauma luka tembak dengan kecepatan tinggi
atau high velocity, trauma didaerah pertanian, fraktur terbuka yang
memerlukan repair vaskular, fraktur terbuka lebih 8 jam setelah kecelakaan
Kemudian Gustillo et al. (1984) membagi tipe III dari klasifikasi Gustillo dan
Anderson (1976) menjadi tiga subtipe, yaitu tipe IIIA, IIIB dan IIIC (tabel 3).
IIIA terjadi apabila fragmen fraktur masih dibungkus oleh jaringan lunak,
walaupun adanya kerusakan jaringan lunak yang luas dan berat.
IIIB fragmen fraktur tidak dibungkus oleh jaringan lunak sehingga tulang
terlihat jelas atau bone expose, terdapat pelepasan periosteum, fraktur
kominutif. Biasanya disertai kontaminasi masif dan merupakan trauma
high energy tanpa memandang luas luka.
IIIC terdapat trauma pada arteri yang membutuhkan repair agar kehidupan
bagian distal dapat dipertahankan tanpa memandang derajat kerusakan
jaringan lunak.
Klasifikasi lanjut fraktur terbuka tipe III (Gustillo dan Anderson, 1976)
oleh Gustillo, Mendoza dan Williams (1984):
Tipe
Batasan
IIIA
IIIB
IIIC
Note: * Add one for public watering accident or from farm accident or treated after
gol den period (deep particle score =15+1=16)
Armis (2001) membuat klasifikasi fraktur terbuka dengan sistim skoring yang
dinamakan Sistem Skoring Sardjito (SSS) yang dilakukan dengan memberikan
skoring pada setiap variabel yang meliputi kerusakan kulit, kerusakan otot, kondisi
tulang, kondisi neurovaskuler dan derajat kontaminasi kemudian skor dijumlahkan
Skor
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
1
2
3
5
10
15*)
Skor untuk fraktur terbuka grade I atau ringan: 10, grade II atau sedang 11-20,
grade III atau berat : 21-31. Grade IIIA bila fragmen fraktur masih tertutup jaringan
lunak, grade IIIB bila terdapat ekspose fragmen fraktur, dan grade III C bila
terdapat kerusakan pembuluh darah vital sehingga untuk mempertahankan
kehidupan bagian distal fraktur membutuhkan tindakan repair. (Khairuddin &
Armis, 2002; Supriyanto & Armis, 2004 ).
dengan baik termasuk trauma pada daerah atau organ lain dan komplikasi akibat
fraktur itu sendiri. (Rasjad, 1998; Trafton, 2000).
4. Terapi Antibiotik dan Anti Tetanus Serum (ATS)
Pemberian antibiotik sebaiknya diberikan segera mungkin setelah terjadinya
trauma. Antibiotik adalah yang berspektrum luas yaitu sefalosporin generasi I
(cefazolin 1-2 gram) dan dikombinasikan dengan aminoglikosid (gentamisin 1-2
mg/kg BB tiap 8 jam) selama 5 hari. Selanjutnya perawatan luka dilakukan
setiap hari dengan memperhatikan sterilitas, dan pemberian antibiotik
disesuaikan dengan hasil kultur dan sensitifitas terbaru.
Bila dalam perawatan ditemukan gejala dan tanda infeksi, maka dilakukan
pemeriksaan kultur dan sensifitas ulang untuk penyesuaian ulang pemberian
antibiotik yang digunakan.
Pemberian anti tetanus diindikasikan pada fraktur kruris terbuka derajat III
berhubungan dengan kondisi luka yang dalam, luka yang terkontaminasi, luka
dengan kerusakan jaringan yang luas serta luka dengan kecurigaan sepsis. Pada
penderita yang belum pernah mendapat imunisasi anti tetanus dapat diberikan
gamaglobulin anti tetanus manusia dengan dosis 250 unit pada penderita diatas
usia 10 tahun dan dewasa , 125 unit pada usia 5-10 tahun dan 75 unit pada anak
dibawah 5 tahun. Dapat pula diberikan serum anti tetanus dari binatang dengan
dosis 1500 unuit dengan tes subkutan 0,1 selama 30 menit. Jika telah mendapat
imunisasi toksoid tetanus (TT) maka hanya diberikan 1 dosis boster 0,5 ml
secara intramuskuler.
5. Debridemen
a. Ambil sample dari luka untuk pemeriksaan kultur dan sensitifitas pra
debridemen
b. Pembersihan luka dengan irigasi cairan fisiologis sebanyak 6-10 liter.
c. Jaringan mati atau fragmen tulang kecil yang mati maupun benda asing
dibuang.
d. Pembuluh darah vital untuk bagian distal yang terputus dilakukan repair.
e. Saraf yang terputus diberi tanda pada ujung saraf untuk dilakukan delayed
repair
f. Reposisi fragmen fraktur.
g. Pengambilan sampel pada luka yang bersih untuk kultur dan tes sentifitas
pasca debridmen.
h. Luka dibiarkan terbuka atau dilakukan jahitan parsial, bila perlu ditutup
setelah satu minggu dimana oedem sudah menghilang.
i. Fiksasi awal yang baik untuk fraktur terbuka kruris derajat III adalah fiksasi
eksternadengan external fixation device sehingga akan mempermudah dalam
perawatan luka harian. Bila fasilitas tidak memadai, pemasangan gips
sirkuler dengan jendela atau temporary splinting dengan gips atau traksi
dapat digunakan dan kemudian dapat direncanakan operasi pemasangan
fiksasi interna setelah luka baik (delayed internal fixation).
j. Pemakaian suntikan antibiotik dilanjutkan 3-5 hari, dimonitor tanda klinis dan
penunjang
k. Bila dalam perawatan harian di bangsal ditemukan gejala dan tanda infeksi
dilakukan debridemen dan pemeriksaan kultur dan sensitifitas ulang untuk
mendapatkan penanganan yang memadai.
(Apley & Solomon, 1993;
Behrens, 1996; Rasjad, 1998; Trafton, 2000; Hutagalung , 2003 ).
6. Penanganan jaringan lunak.
Pada kehilangan jaringan lunak yang luas dapat dilakukan soft tissue
tranplantation atau flap pada tindakan berikutnya, sedangkan tulang yang hilang
dapat dilakukan bone grafting setelah pengobatan infeksi berhasil baik.
7. Penutupan Luka
Pada luka yang kecil dan tidak banyak kontaminasi setelah dilakukan
debridemen dan irigasi dapat langsung dilakukan penutupan secara primer tanpa
tegangan. Pada luka yang luas dan dicurigai kontaminasi yang berat sebaiknya
dirawat secara terbuka, luka dibalut kassa steril dan dilakukan evaluasi setiap
hari. Setelah 5-7 hari dan luka bebas dari infeksi dapat dilakukan penutupan
kulit secara sekunder atau melalui tandur kulit. Pada anak sebaiknya dihindari
perawatan terbuka untuk menghindari terjadi khondrolisis yaitu kerusakan
epiphyseal plate akibat infeksi. Penyambungan tulang pada anak relatif lebih
cepat maka reposisi dan fiksasi dikerjakan secepatnya untuk mencegah
deformitas.
8. Stabilisasi fraktur
Dalam melakukan stabilisasi fraktur awal penggunaan gips sebagai temporary
splinting dianjurkan sampai dicapai penanganan luka yang adekuat, kemudian
bisa dilanjutkan dengan pemasangan gips sirkuler atau diganti fiksasi dalam
dengan plate and screw, intermedullary nail atau external fixator devices sebagai
terapi stabilisasi definitif.
Pemasangan fiksasi dalam dengan plate and screw pada fraktur terbuka dengan
kontaminasi tidak direkomendasikan. Namun demikian fiksasi dalam dapat dipasang
setelah luka jaringan lunak baik dan diyakini tidak ada infeksi lagi. Penggunaan
fiksasi luar (external fixation devices) pada fraktur terbuka derajat III adalah salah
satu pilihan untuk memfiksasi fragmen-fragmen fraktur tersebut dan untuk
mempermudah perawatan luka harian.
luka baik dan bebas infeksi penggunaan gips untuk fiksasi fraktur dapat dilanjutkan
untuk menunjang secundary bone healing dengan pembentukan kalus.
ORIF ( Open Reduction and Internal Fixations )
A. Reduksi tertutup diindikasikan untuk keadaan sebagai berikut:
1). Fraktur dengan tak ada pergeseran,
2). Fraktur yang stabil setelah reposisi/ reduksi,
3). Fraktur pada anak-anak,
4). Cedera jangan luk minimal
5). Trauma berenergi rendah.
B. Reduksi terbuka diindikasikan untuk keadaan sebagai berikut:
1). kagagalan dalam penanganan secara reduksi tertutup,
2). fraktur yang tidak stabil,
3). fraktur intraartikuler yang mengalami pergeseran dan
4). fraktur yang mengalami pemendekan.
Pemasangan Fiksasi dalam sering menjadi pilihan terapi yang paling diperlukan
dalam stabilisasi fraktur pada umumnya termasuk fraktur kruris terbuka derajat III.
Pilihan metode yang dipergunakan untuk fiksasi dalam ada beberapa macam yaitu:
a.Pemasangan plate and screws
Pemasangan fiksasi dalam pada fraktur terbuka mempunyai resiko tinggi
terjadi komplikasi infeksi, non-union dan refraktur. Pada penelitian awalnya
pemasangan plat pada fraktur terbuka diketahui telah memperbaiki fraktur
dengan penyambungan kortek langsung tanpa pembentukan kalus. Osteosit
langsung menyeberangi gap antar fragmen fraktur. Tapi pada kenyataannya
terjadi osteogenesis meduler dan sedikit pembenrukan kalus periosteum. Pada
penelitian selanjutnya diketahui bahwa pada pemasangan plat itu sendiri telah
mengganggu vaskularisasi ke kortek tulang oleh plat yang berakibat gangguan
aliran darah yang menyebabkan nonunion. Mengatasi permasalahan ini para
pakar AO/ASIF dari Swiss telah menciptakan antara lain LCDCP (limited
contact dynamic compression plate) dan ada yang membuat inovasi baru
dengan merekonstruksi plat yang non-rigid dengan tidak memasang sekrup
yang banyak sehingga terjadi pembentukan kalus (Matter, 1997 cit. Trafton,
2000 ). Pemasangan plat perlu hati-hati dalam melakukan irisan jaringan lunak
agar tidak terjadi kerusakan periosteum, fascia dan otot karena dapat
mengakibatkan nonunion. Penutupan kulit diatas plat sering mengalami
kesulitan dan dapat terjadi nekrosis kulit atau infeksi superfisial. Untuk
pencegahan kerusakan jaringan lunak dilakukan dengan pemasangan plat
dibawah kulit dan sekrup langsung dipasang ke tulang dengan bantuan alat
fluoroskopi
b.Pemasangan screws or wires
Untuk melakukan fiksasi fraktur diafisis jarang menghasilkan fraktur yang
stabil. Pemasangan skru banyak digunakan dalam fiksasi fraktur intraartikuler
Fraktur Terbuka
Klasifikasi Fraktur terbuka Menurut Gustilo dan Anderson, sebagai
Derajat I
Luka kecil biasanya akibat tusukan fragmen dan bersih, kerusakan jaringan lunak
sedikit < 1cm dan tak kominutif.
Derajat II
Panjang luka >1cm tapi tak banyak kerusakan jaringan lunak dan fraktur tak
kominutif.
Derajat III
Kerusakan hebat pada kulit, jaringan lunak dan struktur neurovascular dengan
kontaminasi,
III A fragmen tulang masih dibungkus jaringan lunak,
III B fragmen tulang tak dibungkus jaringan lunak terdapat pelepasan lapisan
periosteum, fraktur kominutif,
III C trauma pada arteri yang membutuhkan repair agar bagian distal dapat
dipertahankan, terjadi kerusakan jaringan lunak hebat.
Trauma high-velosity termasuk klasifikasi IIIB atau IIIC walaupun lukanya kecil
tapi terjadi kerusakan jaringan lunak dibawahnya sangat hebat. Insidensi infeksi
derajat I 2% dan derajat II 10%.
EKSTREMITAS SUPERIOR
--------------------------------------------- RD Collection 2002
---------------------------------------------------
Fraktur Skapula
Akibat trauma langsung.. Fraktur korpus dan kollum scapula umumnya terjadi
pergeseran akibat tarikan otot-otot yang melekat disitu
Terapi konservatif (Istirahat dan mobilisasi dini setelah sakit hilang.)
--------------------
RD
Collection 2002
Sendi bahu / sendi humeri yang dikenal sebagai sendi humeroskapularis. Dibagi
menjadi :
Anterior
Kejadian paling sering, dimana kaput humeri bergeser ke medial dibawah prosesus
korakoideus
Komplikasi :
1. Kerusakan saraf regio axillaris
2. Kerusakan kapsul sendi
3. Kekakuan sendi
4. Dislokasi rekurens lakukan tes Apprehension
Cara : Abduksi dan rotasi eksterna , terlihat raut muka penderita ketakutan dan
mencoba melawan tindakan tersebut. Instabilitas anterior (+)
Terapi :
Hipokrates metode
Handuk atau kain dililitkan di regio aksillaris penderita, operator melakukan
tarikan pada posisi semi abduksi lengan
Fraktur Clavicula
----------------------
RD
Collection 2002
Diagnosis
Riwayat waktu jatuh posisi tangan menumpu
Deformitas menonjol, udem, fr. 1/3 lateral tanpa ruptur lig
korakoklavikulare deformitas tidak jelas
Nyeri tekan (tenderness)
Krepitasi
Penunjang radiologi dan laboratorium
Penatalaksanaan
Konservatif Pasang ransel verban (Figure of eight0 sampai rasa sakit
hilang
Operatif Indikasi
1. Fraktur terbuka
2. Ruptur lig korakoklavikulare
3. Gangguan neurovaskuler
4. Delayed / non Union
5. Kosmetik
UNION terjadi 3 minggu disertai kallus yang menonjol dimana pada anak akan
hilang sebab mempunyai daya remodelling
Fraktur Humerus
-----------------------
Collection 2002
Klasifikasi NEER
I.
Pergeseran < 1 cm dengan angulasi < 450
II. Fraktur collum anatomikum, pergeseran > 1 cm
III. Fraktur collum chirrugikum dengan pergeseran dan angulasi
IV. Fraktur tuberkulum majus dengan 2 atau 3 fragmen
V. Fraktur tuberkulum majus dengan lebi 2 fragmen
VI. Fraktur dislokasi
Macamnya :
RD
Terapi :
Anak-anak reposisi tertutup
Dewasa Collar and Cuff selama 3 minggu
--------------------------------- Hasil reposisi dievaluasi dengan sudut Baumann
Anatomi
Sendi siku terjadi antara trochlea dan capitulum humerus dengan incisura
trochlearis ulnae dan caput radii. Sendi siku dillalui oleh beberapa bangunan, di
sebelah anterior terdapat muskulus brachialis, tendo muskulus biceps, nervus
medianus dan arteri brachialis. Di sebelah posterior terdapat muskulus biceps dan
bursa minor. Nervus ulnaris terdapat di sebelah medial dan tendo muskulus
ekstensor communis dan muskulus supinator terletak di lateral.
Suprakondilar humerus terletak di bagian distal dari humerus, tulang tersebut
kurang kuat dibanding tempat lain karena adanya fossa koronoid, fossa olekranon
dan fossa radii. Kolum medial suprakondilar lebih tipis dan substansi tulang
kurang bila dibanding dengan kolum lateral suprakondilar. Sendi siku mampu
untuk melakukan gerakan fleksi dan ekstensi, dimana gerakan fleksi dilakukan
oleh muskulus brachialis, muskulus biceps, muskulus brachioradialis dan
muskulus pronator teres. Sedangkan gerakan ekstensi dilakukan oleh muskulus
triceps dan muskulus anconeus.
TIPE EKSTENSI
Akibat trauma langsung pada humerus distal melalui benturan pada siku,
lengan bawah dalam posisi supinasi dengan siku hiperekstensi dengan
tangan yang terfiksasi, olekranon terdorong ke depan sehingga terjadi
fraktur. Garis fraktur selalu melewati fossa olekranon dan pada kolum
medial dan lateral metaphise. Fragmen distal dari fraktur akan terdorong
ke arah posterior dan proksimal, hal ini karena gaya fraktur yang
diteruskan ke atas melalui tulang lengan bawah dan disebabkan tarikan
muskulus biceps, sehingga fragmen ini akan miring ke lateral atau
medial dan berotasi ke medial. Dari proyeksi anterior, ujung distal dari
fragmen proksimal akan menembus periosteum dan mengenai muskulus
Klasifikasi
Pada prinsipnya, klasifikasi fraktur suprakondilar tipe ekstensi dibagi
berdasarkan derajat pergeseran fragmen distal terhadap fragmen
proksimal.
Gartland ( 1959 ), membagi 3 Type :
I
undisplaced or minimally displaced
IA : non displaced
IB : medial impaction
Pada tipe I, fraktur tanpa adanya pergeseran dari kedua fragmen,
kadangkala garis fraktur sukar dilihat pada gambaran radiologis.
II
Diagnosis
Dari anamnesa didapatkan adanya riwayat jatuh dengan lengan sebagai tumpuan.
Bila traumanya baru saja terjadi atau frakturnya tidak mengalami pergeseran atau
sedikit bergeser, anak akan mengeluhkan nyeri dan bengkak yang minimal, dan
temuan yang paling khas adalah perlunakan pada ujung humerus bagian distal.
Pada trauma ringan kedudukan fragmen distal tidak akan bergeser atau undisplaced.
Siku akan terlihat sedikit bengkak dibanding siku yang sehat, dan kadang kadang
terlihat akan terlihat normal bila jumlah perdarahan sedikit.
Pada trauma yang lebih berat dapat menimbulkan angulasi ke posterior, bahkan
sampai mengalami pergeseran fragmen distal ke posterior, namun hubungan kedua
fragmen sebagian masih terlihat, atau pada trauma yang lebih hebat lagi maka
fragmen distal akan terlepas dari fragmen proksimal dan berada di posterior dan
migrasi ke proksimal.
Sewaktu jatuh pada umumnya lengan dalam keadaan pronasi, ini akan
menyebabkan fragmen distal mengalami rotasi ke dalam. Akibatnya kortek sebelah
medial dari fragmen distal relatif akan berada di arah posterior dari fragmen
proksimal, sementara sisi lateral masih dalam kedudukan semula. Dengan demikian
kedudukan fragmen distal akan mengalami adduksi, rotasi ke dalam sehingga
fragmen distal akan mengalami pergeseran ke arah posteromedial akibatnya ujung
dari fragmen proksimal akan mencederai nervus radialis. Dan bila pergeseran
fragmen ke arah posterolateral aakan mencederai arteri radialis dan nervus
medianus.
Ujung fragmen proksimal akan berada di anterior dan dapat mencederai muskulus
brakhialis, arteri brakhialis, nervus radialis nervus medianus atau nervus ulnaris.
Dengan adanya trauma yang keras dan terjadi pergeseran dari fragmen, maka
pembengkakan dan deformitas pada siku akan menjadi lebih jelas. Besarnya
pembengkakan tergantung pada keparahan dari fraktur dan lama terjadinya trauma.
Pada pemeriksaan fisik yang penting adalah menilai fungsi dari neuromuskuler
pada sebelah distalnya. Tanda tanda gangguan vaskulus meliputi nyeri, pucat,
sianotik, tidak ada pulsasi atau paralysis, ini merupakan tanda terjadinya
volkmans ischemi.
Pemeriksaan radiologis akan terlihat fat pad sign, kedudukan kedua fragmen tidak
terjadi pergeseran, kadang kadang garis fraktur tidak terlihat. Dalam keadaan
normal fat pad sign akan berada di luar sinovia tapi intra kapsuler sendi disebelah
anterior dan posterior. Dengan adanya hamarthrosis akan menyebabkan pergeseran
letak fat pads.
Pemeriksaan radiologis penting untuk konfirmasi diagnosis. Sebelumnya lengan
harus diimobilissasi dengan posisi ekstensi, kedudukan fleksi yang berlebihan harus
dihindari karena ada kemungkinan gangguan dari neurovaskulernya. Pada
anteroposterior, dinilai garis fraktur apakah transversal atau oblik, fragmen distal
angulasi ke lateral atau medial. Posisi lateral akan menunjukkan fragmen distal
akan bergeser ke anterior atau posterior.
Penatalaksanaan
Pada prinsipnya mengembalikan fragmen ke posisi anatomis dan mempertahankan
kedudukan tersebut dan mencegah terjadinya komplikasi.
Sebelum dilakukan pemeriksaan radiologis, perlu dilakukan immobilisasi dengan
bidai. Pada fraktur tipe ekstensi, posisi fleksi pada siku harus dihindari karena
menyebabkan kerusakan labih lanjut dari system neurovaskular. Anggota gerak
dibuat immobilisasi degan bidai pada posisi yang mengalami deformitas, dengan
posisi siku ekstensi dan lengan bawah pronasi. Sirkulasi harus selalu dicek sebelum
dan selama melakukan tindakan reposisi. Penanganan fraktur suprakondilar
tergantung tipe dari fraktur tersebut.
Tipe I
Tanpa pergeseran, immobilisasi dengan posisi siku fleksi tidak lebih dari 90 0. Bila
terdapat pergeseran penanganannya dengan menggunakan back slap long arm
dengan posisi siku fleksi.
Fleksi dilakukan sampai 1200 sehingga lebih stabil dan juga pada posisi ini dapat
mengurangi resiko terjadinya trauma neurovaskular karena tindakan. Untuk reposisi
tertutup perlu relaksasi yang sempurna dan hanya bisa dicapai dengan anestesi
umum, operator menarik lengan bawah sedikit fleksi 300 dan supinasi.
Fleksi 300 tersebut untuk melindungi kerusakan pembuluh darah dan saraf akibat
tegangan karena tarikan. Operator melakukan koreksi posisi pada fragmen distal.
Bila berada di medial dilakukan dorongan ke lateral agar berada satu garis dengan
fragmen proksimal, demikian juga sebaliknya. Setelah itu kedua ibu jari operator
berada pada posisi posterior fragmen distal mendorong ke anterior disertai tekanan
jari jari lain yang berada di humerus proksimal ke dorsal, kemudian dilakukan
fleksi maksimum.
Tipe III :
1.reposisi
2.percutaneus pinning dengan fiksasi k-wire
3.reposisi terbuka
Reposisi terbuka atau operasi pada fraktur suprakondilar tipe ekstensi dilakukan
pada reposisi tertutup yang gagal, fraktur terbuka atau gangguan neurovaskuler.
Pada pembengkakan yang hebat akan terjadi hematom yang banyak di daerah
tersebut, maka perlu dikeluarkan sehingga penekanan terhadap neurovaskuler akan
berkurang. Kejelekan dilakukannya open reduksi antara lain terjadinya kekakuan
sendi, terjadinya myositis osifikan, iskhemik dan kerusakan pada tempat
pertumbuhan tulang dan adanya resiko infeksi.
Reposisi dikatakan berhasil bila baik secara klinis atau radiologis. Secara klinis
dikatakan baik bila :
1. sendi siku dapat fleksi maksimal, bila tidak bisa fleksi maskimal kemungkinan
sudut antara sumbu longitudinal humeri dengan kondilus belum tercapai atau
adanya interposisi jaringan lunak antara kedua fragmen.
2. setelah hiperfleksi secara hati hati, dilakukan ekstensi dan dibandingkan
dengan sisi yang sehat.
Tipe II :
Bila fraktur disertai angulasi dengan aligment yang masih bagus, lebih adekuat untuk
dilakukan tindakan minimal reposisi. Reposisi dilakukan dengan siku dalam keadaan
pronasi dan fleksi tidak lebih dari 1200,
Bila disertai rotasi dipilih percutaneus pinning. Percutaneus pinning yang digunakan
yaitu fiksasi dengan k-wire, dilakukan setelah kedudukan anatomis kedua fragmen
Komplikasi
Pada fraktur suprakondilar tipe ekstensi komplikasi yang paling sering terjadi
cedera pembuluh darah dan saraf.
1. Cedera pada arteri brakhialis, dimana hal ini akan menyebabkan terjadinya
volkmans iskemik. Kelainan ini akan menyebabkan nekrosis dari otot dan
saraf tanpa disertai ganggren perifer. Gejala dari volkmans iskemi adanya
pain, pallor, hilangnya pulsus, parestesi dan paralysis.
2. Cedera saraf yang paling sering terjadi adalah cedera pada nervus radialis,
nervus median dan nervus ulna.
3. Myositis osifikans, jarang terjadi dan biasanya terjadi karena
manipulasi yang berlebihan atau terjadi pada reposisi terbuka yang
terlambat dilakukan.
4. Malunion dapat merupakan komplikasi dari fraktur ini, biasanya
terjadi kubitus varus, disebabkan reposisi yang tidak adekuat.
4.
5.
Fraktur Olekranon
Tempat insersi otot Trisep brachii, sehingga bila terjadi fraktur akan terjadi
pergeseran ke proksimal.
Klasifikasi :
I. Tanpa pergeseran gips sirkuler
II. Dengan pergeseran Screw atau TBW
III. Kominutif Eksisi fragmen dan melekatkan kembali otrisep pada olekranon
1.
2.
3.
4.
5.
Kontraktur Volkman
Akibat m. Fleksor digitorum profundus mati diganti jaringan fibrous.
Jari-jari posisi fleksi CLAW HAND
Trauma Siku
---------------------------------------------
Collection 2002
RD
----------------------------------------------------------------------------------------
Fraktur Antebrachii
------------ RD Collection
2002
ANATOMI
Tulang radius dan ulna tidak saja sebagai penghubung lengan atas dan maupun
tangan tapi mempunyai fungsi pronasi dan supinasi dengan gerakan radius dan
ulna. Kedua tulang lengan bawah dihubungkan oleh sendi radioulna yang
diperkuat oleh ligamentum anulare yang melingkar kapitupulum radius dan di
distal oleh sendi radioulna yang diperkuat oleh ligamentum radiuulna yang
mengandung fibrokartilago triangularis. Membran interosea memperkuat
hubungan ini sehingga radius dan ulna merupakan satu kesatuan yang kuat. Oleh
karena itu, patah yang hanya mengenai satu tulang agak jarang terjadi atau bila
patahnya hanya mengenai satu tulang saja hampir selalu disertaii dislokasi sendi
radioulna yang dekat dengan patah tersebut.
Selain itu, radius dan ulna dihubungkan oleh otot antar tulang yaitu musculus
supinator, musculus pronator teres, musculus pronator kuadratus yang
membuat gerakan pronasi dan supinasi. Ketiga otot itu bersama dengan otot lain
yang berinsersi dengan radius dan ulna menyebabkan patah tulang lengan bawah
disertai dislokasi angulasi dan rotasi terutama radius.
Antebrachii terdiri atas dua buah tulang parallel yang berbeda panjang
bentuknya ; os radius dan os ulna. Disebelah proksimal membentuk tiga
persendian sedangkan sebelah distal dua persendian. Tulang radius, lebih pendek
daripada ulna, bentuk lebih melengkung dan bersendi dengan os ulna pada bagian
proksimal dan distal radio-ulnar joint yang bersifat rotator. Antara kedua
tulang ini juga dihubungkan oleh membran interroseus, suatu jaringan fibrous
yang berjalan abliq dari ulna ke radius. Membran ini berfungsi merotasikan tulang
radius terhadap os ulna, yang menghasilkan gerakan pada lengan bawah
Muskuli antebrachii dapat dikelompokan, muskuli kompartemen antrior dan
posterior. Kompartemen anterior di isi oleh muskuli fleksor sedangkan
kompartemen posterior di isi oleh muskuli ekstensor. Beberapa muskuli ada yang
berperan dominan dalam mempertahankan posisi dan gerakan sendi lengan bawah
dan tangan (elbow and wrist joint). Muskulus tersebut adalah :
NO
1
FUNSI
Fleksor elbow
MUSKULUS
m. brachialis, m. Biceps, m. Brachioradialis
2
3
4
5
6
Ekstensor elbow
Supinator elbow
Pronator elbow
Fleksor pergelangan
tangan
Ekstensor pergelangan
tangan
m. triceps, m. Anconeus
m. supinator, m. Biceps
m. pronator teres, m. Pronator guadratus
m. fleksor carpi radialis, m. Fleksor carpi
ulnaris
m. ekstensor carpi radialis longus dan brevis,
m. Ekstensor carpi ulnaris
Aliran darah regio antebrachii merupakan lanjutan dari a brachialis, yang bercabang
menjadi a radialis dan a ulnaris setinggi caput os radii. Sedangkan persyarafan
antebrachii berasal dari tiga nervus, n radialis, n ulnaris, n medianus.
Fraktur MONTEGGIA
Fraktur ULNA 1/3 proksimal / tengah dengan dislokasi kaput radii antrior / posterior
Pemeriksaan penting pada saraf radialis dan olekranon
Fraktur GALEAZZI
Fraktur RADIUS 1/3 distal / tengah disertai subluksasio sendi radiuulnaris.
Jenis fraktur ini biasanya tidak stabil artinya penangananya dilakukan operasi. Untuk
menjaga panjang antomi tulang radius.
Biasanya disebabkan karena trauma langsung, atau sebagai akibat jatuh dimana
sisi dorsal lengan bawah menyangga berat badan.
Secara ilmu gaya dapat diterangkan sebagai berikut :
Trauma langsung dimana lengan bawah dalam posisi supinasi penuh yang
terkunci dan berat badan waktu jatuh memutar pronasi pada bagian proximal
dengan tangan relatif terfixir pada tanah. Putaran tersebut merupakan kombinasi
tekanan yang kuat dan berat, akan memberikan mekanisme yang ideal dari
penyebab fraktur Smith.
Trauma lain diduga disebabkan karena tekanan yang mendadak pada dorsum
manus, dimana posisi tangan sedang mengepal. Ini biasanya didapatkan pada
penderita yang mengendarai sepeda yang mengalamii trauma langsung pada
dorsum manus.
Fraktur Colles
Fraktur Colles paling sering ditemukan pada orang dewasa usia lanjut, dengan
insidensi yang tinggi berhubungan dengan permulaan osteoporosis pasca
menopause,oleh sebab itu pasien biasanya wanita dengan riwayat jatuh dengan
tangan terentang. Burkhaeta (1985) mengatakan pada saat memikirkan fraktur pada
ekstremitas atas pada usia lanjut maka segera terpikirkan pertama kali adalah fraktur
Colles.
Patah tulang antebrachii sering terjadi pada bagian distal yang umumnya disebabkan
oleh gaya pematah langsung sewaktu jatuh dengan posisi tangan hiperekstensi. Hal
ini dapat diterangkan oleh karena adanya mekanisme refleks jatuh di mana lengan
menahan badan dengan posisi siku agak menekuk seperti gaya jatuhnya atlit atau
penerjun payung.
Fraktur Colles adalah fraktur pada tulang radius berjarak kurang atau sama
dengan 2,5 cm dari pergelangan tangan (Mc Rae, 1992), Apley dan Solomon,
1987.
Sheikh dan Murthy (2000), memberi batasan sebagai fraktur metafisis distal radius,
biasanya terjadi pada 3 4 cm dari facies artikularis dengan angulasi volar dari
apex fraktur (deformitas garpu perak), pergeseran ke dorsal dari fragmen distal
dengan diikuti pemendekan (shortening) radial. Keadaan ini dapat atau tidak
disertai fraktur styloideus ulnae. Variasi intraartikular dapat melibatkan facies
artikularis distal radius serta artikulatio radiocarpea dan radioulnaris.
Fraktur Colles diuraikan pertama kali oleh Abraham Colles tahun 1814 sebagai
fraktur dislokasi ujung distal radius berjarak satu setengah inci dari sendi, yang
ternyata terbukti kebenarannya dengan perkembangan radiolografi (Pool, 1973).
dorsal) dan depresi di depan. Pada pasien dengan sedikit deformitas mungkin hanya
terdapat nyeri tekan lokal dan nyeri bila pergelangan tangan digerakkan
Dari pemeriksaan radiologis posisi anteroposterior dan lateral dapat dijumpai suatu
fraktur transversal pada tulang radius kurang dari 2,5 cm dari pergelangan tangan,
dan sering disertai patahnya processus stiloideus ulnae.
Fragmen distal (1) bergeser dan miring ke dorsal (2) bergeser dan miring ke radial,
dan (3) terimpaksi. Kadang-kadang fragmen distal mengalami kerusakan dan
kominutif yang hebat.
Klasifikasi :
Gertland dan Werley cit Zabinski dan Weiland (1999), mula-mula membagi trauma
distal radius ke dalam fraktur ekstra artikular dan intraartikular. Kebanyakan
klasifikasi fraktur dibuat berdasarkan anatomii fraktur. Klasifikasi Frykman
didasarkan pada keterlibatan artikulatio radiokarpal dan atau radioulnar serta ada
tidaknya fraktur styloideus ulnae.
:
:
:
:
V
VI
:
:
VII
VIII
Uraian
Fraktur radius ekstra artikuler
Fraktur radius ekstra artikuler dengan fraktur ulna
Fraktur radius intra artikuler melibatkan sendi radiokarpal
Fraktur radius intra artikuler melibatkan sendi radiokarpal disertai
fraktur ulna distal.
Fraktur radius intra artikuler melibatkan sendi radioulnaris distal
Fraktur radius intra artikuler melibatkan sendi radioulnaris distal
disertai Fraktur ulna distal
Fraktur radius intra artikuler melibatkan sendi radiokarpal dan radio
ulnaris distal.
Fraktur sendi radiokarpal dan radioulnaris distal disertai fragmen
ulnaris
Deformitas
Tidak ada atau tidak bermakna. Angulasi dorsal < 0 atau shortening
< 3 mm
Ringan, Angulasi dorsal 1 10 dan / atau shortening 3 6 mm
III.
IV.
Penatalaksanaan
Konservatif :
o Mills (1957), telah menganjurkan cara manipulasi dari fraktur Smith dengan
mengembalikan arah persendian seperti semula. Mills dan Thomas menyarankan
cara mengunci fragmen pada tempatnya dengan posisii supinasi penuh.
Imobilisasi dengan sirkuler gips diatas siku selama 5 6 minggu.
o Plewer (1962), menganjurkan untuk mobilisasi setelah gips dibuka supaya cepat,
sebab kalau kurang aktif akan mengakibatkan pergerakan pronasi yang terbatas
dan terjadi kekakuan sendi tangan dan siku.
Fraktur SMITH
Fraktur Smith adalah fraktur dari radius bagian distal yang lokasinya - 1 inch
dari ujung distal radius dengan pergeseran fragmen distal ke depan (volar) dan ke
atas disertai pergeseran ulna bagian distallke belakang (dorsal).
Robert William Smith di Dublin (1847) mengatakan bahwa fraktur jenis ini jarang
terjadii dan merupakan lawan dari fraktur Colles. John Rhea Barton di Philadelpia
(1838), mengemukakan bahwa faktur Barton adalah: fraktur anterior dan posterior
dengan dislokasi pergelangan tangan. Fraktur Colles adalah fraktur posterior
dengan dislokasi pergelangan tangan. Dan fraktur anterior dengan dislokasi
pergelangan tangan inii disebut sebagai salah satu tipe dari fraktur Smith.
Thomas (1957), mencoba membagi fraktur Smith ini menjadi 3 tipe dan fraktur
barton jenis anterior dengan dislokasi pergelangan tangan salah satu tipe dari fraktur
Smith.
Operatif :
Cauchoix, Dupare dan Potel (1960), Menganjurkan pengobatan fraktur Smith
dengan fiksasi dalam (internal fixation) dengan memakai plat kecil berbentuk T
(Ellis plate) dimana dua sekrup dipasang pada fragmen proximal sedangkan
fragmen distall ditahan dengan kuat tanpa memakai sekrup.
tehnik operasi yang dianjurkan adalah sebagai berikut :
Incisi vertikal melalui sisi radial arah volar dari lengan bawah bagian distal
dan incisi diperdalam sampai m. pronator quadratus antara m. flexor carpi
radialis pada sisi lateral dan m. palmaris longus dan medianus pada sisi
medial.
M. flexor pollicis longus ditarik ke lateral dan tendon m. flexor digitorum
sublimis ke medial, dan m. pronator quadratus tampak pada sisi inferior dari
tulang radius bagian bawah.
Fraktur diperbaiki dengan plat kecil, menyudut untuk menyesuaikan dengan
permukaan dari tulang, lalu dipasang sekrup pada fragmen proximal 2 buah
dan pada fragmen yang distal plat tanpa sekrup berguna untuk menyangga
yang kuat dari fragmen yang telah dilakukan reposisi.
Akhir-akhir ini plat berbentuk T yang kecil telah tersedia, dimana pada
fragmen tulang yang proximal dengan 2 sekrup pada bagian vertikal.
Lalu luka operasi ditutup lapis demi lapis sampai kulit dan dipasang bebat
tekan.
Mobilisasi jari-jari dimulai sejak hari pertama dan pergerakan pergelangan
tangan, lengan bawah dimulai segera setelah bebab tekan dilepas.
Keuntungan :
Hasilnya cukup memuaskan.
Sesudah operasi pergerakan dapat dilakukan dengan segera tanpa terjadi
redisplacement dari fragmen yang mengalami fraktur.
Diantara ke 3 tipe dari fraktur Smith, tipe Barton adalah yang paling
memuaskan pada pengobatan dengan cara operasi ini, juga pada tipe yang
lain cukup memuaskan.
Komplikasi :
a. Kerusakan jaringan lunak :
Yang penting disini adalah kerusakan n. medianus karena tekanan dari fragmen
radius yang fraktur.
b. Malunion :
Karena reposisi dan immbolisasi yang kurang baik.
c. Non union :
d. Osteoarthritis
e. Gangguan pronasi d an supinasi
Fraktur radius distalis pada anak sering juga disebut juvenile colles fracture
Pembagian fraktur daerah ini sesuai dengan klasifikasi Salter-Harris
Type 1.
Type 2.
Type 3.
Type 4.
Type 5.
Diagnosis.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis pemeriksaan klinis dan radiologis
anterior posterior dan lateral.
Penanganannya
Klasifikasi
Klas A. Fraktur Olekranon
IA. Tranversal non-displace
IB. Kominutif non-displace
IIA.
IIB.
IIC.
IID.
Tranversal displace
Kominutif displace
Avulsi Displace
Olecranon+Separasi epifis
Pengelolaan
Fiksasi dengan long arm cast,
posisi elbow 50 - 90 dan
antebrachii posisi netral. Fiksasi
selama 6 8 minggu. Altyernatif
lain yaitu fiksasi dengan : posterior
long arm splint dengan sendi elbow
90.
Fiksasi interna (ORIF). Pengelolaan
awal sebelumnya dengan
pemasangan splint dengan posisi
fleksi 90
Fragmen kecil
Displace minimal
Displace
Displace dg posterior dislokasi
Klasifikasi
Klas A. Fraktur Radii
IA. Proksimal non Displace
IB. proksimal non displace
IC. 1/5 proksimal non-Displace
IIA. Midshaft non displace
IIB. Midshaft displace
IIIA. distal displace dan fraktur
Galeazzi
Pengelolaan
Fiksasi dengan long arm
cast/anteroposterior splint. Posisi
elbow 90 dan antebrachii supinasi.
Fiksasi interna
Masih kontroversi karena letaknya yang
sempit.
Fiksasi dengan long arm
cast/anteropasterior splint posisi elbow
90 dan antebrachii supinasi.
Fiksasi dengan long arm
cast/anteropsterior splint. Posisi elbow
EKSTREMITAS INFERIOR
--------------------------------------------- RD Collection 2002
---------------------------------------------------
Fraktur Pelvis
Cincin pelvis dibentuk oleh :
1. Os Ileumkanan kiri
2. Os Sacrum (belakang)
3. Os Pubis kanankiri
Fraktur pelvis ditimbulkan uleh trauma yang hebat kecuali pada wanita tua dengan
osteoporosis . Bila terjadi trauma daerah pelvis jangan lupa evaluasi vesika
urinaria, urethra, rektum , anus, pembuluh darah besar dan gangguan neurologis
(pleksus lumbalis, pleksus sacralis)
: Stabil
: Fraktur isolated tanpa fraktur cincin pelvis
: Fraktur cincin pelvis tanpa pergeseran
A1: Avulsion
fracture
B
B1
B2
B3
A2: Non-displaced
pelvic ring fracture
C2: Bilateral
hemipelvic
disruption
Management :
Evaluasi A, B, C
Syok akibat perdarahan , infus dan transfusi 4-6 U (24-36 jam pertama)
perdarahan tetap transfusi 10-12 U (24-36 jam pertama) perdarahan hebat
lakukan laparotomi dan repair pikirkan artrografi.
Konservatif Istirahat sampai nyeri hilang tipe A
Pelvik sling tipe B stage 2
Opewratif Hentikan perdarahan, Stabilkan fraktur tipe C, Cytostomi
Repair arteri
B1: Stage 1
Symphysis pubis
disruption less
than 2.5 cm
B1: Stage 2
Symphysis pubis
disruption more than
2.5 cm
B1: Stage 3
Symphysis pubis disruption
more than 2.5 cm with
bilateral posterior ring injury
Fraktur Astabulum
Klasifikasi Apley dan Solomon 1993 :
I.
Pilar anterior
II. Posterior
III. Transversal
IV. Komposit
B2: lateral compression injury (ipsilateral)
Dislokasi posterior sendi kokse ( dasboard Injury / Putri malu : terdiri dari
Fleksi, adduksi, internal rotasi dan Shortening
II
III
IV
Komplikasi ;
1.
2.
3.
Klasifikasi
I.
II. Diafise
III. Distal
e. Fraktur Supracondylar
f. Fraktur Intercondyler
Fraktur Femur
2002
Anatomi
------------------------------ RD Collection
Grade I
Grade II
Grade III
Grade IV
Evans Classification
1. Intrakapsuler
Pada fraktur ini akan merusak vaskularisasi dan akan terjadi non union.
Terapi
usia muda screw, nailing
Usia lanjut AMP, jika undisplaced dengan ORIF
2. Ekstrakapsuler
Pada frakur ini akan tidak merusak vaskularisasi sehingga nekrosis vaskuler
tidak terjadi. Sering pada wanita usia lanjut akibat osteoporosis
Terapi :
Usia muda screw and plate, angle palte, condyler plate
Usia lanjut ORIF, bila menolak skintraksi sampai nyeri hilang
Intertrochanteric Area
Subtrochanteric Area
Simple fracture
A1:spiral
A2: oblique
A3: transverse
Wedge fracture
B1:spiral
B2: bending
B3: fragmented
Complex fracture
C1:spiral
C2: segmental
:
:
:
:
C3: irregular
di kondilus femoris pada daerah posterior. Oleh sebab itu Smillie dan Crenshaw
menulis bahwa fraktur di daerah tersebut disebut fraktur Hoffa. Fraktur Hoffa terjadi
berdiri sendiri (isolated) pada sisi lateral (terbanyak) atau sisi medial bahkan dapat
terjadi pada kedua sisi (lateral dan medial).
Letenneur membuat klasifikasi fraktur Hoffa ini menjadi 3 tipe dan kemudian
dilakukan penelitian oleh lewis et. al pada mayat sebagai berikut :
Tipe I
Garis fraktur Intraartikular yang menjalar ke
daerah suprakondiler Femoris dan beberapa
jaringan lunak masih melekat pada fragmen distal
fraktur sehingga prognosis baik karena otot
popliteus dan gastroknemius masih melekat.
Tipe II
fraktur intraartikular komplit dan tidak ada
jaringan lunak yang melekat pada fragmen distal
sehingga dapat terjadi nekrosis avaskular.
Pada tipe ini di bagi lagi menjadi a, b dan c
Prognosis tipe II ini adalah jelek karena
perlengketan otot popliteus dan gastroknemius
sangat kurang bahkan tidak ada sama sekali
seperti tipe II c.
Tipe III
Garis fraktur sedikit ke anterior permukaan sendi
dan ke proksimo-posterior dari kondilus femoris
Jaringan lunak atau ligamentum masih melekat
pada fragmen distal sehingga prognosis tipe III
adalah baik karena garis fraktur berada di anterior
dari ligamentum krusiatum anterior maupun
ligamentum kolaterale fibulare dan ligamentum
tibiale.
Pemeriksaan radiografi dengan proyeksi AP (antero-posterior) dan lateral digunakan
sebagai baku emas untuk diagnosis fraktur Hoffa. Permasalahannya bila pada fraktur
tersebut tidak terjadi pergeseran fragmen (undisplaced) maka proyeksi AP dan
lateral pada pemeriksaan radiografi sulit dianalisis. Keadaan ini memerlukan
pemeriksaan tomografi atau CT- Scan bagian distal femoris .
Mekanisme trauma kebanyakan akibat kecelakaan lalu-lintas dari pengendara sepeda
motor dengan lutut membentur langsung atau akibat jatuh dari ketinggian dengan
lutut membentur benda keras.
Kondilus femoris yang terkena trauma tersebut dalam posisi lutut fleksi sehingga
tepi bawah permukaan sendi tersebut menjadi pecah. Kebanyakan kondilus sisi
lateral, tetapi bila trauma tersebut sangat keras maka kedua sisi lateral dan medial
kondilus dapat terjadi fraktur dan bahkan kulit dan jaringan lunak yang terkena
trauma dapat rusak dan sobek sehingga terjadi fraktur terbuka.
Pada fraktur Hoffa yang bergeser (displaced) dilakukan operasi dan fiksasi dalam
dengan menggunakan skru. Bila fiksasi cukup stabil maka latihan gerakan sendi
lutut dapat dilakukan lebih dini sehingga komplikasi kekakuan sendi lutut dapat
dicegah . Apabila stabilitas tidak tercapai maka perlu penambahan fiksasi luar yaitu
memakai gip atas lutut (above knee plester cast) dengan posisi lutut ekstensi
penuh
Fraktur Hoffa ini sangat jarang dan didalam literatur baru 27 kasus yang ditulis
dengan perincian 20 kasus oleh Letenneur et. al dan 7 kasus oleh Lewis et. al maka
dari itu, kami menulis satu kasus dengan diagnosis fraktur Hoffa tipe I sinister
terbuka tipe III B dengan dislokasi lateral patela sinister.
Schatzker Classification
Fraktur Tibia
---------------------------------
RD
Collection 2002
Anatomi
Type I :
A Split weight fracture of the lateral plateau
without any joint depression. There is a
high risk of ligamentous injury.
Type III:
A pure depression fracture. There is a
low risk of ligamentous injury
Type V:
A big condylar fracture.
Type II:
split depression fracture of the
lateral plateau.
Type IV:
A fracture of the medial plateau
Type VI :
Separation of the metaphysis from
the diaphysis
II
III
IV
VI
Bagian proximal tibia dengan korteks yang tipis mudah terkena cedera, terutama
pada orang dewasa berusia > 50 tahun dengan kondisi tulang yang osteoporotik.
Mekanisme trauma biasanya berupa trauma abduksi, atau pukulan langsung pada
bagian lateral tungkai dengan kaki terfiksasi pada permukaan tanah. Trauma
menekan lutut kearah valgus medial dan mendorong kondilus femur ke plateau tibia
lateralis. Tulang yang osteoporotik akan mengalami fraktur sebelum ligament
kolateral medial lutut robek. Permukaan sendi plateau tibia lateralis akan terdesak
ke kaudal dan lateral. Trauma membengkokkan, memuntir atau trauma sumbu pada
daerah plateau tibia dapat juga menimbulkan berbagai fraktur plateau tibia, seperti
fraktur sendi sentral terdepresi. Lebih sering trauma menimbulkan kominutif, yang
meluas ke korteks metaphysis tibia. Satu atau kedua condylus bila terlibat disertai
hilangnya keharmonisan permukaan sendi tibia proximal.
Setiap fraktur plateau tibia harus memeriksa stabilitas ligament lutut dalam
posisi ekstensi penuh dan fleksi 15 o-30o, sebab trauma didaerah tersebut
kemungkinan besar dapat mengakibatkan instabilitas sendi. Tujuan tindakan terapi
pada fraktur plateau tibia adalah mencapai gerakan penuh, aligmen dan stabilitas
sendi.
Secara klinik ditemukan nyeri lutut dank arena fraktur terjadi intraartikular
didapatkan hemartrosis. Hemartrosis yang besar, tegang, dan nyeri harus diaspirasi
dalam kondisi aseptik.
Semua fraktur yang tak ada pergeseran atau pergeseran kecil, diterapi secara
konservatif seperti imobilisasi dengan gip yang disebut Long leg plester cast.
Pada perpindahan fragmen atau fraktur kominutif permukaan sendi tibia dapat
dipikirkan penggunaan traksi. Pergeseran yang hebat pada setiap permukaan sendi
adalah indikasi untuk dilakukan operasi dan fiksasi interna.
Bila depresi fragmen fraktur <5 mm dan sendi lutut stabil dilakukan terapi
konservatif seperti diatas, tetapi bila depresi >5 mm atau bila kominutif
menyebabkan pergeseran angularis pada condylus, maka terapi operatif diperlukan,
yaitu mengangkat fragmen tersebut sehingga sejajar dengan permukaan sendi
kemudian diikuti peletakan graft dan fiksasi interna.
Setiap fraktur pada daerah ini harus diperiksa :
1. NVD pada distal lutut
2. Stabilitas ligament.
Jika terjadi Hemarthrosis disertai nyeri Aspirasi
Terapi :
lebih cepat, sedikit terjadi mal union, dan segera dapat kembali bekerja. Bone et al
(1997), juga menyebutkan hasil penanganan dengan operasi lebih baik dibanding
dengan pemakaian gips. Bonnier cit McCormack, 2000, menyebutkan keberhasilan
penyembuhan dengan imobilisasi gips pada kasus fraktur tibia distal lebih rendah
dan lebih lama dibandingkan dengan operasi . McCormack (2000), menyebutkan
bahwa sebagian besar kasus fraktur tibia distal disertai dengan pergeseran
persendian, maka pilihan penanganan rekonstruksi yang paling baik adalah dengan
operasi.
Namun sebelumnya perlu juga dipertimbangkan kondisi penderita dan kondisi
jaringan lunak akibat trauma, untuk menentukan pilihan tindakan yang akan
dilakukan. Bila fraktur dapat difiksasi interna, reduksi terbuka dengan plates dan
screws serta fiksasi internal fibula bila perlu, dengan atau tanpa bone grafting,
sebaiknya dicoba. Bila fraktur sangat kominutif sehingga fiksasi interna tak dapat
dilakukan, dapat dicoba reduksi indirek dengan ligamentotaxis: reduksi terbuka dan
fiksasi internal fraktur fibula untuk memperbaiki panjangnya, serta reduksi tertutup
dan fiksasi eksternal tibia dengan tibiocalcaneal frame. Ini dapat mengembalikan
kontur normal dan aligmen distal cruris, dan mempermudah fusi tibiotalar. Fraktur
ini biasanya disertai dengan kerusakan jaringan lunak. Pembengkakan dapat terjadi
dan biasanya dilakukan prolonged leg elevation, terutama untuk mencegah surgical
wound problems setelah reduksi terbuka. Penyembuhannya lambat dan weight
bearing sebaiknya dimulai bila hasil pemeriksaan radiologik menunjukkan adanya
pemulihan tulang.
Kemudian Muller cit. Annis, (2003) mengusulkan klasifikasi yang lebih mendetail,
sehingga disebut sebagai AO Muller Classification. Pembagiannya dibagi menjadi 3
Type I:
Undisplaced
Fracture
Tipe I
: fraktur persendian tanpa pergeseran yang
jelas atau minimal
Tipe II
: fraktur disertai pergeseran sendi dan
kominutif minimal
Tipe III
: fraktur disertai pergeseran dan kominutif
berat pada persendian
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pasien dengan fraktur tibia dan fibula memerlukan pengetahuan
tentang anatomi topografik, vaskularisasi dan neural ekstremitas inferior. Pada
cidera cruris, memposisikan cruris secara anatomic dapat memperlancar aliran
darah.
Semua punctum dan laserasi pada integumentum harus dipikirkan sebagai fraktur
terbuka sampai terbukti atau diruang operasi, dimana irigasi dan debridemen luka
terbuka diperlukan. Capilary refill, toe pulp turgor dan suhu harus diperiksa, serta
pulsasi a. tibialis posterior dan dorsalis pedis. Bila pulsasi tak teraba karena syok
atau vasokonstriksi, dapat menggunakan pemeriksaan dopler. Cidera vascular
biasanya terjadi diatas trifurcation a. poplitea, sehingga bila terjadi fraktur dilokasi
ini maka perlu dicurigai terjadi cidera vascular.
Bila capillary refill lambat atau dicurigai terjadi kerusakan vascular, arteriografi
dapat dipertimbangkan, terutama pada kasus fraktur dislokasi sendi lutut.
Palpasi sepanjang tulang tibia dapat menunjukkan adanya pembengkakan yang
menggambarkan pergeseran fraktur minimal. Pemeriksaan sendi lutut dan
pergelangan kaki untuk menyingkirkan adanya cidera ligamentum, seperti pada
fraktur plateau tibia yang dapat menyebabkan kerusakan ligament collateral medial.
Adanya angulasi varus atau valgus lutu dapat dicurigai terjadi fraktur plateau tibia
atau fraktur femur distal.
Pemeriksaan sensorik perlu dilakukan. Pada fraktur fibula proximal dapat
menyebabkan kerusakan n. peroneal, disertai gangguan sensorik dan motorik.
Disfungsi n. tibialis anterior dan n. peroneus profunda mengindikasikan adanya
sindrom kompartemen, hilangnya sensibilitas terhadap sentuhan ringan pada plantar
pedis menunjukkan adanya kompresi n. tibialis posterior.
Sindrom kompartemen merupakan peningkatan tekanan jaringan dalam
kompartemen fascia tertutup, hal ini dapat terjadi pada fraktur tibia terbuka maupun
tertutup. Bila tekanan intrakompartemen melebihi tekanan kapiler, maka akan
mengganggu perfusi jaringan sehingga terjadi anoksia dan nekrosis jaringan dalam
kompartemen.2 Tanda dan gejalanya yaitu nyeri pada keadaan istirahat, parestesia,
pucat, paresis, paralysis, denyut nadi hilang, gangguan diskriminasi dua titik.
Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan radiologik tibia dan fibula anteroposterior dan lateral. Sebaiknya
memvisualisasi sendi lutut dan pergelangan kaki (ankle joint) untuk mencegah
fraktur misdiagnosis fraktur intraartikularis.
Pada cidera high-energy foto ipsilateral femur dan pelvis diperlukan untuk
menyingkirkan adanya floating knee atau trauma pelvis. Empat puluh lima derajat
obliq radiograf dapat membantu evaluasi plateau tibia. Tomografi dapat membantu
pada fraktur plateau tibia dan plafond untuk mengetahui luas kompresi sendi. CTscan terbukti berguna dalam merencanakan operasi reduksi dan fiksasi interna fraktur
komlpeks.
Komplikasi
Penatalaksanaan
Penanganan fraktur tibia distal umumnya dilakukan dengan dua cara yaitu
pemakaian gips dan operatif (Karunakar M.A, 2004).
1. Indikasi penanganan pemakaian gips
Trauma berenergi rendah
Cidera jaringan lunak minimal (Tscherne & Gotzen 0, 1)
Tipe fraktur stabil
2. Indikasi penangan operatif( Karunakar M.A, 2004)
Trauma berenergi tinggi
Cidera jaringan lunak moderat hingga berat
Tipe fraktur tidak stabil
Penilaian Keberhasilan Penanganan klasiflkasi menurut Edward,
Baik
Sedang
Jelek
Nyeri
Sedikit /tidak ada Ringan
Berat
Kemampuan bekerja Normal
Sulit / tidak mampu Hanya bekerja di
untuk bekerja berat tempat duduk
Pincang
Aktivitas olah raga
Pergerakan lutut
Tidak ada
Ringan / setelah
latihan berat
Normal
Kemampuan
menurun
Stabil,
ekstensi Stabil,
ekstensi
penuh, fleksi < 20 penuh
Dorsoflexi >90
plantarfleksi < 30 0
Penurunan sedang
Hanya
berjalan
pendek
Ekstensi
penuh
berkurang, fleksi <
90 0
Dorsofleksi < 90 0
plantarfleksi > 30 0
Penurunan berat
Ringan
Menetap
Pergerakan ankle
Dorsiflaxi <10
plantarflexi < 20 0
Pergerakan kaki
Pro dan supinasi
menurun < 25%
Bengkak pada tungkai Ringan,
hanya
bawah
setelah latihan
Menetap
Ligamen Medial
Terjadi sewaktu tibia mengalami abduksi pada femur disertai trauma rotasi.
TRIAS O Donoghue :
a. Lesi ligamen kolateral medial tibia Stress tes 9lutut fleksi 30, ekstensi
penuh
b. Krusiatum anterior berjalan seakan mau jatuh (giving way)
c. Meniskus medial
Sering disebut sebagai Fraktur POTT. Talus dilindungi oleh maleolus lateral dan
medial yang diikat oleh ligamen.
Klasifikasi Danis dan Weber (1991) berdasar lokasi fraktur terhadap sindesmosis
tibiofibuler :
A. Fraktur Maleolus dibawah sindesmosis
B. Fraktur maleolus lateral, avulsi maleolus medial disertai robekan ligamen
tibiofibular ke depan
C. Fraktur Fibula diatas sindesmosis, avulsi tbia disertai robekan maleolus medialis
dikenal Fraktur Dupuytren.
3. Ligamen Krusiatum
Terapi :
Konservatif non displaced, gips sirkuler bawah lutut
Operatif adanya robekan ligamen dan dislokasi talus