Anda di halaman 1dari 6

dr.

Seno Ari | Boalemo - Gorontalo | 2015-2016

Internship, fragmen 1: Plesirs Boalemo


Sudah saatnya berbenah. Sudah satu tahun saya baktikan diri saya di sini, di ufuk utara terjauh
yang pernah saya singgahi: Boalemo. Alhamdulillah saya ga sendiri, saya ditemani empat
pejantan (!?) satu almamater dari FKUI – Danang, Ayu (setelah dicék, yang ini betina), Nia
(setelah double-check, yang ini juga betina), dan Ebo; empat dari Trisakti – Boby, Musa, Habib
dan Maryam; satu dari UMJ – Dara; satu dari Ukrida – Purna; satu dari UGM – Monika; satu dari
Atmajaya – Eveline; sejoli dari Jogja – Bimo dan Aneth; serta lima dari UNSRAT – Gops, Sukma,
Hendra, Ivone dan Cita. Kami berduapuluh disuratkan oleh KIDI Pusat untuk mengabdi sebagai
dokter internsip di Boalemo, selama 8 bulan di RSUD Tani & Nelayan dan 4 bulan di PKM
Paguyaman.
Sambil berbenah, bersiap pulang, saya akan membagi perjalanan saya selama setahun di
Boalemo lewat tulisan ini. Biar saya bagi cerita saya menjadi tiga fragmen: Plesirs Boalemo,
Molombulahé dan Dokter Internsip.
Oiya, sebelumnya biar saya beberkan dulu perihal matré yang saya dapat sebagai dokter
internsip di Boalemo. Kekhawatiran akan hidup nelangsa di sini ada baiknya dibuang jauh saja.
Selain mendapat BHD per bulan dari pusat, dokter internsip juga mendapat insentif per bulan
sejuta dan jasa medis yang nominalnya alhamdulillah. Perlu disyukuri juga bahwa pihak RS bisa
dibilang memanjakan dokter internsip. Saya dan teman-teman diberi rumah dinas, mobil dinas,
motor dinas dan makan gratis 3x sehari selama setahun di kantin tanté Linda. Bagi saya pribadi,
sama sekali tiada kesan negatif yang membekas selama saya bekerja di RS, dimanja terus uwty,
ehehe. Cukup yah, saya awali dengan fragmen pertama perjalanan saya: Plesirs Boalemo.
Sebagai pendatang di kota yang baru, menjelajah atas nama eksplorasi menjadi agenda wajib
yang harus dijalani. Bisa dibilang bulan-bulan awal di Boalemo (bahkan sampai penghujung
waktu akan dipulangkan) saya dan teman-teman ada di fase honeymoon, inginnya senang-
senang terus. Saya yang bakatnya anak rumahan, jadilah ngikut pelesir ke pelbagai tempat, dan
bukan hanya Boalemo, dijamah juga tempat-tempat di kota dan provinsi sebelah, bahkan ada
yang sampai menjajal 12 jam perjalanan darat ke Palu, 12 jam perjalanan laut ke Pulau Togean,
semuanya atas nama vakansi dan hidup yang hanya sekali. Ini nih beberapa destinasi vakansi
yang saya kunjungi selama setahun.

Pantai Bolihutuo, Boalemo


Pantai Bolihutuo. Pantai ini pantai kebanggan Boalemo, saya sempat lihat di Gorontalo TV ada
music video-nya, ehehe. Tempatnya mudah dijangkau, sekitar 45 menit dari RS. Sarana rekreasi
di pantai ini ada waterboom, cuma sayang ga terawat dengan baik waterboom-nya, ada juga
banana boat dan jet ski. Pemandangan pantainya ga terlalu membuat takjub, tapi pantai ini
sering jadi pusat event penting, ulang tahun Boalemo dan pembukaan Festival Boalemo 2015
(rangkaian Sail Tomini 2015) kemarin dihelat di sini. Sekali lagi, pantai ini pantai kebanggan
Boalemo.
Taman Laut Olele, Gorontalo
Taman Laut Olele. Nah, kalau ini lokasinya cukup jauh. Harus mampir dulu ke kota sebelah,
Gorontalo. Dari Gorontalo, sekitar 90 menit. Pernah dengar kalimat Gorontalo the hidden
paradise? Inilah wajah konkrit dari the hidden paradise. Lokasinya benar-benar “hidden”, jauh
dari pikuknya kota, menembus jalan hutan dan desa mungil. Terlebih lagi, karena hidden-nya,
belum banyak turis domestik singgah di sini, sehingga lautnya belum cemar dan terkesan
private. Di desa mungil ini, saya dan teman-teman menyewa alat snorkel dan perahu dengan
underwater glass, dibawa ke pusat laut dan diajak tur bahari ke tiga spot terumbu karang. Di
masing-masing spot itu kami disilakan snorkeling. Percaya sama saya, begitu nyemplung, kamu
nyemplung ke surga bahari paling biru se-Gorontalo. “Paradise”, men.

Pulau Saronde, Gorontalo


Pulau Saronde. Jujur, pulau ini punya pantai paling gorjeus se-Gorontalo. Pulau Saronde ini
lokasinya ada di Gorontalo Utara, lumayan jauh. Dari RS, tempuh jalan darat sekitar 120 menit
ke Pelabuhan Kwandang. Dari pelabuhan, kita melaju di atas perahu katinting selama 30 menit
sebelum mencapai Pulau Saronde. Sebelum telapak menjejak pasir putih, di atas perahu
katinting kami sudah disuguhi cantiknya gradasi biru yang perlahan membening mendekati
pantai. Rekreasi yang kami nikmati selain pemandangan, ada banana boat, cottage di tengah
laut, seafood, karaoke malam dan jelajah keliling pulau. Selama 2 hari di pulau, kami tinggal di
rumah kayu dua lantai, AC tidak ada, listrik terbatas sampai jam 5 sore, air harus menimba
sumur. Biarlah, nelangsanya tuntas terbayar oleh suguhan pesona pantai yang membuat takjub
sanubari *amazed*.

Taman Laut Bunaken, Manado


Manado. Sejawat internsip saya ada 5 orang dari Manado, rasanya ga khatam internsip-nya kalo
belum singgah di kota mereka. Saya yang hidup di kabupaten, rasanya kangen juga sama
suasana kota, apalagi junk food-nya. Saya ke Manado 2x, sekali jalan-jalan saja sama Danang,
Ayu dan Nia, kedua kali serombongan dokter internsip menghadiri pernikahan Gops. Kali
pertama agenda utamanya menemani Danang dan Nia mengambil lisensi diving dari PADI, saya
dan Ayu cuma ngikut saja sambil jadi anak mall Manado. Selain jadi anak mall, di Manado kami
juga diajak (dan ditraktir) Gops di restoran paling hits, Wisata Bahari Seafood Restaurant.
Restoran ini konsepnya restoran di atas laut, jadi sembari menikmati seafood, kami juga
menikmati nuansa laut yang pernah jadi tempat hidup seafood-seafood yang sedang kami
makan #apasih. Anyway, di restoran ini salad Goropa-nya enak pisan #euy.
OK, selesai jadi anak mall, saya dan Ayu menemani Danang dan Nia ujian diving di Taman Laut
Bunaken. Bunaken ini salah satu nirwana bahari yang namanya sudah mendunia, terutama bagi
yang suka diving. Bagi saya dan Ayu yang hanya bisa snorkeling, keindahan baharinya muskil
kami apresiasi, karena lautnya sudah cemar dan biota-biotanya pun (terutama penyu) lebih bisa
diapresiasi secara utuh dengan ber-diving.
Danau Linow, Tomohon
Kali kedua saya ke Manado, agendanya menghadiri pernikahan Gops. Usai acara, kami semua
dokter internsip jalan-jalan dong pastinya. Kali ini ga cuma di Manado, tapi di kota sebelah juga,
Tomohon. Menurut hemat pribadi, Tomohon ini bisa dibilang Puncak-nya atau Lembang-nya
Manado. Dua destinasi wisata yang kami kunjungi: Gardenia Country Inn, sang surga bunga dan
Danau Linow, si danau tiga warna.
Torosiaje, Pohuwato
Torosiaje. Torosiaje ini adalah destinasi wisata yang beda dari yang lainnya, bisa dibilang ekletik
dan unik. Dari RS, tempuh jalan darat 3 jam hingga mencapai Popayato, perbatasan Gorontalo
dengan Sulawesi Tengah. Selanjutnya tempuh jalan laut 10 menit dengan leppa (perahu)
menuju Torosiaje. Torosiaje adalah sebuah perkampungan yang terhampar di tengah laut,
luasnya seluas kelurahan Paseban, mungkin lebih luas. Nah, coba itu Paseban taro di atas laut.
Masjid, sekolah, Puskesmas, alun-alun, semuanya di atas laut, seperti itulah Torosiaje. Siapa
pula yang hidup di sana? Suku Bajo, alias suku pengembara laut. Di Torosiaje, masing-masing
penduduknya punya leppa, semacam perahu kayu untuk transportasi. Silaturahmi dapat
ditempuh dengan menyusur laut di bawah rumah-rumah, atau berjalan di atas lorong-lorong
kayu. Torosiaje bisa dibilang destinasi wisata budaya yang paling berkesan bagi saya. Di
Torosiaje, saya ga hanya menikmati suguhan ilahi, tapi saya juga sekalian studi antropologi
#sokiyeh.

Pulau Cinta, Boalemo


Pulau Cinta. Dan, inilah destinasi vakansi paling akhir yang saya singgahi. Awal saya di Boalemo,
pulau ini masih dalam tahap pembangunan. Beruntung, sebelum saya benar-benar pulang,
Pulau Cinta syudah bisa dinikmati. Lokasinya dekat, lebih dekat dari Pantai Bolihutuo. Dari RS,
sekitar 30 menit ke Botumoito, lalu 10 menit naik perahu ke Pulau Cinta. Konsep pulau ini ialah
pulau cantik berbentuk hati yang dikelilingi sejumlah cottage. Pas sekali bagi pasutri yang ingin
honeymoon. Sayang, tarif cottage-nya 3 juta/malam, saya dan teman-teman yang jelata ini
tentu saja ga mampu menginap di Pulau Cinta, jadilah kami hanya singgah sekejap saja.
OK, sekian tempat-tempat yang saya kunjungi sebagai dokter internsip di Boalemo selama
setahun ini. Sebenarnya masih banyak destinasi vakansi yang belum saya jelajahi di Boalemo,
seperti Pulau Kambing, Pulau Bitila, Paguyaman Pantai, etc. Vakansi bukanlah entrée course,
tapi ia semestinya hadir sebagai appetizer dan dessert dalam dalam sebuah perjalanan
internsip, biar internsip yang cuma setahun ini bisa diawali dan diakhiri dengan ingatan yang
manis.
Fragmen kedua yang saya bagi bertajuk Molombulahé, nama sebuah desa di Paguyaman.
Sambil bersiap pulang, sini saya beritahu tentang Molombulahé dengan segala gading, dan
retaknya.

https://noirsea.wordpress.com/2016/02/07/internship-fragmen-1-plesirs-boalemo/
Internship, fragmen 2: Molombulahé
Molombulahé adalah nama desa tempat saya tinggal selama 4 bulan bekerja di PKM
Paguyaman. Saya beri tajuk tulisan ini Molombulahé sebagai apresiasi pada Kecamatan
Paguyaman yang nama desa-desanya sungguh fancy dan bikin iri. Beberapa contoh nama
desanya semisal Girisa, Hulawa, Paris, Kualalumpur, Tenilo, Karya Murni, etc. Ga tau sih, tapi
bagi saya nama-namanya terdengar ényak aja gitu di telinga.
Di PKM ini saya tinggal cuma bertiga sama Boby dan Purna di rumah dinas lelaki.. Oiya, di PKM,
dokter internsip diberi dua rumah dinas, satu untuk dokter internsip lelaki dan satu lagi untuk
yang perempuan. Lokasinya sangat strategis, dekat dengan PKM, dekat dengan masjid, dekat
juga dengan kantin Oma Nety. Syukurlah, terutama karena saya menjalani bulan Ramadhan di
sini, jadi lokasi kantin dan masjid sangat krusial untuk bertahan hidup. Beruntung juga, Purna
dan yang perempuan pada jago masak, jadi saya tinggal makan dan cuci piring sahaja.😛
Sebelum saya bercerita tentang kegiatan saya sebagai dokter internsip Puskesmas, saya akan
bercerita tentang trivia-trivia kehidupan di Paguyaman. Trivia kehidupan pertama yang saya
angkat, tentang bahasa. Dari sekian banyak bahasa baru yang saya pelajari di Paguyaman, ada
tiga kata yang paling “menarik”: bagaté, bahugél dan bakarlota. Saya anggap “menarik” karena
tiap kata mengandung cerita yang terasa dekat dengan pengalaman hidup kami di sini. Tanpa
ada pretensi menyinggung sesiapa, saya bahas artinya ya. Bagaté, artinya minum minuman
beralkohol alias kobam. Sekelumit tenaga kesehatan di sini memiliki hobi bagaté, tapi
alhamdulillah tidak ada yang sampai hati mengajak minum manusia-manusia yang belum
pernah nyoba seperti saya. Saran saya sebagai dokter, jauhi atau kurang-kurangilah jo bagaté,
ga baik bagi kesehatan fisik. Bakarlota, artinya bergosip ria. Entah ghibah atau memuji, semua
aktivitas ngomongin orang tergolong pada bakarlota. Saran saya sebagai dokter, jauhi atau
kurang-kurangilah jo bakarlota, ga baik bagi kesehatan mental. Yang terakhir adalah bahugél,
artinya berhubungan gelap alias selingkuh. Teman saya, Ebo dan Habib, pernah terlibat dalam
live-action drama bertema bahugél di Paguyaman, mereka berperan sebagai pemeran
pembantu. Teman saya yang lain ada juga yang berperan sebagai pemeran utamanya #eh.
OK, selain bahasa, trivia kehidupan lain yang saya temui di Paguyaman bersentuhan secara
personal dengan teman-teman saya, khususnya Ivone dan Dara. Disadari atau tidak,
Paguyaman adalah tempat janji-janji diingkari dan ditemali, tempat hati perempuan dikhianati
atau dipulihkan lagi, serta tempat wanita-wanita menjelma jadi bakal ibunda.
“Internsip bisa menjadi ajang bertemu jodoh…” adalah obrolan selewat yang dialami dan
dihidupi oleh teman saya, Ivone. Alhamdulillah Ivone sekarang sudah menikah, mendapat jodoh
ketika grup kami sedang di Paguyaman. Rencananya Ivone juga ingin mengabdi lebih lama
sebagai dokter PTT, katanya ngikut suami dan berkeluarga di sini. Teman saya yang lain, Dara,
menghidupi larik terakhir serangkai kalimat: menjelma jadi bakal ibunda, alias hamil. Ketika
grup kami sedang di Paguyaman, Dara sempat vakansi menuju Bali bersama suami. Pulang-
pulang, selain bawa oleh-oleh sekarung, Dara juga alhamdulillah melendung. Sekarang Dara
sudah hamil trimester akhir, beberapa bulan lagi insya Allah jadi mommy. Kabar baik datang lagi
dari Ivone, sekarang Ivone sedang hamil 5 bulan. Spesial bagi kedua bakal ibunda, kita sama-
sama do’akan supaya lancar ya kehamilan dan persalinannya.😛
Baiklah, sekarang saya mulai bercerita tentang kegiatan saya dan teman-teman sebagai dokter
internsip Puskesmas. Sebagai dokter internsip Puskesmas, kami memiliki wilayah kerja
mencakup 11 desa. Kerja kami selain jaga Poli Umum dan IGD Puskesmas, tentunya turun ke
lapangan. Fokus kerja kami selama 4 bulan di Puskesman ini adalah menyelesaikan mini-
project, kebetulan temanya tentang Keluarga Sadar Gizi (KADARZI). Skrining dan penyuluhan
tentang lima poin KADARZI kami jalankan ke 11 desa, biasanya kami ditemani kak Willy dan ‘Ain
menjamah pelosok-pelosok desa di Paguyaman.
Masing-masing dari kami pernah memberi penyuluhan pada warga Paguyaman. Namun
percayalah, sebagian besar warga sama sekali tidak mengerti apa yang kami jelaskan *sad*,
entah bahasa kami terlalu baku dan kaku atau bagaimana. Alhasil, kak Willy atau ‘Ain harus
menjelaskan ulang apa yang baru saja kami jelaskan. Padahal kadang ‘Ain menjelaskan pun
dengan bahasa Indonesia persis seperti yang kami lakukan, tapi dengan aksen dan logat
Gorontalo, hasilnya… para warga manggut-manggut mengerti *frowned*. Ibarat lagu, kalo kata
Sting mah, “…I’m an Englishman in New York.”
Kembali lagi ke wilayah kerja kami sebagai dokter internsip Puskesmas. Berdasar hemat pribadi,
ada tiga desa yang membekas di ingatan saya, Hulawa, Balaté dan Girisa.
Desa Hulawa, Paguyaman
Desa Hulawa. Desa ini berkesan karena mini-project kami berfokus di desa ini. Detail mini-
project kami berawal dari ide Boby, yaitu Buku Saku Dasawisma KADARZI, jadi kami
membuatkan buku saku bagi ibu-ibu Dasawisma. Siapakah ibu-ibu Dasawisma? Ialah ibu-ibu
rumah tangga yang bisa dibilang “anak buah” kader kesehatan desa. Ibu-ibu ini bertanggung
jawab mengetahui terpenuhi atau tidaknya lima poin KADARZI pada 10 keluarga. Buku saku ini
isinya apa? Isinya lima poin KADARZI secara esensial dan checklist untuk membantu ibu-ibu
Dasawisma mengetahui lima poin KADARZI terpenuhi atau tidak pada masing-masing keluarga.
Kenapa kami pilih Desa Hulawa? Simpelnya, ibu-ibu Dasawisma-nya paling proaktif.
Alhamdulillah mini-project kami berjalan lancar tanpa halang rintang dan tuntas tepat waktu.
Desa Balaté. Kemarin lusa saya menonton teman satu almamater saya, Maela yang sedang
internsip di Sukabumi dan Setyo yang sedang internsip di Cianjur, di TVRI program “Mendengar
Tanpa Stetoskop”. Jalan yang mereka lintasi untuk melakukan home visit sebagai dokter
internsip Puskesmas sangat sulit. Tetiba saya teringat, satu-satunya jalan terjal yang pernah
saya lalui di Paguyaman adalah jalan menuju Desa Balaté. Jalannya terjal secara literal, lubang
jalan bertebaran, jalan berpasir, beberapa jalan ada yang belum beraspal, banyak anjing-anjing
liar, ada sebuah bukit yang mesti dilewati bernama Bukit Penyesalan (entah kenapa diberi nama
demikian), sensasi mendaki gunung-lewati lembah sudah pasti didapat di sini. Ga jarang seusai
melintasi terjal jalan dan penyuluhan, kami diberi jamuan makanan oleh warga, juga es kelapa
muda hasil petik dan tebas sendiri. Ibarat lagu, kalo kata Chet Baker mah, “…look for the silver
lining.”
Desa Girisa, Paguyaman
Desa Girisa. Nah, inilah desa paling cozy dan bikin iri di Paguyaman. Dari Puskesmas, tempuh
jalan darat 40 menit ke kabupaten sebelah, Kabupaten Gorontalo, dilanjutkan tempuh jalan laut
10 menit dengan perahu katinting. Walau ada jalan darat yang lebih dekat, kami lebih pilih laut,
tepatnya bukan laut sih, muara mungkin yah, soalnya semacam tempat bertaut sungai dan laut.
Saat itu ombak sedang kencang-kencangnya, jadi kami hanya menyebrang sebentar lalu jalan
kaki ke Desa Girisa, tidak mengitari laut biar sampai langsung di Desa Girisa sebagaimana
mestinya. Selain perjalanannya, di sebelah desa juga ada pantai yang banyak nyiurnya. Seusai
penyuluhan, makan siang, kami sempatkan singgah di pantai berlimpah nyiur tersebut,
namanya Pantai Taula’a.
Di penutup fragmen pertama, saya bilang saya akan beritahu tentang Molombulahé dengan
segala gading, dan retaknya. Tak ada gading yang tak retak. Ada dua retakan major yang saya
rasa selama hidup di Paguyaman: konflik dengan pembimbing internsip dan mati listrik. Soal
konflik dengan pembimbing, saya tidak terlibat secara langsung, juga tidak perlu saya beberkan
detailnya, biar saja lebur sebagai dosa yang diampu masing-masing. Pesan dari senior dan
teman-teman saya yang terlibat konflik secara langsung: pintar-pintarlah melawan tanpa
menyakiti dan bersikaplah secara profesional, jangan jadikan teladan jenis manusia yang setiap
hari mengeluh serta melimpahkan beban tanggung jawab yang semestinya ia penuhi sendiri.
Ehm, OK lanjut, retakan major yang paling bikin saya gemesss justru adalah mati listrik. Saya ini
anak rumahan, di Paguyaman kalo ga ba’uni film di laptop, ya main Batman: Arkham Knight di
PS4-nya Purna. PS4 dan laptop, keduanya butuh listrik, ya kalo mati listrik, ya saya mati gaya, ya
langsung saja lara dan nelangsa menyapa. Astagfirullah sekali, soalnya di Paguyaman mati listrik
udah kaya minum obat men, 3x sehari #sampah. Alhamdulillah saya ga lama-lama di
Paguyaman, selain cuma 4 bulan, saya juga dapat jatah pulang lebaran beberapa minggu.
Alhamdulillah juga, sebelum saya pindah dari Paguyaman saya berhasil menyelesaikan Batman:
Arkham Knight 100% (hell yeah!) #prestasi, trims to Purna dan PS4-nya, ada juga sebentuk
bahagia yang saya rasa di sini *tears*.😛
Well, singgah sekejap atau hendak menetap, sebesar apa pun ia retak, setiap tempat yang
akhirnya kita tinggalkan pasti juga meninggalkan secuil nostalgia. Riang dan nelangsa yang saya
rasa di Paguyaman: yang riang biar jadi cerita jenaka yang layak dituturkan ke mana-mana, yang
nelangsa biar saja saya simpan di suaka hati yang terluka.
Sudah setengah jalan saya menulis cerita tentang internsip ini. Fragmen ketiga, yang terakhir,
adalah tentang kegiatan saya sebagai seorang dokter internsip di RSUD Tani & Nelayan. Di sini,
saya berlatih dan dilatih menjadi dokter sebenarnya, sebagai dokter jaga bangsal dan dokter
jaga IGD. Fragmen ini adalah bagian paling mengasyikkan, sekaligus traumatis sepanjang satu
tahun saya menjadi dokter internsip.

https://noirsea.wordpress.com/2016/02/07/internship-fragmen-2-molombulahe/

Anda mungkin juga menyukai