https://noirsea.wordpress.com/2016/02/07/internship-fragmen-1-plesirs-boalemo/
Internship, fragmen 2: Molombulahé
Molombulahé adalah nama desa tempat saya tinggal selama 4 bulan bekerja di PKM
Paguyaman. Saya beri tajuk tulisan ini Molombulahé sebagai apresiasi pada Kecamatan
Paguyaman yang nama desa-desanya sungguh fancy dan bikin iri. Beberapa contoh nama
desanya semisal Girisa, Hulawa, Paris, Kualalumpur, Tenilo, Karya Murni, etc. Ga tau sih, tapi
bagi saya nama-namanya terdengar ényak aja gitu di telinga.
Di PKM ini saya tinggal cuma bertiga sama Boby dan Purna di rumah dinas lelaki.. Oiya, di PKM,
dokter internsip diberi dua rumah dinas, satu untuk dokter internsip lelaki dan satu lagi untuk
yang perempuan. Lokasinya sangat strategis, dekat dengan PKM, dekat dengan masjid, dekat
juga dengan kantin Oma Nety. Syukurlah, terutama karena saya menjalani bulan Ramadhan di
sini, jadi lokasi kantin dan masjid sangat krusial untuk bertahan hidup. Beruntung juga, Purna
dan yang perempuan pada jago masak, jadi saya tinggal makan dan cuci piring sahaja.😛
Sebelum saya bercerita tentang kegiatan saya sebagai dokter internsip Puskesmas, saya akan
bercerita tentang trivia-trivia kehidupan di Paguyaman. Trivia kehidupan pertama yang saya
angkat, tentang bahasa. Dari sekian banyak bahasa baru yang saya pelajari di Paguyaman, ada
tiga kata yang paling “menarik”: bagaté, bahugél dan bakarlota. Saya anggap “menarik” karena
tiap kata mengandung cerita yang terasa dekat dengan pengalaman hidup kami di sini. Tanpa
ada pretensi menyinggung sesiapa, saya bahas artinya ya. Bagaté, artinya minum minuman
beralkohol alias kobam. Sekelumit tenaga kesehatan di sini memiliki hobi bagaté, tapi
alhamdulillah tidak ada yang sampai hati mengajak minum manusia-manusia yang belum
pernah nyoba seperti saya. Saran saya sebagai dokter, jauhi atau kurang-kurangilah jo bagaté,
ga baik bagi kesehatan fisik. Bakarlota, artinya bergosip ria. Entah ghibah atau memuji, semua
aktivitas ngomongin orang tergolong pada bakarlota. Saran saya sebagai dokter, jauhi atau
kurang-kurangilah jo bakarlota, ga baik bagi kesehatan mental. Yang terakhir adalah bahugél,
artinya berhubungan gelap alias selingkuh. Teman saya, Ebo dan Habib, pernah terlibat dalam
live-action drama bertema bahugél di Paguyaman, mereka berperan sebagai pemeran
pembantu. Teman saya yang lain ada juga yang berperan sebagai pemeran utamanya #eh.
OK, selain bahasa, trivia kehidupan lain yang saya temui di Paguyaman bersentuhan secara
personal dengan teman-teman saya, khususnya Ivone dan Dara. Disadari atau tidak,
Paguyaman adalah tempat janji-janji diingkari dan ditemali, tempat hati perempuan dikhianati
atau dipulihkan lagi, serta tempat wanita-wanita menjelma jadi bakal ibunda.
“Internsip bisa menjadi ajang bertemu jodoh…” adalah obrolan selewat yang dialami dan
dihidupi oleh teman saya, Ivone. Alhamdulillah Ivone sekarang sudah menikah, mendapat jodoh
ketika grup kami sedang di Paguyaman. Rencananya Ivone juga ingin mengabdi lebih lama
sebagai dokter PTT, katanya ngikut suami dan berkeluarga di sini. Teman saya yang lain, Dara,
menghidupi larik terakhir serangkai kalimat: menjelma jadi bakal ibunda, alias hamil. Ketika
grup kami sedang di Paguyaman, Dara sempat vakansi menuju Bali bersama suami. Pulang-
pulang, selain bawa oleh-oleh sekarung, Dara juga alhamdulillah melendung. Sekarang Dara
sudah hamil trimester akhir, beberapa bulan lagi insya Allah jadi mommy. Kabar baik datang lagi
dari Ivone, sekarang Ivone sedang hamil 5 bulan. Spesial bagi kedua bakal ibunda, kita sama-
sama do’akan supaya lancar ya kehamilan dan persalinannya.😛
Baiklah, sekarang saya mulai bercerita tentang kegiatan saya dan teman-teman sebagai dokter
internsip Puskesmas. Sebagai dokter internsip Puskesmas, kami memiliki wilayah kerja
mencakup 11 desa. Kerja kami selain jaga Poli Umum dan IGD Puskesmas, tentunya turun ke
lapangan. Fokus kerja kami selama 4 bulan di Puskesman ini adalah menyelesaikan mini-
project, kebetulan temanya tentang Keluarga Sadar Gizi (KADARZI). Skrining dan penyuluhan
tentang lima poin KADARZI kami jalankan ke 11 desa, biasanya kami ditemani kak Willy dan ‘Ain
menjamah pelosok-pelosok desa di Paguyaman.
Masing-masing dari kami pernah memberi penyuluhan pada warga Paguyaman. Namun
percayalah, sebagian besar warga sama sekali tidak mengerti apa yang kami jelaskan *sad*,
entah bahasa kami terlalu baku dan kaku atau bagaimana. Alhasil, kak Willy atau ‘Ain harus
menjelaskan ulang apa yang baru saja kami jelaskan. Padahal kadang ‘Ain menjelaskan pun
dengan bahasa Indonesia persis seperti yang kami lakukan, tapi dengan aksen dan logat
Gorontalo, hasilnya… para warga manggut-manggut mengerti *frowned*. Ibarat lagu, kalo kata
Sting mah, “…I’m an Englishman in New York.”
Kembali lagi ke wilayah kerja kami sebagai dokter internsip Puskesmas. Berdasar hemat pribadi,
ada tiga desa yang membekas di ingatan saya, Hulawa, Balaté dan Girisa.
Desa Hulawa, Paguyaman
Desa Hulawa. Desa ini berkesan karena mini-project kami berfokus di desa ini. Detail mini-
project kami berawal dari ide Boby, yaitu Buku Saku Dasawisma KADARZI, jadi kami
membuatkan buku saku bagi ibu-ibu Dasawisma. Siapakah ibu-ibu Dasawisma? Ialah ibu-ibu
rumah tangga yang bisa dibilang “anak buah” kader kesehatan desa. Ibu-ibu ini bertanggung
jawab mengetahui terpenuhi atau tidaknya lima poin KADARZI pada 10 keluarga. Buku saku ini
isinya apa? Isinya lima poin KADARZI secara esensial dan checklist untuk membantu ibu-ibu
Dasawisma mengetahui lima poin KADARZI terpenuhi atau tidak pada masing-masing keluarga.
Kenapa kami pilih Desa Hulawa? Simpelnya, ibu-ibu Dasawisma-nya paling proaktif.
Alhamdulillah mini-project kami berjalan lancar tanpa halang rintang dan tuntas tepat waktu.
Desa Balaté. Kemarin lusa saya menonton teman satu almamater saya, Maela yang sedang
internsip di Sukabumi dan Setyo yang sedang internsip di Cianjur, di TVRI program “Mendengar
Tanpa Stetoskop”. Jalan yang mereka lintasi untuk melakukan home visit sebagai dokter
internsip Puskesmas sangat sulit. Tetiba saya teringat, satu-satunya jalan terjal yang pernah
saya lalui di Paguyaman adalah jalan menuju Desa Balaté. Jalannya terjal secara literal, lubang
jalan bertebaran, jalan berpasir, beberapa jalan ada yang belum beraspal, banyak anjing-anjing
liar, ada sebuah bukit yang mesti dilewati bernama Bukit Penyesalan (entah kenapa diberi nama
demikian), sensasi mendaki gunung-lewati lembah sudah pasti didapat di sini. Ga jarang seusai
melintasi terjal jalan dan penyuluhan, kami diberi jamuan makanan oleh warga, juga es kelapa
muda hasil petik dan tebas sendiri. Ibarat lagu, kalo kata Chet Baker mah, “…look for the silver
lining.”
Desa Girisa, Paguyaman
Desa Girisa. Nah, inilah desa paling cozy dan bikin iri di Paguyaman. Dari Puskesmas, tempuh
jalan darat 40 menit ke kabupaten sebelah, Kabupaten Gorontalo, dilanjutkan tempuh jalan laut
10 menit dengan perahu katinting. Walau ada jalan darat yang lebih dekat, kami lebih pilih laut,
tepatnya bukan laut sih, muara mungkin yah, soalnya semacam tempat bertaut sungai dan laut.
Saat itu ombak sedang kencang-kencangnya, jadi kami hanya menyebrang sebentar lalu jalan
kaki ke Desa Girisa, tidak mengitari laut biar sampai langsung di Desa Girisa sebagaimana
mestinya. Selain perjalanannya, di sebelah desa juga ada pantai yang banyak nyiurnya. Seusai
penyuluhan, makan siang, kami sempatkan singgah di pantai berlimpah nyiur tersebut,
namanya Pantai Taula’a.
Di penutup fragmen pertama, saya bilang saya akan beritahu tentang Molombulahé dengan
segala gading, dan retaknya. Tak ada gading yang tak retak. Ada dua retakan major yang saya
rasa selama hidup di Paguyaman: konflik dengan pembimbing internsip dan mati listrik. Soal
konflik dengan pembimbing, saya tidak terlibat secara langsung, juga tidak perlu saya beberkan
detailnya, biar saja lebur sebagai dosa yang diampu masing-masing. Pesan dari senior dan
teman-teman saya yang terlibat konflik secara langsung: pintar-pintarlah melawan tanpa
menyakiti dan bersikaplah secara profesional, jangan jadikan teladan jenis manusia yang setiap
hari mengeluh serta melimpahkan beban tanggung jawab yang semestinya ia penuhi sendiri.
Ehm, OK lanjut, retakan major yang paling bikin saya gemesss justru adalah mati listrik. Saya ini
anak rumahan, di Paguyaman kalo ga ba’uni film di laptop, ya main Batman: Arkham Knight di
PS4-nya Purna. PS4 dan laptop, keduanya butuh listrik, ya kalo mati listrik, ya saya mati gaya, ya
langsung saja lara dan nelangsa menyapa. Astagfirullah sekali, soalnya di Paguyaman mati listrik
udah kaya minum obat men, 3x sehari #sampah. Alhamdulillah saya ga lama-lama di
Paguyaman, selain cuma 4 bulan, saya juga dapat jatah pulang lebaran beberapa minggu.
Alhamdulillah juga, sebelum saya pindah dari Paguyaman saya berhasil menyelesaikan Batman:
Arkham Knight 100% (hell yeah!) #prestasi, trims to Purna dan PS4-nya, ada juga sebentuk
bahagia yang saya rasa di sini *tears*.😛
Well, singgah sekejap atau hendak menetap, sebesar apa pun ia retak, setiap tempat yang
akhirnya kita tinggalkan pasti juga meninggalkan secuil nostalgia. Riang dan nelangsa yang saya
rasa di Paguyaman: yang riang biar jadi cerita jenaka yang layak dituturkan ke mana-mana, yang
nelangsa biar saja saya simpan di suaka hati yang terluka.
Sudah setengah jalan saya menulis cerita tentang internsip ini. Fragmen ketiga, yang terakhir,
adalah tentang kegiatan saya sebagai seorang dokter internsip di RSUD Tani & Nelayan. Di sini,
saya berlatih dan dilatih menjadi dokter sebenarnya, sebagai dokter jaga bangsal dan dokter
jaga IGD. Fragmen ini adalah bagian paling mengasyikkan, sekaligus traumatis sepanjang satu
tahun saya menjadi dokter internsip.
https://noirsea.wordpress.com/2016/02/07/internship-fragmen-2-molombulahe/