Saat ini, penyakit muskuloskeletal telah menjadi masalah yang banyak dijumpai di pusat-pusat pelayanan
kesehatan di seluruh dunia. Bahkan WHO telah menetapkan dekade ini (2000-2010) menjadi Dekade Tulang
dan Persendian. Penyebab fraktur terbanyak adalah karena kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan lalu lintas
ini, selain menyebabkan fraktur, menurut WHO, juga menyebabkan kematian 1,25 juta orang setiap tahunnya,
dimana sebagian besar korbannya adalah remaja atau dewasa muda.
Definisi
Fraktur adalah terputusnya hubungan/kontinuitas struktur tulang atau tulang rawan bisa komplet atau
inkomplet
Diskontinuitas tulang yang disebabkan oleh gaya yang melebihi elastisitas tulang
Secara umum fraktur dibagi menjadi dua, yaitu fraktur tertutup dan fraktur terbuka. Fraktur tertutup jika
kulit diatas tulang yang fraktur masih utuh, tetapi apabila kulit diatasnya tertembus maka disebut fraktur
terbuka
Trauma langsung akibat benturan akan menimbulkan garis fraktur transversal dan kerusakan jaringan lunak.
Benturan yang lebih keras disertai dengan penghimpitan tulang akan mengakibatkan garis fraktur kominutif
diikuti dengan kerusakan jaringan lunak yang lebih luas. Trauma tidak langsung mengakibatkan fraktur
terletak jauh dari titik trauma dan jaringan sekitar fraktur tidak mengalami kerusakan berat. Pada olahragawan,
penari dan tentara dapat pula terjadi fraktur pada tibia, fibula atau metatarsal yang disebabkan oleh karena
trauma yang berulang. Selain trauma, adanya proses patologi pada tulang seperti. tumor atau pada penyakit
Paget dengan energi yang minimal saja akan mengakibatkan fraktur. Sedang pada orang normal hal tersebut
belum tentu menimbulkan fraktur.
Klasifikasi
I. Menurut Penyebab terjadinya
A. Faktur Traumatik direct atau indirect
B. Fraktur Fatik atau Stress
Trauma berulang, kronis, mis: fr. Fibula pd olahragawan
C. Fraktur patologis biasanya terjadi secara spontan
Etiologi
Fraktur terjadi bila ada suatu trauma yang mengenai tulang, dimana trauma tersebut kekuatannya melebihi
kekuatan tulang. 2 faktor mempengaruhi terjadinya fraktur
1. Ekstrinsik meliputi kecepatan dan durasi trauma yang mengenai tulang, arah dan kekuatan trauma.
2. Intrinsik meliputi kapasitas tulang mengasorbsi energi trauma, kelenturan, kekuatan, dan densitas tulang.
Diagnosis
I. Riwayat
Anamnesis dilakukan untuk menggali riwayat mekanisme cedera (posisi kejadian) dan kejadian-kejadian yang
berhubungan dengan cedera tersebut. riwayat cedera atau fraktur sebelumnya, riwayat sosial ekonomi,
pekerjaan, obat-obatan yang dia konsumsi, merokok, riwayat alergi dan riwayat osteoporosis serta penyakit
lain.
Sedangkan pada pasien dengan politrauma, pemeriksaan awal dilakukan menurut protokol ATLS.
Langkah pertama adalah menilai airway, breathing, dan circulation. Perlindungan pada vertebra
dilakukan sampai cedera vertebra dapat disingkirkan dengan pemeriksaan klinis dan radiologis. Saat
pasien stabil, maka dilakukan secondary survey.
Komplikasi Fraktur
Komplikasi fraktur dapat diakibatkan oleh trauma itu sendiri atau akibat penanganan fraktur yang disebut
komplikasi iatrogenik .
1. Komplikasi umum
Syok karena perdarahan ataupun oleh karena nyeri, koagulopati diffus dan gangguan fungsi
pernafasan.
Ketiga macam komplikasi tersebut diatas dapat terjadi dalam 24 jam pertama pasca trauma dan setelah
beberapa hari atau minggu akan terjadi gangguan metabolisme, berupa peningkatan katabolisme.
Komplikasi umum lain dapat berupa emboli lemak, trombosis vena dalam (DVT), tetanus atau gas
gangren
2. Komplikasi Lokal
a. Komplikasi dini
Komplikasi dini adalah kejadian komplikasi dalam satu minggu pasca trauma, sedangkan apabila
kejadiannya sesudah satu minggu pasca trauma disebut komplikasi lanjut.
Pada Tulang
- Infeksi, terutama pada fraktur terbuka.
- Osteomielitis dapat diakibatkan oleh fraktur terbuka atau tindakan operasi pada fraktur tertutup.
Keadaan ini dapat menimbulkan delayed union atau bahkan non union
Komplikasi sendi dan tulang dapat berupa artritis supuratif yang sering terjadi pada fraktur terbuka
atau pasca operasi yang melibatkan sendi sehingga terjadi kerusakan kartilago sendi dan berakhir
dengan degenerasi
Pada Otot
Terputusnya serabut otot yang mengakibatkan gerakan aktif otot tersebut terganggu. Hal ini terjadi
karena serabut otot yang robek melekat pada serabut yang utuh, kapsul sendi dan tulang. Kehancuran
otot akibat trauma dan terjepit dalam waktu cukup lama akan menimbulkan sindroma crush atau
trombus (Apley & Solomon,1993).
Pada pembuluh darah
Pada robekan arteri inkomplit akan terjadi perdarahan terus menerus. Sedangkan pada robekan yang
komplit ujung pembuluh darah mengalami retraksi dan perdarahan berhenti spontan.
Pada jaringan distal dari lesi akan mengalami iskemi bahkan nekrosis. Trauma atau manipulasi sewaktu
melakukan reposisi dapat menimbulkan tarikan mendadak pada pembuluh darah sehingga dapat
menimbulkan spasme. Lapisan intima pembuluh darah tersebut terlepas dan terjadi trombus. Pada kompresi
arteri yang lama seperti pemasangan torniquet dapat terjadi sindrome crush. Pembuluh vena yang putus
perlu dilakukan repair untuk mencegah kongesti bagian distal lesi (Apley & Solomon, 1993).
Sindroma kompartemen terjadi akibat tekanan intra kompartemen otot pada tungkai atas maupun tungkai
bawah sehingga terjadi penekanan neurovaskuler sekitarnya. Fenomena ini disebut Iskhemi Volkmann. Ini
dapat terjadi pada pemasangan gips yang terlalu ketat sehingga dapat menggangu aliran darah dan terjadi
edema dalam otot.
Apabila iskhemi dalam 6 jam pertama tidak mendapat tindakan dapat menimbulkan kematian/nekrosis otot
yang nantinya akan diganti dengan jaringan fibrus yang secara periahan-lahan menjadi pendek dan disebut
dengan kontraktur volkmann. Gejala klinisnya adalah 5 P yaitu Pain (nyeri), Parestesia, Pallor (pucat),
Pulseness (denyut nadi hilang) dan Paralisis
Pada saraf
Berupa kompresi, neuropraksi, neurometsis (saraf putus), aksonometsis (kerusakan akson). Setiap trauma
terbuka dilakukan eksplorasi dan identifikasi nervus (Apley & Solomon,1993).
b. Komplikasi lanjut
Pada tulang dapat berupa malunion, delayed union atau non union. Pada pemeriksaan terlihat deformitas
berupa angulasi, rotasi, perpendekan atau perpanjangan.
- Delayed union
Proses penyembuhan lambat dari waktu yang dibutuhkan secara normal. Pada pemeriksaan radiografi, tidak
akan terlihat bayangan sklerosis pada ujung-ujung fraktur,
Terapi konservatif selama 6 bulan gagal Osteotomi
Lebih 20 minggu cancellus grafting (12-16 minggu)
- Non union
Dimana secara klinis dan radiologis tidak terjadi penyambungan.
Tipe I (hypertrophic non union) tidak akan terjadi proses penyembuhan fraktur dan diantara fragmen
fraktur tumbuh jaringan fibrus yang masih mempunyai potensi untuk union dengan melakukan koreksi
fiksasi dan bone grafting.
Tipe II (atrophic non union) disebut juga sendi palsu (pseudoartrosis) terdapat jaringan sinovial
sebagai kapsul sendi beserta rongga sinovial yang berisi cairan, proses union tidak akan dicapai walaupun
dilakukan imobilisasi lama.
Beberapa faktor yang menimbulkan non union seperti disrupsi periosteum yang luas, hilangnya
vaskularisasi fragmen-fragmen fraktur, waktu imobilisasi yang tidak memadai, implant atau gips yang tidak
memadai, distraksi interposisi, infeksi dan penyakit tulang (fraktur patologis)
- Mal union
Penyambungan fraktur tidak normal sehingga menimbukan deformitas. Tindakan refraktur atau osteotomi
koreksi .
- Osteomielitis
Osteomielitis kronis dapat terjadi pada fraktur terbuka atau tindakan operasi pada fraktur tertutup sehingga
dapat menimbulkan delayed union sampai non union (infected non union). Imobilisasi anggota gerak yang
mengalami osteomielitis mengakibatkan terjadinya atropi tulang berupa osteoporosis dan atropi otot
- Kekakuan sendi
Kekakuan sendi baik sementara atau menetap dapat diakibatkan imobilisasi lama, sehingga terjadi
perlengketan peri artikuler, perlengketan intraartikuler, perlengketan antara otot dan tendon.
Pencegahannya berupa memperpendek waktu imobilisasi dan melakukan latihan aktif dan pasif pada sendi.
Pembebasan periengketan secara pembedahan hanya dilakukan pada penderita dengan kekakuan sendi
menetap (Apley & Solomon,1993).
Penatalaksanaan
Prinsip 4R (chairudin Rasjad) :
1. Recognition diagnosis dan penilaian fraktur
2. Reduction
3. Retention Immobilisasi
4. Rehabilitation mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin
Penatalaksanaan awal fraktur meliputi reposisi dan imobilisasi fraktur dengan splint. Status neurologis dan
vaskuler di bagian distal harus diperiksa baik sebelum maupun sesudah reposisi dan imobilisasi. Pada pasien
dengan multiple trauma, sebaiknya dilakukan stabilisasi awal fraktur tulang panjang setelah hemodinamis pasien
stabil. Sedangkan penatalaksanaan definitif fraktur adalah dengan menggunakan gips atau dilakukan operasi
dengan ORIF maupun OREF.
2. IMOBILISASI / FIKSASI
Tujuan mempertahankan posisi fragmen post reposisi sampai Union.
Jenis Fiksasi :
Ekternal / OREF
- Gips ( plester cast)
- Traksi
Indikasi Pemendekan (shortening)
Fraktur unstabel oblique, spiral
Kerusakan hebat pada kulit dan jaringan sekitar
Komplikasi Traksi :
1. Gangguan sirkulasi darah beban > 12 kg
2. Trauma saraf peroneus (kruris) droop foot
3. Sindroma kompartemen
4. Infeksi tmpat masuknya pin
Indikasi OREF :
1. Fraktur terbuka derajat III
2. Fraktur dengan kerusakan jaringan lunak yang luas
3. fraktur dengan gangguan neurovaskuler
4. Fraktur Kominutif
5. Fraktur Pelvis
6. Fraktur infeksi yang kontraindikasi dengan ORIF
7. Non Union
8. Trauma multiple
3. UNION
4. REHABILITASI
Penyembuhan fraktur ada 5 Stadium :
Fase reparatif
Umumnya beriangsung beberapa bulan. Fase ini ditandai dengan differensiasi dari sel mesenkim
pluripotensial. Hematom fraktur lalu diisi oleh kondroblas dan fibroblas yang akan menjadi tempat matrik
kalus. Mula-mula terbentuk kalus lunak, yang terdiri dari jaringan fibrosa dan kartilago dengan sejumlah kecil
jaringan tulang. Osteoblas kemudian yang mengakibatkan mineralisasi kalus lunak membah menjadi kalus
keras dan meningkatkan stabilitas fraktur. Secara radiologis garis fraktur mulai tak tampak.
Fase remodelling
Membutuhkan waktu bulanan hingga tahunan untuk merampungkan penyembuhan tulang meliputi aktifitas
osteoblas dan osteoklas yang menghasilkan perubahan jaringan immatur menjadi matur, terbentuknya tulang
lamelar sehingga menambah stabilitas daerah fraktur (McCormack,2000).
Fraktur Terbuka -------------------------- RD Collection 2002
Klasifikasi fraktur terbuka yang sering dipergunakan adalah menurut Gustilo yang membagi menjadi fraktur
terbuka grade I, II, IIIA, IIIB dan IIIC. Namun klasifikasi fraktur terbuka menurut Gustilo mempunyai
beberapa kelemahan antara lain angka kesepakatan rendah, batasan derajat kontaminasi kurang jelas,
belum ada tolok ukur yang obyektif. Sedangkan Armis, telah melakukan penilaian fraktur terbuka dengan
memberikan skoring pada setiap variabel yang meliputi kerusakan kulit, kerusakan otot, kondisi tulang,
kondisi neurovaskuler dan derajat kontaminasi, dengan nama Sistem Skoring Sardjito (SSS) . Insidensi
fraktur terbuka sebesar 4% dari seluruh fraktur dengan perbandingan lakilaki dan perempuan sebesar 3,64:1
dengan kejadian terbanyak pada kelompok umur dekade kedua dan ketiga yang relatif mempunyai aktifitas
fisik dan mobilitas yang tinggi. Pada analisis epidemiologi menunjukkan bahwa 40 % fraktur terbuka
terjadi pada ekstemitas bawah terutama daerah tibia dan femur tengah.
Pemasangan plat pada fraktur terbuka telah memperbaiki union fraktur atau penyambungan kortek langsung
tanpa pembentukan kalus. Osteosit langsung menyeberangi gap antar fragmen fraktur. Tapi pada
kenyataannya terdapat osteogenesis meduler dan sedikit pembentukan kalus periosteum. Pada penelitian
selanjutnya diketahui bahwa pada pemasangan plat itu sendiri telah mengganggu vaskularisasi ke kortek
tulang oleh plat yang berakibat gangguan aliran darah dan menyebabkan nonunion. Mengatasi
permasalahan ini para pakar AO/ASIF dari Swiss telah menciptakan LCDCP ( low contact dynamic
compression plate) dan ada juga yang membuat inovasi baru dengan cara merekonstruksi plat yang non-rigid
sehingga terjadi pembentukan kalus dengan tidak memasang sekrup yang banyak Pemasangan plat perlu hati-
hati yaitu pada saat melakukan irisan jaringan lunak agar tidak terjadi kerusakan periosteum, fascia dan otot
karena hal itu dapat mengakibatkan nonunion. Penutupan kulit diatas plat sering mengalami kesulitan dan
dapat terjadi nekrosis kulit atau infeksi superfisial. Untuk pencegahan kerusakan jaringan lunak dapat
dilakukan dengan pemasangan plat dibawah kulit dan pemasangan sekrup langsung ke tulang dengan bantuan
alat fluoroskopi. Pemasangan fiksasi dalam pada fraktur terbuka mempunyai resiko tinggi terjadi komplikasi
infeksi, non-union dan refraktur. Pada beberapa penelitian terdahulu fiksasi luar dianggap sebagai tindakan
yang lebih aman pada terapi fraktur terbuka dari pada fiksasi dalam.
Periosteum tidak hanya penting dalam pembentukan tulang selama perkembangan tetapi juga pada
penyembuhan fraktur. Sel-sel pada periosteum dapat melakukan resorpsi tulang oleh osteoclast, membentuk
tulang oleh osteoblast sebagai respon terhadap stimuli lokal dan sistemik, dan juga memegang peranan
penting dalam metabolisme tulang oleh kayanya vaskularisasi pada daerah ini.
Periosteum lapisan dalam yang lebih longgar berisi sel-sel yang mampu menjadi osteoblast yang akan
membentuk kartilago hialin dalam pembentukan kalus.
Penyembuhan sekunder (secondary healing) terjadi karena respon pada periosteum dan jaringan lunak
disekitarnya dengan pembentukan kalus. Periosteum pada anak relatif lebih tebal, kuat dan dapat
menghasilkan kalus dalam waktu cepat serta dalam jumlah yang sangat banyak. Hal ini sangat berperan pada
proses penyembuhan tulang pada anak. Sedangkan kortek tulang yang berperan pada penyembuhan primer
(primary healing) begitu terjadi fraktur, akan memantapkan kembali dirinya dengan melibatkan osteoclast
yang berperan sebagai sel peresorbsi tulang pada salah satu sisi fraktur. Kemudian dengan aktivasi sistem
haversi akan terbentuk jalur (pathway) untuk penetrasi pembuluh darah, sehingga memudahkan sel endotel
dan sel mesenkim perivaskuler menjadi sel osteoprogenitor untuk osteoblast dalam membentuk tulang baru.
.
Penyembuhan primer terjadi apabila ada kontak langsung yang kuat antara fragmen fraktur seperti fiksasi
kompresi rigid dengan plate and Screw. Fiksasi rigid memerlukan kontak kortikal yang langsung dan
pembuluh darah intrameduler yang utuh. Pada radiograf biasanya tidak akan terlihat adanya kalus yang
menjembatani penyembuhan ini. Proses penyembuhan primer ini terutama tergantung pada aktifitas
osteoklast dalam melakukan resopsi dari ujung-ujung fragmen yang diikuti dengan pembentukan tulang baru
oleh osteblast. Penyembuhan sekunder menunjukkan terjadinya mineralisasi dan penggantian tulang dari
matriks kartilago yang secara khas tampak pada radiograf sebagai pembentukan kalus. Jembatan kalus
eksternal akan menambah stabilitas pada tempat fraktur dengan bertambah lebarnya tulang ini. Penyembuhan
sekunder terjadi pada penanganan fiksasi yang tidak rigid seperti pada penggunaan gips, fiksasi luar maupun
pada pemasangan intermedullary nail.
Tujuan terapi penderita fraktur adalah mencapai union tanpa deformitas dan restorasi fungsi sehingga
penderita dapat kembali pada pekerjaan atau kegiatan semula. Diketahui ada dua pilihan terapi penderita
fraktur yaitu secara konservatif atau operatif. Pada terapi fraktur kruris terbuka derajat III pada prinsipnya
adalah debridemen dan irigasi untuk membuang jaringan mati dan kontaminasi, pemberian antibiotik dengan
cefazolin 1-2 gram dikombinasikan gentamisin 80 mg setiap 8 jam, pemberian antitetanus dan pemasangan
fiksasi luar dengan luka dirawat terbuka. Setiap hari pada luka yang terbuka dilakukan debridemen dan
irigasi, pemberian suntikan antibiotik selama 3-5 hari pasca operasi dan dilanjutkan secara oral selama 10
hari.
Semua faktur terbuka harus dianggap terkontaminasi sehingga mempunyai potensi untuk terjadi infeksi.
Penting untuk diketahui bahwa diagnosis, klasifikasi dan pengelolaannya dapat berbeda dari fraktur tertutup.
Penanganan fraktur terbuka dapat mengikuti pengelolaan trauma lain jika merupakan suatu trauma multipel
Pada fraktur tulang dapat terjadi pergeseran fragmen-fragmen tulang. Pergeseran fragmen bisa diakibatkan
adanya keparahan cedera yang terjadi, gaya berat maupun tarikan otot yang melekat padanya. Pergeseran
fragmen fraktur akibat suatu trauma dapat berupa aposisi (pergeseran kesamping / sideways, tumpang tindih
dan berhimpitan / overlapping, bertubrukan sehingga saling tancap/ impacted); angulasi (penyilangan antara
kedua aksis fragmen fraktur); panjang / length (pemanjangan atau pemendekan akibat distraction atau
overlapping antar fragmen fraktur) atau terjadi rotasi (pemuntiran fragmen fraktur terhadap sumbu panjang).
Tipe I berupa luka kecil kurang dari 1 cm akibat tusukan fragmen fraktur dan bersih. Kerusakan jaringan
lunak sedikit dan fraktur tidak kominutif. Biasanya luka tersebut akibat tusukan fragmen fraktur atau in
out.
Tipe II terjadi jika luka lebih dari 1 cm tapi tidak banyak kerusakan jaringan lunak dan fraktur tidak
kominutif.
Pada tipe III dijumpai kerusakan hebat maupun kehilangan cukup luas pada kulit, jaringan lunak dan putus
atau hancurnya struktur neurovaskuler dengan kontaminasi, juga termasuk fraktur segmental terbuka atau
amputasi traumatik.
Klasifikasi ini juga termasuk trauma luka tembak dengan kecepatan tinggi atau high velocity,
trauma didaerah pertanian, fraktur terbuka yang memerlukan repair vaskular, fraktur terbuka
lebih 8 jam setelah kecelakaan
Kemudian Gustillo et al. (1984) membagi tipe III dari klasifikasi Gustillo dan Anderson (1976)
menjadi tiga subtipe, yaitu tipe IIIA, IIIB dan IIIC (tabel 3).
IIIA terjadi apabila fragmen fraktur masih dibungkus oleh jaringan lunak, walaupun adanya
kerusakan jaringan lunak yang luas dan berat.
IIIB fragmen fraktur tidak dibungkus oleh jaringan lunak sehingga tulang terlihat jelas atau
bone expose, terdapat pelepasan periosteum, fraktur kominutif. Biasanya disertai
kontaminasi masif dan merupakan trauma high energy tanpa memandang luas luka.
IIIC terdapat trauma pada arteri yang membutuhkan repair agar kehidupan bagian distal dapat
dipertahankan tanpa memandang derajat kerusakan jaringan lunak.
Klasifikasi lanjut fraktur terbuka tipe III (Gustillo dan Anderson, 1976) oleh Gustillo,
Mendoza dan Williams (1984):
Tipe Batasan
Armis (2001) membuat klasifikasi fraktur terbuka dengan sistim skoring yang dinamakan Sistem
Skoring Sardjito (SSS) yang dilakukan dengan memberikan skoring pada setiap variabel yang
meliputi kerusakan kulit, kerusakan otot, kondisi tulang, kondisi neurovaskuler dan derajat
kontaminasi kemudian skor dijumlahkan
Klasifikasi fraktur terbuka sesuai Sistem Skoring Sardjito (Khairuddin & Armis, 2002).
Batasan Sko
r
I. Skin Damage
A.Wound:
< 5 cm long ( in-out) 1
5-10 cm 2
10 cm long 3
B. Condition of Skin:
No devitalized edge of wound without contussion 1
Contused edge of wound/ subcutan or with small area of 2
degloving
Large area of degloving or skin loss or skin avulsion 3
II. Muscle Damage
No muscle contusion or sircumscribed muscle contusion or 1
partial rupture
Total rupture of one compartement muscle 2
Muscle defect with extensive muscle crush 3
Skor untuk fraktur terbuka grade I atau ringan: 10, grade II atau sedang 11-20, grade III atau berat :
21-31. Grade IIIA bila fragmen fraktur masih tertutup jaringan lunak, grade IIIB bila terdapat ekspose
fragmen fraktur, dan grade III C bila terdapat kerusakan pembuluh darah vital sehingga untuk
mempertahankan kehidupan bagian distal fraktur membutuhkan tindakan repair. (Khairuddin &
Armis, 2002; Supriyanto & Armis, 2004 ).
Pemeriksaan fisik
Dimulai dengan inspeksi (look), palpasi (feel) dan pemeriksaan gerakan ( movement). Pemeriksaan
yang harus di lakukan adalah identifikasi luka secara jelas dan gangguan neurovaskular bagian distal
dari lesi tersebut. Pulsasi arteri bagian distal penderita hipotensi akan melemah dan dapat
menghilangkan sehingga dapat terjadi kesalahan penilaian vaskular tersebut. Bila disertai trauma
kepala atau tulang belakang maka akan terjadi kelainan sensasi nervus perifer di distal lesi tersebut.
Pemeriksaan kulit seperti kontaminasi dan tanda-tanda lain perlu dicatat.
Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan radiologis bertujuan untuk menentukan keparahan kerusakan tulang dan jaringan lunak
yang berhubungan dengan derajat energi dari trauma itu sendiri. Bayangan udara di jaringan lunak
merupakan petunjuk dalam melakukan pembersihan luka atau irigasi dalam melakukan debridemen.
Bila bayangan udara tersebut tidak berhubungan dengan daerah fraktur maka dapat ditentukan bahwa
fraktur tersebut adalah fraktur tertutup. Radiografi dapat terlihat bayangan benda asing disekitar lesi
sehingga dapat diketahui derajat keparahan kontaminasi disamping melihat kondisi fraktur atau tipe
fraktur itu sendiri Diagnosis fraktur dengan tanda-tanda klasik dapat ditegakkan secara klinis, namun
pemeriksaan radiologis tetap diperlukan untuk konfirmasi dalam melengkapi deskripsi fraktur, kritik
medikolegal, rencana terapi dan dasar untuk tindakan selanjutnya. Sedangkan untuk fraktur-fraktur
yang tidak memberikan gejala klasik dalam menentukan diagnosis harus dibantu pemeriksaan
radiologis sebagai gold standard.
Prinsip penanganan fraktur terbuka derajat III secara umum adalah sebagai berikut:
1. Pertolongan Pertama.
Secara umum adalah untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri dan mencegah gerakan-gerakan
fragmen yang dapat merusak jaringan sekitarnya. Stabilisasi fraktur bisa menggunakan splint atau
bandage yang mudah dikerjakan dan efektif. Luka ditutup dengan material yang bersih dan steril.
2. Resusitasi
Penatalaksanaan sesuai prinsip ATLS (Advance Trauma Life Support) dengan memberikan penanganan
sesuai prioritas (resusitasi), bersamaan itu pula dikerjakan penanganan fraktur terbuka agar terhindar dari
komplikasi. Kehilangan darah yang banyak pada fraktur terbuka derajat III dapat mengakibatkan syok
hipovolemik dan dapat diperberat oleh rasa nyeri yang dapat menyebabkan syok neurogenik. Tindakan
resusitasi dilakukan bila ditemukan tanda syok hipovolemik, gangguan napas atau denyut jantung karena
fraktur terbuka seringkali terjadi bersamaan dengan cedera organ lain. Penderita diberikan resusitasi cairan
Ringer Laktat atau tranfusi darah dan pemberian analgetik selama tidak ada kontraindikasi. Pemeriksaan
radiologis dikerjakan setelah kondisi pasien stabil. (Apley & Solomon, 1993; Trafton, 2000)
3. Penilaian awal.
Pemeriksaan yang teliti dan hati-hati merupakan dasar dalam observasi dan penanganan awal yang
memadai. Fakta-fakta pada pemeriksaan harus direkam dengan baik termasuk trauma pada daerah atau
organ lain dan komplikasi akibat fraktur itu sendiri. (Rasjad, 1998; Trafton, 2000).
Bila dalam perawatan ditemukan gejala dan tanda infeksi, maka dilakukan pemeriksaan kultur dan
sensifitas ulang untuk penyesuaian ulang pemberian antibiotik yang digunakan.
Pemberian anti tetanus diindikasikan pada fraktur kruris terbuka derajat III berhubungan dengan kondisi
luka yang dalam, luka yang terkontaminasi, luka dengan kerusakan jaringan yang luas serta luka dengan
kecurigaan sepsis. Pada penderita yang belum pernah mendapat imunisasi anti tetanus dapat diberikan
gamaglobulin anti tetanus manusia dengan dosis 250 unit pada penderita diatas usia 10 tahun dan dewasa ,
125 unit pada usia 5-10 tahun dan 75 unit pada anak dibawah 5 tahun. Dapat pula diberikan serum anti
tetanus dari binatang dengan dosis 1500 unuit dengan tes subkutan 0,1 selama 30 menit. Jika telah
mendapat imunisasi toksoid tetanus (TT) maka hanya diberikan 1 dosis boster 0,5 ml secara
intramuskuler.
5. Debridemen
a. Ambil sample dari luka untuk pemeriksaan kultur dan sensitifitas pra debridemen
b. Pembersihan luka dengan irigasi cairan fisiologis sebanyak 6-10 liter.
c. Jaringan mati atau fragmen tulang kecil yang mati maupun benda asing dibuang.
d. Pembuluh darah vital untuk bagian distal yang terputus dilakukan repair.
e. Saraf yang terputus diberi tanda pada ujung saraf untuk dilakukan delayed repair
f. Reposisi fragmen fraktur.
g. Pengambilan sampel pada luka yang bersih untuk kultur dan tes sentifitas pasca debridmen.
h. Luka dibiarkan terbuka atau dilakukan jahitan parsial, bila perlu ditutup setelah satu minggu dimana
oedem sudah menghilang.
i. Fiksasi awal yang baik untuk fraktur terbuka kruris derajat III adalah fiksasi eksternadengan external
fixation device sehingga akan mempermudah dalam perawatan luka harian. Bila fasilitas tidak memadai,
pemasangan gips sirkuler dengan jendela atau temporary splinting dengan gips atau traksi dapat
digunakan dan kemudian dapat direncanakan operasi pemasangan fiksasi interna setelah luka baik
(delayed internal fixation).
j. Pemakaian suntikan antibiotik dilanjutkan 3-5 hari, dimonitor tanda klinis dan penunjang
k. Bila dalam perawatan harian di bangsal ditemukan gejala dan tanda infeksi dilakukan debridemen
dan pemeriksaan kultur dan sensitifitas ulang untuk mendapatkan penanganan yang memadai. (Apley
& Solomon, 1993; Behrens, 1996; Rasjad, 1998; Trafton, 2000; Hutagalung , 2003 ).
7. Penutupan Luka
Pada luka yang kecil dan tidak banyak kontaminasi setelah dilakukan debridemen dan irigasi dapat
langsung dilakukan penutupan secara primer tanpa tegangan. Pada luka yang luas dan dicurigai
kontaminasi yang berat sebaiknya dirawat secara terbuka, luka dibalut kassa steril dan dilakukan evaluasi
setiap hari. Setelah 5-7 hari dan luka bebas dari infeksi dapat dilakukan penutupan kulit secara sekunder
atau melalui tandur kulit. Pada anak sebaiknya dihindari perawatan terbuka untuk menghindari terjadi
khondrolisis yaitu kerusakan epiphyseal plate akibat infeksi. Penyambungan tulang pada anak relatif lebih
cepat maka reposisi dan fiksasi dikerjakan secepatnya untuk mencegah deformitas.
8. Stabilisasi fraktur
Dalam melakukan stabilisasi fraktur awal penggunaan gips sebagai temporary splinting dianjurkan sampai
dicapai penanganan luka yang adekuat, kemudian bisa dilanjutkan dengan pemasangan gips sirkuler atau
diganti fiksasi dalam dengan plate and screw, intermedullary nail atau external fixator devices sebagai
terapi stabilisasi definitif.
Pemasangan fiksasi dalam dengan plate and screw pada fraktur terbuka dengan kontaminasi tidak
direkomendasikan. Namun demikian fiksasi dalam dapat dipasang setelah luka jaringan lunak baik dan
diyakini tidak ada infeksi lagi. Penggunaan fiksasi luar (external fixation devices) pada fraktur terbuka derajat
III adalah salah satu pilihan untuk memfiksasi fragmen-fragmen fraktur tersebut dan untuk mempermudah
perawatan luka harian.
Imobilisasi Gips ( Plaster of Paris)
Penggunaan gips sebagai fiksasi agar fragmen-fragmen fraktur tidak bergeser setelah dilakukan manipulasi /
reposisi atau sebagai pertolongan yang bersifat sementara agar tercapai imobilisasi dan mencegah fragmen
fraktur tidak merusak jaringan lunak disekitarnya. Keuntungan lain dari penggunaan gips adalah murah dan
mudah digunakan oleh setiap dokter, non toksik, mudah digunakan, dapat dicetak sesuai bentuk anggota
gerak, bersifat radiolusen dan menjadi terapi konservatif pilihan Pada fraktur terbuka derajat III dimana
terjadi kerusakan jaringan lunak yang hebat dan luka terkontaminasi penggunaan gips untuk stabilisasi
fraktur cukup beralasan untuk mempermudah perawatan luka. Setelah luka baik dan bebas infeksi
penggunaan gips untuk fiksasi fraktur dapat dilanjutkan untuk menunjang secundary bone healing dengan
pembentukan kalus.
Pemasangan Fiksasi dalam sering menjadi pilihan terapi yang paling diperlukan dalam stabilisasi fraktur pada
umumnya termasuk fraktur kruris terbuka derajat III. Pilihan metode yang dipergunakan untuk fiksasi dalam ada
beberapa macam yaitu:
a. Pemasangan plate and screws
Pemasangan fiksasi dalam pada fraktur terbuka mempunyai resiko tinggi terjadi komplikasi infeksi, non-
union dan refraktur. Pada penelitian awalnya pemasangan plat pada fraktur terbuka diketahui telah
memperbaiki fraktur dengan penyambungan kortek langsung tanpa pembentukan kalus. Osteosit langsung
menyeberangi gap antar fragmen fraktur. Tapi pada kenyataannya terjadi osteogenesis meduler dan sedikit
pembenrukan kalus periosteum. Pada penelitian selanjutnya diketahui bahwa pada pemasangan plat itu
sendiri telah mengganggu vaskularisasi ke kortek tulang oleh plat yang berakibat gangguan aliran darah
yang menyebabkan nonunion. Mengatasi permasalahan ini para pakar AO/ASIF dari Swiss telah
menciptakan antara lain LCDCP (limited contact dynamic compression plate) dan ada yang membuat
inovasi baru dengan merekonstruksi plat yang non-rigid dengan tidak memasang sekrup yang banyak
sehingga terjadi pembentukan kalus (Matter, 1997 cit. Trafton, 2000 ). Pemasangan plat perlu hati-hati
dalam melakukan irisan jaringan lunak agar tidak terjadi kerusakan periosteum, fascia dan otot karena dapat
mengakibatkan nonunion. Penutupan kulit diatas plat sering mengalami kesulitan dan dapat terjadi nekrosis
kulit atau infeksi superfisial. Untuk pencegahan kerusakan jaringan lunak dilakukan dengan pemasangan
plat dibawah kulit dan sekrup langsung dipasang ke tulang dengan bantuan alat fluoroskopi
Fraktur Terbuka
Klasifikasi Fraktur terbuka Menurut Gustilo dan Anderson, sebagai
Derajat I
Luka kecil biasanya akibat tusukan fragmen dan bersih, kerusakan jaringan lunak sedikit < 1cm dan tak
kominutif.
Derajat II
Panjang luka >1cm tapi tak banyak kerusakan jaringan lunak dan fraktur tak kominutif.
Derajat III
Kerusakan hebat pada kulit, jaringan lunak dan struktur neurovascular dengan kontaminasi,
III A fragmen tulang masih dibungkus jaringan lunak,
III B fragmen tulang tak dibungkus jaringan lunak terdapat pelepasan lapisan periosteum, fraktur kominutif,
III C trauma pada arteri yang membutuhkan repair agar bagian distal dapat dipertahankan, terjadi kerusakan
jaringan lunak hebat.
Trauma high-velosity termasuk klasifikasi IIIB atau IIIC walaupun lukanya kecil tapi terjadi kerusakan jaringan
lunak dibawahnya sangat hebat. Insidensi infeksi derajat I 2% dan derajat II 10%.
EKSTREMITAS SUPERIOR
--------------------------------------------- RD Collection 2002
---------------------------------------------------
Fraktur Skapula
Akibat trauma langsung.. Fraktur korpus dan kollum scapula umumnya terjadi pergeseran akibat
tarikan otot-otot yang melekat disitu
Terapi konservatif (Istirahat dan mobilisasi dini setelah sakit hilang.)
Otot ini berfungsi sebagai stabilisator, sehingga robekan kecil pada otot supraspinatus menimbulkan
Tendinitis supraspinatus dan bila robekan luas penderita tidak bisa abduksi
Terapi repair
Sendi bahu / sendi humeri yang dikenal sebagai sendi humeroskapularis. Dibagi menjadi :
Anterior
Kejadian paling sering, dimana kaput humeri bergeser ke medial dibawah prosesus korakoideus
Komplikasi :
1. Kerusakan saraf regio axillaris
2. Kerusakan kapsul sendi
3. Kekakuan sendi
4. Dislokasi rekurens lakukan tes Apprehension
Cara : Abduksi dan rotasi eksterna , terlihat raut muka penderita ketakutan dan mencoba
melawan tindakan tersebut. Instabilitas anterior (+)
Terapi :
Hipokrates metode
Handuk atau kain dililitkan di regio aksillaris penderita, operator melakukan tarikan pada posisi
semi abduksi lengan
Posterior
Kejadian sangat jarang karena tidak mempunyai ruangan diposterior maka kaput humeri masih tetap
dilateral tapi berada di posterior dalam fosa infraspinatus.
Diagnosis klinis ditegakkan, dimana bentuk segiempat pada bahu, kaput humeri tidak pada
tempatnya.
Penyebab biasanya trauma langsung /direct atau tidak langsung/indirect , misal jatuh dengan tangan /
siku menumpu.
Diagnosis
Riwayat waktu jatuh posisi tangan menumpu
Deformitas menonjol, udem, fr. 1/3 lateral tanpa ruptur lig korakoklavikulare deformitas tidak
jelas
Nyeri tekan (tenderness)
Krepitasi
Penunjang radiologi dan laboratorium
Penatalaksanaan
Konservatif Pasang ransel verban (Figure of eight0 sampai rasa sakit hilang
Operatif Indikasi
1. Fraktur terbuka
2. Ruptur lig korakoklavikulare
3. Gangguan neurovaskuler
4. Delayed / non Union
5. Kosmetik
UNION terjadi 3 minggu disertai kallus yang menonjol dimana pada anak akan hilang sebab
mempunyai daya remodelling
Klasifikasi NEER
I. Pergeseran < 1 cm dengan angulasi < 450
II. Fraktur collum anatomikum, pergeseran > 1 cm
III. Fraktur collum chirrugikum dengan pergeseran dan angulasi
IV. Fraktur tuberkulum majus dengan 2 atau 3 fragmen
V. Fraktur tuberkulum majus dengan lebi 2 fragmen
VI. Fraktur dislokasi
Macamnya :
1. Fraktur Kollum Chirrugikum humeri
Pada anak muda dipikirkan reposii terbuka dengan fiksasi interna
Terapi Imobilisasi collar and cuff selama 3 minggu
Radial palsy akan sembuh sekitar 6-8 minggu, bila tidak pulih lakuakan EMG dan eksplorasi
Terapi :
Anak-anak reposisi tertutup
Dewasa Collar and Cuff selama 3 minggu
--------------------------------- Hasil reposisi dievaluasi dengan sudut Baumann
Anatomi
Sendi siku terjadi antara trochlea dan capitulum humerus dengan incisura trochlearis ulnae dan caput radii.
Sendi siku dillalui oleh beberapa bangunan, di sebelah anterior terdapat muskulus brachialis, tendo muskulus
biceps, nervus medianus dan arteri brachialis. Di sebelah posterior terdapat muskulus biceps dan bursa
minor. Nervus ulnaris terdapat di sebelah medial dan tendo muskulus ekstensor communis dan muskulus
supinator terletak di lateral.
Suprakondilar humerus terletak di bagian distal dari humerus, tulang tersebut kurang kuat dibanding tempat
lain karena adanya fossa koronoid, fossa olekranon dan fossa radii. Kolum medial suprakondilar lebih tipis
dan substansi tulang kurang bila dibanding dengan kolum lateral suprakondilar. Sendi siku mampu untuk
melakukan gerakan fleksi dan ekstensi, dimana gerakan fleksi dilakukan oleh muskulus brachialis, muskulus
biceps, muskulus brachioradialis dan muskulus pronator teres. Sedangkan gerakan ekstensi dilakukan oleh
muskulus triceps dan muskulus anconeus.
Dari proyeksi anteroposterior (AP), perlu dinilai sudut yang di bentuk oleh garis longitudinal humerus dan
garis yang melalui koronal kapitulum humeri, sudut ini disebut sudut bowman. Normal didapatkan sudut
bowman sebesar 800 890, bila didapatkan sudut ini kurang dari 50, dikatakan bahwa posisi tulang tersebut
tidak aceptable. Sudut yang lain yaitu sudut antara diaphisis dan metaphisis, sebesar 900
Proyeksi lateral, normal didapatkan garis antero humeral akan melewati pusat osifikasi pada kondilus
humeri dan bagian distal dari kondilus akan membentuk sudut ke anterior sebesar 400.
2. TIPE FLEKSI
Anak jatuh pada telapak tangan dengan tangan dan lengan bawah dalam posisi pronasi dan siku dalam
posisi sedikit fleksi. Kortek anterior akan mengalami pergeseran sehingga pada fragmen distal akan ke
anterior pada bidang sagital, dan pada bidang coronal, fragmen distal akan bergeser ke lateral.
Sehingga fragmen distal pada fraktur tipe ini akan bergeser ke arah anterior dan proksimal. jarang
terjadi komplikasi neurovaskular, yaitu cedera nervus ulna biasanya karena terkena ujung dari
fragmen proksimal.
Klasifikasi
Pada prinsipnya, klasifikasi fraktur suprakondilar tipe ekstensi dibagi berdasarkan derajat
pergeseran fragmen distal terhadap fragmen proksimal.
Gartland ( 1959 ), membagi 3 Type :
I undisplaced or minimally displaced
IA : non displaced
IB : medial impaction
Pada tipe I, fraktur tanpa adanya pergeseran dari kedua fragmen, kadangkala garis fraktur sukar
dilihat pada gambaran radiologis.
Diagnosis
Dari anamnesa didapatkan adanya riwayat jatuh dengan lengan sebagai tumpuan. Bila traumanya baru
saja terjadi atau frakturnya tidak mengalami pergeseran atau sedikit bergeser, anak akan mengeluhkan nyeri
dan bengkak yang minimal, dan temuan yang paling khas adalah perlunakan pada ujung humerus bagian
distal.
Pada trauma ringan kedudukan fragmen distal tidak akan bergeser atau undisplaced. Siku akan terlihat sedikit
bengkak dibanding siku yang sehat, dan kadang kadang terlihat akan terlihat normal bila jumlah perdarahan
sedikit.
Pada trauma yang lebih berat dapat menimbulkan angulasi ke posterior, bahkan sampai mengalami
pergeseran fragmen distal ke posterior, namun hubungan kedua fragmen sebagian masih terlihat, atau pada
trauma yang lebih hebat lagi maka fragmen distal akan terlepas dari fragmen proksimal dan berada di
posterior dan migrasi ke proksimal.
Sewaktu jatuh pada umumnya lengan dalam keadaan pronasi, ini akan menyebabkan fragmen distal
mengalami rotasi ke dalam. Akibatnya kortek sebelah medial dari fragmen distal relatif akan berada di arah
posterior dari fragmen proksimal, sementara sisi lateral masih dalam kedudukan semula. Dengan demikian
kedudukan fragmen distal akan mengalami adduksi, rotasi ke dalam sehingga fragmen distal akan mengalami
pergeseran ke arah posteromedial akibatnya ujung dari fragmen proksimal akan mencederai nervus radialis.
Dan bila pergeseran fragmen ke arah posterolateral aakan mencederai arteri radialis dan nervus medianus.
Ujung fragmen proksimal akan berada di anterior dan dapat mencederai muskulus brakhialis, arteri brakhialis,
nervus radialis nervus medianus atau nervus ulnaris. Dengan adanya trauma yang keras dan terjadi pergeseran
dari fragmen, maka pembengkakan dan deformitas pada siku akan menjadi lebih jelas. Besarnya
pembengkakan tergantung pada keparahan dari fraktur dan lama terjadinya trauma.
Pada pemeriksaan fisik yang penting adalah menilai fungsi dari neuromuskuler pada sebelah distalnya. Tanda
tanda gangguan vaskulus meliputi nyeri, pucat, sianotik, tidak ada pulsasi atau paralysis, ini merupakan
tanda terjadinya volkmans ischemi.
Pemeriksaan radiologis akan terlihat fat pad sign, kedudukan kedua fragmen tidak terjadi pergeseran, kadang
kadang garis fraktur tidak terlihat. Dalam keadaan normal fat pad sign akan berada di luar sinovia tapi intra
kapsuler sendi disebelah anterior dan posterior. Dengan adanya hamarthrosis akan menyebabkan pergeseran
letak fat pads.
Pemeriksaan radiologis penting untuk konfirmasi diagnosis. Sebelumnya lengan harus diimobilissasi dengan
posisi ekstensi, kedudukan fleksi yang berlebihan harus dihindari karena ada kemungkinan gangguan dari
neurovaskulernya. Pada anteroposterior, dinilai garis fraktur apakah transversal atau oblik, fragmen distal
angulasi ke lateral atau medial. Posisi lateral akan menunjukkan fragmen distal akan bergeser ke anterior atau
posterior.
Penatalaksanaan
Pada prinsipnya mengembalikan fragmen ke posisi anatomis dan mempertahankan kedudukan tersebut dan
mencegah terjadinya komplikasi.
Sebelum dilakukan pemeriksaan radiologis, perlu dilakukan immobilisasi dengan bidai. Pada fraktur tipe ekstensi,
posisi fleksi pada siku harus dihindari karena menyebabkan kerusakan labih lanjut dari system neurovaskular.
Anggota gerak dibuat immobilisasi degan bidai pada posisi yang mengalami deformitas, dengan posisi siku
ekstensi dan lengan bawah pronasi. Sirkulasi harus selalu dicek sebelum dan selama melakukan tindakan reposisi.
Penanganan fraktur suprakondilar tergantung tipe dari fraktur tersebut.
Pada fraktur suprakondilar tipe ekstensi :
Tipe I
Tanpa pergeseran, immobilisasi dengan posisi siku fleksi tidak lebih dari 90 0. Bila terdapat pergeseran
penanganannya dengan menggunakan back slap long arm dengan posisi siku fleksi.
Fleksi dilakukan sampai 1200 sehingga lebih stabil dan juga pada posisi ini dapat mengurangi resiko terjadinya
trauma neurovaskular karena tindakan. Untuk reposisi tertutup perlu relaksasi yang sempurna dan hanya bisa
dicapai dengan anestesi umum, operator menarik lengan bawah sedikit fleksi 300 dan supinasi.
Fleksi 300 tersebut untuk melindungi kerusakan pembuluh darah dan saraf akibat tegangan karena tarikan.
Operator melakukan koreksi posisi pada fragmen distal. Bila berada di medial dilakukan dorongan ke lateral agar
berada satu garis dengan fragmen proksimal, demikian juga sebaliknya. Setelah itu kedua ibu jari operator berada
pada posisi posterior fragmen distal mendorong ke anterior disertai tekanan jari jari lain yang berada di humerus
proksimal ke dorsal, kemudian dilakukan fleksi maksimum.
Posisi dipertahankan selama 3 sampai 4 minggu, dengan pemeriksaan radiologis pada satu minggu pertama dan
minggu terakhir.
Tipe II :
Bila fraktur disertai angulasi dengan aligment yang masih bagus, lebih adekuat untuk dilakukan tindakan minimal
reposisi. Reposisi dilakukan dengan siku dalam keadaan pronasi dan fleksi tidak lebih dari 1200,
Bila disertai rotasi dipilih percutaneus pinning. Percutaneus pinning yang digunakan yaitu fiksasi dengan k-wire,
dilakukan setelah kedudukan anatomis kedua fragmen tercapai menghasilkan immobilisasi yang cukup bagus.
Pemasangan pinning yang paling stabil dapat dilakukan dengan cara pin yang mennyilang dari kondilus lateral
dan kondilus medial. Kontra indikasi pemasangan percutaneus pinning antara lain oedem hebat, reposisi tertutup
yang tidak tercapai, fraktur kominutuif dan fraktur terbuka.
Tipe III :
1.reposisi
2.percutaneus pinning dengan fiksasi k-wire
3.reposisi terbuka
Reposisi terbuka atau operasi pada fraktur suprakondilar tipe ekstensi dilakukan pada reposisi tertutup
yang gagal, fraktur terbuka atau gangguan neurovaskuler.
Pada pembengkakan yang hebat akan terjadi hematom yang banyak di daerah tersebut, maka perlu
dikeluarkan sehingga penekanan terhadap neurovaskuler akan berkurang. Kejelekan dilakukannya open
reduksi antara lain terjadinya kekakuan sendi, terjadinya myositis osifikan, iskhemik dan kerusakan pada
tempat pertumbuhan tulang dan adanya resiko infeksi.
Reposisi dikatakan berhasil bila baik secara klinis atau radiologis. Secara klinis dikatakan baik bila :
1. sendi siku dapat fleksi maksimal, bila tidak bisa fleksi maskimal kemungkinan sudut antara sumbu
longitudinal humeri dengan kondilus belum tercapai atau adanya interposisi jaringan lunak antara kedua
fragmen.
2. setelah hiperfleksi secara hati hati, dilakukan ekstensi dan dibandingkan dengan sisi yang sehat.
Pemeriksaan radiologis dilakukan setelah reposisi, dengan foto posisi AP dan lateral. Untuk posisi lateral
dinilai sudut longitudinal humeri dan distal kondilar. Dinilai apakah ada crescent sign, yang berarti terjadi
kubitus varus. Pada posisi AP, dinilai sudut bowman, sudut diaphisis metaphisis. Bila fragmen distal terjadi
rotasi tampak gambaran fish tail.
Hasil reposisi dikatakan adekuat bila tidak terjadi angulasi ke lateral atau medial, pergeseran ke medial atau
lateral tidak lebih dari 25% dan angulasi ke posterior tidak lebih dari 10 0. Perbedaan sudut bowman antara sisi
yang sehat dan yang sakit tidak lebih dari 40. Rotasi ke medial merupakan predisposisi terjadinya kubitus
varus karena akan terjadi angulasi koronal. Walaupun adanya rotasi tersebut bukan merupakan deformitas dan
rotasi lengan akan di koreksi oleh sendi bahu. Manipulasi yang berulang sebaiknya dihindari karena akan
mencederai pembuluh darah dan saraf.
Komplikasi
Pada fraktur suprakondilar tipe ekstensi komplikasi yang paling sering terjadi cedera pembuluh darah dan
saraf.
1. Cedera pada arteri brakhialis, dimana hal ini akan menyebabkan terjadinya volkmans iskemik. Kelainan
ini akan menyebabkan nekrosis dari otot dan saraf tanpa disertai ganggren perifer. Gejala dari volkmans
iskemi adanya pain, pallor, hilangnya pulsus, parestesi dan paralysis.
2. Cedera saraf yang paling sering terjadi adalah cedera pada nervus radialis, nervus median dan nervus ulna.
3. Myositis osifikans, jarang terjadi dan biasanya terjadi karena manipulasi yang berlebihan atau
terjadi pada reposisi terbuka yang terlambat dilakukan.
4. Malunion dapat merupakan komplikasi dari fraktur ini, biasanya terjadi kubitus varus, disebabkan
reposisi yang tidak adekuat.
5. Kontraktur Volkman
Akibat m. Fleksor digitorum profundus mati diganti jaringan fibrous.
Jari-jari posisi fleksi CLAW HAND
1. Pada anak masih kartilagineus sehingga sering tidak terdiagnosa pada X-ray.
Dan menyerang pusat pertuimbuhan ( epiphyseal plate)
2. menimbulkan malunion atau non union
3. Tempat Origo otot ekstensor shingga fragmen akan bergeser
4. Terjadi kerusakanepiphyseal dan fraktur intraartikuler
Fraktur Olekranon
Tempat insersi otot Trisep brachii, sehingga bila terjadi fraktur akan terjadi pergeseran ke proksimal.
Klasifikasi :
I. Tanpa pergeseran gips sirkuler
II. Dengan pergeseran Screw atau TBW
III. Kominutif Eksisi fragmen dan melekatkan kembali otrisep pada olekranon
---------------------------------------------------------------
ANATOMI
Tulang radius dan ulna tidak saja sebagai penghubung lengan atas dan maupun tangan tapi
mempunyai fungsi pronasi dan supinasi dengan gerakan radius dan ulna. Kedua tulang lengan
bawah dihubungkan oleh sendi radioulna yang diperkuat oleh ligamentum anulare yang melingkar
kapitupulum radius dan di distal oleh sendi radioulna yang diperkuat oleh ligamentum radiuulna
yang mengandung fibrokartilago triangularis. Membran interosea memperkuat hubungan ini
sehingga radius dan ulna merupakan satu kesatuan yang kuat. Oleh karena itu, patah yang hanya
mengenai satu tulang agak jarang terjadi atau bila patahnya hanya mengenai satu tulang saja hampir
selalu disertaii dislokasi sendi radioulna yang dekat dengan patah tersebut.
Selain itu, radius dan ulna dihubungkan oleh otot antar tulang yaitu musculus supinator, musculus
pronator teres, musculus pronator kuadratus yang membuat gerakan pronasi dan supinasi. Ketiga
otot itu bersama dengan otot lain yang berinsersi dengan radius dan ulna menyebabkan patah tulang
lengan bawah disertai dislokasi angulasi dan rotasi terutama radius.
Antebrachii terdiri atas dua buah tulang parallel yang berbeda panjang bentuknya ; os radius dan os
ulna. Disebelah proksimal membentuk tiga persendian sedangkan sebelah distal dua persendian.
Tulang radius, lebih pendek daripada ulna, bentuk lebih melengkung dan bersendi dengan os ulna
pada bagian proksimal dan distal radio-ulnar joint yang bersifat rotator. Antara kedua tulang ini
juga dihubungkan oleh membran interroseus, suatu jaringan fibrous yang berjalan abliq dari ulna ke
radius. Membran ini berfungsi merotasikan tulang radius terhadap os ulna, yang menghasilkan
gerakan pada lengan bawah
Muskuli antebrachii dapat dikelompokan, muskuli kompartemen antrior dan posterior.
Kompartemen anterior di isi oleh muskuli fleksor sedangkan kompartemen posterior di isi oleh
muskuli ekstensor. Beberapa muskuli ada yang berperan dominan dalam mempertahankan posisi
dan gerakan sendi lengan bawah dan tangan (elbow and wrist joint). Muskulus tersebut adalah :
NO FUNGSI MUSKULUS
1 Fleksor elbow m. brachialis, m. Biceps, m. Brachioradialis
2 Ekstensor elbow m. triceps, m. Anconeus
3 Supinator elbow m. supinator, m. Biceps
4 Pronator elbow m. pronator teres, m. Pronator guadratus
5 Fleksor pergelangan m. fleksor carpi radialis, m. Fleksor carpi
tangan ulnaris
6 Ekstensor pergelangan m. ekstensor carpi radialis longus dan brevis,
tangan m. Ekstensor carpi ulnaris
Aliran darah regio antebrachii merupakan lanjutan dari a brachialis, yang bercabang menjadi a
radialis dan a ulnaris setinggi caput os radii. Sedangkan persyarafan antebrachii berasal dari tiga
nervus, n radialis, n ulnaris, n medianus.
Fraktur MONTEGGIA
Fraktur ULNA 1/3 proksimal / tengah dengan dislokasi kaput radii antrior / posterior
Pemeriksaan penting pada saraf radialis dan olekranon
Fraktur GALEAZZI
Fraktur RADIUS 1/3 distal / tengah disertai subluksasio sendi radiuulnaris.
Jenis fraktur ini biasanya tidak stabil artinya penangananya dilakukan operasi. Untuk menjaga panjang
antomi tulang radius.
Tulang radius ke arah distal membentuk permukaan yang lebar sampai persendian dengan tulang
carpalia. Dan peralihan antara dense cortex dan cancellous bone pada bagian distal merupakan bagian
yang sangat lemah dan mudah terjadi fraktur. Penting sekali diketahuii kedudukan anatomis yang
normal dari pergelangan tangan, terutama posisi dari ujung distal radius.
Perlu diperhatikan 3 ukuran yang utama :
1.Radial height :
Yaitu jarak proccesus styloideus radii terhadap ulna.
Diukur dari jarak antara garis horizontal yang ditarik
melalui ujung procesus styloideus radii dan melalui
ujung distal ulna. Ukuran normalnya kira-kira 1 cm.
2. Derajat ulna tilt atau ulna deviation dari permukaan sendi ujung distal radius pada posisi
anterior posterior.
Normal, permukaan sendi ini letaknya miring menghadap ke ulnar. Derajat miringnya diukur dari
besarnya sudut antara garis horizontall yang tegak lurus pada sumbu radius dan garis yang sesuai
dengan permukaan sendi. Normal : 15 30 derajat, rata-rata 23 derajat.
3. Derajat volar tilt (volar deviation) dari permukaan sendi radius pada posisi lateral.
Normal : permukaan sendi ini miring menghadap kebawah dan kedepan. Besarnya diukur dengan
sudut antara garis horizontal tegak lurus sumbu radius dan garis yang sesuai dengan permukaan
sendi. Normal : 1 23 derajat, rata-rata 11 derajat.
Anterior :
Berbentuk cekung dan terdapat sekumpulan tendon/otot fleksor yang mempunyai fungsi fleksi lengan bawah
dan tangan. Dan pada bagian dalam ada: m. pronator quadratus yang berjalan menyilang dan berfungsi
terutama untuk pronasi.
Lateral :
Tampak m. supinator longus yang mempunyai insersi pada procesus. styloideus radii yang mempunyai fungsi
utama sebagai supinasi.
Fraktur Colles
Fraktur Colles paling sering ditemukan pada orang dewasa usia lanjut, dengan insidensi yang tinggi
berhubungan dengan permulaan osteoporosis pasca menopause,oleh sebab itu pasien biasanya wanita dengan
riwayat jatuh dengan tangan terentang. Burkhaeta (1985) mengatakan pada saat memikirkan fraktur pada
ekstremitas atas pada usia lanjut maka segera terpikirkan pertama kali adalah fraktur Colles.
Patah tulang antebrachii sering terjadi pada bagian distal yang umumnya disebabkan oleh gaya pematah langsung
sewaktu jatuh dengan posisi tangan hiperekstensi. Hal ini dapat diterangkan oleh karena adanya mekanisme
refleks jatuh di mana lengan menahan badan dengan posisi siku agak menekuk seperti gaya jatuhnya atlit atau
penerjun payung.
Fraktur Colles adalah fraktur pada tulang radius berjarak kurang atau sama dengan 2,5 cm dari pergelangan
tangan (Mc Rae, 1992), Apley dan Solomon, 1987.
Sheikh dan Murthy (2000), memberi batasan sebagai fraktur metafisis distal radius, biasanya terjadi pada 3 4 cm
dari facies artikularis dengan angulasi volar dari apex fraktur (deformitas garpu perak), pergeseran ke dorsal dari
fragmen distal dengan diikuti pemendekan (shortening) radial. Keadaan ini dapat atau tidak disertai fraktur
styloideus ulnae. Variasi intraartikular dapat melibatkan facies artikularis distal radius serta artikulatio
radiocarpea dan radioulnaris.
Fraktur Colles diuraikan pertama kali oleh Abraham Colles tahun 1814 sebagai fraktur dislokasi ujung distal
radius berjarak satu setengah inci dari sendi, yang ternyata terbukti kebenarannya dengan perkembangan
radiolografi (Pool, 1973).
Fraktur Colles terjadi pada penderita dengan riwayat jatuh dengan tangan terentang (Apley dan Solomon, 1987).
Trauma yang terjadii merupakan trauma langsung yaitu jatuh pada permukaan tangan sebelah volar menyebabkan
dislokasi fragmen fraktur sebelah distal ke arah dorsal. Dislokasi ini menyebabkan bentuk lengan bawah dan
tangan bila dilihat dari samping menyerupai garpu terbalik.
Klasifikasi :
Gertland dan Werley cit Zabinski dan Weiland (1999), mula-mula membagi trauma distal radius ke dalam fraktur
ekstra artikular dan intraartikular. Kebanyakan klasifikasi fraktur dibuat berdasarkan anatomii fraktur. Klasifikasi
Frykman didasarkan pada keterlibatan artikulatio radiokarpal dan atau radioulnar serta ada tidaknya fraktur
styloideus ulnae.
Klasifikasi Fraktur Colles menurut Frykman
Tip Uraian
e
I : Fraktur radius ekstra artikuler
II : Fraktur radius ekstra artikuler dengan fraktur ulna
III : Fraktur radius intra artikuler melibatkan sendi
radiokarpal
IV : Fraktur radius intra artikuler melibatkan sendi
radiokarpal disertai fraktur ulna distal.
V : Fraktur radius intra artikuler melibatkan sendi
radioulnaris distal
VI : Fraktur radius intra artikuler melibatkan sendi
radioulnaris distal disertai Fraktur ulna distal
VII : Fraktur radius intra artikuler melibatkan sendi
radiokarpal dan radio ulnaris distal.
VIII : Fraktur sendi radiokarpal dan radioulnaris distal disertai
fragmen ulnaris
Klasifikasi anatomi yang paling komprehensif dan lengkap adalah sistem AO (Zabinski dan Weiland, 1999).
Sistem ini membagi trauma menjadi tipe A (ekstra artikuler), tipe B (artikular simpel) dan tipe C (artikuler
komplek).
Lidstrom cit Roysam (1993), berdasarkan gambaran radiologis membagi fraktur Colles kedalam empat tingkatan
derajat keparahan pergeseran fragmen fraktur (derajat anatomis) dan kualitas reduksi yaitu derajat I, II, III dan IV
sesuai beratnya deformitas meliputi angulasi ke dorsal dan pemendekan (shortening) tulang radius )
Fraktur SMITH
fraktur dari radius bagian distal yang lokasinya - 1 inch dari ujung
Fraktur Smith adalah
distal radius dengan pergeseran fragmen distal ke depan (volar) dan ke atas disertai
pergeseran ulna bagian distallke belakang (dorsal).
Robert William Smith di Dublin (1847) mengatakan bahwa fraktur jenis ini jarang terjadii dan merupakan lawan
dari fraktur Colles. John Rhea Barton di Philadelpia (1838), mengemukakan bahwa faktur Barton adalah: fraktur
anterior dan posterior dengan dislokasi pergelangan tangan. Fraktur Colles adalah fraktur posterior dengan
dislokasi pergelangan tangan. Dan fraktur anterior dengan dislokasi pergelangan tangan inii disebut sebagai salah
satu tipe dari fraktur Smith.
Thomas (1957), mencoba membagi fraktur Smith ini menjadi 3 tipe dan fraktur barton jenis anterior dengan
dislokasi pergelangan tangan salah satu tipe dari fraktur Smith.
Penatalaksanaan
Konservatif :
o Mills (1957), telah menganjurkan cara manipulasi dari fraktur Smith dengan mengembalikan arah persendian
seperti semula. Mills dan Thomas menyarankan cara mengunci fragmen pada tempatnya dengan posisii
supinasi penuh. Imobilisasi dengan sirkuler gips diatas siku selama 5 6 minggu.
o Plewer (1962), menganjurkan untuk mobilisasi setelah gips dibuka supaya cepat, sebab kalau kurang aktif
akan mengakibatkan pergerakan pronasi yang terbatas dan terjadi kekakuan sendi tangan dan siku.
3. Type III :
Fraktur Smith yang non comminutive, tipe fleksi :
Disini juga dilakukan reduksi dengan traksi dan manipulasi dengan anestesi umum dan lengan
bawah posisi supinasi.
Penderita tidur terlentang dan posisi siku tegak lurus lalu dilakukan traksi dengan alat Weinberg
pada jari-jari diatas siku yang diikatkan di bawah meja.
Dengan dua tangan dimana jari-jari II V diletakkan pada fragmen proximal sebelah dorsal dan
dua ibu jari menekan ke atas dan ke belakang pada fragmen yang distal sampai pergelangan
tangan dalam posisi dorsofleksi dan deviasi kearah ulnar.
Lalu dipasang sirkuler gip dari bawah siku ke distal sampai setinggii persendian metacarpo
phalangeal dan kemudian alat traksi dilepas. Sesudah reposisi, dilakukan :
Kontrol foto, bila kedudukan jelek, reposisi lagi.
Operatif :
Cauchoix, Dupare dan Potel (1960), Menganjurkan pengobatan fraktur Smith dengan fiksasi dalam
(internal fixation) dengan memakai plat kecil berbentuk T (Ellis plate) dimana dua sekrup dipasang pada
fragmen proximal sedangkan fragmen distall ditahan dengan kuat tanpa memakai sekrup.
tehnik operasi yang dianjurkan adalah sebagai berikut :
Incisi vertikal melalui sisi radial arah volar dari lengan bawah bagian distal dan incisi
diperdalam sampai m. pronator quadratus antara m. flexor carpi radialis pada sisi lateral dan
m. palmaris longus dan medianus pada sisi medial.
M. flexor pollicis longus ditarik ke lateral dan tendon m. flexor digitorum sublimis ke medial,
dan m. pronator quadratus tampak pada sisi inferior dari tulang radius bagian bawah.
Fraktur diperbaiki dengan plat kecil, menyudut untuk menyesuaikan dengan permukaan dari tulang,
lalu dipasang sekrup pada fragmen proximal 2 buah dan pada fragmen yang distal plat tanpa sekrup
berguna untuk menyangga yang kuat dari fragmen yang telah dilakukan reposisi.
Akhir-akhir ini plat berbentuk T yang kecil telah tersedia, dimana pada fragmen tulang yang proximal
dengan 2 sekrup pada bagian vertikal.
Lalu luka operasi ditutup lapis demi lapis sampai kulit dan dipasang bebat tekan.
Mobilisasi jari-jari dimulai sejak hari pertama dan pergerakan pergelangan tangan, lengan bawah dimulai
segera setelah bebab tekan dilepas.
Keuntungan :
Hasilnya cukup memuaskan.
Sesudah operasi pergerakan dapat dilakukan dengan segera tanpa terjadi redisplacement dari fragmen
yang mengalami fraktur.
Diantara ke 3 tipe dari fraktur Smith, tipe Barton adalah yang paling memuaskan pada pengobatan dengan
cara operasi ini, juga pada tipe yang lain cukup memuaskan.
Komplikasi :
a. Kerusakan jaringan lunak :
Yang penting disini adalah kerusakan n. medianus karena tekanan dari fragmen radius yang fraktur.
b. Malunion :
Karena reposisi dan immbolisasi yang kurang baik.
c. Non union :
d. Osteoarthritis
e. Gangguan pronasi d an supinasi
Fraktur radius sepertiga distal
Fraktur radius saja biasanya terjadi akibat suatu trauma langsung dan sering terjadi pada bagian proksimal radius.
Fragmen fraktur akan terdislokasi. Dan fraktur ini sulit direposisi secara tertutup atau akan mengalami redislokasi
bila reposisi berhasil, oleh karena itu dianjurkan reposisi terbuka dan biasanya dipasang fiksasi interna dengan
jenis plat jenis kompresi
Type 1. Grs. Fraktur melewati epifisial plate seperti Slippe femoral epiphysis
Type 2. Grs fraktur melewati epifisial plate kemudian sebagian berlanjut ke metafisis
Type 3. Grs. Fraktur dari permukaan sendi ke proximal kemudian berlanjut ke epifisial plate
(intra artikuler)
Type 4. Grs Fraktur dari permukaan sendi ke proximal yang berakhir di metafisis (intra
artikuler)
Type 5. kerusakan dari sebagian epifisial plate akibat gaya trauma kompresi
Diagnosis.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis pemeriksaan klinis dan radiologis anterior posterior
dan lateral.
2 Klas B. Fr caput dan Colum radii Jika < dari permukaan sendi dan displace < 1 mm,
difikasi dengan long arm cast/posterior long arm
IA. Dengan tepi non-displace splint
IB. Tanpa Angulasi Colum Radii Jika angulasi < 30, terapi konservatif dengan fiksasi
IC Fraktur Komunitif Caput Radii interna.
Displace < permukaan sendi dilakukan long arm
IIA. Fraktur Displace cast. Displace > permukaan sendi dan dipresi >3 mm
IIB. Displace+Depresi Caput Radii di lakukan fiksasi interna
IIC. Fraktur Komunitif Jika ada angulasi > 30 atau fraktur komunitif
dilakukan fiksasi interna.
3 Klas B. Fr Caput dan Colum Angulasi <15 difikasi dengan Posterior long arm
Radii/Epifisis Pada Anak splint
Angulasi > 15 dengan long arm cast dengan anestesi
I. Tanpa Angulasi umum. Angulasi > 60 dilakukan reduksi terbuka
II. Dengan Angulasi
4 Klas C. Fr Prosesus Coronoid
Fiksasi dengan posterior long arm splint dan posisi
IA. Fragmen kecil elbow 90 serta supinasi atebrachii.
IB. Displace minimal Fiksasi interna
IC. Displace
ID. Displace dg posterior dislokasi
EKSTREMITAS INFERIOR
--------------------------------------------- RD Collection 2002
---------------------------------------------------
Fraktur Pelvis
Cincin pelvis dibentuk oleh :
1. Os Ileumkanan kiri
2. Os Sacrum (belakang)
3. Os Pubis kanankiri
Fraktur pelvis ditimbulkan uleh trauma yang hebat kecuali pada wanita tua dengan osteoporosis . Bila
terjadi trauma daerah pelvis jangan lupa evaluasi vesika urinaria, urethra, rektum , anus, pembuluh
darah besar dan gangguan neurologis (pleksus lumbalis, pleksus sacralis)
Management :
Evaluasi A, B, C
Syok akibat perdarahan , infus dan transfusi 4-6 U (24-36 jam pertama) perdarahan tetap
transfusi 10-12 U (24-36 jam pertama) perdarahan hebat lakukan laparotomi dan repair
pikirkan artrografi.
Fraktur Astabulum
Klasifikasi Apley dan Solomon 1993 :
I. Pilar anterior
II. Posterior
III. Transversal
IV. Komposit
I II III IV
Dislokasi posterior sendi kokse ( dasboard Injury / Putri malu : terdiri dari Fleksi, adduksi,
internal rotasi dan Shortening
Komplikasi ;
1. Trauma saraf skiatika
2. Osteoarthritis
3. Nekrosis avaskuler kaput femoris
Anatomi
Klasifikasi
Menurut AO dibagi menjadi :
I. Proksimal / Hip fraktur
a. Fraktur Caput femoris
b. Fraktur Collum femoris
c. Fraktur Intertrochanterica
d. Fraktur Subtrochanterica
II. Diafise
III. Distal
e. Fraktur Supracondylar
f. Fraktur Intercondyler
Evans Classification
Hip Fraktur / Caput femur
HIP adalah batas antara pelvis dengan ekstremitas bawah, sedang HIP JOINT dibentuk dari caput femoris
dan acetabulum
2. Ekstrakapsuler
Pada frakur ini akan tidak merusak vaskularisasi sehingga nekrosis vaskuler tidak terjadi. Sering pada
wanita usia lanjut akibat osteoporosis
Terapi :
Usia muda screw and plate, angle palte, condyler plate
Usia lanjut ORIF, bila menolak skintraksi sampai nyeri hilang
Insiden fraktur collum femur lebih banyak pada wanita daripada lak-laki, karena ada hubungan dengan
penurunan kadar estrogen yang menyebabkan osteoporosis. Pada fraktur collum seslalu terjadi displaced
upward dan downward terhadap caput femur, dimana menyebabkan rotasi eksternal dan pemendekan kaki
(shortening). Jika klinis curiga fraktur, radiologi tidak terlihat lakukan pemeriksaan Bone scanning dan untuk
melihat displaced secara jelas dengan MRI
Terapi : Operatif
Displaced usia muda ; ORIF
Usia tua kualitas tulang baik : Orif Kualitas tulang jelek : Uni / bipoler hemiarthroplasty
Klasifikasi OA / ASIF :
A: Ekstra-artikuler
B: Intra-articuler uncomminutif
C: Communitif fracture
Terapi :
- Konservatif
Knee fleksi 300 , Sekeletal traksi tibia proksimal 5-10 kg (4-6 minggu) klinikal union (+) cast brace
- Operasi Orif Condyler plate
Hoffa adalah seorang pengarang buku Lehrbuch der Frakturen und Luxationen pada tahun 1904 . Dialah
orang pertama yang menulis tentang fraktur yang terjadi di kondilus femoris pada daerah posterior. Oleh sebab
itu Smillie dan Crenshaw menulis bahwa fraktur di daerah tersebut disebut fraktur Hoffa. Fraktur Hoffa terjadi
berdiri sendiri (isolated) pada sisi lateral (terbanyak) atau sisi medial bahkan dapat terjadi pada kedua sisi (lateral
dan medial).
Letenneur membuat klasifikasi fraktur Hoffa ini menjadi 3 tipe dan kemudian dilakukan penelitian oleh lewis
et. al pada mayat sebagai berikut :
Tipe I
Garis fraktur Intraartikular yang menjalar ke daerah
suprakondiler Femoris dan beberapa jaringan lunak
masih melekat pada fragmen distal fraktur sehingga
prognosis baik karena otot popliteus dan
gastroknemius masih melekat.
Tipe II
fraktur intraartikular komplit dan tidak ada jaringan lunak
yang melekat pada fragmen distal sehingga dapat terjadi
nekrosis avaskular.
Pada tipe ini di bagi lagi menjadi a, b dan c
Prognosis tipe II ini adalah jelek karena perlengketan otot
popliteus dan gastroknemius sangat kurang bahkan tidak
ada sama sekali seperti tipe II c.
Tipe III
Garis fraktur sedikit ke anterior permukaan sendi dan ke
proksimo-posterior dari kondilus femoris Jaringan lunak atau
ligamentum masih melekat pada fragmen distal sehingga
prognosis tipe III adalah baik karena garis fraktur berada di
anterior dari ligamentum krusiatum anterior maupun
ligamentum kolaterale fibulare dan ligamentum tibiale.
Pemeriksaan radiografi dengan proyeksi AP (antero-posterior) dan lateral digunakan sebagai baku emas untuk
diagnosis fraktur Hoffa. Permasalahannya bila pada fraktur tersebut tidak terjadi pergeseran fragmen
(undisplaced) maka proyeksi AP dan lateral pada pemeriksaan radiografi sulit dianalisis. Keadaan ini
memerlukan pemeriksaan tomografi atau CT- Scan bagian distal femoris .
Mekanisme trauma kebanyakan akibat kecelakaan lalu-lintas dari pengendara sepeda motor dengan lutut
membentur langsung atau akibat jatuh dari ketinggian dengan lutut membentur benda keras.
Kondilus femoris yang terkena trauma tersebut dalam posisi lutut fleksi sehingga tepi bawah permukaan sendi
tersebut menjadi pecah. Kebanyakan kondilus sisi lateral, tetapi bila trauma tersebut sangat keras maka kedua sisi
lateral dan medial kondilus dapat terjadi fraktur dan bahkan kulit dan jaringan lunak yang terkena trauma dapat
rusak dan sobek sehingga terjadi fraktur terbuka.
Pada fraktur Hoffa yang bergeser (displaced) dilakukan operasi dan fiksasi dalam dengan menggunakan skru.
Bila fiksasi cukup stabil maka latihan gerakan sendi lutut dapat dilakukan lebih dini sehingga komplikasi
kekakuan sendi lutut dapat dicegah . Apabila stabilitas tidak tercapai maka perlu penambahan fiksasi luar yaitu
memakai gip atas lutut (above knee plester cast) dengan posisi lutut ekstensi penuh
Fraktur Hoffa ini sangat jarang dan didalam literatur baru 27 kasus yang ditulis dengan perincian 20 kasus oleh
Letenneur et. al dan 7 kasus oleh Lewis et. al maka dari itu, kami menulis satu kasus dengan diagnosis fraktur
Hoffa tipe I sinister terbuka tipe III B dengan dislokasi lateral patela sinister.
Schatzker Classification
Anatomi
Tibia merupakan tulang medial besar cruris, yang
berartikulasi dengan condylus femoris dan caput fibulae
di proximal dan dengan talus serta ujung distal fibula di
bagian distalnya. Pada bagian ujung proximal terdapat
condylus medialis dan lateralis (plateau tibialis medialis
dan lateralis), yang berartikulasi dengan condylus
medialis dan laterlis femur, dipisahkan oleh kartilago
semilunaris medialis dan lateralis (meniscus medialis dan
lateralis). Condylus lateralis memiliki facies artikularis
sirkularis untuk caput fibulae pada aspek lateralnya.
Condylus medialis mempunyai sebuah alur pada aspek
posteriornya untuk insersio m. semimembranosus. Corpus
tibia berbentuk segitiga pada potongan melintang, dengan
3 margo dan 3 facies. Margo anterior dan medial, dengan
facies medialis diantaranya, terdapat di subkutan.
Pada pertemuan margo anterior dengan ujung atas tibia terdapat tuberositas, tempat melekat lig. Patellae.
Margo lateral atau interossea menjadi tempat perlekatan membrane interossea. Facies posterior corpus tampak
garis serong linea musculi solei. Ujung distal tibia sedikit melebar dan pada aspek inferiornya tampak
permukaan sendi. Ujung bawahnya memanjang ke bawah membentuk malleolus medialis. Facies lateralis
malleolus medialis berartikulasi dengan talus.
Membrana interossea membagi cruris menjadi tiga ruang: anterior, lateral dan posterior. Arteri poplitea
mensuplai darah ke tibia dan fibula, bercabang menjadi a. tibialis anterior, a. tibialis posterior dan a. peroneal.
Nervus tibialis posterior mengikuti a. tibialis posterior dan menginervasi ruang posterior yaitu m.
gastrocnemius, m. plantaris, m. soleus dibagian superficial serta m. popliteus, m. flexor digitorum longus, m.
flexor hallucis longus dan m. tibialis posterior dibagian profunda. Arteri nutrisial ke tulang tibia berasal dari a.
tibialis posterior. N. tibialis anterior menginervasi ruang anterior, yaitu m. tibialis anterior, m. extensor
digitorum longus m. peroneus tertius, dan m. exstensor hallucis longus. Ruang lateralis berisi m. peroneus
longus dan brevis yang diinervasi n. peronealis.
Fraktur Tungkai Bawah disebut juga tulang Tibia Fibula (Levin & William, 1997).
Secara anatomis tungkai bawah dibagi tiga yaitu:
1. Fraktur tungkai bawah proksimal disebut juga fraktur plateau tibia.
2. Fraktur tungkai bawah media disebut fraktur shaft.
3. Fraktur tungkai bawah distal disebut fraktur pilon atau tibial plafond.
Melihat susunan anatomi tungkai bawah dengan permukaan medial tibia hanya dilindungi jaringan subkutan
periosteum yang melapisi tibia agak tipis terutama bagian depan yang hanya dilapisi kulit sehingga tulang ini
mudah patah dan susunan frakturnya bergeser. Karena letaknya yang berada langsung di bawah kulit sering
memudahkan terjadinya fraktur terbuka. Fraktur tungkai bawah merupakan akibat terbanyak dari kecelakaan lalu
lintas. Tenaga rotasi dapat terjadi juga pada olahragawan seperti saat bermain bola. Cedera biasanya terjadi akibat
gaya angulasi yang menyebabkan garis fraktur transversal atau miring kadang dengan fragmen kominutif.
IV V VI
Bagian proximal tibia dengan korteks yang tipis mudah terkena cedera, terutama pada orang dewasa berusia >
50 tahun dengan kondisi tulang yang osteoporotik. Mekanisme trauma biasanya berupa trauma abduksi, atau
pukulan langsung pada bagian lateral tungkai dengan kaki terfiksasi pada permukaan tanah. Trauma menekan
lutut kearah valgus medial dan mendorong kondilus femur ke plateau tibia lateralis. Tulang yang osteoporotik
akan mengalami fraktur sebelum ligament kolateral medial lutut robek. Permukaan sendi plateau tibia lateralis
akan terdesak ke kaudal dan lateral. Trauma membengkokkan, memuntir atau trauma sumbu pada daerah
plateau tibia dapat juga menimbulkan berbagai fraktur plateau tibia, seperti fraktur sendi sentral terdepresi.
Lebih sering trauma menimbulkan kominutif, yang meluas ke korteks metaphysis tibia. Satu atau kedua
condylus bila terlibat disertai hilangnya keharmonisan permukaan sendi tibia proximal.
Setiap fraktur plateau tibia harus memeriksa stabilitas ligament lutut dalam posisi ekstensi penuh dan
fleksi 15o-30o, sebab trauma didaerah tersebut kemungkinan besar dapat mengakibatkan instabilitas sendi.
Tujuan tindakan terapi pada fraktur plateau tibia adalah mencapai gerakan penuh, aligmen dan stabilitas sendi.
Secara klinik ditemukan nyeri lutut dank arena fraktur terjadi intraartikular didapatkan hemartrosis.
Hemartrosis yang besar, tegang, dan nyeri harus diaspirasi dalam kondisi aseptik.
Semua fraktur yang tak ada pergeseran atau pergeseran kecil, diterapi secara konservatif seperti imobilisasi
dengan gip yang disebut Long leg plester cast. Pada perpindahan fragmen atau fraktur kominutif
permukaan sendi tibia dapat dipikirkan penggunaan traksi. Pergeseran yang hebat pada setiap permukaan
sendi adalah indikasi untuk dilakukan operasi dan fiksasi interna.
Bila depresi fragmen fraktur <5 mm dan sendi lutut stabil dilakukan terapi konservatif seperti diatas, tetapi
bila depresi >5 mm atau bila kominutif menyebabkan pergeseran angularis pada condylus, maka terapi
operatif diperlukan, yaitu mengangkat fragmen tersebut sehingga sejajar dengan permukaan sendi kemudian
diikuti peletakan graft dan fiksasi interna.
Fraktur tertutup tibia dengan garis fraktur transversal yang stabil dan tak ada pergeseran, cukup diimobilisasi
dengan gips atas lutut (Long-leg plester). Pemasangan gip pada kaki harus posisi dorsofleksi 90 o. Pada lutut gip
dipasang dalam posisi lutut sedikit fleksi.
Fraktur dengan dislokasi fragmen dan tidak stabil atau garis fraktur obliq membutuhkan traksi kalkaneus kontinyu
selama 3 minggu. Setelah terbentuk kalus fibrosis, dipasang gips atas lutut sampai 6 minggu.
Garis fraktur yang miring dan membentuk spiral tidak stabil karena cenderung membengkok dan memendek
sesudah reposisi tertutup, memerlukan tindakan reposisi terbuka dan penggunaan fiksasi interna atau eksterna.
Operasi dan fiksasi interna dengan plate-screw untuk mencapai stabilisasi fragmen-fragmen tersebut. Fiksasi
interna dapat juga menggunakan nail dengan interlocking screw.
Untuk fraktur terbuka, debridemen segera, irigasi dan antibiotika diperlukan. Penutupan luka primer biasanya
tidak diindikasikan. Penggunaan external fixator device hanya pada fraktur terbuka dengan kerusakan
jaringan yang hebat. Dengan cara ini perawatan luka akan lebih mudah dan mobilisasi serta rehabilitasi dapat
dilakukan dini. Intervensi bedah untuk fraktur tertutup memberikan resiko infeksi dan harus dipertimbangkan
terhadap resiko terapi tertutup. Setiap selesai tindakan harus dilakukan pemeriksaan sinar x untuk menilai
aligmen, kontak fragmen dan apakah ada rotasi.
McCormack (2000) menjelaskan bahwa fraktur tungkai bawah distal disebabkan karena trauma dengan energi
besar yang biasanya berupa kekuatan deselerasi akibat jatuh dari tempat yang tinggi atau akibat kecelakaan lalu
lintas. Dua mekanisme yang menyebabkan terjadinya fraktur adalah rotasi dan kompresi axial, sehingga
menyebabkan garis fraktur berbentuk spiral yang meluas dari diafise tibia ke persendian. Mekanisme rotasi
adalah trauma dengan energi rendah pada distal tibia yang meluas ke persendian, biasanya akibat terjatuh atau
kecelakaan saat berolahraga, terutama ski. Mekanisme kompresi disebabkan energi yang lebih besar akibat beban
kekuatan axial yang hasilnya adalah impaksi permukaan sendi distal tibia dan komunitif metafise tulang. Trauma
dapat menyebabkan fraktur nondisplaced sampai fraktur tipe explosion komunitif berat.
Seperti fraktur intraartikular yang lain, tujuan terapi adalah memperbaiki anatomi permukaan sendi. Hal ini
memang sulit dan kadang tak mungkin dilakukan. Reduksi tertutup pada fraktur displacement hamper tak pernah
berhasil. Tulang tungkai bawah merupakan tulang panjang yang paling sering mengalami fraktur .Fraktur tibia
distal sering terjadi terutama pada remaja dan orang dewasa. Selain jatuh dari ketinggian, trauma kendaraan
bermotor dengan kecepatan tinggi masih merupakan penyebab terbanyak terjadinya fraktur tibia distal.
Penanganan fraktur tibia distal masih menjadi kontroversi. Hipocrates menyatakan bahwa fraktur tibia distal
akan bermasalah apabila tidak segera ditangani dengan baik, dan fraktur ditempat tersebut memerlukan
perhatian yang lebih besar dibanding fraktur ditempat lain (Levin & William, 1997). Penanganan fraktur tibia
distal biasanya dilakukan dengan Imobilisasi Gips atau operasi. Imobilisasi bertujuan untuk mencegah
pergeseran susunan tulang. Hooper et al. (1991) menulis penanganan dengan operasi pada fraktur tibia distal
memberikan hasil yang baik dibanding dengan penanganan gips, ini dikarenakan penyambungan tulang dapat
lebih cepat, sedikit terjadi mal union, dan segera dapat kembali bekerja. Bone et al (1997), juga menyebutkan
hasil penanganan dengan operasi lebih baik dibanding dengan pemakaian gips. Bonnier cit McCormack, 2000,
menyebutkan keberhasilan penyembuhan dengan imobilisasi gips pada kasus fraktur tibia distal lebih rendah dan
lebih lama dibandingkan dengan operasi . McCormack (2000), menyebutkan bahwa sebagian besar kasus fraktur
tibia distal disertai dengan pergeseran persendian, maka pilihan penanganan rekonstruksi yang paling baik adalah
dengan operasi.
Namun sebelumnya perlu juga dipertimbangkan kondisi penderita dan kondisi jaringan lunak akibat trauma,
untuk menentukan pilihan tindakan yang akan dilakukan. Bila fraktur dapat difiksasi interna, reduksi terbuka
dengan plates dan screws serta fiksasi internal fibula bila perlu, dengan atau tanpa bone grafting, sebaiknya
dicoba. Bila fraktur sangat kominutif sehingga fiksasi interna tak dapat dilakukan, dapat dicoba reduksi indirek
dengan ligamentotaxis: reduksi terbuka dan fiksasi internal fraktur fibula untuk memperbaiki panjangnya, serta
reduksi tertutup dan fiksasi eksternal tibia dengan tibiocalcaneal frame. Ini dapat mengembalikan kontur normal
dan aligmen distal cruris, dan mempermudah fusi tibiotalar. Fraktur ini biasanya disertai dengan kerusakan
jaringan lunak. Pembengkakan dapat terjadi dan biasanya dilakukan prolonged leg elevation, terutama untuk
mencegah surgical wound problems setelah reduksi terbuka. Penyembuhannya lambat dan weight bearing
sebaiknya dimulai bila hasil pemeriksaan radiologik menunjukkan adanya pemulihan tulang.
Klasifikasi berdasarkan pada derajat pergeseran dan kominutif permukaan sendi dibuat oleh Ruedi - Allgower cit.
Armis, (2003) sebagai berikut:
Tipe I : fraktur persendian tanpa pergeseran yang jelas atau minimal
Tipe II : fraktur disertai pergeseran sendi dan kominutif minimal
Tipe III : fraktur disertai pergeseran dan kominutif berat pada persendian
Kemudian Muller cit. Annis, (2003) mengusulkan klasifikasi yang lebih mendetail, sehingga disebut sebagai AO
Muller Classification. Pembagiannya dibagi menjadi 3
Tipe A : fraktur ekstra artikuler
Tipe B : fraktur partial artikuler yang hanya melibatkan permukaan sendi
Tipe C : fraktur komplit pada persendian dengan permukaan artikuler kominutif
The Ruede and Algower Classification Systems
Type I: Undisplaced
Fracture
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pasien dengan fraktur tibia dan fibula memerlukan pengetahuan tentang anatomi topografik,
vaskularisasi dan neural ekstremitas inferior. Pada cidera cruris, memposisikan cruris secara anatomic dapat
memperlancar aliran darah.
Semua punctum dan laserasi pada integumentum harus dipikirkan sebagai fraktur terbuka sampai terbukti atau
diruang operasi, dimana irigasi dan debridemen luka terbuka diperlukan. Capilary refill, toe pulp turgor dan suhu
harus diperiksa, serta pulsasi a. tibialis posterior dan dorsalis pedis. Bila pulsasi tak teraba karena syok atau
vasokonstriksi, dapat menggunakan pemeriksaan dopler. Cidera vascular biasanya terjadi diatas trifurcation a.
poplitea, sehingga bila terjadi fraktur dilokasi ini maka perlu dicurigai terjadi cidera vascular.
Bila capillary refill lambat atau dicurigai terjadi kerusakan vascular, arteriografi dapat dipertimbangkan, terutama
pada kasus fraktur dislokasi sendi lutut.
Palpasi sepanjang tulang tibia dapat menunjukkan adanya pembengkakan yang menggambarkan pergeseran
fraktur minimal. Pemeriksaan sendi lutut dan pergelangan kaki untuk menyingkirkan adanya cidera ligamentum,
seperti pada
fraktur plateau tibia yang dapat menyebabkan kerusakan ligament collateral medial. Adanya angulasi varus atau
valgus lutu dapat dicurigai terjadi fraktur plateau tibia atau fraktur femur distal.
Pemeriksaan sensorik perlu dilakukan. Pada fraktur fibula proximal dapat menyebabkan kerusakan n. peroneal,
disertai gangguan sensorik dan motorik. Disfungsi n. tibialis anterior dan n. peroneus profunda mengindikasikan
adanya sindrom kompartemen, hilangnya sensibilitas terhadap sentuhan ringan pada plantar pedis menunjukkan
adanya kompresi n. tibialis posterior.
Sindrom kompartemen merupakan peningkatan tekanan jaringan dalam kompartemen fascia tertutup, hal ini dapat
terjadi pada fraktur tibia terbuka maupun tertutup. Bila tekanan intrakompartemen melebihi tekanan kapiler, maka
akan mengganggu perfusi jaringan sehingga terjadi anoksia dan nekrosis jaringan dalam kompartemen.2 Tanda
dan gejalanya yaitu nyeri pada keadaan istirahat, parestesia, pucat, paresis, paralysis, denyut nadi hilang,
gangguan diskriminasi dua titik.
Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan radiologik tibia dan fibula anteroposterior dan lateral. Sebaiknya memvisualisasi sendi lutut dan
pergelangan kaki (ankle joint) untuk mencegah fraktur misdiagnosis fraktur intraartikularis.
Pada cidera high-energy foto ipsilateral femur dan pelvis diperlukan untuk menyingkirkan adanya floating knee
atau trauma pelvis. Empat puluh lima derajat obliq radiograf dapat membantu evaluasi plateau tibia. Tomografi
dapat membantu pada fraktur plateau tibia dan plafond untuk mengetahui luas kompresi sendi. CT-scan terbukti
berguna dalam merencanakan operasi reduksi dan fiksasi interna fraktur komlpeks.
Komplikasi
Trauma pada pembuluh darah, saraf, sindrom kompartemen
Pada tulang , seperti
1. Delayed union
2. Nonunion
3. Malunion.
Nonunion atau delayed union umumnya etrjadi bila terdapat displacement berat, kominutif, fraktur terbuka atau
kerusakan jaringan lunak yang berat dan infeksi. Nonunion dapat diterapi bone grafting, peningkatan stabilitas
fraktur, atau dengan stimilasi elektrik yang masih kontroversi. Penambahan tulang seperti graft corticocancellous;
transver mikrovaskular fibula bebas; transposisi fibula; deep circumflex arteri iliaca osteocutaneus
compositetransfer; substitusi tulang seperti
kalsium fosfat, allograft, atau hidroksiapatit; dan metode Ilizarov yaitu mentransport segmen tulang dengan
distraksi kalus.
Malunion merupakan penyambungan fraktur yang tidak normal sehingga menimbulkan deformitas.
Pada fraktur tibial shaft, deformitas varus atau valgus sampai dengan 5 o masih dapat diterima. Rotasi internal
5o dan rotasi eksternal 20o juga dapat diterima.
Infeksi biasanya merupakan komplikasi pada fraktur tibia terutama bila ada luka terbuka. Salah satu
komplikasi terberat pada fraktur terbuka adalah nonunion dengan infeksi. Penanganan nonunion diatasi
terlebih dahulu kemudian mengatasi infeksinya.
Komplikasi lain dapat berupa penyakit vena stasis, arthritis traumatic, claw toes akibat sindrom kompartemen
posterior, dan amputasi. Kronik joint pain atau stiffness dapat terjadi pada tibial plafond walaupun jarang.
Penatalaksanaan
Penanganan fraktur tibia distal umumnya dilakukan dengan dua cara yaitu pemakaian gips dan operatif
(Karunakar M.A, 2004).
1. Indikasi penanganan pemakaian gips
Trauma berenergi rendah
Cidera jaringan lunak minimal (Tscherne & Gotzen 0, 1)
Tipe fraktur stabil
Terapi :
Konservatif non displaced, gips sirkuler bawah lutut
Operatif adanya robekan ligamen dan dislokasi talus
3. Ligamen Krusiatum
Sering bersama-sama robekan ligamen kolateral medial.
Pemeriksaan :
Penderita .posisi telentang, lutut fleksi 90 0 , tungkai bawah dipegang dibagian proksimal tibia ditarik
ke depan dan belakang. Bila pergerakan bebas :
Ke depan robekan ligamentum krusiatum anterior
Ke belakang robekan ligamentum posterior
--------------------------------------------------------------------- Drawer test (+)
Instabilitas sendi dengan menggerakkan bagian proksimal tibia ke depan dengan lutut fleksi 10-20 0
Lachman test