Anda di halaman 1dari 17

BAB I

KONSEP MEDIS

A. DEFENISI
Fraktur kruris adalah terputusnya kontuinitas tulang dan ditentukan sesuai jenis
dan luasnya, terjadi pada tulang tibia dan fibula. Fraktur terjadi jika tulang dinai
stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya (Muttaqin, 2008).

B. ETIOLOGI
Klasifikasi fraktur menurut Chairudin (2003) dalam (Nurarif & Kusuma, 2015)
Klasifikasi Etiologis
1. Faktur traumatik
2. Fraktur patologis: terjadi pada tulang karenaadanya kelainan atau pnyakit
yang menyebabkan kelemahan pada tulang ( infeksi, tumor, kelainan
bawaan) dan dapat terjadi secara spontan atau akibat trauma ringan.
3. Fraktur stres terjadi karena adanya stresyang kecil dan berulang-ulang pada
daerah tulang yang menopang berat badan. Fraktur stres jarang sekali
ditemukan pada anggota gerak atas.
Klasifikasi Klinis
1. Fraktur tertutup (simple fraktur), bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar.
2. Fraktur terbuka (compoun fraktur), bila terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar.karena adanya perlukaan di kulit
3. Fraktur dengan komplikasi ( malunion, delayed, union,nonunion, infeksi
tulang)
Klasifikasi radiologis
1. Lokalisasi: diafisal, metafisial, intra-artikuler, fraktur dengan dislokasi
2. Konfigurasi: F. Tranfersal, F. Oblik, F. Spiral, F. Segmental, F. Komunitif, F.
Pecah, F. Epifisis
3. Menurut ekstensi: F. Total, F. Tidak total, F. Buckle atau torus, F. Garis
rambut,F.green stik

1
4. Menurut hubungan antara fragmen dengan fragmen lainnya: tidak
bergeser,bergeser ( bersampingan, angulasi, rotasi, distraksi, over-riding,
impaksi)

C. MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi klinik fraktur menurut Buttener (2012)
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi, hematoma, dan edema
2. Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah
3. Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang
melekat diatas dan dibawah tempat fraktur
4. Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit
6. Peningkatan temperatur local
7. Kehilangan fungsi

D. KOMPLIKASI

Komplikasi fraktur dapat diakibatkan oleh trauma itu sendiri atau akibat
penanganan fraktur yang disebut komplikasi iatrogenik .
1. Komplikasi umum
Syok karena perdarahan ataupun oleh karena nyeri, koagulopati diffus dan
gangguan fungsi pernafasan. Biasanya dalam 24 jam pertama pasca trauma
dan setelah beberapa hari atau minggu akan terjadi gangguan metabolisme,
berupa peningkatan katabolisme. Komplikasi umum lain dapat berupa emboli
lemak, trombosis vena dalam (DVT), tetanus atau gas gangrene
2. Komplikasi Lokal
a. Komplikasi dini

2
Komplikasi dini adalah kejadian komplikasi dalam satu minggu pasca tra
uma, sedangkan apabila kejadiannya sesudah 1 minggu pasca trauma dise
but komplikasi lanjut.
1) Pada Tulang
- Infeksi, terutama pada fraktur terbuka.
- Osteomielitis dapat diakibatkan oleh fraktur terbuka atau tindakan
operasi pada fraktur tertutup. Keadaan ini dapat
menimbulkan delayed union atau bahkan non union.
Komplikasi sendi dan tulang dapat berupa artritis supuratif yang
sering terjadi pada fraktur terbuka atau pasca operasi yang melibatkan
sendi sehingga terjadi kerusakan kartilago sendi dan berakhir dengan
degenerasi.
b. Pada Jaringan lunak
1) Lepuh , Kulit yang melepuh adalah akibat dari elevasi kulit superfisial
karena edema. Terapinya adalah dengan menutup kasa steril kering dan
melakukan pemasangan elastik
2) Dekubitus.. terjadi akibat penekanan jaringan lunak tulang oleh gips.
Oleh karena itu perlu diberikan bantalan yang tebal pada daerah-
daerah yang menonjol
c. Pada Otot
Terputusnya serabut otot yang mengakibatkan gerakan aktif otot
tersebut terganggu. Hal ini terjadi karena serabut otot yang robek melekat
pada serabut yang utuh, kapsul sendi dan tulang. Kehancuran otot akibat
trauma dan terjepit dalam waktu cukup lama akan
menimbulkan sindroma crush atau thrombus.
d. Pada pembuluh darah
Pada robekan arteri inkomplit akan terjadi perdarahan terus
menerus. Sedangkan pada robekan yang komplit ujung pembuluh darah
mengalami retraksi dan perdarahan berhenti spontan.

3
Pada jaringan distal dari lesi akan mengalami iskemi bahkan
nekrosis. Trauma atau manipulasi sewaktu melakukan reposisi dapat
menimbulkan tarikan mendadak pada pembuluh darah sehingga dapat
menimbulkan spasme. Lapisan intima pembuluh darah tersebut terlepas
dan terjadi trombus. Pada kompresi arteri yang lama seperti
pemasangan torniquet dapat terjadi sindrome crush. Pembuluh vena yang
putus perlu dilakukan repair untuk mencegah kongesti bagian distal lesi.
Sindroma kompartemen terjadi akibat tekanan intra kompartemen
otot pada tungkai atas maupun tungkai bawah sehingga terjadi penekanan
neurovaskuler sekitarnya. Fenomena ini disebut Iskhemi Volkmann. Ini
dapat terjadi pada pemasangan gips yang terlalu ketat sehingga dapat
menggangu aliran darah dan terjadi edema dalam otot.
Apabila iskhemi dalam 6 jam pertama tidak mendapat tindakan
dapat menimbulkan kematian/nekrosis otot yang nantinya akan diganti
dengan jaringan fibrus yang secara periahan-lahan menjadi pendek dan
disebut dengan kontraktur volkmann. Gejala kliniasnya adalah 5 P yaitu
Pain (nyeri), Parestesia (kesemutan), Pallor (pucat), Pulseness (denyut
nadi tak teraba) dan paralysis (kelumpuhan).
e. Pada saraf
Berupa kompresi, neuropraksi, neurometsis (saraf putus),
aksonometsis (kerusakan akson). Setiap trauma terbuka dilakukan
eksplorasi dan identifikasi nervus.
2. Komplikasi lanjut
Pada tulang dapat berupa malunion, delayedunion atau nonunion.Pada pemeri
ksaan terlihat deformitas berupa angulasi, rotasi, perpendekan atau
perpanjangan.
a. Delayed union

4
Proses penyembuhan lambat dari waktu yang dibutuhkan secara normal.
Pada pemeriksaan radiografi, tidak akan terlihat bayangan sklerosis pada
ujung-ujung fraktur,
Terapi konservatif selama 6 bulan bila gagal dilakukan Osteotomi
Lebih 20 minggu dilakukan cancellus grafting (12-16 minggu)
b. Non union
Dimana secara klinis dan radiologis tidak terjadi penyambungan.
Tipe I (hypertrophic non union) tidak akan terjadi proses penyembuhan
fraktur dan diantara fragmen fraktur tumbuh jaringan fibrus yang masih
mempunyai potensi untuk union dengan melakukan koreksi fiksasi
dan bone grafting.
Tipe II (atrophic non union) disebut juga sendi
palsu (pseudoartrosis) terdapat jaringan sinovial sebagai kapsul sendi
beserta rongga sinovial yang berisi cairan, prosesunion tidak akan dicapai
walaupun dilakukan imobilisasi lama.
Beberapa faktor yang menimbulkan non union seperti disrupsi periosteum
yang luas, hilangnya vaskularisasi fragmen-fragmen fraktur, waktu
imobilisasi yang tidak memadai, implant atau gips yang tidak memadai,
distraksi interposisi, infeksi dan penyakit tulang (fraktur patologis).
c. Mal union
Penyambungan fraktur tidak normal sehingga menimbukan
deformitas. Tindakan refraktur atau osteotomi koreksi .

d. Osteomielitis
Osteomielitis kronis dapat terjadi pada fraktur terbuka atau tindakan
operasi pada fraktur tertutup sehingga dapat menimbulkan delayed
union sampai non union (infected non union). Imobilisasi anggota gerak
yang mengalami osteomielitis mengakibatkan terjadinya atropi tulang
berupa osteoporosis dan atropi otot

5
e. Kekakuan sendi
Kekakuan sendi baik sementara atau menetap dapat diakibatkan
imobilisasi lama, sehingga terjadi perlengketan peri artikuler,
perlengketan intraartikuler, perlengketan antara otot dan tendon.
Pencegahannya berupa memperpendek waktu imobilisasi dan melakukan
latihan aktif dan pasif pada sendi. Pembebasan periengketan secara
pembedahan hanya dilakukan pada penderita dengan kekakuan sendi
menetap.

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah pencitraan
menggunakan sinar rontgen (x-ray). Hal yang harus dibaca pada x-ray:
Bayangan jaringan lunak.
(1) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik
atau juga rotasi.
(2) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
(3) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti:
(1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang
lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan
kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja
tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
(2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh
darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat
trauma.
(3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena
ruda paksa.

6
(4) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara
transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang
rusak.
b. Pemeriksaan Laboratorium
(1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan
tulang.
(2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan
kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
(3) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5),
Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada
tahap penyembuhan tulang.
c. Pemeriksaan lain-lain
(1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi.
(2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
(3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan
fraktur.
(4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena
trauma yang berlebihan.
(5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada
tulang.
(6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.

F. PENATALAKSANAAN

Dalam menangani fraktur, yang harus dipertimbangkan dalam pelaksanaannya


adalah :
a. Recognisi/pengenalan

7
Dimana riwayat kecelakaannya atau riwayat terjadi fraktur harus jelas.
b. Reduksi/manipulasi
Usaha untuk tindakan manipulasi fragmen yang patah sedapat mungkin dapat
kembali seperti bentuk asalnya/letak normal.
c. Retensi dan reduksi
Retensi menyebabkan metode-metode yang dilaksanakan untuk
mempertahankan fragmen tersebut selama penyembuhan. Metode yang
dipergunakan untuk mempertahankan reduksi adalah pemasangan gips dan
traksi.
a Gips
Adalah balutan ketat yang digunakan untuk mengimobilisasi bagian
tertentu. Tujuan pemasangan gips :
1. Mengimobilisasi organ fraktur.
2. Mencegah atau koreksi deformitas (memperbaiki bentuk).
3. Memberi tekanan pada jaringan lunak.
4. Mensupport dan menstabilkan sendi-sendi yang lemah.
5. Sebagai pembalut darurat.
b Traksi
Adalah menggunakan kekuatan penarikan pada bagian tubuh. Ini dapat
dicapai dengan memberikan beban yang cukup untuk mengatasi
penarikan otot.

Tujuan pemasangan traksi :


1. Meminimalkan spasme otot.
2. Untuk mengurangi dan mempertahankan kesejahteraan tubuh.
3. Untuk mengimobilisasi fraktur.
4. Untuk mengurangi deformitas.
c Tindakan pembedahan

8
Metode yang paling banyak keunggulannya untuk mempertahankan
reduksi dengan melakukan fiksasi eksterna.
d Plat/fiksasi interna
Kedua ujung tulang yang patah dikembalikan pada posisi asalnya dan
difiksasi dan dengan plat dan skrup atau diikat dengan kawat..

BAB II
KONSEP KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1. Anamnesis
a. Identitas klien, meliputi nama, jenis kelamin, usia, alamat, agama, bahasa
yang digunakan, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi,

9
golongan darah, nomor register, tanggal dan jam masuk rumah sakit, dan
diagnosis medis.
b. Riwayat penyakit sekarang
Kaji kronologi terjadinya trauma yang menyebabkan fraktur kruris,
pertolongan apa yang didapatkan, dan apakah sudah berobat ke dukun.
Selain itu, dengan mengetahui mekanisme kecelakaan, perawat dapat
mengetahui luka kecelakaan lain.
c. Riwayat penyakit dahulu
Pada beberapa keadaan, klien yang pernah berobat ke dukun patah
sebelumnya sering mengalami mal-union. Penyakit-penyakit tertentu,
seperti kanker tulang dan penyakit paget menyebabkan fraktur patologis
sehingga tulang sulit menyambung. Selain itu, klien diabetes dengan luka
di kaki sangat berisiko mengalami osteomielitis akut dan kronis serta
penyakit diabetes menghambat penyembuhan tulang.
d. Riwayat penyakit keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan patah tulang kruris adalah
salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti osteoporosis yang
sering terjadi pada beberapa keturunan dan kanker tulang cenderung
diturunkan secara genetik.

e. Riwayat psikososialspiritual
Kaji respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya, peran klien
dalam keluarga dan masyarakat, serta respon atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-hari, baik dalam keluarga maupun masyarakat.
f. Pola hubungan dan peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat karena
klien harus menjalani rawat inap.
g. Pola persepsi dan konsep diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur adalah timbul ketakutan akan
kecacatan akibat fraktur yang dialaminya, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah.
h. Pola sensori dan kognitif

10
Daya raba klien fraktur berkurang, terutama pada bagian distal fraktur,
sedangkan indra yang lain dan kognitifnya tidak mengalami gangguan.
i. Pola tata nilai dan keyakinan
Klien fraktur tidak dapat beribadah dengan baik, terutama frekuensi dan
konsentrasi dalam beribadah.
2. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum: Tanda-tanda yang perlu dicatat adalah kesadaran klien
(apatis,spoor,koma,gelisah,kompos metis, yang bergantung pada keadaan
klien), kesakitan atau keadaan penyakit (akut, kronis, ringan, sedang,
berat, dan pada kasus fraktur tibia-fibula biasanya akut).
b. B1 (Breathing). Pada pemeriksaan sistem pernapasan, didapatkan bahwa
klien faktur tibia-fibula tidak mengalami kelainan pernapasan.
c. B2 (Blood). Inpeksi: Tidak ada iktus jantung. Palpasi: Nadi meningkat,
iktus tidak teraba. Auskultasi: Suara S1 dan S2 tungal, tidak ada mur-mur.

d. B3 ( Brain).
1) Tingkat kesadaran, biasanya kompos mentis.
a) Kepala: Tidak ada gangguan, yaitu nomor sefalik,simetris, tidak
ada penonjolan, dan tidak ada sakit kepala
b) Leher: Tidak ada gangguan, yaitu simetris, tidak ada penonjolan,
dan refleksi menelan ada
c) Wajah: Wajah terlihat menahan sakit dan bagian wajah yang lain
tidak ada perubahan fungsi dan bentuk. Wajah simetris, tidak ada
lesi dan edema.
d) Mata: Tidak ada gangguan seperti kongjungtiva tidak anemis (pada
fraktur tertutup karena tidak terjadi pendarahan). Klien fraktur
terbuka dengan banyaknya pendarahan yang yang keluar biasanya
mengalami kongjungtiva anemis.
e) Telinga: Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak
ada lesi atau nyeri tekan.
f) Hidung: Tidak ada deformitas, tidak ada pernafasan cuping hidung.
g) Mulut dan Faring: Tidak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi
perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.

11
2) Pemeriksaan fungsi serebral. Status mental : Observasi penampilan
dan tingkah laku klien. Biasanya status mental tidak mengalami
perubahan.
3) Pemeriksaan saraf cranial :
a) Saraf I. Pada klien fraktur tibia-fibula, fungsi saraf I tidak ada
kelainan. Fungsi penciumanan tidak ada kelainan.
b) Saraf II. Tes ketajaman penglihatan dalam kondisi normal.
c) Saraf III, IV, dan VI. Biasanya tidak mengalami gangguan
mengangkat kelopak mata dan pupil isokor.
d) Saraf V. Pada klien meningitis umumnya tidak didapatkan paralisis
pada otot wajah dan reflex kornea tidak ada kelainan.
e) Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah
simetris.
f) Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli
persepsi.
g) Saraf IX dan X. Saraf menelan baik.
h) Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan
trapezius.
i) Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak
ada asikulasi. Indra pengecapan normal.
4) Pemeriksaan refleks. Biasanya tidak didapatkan refleks patologis.
e. B4 (Bladder). Kaji keadaan urine yang meliputi warna, jumlah, dan
karakteristik urine, termasuk berat jenis urine.
f. B5 (bowel). Inspeksi abdomen : Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
Palpasi : turgor baik, tidak ada defans muscular. Perkusi : suara timpani,
ada pantulan gelombang cairan. Asukultasi : peristaltik usus normal 20
kali/menit. Inguinal-genitalia-anus : tidak ada hernia, tidak ada
pembesaran limfe, dan tidak kesulitan BAB.
1) Pola nutrisi dan metabolisme. Klien fraktur harus mengonsumsi nutrisi
melebihi kebutuhan sehari-hari, seperti kalsium, zat besi, protei,
vitamin c, dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang.
2) Pola eliminasi. Kaji frekuensi, konsistensi, serta warna dan bau feses
pada pola eliminasi alvi.

12
g. B6 (Bone). Adanya fraktur tibia-fibula akan mengganggu secara lokal,
baik fungsi motorik, sensorik, maupun peredaran darah.
h. Look. Perhatikan adanya pembengkakakn yang tidak biasa (abnormal dan
deformitas). Ada ketidakmampuan menggerakkan kaki dan penurunan
kekuatan otot ekstremitas bawah dalam melakukan pergerakan.
i. Feel. Kaji adanya nyeri tekan (tenderness) dan krepitasi pada daerah
tungkai bawah.
j. Move. Kaji perubahan pola aktivitasa dan pola tidur dan istirahat.
3. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan ini dapat mengetahui lokasi fraktur, jenis fraktur, apakah fraktur
terjadi pada tibia dan fibula atau hanya pada tibia saja atau fibula saja. Selain
itu, pemeriksaan radiologi juga dapat menentukan apakah fraktur bersifat
segmental.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa yang mungkin muncul pada fraktur tibia menurut (NANDA, 2015)
1. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera fisik
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal
3. Ansietas berhubungan dengan ancaman pada status terkini
4. Konstipasi berhubungan dengan kurang aktivitas fisik
5. Risiko infeksi

C. RENCANA/ INTERVENSI KEPERAWATAN


Kriteria hasil dan intervensi berdasarkan NOC-NIC
1. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera fisik
NOC:
Klien mampu mengontrol nyeri
Klien mampu mengenali dan melaporkan level nyeri

NIC:
Pain Management:
- Kaji nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas, dan faktor presipitasi.
- Observasi reaksi non verbal dari ketidaknyamanan
- Evaluasi pengalaman nyeri masa lalu

13
- Kaji dampak dari pengalamn nyeri pasien terhadap kualitas hidup (ex:
tidur,nafsu makan, aktivitas,dll)
- Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang keefektifan
pengontrolan nyeri yang telah dilakukan sebelumnya.
- Kontrol faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi pasien terhadap
respon ketidaknyamanan seperti suhu ruangan, pencahayaan, dan
kebisingan.
- Ajarkan teknik penanganan nyeri farmakologi dan nonfarmakologi
- Tingkatkan istirahat
Analgesic Administration
- Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum
pemberian obat.
- Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis, dan frekuensi pemberian
obat
- Cek riwayat alergi obat
- Tentukan pilihan analgesik tergantung tipe dan beratnya nyeri
- Tentukan analgesic pilihan, rute pemberian, dan dosis optimal.
- Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama
kali

2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan


muskuloskeletal
NOC :
Klien mampu melakukan aktivitas sesuai kemampuannya

NIC :
Activity Therapy
- Kaji kemampuan pasien dalam melakukan aktivitas spesifik.
- Tetapkan komitmen pasien untuk meningkatkan frekuensi dan jarak
aktivitas.
- Bantu pasien untuk fokus terhadap kemampuan, dibandingkan dengan
kelemahn.
- Kolaborasi dengan terapi occupational, physical atau recreational dalam
perencanaan dan pemantauan program aktivitas yang tepat.

14
- Bantu pasien untuk mengidentifikasi dan mendapatkan sumber daya yang
diperlukan untuk aktivitas yang diinginkan.
- Bantu pasien untuk meningkatkan self-motivation dan kekuatan.

Bed Rest Care

- Jelaskan alasan pasien untuk bed rest.


- Posisikan klien dengan tepat.
- Biarkan linen pasien tetap bersih, kering dan tidak kusut.
- Monitor kondisi kulit pasien.
- Anjurkan pasien untuk melakukan mobilisasi (miring kanan-kiri)
setidaknya setiap 2 jam, sesuai jadwal yang ditentukan.
- Monitor komplikasi dari bed rest (ex: nyeri punggung, konstipasi,
peningkatan stress, depresi, kebingungan,perubahan siklus tidur,dll

3. Ansietas berhubungan dengan ancaman pada status terkini


NOC :
Klien mampu mengenal perasaannya (tingkat kecemasan)
NIC :
Anxiety reduction
- Jelaskan semua prosedur, termasuk sensasi yang mungkin dialami
selama prosedur.
- Anjurkan keluarga untuk tetap berada di samping pasien.
- Tetap berada di samping pasien untuk meningkatkan keamanan dan
menurunkan ketakutan.
- Anjurkan pasien untuk menungkapkan perasaan, persepsi dan
ketakutannya.
- Identifikasi perubahan tingkat kecemasan.
- Bantu pasien untuk mengidentifikasi situasi yang menimbulkan
kecemasan.
- Nilai tanda verbal dan nonverbal dari kecemasan.
- Instruksikan pasien unruk melakukan terknik relaksasi.
4. Risiko infeksi
NOC :
Klien mengenali faktor-faktor risiko infeksi
NIC :
Infection protection

15
- Monitor tanda dan gejala infeksi
- Tingkatkan teknik asepsis pada pasien yang berisiko infeksi
- Inspeksi kulit dan mukosa membrane terhadap kemerahan, kehangatan
atau drainase.
- Inspeksi kondisi setiap sayatan bedah atau luka.
- Ajarkan pasien dan keluarga untuk mencegah atau terhindar dari
infeksi.

5. Konstipasi berhubungan dengan kurang aktivitas fisik


NOC:
Mempertahankan bentuk feses lunak setiap 1-3 hari
Bebas dari ketidaknyamanan dan konstipasi
Mengidentifikasi indikator untuk mencegah konstipasi
NIC:
- Monitor tanda dan gejala konstipasi
- Monitor bising usus
- Monitor feses: frekwensi, konsistensi, dan volume
- Identivikasi faktor penyebab dan kontribusi konstipasi
- Dukung intake cairan
- Anjurkan pasien dan keluarga untuk diit tinggi serat

DAFTAR PUSTAKA

16
Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, M. C. (2013).
Nursing intervention classification (NIC) sitxh edition. America: Elsevier.

Buttener, J. R. (2012). Kedaruratan Medik Untuk Perawat dan Paramedik. (S.


Lyndon, Penyunt., & H. Lesmana, Penerj.) Tangerang Selatan:
BINARUPA AKSARA.

Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. (2015). Nanda International Nursing Diagnoses:


Defenitions and Classification 2015-2017. Jakarta: EGC.

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. (2013). Nursing outcomes
classification (NOC) measurement of health outcomes. America: Elsevier.

Muttaqin, A. (2008). Asuhan keperawatan klien gangguan sistem muskuloskeletal.


Jakarta: EGC.

Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosa Medis dan NANDA NIC- NOC (Vol. 2). Jogjakarta:
MEDIACTION.

Price, S. A., & Wilson, L. M. (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit (6 ed., Vol. 2). Jakarta: EGC.

17

Anda mungkin juga menyukai