Anda di halaman 1dari 48

PROPOSAL PENELITIAN

I. JUDUL PENELITIAN

HUBUNGAN TINGKAT KECEMASAN DENGAN PEMENUHAN

ISTIRAHAT TIDUR PADA PASIEN PRE OP DI RUANG

PERAWATAN KAMAR BEDAH RUMAH SAKIT TK II

PELAMONIA MAKASSAR

II. RUANG LINGKUP

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

III. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pola istirahat dan tidur merupakan kebutuhan dasar yang

dibutuhkan oleh semua orang. Untuk dapat berfungsi secara normal, maka

setiap orang memerlukan istirahat dan tidur (Damayanti et al., 2017).

Tidur merupakan keadaan hilangnya kesadaran secara normal dan

periodik. Dengan tidur, akan dapat diperoleh kesempatan untuk

memulihkan kondisi tubuh baik secara fisiologis maupun psikis (Rajin,

2012).

Kurang tidur ini dapat mengganggu kesehatan fisik maupun psikis.

Pada segi fisik, kurang tidur akan menyebabkan muka pucat, mata

semabah, badan lemas, dan daya tahan tubuh menurun sehingga mudah

terserang penyakit. Pada segi mental, kurang tidur akan mempengaruhi

1
2

sistem syaraf, yang menyebabkan timbulnya perubahan suasana kejiwaan

sehingga akan menjadi lesu, lamban menghadapi rangsangan, dan sulit

berkonsentrasi (Fitri, 2012). Seseorang bisa tidur ataupun tidak dapat

dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah perasaan cemas

(Rajin, 2012).

Perasaan cemas akan menyebabkan gangguan pada frekuensi tidur.

Hal ini disebabkan karena pada kondisi cemas akan meningkatkan

norepinefrin darah melalui sistem saraf simpatis, zat ini akan mengurangi

pemenuhan tidur seseorang (Indri et al., 2014). Faktor ini dapat menjadi

pencetus seseorang merasa cemas dapat berasal dari diri sendiri maupun

dari luar dirinya (LaDonna et al., 2018). Cemas adalah gejolak emosi

seseorang yang berhubungan dengan sesuatu di luar dirinya dan

mekanisme diri digunakan dalam mengatasi permasalahan (Damayanti et

al., 2017).

Bagi kebanyakan orang masuk rumah sakit, apakah direncanakan

atau kegawatan, merupakan suatu kejadian membuat traumatik. Ketakutan

pada sesuatu yang tidak dikatahui dan antisipasi pada sesuatu yang tidak

dikenal dan prosedur yang mungkin menyakitkan kemungkinan akan

menjadi penyebab yang paling umum dari kecemasan (Grupe & Nitschke,

2013).

Beberapa hasil penelitian menunjukkan tingkat kecemasan

berdampak terhadap pola istirahat. Menurut Loihala (2016), pasien pre

operatif menunjukkan bahwa dari 10 orang pasien terdapat 5 orang (50%)


3

yang memiliki tingkat kecemasan dalam kategori sedang, 2 orang (20%)

dalam kategori ringan, responden dengan tingkat kecemasan berat

sebanyak 2 orang (20%), dan responden yang tidak merasa cemas

sebanyak 1 orang (10%).

Hasil penelitian Qulsum et al. (2012), responden pasien pre-

operasi apendiktomi yang diteliti tingkat kecemasannya, diperoleh data

sebanyak 3.33% pasien yang akan menghadapi pembedahan apendiktomi

mengalami kecemasan berat, 73.3% mengalami kecemasan sedang dan

23.3% mengalami kecemasan ringan. Sedangkan hasil penelitian Kuraesin

(2009) menujukkan terdapat hubungan signifikan antara tingkat

kecemasan pasien dengan pemenuhan pola istirahat tidur.

Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medis Rumah Sakit

Tk II Pelamonia Makassar tentang jumlah pasien yang masuk rumah sakit

dan mendapatkan tindakan operasi selama 3 bulan terakhir yaitu Bulan

Oktober 2020 sebanyak 143 orang, bulan November 2019 sebanyak 169

orang dan Bulan Desember 2020 sebanyak 146 orang.

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan dengan melihat

jumlah banyaknya jumlah pasien yang masuk rumah sakit. Disamping itu

jumlah pasien yang akan menjalani operasi dengan berbagai dignosa

semakin menigkat. Pasien yang akan menjalani proses operasi rata mereka

merasa khawatir dengan kondisi yang akan dia hadapi di ruangan operasi.

Oleh karena itu peneliti tertarik mengangkat judul penelitian tentang

“hubungan tingkat kecemasan dengan pemenuhan istirahat tidur pada


4

pasien pre op di ruang perawatan kamar bedah rumah sakit TK II

Pelamonia Makassar”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah bagaimana hubungan tingkat kecemasan dengan

pemenuhan istirahat tidur pada pasien pre op di ruang perawatan kamar

bedah rumah sakit TK II Pelamonia Makassar.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan tingkat

kecemasan dengan pemenuhan istirahat tidur pada pasien pre op di

ruang perawatan kamar bedah rumah sakit TK II Pelamonia Makassar

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui gambaran tingkat kecemasan pada pasien pre

op di ruang perawatan kamar bedah rumah sakit TK II Pelamonia

Makassar

b. Untuk mengetahui gambaran pemenuhan istirahat tidur pada

pasien pre op di ruang perawatan kamar bedah rumah sakit TK II

Pelamonia Makassar

c. Untuk mengetahui hubungan tingkat kecemasan dengan

pemenuhan istirahat tidur pada pasien pre op di ruang perawatan

kamar bedah rumah sakit TK II Pelamonia Makassar.


5

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Ilmiah

Menambah pemahaman tentang hubungan tingkat kecemasan dengan

pemenuhan istirahat tidur pada pasien pre op di ruang perawatan

kamar bedah rumah sakit TK II Pelamonia Makassar.

2. Manfaat Institusi

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai saran pendukung untuk

pengembangan materi dalam proses belajar mengajar.

3. Manfaat Praktisi

Untuk menambah pengetahuan serta kepatuhan bagi penulis dalam

penelitian ini.

4. Manfaat Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi

masyarakat, sumber kepustakaan dan sebagai bahan masukan untuk

mahasiswa yang ingin melanjutkan penelitian ini khususnya di STIK

Makassar.

IV. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjuan Umum Tentang Tingkat Kecemasan

1. Defenisi kecemasan

Anxiety atau dalam bahsa Indonesia dapat diartikan dengan

kecemasan, merupakan salah satu faktor psikologis yang tidak dapat

lepas dari kehidupan manusia. Kata dasar anxiety dalam bahasa


6

Indonesia Jerman adalah “angh” yang dalam bahasa Latin

berhubungan dengan kata “angustus, ango, angor, anxius, anxietas,

angina”. Nietzal berpendapat bahwa kecemasan berasal dari bahasa

Latin (anxius) dari bahasa Jerman (anst) yaitu suatu kata yang

digunakan untuk menggambarkan efek negatif dan rangsangan

fisiologis (Gufron dan Risnawati, 2010).

Kecemasan merupakan keadaan suasana hati yang ditandai

oleh efek negatif dan gejala-gejala ketegangan jasmaniah dimana

seseorang mengantisipasi kemungkinan datangnya bahaya atau

kemalangan di masa yang akan datang dengan perasaan khawatir.

Kecemasan mungkin melibatka perasaan perilaku dan respon-respon

fisiologis (Feist dan Feist, 2006). Menurut Herdman (2010),

kecemasan adalah perasaan tidak nyaman atau ketakutan yang tidak

jelas dan gelisah disertai dengan respon otonom (sumber terkadang

tidak spesifik atau tidak diketahui oleh individu), perasaan yang was-

was untuk mengatasi bahaya.

Ini merupakan sinyal peringatan akan adanya bahaya dan

memungkinkan individu untuk mengambil langkah dalam

menghadapinya. Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat

disimpulkan bahwa kecemasan adalah respon psikologis terhadap

stres yang mengandung komponen fisiologis dan psikologis,

perasaan takut atau tidak tenang yang tidak diketahui sebabnya.

Kecemasan terjadi ketika seseorang merasa terancam baik secara


7

fisik maupun psikologik seperti harga diri, gambaran diri atau

identitas diri

2. Macam-macam kecemasan

Menurut Freud (dalam Feist dan Feist, 2010) terdapat tiga

jenis kecemasan, yaitu kecemasan neurosis, kecemasan moral dan

kecemasan realistis. Ketiga kecemasan tersebut saling berkaitan

antara satu dan yang lainnya dan tidak terdapat batas yang jelas

antara ketiga jenis kecemasan tersebut.

a. Kecemasan neurosis (neurotic anxiety) adalah rasa cemas

terhadap bahaya yang tidak diketahui. Perasaan cemas tersebut

berada pada ego, tetapi muncul dikarenakan adanya dorongan id.

b. Kecemasan mora (moral anxiety) bermula dari konflik antar ego

dengan superego. Bermula dari konflik tersebut maka kecemasan

moral sering dikatakan sebagai kecemasan suara hati. Pada anak

yang sedang membentuk superego maka kecemasan akan muncul

secara berkembang.

c. Kecemasan realistis (realistic anxiety) didefinisikan

Sebagai perasaan tidak menyenangkan yang tidak spesifik

mencangkup kemungkinan bahaya akan terjadi. Kecemasan

realistis merupakan kecemasan yang berkaitan dengan rasa takut,

namun berbeda dengan rasa takut itu sendiri. Kecemasan realistik

berbeda dengan rasa takut karena tidak mencangkup objek secara

khusus ditakuti melainkan sesuatu yang tidak bisa dikontrol.


8

Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa

kecemasan terbagi dalam 3 bentuk kecemasan diantaranya,

kecemasan neurosis, kecemasan moral dan kecemasan realistis.

Kecemasan neurosis berasal dari diri sendiri. Kecemasan moral

merupakan rasa cemas yang muncul karena adanya pertentangan

diri. Bnetuk kecemasan terakhir adalah kecemasan realistis

merupakan kecemasan yang berasal dari luar dirinya, baik itu

berupa bahaya yang sudah terlihat maupun bahaya dimasa depan.

3. Respon kecemasan

Barlow (2002, dalam Passer & Smith, 2007) mengemukakan respon

kecemasan memiliki empat komponen, yaitu respon subjektif

emosional, respon kognitif, respon fisiologis dan respon perilaku.

a. Respon subjektif emosional, merupakan respon emosional yang

dirasakan, seperti perasaan tertekan dan ketakutan.

b. Respon kognitif berupa pemikiran khawatir dan pemikiran tidak

mampu untuk mengatasi berbagai hal.

c. Respon fisiologis berupa perubahan yang terjadi pada fisik

seseorang seperti meningkatnya denyut jantung, tekanan darah,

menegangnya otot-otot, peningkatan intensitas bernafas, mual,

mulut kering, dehidrasi dan berkeringat.

d. Respon perilaku berupa perilaku menghindar dari situasi tertentu

yang dapat menganggu dalam penyelesaian tugas. Clark dan Beck

(2010, dalam Rizal, 2014) memaparkan simtom kecemasan.


9

Simtom-simtom tersebut terdiri dari simtom fisik, simtom

kognitif, simtom perilaku dan simtom afektif, secara terperinci

sebagai berikut:

a) Simtom fisik terdiri dari detak jantung meningkat; nafas

pendek dan cepat; nyeri dada atau dada terasa tertekan;

sesenggukan; pusing; berkeringat; kedinginan; merasa mual;

diare; sakit perut gemetar; kesemutan; kelelahan; goyah;

pingsan; otot tegang dan kaku dan mulut kering.

b) Simtom kognitif terdiri dari takut kehilangan kendali; takut

cidera fisik atau kematian; takut akan menjadi “gila”; takut

akan penilaian negatif dari orang lain; pengalaman

menakutkan; gambar atau ingatakan; persepsi

ketidaknyataan; konsentrasi yang buruk, kebingungan,

mudah terakihkan; penyempitan perhatian, terlalu fokus pada

ancaman; memori yang buruk; kesulitan dalam penalaran,

kehilangan objektivitas.

c) Simtom perilaku terdiri dari menghindari isyarat ancaman

atau situasi; mengurung diri; mencari jaminan atas

keselamatan diri; gelisah, mondar-mandir; hiperventilasi;

tidak dapat bergerak atau terlalu banyak gerak; sulit bicara.

d) Simtom afektif terdiri dari gugup, tegang; takut; tidak sabar,

frustasi. Berdasarkan penjabaran diatas, dapat disimpulkan


10

bahwa kecemasan dapat menimbulkan empat bentuk simtom

diantaranya ada

simtom fisik, kognitif, perilaku dan afektif. Respon tersebut

muncul berbeda dalam setiap individunya, tergantung dari dari

individu yang mengalami kecemasan tersebut.

4. Rentang Respons Ansietas

a. Respons Adaptif

Hasil yang positif akan didapatkan jika individu dapat menerima

dan mengatur kecemasan. Kecemasan dapat menjadi suatu

tantangan, motivasi yang kuat untuk menyelesaikan masalah dan

merupakan sarana untuk mendapatkan penghargaan yang tinggi.

Strategi adaptif biasanya digunakan seseorang untuk mengatur

kecemasan antara lain dengan berbicara kepada orang lain,

menangis, tidur, latihan, dan menggunakan teknik relaksasi.

b. Respons Maladaptif

Ketika kecemasan tidak dapat diatur, individu menggunakan

mekanisme koping yang disfungsi dan tidak berkesinambungan

dengan yang lainnya. Koping maladaptif mempunyai banyak jenis

termasuk perilaku agresif, bicara tidak jelas isolasi diri, banyak

makan, konsumsi alkohol, berjudi, dan penyalahgunaan obat

terlarang.

Menurut Stuart dan Sundeen dalam Asmadi (2008), ada beberapa

tingkat kecemasan dan karakteristiknya antara lain :


11

1) Kecemasan ringan

a) Berhubungan dengan ketegangan dalam peristiwa sehari-

hari

b) Kewaspadaan meningkat

c) Persepsi terhadap lingkungan meningkat

d) Dapat menjadi motivasi positif untuk belajar dan

menghasilkan kreatifitas.

e) Respon fisiologis : sesekali napas pendek, nadi dan tekanan

darah meningkat sedikit , gejala ringan pada lambung, muka

berkerut serta bibir bergetar

f) Respon kognitif : mampu menerima rangsangan yang

kompleks, konsentrasi pada masalah, menyelesaikan

masalah secara efektif, dan terangsang untuk melakukan

tindakan.

g) Respon perilaku dan emosi: tidak dapat duduk tenang,

tremor halus pada tangan dan suara kadang-kadang

meninggi.

2) Kecemasan Sedang

a) Respon fisiologis : sering napas pendek, nadi ekstra siastol

dan tekanan darah meningkat, mulut kering, anoreksia,

diare/ konstipasi, sakit kepala, sering berkemih dan letih

b) Respon kognitif : memusatkan perhatiannya pada hal yang

penting dan mengesampingkan yang lain, lapang persepsi


12

menyempit, dan rangsangan dari luar tidak mampu diterima.

Respon perilaku dan emosi: gerakan tersentak-sentak,

terlihat lebih tegang, bicara banyak dan lebih cepat, susah

tidur, dan perasaan tidak aman.

3) Kecemasan Berat

a) Individu cenderung memikirkan hal yang kecil saja dan

mengabaikan hal yang lain.

b) Respon fisiologis : napas pendek, nadi dan tekanan darah

naik berkeringat dan sakit kepala, penglihatan berkabut,

serta tampak tegang.

c) Respon kognitif : tidak mampu berpikir berat lagi dan

membutuhkan banyak pengarahan dan tuntunan serta

lapang persepsi menyempit.

d) Respon perilaku dan emosi : perasaan terancam meningkat

dan komunikasi menjadi terganggu (verbalisasi cepat).

4) Panik

a) Respon fisiologis : napas pendek, rasa tercekik, dan

palpitasi, sakit dada, pucat, hipotensi, serta rendahnya

koordinasi motorik.

b) Respon kognitif : gangguan realitas, tidak dapat berpikir

logis, persepsi terhadap lingkungan mengalami distorsi, dan

ketidakmampuan memahami situasi.


13

c) Respon perilaku dan emosi : agitasi, mengamuk, dan marah,

ketakutan, berteriak-teriak, kehilangan kendali/kontrol diri

(aktivitas motorik tidak menentu), perasaan terancam, serta

dapat berbuat sesuatu yang membahayakan diri sendiri dan

orang lain.

5. Faktor Kecemasan

Menurut Durand & Barlow (2006) terdapat tiga faktor yang

berkontribusi terhadap kecemasan, yaitu biologis, psikologis dan

sosial.

a. Kontribusi biologis

Terdapat beberapa penelitian yang melandasi pernyataan dari

Durand dan Barlow (2006) bahwa faktor biologis dapat

berkontribusi dalam kecemasan seorang individu. Contoh

penelitian yang mendasari pernyataan mereka adalah penelitian

menganai GABA (Gamma Aminobutycric Acid) dan penelitian

penelitian menganai CRF (coertocotropin releasing factor).

Tingkat GABA yang sangat rendah dapat secara tidak

langsung berpengaruh terhadapdengan meningkatnya kecemasan

( Durand & Barlow, 2006).

b. Kontribusi psikologis

Perasaan mampu mengontrol (sense of control) semua aspek

kehidupan dimasa depan yang pasti sampai tidak pasti (Durand &

Barlow, 2006). Persepsi bahwa dimasa depan dipenuhi oleh hal-


14

hal yang tidak dapat dikontrol tampak nyata dalam bentuk

keyakinan bahwa masa depan dipenuhi oleh bahaya (Durand &

Barlow, 2006).

c. Kontribusi sosial

Peristiwa yang menimbulkan stres seperti perkawinan,

perceraian, kematian, cedera, penyakit dan tekanan sosial untuk

pencapaian memicu kerentanan kita terhadap kecemasan (Durand

& Barlow, 2006). Barlow (2002, dalam Durand & Barlow, 2006)

mengungkapkan bahwa stresor tersebut dapat memicu reaksi fisik

sakit kepala, hipertensi serta reaksi emosional seperti serangan

panik. Aktan (2011) mengemukakan kontribusi sosial khususnya

dukungan sosial dapat berdampak positif pada penurunan

kecemasan.

Menurut Lutfa dan Maliya (2008), faktor-faktor yang

mempengaruhi kecemasan operasi adalah sebagai berikut:

a. Faktor-faktor intrinsik, antara lain

1) Usia Pasien

Gangguan kecemasan lebih sering terjadi pada usia dewasa dan

lebih banyak pada wanita. Menurut Stuart & sundeen (2006)

Sebagian besar kecemasan terjadi pada umur 21-45 tahun.

2) Pengalaman

Menjelaskan bahwa pengalaman awal ini sebagai bagian

penting dan sangat menentukan bagi kondisi mental individu di


15

kemudian hari. Apabila pengalaman individu tentang

pengobatan kurang, maka cenderung mempengaruhi

peningkatan kecemasan saat menghadapi tindakan pengobatan

selanjutnya.

3) Konsep diri dan peran

Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan

pendirian yang diketetahui individu terhadap dirinya dan

mempengaruhi individu untuk berhubungan dengan orang lain.

Peran adalah pola, sikap, perilaku dan tujuan yang diharapkan

dari seseorang berdasarkan posisinya di masyarakat. Banyak

faktor yang mempengaruhi peran seperti kejelasan perilaku

dan pengetahuan yang sesuai dengan peran, konsistensi respon

orang lain yang berarti terhadap peran, kesesuaian dan

keseimbangan antara peran yang dialaminya, serta keselarasan

budaya dan harapan individu terhadap perilaku peran. Selain

itu terjadinya situasi yang menciptakan ketidaksesuaian

perilaku peran, akan mempengaruhi kehidupan individu.

Pasien yang mempunyai peran ganda baik di dalam keluarga

atau di masyarakat akan cenderung mengalami kecemasan

yang berlebih disebabkan konsentasi terganggu.


16

b. Faktor-faktor ekstrinsik, antara lain :

1) Kondisi medis

Terjadinya kecemasan yang berhubungan dengan kondisi

medis sering ditemukan, walaupun insidensi gangguan

bervariasi untuk masing-masing kondisi medis, misalnya: pada

mempengaruhi tingkat kecemasan pasien dibandingkan dengan

pasien yang didiagnosa baik.

2) Tingkat pendidikan

Pendidikan pada umumnya berguna dalam merubah pola pikir,

pola bertingkah laku dan pola pengambil keputusan. Tingkat

pendidikan yang cukup akan lebih mudah dalam

mengidentifikasstressor dalam diri sendiri maupun dari

luarnya.

3) Akses informasi

Akses informasi merupakan pemberitahuan tentang sesuatu

agar orang membentuk pendapat berdasarkan sesuatu yang

diketahuinya. Informasi yang akan didapatkan pasien sebelum

pelaksanaan tindakan operasi terdiri dari tujuan, proses, resiko

dan komplikasi serta alternatif tindakan yang tersedia, serta

proses administrasi (Smeltzer dan Bare dalam Lutfa dan

Maliya. 2008

4) Adaptasi
17

Kozier dan Olivery dalam Lutfa dan Maliya (2008),

menjelaskan bahwa tingkat adaptasi manusia dipengaruhi oleh

stimulus internal dan eksternal dan membutuhkan respon

perilaku yang terus menerus. Proses adaptasi sering

menstimulasi individu untuk mendapatkan bantuan dari

sumber-sumber dimana individu berada. Perawat merupakan

sumber daya yang tersedia dirumah sakit yang mempunyai

pengetahuan dan ketrampilan untuk membantu pasien

mengembalikan atau mencapai keseimbangan diri dalam

menghadapi lingkungan yang baru.

5) Tingkat sosial ekonomi

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa masyarakat kelas

sosial ekonomi rendah memililki prevalensi gangguan

psikiatrik yang lebih banyak. Dari penelitian tersebut dapat

disimpulkan bahwa keadaan ekonomi yang rendah atau tidak

dapat mempengaruhi tingkat kecemasan pada pasien

menghadapi tindakan operasi.

6) Tindakan operasi

Adalah klasifikasi tindakan terapi medis yang dapat

mendatangkan kecemasan karena terdapat ancaman pada

integritas tubuh dan jiwa seseorang (Muttaqin dan Sari, 2009).


18

7) Lingkungan

Menurut Ramaiah (2003) lingkungan atau sekitar tempat

tinggal mempengaruhi cara berfikir. Hal ini bisa saja

disebabkan pengalaman dengan keluarga, sahabat, rekan

sejawat dan lain-lain. Kecemasan wajar timbul jika anda

merasa tidak aman terhadap lingkungan.

c. Alat Ukur Kecemasan

Ada berbagai cara mengukur tingkat kecemasan, diantaranya

adalah :

1) Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS)

Untuk mengetahui tingkat kecemasan pada pasien apakah

masuk kedalam tingkat kecemasan ringan, sedang atau berat,

menggunakan instrument ukur yaitu Hamilton Anxiety Rating

Scale (HARS).

Skala ini dibuat oleh Max Hamilton tujuannya adalah untuk

menilai kecemasan sebagai gangguan klinikal dan mengukur

gejala kecemasan. Kuesioner HARS berisi empat belas

pertanyaan yang terdiri dari tiga belas kategori pertanyaan

tentang gejala kecemasan dan satu kategori perilaku saat

wawancara. (Nursalam, 2011).

Dengan hasil keterangan

Skor kurang dari 14 = tidak ada kecemasan.

Skor 14 – 20 = kecemasan ringan.


19

Skor 21 – 27 = kecemasan sedang.

Skor 28 – 41 = kecemasan berat.

Skor 42 – 56 = kecemasan berat sekali

B. Tinjuan Umum Tentang Istirahat Tidur

1. Pengertian Istrahat Tidur

Kata “istrahat” mempunyai arti yang sangat luas meliputi bersantai

menyegarkan diri, diam menganggur setelah melakukan aktivitas

serta melepaskan diri dari apa pun yang membosankan, menyulitkan,

atau menjengkelkan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa

istrahat merupakan keadaan yang tenang rileks, tanpa tekanan

emosional dan bebas dari kecemasan (ansietas).

Seseorang dapat benar-benar istrahat bila :

a. Merasa segala sesuatu dapat diatasi dan dibawah kontrolnya

b. Merasa diterima eksistensinya baik di tempat tinggal, kantor,

atau di mana pun juga termasuk ideidenya diterima oleh orang

lain

c. Mengetahui apa yang terjadi

d. Bebas dari gangguan dan ketidaknyamanan

e. Memiliki kepuasan terhadap aktivitas yang dilakukannya

f. Mengetahui adanya bantuan sewaktu-waktu bila memerlukannya

(Asmadi, 2008)
20

2. Tidur

Tidur merupakan suatu keadaan tidak sadar di mana persepsi dan

reaksi individu terhadap lingkungan menurun atau hilang, dan dapat

dibangunkan kembali dengan indra atau rangsangan yang cukup.

Tujuan seseorang tidur tidak jelas diketahui, namun diyakini tidur

diperlukan untuk menjaga keseimbangan mental emosional

fisiologis,

dan kesehatan. Sesorang dapat dikategorikan sedang tidur apabila

terdapat tanda tanda sebagai berikut :

a. Aktivitas fisik minimal

b. Tingkat kesadaran yang bervariasi

c. Terjadi perubahan proses fisiologis tubuh Penurunan respon

terhadap rangsangan dari luar.

Selama tidur, dalam tubuh sesorang terjadi perubahan proses

fisiologis. Perubahan tersbut, antara lain :

a. penurunan tekanan darah, denyut nadi

b. dilatasi pembuluh darah perifer

c. kadang-kadang terjadi peningkatan aktivitas traktus

gastrointestinal

d. Relaksasi otototot rangka

e. Basal metabolisme rate (BMR) menurun 10-30 %

Pada waktu tidur, terjadi perubahan tingkat kesadaran yang

Berfluktuasi. Tingkat kesadaran pada organ-organ pengindraan


21

berbeda beda. Organ pengindraan yang mengalami penurunan

kesadaran yang paling dalam selama tidur adalah indra pencium. Hal

ini dapat dibuktikan dengan banyaknya kasus kebakaran yang terjadi

di malam hari tanpa disadari oleh penghuninya yang sedang tidur.

Organ pengindraan yang mengalami penurunan tingkat kesadaran

yang paling kecil adalah indra pendengaran dan rasa sakit. Ini

menjelaskan mengapa orang-orang yang sakit dan berada dan berada

dalam lingkungan yang bising acap kali tidak dapat tidur.

Tujuan seseorang tidur tidak jelas diketahui, namun diyakini

tidur diperlukan untuk menjaga keseimbangan mental emosional,

fisiologis, dan kesehatan. Sesorang dapat dikategorikan sedang tidur

apabila terdapat tandatanda sebagai berikut :

a. Aktivitas fisik minimal

b. Tingkat kesadaran yang bervariasi

c. Terjadi perubahan proses fisiologis tubuh

d. Penurunan respon terhadap rangsangan dari luar.

Selama tidur, dalam tubuh sesorang terjadi perubahan proses

fisiologis. Perubahan tersbut, antara lain :

a. penurunan tekanan darah, denyut nadi

b. dilatasi pembuluh darah perifer

c. kadang-kadang terjadi peningkatan aktivitas traktus

gastrointestinal

d. Relaksasi otototot rangka


22

e. Basal metabolisme rate (BMR) menurun 10-30 %.

Pada waktu tidur, terjadi perubahan tingkat kesadaran yang

berfluktuasi. Tingkat kesadaran pada organ-organ pengindraan

berbedabeda. Organ pengindraan yang mengalami penurunan

kesadaran yang paling dalam selama tidur adalah indra pencium. Hal

ini dapat dibuktikan dengan banyaknya kasus kebakaran yang terjadi

di malam hari tanpa disadari oleh penghuninya yang sedang tidur.

Organ pengindraan yang mengalami penurunan tingkat

kesadaran yang paling kecil adalah indra pendengaran dan rasa sakit.

Ini menjelaskan mengapa orang-orang yang sakit dan berada dan

berada dalam lingkungan yang bising acap kali tidak dapat tidur.

Tidur tidak dapat diartikan sebagai manifestasi deaktifasi sistem

saraf pusat. Sebab pada orang yang tidur, sistem saraf pusatnya tetap

aktif alam sinkronisasi terhadap neuron substansia retikularis dari

batang otak. Ini dapat diketahui melalui pemeriksaan

electroencephalogram (EEG). Alat trsebut dapat memperlihatkan

fluktuasi energi (gelombang otak) pada kurva grafik (Asmadi, 2008).

3. Jenis dan Tahapan tidur

Pada hakikatnya tidur terdiri dari dua tahap yaitu tidur dengan

gerakan bola mata cepat (Rapid Eye Movement-REM), dan tidur

dengan gerakan bola mata lambat (Non-Rapid Eye Movement-

NREM).

a. Tidur REM
23

Tidur REM merupakan tidur dalam kondisi aktif atau tidur

paradoksial. Hal tersebut berarti tidur REM ini sifatnya nyenyak

sekali, namun fisiknya yaitu gerakan kedua bola matanya bersifat

sangat aktif. Tidur REM ditandai dengan mimpi, otot-otot kendor,

tekanan darah bertambah, gerakan mata cepat (mata cenderung

bergrak bolak-balik), sekresi lambung meningkat, ereksi penis

pada laki-laki, gerakan otot tidak teratur, kecepatan jantung, dan

pernapasan tidak teratur sering lebih cepat, serta suhu dan

metabolisme meningkat. Apabila seseorang mengalami

kehilangan tidur REM, maka akan menunjukkan gejala-gejala :

a. Cenderung hiperaktif

b. Kurang dapat mengendalikan diri dan emosi (labil)

c. Nafsu makan bertambah

d. Bingung dan curiga

b. Tidur NREM

Tidur NREM merupakan tidur yang nyaman dan dalam. Pada

tidur NREM gelombang otak lebih lambat dibandingkan pada

orang yang sadar atau tidak tidur. Tanda-tanda tidur NREM

antara lain: mimpi berkurang, keadaan istrahat, tekanan darah

turun, pernapasan dan metabolisme menurun, dan gerakan bola

mata lambat. Tidur NREM memiliki empat tahap yang masing-

masing tahap ditandai dengan pola perubahan aktivitas

gelombang otak.
24

Keempat tahap tersebut yaitu :

Tahap I

Tahap I merupakan tahap transisi di mana seseorang beralih dari

sadar menjadi tidur. Pada tahap I ini ditandai dengan seseorang

merasa kabur dan rileks, seluruh otot menjadi lemas, kelopak

mata menutup mata, kedua bola mata bergerak ke kiri dan ke

kanan, kecepatan jantung dan pernapasan menurun secara jelas,

pada EEG terlihat terjadi penurunan voltasi gelomban gelombang

alfa. Seseorang yang tidur pada tahap I ini dapat dibangunkan

dengan mudah.

Tahap II

Merupakan tahap tidur ringan dan proses tubuh terus menurun.

Tahap II ini ditandai dengan kedua bola mata berhenti bergerak,

suhu tubuh menurun, tonus otot perlahan lahan berkurang, serta

kecepatan jantung dan pernapasan turun dengan jelas. Pada EEG

timbul gelombang beta yang berfrekuensi 14-18 siklus/detik.

Gelombang-gelombang ini disebut dengan gelombang

tidur.Tahap II ini brlangsung sekitar 10-15 menit.

Tahap III

Pada tahap ini, keadaan fisik lemah lunglai karena tonus otot

lenyap secara menyeluruh. Kecepatan jantung, pernapasan, dan

proses tubuh berlanjut mengalami penurunan akibat dominasi

sistem saraf parasimpatis. Pada EEG, memperlihatkan perubahan


25

gelombang beta menjadi 1-2 siklus/detik. Seseorang yang tidur

pada tahap II ini sulit untuk dibangunkan.

Tahap IV

Tahap IV merupakan tahap tidur dimana seseorang berada dalam

keadaan rileks, jarang bergerak karena keadaan fisik yang sudah

lemah lunglai, dan sulit dibangunkan. Pada EEG, tampak hanya

terlihat gelombang delta yang lambat dengan frekuensi 1-2

siklus/detik. Denyut jantung dan pernapasan menurun sekitar 20-

30%. Pada tahap ini dapat terjadi miopi. Selain itu, tahap IV ini

dapat memulihkan keadaan tubuh. Selain keempat tahap tersebut,

sebenarnya ada satu tahap lagi yakni tahap V. Tahap kelima ini

merupakan faktor REM di mana setelah tahap IV seseorang

masuk ke tahap V. Hal. tersebut ditandai dengan kembali

bergeraknya kedua bola mata yang berkecepatan lebih tinggi dari

tahap-tahap sebelumnya.

Tahap V ini berlangsung sekitar 10 menit, dapat pula terjadi

mimpi. Selama tidur malam sekitar 7-8 jam, seseorang mengalami

REM, dan NREM bergantian sekitar 4-6 kali. Apabila seseorang

mengalami kehilangan tidur NREM, maka akan menunjukkan

gejala-gejala sebagai berikut:

1) Menarik diri, apatis, dan respon menurun

2) Merasa tidak enak badan

3) Ekspresi wajah kuyu


26

4) Malas bicara

5) Kantuk yang berlebihan.

Sedangkan apabila sesorang kehilangan tidur keduaduanya,

yakni tidur REM dan NREM, maka akan menunjukkan manifestasi

sebagai berikut :

1) Kemampuan memberikan keputusan atau pertimbangan menurun

2) tidak mampu untuk konsentrasi (kurang perhatian)

3) terlihat tanda-tanda keletihan seperti penglihatan kabur, mual dan

pusing sulit melakukan aktivitas sehari-hari

4) daya ingat berkurang, timbul halusinasi, dan ilusi penglihatan atau

pendengaran (Asmadi, 2008)

4. Fisiologi Tidur

Perangsangan pada beberapa darah spesifik otak dapat menimbulkan

keadaan tidur dengan sifat-sifat yang mendekati keadaan tidur alami.

Beberapa cara perangsangan ini adalah sebagai berikut :

a. Daerah perangsangan yang paling mencolok yang dapat

menimbulkan keadaan tidur alami adalah nuklei rafe yang terletak

di separuh bawah pons dan di medula. Nuklei ini merupakan

suatu lembaran tipis neuron khusus yang terletak pada garis

tengah. Serabut saraf dan nuklei ini menyebar setempat di

formatio retikularis batang otak dan juga ke atas menuju

thalamus, hipothalamus, sebagian besar daerah sistem limbik, dan

bahkan neokorteks serebri.


27

b. Perangsangan beberapa area di nukleus traktus solitarius juga

dapat menimbulkan tidur. Nukleus merupakan daerah terminal di

medulla dan pons yang dilewati oleh sinyal sensorik viseral yang

masuk melalui nervus vagus dan nervus glossovaringeus.

c. Perangsangan beberapa regio pada diensefalon juga dapat

membantu menimbulkan keadaan tidur, meliputi

1) Bagian rostral hipotalamus, terutama area suprakiasma, dan

2) Suatu area yang terkadang dijumpai di nukleus difus talamus.

3) Keadaan siaga

Lesi diskret di nuklei rafe menimbulkan keadaan siaga yang

ekstrem. Keadaan ini juga timbul bila ada lesi bilateral di area

suprakiasma bagian medial dan rostral pada hipotalamus

anterior.

4) Substansi transmitter lain

Penelitian telah membuktikan bahwa keadaan tidur dapat

dicetuskan bila ke dalam sistem ventrikel otak seekor hewan

disuntikkan cairan serebrospinal dan darah atau urin yang

mengandung suatu zat yang akan menyebabkan tidur bila

diambil dari hewan lain yang dibuat terjaga selama beberapa

hari.

5) Efek fisiologis tidur

Keadaan tidur menyebabkan timbulnya 2 macam efek

fisiologis utama. Pertama, efek pada sistem sarafnya sendiri,


28

dan kedua, efek pada sistem fungsional tubuh lainnya. Efek

pada sistem saraf pusat nampakya jauh lebih penting, sebab

setiap orang yang mengalami transeksi medula spinalis

setinggi leher (dan karenanya tak mengalami siklus tidur-siaga

di bawah daerah pemotongan) tidak akan memperlihatkan efek

yang berbahaya pada tubuh di bawah tingkat pemotongan yang

dianggap merupakan asal timbulnya siklus tidur dan siaga.

Akan tetapi, kekurangan tidur kekurangan tidur tentu saja akan

mempengaruhi fungsi sistem saraf pusat, seperti gangguan

proses pikir yang progresif, dan kadang-kadang bahkan dapat

menyebabkan aktivitas perilaku yang abnormal (Guyton

&Hall, 2006) Fisiologi tidur dapat diterangkan melalui

gambaran aktivitas sel-sel otak selama tidur.

Aktivitas tersebut dapat direkam dalam alat EEG.

Polygraphy, dengan cara ini kita tidak saja merekam gambaran

aktivitas sel otak (EEG) tetapi juga merekam gerak bola mata

(EOG) dan tonus otot (EMG). Untuk EEG, elektroda hanya

ditempatkan pada dua daerah saja, yakni daerah front sentral

dan oksipital, gelombang alfa paling jelas terlihat di daerah

frontal (Tenrirismawati, 2009)

Terdapat 4 jenis gelombang yaitu :

Gelombang Alfa, merupakan gelombang berirama yang

timbul pada frekuensi antara 8 dan 13 siklus/detik dan


29

dijumpai di hampir semua rekaman EEG orang dewasa normal

sewaktu bangn dan keadaan tenang, yaitu istrahat berpikir.

Gelombang ini lebih sering terjadi pada region oksipital namun

dapat juga direkam dari region parietal dan region frontal kulit

kepala. Besar voltase biasanya sekitar 50 mikrovolt. Selama

tidur yang dalam, gelombang alfa menghilang.

Gelombang beta timbul pada frekuensi lebih dari 14

siklus/detik dan dapat mencapai 80 siklus per detik.

Gelombang ini terekam khususnya dari region parietal dan

region frontal selama bagian-bagian otak tersebut melakukan

aktivitas yang spesifik.

Gelombang teta, mempunyai frekuensi antara 4 dan 7

siklus/detik. Gelombang ini normalnya timbul di regio parietal

dan temporal anak-anak, namun dapat juga terjadi selama

stress emosional pada orang dewasa, terutama selama

menjalani kekecewaan dan frustasi. Gelombang teta juga

timbul pada banyak gangguan otak, seringkali pada keadaan

otak yang berdegenerasi.

Gelombang delta, meliputi semua gelombang EEG,

dengan frekuensi kurang dari 3,5 siklus/detik, dan memiliki

volume sebesar 2-4 kali voltase pada kebanyakan tipe

gelombang otak lain. Gelombang ini terjadi pada saat tidur

nyenyak, pada bayi, dan pada penyakit organik otak yang


30

parah. Gelombang ini juga terjadi pada korteks hewan yang

telah mengalami transeksi subkortikal yang memisahkan

korteks serebri dari thalamus. Oleh karena itu, gelombang delta

dapat timbul pada korteks dan tak bergantung pada aktivitas di

region bawah otak (Guyton & Hall, 2006)

5. Fungsi Tidur

Fungsi tidur adalah restoratif (memperbaiki) kembali organ-

organ tubuh. Kegiatan memperbaiki kembali tersebut berbeda saat

Rapid Eye Movement (REM) dan Nonrapid Eye Movement

(NREM). Nonrapid Eye Movement akan mempengaruhi proses

anabolik dan sintesis makromolekul ribonukleic acid (RNA). Rapid

Eye Movement akan mempengaruhi pembentukan hubungan baru

pada korteks dan system neuroendokrin yang menuju otak. Selain

fungsi di atas tidur, dapat juga digunakan sebagai tanda terdapatnya

kelainan pada tubuh yaitu terdapatnya gangguan tidur yang menjadi

peringatan dini keadaan patologis yang terjadi di tubuh (Arifin, dkk.,

2010)

6. Pola Tidur Normal

Tabel 2.1 Pola Tidur Normal Berdasarkan Usia (Asmadi, 2008)

Tingkat Perkembangan/Usia Pola Tidur Normal


Bayi Baru Lahir Tidur 14-18 jam sehari, pernapasan

teratur, gerak tubuh sedikit, 50% tidur

NREM, banyak waktu tidurnya


31

dilewatkan pada tahap II dan IV tidur

NREM. Setiap siklus sekitar 45-50

menit
Bayi Tidur 12-14 jam sehari, 20-30% tidur

REM, tidur lebih lama pada malam

hari

dan punya pola terbangun sebentar.


Toddler Tidur sekitar 10-12 jam sehari, 25 %

tidur REM, banyak tidur pada malam

hari, terbangun dini hari berkurang,

siklus bangun tidur normal sudah

menetap pada umur 2-3 tahun.


Pra sekolah Tidur sekitar 11 jam/hari, 20% tidur

REM, perioede terbangun kedua

hilang pada umur 3 tahun. Pada umur

5 tahun, tidur siang tidak ada kecuali

kebiasaan tidur sore hari.


Usia Sekolah Tidur sekitar 10 jam perhari, 18,5%

tidur REM. Sisa waktu tidur relative

konstan
Remaja Tidur sekita 8, 5 jam sehari, dari 20 %

tidur REM
Dewasa Muda Tidur sekitar 7-9 jam sehari, 20-25%

tidur REM, 5- 10% tidur tahap I, 50%

tidur tahap II, dan 10-20% tidur tahap

III-IV.
Dewasa Pertengahan Tidur sekitar 7 jam shari, 20% tidur
32

REM, mungkin mengalami insomnia

dan sulit untuk dapat tidur


Dewasa Tua Tidur sekitar 6 jam sehari, 20-25%

tidur

REM, tidur tahap IV nyata berkurang

kadang-kadang tidak ada. Mungkin

mengalami insomnia dan sering

terbangun sewaktu tidur malam hari.


C. Tinjuan Umum Tentang Hubungan Tingkat Kecemasan Dengan

Pemenuhan Istirahat Tidur Pada Pasien Pre Op

Kecemasan dan depresi seringkali menganggu tidur. Orang yang

dipenuhi dengan problem pribadi mungkin tidak mampu untuk relak

dengan cukup yang dapat membawanya menjadi tidur. Kecemasan

meningkatkan kadar norepinephrin di dalam darah melalui stimulasi

berkurangnya tidur tahap IV NREM dan tidur REM serta terbangun.

(Closs, 1988 dalam Azzam, 2009) sistem saraf simpatis.

Penelitian yang dilakukan oleh Wahyuningsih (2007), menyatakan

bahwa terdapat hubungan antara tingkat kecemasan dengan kualitas

tidur pada pasien pre operasi, dimana semakin tinggi tingkat kecemasan

maka akan semakin buruk kualitas tidurnya. Hal ini sejalan dengan teori

yang dikemukakan oleh Potter & Perry (2010), yang menyatakan bahwa

kecemasan pada pasien pre operasi dapat mengganggu tidur dan sering

terbangun selama siklus tidur. Kecemasan meningkat dapat karena

penyakit dan hospitalisasi. Hal ini berhubungan dengan pemeriksaan dan


33

operasi diagnosis yang diidentifikasi sebagai penyebab kualitas tidur

pasien buruk.

Tabel
Sintesa Penelitian Sebelumnya

No Judul Penelitian dan Jenis Sampel dan Teknik Hasil Penelitian


Nama Jurnal Penelitian Penarikan Sampel
1. Hubungan tingkat Desain Populasi dalam Ada Hubungan Tingkat
kecemasan dengan yang penelitian ini adalah Kecemasan dengan Kualitas
kualitas tidur pasien digunakan seluruh pasien Pre Tidur Pada Pasien Pre
pre operasi di rumah pada operatif Di Rumah operasi Di Rumah Sakit
sakit umum sundari penelitian Sakit Umum Sundari Umum Sundari Medan
medan, Muflih,2019 ini adalah Medan periode
survey Januari - Maret 2016
analitik sebanyak 50 pasien
dengan Pre operatif. Sampel
pendekata dalam penelitian ini
n Cross menggunakan Total
Sectional Population yaitu
seluruh population di
jadikan sampel
dalam penelitian
yaitu sebanyak 50
pasien Pre Operatif.
2. Pengaruh kecemasan Uji Sampel dalam penelitian Setelah dilakukan penelitian
terhadap kualitas tidur analisis ini merupakan pasien pra terhadap kualitas tidur pasien
operasi, pengambilan dewasa pra operasi dapat hasil
pada pasien dewasa pra dalam sampel menggunakan mayoritas responden mengalami
operasi di rumah sakit penelitian Teknik Purposive cemas sedang 38 orang (51,3%),
umum imelda pekerja ini Sampling sejumlah 74 cemas ringan 24 orang (32,4%) dan
indonesia , Imelda mengguna responden cemas berat 12 orang (16,3%).
Liana Ritonga, Hanapi kan uji Rata-rata responden mengalami
kualitas tidur buruk 45 orang
Pratiko,2018 analaisi (60,8%) dan yang baik 29 orang
regresi (39,2%). Responden yang
liner mengalami kecemasan sedang
sederhana sampai berat diketahui mayoritas
berjenis kelamim perempuan dan
yang akan menjalanin operasi
caesarea dan bedah orthopedi dari
uji analis menunjukkan nilai sig =
0,002< 0,005 sehingga dapat
disimpulkan bahwa ada pengaruh
kecemasan terhadap kualitas tidur
pada pasien pra operasi di rsu
imelda pekerja indonesia
3. Hubungan tingkat Jenis Sampel dalam Ada hubungan tingkat kecemasan
34

kecemasan dengan penelitian penelitian ini dengan pemenuhan kebutuhan


pemenuhan kebutuhan yang sebanyak 30 orang istirahat dan tidur pada keluarga
pasien yang dirawat di ruangan
istirahat dan tidur pada digunakan dengan teknik ICU
keluarga pasien yang adalah accidental sampling
dirawat di ruang icu deskriptif
Riskiyanto kalay, analitik
zuhriana k. Yusuf, abd. dengan
Wahab pakaya, 2015 pendekata
n cross
sectional
study
4. Hubungan kecemasan Penelitian Jumlah subjek Kecemasan responden
dengan kualitas tidur pasien ini penelitian sebesar 60 dengan kategori ringan
pre operasi sectio caesarea di
rskia sadewa sleman, Kalifa
merupaka orang yang diambil sebanyak 33 orang (55%),
Nurahmad Fauzi, Harmilah, n dengan cara dan berat sebanyak 27 orang
Budhy Ermawan,2017 penelitian consecutive sampling (45%). Kualitas tidur dengan
non- kategori baik sebanyak 36
experimen orang (60%) dan buruk
tal dengan sebanyak 24 orang (40%).
rancangan Hasil uji Chi-square antara
cross kecemasan dengan kualitas
sectional tidur diperoleh nilai p=0,026
(p<0,05) dan OR=3,3 (1,134-
9,801)
5 Dampak kecemasan Penelitian Populasi dalam Sebagian besar pasien
terhadap pemenuhan pola mengguna penelitian ini adalah (53,5%) mengalami tingkat
istirahat tidur pada pasien
pre-operasi di ruang rawat
kan desain seluruh pasien pre- kecemasan sedang dan hanya
inap RSUD Kota Langsa, penelitian operasi dengan sebesar 30.2% yang
Kasad, Azwarni, Nora analitik jumlah sampel mengalami kecemasan
Hayan,2019 dengan sebanyak 43 ringan. Secara statistik
pendekata responden diambil terdapat hubungan signifikan
n cross dengan (p < 0.05) antara tingkat
sectional. menggunakan teknik kecemasan dengan
aksidental sampling. pemenuhan pola istirahat
tidur pada pasien pre operasi
diruang rawat inap RSUD
Kota Langsa, dengan nilai p=
0.00

V. KERANGKA KONSEP

A. Dasar Pemikiran Variabel Peneliti


35

Kecemasan pre operasi secara umum terjadi pada pasien yang akan

menjalani prosedur operasi dan pembedahan elektif. Sumber kecemasan

pre operatif . Ketika pasien akan menghadapi proses operasi pasien akan

mengalami kesulitan tidur. Sehingga kebutuhan tidur dari pasien tersebut

tidak akan terpenuhi

B. Pola Pikir Variabel Peneliti

Berdasarkan konsep pemikiran yang ada, maka dapat di gambarkan

suatu model hubungan antara variabel yang diteliti sebagai berikut:

Pemenuhan Istirahat
Kecemasan Tidur Pada Pasien Pre Op

Keterangan :

: Variabel independent

: Variabel Dependent

: Garis hubungan (variabel yang diteliti)

C. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif

1. Kecemasan

Kecemasan adalah perasaan khawatir, perasaan tidak nyaman atau

ketakutan tidak jelas dan gelisah berlebihan yang dirasakan oleh pasien

yang akan menjalni proses operasi yang diungkapkan melalui

pertanyaan dalam kuesioner. Dalam penilain tingkat kecemasan kita

menggunakan skala HRS-A (Hamilton Rating Scale of Anxiety)

Kriteria objektif
36

Sedang : jika jumlah hasil kuesioner ≤ 27

Berat : jika jumlah hasil kuesioner > 27

2. Pemenuhan istirahat tidur

Pemenuhan kebutuhan istrahat tidur dalam penelitian ini adalah hal-hal

yang dialami klien baik sebelum, sedang, ataupun setelah tidur dan

waktu yang digunakan klien untuk tidur yang dapat membuat klien

merasa beristirahat dengan cukup ataupun kurang.

Kriteria objektif

Kurang : jika jumlah hasil kuesioner ≥ 24

Cukup : jika jumlah hasil kuesioner < 24

D. Hipotesis Penelitian

Ho : Tidak ada hubungan tingkat kecemasan dengan pemenuhan istirahat

tidur pada pasien pre op di ruang perawatan kamar bedah rumah

sakit TK II Pelamonia Makassar

Ha : Ada hubungan tingkat kecemasan dengan pemenuhan istirahat tidur

pada pasien pre op di ruang perawatan kamar bedah rumah sakit TK

II Pelamonia Makassar

VI. METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, Pendekatan waktu

yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional. Penelitian


37

cross sectional adalah suatu rancangan penelitian observasional yang

dilakukan untuk mengetahui hubungan variabel independen dengan

variabel dependen dimana pengukuran dilakukan pada satu saat atau

serentak.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian akan dilakukan di Ruang Perawatan Kamar Bedah Rumah Sakit

TK II Pelamonia Makassar

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Februari – Maret 2021

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi yang diambil dalam penelitian ini adalah pasien yang

beradah di Ruang Perawatan Kamar Bedah Rumah Sakit TK II Pelamonia

Makassar pada bulan Desember 2020 sebanyak 146 orang.

2. Sampel

Pengambilan sampel dilakukan dengan metode accidental sampling

yaitu teknik penentuan sampel berdasarkan tidaksengaja, yaitu siapa

saja yang secara tidaksengaja/insidental bertemu dengan peneliti dapat

digunakan sebagai sampel, bila di pandang orang yang ditemui cocok

sebagai sumber data. Adapun kriteria sampel sebagai berikut :

a. Kriteria inklusi

1) Pasien preoperasi
38

2) Tidak memiliki riwayat tindakan operasi

3) Bersedia menjadi responden

b. Kriteria eksklusif

1) Pasien preoperatif dan memiliki penyakit lain seperti DM,

jantung dan lain-lain.

2) Pasien preoperatif cito

D. Pengumpulan Data

Jenis dari sumber data dikumpulkan dan dibedakan dalam penelitian ini

adalah:

1. Data Primer

Data primer dikumpulkan dengan melakukan wawacara terbimbing

dan responden dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah

tersedia (kuesioner)

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang didapatkan dari pencatatan rekam

medik RS TK II Pelamonia Makassar tentang jumlah pasien yang

dirawat dikamar bedah post operasi. .

E. Pengolahan Data
39

Pengolahan data dilakukan untuk mendapatkan hassil penelitian dengan

tujuan penelitian dengan tahap-tahap:

1. Penyuntingan (Editing)

Langkah dalam melakukan editing adalah melakukan penataan pada

semua lembar jawaban dengan memastikan semua data yang

diinginkan diperoleh dalam kuisioner diisi sesuai dengan petunjuk

yang telah diberikan.

2. Pengkodean (Coding)

Lembaran kartu kode adalah instrumen berupa kolom-kolom untuk

merekam data secara manual lembaran atau kode yang berisi nomor

responden dan nomor pertanyaan.

3. Memasukan Data (Entry Data)

Memasukan data dengan cara mengisi kolom-kolom atau kotak-kotak

lembaran kode sesuai dengan jawaban masing-masing pertanyaan

4. Pembersihan (Cleaning)

Proses ini disebut juga vanishing entry yaitu data yang sudah

dimasukkan kedalam program statistik kemudian dilakukan

pengecekkan kembali untuk mengevaluasi apakah masih terdapat

kesalahan atau tidak.

F. Analisa Data

1. Analisis univariat

Analisis univariat adalah analisis yang dilakukan pada sebuah variabel.

Dalam suatu penelitian, baik diperoleh melalui observasi, wawancara,


40

kuesioner, maupun dokumentasi, analisis univariat dapat disajikan

dalam bentuk : distribusi frekuensi, tendensi sentral dan nilai sebar dari

variabel. Dari hasil penelitian dideskripsikan dalam bentuk tabel,

grafik, dan narasi, untuk mengevaluasi besarnya proporsi tiap variabel

yang ditemukan pada sampel. Analisis Univariat bermanfaat untuk

melihat apakah data sudah layak untuk dilakukan analisis, melihat

gambaran data yang di kumpulkan dan apakah data optimal untuk

analisis lebih lanjut.

2. Analisis bivariat

Analisis bivariate dilakukan untuk menjawab tujuan penelitian dan

menguji hipotesis penelitian dengan menggunakan uji statistic chi-

square dan alternative fisher’s exact test dengan tingkat kemaknaan

α= 0.05 pada program SPSS. Jika p < α maka hipotesa dinyatakan

diterima atau terdapat hubungan dan sebaliknya jika p ≥ α maka

hipotesa dinyatakan ditolak atau tidak ada hubungan.

G. Penyajian Data

Data yang telah dianalisa akan disajikan dalam bentuk tabel yang disertai

dengan penjelasan.

H. Etika Penelitian

Etika penelitian bertujuan untuk melindungi hak-hak, subjek dalam semua

disiplin ilmu harus dilindungi dengan baik, jika subjek sangat rentan

(seperti halnya sampel), penelitian harus menjelaskan bagaimana hak-hak

subjek seperti:
41

1. Lembaran Persetujuan (Informed Consent)

Sebelum melakukan penelitian penelitti akan meminta persetujuan

dari responden terlebih dahulu dengan memberikan lembar

persetujuan agar responden mengerti dan paham tujuan penelitian

2. Tanpa Nama (Anonimity)

Dalam melakukan penelitian, peneliti tidak mencantumkan nama

responden pada lembar alat ukur hanya menuliskan kode pada lembar

pengumpulan data.

3. Kerahasiaan (Confidentiality)

Menjamin kerahasiaan hassil penelitian. Semua data diperoleh peneliti

akan di jaga kerahasiaanya hanya informasi data tertentu yang akan

dilaporkan oleh peneliti


42

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Arif R, dkk. Fisiologi Tidur dan Pernapasan. Departemen Pulmonologi dan
Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI-SMF Paru RSUP Persahabatan,
Jakarta.
Azzam, Rohman. 2009. Istrahat dan Tidur at
http://rohmanpsikfkumj.wordpress.com last update February, 11th 2013
Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan Konsep Aplikasi Kebutuhan
Dasar Klien. Jakarta : Salemba Medika
Budiman. (2011). Penelitian Kesehatan. Bandung: Refika Aditama
Brunner & Suddarth. (2010). Keperawatan Medikal Bedah Edisi 12. Jakarta:
EGC.
Damayanti, A., Kadrianti, E., & Ismail, H. (2017). Faktor-Faktor Yang
Berhubungan Dengan Gangguan Pemenuhan Kebutuhan Tidur Pasien
Yang Dirawat di Ruang Baji Kamase RSUD Labuang Baji Makassar.
Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosis, 5(5), 535–542
Durand, V.M & Barlow, D.H. (2006). Intisari Psikologi Abnormal edisi 4
(terjemahan: Drs. Helly Prajitno Soetjipto M.A. & Sri Mulyani
Soetjipto). Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Feist, J. & Feist, G.J. (2006). Theoris of Personality, sixth Edition. Singapore: Mc
Graw Hill International Edition.
Fitri, M. (2012). Hubungan intensitas nyeri luka sectio caesarea dengan kualitas
tidur pada pasien post partum hari ke-2 di ruang rawat inap rsud
sumedang. Students E-Journal, 1(1), 34
Ghufron, M.N & Risnawati, R.S. (2010). Teori-teoriPsikologi. Jojakarta:
ARRUZZ MEDIA
Guyton & Hall. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed. 11. Jakarta : EGC
Harvard Medikal Shool. (2015). Relaxation Techniques: Breath Control Helps
Quell Erran Stress Response. From
http://www.health.harvardedu./fhg/updates/update1006a.shtml.
Indri, U. V., Karim, D., & Elita, V. (2014). Hubungan antara nyeri, kecemasan
dan lingkungan dengan kualitas tidur pada pasien post operasi
apendisitis. JOM PSIK, 1(2), 1–8.
Kuraesin, N. D. (2009). Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kecemasan
pasien yang akan menghadapi operasi. In Ilmu Keperawatan, Fakultas
43

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. Universitas Islam Negeri Syarif


Hidayatullah
LaDonna, K. A., Ginsburg, S., & Watling, C. (2018). “Rising to the level of your
incompetence”: what physicians’ self-assessment of their performance
reveals about the imposter syndrome in medicine. Academic Medicine,
93(5), 763–768.
Loihala, M. (2016). Hubungan Komunikasi Terapeutik Perawat dengan Tingkat
Kecemasan Keluarga Pasien yang Dirawat di Ruangan Hcu Rsu Sele Be
Solu Kota Sorong. Jurnal Kesehatan, 7(2), 176–181
Muttaqin & Sari. (2009). Asuhan Keperawatan Perioperatif; Konsep, Proses dan
Aplikasi. Jakarta: Salemba Medika.
Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Nursalam. 2011. Konsep  Dan  Penerapan  Metodologi  Penelitian  Ilmu
Keperawatan Edisi 2. Salemba Medika. Jakarta
Rajin, M. (2012). Terapi Spiritual Emotional Freedom Tehnique (SEFT) Untuk
Meningkatkan Kualitas Tidur Pasien Pasca Operasi di Rumah sakit.
Prosiding Seminas, 1(2).
Ramaiah, S. (2003). Kecemasan, Bagaimana Mengatasi Penyebabnya. Jakarta:
Pustaka Populer Obor.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:
Afabeta.
Trismiati. 2004. Jurnal : Perbedaan Tingkat Kecemasan Antara Pria dan Wanita
Akseptor Kontrasepsi Mantap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
Fakultas Psikolofi Universitas Bina Darma Palembang
Wahyunita, Alif. 2011. Skripsi : Hubungan Pengetahuan dengan Tingkat
Kecemasan Pada Wanita Menopause di Wilayah Kelurahan Lalolang
Kec. Taneterilau Kab. Barru. Fakultas Ilmu Kesehatan UIN Alauddin
Makassar
44

KUESIONER
HUBUNGAN TINGKAT KECEMASAN DENGAN PEMENUHAN
ISTIRAHAT TIDUR PADA PASIEN PRE OP DI RUANG PERAWATAN
KAMAR BEDAH RUMAH SAKIT TK II PELAMONIA MAKASSAR

A. Identitas Responden

1. Nama : ...............................
2. Umur : ...............................
3. Alamat : ...............................
4. Pendidikan Terakhir : ..........................
5. Nomor Telp : ...........................
B. Kuesiner pemenuhan istirahat tidur

No Pertanyaan Tidak Kadang Jaran Sering Selalu


perna kadang g
h
1 Apakah bapak/ibu/sdr(i) sukar memulai
tidur?
2 Apakah bapak/ibu/sdr(i) sering
terbangun malam hari?
3 Apakah bapak/ibu/sdr(i) setelah
terbangun terasa lesu?
4 Apakah bapak/ibu/sdr(i) jika tidur
merasa tidak nyenyak?
5 Apakah bapak/ibu/sdr(i) merasa gelisah
terganggu pada malam hari?
6 Apakah bapak/ibu/sdr(i) jika bangun
waktu malam tidak dapat tertidur lagi?
7 Apakah bapak/ibu/sdr(i) jika tidur mimpi
yang menakutkan?
8 Apakah bapak/ibu/sdr(i) jika tidur
malam setelah jam 24.00 malam?
9 Apakah bapak/ibu/sdr(i) biasa terbangun
sebelum jam 04.00
10 Apakah bapak/ibu/sdr(i) tidak tidur
selama
 6-13 thn (10 jam/hari)
 13-18 thn (8,5 jam/hari)
 18-40 thn (7-9 jam/hari)
 40-60 thn (7 jam/hari)
 >60 thn (6 jam/hari)
11 Apakah bapak/ibu/sdr(i) tidur/hari kurang
45

dari waktu diatas?


12 Apakah bapak/ibu/sdr(i) tidur/hari
melebihi waktu diatas?

Skor : < 24 = Cukup , ≥ 24 = Kurang


Ket :
1 = Tidak pernah
2 = kadang-kadang
3 = jarang
4= Sering
5 = Selalu

C. kecemasan

Berilah tanda ( √ ) jika terdapat gejala yang terjadi setelah operasi

1. Perasaan cemas
 Firasat buruk
 Takut akan pikiran sendiri
 Mudah tersinggung
2. Ketegangan
 Merasa tegang
 Lesu
 Mudah terkejut
 Tidak dapat istirahat dengan nyenyak
 Mudah menangis
 Gemetar
 Gelisah
3. Ketakutan
 Pada gelap
 Ditinggal sendiri
 Pada orang asing
 Pada binatang besar
 Pada keramaian lalu lintas
 Pada kerumunan banyak orang
46

4. Gangguan tidur
 Sukar memulai tidur
 Terbangun malam hari
 Tidak pulas
 Mimpi buruk
 Mimpi yang menakutkan
5. Gangguan kecerdasan
 Daya ingat buruk
 Sulit berkonsentrasi
 Sering bingung
6. Perasaan depresi
 Kehilangan minat
 Sedih
 Bangun dini hari
 Berkurangnya kesukaan pada hobi
 Perasaan berubah-ubah sepanjang hari
7. Gejala somatik (otot-otot)
 Nyeri otot
 Kaku
 Kedutan otot
 Gigi gemeretak
 Suara tak stabil
8. Gejala sensorik
 Telinga berdengung
 Penglihatan kabur
 Muka merah dan pucat
 Merasa lemah
 Perasaan ditusuk-tusuk
47

9. Gejala kardiovaskular
 Denyut nadi cepat
 Berdebar-debar
 Nyeri dada
 Denyut nadio mengeras
 Rasa lemah seperti mau pingsan
 Detak jantung hilang sekejap
10. Gejala pernapasan
 Rasa tertekan di dada
 Perasaan tercekik
 Merasa napas pendek/ sesak
 Sering menarik napas panjang
11. Gejala gastrointestinal
 Sulit menelan
 Mual muntah
 Berat badan menurun
 Konstipasi/sulit buang air besar
 Perut melilit
 Gangguan pencernaan
 Nyeri lambung sebelum/sesudah makan
 Rasa panas di perut
 Perut terasa penuh/kembung
12. Gejala urogenitalia
 Sering kencing
 Tidak dapat menahan kencing
 Amenor/menstruasi yang tidak teratur
 Frigiditas
13. Gejala vegetatif/otonom
48

 Mulut kering
 Muka kering
 Mudah berkeringat
 Pusing/sakit kepala
 Bulu roma berdiri
14. Apakah Bapak/ibu merasakan
 Gelisah
 Tidak terang
 Mengerutkan dahi muka tegang
 Tonus/ketegangan otot meningkatNapas pendek dan cepat
 Muka merah
Jumlah Skor…………..
Cara penilaian :
A. Penilaian :
0 : Tidak ada (tidak ada gejala sama sekali)
1 : Ringan ( satu gejala dari pilihan yang ada)
2 : Sedang ( separuh dari gejala yang ada)
3 : Berat ( lebih dari separuh gejala yang ada)
4 : Sangat berat (semua gejala ada)
Penilaian derajat kecemasan
Skor <6 (tidak ada kecemasan)
6-14 (kecemasan ringan)
15-27 (kecemasan sedang)
>27 (kecemasan berat)
Sumber : Nursalam (2008)

Anda mungkin juga menyukai