Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

Tetanus adalah penyakit akut yang mengenai sistem saraf, yang disebabkan

oleh eksotoksin yang dihasilkan oleh bakteri Clostridium tetani. Ditandai dengan

kekakuan dan kejang otot rangka. Gejala klinis tetanus hampir selalu berhubungan

dengan kerja eksotoksin (tetanospasmin) pada sinaps ganglion sambungan sumsum

tulang belakang, sambungan neuromuscular (neuro muscular junction) dan saraf

otonom.2 Bakteri Clostridium tetani ditemukan di seluruh dunia, di tanah, pada benda

mati, di kotoran hewan, dan terkadang dalam kotoran manusia.

Tetanus merupakan penyakit dominan negara-negara belum berkembang, di

negara-negara tanpa program imunisasi yang komprehensif. Secara keseluruhan,

kejadian tahunan tetanus adalah 0,5-1.000.000 kasus. WHO memperkirakan bahwa

pada tahun 2002, ada 213.000 kematian tetanus, 198.000 dari mereka pada anak-

anak muda dari 5 tahun. Tidak ada predileksi jenis kelamin secara keseluruhan yang

telah dilaporkan, kecuali sejauh bahwa laki-laki mungkin memiliki eksposur tanah

lebih dalam beberapa kebudayaan.

Di negara berkembang seperti Indonesia, insiden dan angka kematian dari

penyakit tetanus masih cukup tinggi, oleh karena itu tetanus masih merupakan

masalah kesehatan. Akhir-akhir ini dengan adanya penyebarluasan program imunisasi

di seluruh dunia, maka angka kesakitan dan angka kematian telah menurun secara

drastis. Sampai saat ini tetanus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat

signifikan di negara berkembang karena akses program imunisasi yang buruk, juga
penatalaksanaan tetanus modern membutuhkan fasilitas intensive care unit (ICU)

yang jarang tersedia di sebagian besar menderita tetanus berat (Laksmi, 2014).

Penyakit tetanus kebanyakan terdapat pada anak-anak yang belum pernah

mendapatkan imunasi tetanus (DPT) atau keluarga yang belum mengerti pentingnya

imunasi dan pemeliharaan kesehatan seperti kebersihan lingkungan dan perorangan.

Penyebab tetanus adalah Clostridium tetani yang hidup anaerob, berbentuk spora,

selama di luar tubuh manusia tersebut banyak di tanah, di tempat yang kotor, besi

berkarat, sampai pada tusuk sate bekas. Basil ini jika kondisinya baik atau

mendukung (didalam tubuh manusia) akan mengeluarkan toksin. Toksin ini dapat

menghancurkan sel darah merah, merusak leukosit dan merupakan tetanospasmi,

yaitu neurotropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot Tetanus di

sebabkan oleh traumatis atau luka sebagai tempat masuk kuman clostridium tetani

kemuadian kuman tersebut berkembang di dalam tubuh (Adams et al, 2012).


BAB 2

LAPORAN KASUS

2.1 Anamnesis

1. Identitas Pasien:

Nama : Tn.R

Usia : 54 Tahun

Jenis Kelamin : Laki laki

Alamat : Dsn. Sumberejo 04102 Ds. Dadapan Kec. Ngronggot,

Nganjuk

Status : Sudah Menikah

Pekerjaan : Tani

MRS : 27/09/2018

Ruangan : Bougenvile B17 dan Cempaka C.4

2. Keluhan Utama: pasien mengeluh sesak

3. Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien mengeluh sesak (+) sejak 7 jam SMRS,

disertai dengan perut dan mulut kaku semenjak sejak 1 hari SMRS. Keluhan

disertai sulit menelan dan sulit berbicara. Mual (-), muntah (-), demam (-). 2

minggu yll punggung kaki kiri pasien kejatuhan bambu sampai berdarah, tidak

dibersihkan, dibiarkan terbuka dan diberikan balsem cap geliga., bekas luka :

kering, uk 0,5 x 0,5 cm


4. Riwayat Penyakit Dahulu

HT (-)

Kejang (-)

DM (-)

5. Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada yang seperti ini, Hipertensi disangkal, diabetes mellitus

disangkal, keluarga dengan riwayat stroke tidak ada

6. Riwayat Sosial:

Aktivitas sehari-hari bekerja sebagai petani. Selama ini pasien jarang

mengenakan sandal saat beraktivitas. Tidak mengkonsumsi alcohol, merokok,

tidak minum jamu. sehari makan 3 kali dan olahraga tidak teratur.

7. Alergi Obat : -

2.2 Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan Umum

- Kesadaran : compos mentis, GCS 456

2. Tanda vital :

- Tekanan Darah : 160/105 mmHg

- RR : 32 kali/menit

- Suhu : 36oC

- Nadi : 104 kali/menit


3. Kepala dan leher : Konjunctiva anemis (-), sklera ikterik (-), Dyspneu (+),

Sianosis (-) mulut tidak membuka maksimal (+)

4. Thorax:

- Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, pola nafas: regular.

- Palpasi : Tidak ada pelebaran ics.

- Perkusi : Sonor seluruh lapang paru.

- Auskultasi : vesikuler diseluruh lapangan paru, wheezing (-), Ronkhi (-),

S1/S2 tunggal reguler, gallop(-), murmur (-)

5. Abdomen

- Inspeksi : bentuk normal, flat

- Palpasi : keras, hepar dan lien sulit dievaluasi.

- Perkusi : timpani seluruh permukaan abdomen

- Auskultasi : bising usus (+) normal

6. Ekstremitas:

Oedem(-), akral : hangat, kering, merah, CRT <2 detik.

7. Status Lokalis

Regio : Dorsal Pedis S

Inspeksi : luka ukuran cm 0,5 cm x 0,5 cm, terdapat jaringan kulit yang

hilang, terdapat jaringan granulasi yang dikelilingi krusta dan terdapat

jaringan nekrotik

Palpasi : kedalaman luka ± 0,5 cm


2.3 Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium (17/05/2018)

Darah Lengkap

HB: 14,6 (N)

LED: 42 (N)

WBC: 11,5 (N)

RBC: 4,50 (N)

HCT: 43,1 (N)

MCV: 96 (N)

MCH: 32,3 (N)

MCHC : 33,8 (N)

NEU : 73,8 (N)

LYM: 18,7 (N)

MON: 5,3 (N)

EOS: 1,6 (N)

BAS : 0,6 (N)

GDA : 86 (N)

2.4 Diagnosis

Tetanus
2.5 Penatalaksanaan

 O2 NK 3 lpm

 Inj Ketorolac 2 x 1

 Inj Ranitidin 2 x 1

 Inj Metronidazol 3 x 500 mg

 Inj Ceftriaxon 2 x 1 gr

 Tetagam 12 amp dibagi menjadi dua : 6 ampul boka : 6 ampul boki

 Inj Diazepam 10 amp dalam syringe pump

 NGT

 DK

 Rawat Luka (cross incisi)

2.6 Prognosis

Dubia ad malam

2.7 Follow up

Tanggal S O A P

27/9/18 Sesak (+) KU baik Gangguan O2 NK 3 lpm

rasa
Hari : 1 Susah menelan Sadar (+) Inj Ketorolac 2 x 1
Nyaman (+)
(+)
Kamis Akral hangat (+) Inj Ranitidin 2 x 1
Tetanus
Rahang kaku (+)
Trismus (+) grade 2 Inj Metronidazol 3

Leher kaku (+) x 500 mg


Kaku kuduk (+)

Pusing (-) Inj Ceftriaxon 2 x


TD: 160/105 mmHg
1 gr
Panas (-) RR: 32 kali/menit
Mual (-) Suhu: 36oC Tetagam 12 amp

Nadi : 104 kali/menit dibagi menjadi dua


Muntah (-)
: 6 ampul boka : 6
Makan/minum : ampul boki
(-)
Inj Diazepam 10

amp dalam syringe

pump

NGT

DK

Rawat Luka (cross

incisi)

amp

28/9/18 Sesak (+) KU tampak sesak Gangguan O2 NK 3 lpm

pola nafas
Hari : 2 Hipersalivasi (+) Sadar (+) Inj Ketorolac 2 x 1
(+)
Jumat nyeri telan (+) Akral hangat (+) Inj Ranitidin 2 x 1
Tetanus
Rahang kaku (+) Hipersalivasi (+) grade 2 Inj Metronidazol 3

leher kaku (+) x 500 mg


Trismus (+)

Pusing (-) Inj Ceftriaxon 2 x


Opistotonus (+)
1 gr
Panas (-)
Kaku kuduk (+)
Tetagam 12 amp
Mual (-)
Rigiditas (+) dibagi menjadi dua
Muntah (-) : 6 ampul boka : 6
TD = 140/90 mmHg

Makan/minum (-
) N = 88 kali/menit ampul boki

RR = 22 kali/menit Inj Diazepam 10

amp dalam syringe


Suhu = 36,7oC
pump

29/9/18 Kejang (+) GCS 2-2-4 Observasi Inj ceftri 2x1

kejang (+)
Hari :3 Sesak (+) Sadar (+) Inj Rativol 2x1

Tetanus
Sabtu Rahang kaku (+) Akral hangat (+) Diazepam rate 5
Grade 3
leher kaku (+) cc/jam dalam
Pukul TD = 170/110 mmHg
syringe pump
12.00 Pusing (-)
N = 90 kali/menit
Inj tetagam 10 amp
Panas (-)
RR = 38 kali/menit
Boka 5 amp
Mual (-)
Suhu = 38oC
Boki 5 amp
Muntah (-)

Makan minum (-

29/9/18 - GCS 1-1-1 Penurunan

kesadaran
Hari :3 TD: 60/ palpasi
(+)
Sabtu N: tidak teraba

Pukul RR: -

19.10
29/9/18 - TD:- Pasien

dinyatakan
Hari :3 N:-
meninggal
Sabtu RR:- dunia pukul

Pukul Pupil midriasis +- 7 mm 19.40

19.45
Refleks pupil (-)

EKG: flat
BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Tetanus

3.1.1 Definisi

Tetanus merupakan penyakit infeksi akut yang muncul dalam bentuk

gangguan neuromuscular akut berupa trismus, kekakuan dan kejang otot

akibat eksotoksin spesifik kuman anaerob Clostridium tetani. Penyakit ini

ditandai oleh adanya trismus, disfagia, dan rigiditas otot lokal yang dekat

dengan tempat luka, sering progresif menjadi spasme otot umum yang berat

serta diperberat dengan kegagalan respirasi dan ketidakstabilan

kardiovaskular. (Sjamsuhidajat R, 2017)

Kekakuan otot biasanya melibatkan rahang (lockjaw), leher dan

kemudian menjadi seluruh tubuh. Gejala klinis tetanus hampir selalu

berhubungan dengan kerja eksotoksin (tetanospasmin) pada sinaps ganglion

sambungan sumsum tulang belakang, sambungan neuromuskular (neuro

muscular junction) dan saraf otonom (CDC, 2015; Soedarmo, 2015)

3.1.2 Etiologi

C. tetani adalah bakteri Gram positif anaerob yang ditemukan di tanah

dan kotoran binatang. Bakteri ini berbentuk batang dan memproduksi spora,

memberikan gambaran klasik seperti stik drum, meski tidak selalu terlihat.
Spora ini bisa tahan beberapa bulan bahkan beberapa tahun. C. tetani

merupakan bakteri yang motil karena memiliki flagella, dimana menurut

antigen flagellanya, dibagi menjadi 11 strain dan memproduksi neurotoksin

yang sama. Spora yang diproduksi oleh bakteri ini tahan terhadap banyak agen

desinfektan baik agen fisik maupun agen kimia. Spora C. tetani dapat bertahan

dari air mendidih selama beberapa menit (meski hancur dengan autoclave pada

suhu 121° C selama 15-20 menit). Jika bakteri ini menginfeksi luka seseorang

atau bersamaan dengan benda lain, bakteri ini akan memasuki tubuh penderita

tersebut, lalu mengeluarkan toksin yang bernama tetanospasmin.

Clostridridium tetani memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

• Basil Gram-positif dengan spora pada pada salah satu ujungnya sehingga
membentuk gambaran pemukul genderang

• Obligat anaerob (berbentuk vegetatif apabila berada dalam lingkungan


anaerob) dan dapat bergerak dengan menggunakan flagella

• Menghasilkan eksotosin yang kuat.

• Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam


suhu tinggi 249,8 ° F (121 ° C) selama 10-15 menit.,kekeringan dan
desinfektans.

• Kuman hidup di tanah dan di dalam usus binatang, terutama pada tanah di
daerah pertanian/peternakan. Spora dapat menyebar kemana-mana, mencemari
lingkungan secara fisik dan biologik. Spora mampu bertahan dalam keadaan
yang tidak menguntungkan selama bertahun-tahun, dalam lingkungan yang
anaerob dapat berubahmenjadi bentuk vegetative yang akan menghasilkan
eksotoksin.(Soedarmo, 2015)

• C. tetani menghasilkan dua eksotoxins, tetanolisin dan tetanospasmin. Fungsi


tetanolisin tidak diketahui dengan pasti,diperkirakan Tetanolisin mampu
secara lokal merusak jaringan yang masih hidup yang mengelilingi sumber
infeksi dan mengoptimalkan kondisi yang memungkinkan multiplikasi
bakteri.. Tetanospasmin merupakan racun saraf dan menyebabkan manifestasi
klinis tetanus. Dosis minimum yang diperkirakan manusia mematikan adalah
2,5 nanogram per kilogram berat badan. (Ropper et al, 2014)

Gambar I Mikroskopik Clostridium tetani

3.1.3 Epidemiologi

Di 13uraba yang maju seperti Amerika Serikat, tetanus sudah sangat

jarang dijumpai karena imunisasi aktif telah dilaksanakan dengan baik, di

samping sanitasi lingkungan yang bersih. Di 13uraba berkembang termasuk

Indonesia penyakit ini masih banyak dijumpai, hal ini disebabkan karena

tingkat kebersihan masih sangat kurang, mudah terjadi kontaminasi, perawatan

luka kurang diperhatikan, kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya

kebersihan dan kekebalan terhadap tetanus (Adams et.al, 2012).

Penyakit ini dapat mengenai semua umur. Di Amerika Serikat pada

tahun 1915 dilaporkan bahwa kasus tetanus yang terbanyak pada umur 1-5
tahun, sesuai dengan yang dilaporkan di Manado (1987) dan 14urabaya (1987)

ternyata insiden tertinggi pada anak di atas umur 5 tahun. Perkiraan angka

kejadian umur rata–rata pertahun sangat meningkat sesuai kelompok umur,

peningkatan 7 kali lipat pada kelompok umur 5–19 tahun dan 20–29 tahun,

sedangkan peningkatan 9 kali lipat pada kelompok umur 30-39 tahun dan

umur lebih 60 tahun. Beberapa peneliti melaporkan bahwa angka kejadian

lebih banyak dijumpa pada anak laki–laki (Adams et.al, 2012).

3.1.4 Patofisiologi

Tetanus disebabkan oleh eksotoksin clostridium tetani yang biasanya

memasuki tubuh setelah kontaminasi pada abrasi kulit, luka tusuk minor, atau

ujung potongan umbilikus pada neonatus pada 20% kasus, mungkin tidak

ditemukan tempat masuknya. Bakteri juga dapat masuk melalui ulkus kulit,

abses, gangren, luka bakar, infeksi gigi, tindik telinga, injeksi atau setelah

pembedahan abdominal atau pelvis, persalinan dan aborsi. Jika organisme ini

berada pada lingkungan anaerob yang sesuai untuk pertumbuhan sporanya,

akan berkembang biak dan menghasilkan toksin tetanospasmin dan

tetanolysin. Tetanospasmin adalah neurotoksin poten yang bertanggungjawab

terhadap manifestasi klinis tetanus, sedang- kan tetanolysin sedikit memiliki

efek klinis (CDK, 2014).

Terdapat dua mekanisme yang dapat menerangkan penyebaran toksin

ke susunan saraf pusat:

(1) Toksin diabsorpsi di neuro muscular junction, kemudian bermigrasi

melalui jaringan perineural ke susunan saraf pusat.


(2) Toksin melalui pembuluh limfe dan darah ke susunan saraf pusat.

Masih belum jelas mana yang lebih penting, mungkin keduanya terlibat (CDK,

2014).

Pada mekanisme pertama, toksin yang berikatan pada neuromuscular

junction lebih memilih menyebar melalui saraf motorik, selanjutnya secara

transinaptik ke saraf motorik dan otonom yang berdekatan, kemudian

ditransport secara retrograd menuju sistem saraf pusat.

Tetanospasmin yang merupakan zincdependent endopeptidase

memecah vesicleassociated membrane protein II (VAMP II atau

synaptobrevin) pada suatu ikatan peptida tunggal. Molekul ini penting untuk

pelepasan neurotransmiter di sinaps, sehingga pemecahan ini mengganggu

transmisi sinaps. Toksin awalnya mempengaruhi jalur inhibisi, mencegah

pelepasan glisin dan γ-amino butyric acid (GABA). Pada saat interneuron

menghambat motor neuron alpha juga terkena pengaruhnya, terjadi kegagalan

menghambat refleks motorik sehingga muncul aktivitas saraf motorik tak

terkendali, mengakibatkan peningkatan tonus dan rigiditas otot berupa spasme

otot yang tiba-tiba dan potensial merusak. Hal ini merupakan karakteristik

tetanus.

Otot wajah terkena paling awal karena jalur axonalnya pendek,

sedangkan neuron-neuron simpatis terkena paling akhir, mungkin akibat aksi

toksin di batang otak. Pada tetanus berat, gagalnya penghambatan aktivitas

otonom menyebabkan hilangnya kontrol otonom, aktivitas simpatis yang

berlebihan dan peningkatan kadar katekolamin. Ikatan neu- ronal toksin


sifatnya irreversibel, pemulihan membutuhkan tumbuhnya terminal saraf yang

baru, sehingga memanjangkan durasi penyakit ini (CDK, 2014).

3.1.5 Gejala Klinis

Periode inkubasi tetanus antara 3-21 hari (rata-rata 7 hari). Pada 80-90%

penderita, gejala muncul 1-2 minggu setelah terinfeksi. Selang waktu sejak

munculnya gejala pertama sampai terjadinya spasme pertama disebut periode

onset. Periode onset maupun periode inkubasi secara signifikan menentukan

prognosis. Makin singkat (periode onset <48 jam dan periode inkubasi <7

hari) menunjukkan makin berat penyakitnya (CDK, 2014).

Tetanus memiliki gambaran klinis dengan ciri khas trias rigiditas otot,

spasme otot, dan ketidakstabilan otonom. Gejala awalnya meliputi kekakuan

otot, lebih dahulu pada kelompok otot dengan jalur neuronal pendek, karena

itu yang tampak pada lebih dari 90% kasus saat masuk rumah sakit adalah

trismus, kaku leher, dan nyeri punggung. Keterlibatan otot-otot wajah dan

faringeal menimbulkan ciri khas risus sardonicus, sakit tenggorokan, dan

disfagia. Peningkatan tonus otot- otot trunkal mengakibatkan opistotonus.

Kelompok otot yang berdekatan dengan tempat infeksi sering terlibat,

menghasilkan penampakan tidak simetris (CDK, 2014).

Spasme otot muncul spontan, juga dapat diprovokasi oleh stimulus fisik,

visual, auditori, atau emosional. Spasme otot menimbulkan nyeri dan dapat

menyebabkan ruptur tendon, dislokasi sendi serta patah tulang. Spasme laring

dapat terjadi segera, mengakibatkan obstruksi saluran nafas atas akut dan

respiratory arrest. Pernapasan juga dapat terpengaruh akibat spasme yang

melibatkan otot-otot dada selama spasme yang memanjang, dapat terjadi


hipoventilasi berat dan apnea yang mengancam nyawa. Tanpa fasilitas

ventilasi mekanik, gagal nafas akibat spasme otot adalah penyebab kematian

paling sering. Hipoksia biasanya terjadi pada tetanus akibat spasme atau

kesulitan membersihkan sekresi bronkial yang berlebihan dan aspirasi.

Spasme otot paling berat terjadi selama minggu pertama dan kedua, dan dapat

berlangsung selama 3 sampai 4 minggu, setelah itu rigiditas masih terjadi

sampai beberapa minggu lagi (CDK,2014)

Tetanus berat berkaitan dengan hiperkinesia sirkulasi, terutama bila

spasme otot tidak terkontrol baik. Gangguan otonom biasanya mulai beberapa

hari setelah spasme dan berlangsung 1-2 minggu. Meningkatnya tonus

simpatis biasanya dominan menyebabkan periode vasokonstriksi, takikardia

dan hipertensi. Autonomic storm berkaitan dengan peningkatan kadar

katekolamin. Keadaan ini silih berganti dengan episode hipotensi, bradikardia

dan asistole yang tiba-tiba. Gambaran gangguan otonom lain meliputi salivasi,

berkeringat, meningkatnya sekresi bronkus, hiperpireksia, stasis lambung dan

ileus (CDK, 2014).

Pada keadaan berat dapat timbul berbagai komplikasi. Intensitas spasme

paroksismal kadang cukup untuk mengakibatkan ruptur otot spontan dan

hematoma intramuskular. Fraktur kompresi atau subluksasi vertebra dapat

terjadi, biasanya pada vertebra thorakalis. Gagal ginjal akut merupakan

komplikasi tetanus yang dapat dikenali akibat dehidrasi, rhabdomiolisis karena

spasme, dan gangguan otonom. Komplikasi lain meliputi atelektasis,

penumonia aspirasi, ulkus peptikum, retensi urine, infeksi traktus urinarius,

ulkus dekubitus, thrombosis vena, dan thromboemboli (CDK, 2014).


3.1.6 Klasifikasi

a). Secara klinis tetanus ada 3 macam :

1. Tetanus umum:

Bentuk ini merupakan gambaran tetanus yang paling sering dijumpai.

Terjadinya bentuk ini berhubungan dengan luas dan dalamnya luka seperti luka

bakar yang luas, luka tusuk yang dalam, furunkulosis, ekstraksi gigi, ulkus

dekubitus dan suntikan hipodermis. Biasanya tetanus timbul secara mendadak

berupa kekakuan otot baik bersifat menyeluruh ataupun hanya sekelompok otot.

Kekakuan otot terutama pada rahang (trismus) dan leher (kuduk kaku). Lima

puluh persen penderita tetanus umum akan menunjukkan trismus. Dalam 24–48

jam dari kekakuan otot menjadi menyeluruh sampai ke ekstremitas. Kekakuan

otot rahang terutama masseter menyebabkan mulut sukar dibuka, sehingga

penyakit ini juga disebut 'Lock Jaw'. Selain kekakuan otot masseter, pada muka

juga terjadi kekakuan otot muka sehingga muka menyerupai muka meringis

kesakitan yang disebut 'Rhisus Sardonicus' (alis tertarik ke atas, sudut mulut

tertarik ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi), akibat kekakuan

otot–otot leher bagian belakang menyebabkan nyeri waktu melakukan fleksi

leher dan tubuh sehingga memberikan gejala kuduk kaku sampai opisthotonus.

Selain kekakuan otot yang luas biasanya diikuti kejang umum tonik baik secara

spontan maupun hanya dengan rangsangan minimal (rabaan, sinar dan bunyi).

Kejang menyebabkan lengan fleksi dan adduksi serta tangan mengepal kuat dan

kaki dalam posisi ekstensi (Adams et.al, 2012).

Kesadaran penderita tetap baik walaupun nyeri yang hebat serta

ketakutan yang menonjol sehingga penderita nampak gelisah dan mudah


terangsang. Spasme otot–otot laring dan otot pernapasan dapat menyebabkan

gangguan menelan, asfiksia dan sianosis. Retensi urine sering terjadi karena

spasme sphincter kandung kemih. Kenaikan temperatur badan umumnya tidak

tinggi tetapi dapat disertai panas yang tinggi sehingga harus hati–hati terhadap

komplikasi atau toksin menyebar luas dan mengganggu pusat pengatur suhu.

Pada kasus yang berat mudah terjadi overaktivitas simpatis berupa takikardi,

hipertensi yang labil, berkeringat banyak, panas yang tinggi dan ariunia

jantung (Adams et.al, 2012).

Gambar II Risus sardonicus dan trismus


Gambar III Tetanus Neonatorum

Gambar IV Opistotonus

Berat ringannya tetanus umum dapat dibagi atas:

1) Tetanus ringan trismus lebih dari 3 cm, tidak disertai kejang umum

walaupun dirangsang.

2) Tetanus sedang: trismus kurang dari 3 cm dan disertai kejang umum

bila dirangsang.
3) Tetanus berat: trismus kurang dari 1 cm dan disertai kejang umum

yang spontan.

2. Tetanus lokal

Bentuk ini sebenarnya banyak akan tetapi kurang dipertimbangkan

karena gambaran klinis tidak khas. Bentuk tetanus ini berupa nyeri, kekakuan

otot–otot pada bagian proksimal dari tempat luka. Tetanus lokal adalah bentuk

ringan dengan angka kematian 1%, kadang–kadang bentuk ini dapat

berkembang menjadi tetanus umum.

3. Bentuk cephalic

Merupakan salah satu varian tetanus lokal. Terjadinya bentuk ini bila

luka mengenai daerah mata, kulit kepala, muka, telinga, leper, otitis media

kronis dan jarang akibat tonsilectomi. Gejala berupa disfungsi saraf kranial
antara lain: n. III, IV, VII, IX, X, XI, dapat berupa gangguan sendiri–sendiri

maupun kombinasi dan menetap dalam beberapa hari bahkan berbulan–bulan.

Tetanus cephalic dapat berkembang menjadi tetanus umum. Pada umumnya

prognosa bentuk tetanus cephalic jelek (Adams et.al, 2012).

b). Klasifikasi Tetanus untuk menilai prognosis

Selain skoring Ablett, terdapat sistem skoring untuk menilai prognosis

tetanus seperti Phillips score dan Dakar score. Kedua sistem skoring ini

memasukkan kriteria periode inkubasi dan periode onset, begitu pula

manifestasi neurologis dan kardiak. Phillips score juga memasukkan status

imunisasi pasien. Phillips score <9, severitas ringan; 9-18, severitas sedang; dan

>18, severitas berat. Dakar score 0-1, severitas ringan dengan mortalitas 10%;

2-3, severitas sedang dengan mortalitas 10-20%; 4, severitas berat dengan

mortalitas 20-40%; 5-6, severitas sangat berat (CDK, 2014).


Philip Score

Dakar Score
3.1.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding

A. Diagnosis

Diagnosis tetanus adalah murni diagnosis klinis berdasarkan riwayat

penyakit dan temuan saat pemeriksaan. Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan

uji spatula, dilakukan dengan menyentuh dinding posterior faring menggunakan

alat dengan ujung yang lembut dan steril. Hasil tes positif jika terjadi kontraksi

rahang involunter (menggigit spatula) dan hasil negatif berupa refleks muntah.

Laporan singkat The American Journal of Tropical Medicine and Hygiene

menyatakan bahwa uji spatula memiliki spesifisitas tinggi (tidak ada hasil

positif palsu) dan sensitivitas tinggi (94% pasien terinfeksi menunjukkan hasil

positif). Pemeriksaan darah dan cairan cerebrospinal biasanya normal. Kultur

clostridium tetani dari luka sangat sulit (hanya 30% positif), dan hasil kultur

positif mendukung diagnosis, bukan konfirmasi (CDK,2014).

Beberapa keadaan yang dapat disingkirkan dengan pemeriksaan cermat

adalah meningitis, perdarahan subarachnoid, infeksi orofacial serta arthralgia

temporomandibular yang menyebabkan trismus, keracunan strychnine, tetani

hipokalsemia, histeri, encefalitis, terapi phenotiazine, serum sickness, epilepsi

dan rabies (CDK, 2014).

Diagnosis tetanus ditegakkan berdasarkan :

- Riwayat adanya luka yang sesuai dengan masa inkubasi

- Gejala klinis dan

- Penderita biasanya belum mendapatkan imunisasi.


Pemeriksaan laboratorium kurang menunjang dalam diagnosis. Pada

pemeriksaan darah rutin tidak ditemukan nilai–nilai yang spesifik; lekosit

dapat normal atau dapat meningkat (CDK, 2014).

Pemeriksaan mikrobiologi, bahan diambil dari luka berupa pus atau

jaringan nekrotis kemudian dibiakkan pada kultur agar darah atau kaldu

daging, tetapi pemeriksaan mikrobiologi hanya pada 30% kasus ditemukan

clostridium tetani (CDK, 2014).

Pemeriksaan cairan serebrospinalis dalam batas normal, walaupun

kadang–kadang didapatkan tekanan meningkat akibat kontraksi otot.

Pemeriksaan elektroensefalogram adalah normal dan pada pemeriksaan

elektromiografi hasilnya tidak spesifik (CDK, 2014).

B. Diagnosis Banding

1. Meningitis bakterial

Pada penyakit ini trismus tidak ada dan kesadaran penderita biasanya

menurun. Diagnosis ditegakkan dengan melakukan lumbal pungsi, di mana

adanya kelainan cairan serebrospinalis yaitu jumlah sel meningkat, kadar

protein meningkat dan glukosa menurun (CDK, 2014).

2. Poliomielitis

Didapatkan adanya paralisis flaksid dengan tidak dijumpai adanya

trismus. Pemeriksaan cairan serebrospinalis menunjukkan lekositosis. Virus

polio diisolasi dari tinja dan pemeriksaan serologis, titer antibodi meningkat

(CDK, 2014).
3. Rabies

Sebelumnya ada riwayat gigitan anjing atau hewan lain. Trismus jarang

ditemukan, kejang bersifat klonik (CDK, 2014).

4. Keracunan strichnine

Pada keadaan ini trismus jarang, gejala berupa kejang tonik umum

(CDK, 2014).

5. Tetani

Timbul karena hipokalsemia dan hipofasfatemia di mana kadar kalsium

dan fosfat dalam serum rendah. Yang khas bentuk spasme otot adalah

karpopedal spasme dan biasanya diikuti laringospasme, jarang dijumpai

trismus (CDK, 2014).

6. Retropharingeal abses

Trismus selalu ada pada penyakit ini, tetapi kejang umum tidak ada

(CDK, 2014).

7. Tonsilitis berat

Penderita disertai panas tinggi, kejang tidak ada tetapi trismus ada (CDK,

2014).

8. Efek samping fenotiasin


Adanya riwayat minum obat fenotiasin. Kelainan berupa sindroma

ekstrapiramidal. Adanya reaksi distonik akut, torsicolis dan kekakuan otot,

Kuduk kaku juga dapat terjadi pada mastoiditis, pneumonia lobaris atas,

miositis leher dan spondilitis leher (Adams et.al, 2012).

3.1.8 Komplikasi

1. Pada saluran pernapasan

Oleh karena spasme otot–otot pernapasan dan spasme otot laring dan

seringnya kejang menyebabkan terjadi asfiksia, karena akumulasi sekresi

saliva serta sukarnya menelan air liur dan makanan atau minuman sehingga

sering terjadi aspirasi pneumoni, atelektasis akibat obstruksi oleh sekret.

Pneumotoraks dan mediastinal emfisema biasanya terjadi akibat dilakukannya

trakeostomi (Adams et.al, 2012).

2. Pada kardiovaskuler

Komplikasi berupa aktivitas simpatis yang meningkat antara lain

berupa takikardia, hiperrtensi, vasokonstriksi perifer dan rangsangan

miokardium(Adams et.al, 2012).

3. Pada tulang dan otot


Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan

dalam otot. Pada tulang dapat terjadi fraktura columna vertebralis akibat

kejang yang terus–menerus terutama pada anak dan orang dewasa. Beberapa

peneliti melaporkan juga dapat terjadi miositis ossifikans sirkumskripta

(Adams et.al, 2012).

4. Komplikasi yang lain:

- Laserasi lidah akibat kejang;

- Dekubitus karena penderita berbaring dalam satu posisi saja

- Panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang menyebar

luas dan mengganggu pusat pengatur suhu.Penyebab kematian

penderita tetanus akibat komplikasi yaitu: Bronkopneumonia, cardiac arrest,

septikemia dan pneumotoraks (Adams et.al, 2012).

3.1.9 Prognosis

Dipengaruhi oleh beberapa faktor:

1. Masa inkubasi

Makin panjang masa inkubasi biasanya penyakit makin ringan, sebaliknya

makin pendek masa inkubasi penyakit makin berat. Pada umumnya bila

inkubasi kurang dari 7 hari maka tergolong berat (Adams et.al, 2012).

2. Umur

Makin muda umur penderita seperti pada neonatus maka prognosanya

makin jelek (Adams et.al, 2012).

3. Period of onset
Period of onset adalah waktu antara timbulnya gejala tetanus,

misalnya trismus sampai terjadi kejang umum. Kurang dari 48 jam, prognosa

jelek (Adams et.al, 2012).

4. Panas

Pada tetanus febris tidak selalu ada. Adanya hiperpireksia maka

prognosanya jelek.

5. Pengobatan

Pengobatan yang terlambat prognosa jelek.

6. Ada tidaknya komplikasi

7. Frekuensi kejang

Semakin sering kejang semakin jelek prognosanya (Adams et.al, 2012).

3.1.10 Penatalaksanaan

Ada tiga sasaran penatalaksanaan tetanus, yakni: :

(1) membuang sumber tetanospasmin

(2) menetralisasi toksin yang tidak terikat,

(3) perawatan penunjang (suportif) sampai tetanospasmin yang

berikatan dengan jaringan telah habis dimetabolisme (CDK, 2014).

Pada penelitian di Indonesia, metronidazole telah menjadi terapi

pilihan di beberapa pelayanan kesehatan. Metronidazole diberikan secara iv

dengan dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan dosis 30 mg/kgBB/hari setiap 6


jam selama 7-10 hari. Metronidazole efektif mengurangi jumlah kuman

clostridium tetani bentuk vegetatif. Sebagai lini kedua dapat diberikan

penicillin procain 50.000-100.000 U/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika

hipersensitif terhadap penicillin dapat diberi tetracycline 50 mg/kgBB/hari

(untuk anak berumur lebih dari 8 tahun). Penicillin membunuh bentuk

vegetatif clostridium tetani. Sampai saat ini, pemberian penicillin G 100.000

U/kgBB/hari iv, setiap 6 jam selama 10 hari direkomendasikan pada semua

kasus tetanus. Sebuah penelitian menyatakan bahwa penicillin mungkin

berperan sebagai agonis terhadap tetanospasmin dengan menghambat

pelepasan asam aminobutirat gama (GABA) (CDK, 2014).

Netralisasi toksin yang tidak terikat Antitoksin harus diberikan untuk

menetralkan toksin-toksin yang belum berikatan. Setelah evaluasi awal,

human tetanus immunoglobulin (HTIG) segera diinjeksikan intramuskuler

dengan dosis total 3.000- 10.000 unit, dibagi tiga dosis yang sama dan

diinjeksikan di tiga tempat berbeda. Tidak ada konsensus dosis tepat HTIG.

Rekomendasi British National Formulary adalah 5.000- 10.000 unit

intravena. Untuk bayi, dosisnya adalah 500 IU intramuskular dosis tunggal.

Sebagian dosis diberikan secara infiltrasi di tempat sekitar luka hanya

dibutuhkan sekali pengobatan karena waktu paruhnya 25-30 hari. Makin

cepat pengobatan diberikan, makin efektif. Kontraindikasi HTIG adalah

riwayat hipersensitivitas terhadap imunoglobulin atau komponen human

immunoglobulin sebelumnya trombositopenia berat atau keadaan koagulasi

lain yang dapat merupakan kontraindikasi pemberian intram uskular. Bila

tidak tersedia maka digunakan ATS dengan dosis 100.000- 200.000 unit

diberikan 50.000 unit intramuskular dan 50.000 unit intravena pada hari
pertama, kemudian 60.000 unit dan 40.000 unit intramuskuler masing-

masing pada hari kedua dan ketiga. Setelah penderita sembuh, sebelum

keluar rumah sakit harus diberi immunisasi aktif dengan toksoid karena

seseorang yang sudah sembuh dari tetanus tidak memiliki kekebalan (CDK,

2014).

Pengobatan suportif Penatalaksanaan lebih lanjut terdiri dari terapi

suportif sampai efek toksin yang telah terikat habis. Semua pasien yang

dicurigai tetanus sebaiknya ditangani di ICU agar bisa diobservasi secara

kontinu. Untuk meminimalkan risiko spasme paroksismal yang dipresipitasi

stimulus ekstrinsik, pasien sebaiknya dirawat di ruangan gelap dan tenang.

Pasien diposisikan agar mencegah pneumonia aspirasi. Cairan intravena

harus diberikan, pemeriksaan elektrolit serta analisis gas darah penting

sebagai penuntun terapi (CDK, 2014).

Penanganan jalan napas merupakan prioritas. Spasme otot, spasme

laring, aspirasi, atau dosis besar sedatif semuanya dapat mengganggu

respirasi. Sekresi bronkus yang berlebihan memerlukan tindakan suctioning

yang sering. Trakeostomi ditujukan untuk menjaga jalan nafas terutama jika

ada opistotonus dan keterlibatan otot-otot punggung, dada, atau distres

pernapasan. Kematian akibat spasme laring mendadak, paralisis diafragma,

dan kontraksi otot respirasi tidak adekuat sering terjadi jika tidak tersedia

akses ventilator (CDK, 2014).

Spasme otot dan rigiditas diatasi secara efektif dengan sedasi. Pasien

tersedasi lebih sedikit dipengaruhi oleh stimulus perifer dan kecil

kemungkinannya mengalami spasme otot. Diazepam efektif mengatasi


spasme dan hipertonisitas tanpa menekan pusat kortikal. Dosis diazepam

yang direkomendasikan adalah 0,1-0,3 mg/kgBB/ kali dengan interval 2-4

jam sesuai gejala klinis, dosis yang direkomendasikan untuk usia <2 tahun

adalah 8 mg/kgBB/hari oral dalam dosis 2-3 mg setiap 3 jam. Spasme harus

segera dihentikan dengan diazepam 5 mg per rektal untuk berat badan <10

kg dan 10 mg per rektal untuk anak dengan berat badan ≥10 kg, atau

diazepam intravena untuk anak 0,3 mg/kgBB/kali. Setelah spasme berhenti,

pemberian diazepam dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai keadaan klinis.

Alternatif lain, untuk bayi (tetanus neonatorum) diberikan dosis awitan 0,1-

0,2 mg/kgBB iv untuk menghilangkan spasme akut, diikuti infus tetesan

tetap 15-40 mg/ kgBB/hari setelah 5-7 hari dosis diazepa diturunkan

bertahap 5-10 mg/hari dan dapat diberikan melalui pipa orogastrik. Dosis

maksimal adalah 40 mg/kgBB/hari. Tanda klinis membaik bila tidak

dijumpai spasme spontan, badan masih kaku, kesadaran membaik (tidak

koma), tidak dijumpai gangguan pernapasan.Tambahan efek sedasi bisa

didapat dari barbiturate khususnya phenobarbital dan phenotiazine seperti

chlorpromazine, penggunaannya dapat menguntungkan pasien dengan

gangguan otonom. Phenobarbital diberikan dengan dosis 120-200 mg

intravena, dan diazepam dapat ditambahkan terpisah dengan dosis sampai

120 mg/hari. Chlorpromazine di- berikan setiap 4-8 jam dengan dosis dari 4-

12 mg bagi bayi sampai 50-150 mg bagi dewasa.5,10 Morphine bisa

memiliki efek sama dan biasanya digunakan sebagai tambahan sedasi

benzodiazepine (CDK, 2014).

Jika spasme tidak cukup terkontrol dengan benzodiazepine, dapat

dipilih pelumpuh otot nondepolarisasi dengan intermittent positive-pressure


ventilation (IPPV). Tidak ada data perbandingan obat-obat pelumpuh otot

pada tetanus, rekomendasi didapatkan dari laporan kasus. Pancuronium harus

dihindari karena efek samping simpatomimetik. Atracurium dapat sebagai

pilihan. Vecuronium juga telah digunakan karena stabil pada jantung. Pasien

tetanus berat sering kali membutuhkan IPPV selama 2 hingga 3 minggu

sampai spasme mereda. Insiden ventilator-associated pneumonia pada

pasien-pasien tetanus sebesar 52,6%. Infeksi nosokomial umum terjadi

karena lamanya perjalanan penyakit tetanus dan masih merupakan penyebab

penting kematian. Pencegahan komplikasi respirasi meliputi perawatan

mulut sangat teliti, fisioterapi dada dan suction trakea. Sedasi adekuat selama

prosedur invasif mencegah provokasi spasme atau ketidakstabilan otonom

(CDK, 2014).

Instabilitas otonom terjadi beberapa hari setelah onset spasme umum

dan fatality ratenya 11-28%. Manifestasi berupa hipertensi, takikardia, dan

demam. Berbagai gangguan kardiovaskular seperti disritmia dan infark

miokard serta kolaps sirkulasi sering menyebabkan kematian. Tanda

overaktivitas simpatis yaitu takikardia fluktuatif, hipertensi yang kadang

diikuti hipotensi, pucat dan berkeringat sering tampak beberapa hari setelah

onset spasme otot. Henti jantung tiba-tiba umum terjadi dan dikatakan dapat

dipresipitasi oleh kombinasi kadar katekolamin yang tinggi dan kerja

langsung toksin tetanus pada miokardium. Aktivitas simpatis yang

memanjang dapat berakhir dengan hipotensi dan bradikardi. Aktivitas

parasimpatis berlebihan dapat menyebabkan sinus arrest, dikatakan karena

kerusakan langsung nukleus vagus oleh toksin tetanus. Instabilitas otonom

sulit diobati. Fluktuasi tekanan darah membutuhkan obat-obat dengan waktu


paruh singkat. Terapi konvensional terdiri dari sedasi dalam sebagai terapi

lini pertama, menggunakan benzodiazepine dosis besar, morphine, dan atau

chlorpromazine. Saat ini, magnesium sulfat intravena dicoba untuk

mengendalikan spasme dan disfungsi otonom dosis loading 5 g (atau 75 mg/

kg) IV dilanjutkan 1 sampai 3 g/jam sampai spasme terkontrol telah

digunakan untuk mendapatkan konsentrasi serum 2 sampai 4 mmol/L. Untuk

menghindari overdosis, dimonitor reflek patella. Beta blocker dapat

menyebabkan hipotensi berat. Episode hipotensi yang tidak membaik dengan

penambahan volume intravaskular membutuhkan inotropik. Atropin dosis

tinggi, lebih dari 100 mg/jam, telah dianjurkan pada keadaan bradikardia.

Tidak ada regimen terapi yang dipercaya efektif secara universal untuk

instabilitas otonom (CDK, 2014).

Tetanus terbukti secara klinis dan biokimia menyebabkan aktivitas

simpatis berlebihan dan katabolisme protein sehingga pemeliharaan nutrisi

sangat diperlukan. Nutrisi buruk dan penurunan berat badan terjadi cepat

karena disfagia, gangguan fungsi gastrointestinal dan peningkatan meta-

bolisme, menurunkan daya tahan tubuh sehingga memperburuk prognosis.

Nutrisi parenteral total mengandung glukosa hipertonis dan insulin dalam

jumlah cukup untuk mengendalikan kadar gula darah, dapat menekan

katabolisme protein. Formula asam amino sangat membantu membatasi

katabolisme protein. Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara

intravena sekaligus pemberian obat-obatan, dan bila sampai hari ke-3 infus

belum dapat dilepas sebaiknya dipertimbangkan pemberian nutrisi secara

parenteral. Setelah spasme mereda dapat dipasang sonde lambung untuk


makanan dan obat-obatan dengan perhatian khusus pada risiko aspirasi

(CDK, 2014).
3.1.11 Pencegahan

1. Perawatan luka

2. Imunisasi pasif

Diberikan antitoksin, pemberian antitoksin ada 2 bentuk, yaitu:

- ATS dari serum kuda (1500–3000 u i.m, 3000–5000 u i.m ).

- Tetanus Immunoglobulin Human (TIGH) dengan dosis (250–500 u i.m).

Dosis yang dianjurkan belum ada keseragaman pendapat. Pemberian ini sebaiknya

didahului dengan tes kulit dan mata.Kapan kita memberikan ATS/TIGH atau toksoid

tetanus maupun antibiotik ? Hal ini tergantung dari kekebalan seseorang apakah orang

tersebut sudah pernah mendapat imunisasi dasar dan boosternya, berapa lama antara

pemberian toksoid dengan terjadinya luka.

3. Imunisasi aktif

Di Indonesia dengan adanya program Pengembangan Imunisasi (PPI) selain

menurunkan angka kesakitan juga mengurangi angka kematian tetanus. Imunisasi

tetanus biasanya dapat diberikan dalam bentuk DPT; DT dan TT.

 DPT : diberikan untuk imunisasi dasar

 DT: diberikan untuk booster pada usia 5 tahun, diberikan pada anak dengan riwayat

demam dan kejang

 TT: diberikan pada ibu hamil

 Anak usia 13 tahun keatas sesuai dengan program pengembangan imunisasi

pada usia 2, 4 dan 6 bulan. Sedangkan booster dilakukan pada usia 1,5–2 tahun
dan

usia 5 tahun. Dosis yang diberikan adalah 0,5 cc tiap kali pemberian secara

Intramuskuler atau tetanus-diphtheria (Td) pada dewasa. Ada juga dengan kombinasi

pertusis yaitu DtaP/Tdap. Kandungan tetanus toxioid pada vaksin DT dan Td sama,

yang membedakan adalah kandungan vaksin difteri anak yang 3-4 kali lebih tinggi

dibanding dewasa. TT juga tersedia dengan kombinasi dengan vaksin difteri

(Diphtheria-tetanus toxioid/DT) pada anak (CDK, 2014).

BAB 4
KESIMPULAN

Tetanus merupakan penyakit berupa kekakuan dari otot, terutama otot wajah

dan leher. Hal ini disebabkan oleh masuknya spora dari kuman Clostridium tetani

yang masuk melalui luka pada tubuh walaupun luka itu kecil. Berat ringannya

penyakit ini tergantung dari masa inkubasi, period of onset, kejang lokal atau umum

dan ada atau tidaknya gangguan autonomic karena hal ini yang menyebabkan

kematian pada tetanus (CDK, 2014).

Angka kejadian tetanus di dunia masih tinggi. Angka kejadian tetanus di

Indonesia sudah menurun, dan pada tahun 2016, Indonesia teah dideklarasikan oleh

WHO menjadi negara yang bebas dari tetanus maternal dan neonatal. Hal ini

didukung oleh imunisasi secara rutin yang didukung oleh WHO sejak tahun 1950.

Oleh karena itu pentingnya mencegah tetanus dengan imunisasi secara rutin,

manajemen luka secara baik dan benar, dan manajemen awal ketika terjadi tanda-

tanda tetanus merupakan hal yang penting (CDK, 2014).

Tetanus masih tetap menjadi masalah kesehatan di Indonesia, terutama

penyebab kematian neonatal tersering oleh karena tetanus neonatorum. Adanya

penyebarluasan program imunisasi di seluruh dunia, maka angka kesakitan dan

kematian menurun secara drastic, tatalaksana komprehensif dan holistic pada

manajemen tetanus dapat menurunkan angka mortalitas serta meningkatan kualitas

hidup masyarakat (CDK, 2014).


1. CDC. Tetanus Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable
Diseases. 2015 available from:
https://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/downloads/tetanus.pdf

2. Soedarmo SSP, Garna H, Hardinegoro SRS, Satari HI. Buku Ajar Infeksi &
Pediatri Tropis. Edisi Ke-2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2015

Anda mungkin juga menyukai