PENDAHULUAN
Tetanus adalah penyakit akut yang mengenai sistem saraf, yang disebabkan
oleh eksotoksin yang dihasilkan oleh bakteri Clostridium tetani. Ditandai dengan
kekakuan dan kejang otot rangka. Gejala klinis tetanus hampir selalu berhubungan
otonom.2 Bakteri Clostridium tetani ditemukan di seluruh dunia, di tanah, pada benda
pada tahun 2002, ada 213.000 kematian tetanus, 198.000 dari mereka pada anak-
anak muda dari 5 tahun. Tidak ada predileksi jenis kelamin secara keseluruhan yang
telah dilaporkan, kecuali sejauh bahwa laki-laki mungkin memiliki eksposur tanah
penyakit tetanus masih cukup tinggi, oleh karena itu tetanus masih merupakan
di seluruh dunia, maka angka kesakitan dan angka kematian telah menurun secara
drastis. Sampai saat ini tetanus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat
signifikan di negara berkembang karena akses program imunisasi yang buruk, juga
penatalaksanaan tetanus modern membutuhkan fasilitas intensive care unit (ICU)
yang jarang tersedia di sebagian besar menderita tetanus berat (Laksmi, 2014).
mendapatkan imunasi tetanus (DPT) atau keluarga yang belum mengerti pentingnya
Penyebab tetanus adalah Clostridium tetani yang hidup anaerob, berbentuk spora,
selama di luar tubuh manusia tersebut banyak di tanah, di tempat yang kotor, besi
berkarat, sampai pada tusuk sate bekas. Basil ini jika kondisinya baik atau
mendukung (didalam tubuh manusia) akan mengeluarkan toksin. Toksin ini dapat
yaitu neurotropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot Tetanus di
sebabkan oleh traumatis atau luka sebagai tempat masuk kuman clostridium tetani
LAPORAN KASUS
2.1 Anamnesis
1. Identitas Pasien:
Nama : Tn.R
Usia : 54 Tahun
Nganjuk
Pekerjaan : Tani
MRS : 27/09/2018
3. Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien mengeluh sesak (+) sejak 7 jam SMRS,
disertai dengan perut dan mulut kaku semenjak sejak 1 hari SMRS. Keluhan
disertai sulit menelan dan sulit berbicara. Mual (-), muntah (-), demam (-). 2
minggu yll punggung kaki kiri pasien kejatuhan bambu sampai berdarah, tidak
dibersihkan, dibiarkan terbuka dan diberikan balsem cap geliga., bekas luka :
HT (-)
Kejang (-)
DM (-)
6. Riwayat Sosial:
tidak minum jamu. sehari makan 3 kali dan olahraga tidak teratur.
7. Alergi Obat : -
1. Keadaan Umum
2. Tanda vital :
- RR : 32 kali/menit
- Suhu : 36oC
4. Thorax:
5. Abdomen
6. Ekstremitas:
7. Status Lokalis
Inspeksi : luka ukuran cm 0,5 cm x 0,5 cm, terdapat jaringan kulit yang
jaringan nekrotik
1. Laboratorium (17/05/2018)
Darah Lengkap
LED: 42 (N)
MCV: 96 (N)
GDA : 86 (N)
2.4 Diagnosis
Tetanus
2.5 Penatalaksanaan
O2 NK 3 lpm
Inj Ketorolac 2 x 1
Inj Ranitidin 2 x 1
Inj Ceftriaxon 2 x 1 gr
NGT
DK
2.6 Prognosis
Dubia ad malam
2.7 Follow up
Tanggal S O A P
rasa
Hari : 1 Susah menelan Sadar (+) Inj Ketorolac 2 x 1
Nyaman (+)
(+)
Kamis Akral hangat (+) Inj Ranitidin 2 x 1
Tetanus
Rahang kaku (+)
Trismus (+) grade 2 Inj Metronidazol 3
pump
NGT
DK
incisi)
amp
pola nafas
Hari : 2 Hipersalivasi (+) Sadar (+) Inj Ketorolac 2 x 1
(+)
Jumat nyeri telan (+) Akral hangat (+) Inj Ranitidin 2 x 1
Tetanus
Rahang kaku (+) Hipersalivasi (+) grade 2 Inj Metronidazol 3
Makan/minum (-
) N = 88 kali/menit ampul boki
kejang (+)
Hari :3 Sesak (+) Sadar (+) Inj Rativol 2x1
Tetanus
Sabtu Rahang kaku (+) Akral hangat (+) Diazepam rate 5
Grade 3
leher kaku (+) cc/jam dalam
Pukul TD = 170/110 mmHg
syringe pump
12.00 Pusing (-)
N = 90 kali/menit
Inj tetagam 10 amp
Panas (-)
RR = 38 kali/menit
Boka 5 amp
Mual (-)
Suhu = 38oC
Boki 5 amp
Muntah (-)
Makan minum (-
kesadaran
Hari :3 TD: 60/ palpasi
(+)
Sabtu N: tidak teraba
Pukul RR: -
19.10
29/9/18 - TD:- Pasien
dinyatakan
Hari :3 N:-
meninggal
Sabtu RR:- dunia pukul
19.45
Refleks pupil (-)
EKG: flat
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Tetanus
3.1.1 Definisi
ditandai oleh adanya trismus, disfagia, dan rigiditas otot lokal yang dekat
dengan tempat luka, sering progresif menjadi spasme otot umum yang berat
3.1.2 Etiologi
dan kotoran binatang. Bakteri ini berbentuk batang dan memproduksi spora,
memberikan gambaran klasik seperti stik drum, meski tidak selalu terlihat.
Spora ini bisa tahan beberapa bulan bahkan beberapa tahun. C. tetani
yang sama. Spora yang diproduksi oleh bakteri ini tahan terhadap banyak agen
desinfektan baik agen fisik maupun agen kimia. Spora C. tetani dapat bertahan
dari air mendidih selama beberapa menit (meski hancur dengan autoclave pada
suhu 121° C selama 15-20 menit). Jika bakteri ini menginfeksi luka seseorang
atau bersamaan dengan benda lain, bakteri ini akan memasuki tubuh penderita
• Basil Gram-positif dengan spora pada pada salah satu ujungnya sehingga
membentuk gambaran pemukul genderang
• Kuman hidup di tanah dan di dalam usus binatang, terutama pada tanah di
daerah pertanian/peternakan. Spora dapat menyebar kemana-mana, mencemari
lingkungan secara fisik dan biologik. Spora mampu bertahan dalam keadaan
yang tidak menguntungkan selama bertahun-tahun, dalam lingkungan yang
anaerob dapat berubahmenjadi bentuk vegetative yang akan menghasilkan
eksotoksin.(Soedarmo, 2015)
3.1.3 Epidemiologi
Indonesia penyakit ini masih banyak dijumpai, hal ini disebabkan karena
tahun 1915 dilaporkan bahwa kasus tetanus yang terbanyak pada umur 1-5
tahun, sesuai dengan yang dilaporkan di Manado (1987) dan 14urabaya (1987)
ternyata insiden tertinggi pada anak di atas umur 5 tahun. Perkiraan angka
peningkatan 7 kali lipat pada kelompok umur 5–19 tahun dan 20–29 tahun,
sedangkan peningkatan 9 kali lipat pada kelompok umur 30-39 tahun dan
3.1.4 Patofisiologi
memasuki tubuh setelah kontaminasi pada abrasi kulit, luka tusuk minor, atau
ujung potongan umbilikus pada neonatus pada 20% kasus, mungkin tidak
ditemukan tempat masuknya. Bakteri juga dapat masuk melalui ulkus kulit,
abses, gangren, luka bakar, infeksi gigi, tindik telinga, injeksi atau setelah
pembedahan abdominal atau pelvis, persalinan dan aborsi. Jika organisme ini
Masih belum jelas mana yang lebih penting, mungkin keduanya terlibat (CDK,
2014).
synaptobrevin) pada suatu ikatan peptida tunggal. Molekul ini penting untuk
pelepasan glisin dan γ-amino butyric acid (GABA). Pada saat interneuron
otot yang tiba-tiba dan potensial merusak. Hal ini merupakan karakteristik
tetanus.
Periode inkubasi tetanus antara 3-21 hari (rata-rata 7 hari). Pada 80-90%
penderita, gejala muncul 1-2 minggu setelah terinfeksi. Selang waktu sejak
prognosis. Makin singkat (periode onset <48 jam dan periode inkubasi <7
Tetanus memiliki gambaran klinis dengan ciri khas trias rigiditas otot,
otot, lebih dahulu pada kelompok otot dengan jalur neuronal pendek, karena
itu yang tampak pada lebih dari 90% kasus saat masuk rumah sakit adalah
trismus, kaku leher, dan nyeri punggung. Keterlibatan otot-otot wajah dan
Spasme otot muncul spontan, juga dapat diprovokasi oleh stimulus fisik,
visual, auditori, atau emosional. Spasme otot menimbulkan nyeri dan dapat
menyebabkan ruptur tendon, dislokasi sendi serta patah tulang. Spasme laring
dapat terjadi segera, mengakibatkan obstruksi saluran nafas atas akut dan
ventilasi mekanik, gagal nafas akibat spasme otot adalah penyebab kematian
paling sering. Hipoksia biasanya terjadi pada tetanus akibat spasme atau
Spasme otot paling berat terjadi selama minggu pertama dan kedua, dan dapat
spasme otot tidak terkontrol baik. Gangguan otonom biasanya mulai beberapa
dan asistole yang tiba-tiba. Gambaran gangguan otonom lain meliputi salivasi,
1. Tetanus umum:
Terjadinya bentuk ini berhubungan dengan luas dan dalamnya luka seperti luka
bakar yang luas, luka tusuk yang dalam, furunkulosis, ekstraksi gigi, ulkus
berupa kekakuan otot baik bersifat menyeluruh ataupun hanya sekelompok otot.
Kekakuan otot terutama pada rahang (trismus) dan leher (kuduk kaku). Lima
puluh persen penderita tetanus umum akan menunjukkan trismus. Dalam 24–48
penyakit ini juga disebut 'Lock Jaw'. Selain kekakuan otot masseter, pada muka
juga terjadi kekakuan otot muka sehingga muka menyerupai muka meringis
kesakitan yang disebut 'Rhisus Sardonicus' (alis tertarik ke atas, sudut mulut
tertarik ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi), akibat kekakuan
leher dan tubuh sehingga memberikan gejala kuduk kaku sampai opisthotonus.
Selain kekakuan otot yang luas biasanya diikuti kejang umum tonik baik secara
spontan maupun hanya dengan rangsangan minimal (rabaan, sinar dan bunyi).
Kejang menyebabkan lengan fleksi dan adduksi serta tangan mengepal kuat dan
gangguan menelan, asfiksia dan sianosis. Retensi urine sering terjadi karena
tinggi tetapi dapat disertai panas yang tinggi sehingga harus hati–hati terhadap
komplikasi atau toksin menyebar luas dan mengganggu pusat pengatur suhu.
Pada kasus yang berat mudah terjadi overaktivitas simpatis berupa takikardi,
hipertensi yang labil, berkeringat banyak, panas yang tinggi dan ariunia
Gambar IV Opistotonus
1) Tetanus ringan trismus lebih dari 3 cm, tidak disertai kejang umum
walaupun dirangsang.
bila dirangsang.
3) Tetanus berat: trismus kurang dari 1 cm dan disertai kejang umum
yang spontan.
2. Tetanus lokal
karena gambaran klinis tidak khas. Bentuk tetanus ini berupa nyeri, kekakuan
otot–otot pada bagian proksimal dari tempat luka. Tetanus lokal adalah bentuk
3. Bentuk cephalic
Merupakan salah satu varian tetanus lokal. Terjadinya bentuk ini bila
luka mengenai daerah mata, kulit kepala, muka, telinga, leper, otitis media
kronis dan jarang akibat tonsilectomi. Gejala berupa disfungsi saraf kranial
antara lain: n. III, IV, VII, IX, X, XI, dapat berupa gangguan sendiri–sendiri
tetanus seperti Phillips score dan Dakar score. Kedua sistem skoring ini
imunisasi pasien. Phillips score <9, severitas ringan; 9-18, severitas sedang; dan
>18, severitas berat. Dakar score 0-1, severitas ringan dengan mortalitas 10%;
Dakar Score
3.1.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding
A. Diagnosis
penyakit dan temuan saat pemeriksaan. Pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan
alat dengan ujung yang lembut dan steril. Hasil tes positif jika terjadi kontraksi
rahang involunter (menggigit spatula) dan hasil negatif berupa refleks muntah.
menyatakan bahwa uji spatula memiliki spesifisitas tinggi (tidak ada hasil
positif palsu) dan sensitivitas tinggi (94% pasien terinfeksi menunjukkan hasil
clostridium tetani dari luka sangat sulit (hanya 30% positif), dan hasil kultur
jaringan nekrotis kemudian dibiakkan pada kultur agar darah atau kaldu
B. Diagnosis Banding
1. Meningitis bakterial
Pada penyakit ini trismus tidak ada dan kesadaran penderita biasanya
2. Poliomielitis
polio diisolasi dari tinja dan pemeriksaan serologis, titer antibodi meningkat
(CDK, 2014).
3. Rabies
Sebelumnya ada riwayat gigitan anjing atau hewan lain. Trismus jarang
4. Keracunan strichnine
Pada keadaan ini trismus jarang, gejala berupa kejang tonik umum
(CDK, 2014).
5. Tetani
dan fosfat dalam serum rendah. Yang khas bentuk spasme otot adalah
6. Retropharingeal abses
Trismus selalu ada pada penyakit ini, tetapi kejang umum tidak ada
(CDK, 2014).
7. Tonsilitis berat
Penderita disertai panas tinggi, kejang tidak ada tetapi trismus ada (CDK,
2014).
Kuduk kaku juga dapat terjadi pada mastoiditis, pneumonia lobaris atas,
3.1.8 Komplikasi
Oleh karena spasme otot–otot pernapasan dan spasme otot laring dan
saliva serta sukarnya menelan air liur dan makanan atau minuman sehingga
2. Pada kardiovaskuler
dalam otot. Pada tulang dapat terjadi fraktura columna vertebralis akibat
kejang yang terus–menerus terutama pada anak dan orang dewasa. Beberapa
- Panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang menyebar
3.1.9 Prognosis
1. Masa inkubasi
makin pendek masa inkubasi penyakit makin berat. Pada umumnya bila
inkubasi kurang dari 7 hari maka tergolong berat (Adams et.al, 2012).
2. Umur
3. Period of onset
Period of onset adalah waktu antara timbulnya gejala tetanus,
misalnya trismus sampai terjadi kejang umum. Kurang dari 48 jam, prognosa
4. Panas
prognosanya jelek.
5. Pengobatan
7. Frekuensi kejang
3.1.10 Penatalaksanaan
dengan dosis total 3.000- 10.000 unit, dibagi tiga dosis yang sama dan
diinjeksikan di tiga tempat berbeda. Tidak ada konsensus dosis tepat HTIG.
tidak tersedia maka digunakan ATS dengan dosis 100.000- 200.000 unit
diberikan 50.000 unit intramuskular dan 50.000 unit intravena pada hari
pertama, kemudian 60.000 unit dan 40.000 unit intramuskuler masing-
masing pada hari kedua dan ketiga. Setelah penderita sembuh, sebelum
keluar rumah sakit harus diberi immunisasi aktif dengan toksoid karena
seseorang yang sudah sembuh dari tetanus tidak memiliki kekebalan (CDK,
2014).
suportif sampai efek toksin yang telah terikat habis. Semua pasien yang
yang sering. Trakeostomi ditujukan untuk menjaga jalan nafas terutama jika
dan kontraksi otot respirasi tidak adekuat sering terjadi jika tidak tersedia
Spasme otot dan rigiditas diatasi secara efektif dengan sedasi. Pasien
jam sesuai gejala klinis, dosis yang direkomendasikan untuk usia <2 tahun
adalah 8 mg/kgBB/hari oral dalam dosis 2-3 mg setiap 3 jam. Spasme harus
segera dihentikan dengan diazepam 5 mg per rektal untuk berat badan <10
kg dan 10 mg per rektal untuk anak dengan berat badan ≥10 kg, atau
Alternatif lain, untuk bayi (tetanus neonatorum) diberikan dosis awitan 0,1-
tetap 15-40 mg/ kgBB/hari setelah 5-7 hari dosis diazepa diturunkan
bertahap 5-10 mg/hari dan dapat diberikan melalui pipa orogastrik. Dosis
120 mg/hari. Chlorpromazine di- berikan setiap 4-8 jam dengan dosis dari 4-
pilihan. Vecuronium juga telah digunakan karena stabil pada jantung. Pasien
mulut sangat teliti, fisioterapi dada dan suction trakea. Sedasi adekuat selama
(CDK, 2014).
diikuti hipotensi, pucat dan berkeringat sering tampak beberapa hari setelah
onset spasme otot. Henti jantung tiba-tiba umum terjadi dan dikatakan dapat
tinggi, lebih dari 100 mg/jam, telah dianjurkan pada keadaan bradikardia.
Tidak ada regimen terapi yang dipercaya efektif secara universal untuk
sangat diperlukan. Nutrisi buruk dan penurunan berat badan terjadi cepat
intravena sekaligus pemberian obat-obatan, dan bila sampai hari ke-3 infus
(CDK, 2014).
3.1.11 Pencegahan
1. Perawatan luka
2. Imunisasi pasif
Dosis yang dianjurkan belum ada keseragaman pendapat. Pemberian ini sebaiknya
didahului dengan tes kulit dan mata.Kapan kita memberikan ATS/TIGH atau toksoid
tetanus maupun antibiotik ? Hal ini tergantung dari kekebalan seseorang apakah orang
tersebut sudah pernah mendapat imunisasi dasar dan boosternya, berapa lama antara
3. Imunisasi aktif
DT: diberikan untuk booster pada usia 5 tahun, diberikan pada anak dengan riwayat
pada usia 2, 4 dan 6 bulan. Sedangkan booster dilakukan pada usia 1,5–2 tahun
dan
usia 5 tahun. Dosis yang diberikan adalah 0,5 cc tiap kali pemberian secara
Intramuskuler atau tetanus-diphtheria (Td) pada dewasa. Ada juga dengan kombinasi
pertusis yaitu DtaP/Tdap. Kandungan tetanus toxioid pada vaksin DT dan Td sama,
yang membedakan adalah kandungan vaksin difteri anak yang 3-4 kali lebih tinggi
BAB 4
KESIMPULAN
Tetanus merupakan penyakit berupa kekakuan dari otot, terutama otot wajah
dan leher. Hal ini disebabkan oleh masuknya spora dari kuman Clostridium tetani
yang masuk melalui luka pada tubuh walaupun luka itu kecil. Berat ringannya
penyakit ini tergantung dari masa inkubasi, period of onset, kejang lokal atau umum
dan ada atau tidaknya gangguan autonomic karena hal ini yang menyebabkan
Indonesia sudah menurun, dan pada tahun 2016, Indonesia teah dideklarasikan oleh
WHO menjadi negara yang bebas dari tetanus maternal dan neonatal. Hal ini
didukung oleh imunisasi secara rutin yang didukung oleh WHO sejak tahun 1950.
Oleh karena itu pentingnya mencegah tetanus dengan imunisasi secara rutin,
manajemen luka secara baik dan benar, dan manajemen awal ketika terjadi tanda-
2. Soedarmo SSP, Garna H, Hardinegoro SRS, Satari HI. Buku Ajar Infeksi &
Pediatri Tropis. Edisi Ke-2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2015