Anda di halaman 1dari 56

KEGAWATDARURATA

N UROLOGI
KHOIRUL FIKRI 2011730050
DOKTER PEMBIMBING : DR. GATOT
SUGIHARTO,SP.B

KEGAWATDARURATAN UROLOGI
Non Trauma
Urosepsis
Retensio Urine
Strangulasi

Trauma
Ruptur Buli
Ruptur uretra

UROSEPSIS
DEFINISI
sepsis yang disebabkan oleh mikrobakteria yang berasal dari
saluran urogenitalia. Terutama jika sistem kekebalan tubuh
manusia mengalami penurunan, (diabetes melitus, lansia,
penderita keganasan, HIV, dan gangguan imunitas lainya). bakteri
yang masuk ke dalam peredaran darah akan mengeluarkan
endotoksin yang akan dapat memacu terjadinya rangkaian septic
cascade. Keadaan ini akan menimbulkan sindroma respon
inflamasi sistemik (systemic inflamation response syndrome).

UROSEPSIS
American College of Chest Physicians and the Society of critical Care
Medicine memberikan batasan tentang sepsis dan syok septik. SIRS
merupakan respon tubuh terhadap inflamasi sistemik yang disebabkan oleh
berbagai macam kelainan, antara lain
Infeksi
Trauma
syok hemoragik
Kombustio
Kerusakan jaringan
Iskemia akibat multipel trauma
pankreatitis

UROSEPSIS
ETIOLOGI
Kuman penyebab sepsis paling sering adalah bakteri gram
negatif yang hidup secara komensalisme di saluran cerna,
yaitu + 30% - 80%; sedangkan
bakteri gram positif
merupakan penyebab + 5% - 24% sepsis.
E.coli adalah kuman yang paling sering menyebabkan sepsis,
kemudian
disusul
Klebsiella,
Enterobacter,
Serratia,
Pseudomonas, dll.
Kuman yang paling virulen adalah Pseudomonas serta
Klebsiella, dan dalam hal ini pseudomonas seringkali
menunjukkan resistensi terhadap berbagai antibiotik.

UROSEPSIS
Urosepsis timbul karena adanya obstruksi saluran kemih sehingga
kemampuan urine untuk mengeliminasi kuman dari saluran kemih
terganggu.
Keadaan ini menyebabkan kuman dengan mudah berkembang biak
didalam saluran kemih, menembus mukosa saluran kemih, dan
masuk kedalam sirkulasi darah, sehingga menyebabkan bakterimia.
Keadaan urologi yang dapat mengakibatkan urosepsis antara lain
batu saluran kemih, hiperplasia prostat, dan keganasan saluran
kemih yang menyebabkan timbulnya hidronefrosis dan bahkan
pionefrosis.

UROSEPSIS
Gejala klinis
Tergantung pada kelainan organ urogenitalia yang menjadi
sumber infeksi dan sampai seberapa jauh proses sepsis telah
berlangsung. Gambaran klinis yang didapat antara lain :
Demam, Mengigil, Hipotensi, Takikardi, Takipneu.
Sebelumnya didahului oleh gejala kelainan saluran kemih;
sistitis, pielonefritis, epididimitis, prostattitis akut,
nyeri pinggang, keluhan miksi, pasca kateterisasi
uretra, atau pasca pembedahan saluran kemih
Sepsis yang telah berlanjut memberi gejala atau tanda-tanda
gangguan beberapa fungsi organ tubuh, antara lain gangguan
pada fungsi ginjal, kardiovaskuler, pencernaan, pernafasan,
dan susunan saraf pusat.

UROSEPSIS
Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis dari urosepsis harus dibuktikan
bahwa bakteri yang beredar didalam darah (kultur darah)
sama dengan bakteri yang ada dalam saluran kemih (kulltur
urine).
Tindakan
Penanganan urosepsis harus dilakukan secara komperhensif dan
ditujukan terhadap poin-poin berikut:
Penanganan infeksi (eradikasi kuman penyebab infeksi &
menghilangkan sumber infeksi)
Akibat lanjut dari infeksi (SIRS, syok sepsis, multiple organ
failure)

UROSEPSIS
Terapi terhadap infeksi
Sebelum dilakukan pemberian antibiotik, lebih baik diambil
contoh urine dan contoh darah untuk pemeriksaan kultur guna
mengetahui jenis kumn penyebab urosepsis, hal ini bermanfat
jika pemberian antibiotik secara empirik tidak berhasil.
Secara empirik diberikan antibiotik yang sensitif terhadap
bakteri gram negatif, yaitu:
Aminoglikosida (gentamycin, amikasin, atau tobramycin)
Ampicilin
Cefalosporin generasi III
Floroquinolon

UROSEPSIS

Terapi terhadap infeksi


Sumber-sumber infeksi lainnya harus segera dihilangkan, misalnya:
Pemakaian kateter uretra harus diganti dengan yang baru atau
dilakukan cystostomy
Abses pada ginjal, perirenal, dan abses prostat dilakukan drainase
Hidronefrosis yang terinfeksi dilakukan diversi urine atau drainase pus
dengan nefrostomy
Jenis terapi suportif yang diberikan tergantung pada organ yang
mengalami gangguan. Kematian akibat sepsis biasanya disebabkan karena
kegagalan dalam memberikan terapi suportif terhadap multiple organ
failure.
Disfungsi multiorgan yang paling sering menyebabkan kematian adalah
gagal napas (18%) dan gagal ginjal (15%), sedangkan sisanya adalah
kegagalan sistem kardiovaskular, hematologi, metabolisme, dan neurologi.

RETENSIO URINE
Definisi
keadaan penderita yang tidak dapat berkemih walaupun
kandung kemih penuh.
Pada sumber lain disebutkan bahwa definisi retensio urine
adalah ketidakmampuan seseorang untuk mengeluarkan urine
yang terkumpul didalam buli-buli hingga kapasitas maksimal
buli terlampaui.2
Proses miksi terjadi karena koordinasi harmonik antara otot
destrusor buli sebagai penampung dan pemompa urine
dengan uretra yang bertindak sebagai pipa untuk
menyalurkan urine.

RETENSIO URINE
Etiologi
Adanya penyumbatan pada uretra, kontraksi buli-buli yang
tidak adekuat, atau adanya miskoordinasi antara buli-buli
dengan uretra dapat menimbulkan terjadinya retensi urine.

RETENSIO URINE
Kelemaha
n Otot
Destrusor

Inkoordin
asi Saraf
Perifer

Obstruksi
Uretra

Kelainan medulla
spinalis

Cedera kauda
equina

Benign Prostate
Hyperplasia

Kelainan saraf
perifer

Batu Uretra
Fimosis
Parafimosis
Ruptur Uretra
Striktur Uretra
Tumor Uretra

RETENSIO URINE
Tindakan
Tujuan utama tindakan pada retensio urine adalah untuk
mengeluarkan urine dari dalam buli-buli. Urine dapat dikeluarkan
dengan cara pemasangan kateter atau cystostomy. Intertvensi
penyakit primer dikerjakan setelah kondisi pasien stabil.
Untuk kasus tertentu tidak perlu pemasangan kateter terlebih dulu,
melainkan dapat langsung dilakukan tindakan definitif terhadap
penyebab utama retensio urine, misalnya batu di meatus uretra
eksternum atau meatal stenosis, fimosis dan parafimosis dilakukan
sirkumsisi atau dorsumsisi.

STRANGULASI
TORSIO
TESTIS

STRANGUL
ASI
PARAFIMOS
IS

PRIAPISMU
S

TORSIO TESTIS

TORSIO TESTIS
Torsio testis adalah kondisi terpuntirnya funikulus sprematikus
yang berakibat terjadinya gangguan aliran darah pada testis.
Keadaan ini diderita oleh 1 diantara 4000 ribu pria yang
berumur kurang dari 25 tahun, dan paling banyak diderita
oleh anak pada masa pubertas (12-20 tahun).
Disamping itu tidak jarang janin yang masih berada dalam
uterus atau bayi baru lahir menderita torsio testis yang tidak
terdiagnosis sehingga mengakibatkan kehilangan testis baik
unilateral maupun bilateral.

TORSIO TESTIS
Testis normal dibungkus oleh tunika albuginea. Pada
permukaaan anterior dan lateral, testis dan epididimis
dikelilingi oleh tunika vaginalis yang terdiri atas dua lapis,
yaitu lapisan viseralis yang langsung menempel ke testis dan
di bagian luarnya adalah lapisan parietalis yang menempel ke
muskulus dartos pada dinding skrotum.
Pada masa janin dan neonatus lapisan parietal yang
menempel pada muskulus dartos masih belum banyak
terdapat jaringan pengangga sehingga testis, epididimis, dan
tunika vaginalis mudah sekali bergerak dan memungkinkan
untuk
terpuntir
pada
sumbu
funikulus
spermatikus.
Terpuntirnya pada keadaan ini disebut torsio testis ekstra
vaginal.

TORSIO TESTIS
Terjadinya torsio testis pada masa remaja banyak dikaitkan
dengan kelainan sistem penyangga testis.
Tunika vaginalis yang seharusnya mengelilingi sebagian dari
testis pada permukaan anterior dan lateral testis, pada
kelainan ini tunika mengelilingi seluruh permukaan testis
sehingga mencegah insersi epididimis ke dinding skrotum.
Keadaan ini menyebabkan testis dan epididimis dengan
mudah
bergerak
di
kantung
tunika
vaginalis
dan
menggantung pada funikulus spermatikus. Kelainan ini dikenal
dengan anomali bell-clapper.
Keadaan ini akan memudahkan testis mengalami torsio testis
intravaginal.

TORSIO TESTIS
Patofisiologi
Secara fisiologis otot kremaster
berfungsi menggerakkan
testis mendekat dan menjauhi rongga abdomen guna
mempertahankan suhu ideal untuk testis.
Adanya kelainan penyangga testis menyebabkan testis dapat
mengalami torsio jika bergerak secara berlebihan.

TORSIO TESTIS
Patofisiologi
Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan pergerakkan yang
berlebihan antara lain
adalah perubahan suhu yang
mendadak, ketakutan, latihan fisik yang berlebihan, batuk,
celana yang telalu ketat, defekasi, atau trauma yang
mengenai skrotum.
Terpuntirnya funikulus spermatikus menyebabkan obstruksi
aliran darah testis sehingga tesitis mengalami hipoksia,
edema testis, dan iskemia, yang akhirnya testis akan menjadi
nekrosis.

TORSIO TESTIS
Tanda & Gejala
Pasien mengeluh nyeri hebat didaerah skrotum, yang sifatnya
mendadak dan diikuti pembekakan pada testis. Keadaan ini
dikenal sebagai akut skrotum.
Nyeri dapat menjalar ke daerah inguinal atau perut bagian
bawah sehingga jika tidak diwaspadai sering dikacaukan
dengan apendisitis akut.
Pada bayi gejalanya tidak khas, yakni gelisah, rewel, atau
tidak mau menyusu.
Pada pemeriksaan fisik, testis membengkak,
letaknya lebih tingi (denign sign)

TORSIO TESTIS
Tanda & Gejala
lebih horizontal daripada testis sisi kontralateral (angel
sign).
Kadang pada torsio testis yang baru terjadi, dapat diraba
adanya lilitan atau penebalan funikulus spermatikus.
Keadaan ini biasanya tidak disertai dengan demam.
Pemeriksaan penunjang yang dapat membedakan torsio
testis dengan keadaan skrotum lainnya adalah dengan
memakai stetoskop doppler, USG doppler, dan yang
kesemuanya bertujuan menilai aliran darah ke testis.
Pada torsio testis tidak didapatkan aliran darah ke testis
sedangkan ada peradangan akut testis , terjdi peningkatan

TORSIO TESTIS
Tindakan
Detorsi Manual
Detorsi manual adalah mengembalikan posisi testis ke
asalnya, yaitu dengan cara memutar testis kearah
berlawanan dengan arah torsio. Karena arah torsio biasanya
ke medial maka dianjurkan untuk memutar testis kearah
lateral terlebih dulu, bila tidak terjadi perubahan dilakukan
pemutaran kearah sebaliknya.
Hilangnya nyeri setelah detorsi menandakan bahwa detorsi
telah berhasil. Jika detorsi berhasil operasi harus tetap
dilaksanakan.

TORSIO TESTIS
Tindakan
Operasi
Tindakan operasi ditujukan untuk mengembalikan posisi testis
pada arah yang benar dan setelah itu dilakukan penilaian
viabilitas testis yang mengalami torsio, mungkin masih viable
atau sudah mengalami nekrosis.
Jika testis masih viable dilakukan orkdopeksi (fiksasi testis)
pada tunika dartos kemudian dilanjutkan orkidopeksi pada
testis kontralateral.

PARAFIMOSIS

PARAFIMOSIS

Parafimosis adalah preputium penis yang diretraksi sampai


sulkus koronarius dan tidak dapat dikembalikan pada kondisi
semula sehingga timbul jeratan pada penis dibelakang
sulkus koronarius.
Retraksi preputium kearah proksimal biasanya dilakukan
saat bersenggama atau masturbasi atau setelah dilakukan
pemasangan kateter.
Jika preputium tidak secepatnya dikembalikan ke tempat
semula, dapat menyebabkan gangguan aliran balik vena
superfisial sedangkan aliran arteri berjalan normal. Hal ini
menyebabkan edema glans penis dan terasa nyeri.
Jika dibiarkan bagian penis di bagian distal jeratan makin
membengkak yang akhirnya dapat mengalami nekrosis

PARAFIMOSIS
Tindakan
Preputium diusahakan untuk dikembalikan secara manual
dengan cara memijat glans selama 3-5 menit, diharapkan
edema berkurang dan secara perlahan-lahan preputium
dikembalikan pada tempatnya.
Jika usaha ini tidak berhasil, dilakukan dorsum insisi pada
jeratan sehingga reputium dapat dikembalikan pada
tempatnya.
Setelah
edema
dan
proses
inflamas
menghilang, pasien dianjurkan untuk dilakukan sirkumsisi.

PRIAPISMUS

PRIAPISMUS
Priapismus adalah ereksi penis yang berkepanjangan tanpa
diikuti dengan hasrat seksual dan sering disertai dengan
rasa nyeri.
Istilah priapismus berasal dari kata Yunani priapus yaitu
nama dewa kejantanan pada Yunani kuno.
Priapismus merupakan salah satu kedaruratan urologi
karena jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat dapat
menimbulkan kecacatan yang menetap berupa disfungsi
ereksi.

PRIAPISMUS
Etiologi

Menurut etiologinya priapismus dibedakan dalam 2 kategori


yaitu: priapismus primer dan priapismus sekunder. Priapismus
sekunder dapat disebabkan oleh :
Kelainan pembekuan darah
Trauma paraperineum atau genitalia
Gangguan neurogenik
paraplegia)

(pengaruh

anestesi

regional

Penyakit keganasan
Pemakaian obat-obatan tertentu (alkohol, psikotropika)
Pasca injeksi intrakavernosa dengan zat vasoaktif

atau

PRIAPISMUS
Klasifikasi
Ereksi penis yang berkepanjangan pada priapismus dapat terjadi
karena:
1.Low-flow Priapismus (statis=Ischemic) yaitu berupa ereksi
berkepanjangan dan diikuti rasa nyeri.
2.High-Flow Priapismus (non-ischemic) yang sering tanpa rasa
nyeri dan prognosanya baik.

PRIAPISMUS
Jika tidak diterapi, detumesensi terjadi setelah 2-4 minggu dan
otot polos yang mengalami nekrosis diganti oleh jaringan fibrosa
sehingga kehilangan kemampuan untuk mempertahankan ereksi
maksimal.
Priapismus jenis non-iskemik banyak terjadi setelah suatu trauma
pada daerah perineum atau setelah operasi rekonstruksi arteri
pada disfungsi ereksi.
Prognosisnya lebih baik daripada jenis iskemik dan ereksi dapat
kembali seperti semula.

PRIAPISMUS
Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti diharapkan dapat
mengungkapkan etiologi priapismus.
Pada pemeriksaan lokal didpatkan corpus penis yang menegang
tanpa diikuti oleh ketegangan pada glans penis.
USG doppler yang dapat mendeteksi adanya pulsasi arteri
kavernosa dan analisis gas darah yang diambil intrakavernosa
dapat membedakan priapismus jenis iskmeik atau non-iskemik

PRIAPISMUS
Terapi
Pada
prinsipnya
terapi
priapismus
adalah
secepatnya
mengembalikan aliran darah pada korpus kavernosum yang
dicapai dengan cara medika mentosa maupun operatif.
Aspirasi darah kavernosa diindikasikan pada priapismus
noniskemik atau priapismus iskemik yang masih baru saja
terjadi.
Priapismus iskemik derajat berat yang sudah terjadi beberpa hari
tidak memberikan respon terhadap aspirasi dan irigasi obat
intrakavernosa, untuk itu diperlukan tindakan operatif.

PRIAPISMUS
Terapi
Aspirasi dilakukan dengan memakai jarum scalp vein no. 21.
Aspirasi sebanyak 10-20 ml darah intrakavernosa, kemudian
dilakukan instilasi 10-20 g epinefrin atau 100-200 g fenilefrin
yang dilarutkan dalam 1ml NaCl 0.9% setiap 5 menit hingga
penis detumesensi. Jika dilakukan sebelum 24 jam setelah
serangan, hampir semua kasus dapat dengan cara ini.
Selain obat-obatan tersebut, dapat pula dipakai instilasi
streptokinase pada priapismus yang telah berlangsung 14 hari
yang sebelumnya telah gagal dengan instilasi adrenergik.

PRIAPISMUS
Terapi
Shunting korpus kavernosum, tindakan ini harus difikirkan
terutama pada priapismus veno-oklusif atau yang gagal setelah
terapi medikamentosa; hal ini untuk mencegah timbulnya
sindroma kompartemen dapat menekan arteri kavernosa dan
berakibat iskemia pada korpus kavernosa. Beberapa jenis shunt
antara lain:
Shunt korpo-glanular
Shunt korpo-spongiosum (k. spongiosum-k. Kavernosum)
Shunt safeno-kavernosum (anatomosis k. Kavernosum vena
safena)

TRAUMA BULI

TRAUMA BULI

Pada waktu lahir hingga usia anak, buli-buli terletak di rongga


abdomen, namun seiring bertambahnya usia, tempatnya turun
dan terlindung di dalam kavum pelvis; sehingga kemungkinan
mendapat trauma dari luar jarang terjadi

TRAUMA BULI
Etiologi
Kurang lebih 90% trauma adalah akibat fraktur pelvis. Fiksasi
buli-buli pada tulang pelvis oleh fascia endopelvik dan diafragma
pelvis sangat kuat sehingga cedera deselerasi terutama jika titik
fiksasi fascia bergerak pada arah berlawanan (seperti pada
fraktur pelvis), dapat merobek buli-buli.
Robekan buli-buli karena fraktur pelvis juga dapat terjadi akibat
fragmen tulang pelvis merobek dinding buli.
Dalam kondisi terisi penuh oleh urine, buli-buli mudah sekali
robek jika mendapatkan tekanan dari luar berupa benturan pada
perut bagian bawah. Buli-buli aka robek pada daerah fundus dan
menyebabkan ekstravasasi urine ke rongga intraperitoneum.

TRAUMA BULI
Tindakan endourologi dapat menyebabkan trauma buli-buli
iatrogenik antara lain pada reseksi buli-buli transuretral atau
pada litotripsi. Demikian pula partus atau tindakan operasi
didaerah pelvis dapat menyebabkan trauma iatrogenik pada bulibuli.
Ruptur buli-buli dapat terjadi secara spontan; hal ini biasanya
terjadi jika sebelumnya terdapat kelainan pada dinding buli-buli.
Tumor buli, atau obstruksi infravesikal kronis menyebabkan
perubahan struktur otot buli-buli yang menyebabkan kelemahan
dinding buli-buli.

TRAUMA BULI
Secara klinis cedera buli-buli dibedakan menjadi kontusio buli,
cedera buli ekstraperitoneal, dan cedera buli intraperitoneal.
Pada kontusio buli hanya terdapat memar pada dindingnya,
mungkin terdapat hematom periversikal, namun tidak terjadi
ekstravasasi urine ke luar buli.
Cedera intraperitoneal merupakan 25-45% dari seluruh kejadian
trauma buli . Sedangkan cedera buli ektraperitoneal + 45-60%
dari seluruh trauma buli.
Terkadang cedera buli intraperitoneal terjadi bersama dengan
cedera buli ekstraperitoneal (2-12%). Jika tidak mendapat
perawatan dengan segera 10-20% trauma buli dapat berakibat
kematian karena peritonitis atau sepsis.

TRAUMA BULI
Tanda & gejala
Riwayat trauma pada bagian bawah abdomen
Nyeri supra simfisis
Hematuria
Retensi urine
Gambaran klinis lain tergantung dari etiologi trauma, bagian buli
yang mengalami cedera (intra/ekstra), adanya organ lain yang
mengalami cedera, serta penyulit yang terjadi akibat trauma
(fraktur pelvis, syok, hematoma perivesika, sepsis, peritonitis,
atau abses perivesika)

TRAUMA BULI
Pemeriksaan radiologis
Cystography
Foto abdomen AP saat buli teri kontras
Foto abdomen oblik
Foto abdomen saat kontras dikeluarkan (wash out film)

TRAUMA BULI
Terapi
Terapi pada cedera buli tergantung dari jenis cedera yang
dialami.
Pada kontusio buli, cukup dilakukan pemasangan kateter dengan
tujuan untuk memberikan istirahat ada buli. Dengan cara ini
diharapkan buli sembuh dalam 7-10 hari

TRAUMA BULI
Terapi
Pada cedera intraperitoneal harus dilakukan eksplorasi
laparotomi untuk mencari robekan ada buli serta kemungkinan
cedera pada organ lain. Jika tidak dioperasi, ekstravasasi urine ke
ronga peritoneum dapat mengakibatkan peritonitis
Pada cedera ekstraperitoneal, robekan yang sederhana
(ekstravasasi minimal) dianjurkan untuk dipasang kateter
selama7-10 hari, namun sebagian ahli menganjurkan untuk
dilakukan penjahitan buli dan pemasangan kateter cystostomy.

TRAUMA URETRA

TRAUMA URETRA
Ruptur Uretra Posterior
Ruptur uretra posterior paling sering disebabkan oleh fraktur
tulang pelvis. Fraktur yang mengenai simfisis pubis dan
menimbulkan kerusakan pada cincin pelvis , menyebabkan
robekan uretra pars prostato-membranasea.

TRAUMA
URETRA
Klasifikasi
Melalui gambaran uretrogram McCollum membagi derajat cedera
uretra dalam 3 jenis:
1. Uretra posterior masih utuh dan hanya mengalami streching
(peregangan).
Foto
uretrogram
tidak
menunjukkan
ekstravasasi, dan uretra hanya tampak memanjang.
2. Uretra posterior terputus pada perbatasan prostatomembranasea. Foto uretrogram menunjukkan ekstravasasi
kontras diatas diafragma urogenitalia.
3. Uretra posterior, diafragma urogenitalis, dan uretra pars
bulbosasebelah proksimal ikut rusak. Foto uretrogram
menunjukkan
ekstravasasi
kontras
meluas
dibawah
diafragma urogenitalia

TRAUMA URETRA
Tanda & Gejala
Perdarahan melaui OUE
Retensi urine
Floating prostate pada rectal toucher
Adanya gambaran
retrogard.

ekstravasasi

kontras

pada

uretrografi

TRAUMA URETRA
Tindakan
Hindari tindakan invasif melaui uretra
Cystostomy
Primary Endoscopic Realignment.
Uretropalsty

TRAUMA URETRA
Ruptur Uretra Anterior
Cedera dari luar yang sering menyebabkan kerusakan uretra
anterior adalah straddle injury, uretra terjepit tulang pelvis dan
benda tumpul.
Jenis kerusakan yang bisa terjadi berupa:
Kontusio dinding uretra
Ruptur parsial dinding uretra
Ruptur total dinding uretra

TRAUMA URETRA
Pada kontusio uretra , pasien mengeluh adanya perdarahan
melalui uretra atau hematuria. Jika terdapat robekan pada korpus
spongiosum, terlihat adanya hematom pada penis.
Pada keadaan ini seringkali pasien tidak dapat miksi.
Pemeriksaan uretrografi retrogard pada kontusio uretra tidak
menunjukkan adanya ekstrvasasi kontras. Sedangkan pada
ruptur uretra menunjukkan adanya ekstravasasi kontras di pars
bulbosa.

TRAUMA URETRA
Kontusio uretra tidak memerlukan terapi khusus, tetapi
mengingat cedera ini dapat menimbulkan striktur uretra
dikemudian hari. Maka setelah 4-6 bulan perlu dilakukan
pemeriksaan uretrografi ulang.
Pada ruptur uretra dengan ekstravasasi ringan dapat dilakukan
cystostomy untuk mengalihkan aliran urine.

TERIMA KASIH

DAFTAR PUSTAKA

Sjamsuhidayat, R. 2010. Buku ajar ilmu bedah Sjamsuhidayat-de jong. Jakarta: EGC.
Purnomo, B Basuki. 2011. Dasar-dasar UROLOGI. Jakarta: SAGUNG SETO
F. Charles Brunicardi, 2010. Schwartzs Principles Of Surgery Tenth Edition. New
York, Mc Graw Hill

Anda mungkin juga menyukai