Anda di halaman 1dari 36

LABIOPALATOSCHIZIS

Oleh:

Essy Avida Tholibiyah, S. Ked 04084821820020

Muhammad Galang Samudra, S.Ked 04011181520028

Mohammad Fiqih Arrachman, S.Ked 04011181520027

Nanda Florencia, S.Ked 04011181520026

Pembimbing:

dr. Abda Arif, Sp.BP-RE

DEPARTEMEN ILMU BEDAH

RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2019

i
HALAMAN PENGESAHAN

Judul:

LABIOPALATOSCHIZIS

Oleh:

Essy Avida Tholibiyah, S. Ked 04084821820020

Muhammad Galang Samudra, S.Ked 04011181520028

Mohammad Fiqih Arrachman, S.Ked 04011181520027

Nanda Florencia, S.Ked 04011181520026

Pembimbing:

dr. Abda Arif, Sp.BP-RE

Referat ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti Kepaniteraan
Klinik di Bagian Ilmu Bedah RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 11 Maret – 20 Mei 2019.

Palembang, Maret 2019

Pembimbing,

dr. Abda Arif, Sp.BP-RE

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas yang berjudul
“LABIOPALATOSCHIZIS”. Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas laporan referat
yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran kepaniteraan klinik, khususnya pada
Departemen Ilmu Bedah RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Abda Arif, Sp.BP-RE selaku
pembimbing yang telah banyak membimbing dalam penulisan dan penyusunan referat
ini, serta semua pihak yang telah membantu hingga selesainya referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih memiliki kekurangan dan kesalahan
akibat keterbatasan pengetahuan dan kemampuan penulis. Oleh karena itu, penulis
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan referat di
masa mendatang. Semoga karya tulis ini bermanfaat bagi pembaca.

Palembang, Maret 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................................i


HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................................ii
KATA PENGANTAR ...............................................................................................iii
DAFTAR ISI..............................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................3
2.1. Kelainan kongenital ...........................................................................................3
2.2. Embriogenesis ....................................................................................................3
2.2.1. Embriogenesis wajah ...............................................................................4
2.2.2. Embriogenesis segmen antarmaksila .....................................................7
2.2.3. Embriogenesis Palatum Sekunder .........................................................8
2.2.4. Embriogenesis Rongga Hidung ..............................................................9
2.2.5. Embriogenesis Gigi ..................................................................................11
2.3. Embriogenesis Abnormal ..................................................................................14
2.4. Labiopalatoschizis ..............................................................................................14
2.4.1. Definisi ......................................................................................................14
2.4.2. Epidemiologi.............................................................................................15
2.4.3. Etiologi ......................................................................................................18
2.4.4. Patogenesis ...............................................................................................19
2.4.5. Klasifikasi .................................................................................................20
2.4.5.1. Sistem klasifikasi berdasarkan pola labiopalatal clefting .........21
2.4.5.2. Sistem klasifikasi yang membedakan antara celah
unilateral dan bilateral .................................................................23
2.4.6. Tatalaksana ..............................................................................................27
2.5. Kerangka teori .................................................................................................29
BAB III KESIMPULAN...........................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 31

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Anomali kongenital dikenal juga sebagai cacat lahir, kelainan kongenital atau
malformasi kongenital. Anomali kongenital dapat didefinisikan sebagai anomali
struktural atau fungsional yang terjadi selama masa intrauterin dan dapat diidentifikasi
sebelum lahir, saat lahir atau di kemudian hari. Anomali kongenital dapat disebabkan
oleh cacat gen tunggal, gangguan kromosom, faktor keturunan yang multifaktorial,
teratogen lingkungan dan defisiensi mikronutrien (WHO, 2010). Menurut laporan cacat
lahir dari March of Dimes (MOD Foundation) setiap tahun lebih dari 8,14 juta anak
dilahirkan dengan cacat lahir dengan kondisi yang serius, karena kelainan genetik atau
pengaruh lingkungan. Database The South-East Asia Regional Neonatal Perinatal
database (SEAR NPD/WHO Report, 2007–2008) melaporkan bahwa malformasi
kongenital atau cacat lahir menyumbang 11,1% dari penyebab utama kematian
neonatus. Bibir sumbing atau celah bibir/langit-langit dan cacat jantung ditemukan
malformasi kongenital yang paling umum.
Dari data laporan cacat lahir MOD Global (MOD Foundation) didapatkan
prevalensi kelahiran dengan celah bibir dan atau tanpa celah langit-langit mulai dari 0,3
per 1.000 kelahiran hidup di populasi Amerika Afrika, 1 per 1.000 dalam ras Kaukasia,
2 per 1.000 pada populasi Jepang, hingga 3,6 per 1.000 kelahiran hidup pada orang
Amerika Utara. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, prevalensi anak
usia 24-59 bulan mengidap satu jenis kelainan mencapai 0,53%, dengan 0,08% di
antaranya adalah anak-anak yang lahir dengan bibir sumbing. Prevalensi nasional Bibir
Sumbing adalah 0,2% (berdasarkan keluhan responden atau observasi pewawancara).
Sebanyak 7 provinsi mempunyai prevalensi Bibir Sumbing diatas prevalensi nasional,
yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Bangka
Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, dan Nusa Tenggara Barat (Riskesdas, 2007).
Sumatra selatan merupakan salah satu provinsi dengan prevalensi bibir sumbing
tertinggi di Indonesia, berdasarkan laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)
Provinsi Sumatra Selatan Tahun 2007 didapatkan bahwa prevalensi bibir sumbing
yaitu 10,6%. Dengan banyaknya kasus bayi lahir yang mengalami bibir sumbing maka
terdapat juga berbagai karakteristik dari kelainan tersebut. Karakteristik bibir
sumbing dapat bervariasi berdasarkan tipe bibir sumbing dan lokasi bibir sumbing.

1
Bibir sumbing dapat diklasifikasikan dalam beberapa kelompok (Davis dan
Ritchie, 1922). Sistem ini mengkategorikan bibir sumbing secara luas menjadi tiga
kelompok menurut posisi sumbing. Kelompok I - Celah Pra alveolar: Bibir sumbing
unilateral, bibir sumbing bilateral, bibir sumbing Median. Kelompok II – Celah post
alveolar: Sumbing palatum keras saja, sumbing palatum lunak saja, sumbing palatum
lunak dan palatum keras, Celah sub mukosa. Kelompok III-Celah Alveolar: Sumbing
alveolar unilateral, Sumbing alveolar bilateral, Sumbing alveolar median. Elnassry
mengusulkan klasifikasi berikut di tahun 2007. Ia membagi pasien dengan celah bibir
dan palatum ke tujuh kelas. Kelas I: bibir sumbing unilateral, Kelas II: bibir sumbing
unilateral dan alveolus, Kelas III: bibir sumbing bilateral dan alveolus, Kelas IV: celah
bibir dan palatum unilateral lengkap, Kelas V: celah bibir dan palatum bilateral
lengkap, Kelas VI: celah palatum keras, Kelas VII: Bifed uvula (Shah, Khalid dan
Khan, 2011)
RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang sebagai rumah sakit pendidikan dan
rujukan nasional belum memiliki data mengenai karakteristik pasien anak-anak
penderita bibir sumbing, berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Aswadi (2015) hanya didapatkan nilai distribusi pasien cleft lip/palate di RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang periode Januari 2015 s.d. Desember 2015 yaitu
sebanyak 42 pasien atau 11,5% dari hasil observasi data kelainan kongenital pada
pasien usia di bawah satu tahun. Dengan dilakukannya penelitian ini diharapkan dapat
menjadi sumber informasi yang mendeskripsikan secara komprehensif dengan
mencantumkan karakteristik pasien Labiopalatoschizis pada anak dan berguna bagi
klinisi dalam merencanakan penatalaksanaan pasien labiopalatochizis yang
berhubungan dengan karakteristiknya dan dapat dijadikan referensi bagi penelitian
selanjutnya yang lebih mendalam.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kelainan kongenital


Kelainan kongetnital atau malformasi kongenital adalah satu atau lebih
kecacatan dari morfogenesis organ atau bagian tubuh yang dapat diidentifikasi saat
lahir atau selama masa intrauterin. Prevalensinya pada kelahiran global sekitar
2-3%. Baik karena faktor genetik maupun lingkungan, ataupun kombinasi
keduanya pada keadaan multifaktorial, dapat menimbulkan cacat bawaan lahir
(Corsello dan Giuffrè, 2012).
Anomali kongenital dikenal juga sebagai cacat lahir, kelainan kongenital atau
malformasi kongenital. Anomali kongenital dapat didefinisikan sebagai anomali
struktural atau fungsional yang terjadi selama masa intrauterin dan dapat
diidentifikasi sebelum lahir, saat lahir atau di kemudian hari. Anomali kongenital
dapat disebabkan oleh cacat gen tunggal, gangguan kromosom, faktor keturunan
yang multifaktorial, teratogen lingkungan dan defisiensi mikronutrien (WHO,
2010).

2.2. Embriogenesis
Embriogenesis normal merupakan proses yang sangat kompleks. Perkembangan
prenatal terdiri atas tiga tahap, yaitu:
1. Tahap implantasi (implantation stage), dimulai pada saat fertilisasi atau
pembelahan sampai akhir minggu ketiga kehamilan.
2. Tahap embrio (embryonic stage), awal minggu ke empat sampai minggu ke
tujuh kehamilan:
a) Terjadi diferensiasi jaringan dan pembentukan organ definitif.
b) Jaringan saraf berproliferasi sangat cepat dengan menutupnya tabung saraf
(neural tube), dan fleksi dari segmen anterior
c) Jantung mulai berdenyut, sehingga darah dapat bersirkulasi melalui sistem
vaskular yang baru terbentuk meskipun struktur jantung belum terbentuk
sempurna.

3
d) Terlihat primordial dan struktur wajah, ekstremitas dan organ dalam.

3. Tahap fetus (fetal stage), dimulai minggu kedelapan sampai lahir. Pada tahap ini
diferensiasi seluruh organ telah sempurna, bertambah dalam ukuran;
pertumbuhan progresif struktur skeletal, muskulus dan terutama otak.
Perkembangan embrio awal meliputi beberapa fenomena yang berbeda:
a) Sel-sel membentuk berbagai jaringan, organ dan struktur tubuh
b) Proliferasi sel sederhana terjadi dengan kecepatan yang berbeda pada berbagai
bagian tubuh, baik sebelum maupun sesudah diferensiasi menjadi jaringan
spesifik.
c) Beberapa tipe sel seperti melanosit, mengalami migrasi ke sekitarnya sampai
akhirnya sampai ke lokasi yang jauh dari tempat semula.
d) Kematian sel yang terprogram, merupakan faktor penting dalam pembentukan
beberapa struktur, seperti pada pemisahan jari tangan.
e) Penyatuan (fusi) antara jaringan yang berdekatan juga merupakan mekanisme
penting dalam pembentukan beberapa struktur seperti bibir atas dan jantung.

Seluruh proses perkembangan normal terjadi dengan urutan yang spesifik,


khas untuk setiap jaringan atau struktur dan waktunya mungkin sangat singkat.
Oleh sebab itu meskipun terjadinya perlambatan proses diferensiasi sangat singkat,
dapat menyebabkan pembentukan yang abnormal tidak hanya pada struktur
tertentu, tetapi juga pada berbagai jaringan sekitarnya.
Sekali sebuah struktur sudah selesai terbentuk pada titik tertentu, maka proses
itu tidak dapat mundur kembali meskipun struktur tersebut dapat saja mengalami
penyimpangan, dirusak atau dihancurkan oleh tekanan mekanik atau infeksi
(Effendi, 2006).

2.2.1. Embriogenesis wajah


Di akhir minggu keempat, muncul prominensia fasialis yang terutama terdiri
dari mesenkim yang berasal dari krista neuralis dan dibentuk terutama oleh
pasangan arkus faring pertama. Prominensia maksilaris dapat dikenali di sebelah
lateral stomodeum dan prominensia mandibularis dapat dikenali di sebelah kaudal

4
struktur ini (Gambar 2.1). Prominensia frontonasalis, yang dibentuk oleh proliferasi
mesenkim di sebelah ventral vesikel otak, membentuk batas atas stomodeum. Di
kedua sisi prominensia frontonasalis, penebalan lokal ektoderm permukaan,
plakoda nasalis (olfaktorius), terbentuk di bawah pengaruh induktif bagian ventral
otak depan (Gambar 2.1 ) (Sadler, 2006).

Gambar 2.1 A. Pandangan lateral mudigah di akhir minggu keempat,


menunjukkan letak arkus faring. B. Pandangan frontal mudigah
berusia 4,5 minggu menunjukkan prominensia maksilaris dan
mandibularis. Plakoda nasalis tampak di kedua sisi prominensia
frontonasalis. C. Mikrograf elektron scanning mudigah manusia di
tahap yang sama seperti pada gambar B (Sadler, 2006).
Selama minggu kelima, plakoda nasalis melakukan invaginasi untuk
membentuk fovea nasalis (lekukan hidung). Tonjolan di batas luar lekukan adalah
prominensia nasalis lateralis; yang berada di batas dalam adalah prominensia
nasalis mediana (Gambar 2.2) (Sadler, 2006).

5
Gambar 2.2 Bagian frontal wajah. A. Mudigah berusia 5 minggu. B. Mudigah
berusia 6 minggu. Prominensia nasalis secara bertahap dipisahkan
dari prominensia maksilaris oleh alur yang dalam (Sadler, 2006).

Gambar 2.3 Bagian frontal wajah. A. Mudigah berusia 7 minggu. Prominensia


maksilaris telah menyatu dengan prominensia nasalis mediana. B.
Mudigah berusia 10 minggu. C. Foto mudigah manusia pada tahap
yang sama dengan gambar A (Sadler, 2006).

Selama 2 minggu berikutnya, prominensia maksilaris semakin bertambah


besar. Secara bersamaan, promi-nensia ini tumbuh ke medial, menekan
prominensia nasalis mediana ke arah garis tengah. Selanjutnya, celah di antara

6
prominensia nasalis mediana dan prominensia maksilaris lenyap, dan keduanya
menyatu (Gambar 2.3). Oleh sebab itu, bibir atas dibentuk oleh dua prominensia
nasalis mediana dan dua prominensia maksilaris. Bibir bawah dan rahang dibentuk
oleh prominensia mandibularis yang menyatu melewati garis tengah.
Mula-mula, prominensia maksilaris dan prominensia nasalis lateralis
terpisahkan oleh suatu alur yang dalam, alur nasolakrimal (Gambar 2.2 dan 2.3).
Ektoderm di dasar alur ini membentuk suatu korda epitel padat yang terlepas dari
ektoderm di atasnya. Sesudah kanalisasi, korda ini membentuk duktus
nasolakrimalis; ujung atasnya melebar membentuk sakus lakrimalis. Sesudah
terlepasnya korda, prominensia maksilaris dan prominensia nasalis lateralis
bergabung satu sama lain. Kemudian duktus nasolakrimalis berjalan dari sudut
medial mata ke meatus inferior rongga hidung, dan prominensia maksilaris
membesar untuk membentuk pipi dan maksila (Sadler, 2006).

2.2.2. Embriogenesis segmen antarmaksila


Sebagai hasil dari pertumbuhan medial prominensia maksilaris, dua
prominensia nasalis mediana menyatu tidak hanya di permukaan namun juga di
bagian yang lebih dalam. Struktur yang dibentuk oleh dua prominensia yang
menyatu adalah segmen antarmaksila.

Gambar 2.4 A. Segmen antarmaksila dan prosesus maksilaris. B. Segmen


antarmaksila membentuk filtrum bibir atas, bagian tengah tulang
maksila bersama empat gigi serinya, dan palatum primer yang
berbentuk segitiga (Sadler, 2006).

7
Struktur ini terdiri dari (1) komponen labia, yang membentuk filtrum bibir
atas; (2) komponen rahang atas, yang membawa empat gigi seri; dan (3) komponen
palatum, yang membentuk palatum primer berbentuk segitiga (Gambar 2.4).
Segmen antarmaksila bersambungan dengan bagian rostral septum nasi, yang
dibentuk oleh prominensia frontalis.

2.2.3. Embriogenesis Palatum Sekunder


Walaupun palatum primer berasal dari segmen antar-maksila (Gambar 2.4),
bagian utama dari palatum definitif dibentuk oleh dua pertumbuhan keluar seperti
bilah dari prominensia maksilaris. Pertumbuhan keluar ini, bilah palatum (palatine
shelve), muncul di minggu keenam perkembangan dan mengarah ke bawah secara
oblik di kedua sisi lidah (Gambar 2.5). Namun, di minggu ketujuh, bilah palatum
bergerak ke atas untuk memperoleh posisi horizontal di atas lidah dan menyatu,
membentuk palatum sekunder (Gambar 2.6 dan 2.7) (Sadler, 2006).

Gambar 2.5 A. Potongan frontal melalui kepala mudigah berusia 6,5 minggu.
Bilah palatum berada di posisi vertikal di kedua sisi lidah. B.
Pandangan ventral bilah palatum sesudah pengangkatan rahang
bawah dan lidah. Perhatikan celahcelah diantara palatum primer
yang berbentuk segitiga dan bilah palatum, yang masih tegak lurus
(Sadler, 2006).

Di anterior, bilah ini menyatu dengan palatum primer yang berbentuk


segitiga, dan foramen insisivum merupakan tanda utama garis tengah di antara
palatum primer dan sekunder (Gambar 2.7 B). Pada saat yang sama dengan
menyatunya bilah-bilah palatum, septum nasi tumbuh ke bawah dan bergabung
dengan bagian sefalik palatum yang baru terbentuk (Gambar 2.7) (Sadler, 2006).

8
Gambar 2.6 A. Potongan frontal melalui kepala mudigah berusia 7,5 minggu.
Lidah telah bergerak ke bawah, dan bilah palatum telah mencapai
posisi horizontal. B. Pandangan ventral bilah palatum sesudah
pengangkatan rahang bawah dan lidah. Bilah-bilah ini terletak
horizontal. Perhatikan septum nasi (Sadler, 2006).

Gambar 2.7 A. Potongan frontal melalui kepala mudigah berusia 10 minggu.


Kedua bilah palatum telah menyatu satu sama lain dan dengan
septum nasi. B. Pandangan ventral palatum. Foramen insisivum
membentuk garis tengah di antara palatum primer dan sekunder
(Sadler, 2006).

2.2.4. Embriogenesis Rongga Hidung


Selama minggu keenam, fovea nasalis menjadi lebih dalam, sebagian karena
pertumbuhan prominensia nasalis di sekitarnya dan sebagian karena penetrasinya
ke dalam mesenkim di bawahnya (Sadler, 2006).

9
Gambar 2.8 A. Potongan sagital melalui fovea nasalis dan batas bawah
prominensia nasalis mediana mudigah berusia 6 minggu. Rongga
hidung primitif dipisahkan dari rongga mulut melalui membrana
oronasalis. B. Potongan yang sama dengan A yang menunjukkan
pecahnya membrana oronasalis. C. Mudigah berusia 7 minggu
dengan rongga hidung primitif yang terhubung dengan rongga
mulut. D. Potongan sagital melalui wajah mudigah berusia 9
minggu yang menunjukkan pemisahan rongga mulut dan hidung
definitif melalui palatum primer dan sekunder. Koana definitif
terletak di taut rongga mulut dan faring (Sadler, 2006).

Pada awalnya, membrana oronasalis memisahkan fovea dari rongga mulut


primitif melalui foramina yang baru terbentuk, koana primitif (Gambar 2.8C).
Koana ini terletak di kedua sisi garis tengah dan tepat di belakang palatum primer.
Kemudian, dengan terbentuknya palatum sekunder dan perkembangan lebih lanjut
pada rongga hidung primitif (Gambar 2.8D), koanae definitif terletak di taut rongga
hidung dan faring. Sinus udara paranasal berkembang sebagai divertikulum
dinding hidung lateral dan meluas ke dalam maksila, os etmoidale, os frontale, dan
os sfenoidale. Sinus-sinus ini mencapai ukuran maksimalnya sewaktu pubertas dan
ikut membentuk wajah definitif (Sadler, 2006).

10
2.2.5. Embriogenesis Gigi
Bentuk wajah tidak hanya ditentukan oleh perluasan sinus paranasal tapi juga
oleh pertumbuhan mandibula dan maksila untuk mengakomodasi gigi. Gigi itu
sendiri dibentuk oleh interaksi epitel-mesenkim antara epitel mulut di atas dan
mesenkim di bawahnya yang berasal dari sel krista neuralis. Pada minggu keenam
perkembangan, lapisan basal epitel yang melapisi rongga mulut membentuk
struktur berbentuk C, lamina dentalis, di sepanjang rahang atas dan bawah. Lamina
ini kemudian membentuk sejumlah tunas gigi (Gambar 2.9A), 10 pada setiap
rahang, yang membentuk pri-mordium komponen ektoderm gigi. Tidak lama
kemudian, permukaan dalam tunas mengalami invaginasi, yang menghasilkan
(stadium pembentukan mahkota gigi, cap stage) pada perkembangan gigi (Gambar
2.9B). Mahkota ini terdiri dari lapisan luar, epitel gigi luar, lapisan dalam, epitel
gigi dalam, dan bagian tengah berupa jaringan yang teranyam longgar, retikulum
stelatum. Mesenkim, yang berasal dari krista neuralis yang terletak di lekukan
tersebut, membentuk papila dentis (Gambar 2.9B) (Sadler, 2006).

Gambar 2.9 Pembentukan gigi dalam tahapan perkembangan yang berurutan. A.


Stadium tunas; 8 minggu. B. Stadium topi; 10 minggu. C. Stadium
bel; 3 bulan. D. 6 bulan (Sadler, 2006).

Seiring dengan tumbuhnya "mahkota" gigi dan semakin dalamnya lekukan,


gigi mulai berbentuk lonceng (bell stage) (Gambar 2.9C). Sel-sel mesenkim dari

11
papila yang berdekatan dengan lapisan gigi bagian dalam, berdiferensiasi menjadi
odontoblas, yang kemudian menghasilkan dentin. Dengan menebalnya lapisan
dentin, odontoblas mundur ke dalam papila dentis sehingga meninggalkan tonjolan
sitoplasma yang tipis (prosesus dentalis) di belakang dentin (Gambar 2.9D).
Lapisan odontoblas menetap seumur hidup gigi dan terus menerus menghasilkan
predentin. Selsel lainnya di papila dentis membentuk pulpa gigi (Gambar 2.9D).
Sementara itu, sel-sel epitel dari epitel gigi bagian dalam berdiferensiasi menjadi
ameloblas (pembentuk email). Sel-sel ini menghasilkan prisma-prisma email
panjang yang diendapkan menutupi dentin (Gambar 2.9D). Selanjutnya,
sekelompok sel ini di epitel gigi bagian dalam membentuk simpul email (enamel
knot) yang mengatur perkembangan gigi awal (Gambar 2.9B). Email pertama kali
diletakkan di apeks gigi dan dari sini menyebar ke arah leher. Ketika email
menebal, ameloblas mundur ke dalam retikulum stelatum. Di sini, sel-sel ini
mengalami regresi, dan untuk sementara meninggalkan suatu membran tipis
(kutikula dentis) di permukaan email. Sesudah erupsi gigi, membran ini secara
bertahap terkelupas (Sadler, 2006)

Gambar 2.10 Gigi tepat sebelum lahir A dan sesudah erupsi B (Sadler, 2006).

Pembentukan akar gigi dimulai saat lapisan epitel gigi menembus ke


mesenkim di bawahnya dan membentuk selubung akar epitel (Gambar 2.9D).
Sel-sel papila dentis meletakkan suatu lapisan dentin yang bersambungan dengan
lapisan mahkota (Gambar 2.10). Semakin banyak dentin yang diendapkan, rongga

12
pulpa menyempit dan akhirnya membentuk saluran yang berisi pembuluh darah
dan saraf gigi (Sadler, 2006).
Sel-sel mesenkim di bagian luar gigi dan berkontak dengan dentin akar
berdiferensiasi menjadi sementoblas (Gambar 2.10A). Sel-sel ini menghasilkan
lapisan tulang khusus yang tipis, sementum. Di luar lapisan semen, mesenkim
membentuk ligamentum periodontale (Gambar 2.10), yang menahan gigi secara
kuat pada posisinya dan berfungsi sebagai peredam kejut. Dengan semakin
bertambah panjangnya akar, mahkota gigi secara perlahan terdorong melalui
lapisan jaringan di atasnya ke dalam rongga mulut (Gambar 2.10B). Erupsi gigi
desidua atau gigi susu terjadi pada usia 6 hingga 24 bulan sesudah lahir. Tunas
untuk gigi permanen, yang terletak di aspek lingual gigi susu, terbentuk selama
bulan ketiga perkembangan. Tunas-tunas ini tetap dorman sampai sekitar usia enam
tahun (Gambar 2.11). Kemudian tunas ini mulai tumbuh, menekan sisi bawah gigi
susu dan membantu tanggalnya gigi-gigi susu tersebut. Seiring dengan tumbuhnya
gigi permanen, akar gigi susu yang berada di atasnya diserap oleh osteoklas (Sadler,
2006).

Gambar 2.11 Penggantian gigi desidua dengan gigi permanen pada seorang anak.
I, insisivus; C, kaninus; PM, premolar; M I; M2; M3; molar I, 2 dan
3. (Dari Moore, KL dan Dalley, AF. Clinically Oriented Anatomy,
5" ed. Gambar 7.47B, hal.993.Lippincott Williams & Wilkins,
Baltimore: 2006.)

2.3. Embriogenesis Abnormal

13
Kegagalan atau ketidaksempurnaan dalam proses embriogenesis dapat
menyebabkan terjadinya malformasi pada jaringan atau organ. Sifat dari kelainan
yang timbul tergantung pada jaringan yang terkena, penyimpangan, mekanisme
perkembangan, dan waktu pada saat terjadinya. Penyimpangan pada tahap
implantasi dapat merusak embrio dan menyebabkan abortus spontan. Diperkirakan
15% dari seluruh konsepsi akan berakhir pada periode ini (Effendi, 2006 dalam
Neonatologi IDAI 2008).
Bila proliferasi sel tidak adekuat dapat mengakibatkan terjadinya defisiensi
struktur, dapat berkisar dari tidak terdapatnya ekstremitas sampai ukuran daun
telinga yang kecil. Abnormal atau tidak sempurnanya diferensiasi sel menjadi
jaringan yang matang mungkin akan menyebabkan lesi hamartoma lokal seperti
hemangioma atau kelainan yang lebih luas dari suatu organ. Kelainan induksi sel
dapat menyebabkan beberapa kelainan seperti atresia bilier, sedangkan
penyimpangan imigrasi sel dapat menyebabkan kelainan seperti pigmentasi kulit
(Effendi, 2006 dalam Neonatologi IDAI 2008).
Proses “kematian sel” yang tidak adekuat dapat menyebabkan kelainan,
antara lain sindaktili dan atresia ani. Fungsi jaringan yang tidak sempurna akan
menyebabkan celah bibir dan langit-langit. Beberapa zat teratogen dapat
mengganggu perkembangan, tetapi efeknya sangat dipengaruhi oleh waktu pada
saat aktivitas teratogen berlangsung selama tahap embrio (Effendi, 2006 dalam
Neonatologi IDAI 2008).

2.4. Labiopalatoschizis
2.4.1. Definisi
Celah bibir dan langit-langit mulut merupakan celah abnormal di bibir atas
dan langit-langit mulut yang terjadi ketika beberapa bagian gagal menyatu selama
awal kehamilan. Bibir dan langit-langit mulut berkembangkan secara terpisah,
sehingga memungkinkan pada bayi untuk dilahirkan hanya dengan bibir sumbing,
hanya celah langit-langit, atau kombinasi keduanya (The Royal Children’s Hospital
Melbourne, 2010).

14
Kelainan ini disebabkan oleh perkembangan abnormal selama minggu
keenam sampai minggu kedua belas kehamilan. Meskipun ditemukannya
banyaknya gen dan faktor lingkungan yang terkait, etiologi yang tepat masih belum
jelas, dipertimbangkan penyebabnya adalah heterogen. Celah dapat muncul dalam
beberapa varian. Bibir atas, rahang atas dan langit-langit dapat terjadi hanya salah
satu atau dengan kombinasi satu sama lain. Celah pada bibir, rahang dan
langit-langit dapat terpisah secara lengkap atau tidak lengkap. Cacat bibir dan
rahang bisa unilateral atau bilateral. Setiap kombinasi mungkin terjadi dan
memiliki konsekuensi pada estetika wajah misalnya bekas luka pada bibir,
penyimpangan hidung, maxilla tertarik. Aspek fungsional, seperti ucapan,
pendengaran, mengunyah dan hidung respirasi, dapat dipengaruhi juga. (Heijden,
PVD 2012)

2.4.2. Epidemiologi
Berdasarkan data laporan cacat lahir MOD Global (MOD Foundation)
didapatkan bahwa prevalensi bibir sumbing yaitu 1,4 dari 1000 kelahiran hidup.
Diperkirakan sekitar 1 kasus sumbing orofacial terjadi pada setiap 500-550
kelahiran. Prevalensi ini bervariasi menurut etnis, negara, dan status sosial
ekonomi. Nonsyndromic CLP yang merupakan subkelompok terbesar dari anomali
kraniofasial, memiliki angka kejadian kisaran 1,5-2,5 kasus per 1000 kelahiran
hidup. Di Amerika Serikat, rata-rata 20 bayi dilahirkan dengan sumbing orofasial
setiap hari (atau sekitar 7500 setiap tahun). Anomali celah bibir dan palatum
merupakan anomali kongenital paling umum dan paling serius pada bagian
orofasial dan kelainan kongenital kedua yang paling umum pada anomali secara
umum. Prevalensi kelahiran dengan anomali celah bibir dan palatum di California
adalah 1,77 per 1.000 kelahiran, yaitu satu di setiap 566 bayi yang baru lahir.
Terhitung 660 bayi yang lahir dengan sumbing setiap hari. Hal ini menambah
angka kejadiannya hingga 230.000 anak-anak lahir dengan celah setiap tahun di
seluruh dunia. Dengan proyeksi pertumbuhan penduduk yang diperkirakan 1,8 juta
per tahun, maka jumlah kasus baru akan bertambah 3.200 bayi lahir dengan
keadaan sumbing setiap tahun (Tolarova dan Strafford, 2009).

15
Dari Data yang diambil dari 55 negara, data terakhir menunjukkan, tingkat
total tertinggi dari CLP dilaporkan di Venezuela (38 kasus per 10.000 kelahiran),
Iran (36 kasus per 10.000 kelahiran) dan Jepang (30 kasus per 10.000 kelahiran).
Secara total, 64% bayi memiliki CL ± P dan hanya delapan negara melaporkan
proporsi CP yang lebih tinggi dibandingkan dengan CL ± P. Pendahuluan analisis
tren temporal dinilai dalam wilayah WHO dari tahun 1990 hingga 2013. Amerika
melaporkan peningkatan yang signifikan dalam tingkat CL ± P dari 10,3 kasus per
10.000 kelahiran menjadi 12,37 kasus per 10.000 kelahiran dan total CLP dari 13,5
kasus per 10.000 kelahiran menjadi 15,3 kasus per 10.000 kelahiran. (Bloomfield,
Liao dan Calgary, 2015)
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, prevalensi anak usia
24-59 bulan mengidap satu jenis kelainan mencapai 0,53%, dengan 0,08% di
antaranya adalah anak-anak yang lahir dengan bibir sumbing. Prevalensi nasional
Bibir Sumbing adalah 0,2% (berdasarkan keluhan responden atau observasi
pewawancara). Sebanyak 7 provinsi mempunyai prevalensi Bibir Sumbing diatas
prevalensi nasional, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera
Selatan, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, dan Nusa Tenggara Barat.
(Riskesdas, 2007).Sumatra selatan merupakan salah satu provinsi dengan
prevalensi bibir sumbing tertinggi di Indonesia, berdasarkan laporan hasil Riset
Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Provinsi Sumatra Selatan Tahun 2007 didapatkan
bahwa prevalensi bibir sumbing yaitu 10,6%.
Clefting merupakan salah satu kelainan kongenital mayor yang paling umum
pada manusia. Terdapat banyak variasi ras pada prevalensinya. Pada ras kulit putih,
CL ± CP terjadi di 1 dari setiap 700 hingga 1000 kelahiran. Frekuensi CL ± CP
dalam populasi Asia sekitar 1,5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan kulit putih.
Sebaliknya, prevalensi CL ± CP pada orang kulit hitam jauh lebih rendah, terjadi
dalam 0,4 dari 1000 kelahiran. Penduduk asli Amerika diperkirakan memiliki
frekuensi tertinggi, sekitar 3,6 dari 1000 kelahiran. CPO kurang umum
dibandingkan CL ± CP, dengan frekuensi 0,4 dari 1000 kelahiran dalam kulit putih
dan kulit hitam. CL ± CP lebih sering terjadi pada pria daripada wanita. Semakin
parah tingkat kecacatan, semakin besar kecenderungannya terjadi pada laki-laki;

16
rasio laki-laki dibanding perempuan untuk CL yang tunggal adalah 1,5: 1, dan rasio
untuk CL + CP adalah 2: 1. Sebaliknya, CPO lebih umum di perempuan. Demikian
juga, semakin parah celah, semakin besar kecenderungan terjadinya pada
perempuan. Celah pada palatum keras dan palatum lunak dua kali lebih sering pada
wanita, tetapi rasionya hampir sama untuk celah palatum lunak saja. Sekitar 80%
kasus CL unilateral dan 20% bilateral. Sekitar 70% dari unilateral CL terjadi di sisi
kiri. Selain itu, sekitar 70% dari unilateral CLs akan berkaitan dengan CP,
sedangkan frekuensinya CP meningkat menjadi 85% untuk pasien dengan CL
bilateral (Neville dkk., 2016).
Pada Hospital Based Study yang dilakukan oleh Indian Council of Medical
Research mengenai Profil klinis faktor risiko dan status pengobatan saat ini di tiga
pusat bibir sumbing yang berada di Delhi dan National Capital Region (NCR)
dengan periode penelitian April 2012-Juni 2015, didapatkan hasil sebagai berikut:
A. Distribusi sampel menurut umur dan jenis kelamin
Dalam penelitian ini, dari 164 kasus, 42 kasus (25,6%) milik kelompok usia
kurang dari 6 tahun, 51 kasus (31,1%) antara 6-12 tahun, 32 kasus (19,5%) antara
12 -18 tahun dan 39 kasus (23,8%) lebih dari 18 tahun. Di antara 164 kasus, 99
kasus (60,4%) adalah laki-laki dan 65 (39,6%) adalah perempuan.

B. Distribusi dan tipe celah


Ketika sampel dianalisis sesuai dengan jenis celah, UCLP ditemukan menjadi
kategori terbesar dengan 78 kasus diikuti oleh BCLP (38 kasus) dan CP (26 kasus).
Ketika tipe celah dianalisis sebagai fungsi dari celah; di antara laki-laki, mayoritas
kasus termasuk dalam kategori UCLP (52 kasus) diikuti oleh BCLP (26 kasus) dan
CP (13 kasus). Di antara perempuan, 26 kasus memiliki UCLP, 12 memiliki BCLP
sementara 13 kasus memiliki langit-langit sumbing (CP).
Berdasarkan dari hasil peneitian deskriptif retrospektif yang dilakukan untuk
mengetahui prevalensi bibir sumbing atau labioschisis di Bagian Bedah RSUP.
Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Januari 2011–Oktober 2012, didapatkan
bahwa prevalensi labioschisis dan labiopalatoschisis pada Januari 2011–Oktober
2012 yaitu 57% dan 43%. Persentase untuk tiap jenis kesumbingan adalah sebagai

17
berikut, bibir sumbing unilateral 47%, bibir sumbing bilateral 5%, bibir sumbing
langit–langit unilateral 28%, bibir sumbing langit–langit bilateral 12, sumukosa
1%, dan sumbing bibir langit–langit 7%. Persentase menurut lokalisasi defek
adalah kanan 18%, kiri 57%, bilateral 25%, dan status tidak lengkap 54%.
Persentase menurut umur saat dilakukan operasi adalah 0-4 tahun 73%, 5-9 tahun
10%, 10-14 tahun 7%, dan >15 tahun 10%. Persentase labioschisis menurut jenis
kelamin adalah Pria 58%, dan Wanita 42%. Persentase labioschisis menurut
etiologi adalah faktor genetik 25%, faktor lingkungan 62%, dan faktor unknown
13%. Persentase labioschisis yang dioperasi adalah dioperasi 97%, dan tidak
dioperasi 3%. Persentase labioschisis menurut komplikasi operasi adalah
perdarahan pascaoperasi 1%, infeksi sekunder 4%, dehisensi/pembentukan parut
4%, dan tidak ada kompliaksi 91% (Loho, 2012).
Dari hasil penelitian di Bagian Ilmu Bedah Plastik RSUP Prof. Dr. R.D.
Kandou Manado selama periode Januari-Desember 2011 sebagian besar kasus
palatoskisis dan labiopalato-skisis ditemukan unilateral dengan lokasi defek
terbanyak di bagian kiri. Jenis kelamin perempuan lebih sering ditemukan dan
etiologi tersering yaitu faktor lingkungan. Kelompok usia yang tersering ditangani
yaitu 1-4 tahun dan tindakan operasi yang tersering digunakan ialah palatoplasty
(Taufiq, Ngantung dan Oley, 2011).

2.4.3. Etiologi
Kebanyakan celah orofasial, seperti pada anomali kongenital pada umumnya,
disebabkan oleh interaksi antara genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik
diduga sebagai penyebab kerentanan untuk terjadinya celah tersebut. Sedangkan
faktor lingkungan sebagai pemicu berinteraksi dengan genotipe yang rentan secara
genetik, celah berkembang selama tahap awal perkembangan. Proporsi faktor
lingkungan dan genetik bervariasi dengan jenis kelamin individu yang terkena
sumbing. Pada celah bibir dan celah langit-langit, terdapat juga variasi tingkat
keparahan dan unilateralitas atau bilateralitas dari anomali celah (Tolarova dan
Strafford, 2009).

18
Faktor etiologi ini dapat bersifat keturunan atau lingkungan. Pada transmisi
secara herediter atau keturunan dikatakan bahwa diturunkan melalui laki-laki, gen
resesif terkait kromosom seks. Dengan adanya riwayat keluarga, celah bibir dan
langit-langit kemungkinan terjadinya sekitar 40%, diperkirakan 18-20% hanya
dengan celah pada langit-langit saja. Pada faktor lingkungan yang berpengaruh
yaitu seperti hipoksia maternal, ibu yang merokok, ibu dengan hipertensi, paparan
pestisida, malnutrisi khususnya retinoid yaitu bagian dari vitamin A, antikonvulsi,
paparan timbal dan obat-obatan terlarang seperti heroin, kokain, dan lainnya,
penggunaan steroid, anoreksia, anemia, infeksi virus, konsumsi alkohol berlebihan,
pernikahan satu keluarga, ibu pada kelompok usia lanjut (Dixon dkk, 2011).
CLP memiliki etiologi yang kompleks, faktor genetik memiliki peran
utama. Telah ditemukan beberapa gen yang terkait pada terjadinya CLP sindromik.
Tiga diantaranya adalah T-box transcription factor-22 (TBX22), virus polio
receptor-like-1 (PVRL1), dan interferon regulatory factor-6 (IRF6), gen-gen
tersebut berperan pada terjadinya X-linked celah langit-langit, sindrom celah
bibir/palatum-ectodermal dysplasia, dan Van der Woude dan pterygium poplitea
sindrom, gen-gen tersebut juga terlibat dalam CLP non-sindromik. Sifat dan fungsi
dari gen-gen ini sangat bervariasi yang menggambrakan tingginya kerentanan pada
proses perkembangan kraniofasial. Kompleksnya etiologi celah bibir dan
langit-langit non-sindromik juga ditunjukkan oleh yang banyaknya jumlah gen
kandidat dan lokus. Disimpulkan bahwa, meskipun sebagian besar etiologi dari
non-sindromik CLP masih tidak diketahui, mutasi pada gen kandidat telah
diidentifikasi pada sebagian kecil kasus (Muhamad dkk, 2014).

2.4.4. Patogenesis
Bibir sumbing/langit-langit mulut terjadi ketika tidak lengkap atau tidak
adanya fusi palatum, premaksila, dan jaringan lunak sekitarnya pada 6 hingga 8
minggu perkembangan embrio. Pewarisan dengan multifaktorial
mengimplikasikan bahwa adanya suatu perubahan di lingkungan juga akan
menyebabkan gangguan atau meningkatkan perkembangan pada celah bibir dan
langit-langit. Terbentuknya celah dapat mengganggu perkembangan yang normal

19
pada gigi dan alveolar, menyebabkan hipodonsia, malformasi gigi, defek tulang
pada alveolar maksila proses, dan maloklusi (DeLong dan Burkhart, 2008).
Sekitar usia 6 minggu pada perkembangan embriologis manusia, tonjolan
median hidung bergabung dengan tonjolan lateral hidung dan tonjolan rahang atas
untuk membentuk pangkal hidung, lubang hidung, dan bibir atas. Pertemuan dari
komponen anterior ini menjadi langit-langit primer. Ketika mekanisme ini gagal,
celah bibir dan/atau rahang atas terjadi. Sekitar usia 8 minggu lempeng palatum
meninggikan dan menyatu dengan septum untuk membentuk palatum sekunder
yang utuh. Ketika satu lempeng palatum gagal menyatu dengan
komponen-komponen lainnya, maka terjadi suatu celah unilateral langit-langit
sekunder. Jika kedua lempeng palatum gagal menyatu satu sama lain dengan garis
tengah septum, maka terjadi celah bilateral langit-langit. penyatuan berlangsung
ketika sel apoptosis terjadi di ujung lempeng palatum. Komponen ektodermal
disintegrasi dan mesenkim menyatu untuk membentuk langit-langit yang utuh.
Segera setelah ini anterior langit–langit primer menyatu dengan langit - langit
sekunder dan osifikasi terjadi. Kapan saja, jika ada kegagalan fusi terjadi dengan
salah satu di atas komponen, celah akan terjadi dari palatum primer dan atau
palatum sekunder. Celah mungkin terjadi secara lengkap atau tidak lengkap
tergantung tingkat kegagalan fusi ini (Miloro, Peter dan Peter, 2004).

2.4.5. Klasifikasi
Sistem klasifikasi umumnya digunakan secara klinis untuk menggambarkan
standar celah bibir dan langit-langit berdasarkan anatomi yang dideskripsikan
dengan sangat teliti. Celah bisa unilateral atau bilateral; microform, tidak lengkap,
atau lengkap; dan mungkin melibatkan bibir, hidung, palatum primer dan atau
palatum sekunder. Presentasi celah sangat bervariasi, dan perbaikan pada setiap
individu disesuaikan dengan kebutuhan untuk mendapatkan hasil yang terbaik
simetris dan sesuai (Wang dkk., 2014).

20
2.4.5.1. Sistem klasifikasi berdasarkan pola labiopalatal clefting
Sistem yang dirancang untuk mengenali pola fenotipe celah berdasarkan
morfologi, embriogenesis, dan patogenesis biasanya termasuk perbedaan pada
susunan dan hubungan antar celah dari bibir atas, alveolus, dan langit-langit keras
dan lunak, seperti terlihat pada Tabel 1. Misalnya, sistem Davies dan Ritchie, dan
Iowa memungkinkan klasifikasi CL unilateral atau bilateral dalam kelompok yang
berbeda (misalnya "Grup 1" di kedua sistem), sementara yang dari Veau,
Pruzansky, Ross, dan Johnston, dan ICPR memasukkan CL ke dalam kategori celah
alveolus dan langit-langit sekunder (palatum keras, dan/atau lunak) (lihat Tabel 1).
Tak satu pun dari sistem ini dirancang untuk memberikan detail khusus tentang
karakteristik CL. Karena itu sistem ini tidak menjelaskan perbedaan antara pola
variabel celah yang tidak lengkap pada bibir, atau celah bilateral asimetris pada
bibir (Wang dkk., 2014).

Tabel 1. Perbandingan antara sistem klasifikasi berdasarkan pola celah labiopalatal


(Wang dkk, 2014).
No. Klasifikasi Keterangan
1. Davis dan Ritchie Grup 1: Celah pada bibir
a. Unilateral (lengkap atau
tidak lengkap)
b. Bilateral (lengkap atau
tidak lengkap)
Celah pada palatum dapat
berhubungan dengan grup ini
Grup 2: Celah pada palatum
a. Palatum lunak
b. Palatum keras
Celah pada bibir dapat
berhubungan dengan grup ini.
Grup 3: Celah pada Alveolus
a. Unilateral (lengkap atau
tidak lengkap)
b. Bilateral (lengkap atau
tidak lengkap)
Celah pada bibir dan palatum
biasanya berhubungan dengan
grup ini.
2. Veau Tipe 1: Celah pada palatum lunak
Tipe 2: Celah pada palatum lunak

21
dan palatum keras, posterior dari
fossa incisiva
Tipe 3: Celah alveolus lengkap
unilateral dan celah pada palatum
Tipe 4: Celah bilateral lengkap
dengan celah median pada
tuberkulum.

3. Pruzansky Grup 1: Celah psda bibir (dan


alveolus)
Grup 2: Celah pada bibir dan
palatum
Grup 3: Celah pada palatum
(Termasuk celah pada palatum
lunak, celah pada palatum lunak
dan palatum keras, tetapi tidak
hanya pada palatum keras.)
Grup 4: Insufiensi palatum
kongenital
(Termasuk celah submukosa dan
defisiensi perkembangan palatum)
4. Ross dan Johnston Kecacatan palatal primer
CL: celah pada bibir (dan
alveolus)
CLP: celah pada bibir dan palatum
CL/P: celah pada bibir dengan
atau tanpa celah pada palatum
Kecacatan palatal sekunder
CP: celah hanya pada palatum
keras dan palatum lunak saja

5. Sistem Lowa Grup 1: Celah pada bibir saja


Grup 2: Celah pada palatum
sekunder
Grup 3: Celah pada bibir, alveolus
dan palatum (celah lengkap pada
bibir dan palatum)
Grup 4: Celah pada palatum
primer dan bibir
Grup 5: Jenis lainnya
6. ICPR Grup 1: Celah pada palatum
primer : (a) bibir (b) alveolus
Grup 2: Celah pada palatum
primer dan sekunder: (a) bibir (b)
alveolus (c) palatum keras

22
Grup 3: Celah pada palatum
sekunder: (a) palatum keras (b)
palatum lunak

2.4.5.2. Sistem klasifikasi yang membedakan antara celah unilateral dan


bilateral
Sistem ICD-10 memiliki kode tersendiri untuk celah unilateral dan bilateral
dari bibir atas, dan sistem RPL (Schwartz dkk, 1993) tidak memberikan
karakterisasi lebih rinci dari tingkat celah bilateral atau adanya asimetris.
Kebanyakan sistem mengakomodasi karakterisasi celah bilateral dengan klasifikasi
tersendiri dari celah kiri dan kanan, menggambarkan derajat kelengkapan dalam
bagian (<1/2,> 1/2) atau tiga (1/3, 2/3, 3/3) pada kedua sisi bibir, kecuali untuk
sistem LAHSN. Dengan diagram jam mengklasifikasikan celah bilateral dengan
cara yang serupa untuk mengetahui bagaimana mengklasifikasikan celah unilateral,
yaitu dengan pengukuran lebar celah, tetapi juga termasuk bagian columella serta
panjang prolabium untuk penggolongan bilateral dan variabel untuk mengetahui
asimetri antara sisi kanan dan kiri (Rossell-Perry, 2009 dalam Wang dkk, 2014).

23
Gambar 2.12. Klasifikasi sumbing berdasarkan Grup (A) akan diklasifikasikan
sebagai unilateral atau bilateral CL, celah subtotal, <1/2 CL, atau 1/3
CL. Sumbing dari Grup (B) akan diklasifikasikan sebagai CL,
sumbing subtotal unilateral atau bilateral, > 1/2 CL, atau 2/3 CL.
Celah dari Grup (C) akan diklasifikasikan sebagai CL unilateral atau
bilateral, total sumbing, CL lengkap, atau 3/3 CL (Wang dkk, 2014).

24
Tabel 2. Contoh variasi dalam definisi untuk istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan celah bibir (Wang dkk, 2014).

No. Referensi Bibir sumbing Bibir sumbing tidak 1/3 bibir sumbing tidak Bentuk bibir sumbing
sistem lengkap lengkap lengkap paling minor
1. Modified Termasuk
striped “Y” permukaan lubang
Elsahy, 1973 hidung
2. Expression Meluas sampai ke Tidak melewati garis Di bawah permukaan celah
Koul, 2007 proboscis vermillion (lekukan
bibir)
3. Modified Terbukanya celah dari Celah mikroform: Bekas
striped “Y” 1/3 Luka Kongenital
Friedman dkk, Dimensi vertikal dari (celah subkutan), atau takik
1991 Bibir di
garis vermillion
4. Harkins dkk, Meluas ke lubang Bekas Luka Kongenital
1962 hidung
5. LAHSHAL Celah mikroform
Kriens, 1989
6. LAHSN Koch Gangguan lengkap Berkurangnya Celah mikroform: otot
dkk, 1995 pada fungsi pada lapisan fungsional pada bibir tidak
jaringan fungsional yang terpengaruh terpengaruh
7. Onizuka dkk, Dengan atau tanpa Celah sampai ¼, ½, Celah microform: sumbing
1991 simon’s band atau ¾ dari bibir. pada hidung bibir
tanpa kecacatan pada bibir,
takik freemargin
vermilion, takik

25
garis vermilion, atau striae
bibir
8. LAPAL Liu Celah subcutaneous:
dkk, 2007 biasanya termasuk celah
minor pada vermillion
9. Natsume dkk, Meluas ke nasal sill Tidak melewati garis
1984 berdasarkan diagram vermillion
(berdasarkan diagram)
10. Santiago, 1969 Celah submukosa
11. Modified Celah mikroform
striped “Y”
Smith dkk, 1998
12. Spina, 1973 Mencapai arcade
alveolar
13. Yuzuriha dan Celah mikroform mini:
Mulliken, 2008 terputusnya
vermillion-cutaneous
junction, level cupid’s bow
memuncak, terdapat takik
pada free mucosal margin,
depresi pada mucosal
variable.

26
2.4.6. Tatalaksana
Perawatan menyeluruh dari bibir sumbing dan deformitas langit-langit
membutuhkan perhatian serta pertimbangan kompleksitas deformitas anatomi dan
keseimbangan yang baik antara intervensi dan pertumbuhan. Perawatan yang
komprehensif dan terkoordinasi sejak bayi sampai remaja penting untuk mencapai
hasil yang ideal, dan ahli bedah dengan pelatihan formal dan pengalaman dalam
semua fase perawatan harus terlibat aktif dalam perencanaan dan perawatan.
Tujuan khusus perawatan bedah pada anak yang lahir dengan bibir sumbing dan
langit-langit termasuk yang berikut:
• Memberikan penampilan estetika normal dari bibir dan hidung
• Langit-langit primer dan sekunder yang utuh
• Bicara, bahasa, dan pendengaran normal
• Saluran napas pada hidung baik
• Oklusi normal dengan fungsi pengunyahan yang normal
• Kesehatan gigi dan periodontal yang baik
• Perkembangan psikososial normal
Manajemen yang sukses pada anak yang lahir dengan celah bibir dan langit-langit
membutuhkan perawatan terkoordinasi yang dilakukan oleh sejumlah spesialisasi
yang berbeda termasuk operasi oral/maksilofasial, otolaryngology,
genetika/dysmorphology, bicara/patologi bahasa, ortodontik, prostodonsia, dan
lainnya (Miloro, Peter dan Peter, 2004).
Waktu untuk perbaikan celah bibir dan langit-langit masih kontroversial.
Meski terdapat sejumlah kemajauan dalam perawatan pasien dengan bibir sumbing
dan langit-langit mulut, masih kurang konsensus mengenai waktu dan teknik
khusus yang digunakan pada setiap tahap rekonstruksi celah. Prosedur pembedahan
akan lebih mudah ketika anak sudah sedikit lebih besar dan struktur anatomi lebih
jelas dan terdefinisi dengan baik. Secara historis, data terkait risiko anestesi
menyarankan bahwa periode waktu yang paling aman untuk operasi pada populasi
bayi dapat diuraikan dengan menggunakan "aturan 10". Hal ini mengacu pada saran
menunda perbaikan bibir sampai anak itu setidaknya berusia 10 minggu, berat 10

27
pounds, dan dengan nilai hemoglobin minimum 10 dL/mg (Miloro, Peter dan Peter,
2004).
Karena banyaknya filosofi penatalaksanaan yang berbeda, waktu intervensi
pengobatan sangat bervariasi antar pusat-pusat bibir sumbing. Karena itu, itu sulit
untuk menentukan ketetapan waktu yang dapat disepakati oleh semua orang. Setiap
tahap operasi rekonstruksi dan waktu yang disarankan berdasarkan usia pasien
disajikan dalam Tabel 2.1.

Tabel 3. Rekonstruksi Bertahap Cacat Bibir dan Langit-Langit (Miloro, Peter dan
Peter, 2004).
Prosedur Waktu
Perbaikan celah bibir Setelah usia 10 minggu
Perbaikan celah palatum 9-18 bulan
Flap faring atau faringoplasti 3-5 tahun atau lebih, berdasarkan perkembangan
bicara
Rekonstruksi rahang atas atau 6–9 tahun berdasarkan perkembangan gigi
alveolar dengan cangkok
tulang
Bedah pada celah ortognatik 14–16 tahun pada anak perempuan, 16–18 tahun
pada anak laki-laki
Rinoplasti pada celah Setelah usia 5 tahun tetapi sebaiknya mengikuti
kematangan tulang; setelah operasi ortognatik
bila memungkinkan
Revisi pada celah bibir Kapan saja ketika remodeling awal dan maturasi
bekas luka selesai tetapi yang paling baik
dilakukan setelah usia 5 tahun

28
2.5. Kerangka teori

Faktor genetik
Embriogenesis abnormal
dan lingkungan

Terbentuk celah pada orofacial

Celah bibir dan langit-langit

(labiopalatoschizis)

Klasifikasi Tatalaksana

Tipe Lokasi Operatif Non-operatif

- Cleft Lip - kanan - labioplasty


- Cleft Palate - kiri - palatoplasty
- Cleft Lip/Palate - bilateral - labiopalatoplasty
- Cleft Lip Palate

29
BAB III

KESIMPULAN

30
DAFTAR PUSTAKA

Aswadi, T. 2015. Faktor Risiko Kelainan Kongenital di RSUP Dr. Mohammad


Hoesin Palembang. Skripsi pada Program Studi Pendidikan Dokter Umum
Universitas Sriwijaya yang tidak dipublikasikan.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (2008) Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) 2007, Laporan Nasional 2007, pp. 1–384. doi: 1 Desember
2013.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (2013) ‘Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) 2013’, Laporan Nasional 2013, pp. 1–384. doi: 1 Desember
2013.
Bloomfield, V., Liao CH. dan Calgary, A. (2015) GLOBAL TRENDS IN THE
RATE OF CLEFT LIP AND PALATE: BRIDGING THE GAP, Pediatrics &
Child Health, 20(5), pp. E75–E104. Sadler T.W (2006) ‘Langman’s medical
embriology’, p. 371.
Christianson, A., Howson, C. dan Modell, B. (2006) March of Dimes. Global
report on birth defect. The hidden toll of dying and disabled children, New
York, pp. 10–16.
Corsello, G. dan Giuffrè, M. (2012) ‘Congenital malformations’, Journal of
Maternal-Fetal and Neonatal Medicine, 25(SUPPL. 1), pp. 25–29. doi:
10.3109/14767058.2012.664943.
DeLong, L. dan Burkhart, N. (2008) General and Oral Pathology for The Dental
Hygienist.
Dixon, Michael J. Marazita, Mary L. Beaty, Terri H. Murray, J. C. (2011) Cleft lip
and palate. Synthesizing genetic and environmental influences, National
Institute of Health, 12(3), pp. 167–178. doi: 10.1038/nrg2933.Cleft.
Effendi.S.H.dan Indrasanto,E., 2006. Kelainan Kongenital. Dalam: Buku Ajar
Neonatologi. Edisi Pertama. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
Indian Council of Medical Research (2016) ‘Cleft Lip and Palate Anomaly in
India : Clinical Profile , Risk Factors and Current Status of Treatment : A
Hospital Based Study Indian Council of Medical Research Cleft Lip and
Palate Anomaly in India : Clinical Profile , Risk Factors and Current Status’.
Kail, Robert V (2011). Children and Their Development (6th Edition)
(Mydevelopmentlab Series). Englewood Cliffs, N.J: Prentice Hall.
Loho, J. N. (2012) Prevalensi Labioschisis di RSUP. Prof. Dr. R. D. Kandou
Manado Periode Januari 2011–Oktober 2012, pp. 396–401.
Miloro, M., Peter, G. E. G. dan Peter, E. L. (2004) PRINCIPLES OF ORAL AND
MAXILLOFACIAL.
Muhamad, A., Azzaldeen, A. dan Watted, N. (2014) CLEFT LIP AND PALATE ; A
COMPREHENSIVE REVIEW, 4(1), pp. 338–355.
Neville, B. W. et al. (2016) ORAL AND MAXILLOFACIAL PATHOLOGY,
FOURTH EDITION.
Nugrahaeni, D.K., 2010. Konsep Dasar Epidemiologi. Jakarta: EGC.
Shah, S. N., Khalid, M. dan Khan, M. S. (2011) A review of classification systems
for cleft lip and palate patients – Morphological classifications, Jkcd, 1(2),

31
pp. 95–99.
Taufiq, K., Ngantung, J. T. dan Oley, M. C. H. (2011) Profil Palatoskisis di Bagian
Ilmu Bedah Plastik BLU RSUP Prof. DR. R.D. Kandou Manado Periode
Januari-Desember 2011, pp. 127–131.
The Royal Children’s Hospital Melbourne (2010) Info Sheet: Cleft lip and palate.
doi: http://dx.doi.org/10.1016/S0140-6736(09)60695-4.
Tolarova, M. M. dan Strafford, M. (2009) Pediatric Cleft Lip and Palate, pp. 1–13.
United Nations, Department of Economic and Social Affairs, Population Division
(2015). World Population Prospects: The 2015 Revision.
Wang, K. H. et al. (2014) Evaluation and integration of disparate classification
systems for clefts of the lip, Frontiers in Physiology, 5 MAY(May), pp. 1–11.
doi: 10.3389/fphys.2014.00163.
World Health Organization et al. (2010) Birth defects Report by the Secretariat,
World Health Assembly, (May 2006), pp. 1–5.

32

Anda mungkin juga menyukai