Anda di halaman 1dari 17

PALATOSCHISIS (CLEFT PALATE)

03/11/2011

(Cleft Lips / labioschisis) Celah Bibir dan (Cleft Palate /


Palatoschisis) Celah Langit-langit adalah suatu kelainan bawaan
yang terjadi pada bibir bagian atas serta langit-langit lunak dan
langit-langit keras mulut.

Cleft Lips / Labioschisis atau bibir sumbing) adalah suatu


ketidaksempurnaan pada penyambungan bibir bagian atas, yang biasanya
berlokasi tepat dibawah hidung. Cleft palate atau palatoschisis merupakan
kelainan kongenital pada wajah dimana atap/langitan dari mulut yaitu
palatum tidak berkembang secara normal selama masa kehamilan,
mengakibatkan terbukanya (cleft) palatum yang tidak menyatu sampai ke
daerah cavitas nasalis, sehingga terdapat hubungan antara rongga hidung
dan mulut.
PENDAHULUAN
Kepala dan leher dibentuk oleh beberapa tonjolan dan lengkungan, antara
lain processus frontonasalis, processus nasalis medialis dan lateralis,
processus maxillaries, dan processus mandibularis. Kegagalan penyatuan
processus maxilla dan processus nasalis medial akan menimbulkan celah
pada bibir (labioschisis) yang terjadi unilateral atau bilateral. Bila
processus nasalis medialis, bagian yang membentuk dua segmen antara
maxilla, gagal menyatu maka terjadi celah pada atap mulut atau langitan
yang
disebut
palatoschisis.(1)

Cleft palate atau palatoschisis merupakan kelainan kongenital pada wajah


dimana atap/langitan dari mulut yaitu palatum tidak berkembang secara
normal selama masa kehamilan, mengakibatkan terbukanya (cleft)
palatum yang tidak menyatu sampai ke daerah cavitas nasalis, sehingga
terdapat hubungan antara rongga hidung dan mulut. Oleh karena itu,
pada palatoschisis, anak biasanya pada waktu minum sering tersedak dan
suaranya sengau. Cleft palate dapat terjadi pada bagian apa saja dari
palatum, termasuk bagian depan dari langitan mulut yaitu hard palate
atau bagian belakang dari langitan mulut yang lunak yaitu soft
palate. (2,3)
Cleft palate mempunyai banyak sekali implikasi fungsional dan estetika
bagi pasien dalam interaksi social mereka terutama kemampuan mereka
untuk berkomunikasi secara efektif dan penampilan wajah mereka.
Koreksi sebaiknya sebelum anak mulai bicara untuk mencegah
terganggunya perkembangan bicara. Penyuluhan bagi ibu si anak sangat
penting, terutama tentang cara memberikan minum agar gizi anak
memadai saat anak akan menjalani bedah rekonstruksi. Kelainan bawaan
ini sebaiknya ditangani oleh tim ahli yang antara lain terdiri atas ahli
bedah, dokter spesialis anak, ahli ortodonsi yang akan mengikuti
perkembangan rahang dengan giginya, dan ahli logopedi yang mengawasi
dan membimbing kemampuan bicara.(1)
EMBRIOLOGI
Jaringan-jaringan wajah, termasuk didalamnya bibir dan palatum berasal
dari migrasi, penetrasi, dan penyatuan mesenkimal dari sel-sel
cranioneural kepala. Ketiga penonjolan utama pada wajah (hidung, bibir,
palatum) secara embriologi berasal dari penyatuan processus fasialis
bilateral.4
Embriogenesis palatum dapat dibagi dalam dua fase terpisah yaitu
pembentukan palatum primer yang akan diikuti dengan pembentukan
palatum sekunder. Pertumbuhan palatum dimulai kira-kira pada hari ke-35
kehamilan atau minggu ke-4 kehamilan yang ditandai dengan
pembentukan processus fasialis. Penyatuan processus nasalis medialis
dengan processus maxillaries, dilanjutkan dengan penyatuan processus
nasalis lateralis dengan processus nasalis medialis, menyempurnakan
pembentukan palatum primer. Kegagalan atau kerusakan yang terjadi
pada proses penyatuan processus ini menyebabkan terbentuknya celah
pada
palatum
primer.
3
Pembentukan palatum sekunder dimulai setelah palatum primer terbentuk

sempurna, kira-kira minggu ke-9 kehamilan. Palatum sekunder terbentuk


dari sisi bilateral yang berkembang dari bagian medial dari processsus
maxillaries. Kemudian kedua sisi ini akan bertemu di midline dengan
terangkatnya sisi ini. Ketika sisi tersebut berkembang kearah superior,
proses penyatuan dimulai. Kegagalan penyatuan ini akan menyebabkan
terbentuknya celah pada palatum sekunder. 3
ANATOMI
Palatum terdiri atas palatum durum dan palatum molle (velum) yang
bersama-sama membentuk atap rongga mulut dan lantai rongga hidung.
Processus palatine os maxilla dan lamina horizontal dari os palatine
membentuk palatum durum. Palatum molle merupakan suatu jaringan
fibromuskuler yang dibentuk oleh beberapa otot yang melekat pada
bagian posterior palatum durum. Terdapat enam otot yang melekat pada
palatum durum yaitu m. levator veli palatine, m. constrictor pharyngeus
superior, m.uvula, m.palatopharyngeus, m.palatoglosus dan m.tensor veli
palatini. (3)
Ketiga otot yang mempunyai konstribusi terbesar terhadap fungsi
velopharyngeal adalah m.uvula, m.levator veli palatine, dan m.constriktor
pharyngeus superior. M.uvula berperan dalam mengangkat bagian
terbesar velum selama konstraksi otot ini. M.levator veli palatine
mendorong velum kearah superior dan posterior untuk melekatkan velum
kedinding faring posterior. Pergerakan dinding faring ke medial, dilakukan
oleh m.constriktor pharyngeus superior yang membentuk velum kearah
dinding posterior faring untuk membentuk sfingter yang kuat.
M.palatopharyngeus berfungsi menggerakkan palatum kearah bawah dan
kearah medial. M.palatoglossus terutama sebagai depressor palatum,
yang berperan dalam pembentukan venom nasal dengan membiarkan
aliran udara yang terkontrol melalui rongga hidung. Otot yang terakhir
adalah m.tensor veli palatine. Otot ini tidak berperan dalam pergerakan
palatum. Fungsi utama otot ini menyerupai fungsi m.tensor timpani yaitu
menjamin
ventilasi
dan
drainase
dari
tuba
auditiva. (3)
Suplai darahnya terutama berasal dari a.palatina mayor yang masuk
melalui foramen palatine mayor. Sedangkan a.palatina minor dan
m.palatina minor lewat melalui foramen palatine minor. Innervasi palatum
berasal dari n.trigeminus cabang maxilla yang membentuk pleksus yang
menginervasi otot-otot palatum. Selain itu, palatum juga mendapat

innervasi dari nervus cranial VII dan IX yang berjalan disebelah posterior
dari pleksus.
INSIDEN
Insidens dari berbagai tipe cleft di laporkan oleh Veau. Insidens secara
keseluruhan dari cleft di laporkan oleh Fogh Andersen yakni 1 dari 655
kelahiran dan oleh Ivy yakni 1 dari 762 kelahiran, dimana lebih sering
dijumpai pada laki-laki dibandingkan perempuan. Peningkatan resiko
palatoschisis bertambah seiring dengan meningkatnya usia maternal dan
adanya riwayat keluarga yang menderita penyakit bawaan yang sama.
Faktor etnik juga mempengaruhi angaka kejadian palatoschisis.
Palatoschisis paling sering ditemukan pada ras Asia dibandingkan ras
Afrika. Insiden palatoschisis pada ras Asia sekitar 2,1/1000, 1/1000 pada
ras kulit putih, dan 0,41/1000 pada ras kulit hitam. Menurut data tahun
2004, di Indonesia ditemukan sekitar 5.009 kasus cleft palate dari total
seluruh penduduk . Palatoschisis yang tanpa labioschisis memiliki rasio
yang relatif konstan yaitu 0,45-0,5/1000 kelahiran. Tipe yang paling sering
adalah uvula bifida dengan insiden sekitar 2% dari populasi. Setelah itu
diikuti oleh palatoschisis komplit unilateral kiri. (3,5,7,8,9)
ETIOLOGI
Pada tahun 1963, Falconer mengemukakan suatu teori bahwa etiologi
palatoschisis bersifat multifaktorial dimana pembentukan celah pada
palatum berhubungan dengan faktor herediter dan faktor lingkungan yang
terlibat dalam pertumbuhan dan perkembangan processus.(4)
1. Faktor herediter
Sekitar 25% pasien yang menderita palatoschisis memiliki riwayat
keluarga yang menderita penyakit yang sama. Orang tua dengan
palatoschisis mempunyai resiko lebih tinggi untuk memiliki anak dengan
palatoschisis. Jika hanya salah satu orang tua yang menderita
palatoschisis, maka kemungkinan anaknya menderita palatoschisis adalah
sekitar 4%. Jika kedua orangtuanya tidak menderita palatoschisis, tetapi
memiliki anak tunggal dengan palatoschisis maka resiko generasi
berikutnya menderita penyakit yang sama juga sekitar 4%. Dugaan
mengenai hal ini ditunjang kenyataan, telah berhasil diisolasi suatu Xlinked gen, yaitu Xq13-21 pada lokus 6p24. (3).
Pada pasien sumbing bibir dan langitan. Kenyataan lain yang menunjang,
bahwa demikian banyak kelainan / sindrom disertai celah bibir dan
langitan (khususnya jenis bilateral), melibatkan anomali skeletal, maupun
defek lahir lainnya.

2. Faktor lingkungan
Obat-obatan yang dikonsumsi selama kehamilan, seperti fenitoin, retinoid
(golongan vitamin A), dan steroid beresiko menimbulkan palatoschisis
pada bayi. Infeksi selama kehamilan semester pertama seperti infeksi
rubella dan cytomegalovirus, dihubungkan dengan terbentuknya celah.
Alkohol, keadaan yang menyebabkan hipoksia, merokok, dan defisiensi
makanan (seperti defisiensi asam folat) dapat menyebabkan palatoschisis.
(3,4,10)
PATOFISIOLOGI
Pasien dengan palatoschisis mengalami gangguan perkembangan wajah,
inkompetensi velopharyngeal, perkembangan bicara yang abnormal, dan
gangguan fungsi tuba eustachi. Kesemuanya memberikan gejala patologis
mencakup kesulitan dalam intake makanan dan nutrisi, infeksi telinga
tengah yang rekuren, ketulian, perkembangan bicara yang abnormal, dan
gangguan pada pertumbuhan wajah. Adanya hubungan antara rongga
mulut dan hidung menyebabkan berkurangnya kemampuan untuk
mengisap
pada
bayi. (3)
Insersi yang abnormal dari m.tensor veli palatine menyebabkan tidak
sempurnanya pengosongan pada telinga tengah. Infeksi telinga yang
rekuren telah dihubungkan dengan timbulnya ketulian yang memperburuk
cara bicara pada pasien dengan palatoschisis. Mekanisme velopharyngeal
yang utuh penting dalam menghasilkan suara non nasal dan sebagai
modulator aliran udara dalam pembentukan fonem lainnya yang
membutuhkan nasal coupling. (Manipulasi anatomi yang kompleks dan
sulit dari mekanisme ini, jika tidak sukses dilakukan pada awal
perkembangan bicara, dapat menyebabkan berkurangnya pengucapan
normal). (3)
KLASIFIKASI
Palatoschisis dapat berbentuk sebagai palatoschisis tanpa labioschisis
atau
disertai
dengan
labioschisis.
Palatoschisis
sendiri
dapat
diklasifikasikan lebih jauh sebagai celah hanya pada palatum molle, atau
hanya berupa celah pada submukosa. Celah pada keseluruhan palatum
terbagi atas dua yaitu komplit (total), yang mencakup palatum durum dan
palatum molle, dimulai dari foramen insisivum ke posterior, dan inkomplit

(subtotal). Palatoschisis juga dapat bersifat unilateral atau bilateral. (2,11)

Veau membagi cleft menjadi 4 kategori yaitu :


1.
Cleft palatum molle
2.
Cleft palatum molle dan palatum durum
3.
Cleft lip dan palatum unilateral komplit
4.
Cleft lip dan palatum bilateral komplit
Klasifikasi Jalur-Y untuk cleft lip dan palate berdasarkan modifikasi Millard
dari Kernohan. Lingkaran kecil mengindikasikan foramen insisivum;
segitiga mengidikasikan ujung nasal dan dasar nasal.
PENATALAKSANAAN
Penanganan kecacatan pada celah bibir dan celah langit-langit tidaklah
sederhana, melibatkan berbagai unsur antara lain, ahli Bedah Plastik, ahli
ortodonti, ahli THT untuk mencegah menangani timbulnya otitis media
dan kontrol pendengaran, dan anestesiologis. Speech therapist untuk
fungsi bicara. Setiap spesialisasi punya peran yang tidak tumpang-tindih
tapi saling saling melengkapi dalam menangani penderita CLP secara
paripurna. (16)
1. Terapi Non-bedah
Palatoschisis merupakan suatu masalah pembedahan, sehingga tidak ada
terapi medis khusus untuk keadaan ini. Akan tetapi, komplikasi dari
palatoschisis yakni permasalahan dari intake makanan, obstruksi jalan
nafas, dan otitis media membutuhkan penanganan medis terlebih dahulu
sebelum
diperbaiki.3
Perawatan
Umum
Pada
Cleft
Palatum
Pada periode neonatal beberapa hal yang ditekankan dalam pengobatan
pada bayi dengan cleft palate yakni:

a. Intake makanan
Intake makanan pada anak-anak dengan cleft palate biasanya mengalami
kesulitan karena ketidakmampuan untuk menghisap, meskipun bayi
tersebut dapat melakukan gerakan menghisap. Kemampuan menelan
seharusnya tidak berpengaruh, nutrisi yang adekuat mungkin bisa
diberikan bila susu dan makanan lunak jika lewat bagian posterior dari
cavum oris. pada bayi yang masih disusui, sebaiknya susu diberikan
melalui alat lain/ dot khusus yang tidak perlu dihisap oleh bayi, dimana
ketika dibalik susu dapat memancar keluar sendiri dengan jumlah yang
optimal artinya tidak terlalu besar sehingga membuat pasien menjadi
tersedak atau terlalu kecil sehingga membuat asupan nutrisi menjadi
tidak cukup. Botol susu dibuatkan lubang yang besar sehingga susu dapat
mengalir ke dalam bagian belakang mulut dan mencegah regurgitasi ke
hidung. Pada usia 1-2 minggu dapat dipasangkan obturator untuk
menutup celah pada palatum, agar dapat menghisap susu, atau dengan
sendok dengan posisi setengah duduk untuk mencegah susu melewati
langit-langit yang terbelah atau memakai dot lubang kearah bawah
ataupun dengan memakai dot yang memiliki selang yang panjang untuk
mencegah aspirasi. (5)
b. Pemeliharaan jalan nafas
Pernafasan dapat menjadi masalah anak dengan cleft, terutama jika dagu
dengan retroposisi (dagu pendek, mikrognatik, rahang rendah (undershot
jaw), fungsi muskulus genioglossus hilang dan lidah jatuh kebelakang,
sehingga menyebabkan obstruksi parsial atau total saat inspirasi (The
Pierre Robin Sindrom)
c. Gangguan telinga tengah
Otitis media merupakan komplikasi yang biasa terjadi pada cleft palate
dan sering terjadi pada anak-anak yang tidak dioperasi, sehingga otitis
supuratif rekuren sering menjadi masalah. Komplikasi primer dari efusi
telinga tengah yang menetap adalah hilangnya pendengaran. Masalah ini
harus mendapat perhatian yang serius sehingga komplikasi hilangnya
pendengaran tidak terjadi, terutama pada anak yang mempunyai resiko
mengalami gangguan bicara karena cleft palatum. Pengobatan yang
paling utama adalah insisi untuk ventilasi dari telinga tengah sehingga
masalah gangguan bicara karena tuli konduktif dapat dicegah.(5)

2. Terapi bedah
Terapi pembedahan pada palatoschisis bukanlah merupakan suatu kasus
emergensi, dilakukan pada usia antara 12-18 bulan. Pada usia tersebut
akan memberikan hasil fungsi bicara yang optimal karena memberi
kesempatan jaringan pasca operasi sampai matang pada proses
penyembuhan luka sehingga sebelum penderita mulai bicara dengan
demikian
soft
palate
dapat
berfungsi
dengan
baik.
Ada beberapa teknik dasar pembedahan yang bisa digunakan untuk
memperbaiki
celah
palatum,
yaitu:
1. Teknik von Langenbeck
Teknik ini pertama kali diperkenalkan oleh von Langenbeck yang
merupakan teknik operasi tertua yang masih digunakan sampai saat ini.
Teknik ini menggunakan teknik flap bipedikel mukoperiosteal pada
palatum durum dan palatum molle. Untuk memperbaiki kelainan yang
ada, dasar flap ini disebelah anterior dan posterior diperluas ke medial
untuk menutup celah palatum.
2. Teknik V-Y push-back
Teknik V-Y push-back mencakup dua flap unipedikel dengan satu atau dua
flap palatum unipedikel dengan dasarnya disebelah anterior. Flap anterior
dimajukan dan diputar ke medial sedangkan flap posterior dipindahkan ke
belakang dengan teknik V to Y akan menambah panjang palatum yang
diperbaiki.
3. Teknik double opposing Z-plasty
Teknik ini diperkenalkan oleh Furlow untuk memperpanjang palatum molle
dan membuat suatu fungsi dari m.levator.
4. Teknik Schweckendiek
Teknik ini diperkenalkan oleh Schweckendiek pada tahun 1950, pada
teknik ini, palatum molle ditutup (pada umur 4 bulan) dan di ikuti dengan
penutupan palatum durum ketika si anak mendekati usia 18 bulan.
5. Teknik palatoplasty two-flap
Diperkenalkan oleh Bardach dan Salyer (1984). Teknik ini mencakup
pembuatan dua flap pedikel dengan dasarnya di posterior yang meluas
sampai keseluruh bagian alveolar. Flap ini kemudian diputar dan
dimajukan ke medial untuk memperbaiki kelainan yang ada.

Speech terapi mulai diperlukan setelah operasi palatoplasty yakni pada


usia 2-4 tahun untuk melatih bicara benar dan miminimalkan timbulnya
suara sengau karena setelah operasi suara sengau masih dapat terjadi
suara sengau karena anak sudah terbiasa melafalkan suara yang salah,
sudah ada mekanisme kompensasi memposisikan lidah pada posisi yang
salah. Bila setelah palatoplasty dan speech terapi masih didapatkan suara
sengau maka dilakukan pharyngoplasty untuk memperkecil suara nasal
(nasal escape) biasanya dilakukan pada usia 4-6 tahun. Pada usia anak 89 tahun ahli ortodonti memperbaiki lengkung alveolus sebagai persiapan
tindakan alveolar bone graft dan usia 9-10 tahun spesialis bedah plastic
melakukan operasi bone graft pada celah tulang alveolus seiring
pertumbuhan
gigi caninus.16
Perawatan setelah dilakukan operasi, segera setelah sadar penderita
diperbolehkan minum dan makanan cair sampai tiga minggu dan
selanjutnya dianjurkan makan makanan biasa. Jaga hygiene oral bila anak
sudah mengerti. Bila anak yang masih kecil, biasakan setelah makan
makanan cair dilanjutkan dengan minum air putih. Berikan antibiotik
selama tiga hari. Pada orangtua pasien juga bisa diberikan edukasi
berupa, posisi tidur pasien harusnya dimiringkan/tengkurap untuk
mencegah aspirasi bila terjadi perdarahan, tidak boleh makan/minum
yang terlalu panas ataupun terlalu dingin yang akan menyebabkan
vasodilatasi dan tidak boleh menghisap /menyedot selama satu bulan
post operasi untuk menghindari jebolnya daerah post operasi.16
***
KOMPLIKASI
Anak dengan palatoschisis berpotensi untuk menderita flu, otitis media,
tuli, gangguan bicara, dan kelainan pertumbuhan gigi. Selain itu dapat
menyebabkan
gangguan
psikososial. 8
Komplikasi post operatif yang biasa timbul yakni:
a. Obstruksi jalan nafas
Seperti disebutkan sebelumnya, obstruksi jalan nafas post operatif
merupakan komplikasi yang paling penting pada periode segera setelah
dilakukan operasi. Keadaan ini timbul sebagai hasil dari prolaps dari lidah
ke orofaring saat pasien masih ditidurkan oleh ahli anastesi. Penempatan
Intraoperatif dari traksi sutura lidah membantu dalam menangani kondisi
ini. Obstruksi jalan nafas bisa juga menjadi masalah yang berlarut-larut
karena perubahan pada dinamika jalan nafas, terutama pada anak-anak

dengan madibula yang kecil. Pada beberapa instansi, pembuatan dan


pemliharaan dari trakeotomi perlu sampai perbaikan palatum telah
sempurna.
b. Perdarahan
Perdarahan intraoperatif merupakan komplikasi yang potensil terjadi.
Karena kayanya darah yang diberikan pada paltum, Intraoperative
hemorrhage is a potential complication. Because of the rich blood supply
to the palate, perdarahan yang berarti mengharukan untuk dilakukannya
transfuse. Hal ini bisa berbahaya pada bayi, yakni pada meraka yang total
volume darahnya rendah. Penilaian preoperative dari jumlah hemoglobin
dan hitung trombosit sangat penting. Injeksi epinefrin sebelum di lakukan
insisi dan penggunaa intraoperatif dari oxymetazoline hydrochloride capat
mengurangi kehilangan darah yang bisa terjadi. Untuk menjaga dari
kehilangan darah post operatif, area palatum yang mengandung mucosa
seharusnya diberikan avitene atau agen hemostatik lainnya.
c. Fistel palatum
Fistel palatum bisa timbul sebagai komplikasi pada periode segera setelah
dilakukan operasi, atau hal tersebut dapat menjadi permasalahan yang
tertunda. Suatu fistel pada palatum dapat timbul dimanapun sepanjang
sisi cleft. Insidennya telah dilapornya cukup tinggi yakni sebanyak 34%,
dan berat-ringannya cleft telah dikemukanan bahwa hal tersebut
berhubungan dengan resiko timbulnya fistula. Fistel cleft palate post
operatif bisa ditangani dengan dua cara. Pada pasien yang tanpa disertai
dengan gejala, prosthesis gigi bisa digunakan untuk menutup defek yang
ada dengan hasil yang baik. Pasien dengan gejala diharuskan untuk terapi
pembedahan. Sedikitnya supply darah, terutama supply ke anterior
merupakan alasan utama gagalnya penutupan dari fistula. Oleh karena
itu, penutupan fistula anterior maupun posterior yang persisten
seharusnya di coba tidak lebih dari 6-12 bulan setelah operasi, ketika
supply darah telah memiliki kesempatan untuk mengstabilkan dirinya.
Saat ini, banyak centre menunggu sampai pasien menjadi lebih tua
(paling tidak 10 tahun) sebelum mencoba untuk memperbaiki fistula. Jika
metode penutupan sederhana gagal, flap jaringan seperti flap lidah
anterior bisa dibutuhkan untuk melakukan penutupan.
d. Midface abnormalities

Penanganan Cleft palate pada beberapa instansi telah fokus pada


intervensi pembedahan terlebih dahulu. Salah satu efek negatifnya adalah
retriksi dari pertumbuhan maksilla pada beberapa persen pasien. Palatum
yang diperbaiki pada usia dini bisa menyebabkan berkurangnya demensi
anterior dan posteriornya, yakni penyempitan batang gigi, atau tingginya
yang abnormal. Kontrofersi yang cukup besar ada pada topik ini karena
penyebab dari hipoplasia, apakah hal tersebut merupakan perbaikan
ataupun efek dari cleft tersebut pada pertumbuhan primer dan sekunder
pada wajah, ini tidak jelas. Sebanyak 25% pasien dengan cleft palate
unilateral yang telah dilakukan perbaikan bisa membutuhkan bedah
orthognathic. LeFort I osteotomies dapat digunakan untuk memperbaiki
hipoplasia midface yang menghasilkan suatu maloklusi dan deformitas
dagu. (3)
e. Wound expansion
Wound expansion juga merupakan akibat dari ketegangan yang berlebih.
Bila hal ini terjadi, anak dibiarkan berkembang hingga tahap akhir dari
rekonstruksi langitan, dimana pada saat tersebut perbaikan jaringan parut
dapat dilakukan tanpa membutuhkan anestesi yang terpisah.
f. Wound infection
Wound infection merupakan komplikasi yang cukup jarang terjadi karena
wajah memiliki pasokan darah yang cukup besar. Hal ini dapat terjadi
akibat kontaminasi pascaoperasi, trauma yang tak disengaja dari anak
yang aktif dimana sensasi pada bibirnya dapat berkurang pascaoperasi,
dan inflamasi lokal yang dapat terjadi akibat simpul yang terbenam.
g. Malposisi Premaksilar
Malposisi Premaksilar seperti kemiringan atau retrusion, yang dapat
terjadi setelah operasi.
h. Whistle deformity
Whistle deformity merupakan defisiensi vermilion dan mungkin
berhubungan dengan retraksi sepanjang garis koreksi bibir. Hal ini dapat
dihindari dengan penggunaan total dari segmen lateral otot orbikularis.
i. Abnormalitas atau asimetri tebal bibir

Hal ini dapat dihindari dengan pengukuran intraoperatif yang tepat dari
jarak anatomis yang penting lengkung. (3)
PENYEBAB
Faktor genetik berkontribusi terhadap bibir sumbing dan celah langitlangit (Palatoschisis/Palatolabiaschisis). pembentukan telah diidentifikasi
untuk beberapa kasus sindrom, tetapi pengetahuan tentang faktor genetik
yang berkontribusi terhadap kasus-kasus terisolasi, lebih umum masih
mengunakan tambal sulam (bedah plastik).
Banyak celah/kerentanan dalam keluarga, meskipun dalam beberapa
kasus
ada
tampaknya
tidak
menjadi
sindrom
diidentifikasi
ini, (21) mungkin karena saat ini pemahaman genetik lengkap pada
pembangunan tengah wajah.
Sejumlah gen yang terlibat termasuk bibir sumbing dan langit-langit
(Palatoschisis/Palatolabiaschisis). transmembran
protein
1
dan
GAD1, (22) salah satu decarboxylases glutamat. Banyak gen yang
diketahui berperan dalam pengembangan kraniofasial dan sedang
dipelajari melalui inisiatif FaceBase untuk bagian mereka dalam celah ini.
Gen ini adalah AXIN2, BMP4, FGFR1, FGFR2, FOXE1, IRF6, MAFB (gen),
MMP3, MSX1, MSX2 (msh homeobox 2), MSX3, PAX7, PDGFC, PTCH1,
SATB2, Sox9, SUMO1 (pengubah ubiquitin terkait Kecil 1), TBX22, TCOF
(protein Treacle), TFAP2A, VAX1, TP63, ARHGAP29, Nog, NTN1, gen NTB,
dan locus 8q24. (9,10,11)
PROGNOSIS
Meskipun telah dilakukan koreksi anatomis, anak tetap menderita
gangguan bicara sehingga diperlukan terapi bicara yang bisa diperoleh
disekolah, tetapi jika anak berbicara lambat atau hati-hati maka akan
terdengar seperti anak normal.
***
DAFTAR PUSTAKA
1.
Tessier P (June 1976). Anatomical classification facial, craniofacial and latero-facial clefts. J Maxillofac Surg 4 (2): 6992 || NIH
ALAMAT JURNAL-NYA : Klik disini
2.
Kim EK, Khang SK, Lee TJ, Kim TG (May 2010). Clinical features
of the microform cleft lip and the ultrastructural characteristics

of the orbicularis oris muscle. Cleft Palate Craniofac. J. 47 (3): 297


302. || NIH ALAMAT JURNAL-NYA : Klik disini
3.
Yuzuriha
S,
Mulliken
JB
(November
2008). Minor-form,
microform, and mini-microform cleft lip: anatomical features,
operative techniques, and revisions. Plast. Reconstr. Surg.122 (5):
148593. || NIH ALAMAT JURNALNYA : Klik disini
4.
Tosun Z, Honuter M, Sentrk S, Savaci N (2003). Reconstruction
of microform cleft lip. Scand J Plast Reconstr Surg Hand Surg 37 (4):
2325. || NIH ALAMAT JURNALNYA : Klik disini
5.
Tollefson TT, Humphrey CD, Larrabee WF, Adelson RT, Karimi K, Kriet
JD (2011). The spectrum of isolated congenital nasal deformities
resembling the cleft lip nasal morphology.Arch Facial Plast
Surg 13 (3): 15260. || NIH ALAMAT JURNALNYA : Klik disini
6.
Statistics by country for cleft palate. WrongDiagnosis.com.
Retrieved 2007-04-24.
7.
Sloan GM (2000). Posterior pharyngeal flap and sphincter
pharyngoplasty: the state of the art. Cleft Palate Craniofac.
J. 37(2): 11222. || NIH ALAMAT JURNALNYA : Klik disini
8.
Costello BJ, Edwards SP, Clemens M (October 2008). Fetal
diagnosis and treatment of craniomaxillofacial anomalies. J.
Oral Maxillofac. Surg. 66 (10): 198595.
9.
Dudas M, Li WY, Kim J, Yang A, Kaartinen V (2007). Palatal fusion
where do the midline cells go? A review on cleft palate, a
major human birth defect. Acta Histochem. 109 (1): 114. || NIH
ALAMAT JURNALNYA : Klik disini
10.
Dudas M, Li WY, Kim J, Yang A, Kaartinen V (2007). Palatal fusion
where do the midline cells go? A review on cleft palate, a
major human birth defect. Acta Histochem. 109 (1): 114. || NIH
ALAMAT JURNALNYA : Klik disini
11.
Beaty TH, Ruczinski I, Murray JC, et al. (May 2011). Evidence for
gene-environment interaction in a genome wide study of
isolated, non-syndromic cleft palate. Genet Epidemiol 35 (6): 469
78. || NIH ALAMAT JURNALNYA : Klik disini
12.
Lydiatt DD, Yonkers AJ, Schall DG (November 1989). The
management of the cleft lip and palate patient. Nebr Med J 74 (11):
3258; discussion 3289. Klik disini

Embriologi Pembentukan Wajah dan Palatum


September 11, 2014 by Josephine Widya

Hampir semua jaringan penyokong kepala (tulang rawan, tulang, jaringan ikat) berasal dari crista
neuralis yang bersifat neurogenik. Pada organisme lainnya, jaringan ini berkembang dari
mesoderm atau mesenkim yang terbentuk. Pada penutupan tubus neuralis, crista neuralis
merupakan jaringan saraf embrional yang tumbuh ke arah lateral, yang tidak saja menjadi asal
perkembangan ganglion spinal, tetapi juga keseluruhan sistem saraf perifer. Di daerah kepala,
crista neuralis tidak saja memiliki kemampuan untuk membentuk jaringan saraf dan ganglion,
tetapi juga membentuk mesenkim spesifik yang kemudian menjadi asal muasal sel-sel jaringan
ikat, osteoblas, sel-sel tulang rawan, odontoblas, dan lain-lain. Oleh sebab itu, jaringan ini disebut
mesektoderm atau ektomesenkim. Setiap tonjolan wajah dibentuk dari proliferasi sel crista
neuralis yang bermigrasi menuju lengkung crista neuralis pada minggu ke-4 kehamilan.
Sel miogenik dari otot memiliki asal yang berbeda. Sel-sel tersebut berasal dari mesoderm
paraksial yang bermigrasi menuju facial primordia. sel crista neuralis yang membentuk massa
pada daerah frontonasal akan pertama-tama bermigrasi menuju regio prosencephalic (otak depan)
dan kemudian bergabung dengan sel migrasi lainnya, terutama yang berasal dari daerah
mesencephalic anterior (otak tengah). Sel-sel maxilla berasal dari regio mesencephalic posterior,
sedangkan sel-sel primordial mandibula berasal dari regio rhombencephalon (otak belakang). Sel
yang bertumbuh pada mesencephalon posterior juga berkontribusi.

Prominentia frontonasalis (tonjolan frontonasal): akan menjadi dahi dan dorsum apex
hidung

Prominentia nasalis lateralis: akan menjadi sisi-sisi (alae) hidung

Prominentia nasalis medialis: akan menjadi nasal septum

Prominentia maxillaris: akan menjadi regio pipi sebelah atas dan bibir sebelah atas

Prominentia mandibularis: akan menjadi dagu, bibir bawah, dan daerah pipi sebelah
bawah

Mesenkim pada tonjolan wajah (prominentia facialis): akan menjadi berbagai otot dan
derivatnya, serta tulang wajah

Pada akhir minggu ke-4 tampak 5 penonjolan. Tonjolan maxilla terdapat di sebelah lateral,
sedangkan tonjolan mandibula terdapat di sebelah caudal stomodeum. Pada fase ini, tonjolan
frontal juga tampak.
Pada awal minggu ke-5 kehamilan, tonjolan maxilla membesar dan tumbuh ke arah ventral dan
medial. Bagian ektodermal menebal (disebut juga sebagai nasal placodes) pada prominentia
frontonasalis dan mulai melebar.
Pada akhir minggu ke-5, ektoderm pada bagian tengah nasal placodes mengalami invaginasi untuk
membentuk lubang oral dari lubang nasal, membelah rima placode menjadi prominentia nasalis
lateralis dan prominentia nasalis medialis.
Permulaan minggu ke-6: nasal bergeser menuju posisi yang lebih ventral, posisi sentral; tampak
enam tonjolan aurikular yang akan menjadi daun telinga, pembentuk mandibula, dan arcus
hyoideus.
Akhir minggu ke-6: prominentia nasalis medialis dan lateralis menyatu, prominentia maxillaris
mulai membentuk rahang atas, garis tengah dari prominentia nasalis medialis membentuk septum
nasal. Tonjolan mandibula telah bergabung membentuk bibir bawah primordial. Rongga nasal
menjadi lebih dalam dan menyatu menjadi bentukan tunggal yang lebih luas, saccus nasalis
ectodermal.
Awal minggu ke-7: penyatuan prominentia nasalis medialis meluas ke lateral dan ke inferior
membentuk prominentia intermaxillaris, ujung hidung terangkat di antara prominentia nasalis
medialis,

penonjolan

kelopak

mata,

daun

telinga

mulai

berbentuk.

Akhir minggu ke-7: pola wajah sudah tampak seperti manusia, proporsi wajah akan berkembang
pada masa fetal, penyatuan prominentia nasalis medialis (prominentia intermaxillaris) akan
membentuk aksis sentral hidung dan philtrum pada bibir hingga lengkap.
Minggu ke-10: Ektoderm dan mesoderm dari prominentia frontalis dan masing-masing prominentia
nasalis medialis berproliferasi membentuk garis tengah septum nasalis. Cavitas nasal terbagi
menjadi dua lintasan yang terbuka sampai pharynx di belakang palatum sekunder, melalui
choana. Philtrum

telah

terbentuk,

sisi lateral

tonjolan maxilla dan

membentuk pipi dan mengurangi lebar mulut sampai pada ukuran akhir.

mandibula bergabung

Embriologi Pembentukan Palatum

Pembentukan Palatum Primer


o

Dimulai pada hari ke-35 kehamilan atau minggu ke-4 -> ditandai dengan
pembentukan prominentia facialis

Penyatuan prominentia nasalis medialis dan prominentia maxillaris

Dilanjutkan penyatuan prominentia nasalis lateralis dan prominentia nasalis


medialis. Bila gagal, akan terbentuk celah pada palatum primer.

Minggu ke-7: dasar cavitas nasalis berupa pelebaran ke posterior dari


prominentia intermaxillaris, disebut sebagai palatum primer. Dinding medial
tonjolan maxilla mulai membentuk sepasang pelebaran yang tebal, yaitu
lapisan palatina yang tumbuh ke bawah di salah satu sisi lidah.

Minggu ke-8: lidah berpindah ke bawah, dan lapisan palatum secara cepat
berotasi ke atas dan depan sampai pada garis tengah, dan tumbuh secara
horizontal.

Pembentukan Palatum Sekunder


o

Terjadi setelah palatum primer terbentuk sempurna

Mulai minggu ke-9 kehamilan

Terbentuk dari sisi bilateral yang berkembang dari bagian medial dari
prominentia maxillaris

Kedua sisi ini akan bertemu di garis tengah dengan terangkatnya sisi ini

Ketika sisi tersebut berkembang ke arah superior, maka proses akan dimulai.
Kegagalan pada proses ini akan menyebabkan celah palatum sekunder.

Minggu ke-9: kedua sisi lapisan palatum, palatum primer, dan septum nasal
inferior mulai berfusi di sebelah ventrodorsal

Minggu

ke-10:

bagian

ventral

palatum

kondensasi mesenkimal (osifikasi endokondral)

sekunder

mengeras

melalui

Sumber:
Rohen

J.W.

&

Ltjen-Drecoll

E.

2012.

Funktionelle

Embryologie:

Funktionssysteme des menschlichen Organismus. Stuttgart: Schattauer.


http://www.academia.edu/4750908/PALATOSCHISIS
http://www.docstoc.com/docs/58419994/embriologi-cleft-lip-and-palate
http://emedicine.medscape.com/article/844962-overview#aw2aab6b4

Die

Entwicklung

der

Anda mungkin juga menyukai