Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Karsinoma mukoepidermoid adalah neoplasma ganas yang paling

sering ditemukan pada kelenjar liur mayor dan minor. Karsinoma

mukoepidermoid ini adalah tumor ganas terbanyak yang paling sering

terjadi di kelenjar parotis.1

Karsinoma mukoepidermoid ini sering ditemukan pada wanita

dewasa pada usia dekade ketiga hingga keenam kehidupan. Biasanya

kelenjar parotis yang terkena adalah unilateral, walaupun ada ditemukan

kejadian yang bilateral. 2

Karsinoma mukoepidermoid pada kelenjar liur ini, berdasarkan

temuan mikroskopis dibagimen jadi 3 klasifikasi, yaitu low grade,

intermediate dan high grade. Penentuan klasifikasi sangat penting untuk

menentukan tatalaksana dan prognosis. Penatalaksanaan tumor ini

tergantung kepada klasifikasi, dimana penatalaksanaan tumor low grade

dan intermediate berbeda dengan penatalaksanaan pada tumor high grade.3

Jenis tumor kelenjar liur berjumlah sangat banyak dengan

histopatologi yang kompleks dan tampilan klinis yang berbeda. Dengan

demikian informasi mengenai tumor kelenjar liur harus dibutuhkan untuk

membantu menegakkan diagnosis dan memberikan terapi. Data yang

dibutuhkan berupa umur dan jenis kelamin pasien serta lokasi terjadinya

1
penyakit yang berguna untuk membantu menegakkan diagnosis dan

terapi.4

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Karsinoma mukoepeidermoid adalah tumor kelenjar liur yang

terdiri dari sel skuamosa neoplastik, sel penghasil mukus dan sel epitel

dari jenis intermediate. Tumor mukoepidermoid ini kemungkinan berasal

dari sel epitel pelapis duktus yang berpotensi mengalami metaplasia.5

Karsinoma mukoepidermoid pertama kali didiskripsi oleh

Masson dan Berger pada tahun 1924. Sejak saat itu, karsinoma ini lebih

dikenal sebagai suatu neoplasma pada kelenjar air liur. Karsinoma

mukoepidermoid merupakan 35% dari semua jenis keganasan kelenjar

liur mayor dan minor, dan urutan ke-3 terbanyak pada kelenjar liur

minor setelah adenokarsinoma dan adenoid kistik.5

Insiden lebih banyak ditemukan pada perempuan dan cenderung

meningkat pada dekade ke 3, sedangkan umur rata-rata onset adalah

dekade ke-5, wanita lebih sering dibandingkan pria dengan

perbandingan 3:2 berdasarkan penelitian di Amerika Serikat.5

Karsinoma mukoepidermoid biasanya diklasifikasikan sebagai

Low grade atau high grade tumor. Namun, beberapa ahli patologi

juga mencantumkan intermediate grade. Tumor low grade memiliki

proporsi sel-sel mukosa lebih tinggi dibandingkan dengan epidermoid.

3
Lesi ini lebih seperti tumor jinak tapi mampu merusak jaringan lokal

dan bermetastasis. Tumor high grade memiliki proporsi sel epidermoid

yang terbanyak. Mungkin sulit untuk membedakan dari karsinoma sel

skuamosa. Lesi high grade adalah tumor yang agresif dengan

kecenderungan tinggi untuk metastasis. Lesi Intermediate grade

bersifat seperti tumor high grade.5

Tumor yang low grade, biasanya berbatas tegas, mirip dengan

adenoma pleomorfik, tumbuh lambat tanpa disertai rasa sakit merupakan

ciri khas tumor ini. Secara histopatologi terdapat empat jenis sel yang

teridentifikasi yaitu sel penghasil musin, sel skuamousa, sel intermediate

dan sel jernih. Tumor ini telah dibagi atas jenis low grade dan high grade.

Pada tumor low grade ini biasanya tidak melibatkan saraf fasialis,

namun sebaliknya pada varian tumor high grade saraf fasialis ini

sering terlibat. Tumor ini merupakan 35% dari seluruh jenis tumor pada

kelenjar liur, 67% diantaranya terdapat pada kelenjar parotis dan 33%

pada kelenjar liur minor. Meskipun tumor ini dapat terjadi pada remaja,

namun insiden tertinggi ditemukan pada orang dewasa. Umur rata-rata

penderita adalah 45 tahun.5

B. Epidemiologi

Karsinoma kepala leher merupakan jenis karsinoma terbanyak

ketiga di Indonesia setelah karsinoma payudara dan karsinoma serviks

berdasarkan data registrasi karsinoma berbasis hepatologi 2011. Jumlah

orang dengan karsinoma kepala leher ada banyak namun biasanya

4
diketahui ketika sudah di stadium lanjut hingga tingkat kematian tinggi.

Sehingga pengobatan yang dilakukan makin kompleks dan biaya

dikeluarkan pun makin banyak. Jika karsinoma kepala leher ditemukan

dalam stadium dini angka keberhasilan terapi bisa mencapai 80 persen.6

Insidensi umum karsinoma kepala leher menurut Organisasi

Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2012 adalahsekitar 10% per 100.000

penduduk per tahun dengan angka kematian sebanyak 7% per 100.000

penduduk per tahun.WHO memperkirakan angka kematian karsinoma

rongga mulut dan orofaring di seluruh dunia pada tahun 2008 sekitar

371.000 dan akan meningkat menjadi 595.000 pada tahun 2030.7

Selama 30 tahun terakhir, tingkat kelangsungan hidup penderita

karsinoma sel skuamosa kepala dan leher relatif tetap. Tingkat

kelangsungan hidup 5 tahun untuk semua stadium, berdasarkan

Surveillance Epidemiologi dan Data Hasil Akhir sekitar 60%. Dua pertiga

pasien mengalami penyakit lokal lanjut, dengan tingkat ketahanan hidup 5

tahun. 7

Insiden sikarsinoma kepala leher di Indonesia pada tahun 2012

adalah 15% per 100.000 ribu penduduk per tahun (pada pria) dengan

angka kematian sebanyak 13% per 100.000 ribu penduduk per tahun (pada

pria).7

5
C. Etiologi

Saat ini usia muda sudah banyak yang terkena karsinoma yang

disebabkan oleh gaya hidup yang tidak sehat seperti merokok, minuman

beralkohol, seringnya mengkonsumsi ikan asin atau makanan yang

diasapkan, polusi udara atau paparan radiasi, dan infeksi Virus Epstein

Barr (VEB), Human Papilloma Virus (HPV), serta faktor genetika. Mereka

yang mempunyai riwayat karsinoma di keluarga harus mempunyai

kewaspadaan lebih tinggi dan lebih waspada terhadap gejala dini

karsinoma. Pengobatan pada karsinoma kepala leher adalah pembedahan,

kemoterapi, dan radioterapi atau kombinasi.6

D. Metastase

Keganasan kelenjar ludah terdiri dari sekelompok tumor yang

heterogen dengan kecenderungan metastasis yang berbeda. Keganasan

kelenjar ludah memiliki perkiraan insiden 0,5-2,5 per 100.000 orang. Di

Amerika, kejadian kanker kelenjar ludah telah meningkat secara signifikan

menjelang akhir1990-an, dari 6,3% pada 1974-1976 menjadi 8,1% dari

semua kanker kepala dan leher pada 1998-1999. Sebagian besar timbul

dari kelenjar parotis (70–80%), dengan sisanya timbul dari kelenjar

submandibular (10%) atau kelenjar ludah sublingual dan minor (5%). 8

Sebagian besar pasien memiliki waktu bertahan hidup yang lama

setelah diagnosis awal, maka perkembangan penyakit metastasis relatif

umum. Misalnya saja, karsinoma duktus ludah derajat tinggi akhirnya

6
bermetastasis pada 46% pasien. Tempat yang paling umum untuk

metastasis adalah paru-paru (80%), tulang (15%), dan hati dan situs

lainnya (5%). Metastasis ke otak sangat jarang dengan data yang terbatas

di literatur. Pembedahan dan radiasi secara tradisional merupakanan dalan

terapi keduanya, baiklesi primer dan metastasis.8

Metastasis keotak pada orang dewasa paling umum muncul dari

tumor primer paru-paru (50-60%), payudara (15-20%), kulit (melanoma)

(5-10%), dan saluran pencernaan (4- 6%). Sawar darah otak tetap menjadi

hambatan yang berat untuk masuknya sel kanker juga sebagian besar agen

kemoterapi kedalam parenkim otak.9

E. Klasifikasi

Tumor parotis tergolong tumor yang "unik" karena banyaknya

variasi sehingga seringkali ada ketidak sesuaian antara jenis histopatologi

dengan sifat / gambaran kliniknya. Biasanya tumor terdapat pada lobus

superfisial (90%), Tumor bentuk bulat di lobus profunda dapat ekstensike

posterior melalui celah diantara mandibula dengan ligamen

stilomandibular sehingga tampak benjolan di parafaring, disebut Dumbbell

tumor.10

Klasifikasi tumor parotis berdasarkan gambaran histologik masih

dirasakan kurang memuaskan karena tidak menggambarkan sifat /

gambaran klinik dari tumor yaitu klinis jinak, potensial ganas atau ganas.

Organisasi Kesehatan Dunia (W.H.O.) melalui International Histological

7
Classification of Tumours telah membuat klasifikasi yang berdasarkan

kombinasi gambaran histologik dengan sifat klinik dari tumor. Klasifikasi

ini yang sekarang banyak dipakai. 11

Klasifikasi W.H.O. untuktumorparotissebagaiberikut :

A. Tumorepitelial

B. Tumor non epitelial

C. Tumor yang tidakdapatdiklasifikasikan

D. Keadaan lain yang berhubungandengan :

- kelainanlimfoepitelialjinak

- sialosis

- onkositosis

Klasifikasi untuk tumor epitelial parotis

1. Adenoma (jinak)

a. adenoma pleomorfik (mixed tumor)

b. adenoma monomorfik :

mis. - adenolimfoma (papillary cystadenoma

lymphomatosum, tumorWhartin) - adenoma

oksifilik - adenoma jenislain, misalnya :

8
adenoma tubuler, adenoma clear cell dan

adenoma sel basal

2. Tumor "potensialganas"

a. tumormukoepidermoid

b. tumorselasinik

3. Karsinoma (ganas)

a. karsinoma adenoid kistik (silindroma)

b. adeno karsinoma

c. karsinoma epidermoid

d. karsinoma yang tidakberdiferensiasi

(undifferentiated)

e. karsinoma pada adenoma pleomorfik

Untuk kepentingan pengelolaan tumor ganas parotis sehubungan

dengan jenis patologi dan sifat klinik dari tumor (biologic behavior) maka

pada tumor ganas parotis dapat dibagi dalam 2 group berdasarkan derajat

keganasannya, yaitu : 10

1. keganasan derajat rendah misalnya :karsinoma muko

epidermoid, adeno karsinoma selasinik, karsinoma adenoid

kistik (silindroma).

9
2. keganasan derajat tinggi misalnya :karsinoma muko

epidermoid, adeno karsinoma, karsinoma sel skuamosa /

epidermoid, karsinoma pada adenoma pleomorfik.

F. Derajat dan stadium

Derajat pada karsinoma mukoepidermoid di kelenjar liur mayor

dinilai berdasarkan model gradasi yang ditentukan dengan penelitian

sebelumnya. Sebuah sistem penilaian kuantitatif berdasarkan nilai poin

untuk masing-masing lima fitur histopatologi digunakan sebagai landasan

untuk menentukan stadium.12

Stadium pada karsinoma epidermoid menggunakan metode TNM (

T = tumor primer, N = pembesaran kelenjar getah bening regional dan M

= metastasis jauh). Referensi staging seperti yang biasa digunakan dalam

AJCC (American Joint Commite on Cancer). 12

G. Diagnosis

Berbeda dengan tumor ditempat lain dimana pada umumnya

dilakukan tindakan biopsi (prabedah) untuk menegakkan diagnosis pasti

secara histopatologik, pada tumor parotis tindakan biopsi insisional,

apalagi eksisional atau enukleasi tidak dianjurkan. Ini disebabkan karena

resiko terpotongnya cabang nervus fasialis, implantasi sel-sel kanker pada

daerah luka insisi kulit atau bahkan penyebaran tumor. Biopsi prabedah

pada tumor parotis tanpa tanda-tanda keganasan sebaiknya dianggap

sebagai kontrai ndikasi, mengingat sebagian besar tumor parotis adalah

10
jinak sehingga tidak perlu biopsi, bahkan tindakan ini dapat mempertinggi

angka kekambuhan. Biopsi hanya dapat dibenarkan pada kasus (suspek)

ganas yang inoperabel, misalnya pada tumor besar yang telah mengadakan

perlekatan luas dengan jaringan sekitarnya ,ulkus besar dikulit, infiltrasi

kedasar tengkorak atau ruang parafaring.10

Cara yang lebih "aman" yaitu biopsi aspirasi dengan menggunakan

jarum halus, disebut sebagai fine needle aspiration biopsy (FNAB). Ini

merupakan sarana diagnostik yang relatif mudah, cepat dan murah. Salah

satu hambatannya adalah lokasi penusukan yang kadang tidak tepat

mengenai sasaran (false negatif) dan sedikitnya jaringan yang diperoleh.

Meskipun demikian ditangan ahli yang berpengalaman (cyto pathologist)

diperoleh hasil yang memuaskan, yaitu sensitifitas sebesar 90%.13

Biopsi atau cara diagnostik yang acceptable dan sering dikerjakan

(established method) adalah pemeriksaan potong beku (frozen section

atauvries coupe) dari jaringan tumor yang diperoleh melalui pembedahan

parotidektomi superfisial. Dengan pemeriksaan VC sewaktu pembedahan

ini dapat segera ditentukan apakah tumor tersebut jinak atau ganas,

sehingga dapat diputuskan saat itu juga macam pembedahan yang harus

dikerjakan. 10

VC merupakan cara diagnostik yang lebih spesifik karena

mempunyai kemampuan membedakan kasus jinak dengan ganas

11
mendekati 100%, dengan ketepatan diagnosis (sensitivitas) sebesar 80-

90%.13

Selanjutnya, diagnosis pasti secara histopatologik menunggu hasil

pemeriksaan potong parafin. Penentuan stadium berdasar kansistem TNM

(staging system) sering menggunakan acuan menurut American Joint

Comitte on Cancer tahun 1997. 13

H. Tatalaksana

Setiap penatalaksanaan kasus karsinoma mukoepidermoid selalu

menyertakan eksisi bedah, namun pilihan pengobatan definitif didasarkan

pada tidak hanya stadium tumor, tetapi juga derajat tumor. Derajat, seperti

yang dibahas sebelumnya, memberikan informasi tambahan untuk karakter

penyakit dan harus dicantumkan.14

Seorang pasien dengan karsinoma mukoepidermoid low grade

mungkin cukup dilakukan eksisi bedah primer dengan hasil yang baik.

Jika lesi primer terbatas pada parotis dengan saraf fasialis yang utuh, bisa

dilakukan eksisi dengan preservasi saraf fasialis. Beberapa penelitian telah

dilakukan mengenai pengobatan karsinoma mukoepidermoid dan sampai

saat ini belum ada protokol tetap untuk penatalaksanaannya. Salah satu

studi terbesar menyatakan bahwa ada hubungan antara kelangsungan

hidup bebas tumor berkaitan dengan derajat dan stadium, angka

kelangsungan hidup>95% untuk lesi low grade. Lesi high grade memiliki

12
sifat yang lebih mirip dengan karsinoma sel skuamosa yang

mencerminkan bahwa tingkat agresi tumor yang tinggi. 14

Pasien dengan karsinoma mukoepidermoidtipe high grade jarang

dilakukan hanya eksisi bedah saja. Sampai saat ini, kemoterapi belum

terbukti memiliki peran dalam pengobatan keganasan kelenjar liur dan

terapi radiasi saat ini menjadi satu-satunya terapi adjuvan pilihan untuk

karsinoma muko epiermoid high grade ini. Dalam kasus mukoepidermoid

high grade, sering dilakukan penatalaksanaan yang kompleks. Mulai dari

bedah eksisi primer dengan diseksi leher bila kelenjar getah bening terlibat

dan diikuti dengan radiasi ajuvan. 15

Pada pasien tumor high grade sering tidak ditemukan adanya

pembesaran kelenjar getah bening regional secaraklinis. Padahal hampir

40% pasien tumor high grade melibatkan kelenjar getah bening regional,

sedangkan tumor low grade tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah

bening. Hal ini sering menimbulkan keraguan untuk melakukan diseksi

leher. 15

I. Prognosis

Dalam kebanyakan kasus tumor high grade pada karsinoma muko

epidermoid, terapi radiasi adjuvan dianjurkan untuk meningkatkan kontrol

loko regional. Karsinoma mukoepidermoid high grade adalah tumor

agresif dengan prognosis yang buruk dibandingkan varian low grade.

Angka kekambuhan loko regional pada kasus tumor high grade terjadi

13
pada 43,5 % kasus pada waktu 3 tahun bebas penyakit. Sedangkan angka

kelangsungan hidup 5 tahun bebas penyakit mencapai 30 %.15

14
BAB III

KESIMPULAN

Karsinoma epidermoid merupakan keganasan yang paling

sering ditemui di kelenjar liur mayor. Biopsi aspirasi jarum halus

memilki tingkat sensitifitas dan spesifikasi yang tinggi pada lesi jinak

tapi tidak pada keganasan. Penatalaksanaan karsinoma epidermoid

adalah dengan reseksi bedah dan dilanjutkan dengan radioterapi ajuvant.

Didapati 8% pasien meninggal 11% tumor kelenjar liur major dan

5% tumor kelenjar liur minor. Kematian disebabkan karena lokasi tumor

yang tidak memungkinkan untuk direseksi, metastasis jauh atau

komplikasi terapi adjuvant. Akhir-akhir ini, prognosa tidak hanya

berdasarkan faktor-faktor genetik.

Tumor-tumor kelenjar parotid menyebar ke kelenjar getah bening

pre-auricular sekitarnya, kemudian ke daerah submandibular. Neoplasma

kelenjar submandibular dan rantai limfatik jugular bagian atas. Lesi palatal

dapat meluas ke traktus respiratorius atas dan bagian basal tulang

tengkorak. Lesi pada pipi menginvasi kelenjar getah bening submental,

tumor intra oral bermetastasis ke kelenjar getah bening sub mandibular.

Metastasis jauh mungkin menyebar ke paru, hati, tulang, dan otak.

Dalam kebanyakan kasus tumor high grade pada karsinoma muko

epidermoid, terapi radiasi adjuvan dianjurkan untuk meningkatkan kontrol

15
loko regional. Karsinoma mukoepidermoid high grade adalah tumor

agresif dengan prognosis yang buruk dibandingkan varian low grade.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Rohan R. Walveltar Bridget C. LoehnMegluJn N. Wilson. Anatomy and


phisiology of salivary gland Dalam: Bailey BJ, editor (penyunting). Bailey
Head and Neck Surgery Otolaryngology. Edisi ke-5. , Philadelphia:
Lippincont- Raven Publisher; 2014.hlm.691-701.

2. Ballenger JJ. Disease of salivary gland. Dalam: Lea &Febinger. Disease of


the nose, throat, ear, head & neck. Philadelphia; 1996.hlm. 507-19.

3. Sunwoo JB, James S, Lewis J, McJunkin J, Sequeira SS. Malignant


Neoplasms of the salivary glands. Dalam: Flint PW, Haughey BH, Lund
VJ, Niparko JK, Richardson MA, Robbins KT, et al, editor (penyunting).
Cummings Otolaryngology Head & Neck Surgery. Edisi ke-5.
Philadelphia: Mosby Elsevier; 2010.hlm.1179-84.

4. Shah PJ. Patel SG. Salivary gland. Dalam: Head and Neck Surgery
Oncology. Edisi ke-3, Newyork: Mosby; 2003.hlm.439-52.

5. Young S, Oh Matthew S, Rusell David W. Eisele. Salivary gland


neoplasm. Dalam: Bailey BJ, editor (penyunting). Bailey Head and Neck
Surgery Otolaryngology. Edisi ke-5. Philadelphia: Lippincont- Raven
Publisher,.2014 : P 1760-81.

6. Dewi YA. Deteksidinikeganasankepalaleher. DepartemenIlmuKesehatan


THT-KL RSHS Bandung. PIT IDI Jabar. 2017

7. Rakhmawulan IA, Dewi YA, Nasution N. Profile of Head and Neck


Cancer Patients at Departement ORL-HNS Hasan Sadikin General
Hospital Bandung. AMJ. 2015;2(4):474-9.

8. Venteicher AS, Walcott BP, Sheth SA, Snuderl M, Patel AP, Curry WT, et
al. Clinical features of brain metastasis from salivary gland tumors.
Journal of Clinical Neuroscience. 2013 Nov;20(11):1533–7.

9. Dietrich, J., Rao, K., Pastorino, S. &Kesari, S. Corticosteroids in brain


cancer patients: benefits and pitfalls. Expert Review of Clinical
Pharmacology 4, 233–242. 2011.

10. Eisele DW and Johns ME, 1993. Salivary gland neoplasms. Head and
Neck Surgery-Otolaryngology. Bailey BJ, ed, Lippincott Co.,
Philladelphia : 1125 – 1147.

11. Marmowinoto M. dan Reksoprawiro S, 1983.Commando Operasi. Dalam :


Kumpulan NaskahIlmiahMuktamarNasional II PABTI, Jakarta, April :
296 – 304.

17
12. Ozawa H, Tomita T, Sakamoto K, Tagawa T, Fujii R, Kanzaki S, et al.
Mucoepidermoid carcinoma of the head and neck: clinical analysis of 43
patients. Jpn J Clin Oncol. 2008;38(6):414-8.

13. De la Cruz W E, 1988. Fine needle aspiration biopsy. In : The diagnosis of


head and neck masses. ORL Indonesia, Vol.XIX, No.2, April-Juni : 106 -
110.

14. Jeong HS, Chung MK, Son YI, Choi JY, Kim HJ, Ko YH, et al. Role of
18F-FDG PET/CT in management of high-grade salivary gland
malignancies. J Nucl Med. 2007;48(8):1237-44.

15. McHugh CH, Roberts DB, El-Naggar AK, Hanna EY, Garden AS, Kies
MS, et al. Prognostic factors in mucoepidermoid carcinoma of the salivary
glands. Cancer. 2012;118(16):3928-36.

18

Anda mungkin juga menyukai