LABIOPALATOSCHIZIS
DISUSUN OLEH :
Panji Arga Bintara G99172132
Anggie Herwanlistanto G99172002
Ridha Hayu Arsaningtyas G99172140
PEMBIMBING :
Widia Susanti, drg., MKes
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. DEFINISI
Labioschizis atau yang lebih dikenal dengan istilah bibir sumbing
merupakan suatu bentuk kelainan sejak lahir atau cacat bawaan berupa celah pada
bibir atas yang dapat meneruskan diri sampai gusi, rahang dan langit-langit rongga
mulut yang terbentuk pada trimester pertama karena tidak terbentuknya mesoderm
pada daerah tersebut sehingga prosesus nasalis dan maksilaris yang telah menyatu
menjadi pecah lagi.
Palatoschizis adalah terdapatnya fissura garis tengah pada palatum yang
terjadi karena kegagalan dua sisi palatum untuk menyatu selama perkembangan
embriotik.
Labiopalatoschizis adalah suatu kelainan kongenital dimana keadaan
terbukanya bibir dan langit –langit rongga mulut dapat melalui palatum durum
maupun palatum mole, hal ini disebabkan bibir dan langit-langit tidak dapat tumbuh
dengan sempurna pada masa kehamilan. Pembedahan pada palato dilakukan pada
waktu 6 bulan dan 2 tahun, tergantung pada derajat kecacatan. Awal fasilitas
penutupan adalah untuk perkembangan bicara (Widjoseno, 2004).
II. EPIDEMIOLOGI
Labiopalatoskisis dengan angka kejadian sebesar 45%, labioskisis 25%, dan
palatoskisis sebesar 35 %. Labiopalatoskisis dan labioskisis lebih sering pada anak
laki-laki dengan perbandingan 2:1, sedangkan palatoskisis lebih sering pada anak
perempuan dengan perbandingan 2:1.
Palatoschisis paling sering ditemukan pada ras Asia dibandingkan
rasAfrika. Insiden palatoschisis padaras Asia sekitar 2,1/1000, 1/1000
pada ras kulit putih, dan 0,41/1000 pada ras kulit hitam.
Menurut data tahun 2004, di Indonesia ditemukan sekitar 5.009 kasus cleft palate
dari total seluruh penduduk (Snell, 2006)
2
III. ANATOMI
1. Mulut
Rongga mulut merupakan sebuah bagian tubuh yang terdiri dari: lidah,
palatum durum, palatum mole, dasar dari mulut, trigonum retromolar, bibir,
mukosa bukal, ‘alveolar ridge’, dan gingiva. Tulang mandibula dan maksila
adalah bagian tulang yang membatasi rongga mulut. (Snell RS., 2006).
3
dari bagian atas sisi vermilion sampai ke bagian komisura pada bagian lateral
dan ke bagian mandibula pada bagian inferior. (Snell RS., 2006).
4
dasar cavum nasi. Permukaan bawah palatum durum diliputi oleh
mucoperiosteum dan mempunyai rigi mediana. Membran mukosa di kanan
dan kiri rigi ini tampak berlipat-lipat (Snell RS., 2006).
b) Palatum Molle
Palatum molle merupakan lipatan yang melekat pada pinggir posterior
palatum durum. Pada garis tenggah pinggir posteriornya terdapat uvula.
Pinggir - pinggir palatum molle dilanjutkan sebagai dinding lateral pharynx.
Palatum molle terdiri atas membran mukosa meliputi permukaan atas dan
bawah palatum molle dan aponeurosis palatina adalah lapisan fibrosa yang
melekat pada pinggir – pinggir posterior palatum durum dan merupakan
lanjutan dari tendo m. tensor veli palatini. Otot palatum molle adalah m.
tensor veli palatine, m. levator veli palatine, m. palatoglossus, m.
palatopharyngeus, dan m. uvulae (Snell RS., 2006).
Secara fungsional, palatum molle berperan memisahkan oropharynx
dari nasopharynx selama menelan dan berbicara. Palatum molle mendekat
ke dinding posterior pharyngeal selama menelan untuk mencegah
regurgitasi nasopharyngeal dan mendekat selama berbicara untuk mencegah
udara keluar dari hidung (Snell RS., 2006)
5
IV. ETIOLOGI
Penyebab labiopalatoschizis belum diketahui dengan pasti dan memiliki
faktor risiko yang bervariasi (multifaktorial). Kebanyakan ilmuwan berpendapat
bahwa labiopalatoschizis muncul akibat kombinasi dari faktor genetik dan faktor
lingkungan. Faktor penyebab yang diduga dapat menyebabkannya yaitu (Snell
RS., 2006; Mansjoer A., et al., 2005; Muhammad AH., 2012):
1. Genetik
Di Amerika Serikat dan bagian barat Eropa, para peneliti melaporkan
bahwa 40% orang yang mempunyai riwayat keluarga labiopalatoschizis akan
mengalami labiopalatoschizis. Kemungkinan seseorang bayi dilahirkan
dengan labiopalatoschizis meningkat bila keturunan garis pertama (ibu, ayah,
saudara kandung) mempunyai riwayat labiopalatoschizis.
Dasar genetik terjadinya celah bibir dikatakan sebagai gagalnya
mesodermal berproliferasi melintasi garis pertemuan, di mana bagian ini
seharusnya bersatu dan biasa juga karena atropi dari pada epithelium ataupun
tidak adanya perubahan otot pada epithelium ataupun tidak adanya perubahan
otot pada daerah tersebut sebagai tanda adanya hipoplasia mesodermal.
Adanya gen yang dominan dan resesif juga merupakan penyebab terjadinya
hal ini. Teori lain mengatakan bahwa celah bibir terjadi karena (Mansjoer A.,
et al., 2005; Muhammad AH., 2012):
• Dengan bertambahnya usia ibu hamil dapat menyebabkan ketidakkebalan
embrio terhadap terjadinya celah.
• Adanya abnormalitas dari kromosom menyebabkan terjadinya malformasi
kongenital yang ganda.
• Adanya tripel autosom sindrom termasuk celah mulut yang diikuti dengan
anomali kongenital yang lain.
2. Faktor usia ibu
Semakin bertambahnya usia ibu sewaktu hamil, maka bertambah pula
risiko ketidak sempurnaan pembelahan meiosis.
3. Faktor lingkungan.
a. Zat kimia (rokok dan alkohol)
6
Pada ibu hamil yang masih mengkonsumsi rokok dan alkohol dapat
berakibat terjadi kelainan kongenital karena zat toksik yang
terkandung pada rokok dan alkohol yang dapat mengganggu
pertumbuhan organ selama masa embrional.
b. Gangguan metabolik
Untuk ibu hamil yang mempunyai penyakit diabetes sangat rentan
terjadi kelainan kongenital, karena dapat menyebabkan gangguan
sirkulasi fetomaternal. Kadar gula dalam darah yang tinggi dapat
berpengaruh pada tumbuh kembang organ selama masa embrional.
c. Penyinaran radioaktif
Untuk ibu hamil pada trimester pertama tidak dianjurkan terapi
penyinaran radioaktif, karena radiasi dari terapi tersebut dapat
mengganggu proses tumbuh kembang organ selama masa
embrional.
4. Obat Teratogenik
a. Obat – obatan yang dapat menyebabkan kelainan kongenital
terutama labio palatoschizis. Obat – obatan itu antara lain :
Talidomid, diazepam (obat – obat penenang)
Aspirin (Obat – obat analgetika)
Kosmetika yang mengandung merkuri & timah hitam
(cream pemutih). Sehingga penggunaan obat pada ibu hamil
harus dengan pengawasan dokter.
b. kontrasepsi hormonal
Pada ibu hamil yang masih mengkonsumsi kontrasepsi hormonal,
terutama untuk hormon estrogen yang berlebihan akan
menyebabkan terjadinya hipertensi sehingga berpengaruh pada
janin, karena akan terjadi gangguan sirkulasi fotomaternal.
5. Infeksi
Terutama pada infeksi toksoplasma dan klamidia. Selain itu, Frases
mengatakan bahwa virus rubella dapat menyebabkan cacat berat, namun hanya
sedikit kemungkinan dapat menyebabkan celah.
7
6. Trauma.
Strean dan Peer melaporkan bahwa trauma mental dan fisik dapat
menyebabkan terjadinya celah. Stres yang timbul menyebabkan terangsangnya
ACTH (adrenocorticotropic hormone) sehingga merangsang kelenjar adrenal
bagian glukokortikoid mengeluarkan hidrokortison, sehingga akan meningkat
di dalam darah yang dapat menganggu pertumbuhan janin.
V. PATOGENESIS
Bibir atas bayi berkembang di sekitar 5 minggu kehamilan dan dari sekitar
8-12 minggu, palatum berkembang dari jaringan di kedua sisi lidah. Biasanya
jaringan ini tumbuh terhadap satu sama lain dan bergabung di tengah. Ketika
jaringan tidak bergabung di tengah, akan terbentuk celah di bibir dan gusi. Celah
pada bibir atas mungkin hanya terbatas pada bibir atau dapat juga terjadi pada
palatum mole. Celah bibir unilateral terjadi akibat kegagalan fusi dari prominens
nasal medial dan prominens maxilla pada satu sisi. Sedangkan celah bibir bilateral
merupakan hasil dari kegagalan fusi pada prominens nasal medial dengan
prominens maxilla pada sisi yang lain. Celah bibir inferior sangat jarang terjadi,
dan biasanya terletak tepat di tengah dan disebabkan oleh ketidaksempurnaan
penyatuan prominensia mandibularis.
Penyebab mutlak celah bibir dan palatum ini belum diketahui sepenuhnya.
Kombinasi faktor genetik dan lingkungan bisa menjadi penyebab terjadinya
kelainan ini. (Ismaniati dan Herdiana, 2007).
Menurut penelitian faktor genetik terjadi sebanyak 20-30% pada kelainan
ini. Jika anak dilahirkan dengan kelainan ini maka bayi yang dilahirkan berikutnya
pada orang tua yang sama mempunyai risiko terjadinya celah bibir dan palatum
sebesar 5% dan jika orang tua dan satu anaknya mempunyai kelainan ini maka
kemungkinan terjadinya kelainan ini pada anak berikutnya sebesar 15%. Pada
anak kembar persentasenya 30-50% (monozygot) dan 5% (dizygot). (Wrayetal,
2003).
Kelainan bibir sumbing dan celah palatum dapat berhubungan dengan
malformasi atau sindrom tertentu yang dikenal dengan kelainan sindromik. bila
8
kelainan ini tidak berhubungan dengan malformasi atau sindrom tertentu disebut
kelainan nonsindromik (Kartika, 2014). Sindromik jika etiologi defek tersebut
berasal dari transmisi gen (yang diturunkan menurut hukum Mendel, seperti:
autosomal dominan, autosomal resesif atau X-linked), abrasi kromosom seperti
trisomi, efek dari agen teratogen atau lingkungan (ibu yang menderita diabetes
melitus, defisiensi asam folat, terekspos rokok atau tembakau). Keadaan pasien
anak dengan etiologi sindromik biasanya disertai adanya synostosis, telecanthus,
hipoplasia maksila, facial nerve paresis atau paralysis, bentuk mandibula yang
tidak normal, excursion atau maloklusi. Sementara, pasien yang digolongkan
sebagai nonsindromik yaitu apabila tidak ada kelainan pada leher dan kepala,
memiliki fungsi kognitif dan pertumbuhan fisik yang normal dan tidak adanya
riwayat terekspos teratogen atau faktor lingkungan. Multifactorial inheritance
disebut sebagai penyebabnya, dimana kecenderungan yang kuat dari keluarga
namun tidak ditemukan adanya pola Hukum Mendel atau aberasi kromosom.
(Bailey, 2006).
Faktor pemicu yang dapat menyebabkan kelainan celah bibir dan langit-
langit ini diantaranya adalah:
• Kekurangan nutrisi
• Radiasi (radiasi pada wanita hamil dapat menyebabkan mutasi gen pembentuk
wajah)
• Hipoksia
• Kelebihan atau kekurangan riboflavin dan asam folat
• Bahan kimia (etanol)
• diabetes melitus maternal
• Asap rokok
• Pemakaian obat-obatan (kortison, antihistamin)
• Infeksi (rubella, toksoplasmosis dan sifilis)
• Trauma pada trimester pertama kehamilan (Wrayetal, 2003).
Masalah yang ditimbulkan cacat ini adalah psikis, fungsi dan estetik,
ketiganya saling berhubungan. Masalah psikis yang mengenai orang tua dapat
diatasi dengan penerangan yang baik. Bila cacat terbentuk lengkap sampai langit-
9
langit, bayi tak dapat menghisap. ASI harus dimanfaatkan dengan cara lain,
dipompa dulu dan diberikan per sendok atau dengan botol yang lubang dotnya
cukup besar.
10
Gambar 4. Klasifikasi labioschizis unilateral
2. Palatoschisis
Pada Palatoschizis, gejala dan tanda yang sering ditemui adalah:
1) Tampak ada celah pada tekak (unla), palato lunak, keras dan faramen
incisive.
2) Ada rongga pada hidung.
3) Distorsi hidung
4) Teraba ada celah atau terbukanya langit-langit saat diperiksa dengan jari
5) Kesukaran dalam menghisap/makan (Shah NS., et al., 2011).
Palatoschisis yang diklasifikasikan oleh Veau dibagi dalam 4 golongan:
a) Group 1: cleft hanya pada palatum molle saja.
11
b) Group 2: cleft palatum molle dan durum, tidak meluas ke foramen insisivus
c) Group 3: complete unilateral cleft, meluas dari uvula hingga ke foramen
insisivus pada midline, kemudian deviasi ke satu sisi dan biasanya sampai
ke alveolar pada gigi insisivus lateral.
d) Group 4: complete bilateral cleft, mirip group 3 dengan dua cleft yang
meluas dari foramen insisivus ke alveolar.
12
Gambar 7. The Haberman Feeder
Bayi yang hanya menderita labioschizis atau dengan celah kecil pada
palatum biasanya dapat menyusui, namun pada bayi dengan
labiopalatoschizis biasanya membutuhkan penggunaan dot khusus (cairan
dalam dot dapat keluar dengan tenaga hisapan kecil) ini dibuat untuk bayi
dengan labiopalatoschizis dan bayi dengan masalah pemberian makan /
asupan makanan tertentu serta mencegah aspirasi. (Widjoseno ., et al., 2004;
Mansjoer A., et al., 2005).
b) Masalah dental
Anak yang lahir dengan labioschizis mungkin mempunyai masalah
tertentu yang berhubungan dengan kehilangan malformasi dan malposisi
dari gigi geligi pada area dari celah bibir yang terbentuk. (Widjoseno ., et
al., 2004; Mansjoer A., et al., 2005).
Pasien dengan celah bibir dan langit-langit sering memperlihatkan
congenital missing teeth terutama gigi premolar dan lateral insisivus,
supernumerary teeth terutama pada daerah premaksila dan dekat celah,
fused teeth, dan malformed teeth. Gigi insisivus sentralis sering terlihat
13
malposisi sehingga relasi horizontal maupun vertikal di daerah insisivus
tampak tidak harmonis, demikian pula erupsi gigi-gigi di sekelilingnya.
Erupsi gigi menjadi terhambat terutama gigi kaninus. Ektopik gigi molar
atas juga sering terjadi, juga over erupsi gigi geligi anterior bawah, hal ini
disebabkan oleh tidak adanya atau malposisi gigi anterior bawah.
Kelainan gigi geligi yang lain yaitu frekuensi anomali lain yang tidak
didapatkan pada anak yang tidak menderita cleft-palate seperti tidak adanya
benih gigi insisivus lateral di daerah celah yang sangat sensitif terhadap
gangguan tumbuh kembang. Gigi insisivus lateral bisa juga mengalami
mesiodens, bentuk konus, atau runcing, mikrodontia gangguan
pembentukan gigi, erupsi, kelainan pembentukan akar dan mahkota lain.
Kelainan gigi-geligi ini juga menimbulkan masalah estetik, berpotensi
menimbulkan masalah fungsi, masalah periodontal karena gigi tidak
didukung oleh tulang alveolar yang cukup dan masalah dalam restorasi gigi.
(Octavia Alfini., 2014).
c) Infeksi telinga
Anak dengan labiopalatoschizis lebih mudah untuk menderita infeksi
telinga karena terdapatnya abnormalitas perkembangan dari otot – otot yang
mengontrol pembukaan dan penutupan tuba eustachius. (Mansjoer A., et al.,
2005).
Insersi yang abnormal dari m.tensor veli palatine menyebabkan tidak
sempurnanya pengosongan pada telinga tengah. Karena sfingter pada muara
tuba eustachii kurang normal maka lebih mudah terjadi infeksi di ruang
telinga tengah. Kemungkinan ini harus selalu diingat supaya tidak sampai
terjadi otitis media perforata.
d) Gangguan berbicara
Komunikasi normal pada manusia membutuhkan struktur yang utuh
dari bibir, rahang, lidah, gigi, dan palatum yang bekerja di bawah koordinasi
otot-otot respirasi dan pita suara. Mengingat penderita celah bibir dan langit-
langit umumnya memiliki kesulitan mengontrol aliran udara, maka produksi
suara menjadi tidak normal. Suara labiodental seperti f dan v sulit diucapkan
14
bila bibir atas terlalu panjang, kencang, dan sulit bergerak akibat jaringan
parut yang timbul pasca tindakan bedah korektif pada bibir. Malposisi gigi
anterior atas atau malformasi kontur alveolar ridge dapat mempengaruhi
pengucapan huruf s, z, th, f, dan v, juga deformitas alveolar ridge atau
palatum yang memendek dalam arah anteroposterior serta menyempit dapat
menyebabkan kesulitan dalam mengucapkan huruf k, g, dan ng.
Pada bayi dengan labiopalatoschizis biasanya juga memiliki
abnormalitas pada perkembangan otot – otot yang mengurus palatum mole.
Saat palatum mole tidak dapat menutup ruang / rongga nasal pada saat
bicara, maka didapatkan suara dengan kualitas nada yang lebih tinggi
(hypernasal quality of speech). Anak mungkin mempunyai kesulitan
berbicara atau memproduksi suara/ kata “p, b, d, t, h, k, g, s, sh dan ch” dan
terapi bicara (speech therapy) biasanya sangat membantu. (Widjoseno ., et
al., 2004; Mansjoer A., et al., 2005).
VII. DIAGNOSIS
Penegakkan diagnosis adanya celah bibir / bibir sumbing maupun celah
palatum terlihat dari tampilan klinis anak tersebut dan dinilai apa saja bagian yang
mengalami defek. Penegakan diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis
yang cermat, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang:
1. Mencatat informasi medis pasien & keluarga
2. Riwayat kehamilan ibu
a) Umur ibu saat hamil
b) Abnormalitas kromosom
c) Obat- obatan yang di konsumsi selama hamil
d) Kebiasaan personal
e) Kesehatan ibu
3. Pemeriksaan fisik
a) Inspeksi
15
Pemeriksaan oral rutin yang dilakukan untuk mendapatkan informasi
yang berhubungan dengan abnormalitas gigi, lengkung rahang, paltum
lunak, palatum keras dan lidah
• Gigi hilang yang dapat mempengaruhi bunyi konsonan
• Lengkung alveolar sempiti atau tidak
• Adanya fistula pada palatum lunak atau keras
• Malposisi memperberat keadaan sipasien sehingga menghasilkan bunyi
berdesis seperti “s” dan “z”.
b) Palpasi
c) Studi model digunakan untuk studi pertumbuhan palatal dan relasi gigi
(oklusi) maksila dan mandibular
d) Tes artikulasi
4. Pemeriksaan penunjang
a) Cephaloroentgenogram
Merupakan x-ray kepala bagian lateral dan frontal. Digunakan untuk
mempelajari pertumbuhan fasial dan tengkorak, membantu melihat bentuk
atas dan bawah rongga mulut, termasuk tengkorak dan ukuran dan bentuk
bagian diatas palatum lunak yang mempengaruhi ruang pernapasan dan
membantu menentukan pembentukan spinal servikal dan ukuran serta
panjang palatu lunak
b) Multiview vidiofluroscopy
Merupakan gambaran x-ray maksila dan mandibula ( dari depan,
samping dan bagian bawah pada vidio tape- ketiga gambarnya digunakan
untuk mengevaluasi fungsi velofaringeal. Contoh : bicara dan mengunyah
Sebanyak 86% anak dengan labioschizis bilateral disertai dengan
palatoschizis dan 68% labioschizis unilateral disertai palatoschizis.
(Karmacharya J., 2013).
c) USG
Selain pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan saat bayi lahir,
Labioschizis juga dapat dideteksi selama kehamilan dengan USG rutin. (The
Northern and Yorkshire Cleft Lip and Palate Service., 2013).
16
Gambar 8. Antenatal diagnosis pada labioschizis dengan USG
VIII. PENATALAKSANAAN
Masalah yang mendesak adalah proses makan, segera setelah lahir, bayi
dipasangi penutup plastik yang cocok, maksudnya untuk membantu pengendalian
cairan, memberikan bidang referensi untuk pengisapan dan menjaga stabilitas
segmen-segmen arkus lateral. Pertumbuhan arkus gigi yang cepat memerlukan
pengukuran alat penutup yang berulang-ulang setiap beberapa minggu. Putting
artificial lunak dengan lubang yang besar berguna pada penderita celah palatum.
Penderita dengan celah bibir (sumbing) murni mungkin dapat minum ASI.
Program habilisasi yang menyeluruh untuk anak yang menderita bibir
sumbing atau celah palatum bisa memerlukan pengobatan khusus dalam waktu
17
bertahun – tahun, dari tim yang terdiri dari dokter ahli anak, ahli bedah atau bedah
plastik, ahli THT, ahli ortodonsi yang akan mengikuti perkembangan rahang dan
giginya serta ahli logopedi yang mengawasi dan membimbing kemampuan bicara.
1. Penatalaksanaan pada labioschisis
Ada tiga tahap penatalaksanaan labioschizis yaitu :
1) Tahap pra bedah
a. Mempersiapkan ketahanan tubuh bayi
Asupan gizi yang cukup, dilihat dari keseimbangan berat badan yang
dicapai dan usia yang memadai tindakan operasi pertama dikerjakan untuk
menutup celah bibirnya, biasanya pada umur tiga bulan. Patokan yang biasa
dipakai adalah rule of ten yaitu berat badan minimal empat setengah kilo
(10 pon), kadar hemoglobin 10 gram persen dan umur sekurang-kurangnya
10 minggu dan tidak ada infeksi, leukosit dibawah 10.000.
b. Edukasi kepada orang tua
Jika bayi belum mencapai rule of ten, ada beberapa nasihat yang
seharusnya diberikan kepada orang tua agar kelainan dan komplikasi yang
terjadi tidak bertambah parah. Misalnya, memberi minum harus dengan dot
khusus dimana ketika dot dibalik, susu dapat memancar keluar sendiri
dengan jumlah optimal artinya tidak terlalu besar sehingga membuat bayi
tersedak dan tidak terlalu kecil sehingga membuat asupan gizi menjadi tidak
cukup, jika dot dengan lubang khusus ini tidak tersedia, maka pemberian
minum dapat dilakukan dengan bantuan sendok secara perlahan dengan
posisi setengah duduk atau tegak untuk menghindari masuknya susu
melewati langit – langit yang terbelah.
c. Celah bibir direkatkan dengan plaster khusus non alergenik.
Untuk menjaga agar celah pada bibir menjadi tidak terlalu jauh akibat
proses tumbuh kembang yang menyebabkan menonjolnya gusi ke arah
depan (protrusion pre maksila) akibat dorongan lidah prolabium, karena
jika hasil ini terjadi tindakan koreksi pada saat operasi akan menjadi sulit
dan secara kosmetika hasil akhir yang didapat tidak sempurna. Plester non
alergenik tadi harus tetap direkatkan sampai waktu operasi tiba.
18
2) Tahap operasi
Penutupan bibir sumbing secara bedah biasanya dilakukan setelah
umur 3 bulan, ketika anak itu telah menunjukkan kenaikan berat badan yang
memuaskan dan bebas dari infeksi oral, saluran nafas atau sistemik.
Tujuan pembedahan/operasi :
a. Menyatukan bagian-bagian celah.
b. Mewujudkan bicara yang bagus dan jelas.
c. Mengurangi regurgitasi hidung.
d. Menghindari cedera pada pertumbuhan maksila.
Cara operasi yang umum dipakai adalah cara Millard yang caranya
memutar dan memajukan (rotation and advacement). Harus memenuhi
kriteria “rule of ten” (10 minggu, 10 pound, Hb ≥10 gr%, leukosit < 10.000).
19
Gambar 11. Reparasi labioschizis bilateral (labioplasti)
3) Tahap Pasca Bedah
Garis jahitan yang terpapar pada dasar hidung dan bibir dapat
dibersihkan dengan kapas yang diberi larutan hydrogen peroksida dan salep
antibiotika yang diberikan beberapa kali perhari. Jahitan dapat diangkat
pada hari ke 5-7. Jika gizi anak baik, cairan dan elektrolit seimbang,
pemberian makan dapat diijinkan pada hari ke enam pasca bedah. Selama
waktu yang singkat dalam masa pasca bedah, perawatan khusus sangat
diperlukan. Tindakan pengisapan nasofaring yang dilakukan secara lembut
mengurangi kemungkinan komplikasi yang lazim terjadi, seperti atelektasis
dan pneumonia.
Pertimbangan primer pada perawatan pasca bedah adalah rumatan
kebersihan garis jahitan dan menghindari ketegangan pada jahitan,
karenanya bayi diberikan makan dengan penetes obat dan tangan diikat
manset siku. Diet cair atau setengah cair dipertahankan selama 3 minggu
dan pemberian makanan dilakukan dengan tetesan atau sendok. Tangan
penderita, mainan dan benda – benda asing harus dijauhkan dari palatum.
Setelah operasi labioplasti, pasien harus dievaluasi secara periodik terutama
status kebersihan mulut dan gigi, pendengaran dan kemampuan berbicara,
dan juga keadaan psikososial.
20
2. Penatalaksanaan pada palatoschisis
Palatoschisis merupakan suatu masalah pembedahan, tidak ada terapi medis
khusus untuk keadaan ini. Akan tetapi komplikasi dari palatoschisis yakni
permasalahan dari intake makanan, obstruksi jalan napas, dan otitis media
membutuhkan penanganan medis terlebih dahulu sebelum diperbaiki.
Terapi pembedahan bukanlah suatu yang emergensi, dilakukan pada usia
12-18 bulan. Pada usia tersebut akan memberikan hasil fungsi bicara yang optimal
karena memberi kesempatan jaringan pasca operasi sampai matang pada proses
penyembuhan luka sehingga sebelum penderita mulai bicara, soft palate dapat
berfungsi dengan baik.
Jika operasi dikerjakan lambat, sering hasil operasi dalam hal kemampuan
bicara atau mengeluarkan suara normal atau tak sengau, sulit dicapai.
Perbaikan celah palatum dapat dilakukan dengan teknik :
1. Von Langenbeck Palatoplasty
Dasar teknik ini yaitu memisahkan celah palatum yag terpisah.
Pembedahan dan penjahitan otot merupakan prosedur untuk membuat sling
otot. Skematik palatoplasti Von Langenbeck, melibatkan flap bipedikel
mukoperiosteal untuk menutup celah patum durum dan molle.
21
Gambar 13. Veau – Wardill – Kilner Pushback palatoplasty
3. Bardach Two flap
Dilakukan pada bibir sumbing bilateral, merupakan modifikasi dari
tehnik Von Langenbeck dimana dilakukan insisi di sepanjang tepi celah
palatum dan tepi alveolar. Penggabungan secara anterior ini, untuk
membebaskan penutupan mucoperiosteal. Palatum molle diperbaiki pada
jahitan garis lurus. Pemotongan dan rekonstruksi m. levator veli palatine
sebagai sling otot dinamakan intravelar palatoplasty.
22
plastik cara ini adalah teknik yang paling sering digunakan; garis jahitan
yang diatur berguna untuk memperkecil takik bibir akibat retraksi jaringan
parut.
Usia Tindakan
23
2. Berat 10 pounds
3. Hb > 10 gr%
1,5-2 tahun Palatoplasty karena bayi mulai bicara
IX. KOMPLIKASI
24
otot-otot palatum mole dan dinding lateral serta posterior nasofaring
membentuk suatu katup yang memisahkan nasofaring dan orofaring. Jika katup
tersebut tidak berfungsi secara adekuat, orang itu sukar mencipatkan tekanan
yang cukup di dalam mulutnya untuk membuat suara-sura tertentu.
Kemungkinan terapi wicara diperlukan setelah suatu operasi.
Komplikasi juga dapat dapat terjadi setelah operasi, yaitu berupa:
1. Wound dehiscence paling sering terjadi akibat ketegangan yang berlebihan dari
tempat operasi.
2. Wound expansion juga merupakan akibat dari ketegangan yang berlebih. Bila
hal ini terjadi, anak dibiarkan berkembang hingga tahap akhir dari rekonstruksi
langitan, dimana pada saat tersebut perbaikan jaringan parut dapat dilakukan
tanpa membutuhkan anestesi yang terpisah.
3. Wound infection merupakan komplikasi yang cukup jarang terjadi karena
wajah memiliki pasokan darah yang cukup besar. Hal ini dapat terjadi akibat
kontaminasi pascaoperasi, trauma yang tak disengaja dari anak yang aktif
dimana sensasi pada bibirnya dapat berkurang pascaoperasi, dan inflamasi
local yang dapat terjadi akibat simpul yang terbenam.
4. Malposisi Premaksilar seperti kemiringan atau retrusion, yang dapat terjadi
setelah operasi.
5. Whistle deformity merupakan defisiensi vermilion dan mungkin berhubungan
dengan retraksi sepanjang garis koreksi bibir. Hal ini dapat dihindari dengan
penggunaan total dari segmen lateral otot orbikularis.
X. PROGNOSIS
Pada umumnya, prognosis buat celah bibir dan celah langit-langit adalah
bagus kalau pasien di beri perawatan. Perawatan yang terbaik buat pasien celah
bibir dan celah langit-langit ialah pembedahan (Parker, 2010).
Pembedahan untuk membaiki bibir celah biasanya berlaku dalam beberapa
bulan pertama kehidupan dan disyorkan dalam tempoh 12 bulan pertama
kehidupan. Pembedahan untuk membaiki kelenjar celah disarankan dalam tempoh
18 bulan pertama atau lebih awal jika mungkin. Ramai kanak-kanak memerlukan
25
prosedur pembedahan tambahan apabila mereka sudah besar. Pembedahan boleh
membaikan rupa muka kanak-kanak dan mungkin juga meningkatkan kadar
pernafasan, fungsi pendengaran, dan perkembangan dalam komunikasi lisan.
Kanak-kanak yang dilahirkan dengan celah orofacial mungkin memerlukan jenis
rawatan dan perkhidmatan yang lain, seperti penjagaan gigi atau ortodontik khas
atau terapi pertuturan (Parker, 2010).
Dengan rawatan, kebanyakan kanak-kanak dengan celah bibir dan celah
langit-langit dapat menjalani kehidupan yang baik. Sesetengah kanak-kanak
dengan kecacatan orofacial mungkin mempunyai masalah dengan harga diri jika
mereka bimbang dengan perbezaan yang kelihatan antara dirinya dan anak-anak
lain. Sokongan moral dari ibu bapa boleh adalah penting dalam memelihara
keadaan psikologis kanak-kanak supaya tidak mengalami depresi dan sebagainya
(Yazdy, 2008).
XI. PENCEGAHAN
26
3. Nutrisi
Nutrisi yang adekuat dari ibu hamil saat konsepsi dan trimester I kehamilan
sangat penting bagi tumbuh kembang yang normal bagi fetus.
a. Asam Folat
Asam folat memiliki dua peran dalam menentukan hasil kehamilan. Satu,
ialah dalam proses maturasi janin jangka panjang untuk mencegah terjadinya
anemia dalam kehamilan lanjut. Kedua, ialah dalam mencegah defek
kongenital selama tumbuh kembang embrionik
b. Vitamin B6
Diketahui bahwa Vitamin B6 dapat melindungi terhadap induksi
terjadinya celah pada penelitian terhadap binatang. Namun penelitian pada
manusia masih kurang untuk membuktikan peran vitamin B6 dalam terjadinya
celah.
c. Vitamin A
Hale adalah peneliti pertama yang menemukan bahwa defisiensi vitamin
A pada ibu menyebabkan defek pada mata, celah orofasial, dan defek kelahiran
lainnya pada mamalia. Penelitian klinis pada manusia menyatakan bahwa
paparan fetus terhadap retinoid dan diet tinggi vitamin A juga dapat
menghasilkan kelainan kraniofasial yang gawat.
27
BAB III
KESIMPULAN
28
DAFTAR PUSTAKA
Parker SE, Mai CT, Canfield MA, Rickard R, Wang Y, Meyer RE, Anderson P,
Mason CA, Collins JS, Kirby RS, Correa A; for the National Birth Defects
Prevention Network. 2010. Updated national birth prevalence estimates for.
Sacharin, Rosa M. Text Book of Pediatric. Edisi ke – 12. Jakarta: EGC. 2002
Shah NS, Khalid M, Khan MS. (2011). A review of classification systems for cleft
lip and palate patients: Morphological classifications. Journal of Khyber
College of Dentistry, 1(2):95-99.
Snell RS. Perkembangan Wajah dan Kelainan Kongenital. Dalam : Anatomi Klinik
Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi ke-6. Jakarta: EGC. 2006. 714-716.
The Northern and Yorkshire Cleft Lip and Palate Service. Cleft Lip and Palate.
Dalam : Neonatal Network Handout. Januari 2013.
Widjoseno, Gardjito. Kelainan Bawaan Kepala dan Leher. Dalam : R
Sjamsuhidajat, W De Jong, editor. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2. Jakarta:
EGC; 2004. 344-345.
Wrayetal D (2003). Textbook of General and Oral Surgery. London: Churchill
Livingstone
Yazdy MM, Autry AR, Honein MA, Frias JL. 2008. Use of special education
services by children with orofacial clefts. Birth Defects Research (Part A):
Clinical and Molecular Teratology. 82:147-54.