Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

LABIOPALATOSCHIZIS

DISUSUN OLEH:
Lintang Daru Jati G99172103
Anggit Triadina G99172040
Mohamad Arif Fikri G99190037
Emillya Sari G99181024
Mohammad Yossan Yasykur G99190038

Periode: 11 Maret 2019 – 24 Maret 2019

PEMBIMBING:
Widia Susanti, drg., MKes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU GIGI DAN MULUT


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2019
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ...........................................................................................................2


BAB I - PENDAHULUAN.....................................................................................3
BAB II – TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................4
A. DEFINISI .......................................................................................................4
B. EPIDEMIOLOGI ...........................................................................................4
C. ANATOMI .....................................................................................................5
D. ETIOLOGI .....................................................................................................8
E. PATOGENESIS ...........................................................................................10
F. GEJALA DAN TANDA ..............................................................................12
G. DIANOSIS ...................................................................................................17
H. PENATALAKSANAAN .............................................................................19
I. KOMPLIKASI .............................................................................................26
J. PROGNOSIS ................................................................................................27
K. PENCEGAHAN ...........................................................................................28
BAB III – KESIMPULAN ...................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................31

2
BAB I
PENDAHULUAN

Kondisi kraniofasial, termasuk labiopalataschizis, merupakan kelainan


struktural kongenital yang disebebakan oleh perkembangan embriologis atipikal.
Perbedan kraniofasial merupakan hasil dari adanya gangguan perkembangan
embriologis pada minggu ke 4 hingga minggu ke 10 perkembangan janin dalam
rahim (Peterson-Falzone, Hardin-Jones, & Karnell, 2010).
Ada beberapa kelainan bawaan diantaranya adalah labioschizis,
labiopalatoschizis, atresia esofagus, atersia rekti dan ani, obstruksi biliaris,
omfalokel, hernia diafragmatika, atresia duodeni, meningokel, ensefalokel,
hidrosefalus, fimosis, dan hipospadia. Salah satu kelainan bawaan yang akan di
jelaskan lebih jauh disini adalah labioschizis dan labiopalatoschizis.
Labioschizis dan labiopalatoschizis merupakan deformitas daerah mulut
berupa celah atau sumbing atau pembentukan yang kurang sempurna semasa
embrional berkembang, bibir atas bagian kanan dan bagian kiri tidak tumbuh
bersatu. Belahnya belahan dapat sangat bervariasi, mengenai salah satu bagian atau
semua bagian daridasar cuping hidung, bibir, alveolus dan palatum durum serta
molle. Suatu klasifikasi berguna membagi struktur-struktur yang terkena menjadi:
Palatum primer meliputi bibir, dasar hidung, alveolus dan palatum durum dibelahan
foramen incisivum. Palatum sekunder meliputi palatum durum dan molle posterior
terhadap foramen. Suatu belahan dapat mengenai salah satu atau keduanya, palatum
primer dan palatum sekunder dan dapat unilateral atau bilateral. Kadang-kadang
terlihat suatu belahan submukosa, dalam kasus ini mukosanya utuh dengan belahan
mengenai tulang dan jaringan otot palatum (Ismaniati dan Herdiana, 2007).

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Labioschizis atau yang lebih dikenal dengan istilah bibir sumbing
merupakan suatu bentuk kelainan sejak lahir atau cacat bawaan berupa celah
pada bibir atas yang dapat meneruskan diri sampai gusi, rahang dan langit-
langit rongga mulut yang terbentuk pada trimester pertama karena tidak
terbentuknya mesoderm pada daerah tersebut sehingga prosesus nasalis dan
maksilaris yang telah menyatu menjadi pecah lagi.
Palatoschizis adalah terdapatnya fissura garis tengah pada palatum yang
terjadi karena kegagalan dua sisi palatum untuk menyatu selama
perkembangan embriotik.
Labiopalatoschizis adalah suatu kelainan kongenital dimana keadaan
terbukanya bibir dan langit –langit rongga mulut dapat melalui palatum durum
maupun palatum mole, hal ini disebabkan bibir dan langit-langit tidak dapat
tumbuh dengan sempurna pada masa kehamilan. Pembedahan pada palato
dilakukan pada waktu 6 bulan dan 2 tahun, tergantung pada derajat kecacatan.
Awal fasilitas penutupan adalah untuk perkembangan bicara (Widjoseno,
2004).

B. EPIDEMIOLOGI
Labiopalatoskisis dengan angka kejadian sebesar 45%, labioskisis 25%,
dan palatoskisis sebesar 35 %. Labiopalatoskisis dan labioskisis lebih sering
pada anak laki-laki dengan perbandingan 2:1, sedangkan palatoskisis lebih
sering pada anak perempuan dengan perbandingan 2:1.
Palatoschisis paling sering ditemukan pada ras Asia dibandingkan
rasAfrika. Insiden palatoschisis padaras Asia sekitar 2,1/1000, 1/1000
pada ras kulit putih, dan 0,41/1000 pada ras kulit hitam. Menurut data tahun
2004, di Indonesia ditemukan sekitar 5.009 kasus cleft palate dari total seluruh
penduduk (Snell, 2006).

4
C. ANATOMI
1. MULUT
Rongga mulut merupakan sebuah bagian tubuh yang terdiri dari:
lidah, palatum durum, palatum mole, dasar dari mulut, trigonum
retromolar, bibir, mukosa bukal, alveolar ridge, dan gingiva. Tulang
mandibula dan maksila adalah bagian tulang yang membatasi rongga
mulut. (Snell RS., 2006).

Gambar 1. Anatomi rongga mulut


Pipi membentuk dinding bagian lateral masing-masing sisi dari
rongga mulut. Pada bagian eksternal dari pipi, pipi dilapisi oleh kulit.
Sedangkan pada bagian internalnya, pipi dilapisi oleh membran mukosa,
yang terdiri dari epitel pipih berlapis yang tidak terkeratinasi. Otot-otot
businator (otot yang menyusun dinding pipi) dan jaringan ikat tersusun di
antara kulit dan membran mukosa dari pipi. Bagian anterior dari pipi
berakhir pada bagian bibir. (Snell RS., 2006).

2. BIBIR DAN PALATUM


Bibir atau disebut juga labia, adalah lekukan jaringan lunak yang
mengelilingi bagian yang terbuka dari mulut. Bibir terdiri dari otot

5
orbikularis oris dan dilapisi oleh kulit pada bagian eksternal dan membran
mukosa pada bagian internal. (Snell RS., 2006).
Secara anatomi, bibir dibagi menjadi dua bagian yaitu bibir bagian
atas dan bibir bagian bawah. Bibir bagian atas terbentang dari dasar dari
hidung pada bagian superior sampai ke lipatan nasolabial pada bagian
lateral dan batas bebas dari sisi vermilion pada bagian inferior. Bibir
bagian bawah terbentang dari bagian atas sisi vermilion sampai ke bagian
komisura pada bagian lateral dan ke bagian mandibula pada bagian
inferior. (Snell RS., 2006).

Gambar 2. Anatomi normal bibir dan rongga mulut

Permukaan bibir bagian dalam dari bibir atas maupun bawah


berlekatan dengan gusi pada masing-masing bagian bibir oleh sebuah
lipatan yang berada di bagian tengah dari membran mukosa yang disebut
frenulum labial. Saat melakukan proses mengunyah, kontraksi dari otot-
otot businator di pipi dan otot-otot orbukularis oris di bibir akan membantu
untuk memosisikan agar makanan berada di antara gigi bagian atas dan
gigi bagian bawah. Otot-otot tersebut juga memiliki fungsi untuk
membantu proses berbicara (Snell RS., 2006).
Palatum membentuk atap mulut, dibedakan menjadi dua bagian,
yaitu palatum durum di depan (bagian dari rongga mulut) dan palatum

6
molle di belakang (bagian dari oropharynx). Palatum memisahkan rongga
mulut dengan rongga hidung dan sinus maksilaris (Snell RS., 2006).
Suplai darahnya terutama berasal dari a. palatina mayor yang masuk
melalui foramen palitine mayor. Sedangkan a. palatina minor dan m.
palatina minor lewat melalui foramen palatine minor. Innervasi palatum
berasal dari n. trigeminus cabang maxilla yang membentuk pleksus yang
menginervasi otot-otot palatum. Selain itu, palatum juga mendapat
innervasi dari nervus cranial VII dan IX yang berjalan di sebelah posterior
dari pleksus.

Gambar 3 Anatomi palatum

a. Palatum Durum
Palatum durum dibentuk oleh processus palatines ossis maxillae
dan lamina horizontalis ossis palatini. Dibatasi oleh arcus alveolaris,
dan di belakang berlanjut sebagai palatum molle. Palatum durum
membentuk dasar cavum nasi. Permukaan bawah palatum durum
diliputi oleh mucoperiosteum dan mempunyai rigi mediana. Membran
mukosa di kanan dan kiri rigi ini tampak berlipat-lipat (Snell RS.,
2006).
b. Palatum Molle
Palatum molle merupakan lipatan yang melekat pada pinggir
posterior palatum durum. Pada garis tenggah pinggir posteriornya

7
terdapat uvula. Pinggir - pinggir palatum molle dilanjutkan sebagai
dinding lateral pharynx. Palatum molle terdiri atas membran mukosa
meliputi permukaan atas dan bawah palatum molle dan aponeurosis
palatina adalah lapisan fibrosa yang melekat pada pinggir – pinggir
posterior palatum durum dan merupakan lanjutan dari tendo m. tensor
veli palatini. Otot palatum molle adalah m. tensor veli palatine, m.
levator veli palatine, m. palatoglossus, m. palatopharyngeus, dan m.
uvulae (Snell RS., 2006).
Secara fungsional, palatum molle berperan memisahkan
oropharynx dari nasopharynx selama menelan dan berbicara. Palatum
molle mendekat ke dinding posterior pharyngeal selama menelan
untuk mencegah regurgitasi nasopharyngeal dan mendekat selama
berbicara untuk mencegah udara keluar dari hidung (Snell RS., 2006).

D. ETIOLOGI
Penyebab labiopalatoschizis belum diketahui dengan pasti dan memiliki
faktor risiko yang bervariasi (multifaktorial). Kebanyakan ilmuwan
berpendapat bahwa labiopalatoschizis muncul akibat kombinasi dari faktor
genetik dan faktor lingkungan. Faktor penyebab yang diduga dapat
menyebabkannya yaitu (Snell RS., 2006; Mansjoer A., et al., 2005;
Muhammad AH., 2012):
1. Genetik
Di Amerika Serikat dan bagian barat Eropa, para peneliti
melaporkan bahwa 40% orang yang mempunyai riwayat keluarga
labiopalatoschizis akan mengalami labiopalatoschizis. Kemungkinan
seseorang bayi dilahirkan dengan labiopalatoschizis meningkat bila
keturunan garis pertama (ibu, ayah, saudara kandung) mempunyai riwayat
labiopalatoschizis.
Dasar genetik terjadinya celah bibir dikatakan sebagai gagalnya
mesodermal berproliferasi melintasi garis pertemuan, di mana bagian ini
seharusnya bersatu dan biasa juga karena atropi dari pada epithelium

8
ataupun tidak adanya perubahan otot pada epithelium ataupun tidak
adanya perubahan otot pada daerah tersebut sebagai tanda adanya
hipoplasia mesodermal. Adanya gen yang dominan dan resesif juga
merupakan penyebab terjadinya hal ini. Teori lain mengatakan bahwa
celah bibir terjadi karena (Mansjoer A., et al., 2005; Muhammad AH.,
2012):
• Dengan bertambahnya usia ibu hamil dapat menyebabkan
ketidakkebalan embrio terhadap terjadinya celah.
• Adanya abnormalitas dari kromosom menyebabkan terjadinya
malformasi kongenital yang ganda.
• Adanya tripel autosom sindrom termasuk celah mulut yang diikuti
dengan anomali kongenital yang lain.
2. Faktor usia ibu di mana semakin bertambahnya usia ibu sewaktu hamil,
maka bertambah pula risiko ketidak sempurnaan pembelahan meiosis.
3. Faktor Lingkungan
a. Zat kimia (rokok dan alkohol)
Pada ibu hamil yang masih mengkonsumsi rokok dan alkohol
dapat berakibat terjadi kelainan kongenital karena zat toksik yang
terkandung pada rokok dan alkohol yang dapat mengganggu
pertumbuhan organ selama masa embrional.
b. Gangguan metabolik
Untuk ibu hamil yang mempunyai penyakit diabetes sangat
rentan terjadi kelainan kongenital, karena dapat menyebabkan
gangguan sirkulasi fetomaternal. Kadar gula dalam darah yang tinggi
dapat berpengaruh pada tumbuh kembang organ selama masa
embrional.
c. Penyinaran radioaktif
Untuk ibu hamil pada trimester pertama tidak dianjurkan terapi
penyinaran radioaktif, karena radiasi dari terapi tersebut dapat
mengganggu proses tumbuh kembang organ selama masa embrional.

9
4. Obat Teratogenik
a. Obat – obatan yang dapat menyebabkan kelainan kongenital terutama
labio palatoschizis. Obat – obatan itu antara lain :
• Talidomid, diazepam (obat – obat penenang)
• Aspirin (Obat – obat analgetika)
• Kosmetika yang mengandung merkuri & timah hitam (cream
pemutih). Sehingga penggunaan obat pada ibu hamil harus
dengan pengawasan dokter.
b. Kontrasepsi hormonal
Pada ibu hamil yang masih mengkonsumsi kontrasepsi
hormonal, terutama untuk hormone estrogen yang berlebihan akan
menyebabkan terjadinya hipertensi sehingga berpengaruh pada janin,
karena akan terjadi gangguan sirkulasi fotomaternal.
5. Infeksi
Terutama pada infeksi toksoplasma dan klamidia. Selain itu, Frases
mengatakan bahwa virus rubella dapat menyebabkan cacat berat, namun
hanya sedikit kemungkinan dapat menyebabkan celah.
6. Trauma
Strean dan Peer melaporkan bahwa trauma mental dan fisik dapat
menyebabkan terjadinya celah. Stres yang timbul menyebabkan
terangsangnya ACTH (adrenocorticotropic hormone) sehingga
merangsang kelenjar adrenal bagian glukokortikoid mengeluarkan
hidrokortison, sehingga akan meningkat di dalam darah yang dapat
menganggu pertumbuhan janin.

E. PATOGENESIS
Bibir atas bayi berkembang di sekitar 5 minggu kehamilan dan dari
sekitar 8-12 minggu, palatum berkembang dari jaringan di kedua sisi lidah.
Biasanya jaringan ini tumbuh terhadap satu sama lain dan bergabung di tengah.
Ketika jaringan tidak bergabung di tengah, akan terbentuk celah di bibir dan
gusi. Celah pada bibir atas mungkin hanya terbatas pada bibir atau dapat juga

10
terjadi pada palatum mole. Celah bibir unilateral terjadi akibat kegagalan fusi
dari prominens nasal medial dan prominens maxilla pada satu sisi. Sedangkan
celah bibir bilateral merupakan hasil dari kegagalan fusi pada prominens nasal
medial dengan prominens maxilla pada sisi yang lain. Celah bibir inferior
sangat jarang terjadi, dan biasanya terletak tepat di tengah dan disebabkan oleh
ketidaksempurnaan penyatuan prominensia mandibularis.
Penyebab mutlak celah bibir dan palatum ini belum diketahui
sepenuhnya. Kombinasi faktor genetik dan lingkungan bisa menjadi penyebab
terjadinya kelainan ini. (Ismaniati dan Herdiana, 2007).
Menurut penelitian faktor genetik terjadi sebanyak 20-30% pada
kelainan ini. Jika anak dilahirkan dengan kelainan ini maka bayi yang
dilahirkan berikutnya pada orang tua yang sama mempunyai risiko terjadinya
celah bibir dan palatum sebesar 5% dan jika orang tua dan satu anaknya
mempunyai kelainan ini maka kemungkinan terjadinya kelainan ini pada anak
berikutnya sebesar 15%. Pada anak kembar persentasenya 30-50%
(monozygot) dan 5% (dizygot). (Wrayetal, 2003).
Kelainan bibir sumbing dan celah palatum dapat berhubungan dengan
malformasi atau sindrom tertentu yang dikenal dengan kelainan sindromik. bila
kelainan ini tidak berhubungan dengan malformasi atau sindrom tertentu
disebut kelainan nonsindromik (Kartika, 2014). Sindromik jika etiologi defek
tersebut berasal dari transmisi gen (yang diturunkan menurut hukum Mendel,
seperti: autosomal dominan, autosomal resesif atau X-linked), abrasi
kromosom seperti trisomi, efek dari agen teratogen atau lingkungan (ibu yang
menderita diabetes melitus, defisiensi asam folat, terekspos rokok atau
tembakau). Keadaan pasien anak dengan etiologi sindromik biasanya disertai
adanya synostosis, telecanthus, hipoplasia maksila, facial nerve paresis atau
paralysis, bentuk mandibula yang tidak normal, excursion atau maloklusi.
Sementara, pasien yang digolongkan sebagai nonsindromik yaitu apabila tidak
ada kelainan pada leher dan kepala, memiliki fungsi kognitif dan pertumbuhan
fisik yang normal dan tidak adanya riwayat terekspos teratogen atau faktor
lingkungan. Multifactorial inheritance disebut sebagai penyebabnya, dimana

11
kecenderungan yang kuat dari keluarga namun tidak ditemukan adanya pola
Hukum Mendel atau aberasi kromosom. (Bailey, 2006).
Faktor pemicu yang dapat menyebabkan kelainan celah bibir dan langit-
langit ini diantaranya adalah:
• Kekurangan nutrisi
• Radiasi (radiasi pada wanita hamil dapat menyebabkan mutasi gen
pembentuk wajah)
• Hipoksia
• Kelebihan atau kekurangan riboflavin dan asam folat
• Bahan kimia (etanol)
• diabetes melitus maternal
• Asap rokok
• Pemakaian obat-obatan (kortison, antihistamin)
• Infeksi (rubella, toksoplasmosis dan sifilis)
• Trauma pada trimester pertama kehamilan (Wrayetal, 2003).
Masalah yang ditimbulkan cacat ini adalah psikis, fungsi dan estetik,
ketiganya saling berhubungan. Masalah psikis yang mengenai orang tua dapat
diatasi dengan penerangan yang baik. Bila cacat terbentuk lengkap sampai
langit-langit, bayi tak dapat menghisap. ASI harus dimanfaatkan dengan cara
lain, dipompa dulu dan diberikan per sendok atau dengan botol yang lubang
dotnya cukup besar.

F. GEJALA DAN TANDA


1. LABIOSCHISIS
Pada labioschizis ditandai dengan adanya distorsi pada hidung,
tampak sebagian atau keduanya, dan didapatkan adanya celah pada bibir.
Sedangkan pada pasien biasa dikeluhan gejala, seperti:
a. Deformitas pada bibir
b. Kesukaran dalam menghisap/makan.
c. Kelainan susunan archumdentis.
d. Distersi nasal sehingga bisa menyebabkan gangguan pernafasan.

12
e. Gangguan komunikasi verbal
f. Regurgitasi makanan.

Berat ringannya manisfestasi klinis dari labioschizis bervariasi


tergantung dari klasifikasinya. Berdasarkan lengkap atau tidaknya celah
terbentuk, tingkat kelainan bibir sumbing bervariasi, mulai dari yang
ringan hingga yang berat. Beberapa jenis bibir sumbing yang diketahui
adalah (Shah NS., et al., 2011):
a. Unilateral Incomplete: jika celah sumbing terjadi hanya disalah satu
sisi bibir dan tidak memanjang hingga ke hidung. Terdapat pada kanan
atau kiri tanpa melibatkan alveolar. Insiden: 25 %
b. Unilateral Complete: jika celah sumbing yang terjadi hanya disalah
satu sisi bibir dan memanjang hingga ke hidung.
c. Bilateral Complete: jika celah sumbing terjadi di kedua sisi bibir dan
memanjang hingga ke hidung.

Gambar 4. Klasifikasi labioschizis unilateral

Gambar 5. Klasifikasi labioschizis bilateral

13
2. PALATOSCHIZIS
Pada Palatoschizis, gejala dan tanda yang sering ditemui adalah:
a. Tampak ada celah pada tekak (unla), palato lunak, keras dan foramen
incisive.
b. Ada rongga pada hidung.
c. Distorsi hidung
d. Teraba ada celah atau terbukanya langit-langit saat diperiksa dengan
jari
e. Kesulitan dalam menghisap/makan (Shah NS., et al., 2011).
Palatoschisis yang diklasifikasikan oleh Veau dibagi dalam 4
golongan:
a. Grup 1: celah hanya pada palatum molle saja.
b. Grup 2: celah pada palatum molle dan durum, tidak meluas ke
foramen insisivus
c. Grup 3: complete unilateral cleft, meluas dari uvula hingga ke
foramen insisivus pada midline, kemudian deviasi ke satu sisi dan
biasanya sampai ke alveolar pada gigi insisivus lateral.
d. Grup 4: complete bilateral cleft, mirip group 3 dengan dua celah yang
meluas dari foramen insisivus ke alveolar.

Gambar 6. Klasifikasi Veau pada palatoschizis

14
3. MANIFESTASI KLINIS LAIN PADA LABIOPALATOSCHIZIS
a. Masalah Asupan Makanan
Merupakan masalah pertama yang terjadi pada bayi penderita
labioschizis. Adanya kelainan ini memberikan kesulitan pada bayi
untuk melakukan hisapan pada payudara ibu atau dot. Tekanan lembut
pada pipi bayi dengan labioschizis mungkin dapat juga meningkatkan
kemampuan hisapan oral. Keadaan tambahan yang ditemukan adalah
reflex hisap dan reflex menelan pada bayi dengan laboschizis tidak
sebaik pada bayi normal dan bayi dapat menghisap lebih banyak udara
pada saat menyusu. Memegang bayi dengan posisi tegak lurus dapat
membantu proses menyusu bayi. Menepuk-nepuk bayi secara berkala
juga dapat membantu.
Bayi yang hanya menderita labioschizis atau dengan celah kecil
pada palatum biasanya dapat menyusui, namun pada bayi dengan
labiopalatoschizis biasanya membutuhkan penggunaan dot khusus
(cairan dalam dot dapat keluar dengan tenaga hisapan kecil) ini dibuat
untuk bayi dengan labiopalatoschizis dan bayi dengan masalah
pemberian makan / asupan makanan tertentu serta mencegah aspirasi.
(Widjoseno., et al., 2004; Mansjoer A., et al., 2005).
b. Masalah Dental
Anak yang lahir dengan labioschizis mungkin mempunyai
masalah tertentu yang berhubungan dengan kehilangan malformasi
dan malposisi dari gigi geligi pada area dari celah bibir yang
terbentuk. (Widjoseno., et al., 2004; Mansjoer A., et al., 2005).
Pasien dengan celah bibir dan langit-langit sering
memperlihatkan congenital missing teeth terutama gigi premolar dan
lateral insisivus, supernumerary teeth terutama pada daerah
premaksila dan dekat celah, fused teeth, dan malformed teeth. Gigi
insisivus sentralis sering terlihat malposisi sehingga relasi horizontal
maupun vertikal di daerah insisivus tampak tidak harmonis, demikian
pula erupsi gigi-gigi di sekelilingnya. Erupsi gigi menjadi terhambat

15
terutama gigi kaninus. Ektopik gigi molar atas juga sering terjadi, juga
over erupsi gigi geligi anterior bawah, hal ini disebabkan oleh tidak
adanya atau malposisi gigi anterior bawah.
Kelainan gigi geligi yang lain yaitu frekuensi anomali lain yang
tidak didapatkan pada anak yang tidak menderita cleft-palate seperti
tidak adanya benih gigi insisivus lateral di daerah celah yang sangat
sensitif terhadap gangguan tumbuh kembang. Gigi insisivus lateral
bisa juga mengalami mesiodens, bentuk konus, atau runcing,
mikrodontia gangguan pembentukan gigi, erupsi, kelainan
pembentukan akar dan mahkota lain. Kelainan gigi-geligi ini juga
menimbulkan masalah estetik, berpotensi menimbulkan masalah
fungsi, masalah periodontal karena gigi tidak didukung oleh tulang
alveolar yang cukup dan masalah dalam restorasi gigi. (Octavia
Alfini., 2014).
c. Infeksi Telinga
Anak dengan labiopalatoschizis lebih mudah untuk menderita
infeksi telinga karena terdapatnya abnormalitas perkembangan dari
otot-otot yang mengontrol pembukaan dan penutupan tuba eustachius.
(Mansjoer A., et al., 2005).
Insersi yang abnormal dari m.tensor veli palatine menyebabkan
tidak sempurnanya pengosongan pada telinga tengah. Karena sfingter
pada muara tuba eustachii kurang normal maka lebih mudah terjadi
infeksi di ruang telinga tengah. Kemungkinan ini harus selalu diingat
supaya tidak sampai terjadi otitis media perforata.
d. Gangguan Berbicara
Komunikasi normal pada manusia membutuhkan struktur yang
utuh dari bibir, rahang, lidah, gigi, dan palatum yang bekerja di bawah
koordinasi otot-otot respirasi dan pita suara. Mengingat penderita
celah bibir dan langit-langit umumnya memiliki kesulitan mengontrol
aliran udara, maka produksi suara menjadi tidak normal. Suara
labiodental seperti f dan v sulit diucapkan bila bibir atas terlalu

16
panjang, kencang, dan sulit bergerak akibat jaringan parut yang timbul
pasca tindakan bedah korektif pada bibir. Malposisi gigi anterior atas
atau malformasi kontur alveolar ridge dapat mempengaruhi
pengucapan huruf s, z, th, f, dan v, juga deformitas alveolar ridge atau
palatum yang memendek dalam arah anteroposterior serta menyempit
dapat menyebabkan kesulitan dalam mengucapkan huruf k, g, dan ng.
Pada bayi dengan labiopalatoschizis biasanya juga memiliki
abnormalitas pada perkembangan otot – otot yang mengurus palatum
mole. Saat palatum mole tidak dapat menutup ruang / rongga nasal
pada saat bicara, maka didapatkan suara dengan kualitas nada yang
lebih tinggi (hypernasal quality of speech). Anak mungkin
mempunyai kesulitan berbicara atau memproduksi suara/ kata “p, b,
d, t, h, k, g, s, sh dan ch” dan terapi bicara (speech therapy) biasanya
sangat membantu. (Widjoseno., et al., 2004; Mansjoer A., et al.,
2005).

G. DIAGNOSIS
Penegakkan diagnosis adanya celah bibir / bibir sumbing maupun celah
palatum terlihat dari tampilan klinis anak tersebut dan dinilai apa saja bagian
yang mengalami defek. Penegakan diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil
anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang:
1. Mencatat informasi medis pasien & keluarga
2. Riwayat kehamilan ibu
a. Umur ibu saat hamil
b. Abnormalitas kromosom
c. Obat- obatan yang di konsumsi selama hamil
d. Kebiasaan personal
e. Kesehatan ibu
3. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi

17
Pemeriksaan oral rutin yang dilakukan untuk mendapatkan
informasi yang berhubungan dengan abnormalitas gigi, lengkung
rahang, paltum lunak, palatum keras dan lidah
• Gigi hilang yang dapat mempengaruhi bunyi konsonan
• Lengkung alveolar sempiti atau tidak
• Adanya fistula pada palatum lunak atau keras
• Malposisi memperberat keadaan sipasien sehingga menghasilkan
bunyi berdesis seperti “s” dan “z”.
b. Palpasi
c. Studi model digunakan untuk studi pertumbuhan palatal dan relasi
gigi (oklusi) maksila dan mandibular
d. Tes artikulasi
4. Pemeriksaan penunjang
a. Cephaloroentgenogram
Merupakan x-ray kepala bagian lateral dan frontal. Digunakan
untuk mempelajari pertumbuhan fasial dan tengkorak, membantu
melihat bentuk atas dan bawah rongga mulut, termasuk tengkorak
dan ukuran dan bentuk bagian diatas palatum lunak yang
mempengaruhi ruang pernapasan dan membantu menentukan
pembentukan spinal servikal dan ukuran serta panjang palatum lunak
b. Multiview vidiofluroscopy
Merupakan gambaran x-ray maksila dan mandibula ( dari
depan, samping dan bagian bawah pada vidio tape- ketiga gambarnya
digunakan untuk mengevaluasi fungsi velofaringeal. Contoh : bicara
dan mengunyah.
Sebanyak 86% anak dengan labioschizis bilateral disertai
dengan palatoschizis dan 68% labioschizis unilateral disertai
palatoschizis. (Karmacharya J., 2013).

18
Gambar 7. Diagnosis antenatal labioschizis dengan USG

c. Ultrasonografi (USG)
Selain pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan saat bayi lahir,
Labioschizis juga dapat dideteksi selama kehamilan dengan USG
rutin. (The Northern and Yorkshire Cleft Lip and Palate Service.,
2013).

Gambar 8. (A) Ultrasonografi pada fetus dengan incomplete bilateral


cleft; (B) foto anak yang sama setelah lahir sebelum dioperasi

H. PENATALAKSANAAN
Masalah yang mendesak adalah proses makan, segera setelah lahir, bayi
dipasangi penutup plastik yang cocok, maksudnya untuk membantu
pengendalian cairan, memberikan bidang referensi untuk pengisapan dan
menjaga stabilitas segmen-segmen arkus lateral. Pertumbuhan arkus gigi yang
cepat memerlukan pengukuran alat penutup yang berulang-ulang setiap
beberapa minggu. Putting artificial lunak dengan lubang yang besar berguna

19
pada penderita celah palatum. Penderita dengan celah bibir (sumbing) murni
mungkin dapat minum ASI.
Program habilisasi yang menyeluruh untuk anak yang menderita bibir
sumbing atau celah palatum bisa memerlukan pengobatan khusus dalam waktu
bertahun-tahun, dari tim yang terdiri dari dokter ahli anak, ahli bedah atau
bedah plastik, ahli THT, ahli ortodonsi yang akan mengikuti perkembangan
rahang dan giginya serta ahli logopedi yang mengawasi dan membimbing
kemampuan bicara.
1. Penatalaksanaan pada Labioschizis
Ada tiga tahap penatalaksanaan labioschizis yaitu :
a. Tahap pra bedah
1) Mempersiapkan ketahanan tubuh bayi
Asupan gizi yang cukup, dilihat dari keseimbangan berat
badan yang dicapai dan usia yang memadai tindakan operasi
pertama dikerjakan untuk menutup celah bibirnya, biasanya pada
umur tiga bulan. Patokan yang biasa dipakai adalah rule of ten
yaitu berat badan minimal empat setengah kilo (10 pon), kadar
hemoglobin 10 gram persen dan umur sekurang-kurangnya 10
minggu dan tidak ada infeksi, leukosit dibawah 10.000.
2) Edukasi kepada orang tua
Jika bayi belum mencapai rule of ten, ada beberapa nasihat
yang seharusnya diberikan kepada orang tua agar kelainan dan
komplikasi yang terjadi tidak bertambah parah. Misalnya,
memberi minum harus dengan dot khusus dimana ketika dot
dibalik, susu dapat memancar keluar sendiri dengan jumlah
optimal artinya tidak terlalu besar sehingga membuat bayi
tersedak dan tidak terlalu kecil sehingga membuat asupan gizi
menjadi tidak cukup, jika dot dengan lubang khusus ini tidak
tersedia, maka pemberian minum dapat dilakukan dengan
bantuan sendok secara perlahan dengan posisi setengah duduk

20
atau tegak untuk menghindari masuknya susu melewati langit-
langit yang terbelah.
3) Celah bibir direkatkan dengan plaster khusus non alergenik.
Untuk menjaga agar celah pada bibir menjadi tidak terlalu
jauh akibat proses tumbuh kembang yang menyebabkan
menonjolnya gusi ke arah depan (protrusion pre maksila) akibat
dorongan lidah prolabium, karena jika hasil ini terjadi tindakan
koreksi pada saat operasi akan menjadi sulit dan secara kosmetika
hasil akhir yang didapat tidak sempurna. Plester non alergenik
tadi harus tetap direkatkan sampai waktu operasi tiba.
b. Tahap operasi
Penutupan bibir sumbing secara bedah biasanya dilakukan
setelah umur 3 bulan, ketika anak itu telah menunjukkan kenaikan
berat badan yang memuaskan dan bebas dari infeksi oral, saluran
nafas atau sistemik.
Tujuan pembedahan/operasi :
• Menyatukan bagian-bagian celah.
• Mewujudkan bicara yang bagus dan jelas.
• Mengurangi regurgitasi hidung.
• Menghindari cedera pada pertumbuhan maksila.
Cara operasi yang umum dipakai adalah cara Millard yang
caranya memutar dan memajukan (rotation and advacement). Harus
memenuhi kriteria “rule of ten” (10 minggu, 10 pound, Hb ≥10 gr%,
leukosit < 10.000).
c. Tahap pasca bedah
Garis jahitan yang terpapar pada dasar hidung dan bibir dapat
dibersihkan dengan kapas yang diberi larutan hydrogen peroksida dan
salep antibiotika yang diberikan beberapa kali perhari. Jahitan dapat
diangkat pada hari ke 5-7. Jika gizi anak baik, cairan dan elektrolit
seimbang, pemberian makan dapat diijinkan pada hari ke enam pasca
bedah. Selama waktu yang singkat dalam masa pasca bedah,

21
perawatan khusus sangat diperlukan. Tindakan pengisapan nasofaring
yang dilakukan secara lembut mengurangi kemungkinan komplikasi
yang lazim terjadi, seperti atelektasis dan pneumonia.
Pertimbangan primer pada perawatan pasca bedah adalah
rumatan kebersihan garis jahitan dan menghindari ketegangan pada
jahitan, karenanya bayi diberikan makan dengan penetes obat dan
tangan diikat manset siku. Diet cair atau setengah cair dipertahankan
selama 3 minggu dan pemberian makanan dilakukan dengan tetesan
atau sendok. Tangan penderita, mainan dan benda – benda asing harus
dijauhkan dari palatum. Setelah operasi labioplasti, pasien harus
dievaluasi secara periodik terutama status kebersihan mulut dan gigi,
pendengaran dan kemampuan berbicara, dan juga keadaan
psikososial.

2. Penatalaksanaan pada Palatoschizis


Palatoschisis merupakan suatu masalah pembedahan, tidak ada
terapi medis khusus untuk keadaan ini. Akan tetapi komplikasi dari
palatoschisis yakni permasalahan dari intake makanan, obstruksi jalan
napas, dan otitis media membutuhkan penanganan medis terlebih dahulu
sebelum diperbaiki.
Terapi pembedahan bukanlah suatu yang emergensi, dilakukan pada
usia 12-18 bulan. Pada usia tersebut akan memberikan hasil fungsi bicara
yang optimal karena memberi kesempatan jaringan pasca operasi sampai
matang pada proses penyembuhan luka sehingga sebelum penderita mulai
bicara, soft palate dapat berfungsi dengan baik.
Jika operasi dikerjakan lambat, sering hasil operasi dalam hal
kemampuan bicara atau mengeluarkan suara normal atau tak sengau, sulit
dicapai.
Perbaikan celah palatum dapat dilakukan dengan teknik:
a. Von Langenbeck Palatoplasty
Dasar teknik ini yaitu memisahkan celah palatum yag terpisah.
Pembedahan dan penjahitan otot merupakan prosedur untuk membuat

22
sling otot. Skematik palatoplasti Von Langenbeck, melibatkan flap
bipedikel mukoperiosteal untuk menutup celah patum durum dan
molle.

Gambar 9. Von Langenbeck Palatoplasty

Gambar 10. Two flap palatoplasty

23
b. Veau-Wardill-Kilner Pushback palatoplasty (V-Y)
Penutupan mukoperiosteal dibuat dengan W- shaped incison.
Pembebasan mukoperiostal dari palatum disambung ke palatum
durum dan pembukaan tulang secara anterior dan lateral.
c. Bardach Two Flap
Dilakukan pada bibir sumbing bilateral, merupakan modifikasi
dari teknik Von Langenbeck dimana dilakukan insisi di sepanjang tepi
celah palatum dan tepi alveolar. Penggabungan secara anterior ini,
untuk membebaskan penutupan mucoperiosteal. Palatum molle
diperbaiki pada jahitan garis lurus. Pemotongan dan rekonstruksi m.
levator veli palatine sebagai sling otot dinamakan intravelar
palatoplasty.
d. Furlow Z Plasty
Teknik dimana bagian palatum di reposisi dan veli palatine
disambung oleh double opposing (menyilang) secara Z plasty. Operasi
plastik cara ini adalah teknik yang paling sering digunakan; garis
jahitan yang diatur berguna untuk memperkecil takik bibir akibat
retraksi jaringan parut.

Gambar 11. Double-opposing Z-plasties

24
Tatalaksana dan penanganan labiopalatoschizis merupakan
suatu bentuk kerjasama tim yang melibatkan multidisiplin dalam
sebuah rumah sakit. Hal ini dikarenakan tingkat kesulitan yang
kompleks dan variatif dengan memakan waktu yang cukup lama.
Diantara disiplin ilmu yang terlibat diantaranya dokter anak, dokter
bedah palstik, dokter bedah mulut, dokter gigi anak, orthodontist,
prostodonti, dokter THT, terapis wicara, psikater dan psikolog.
Setiap rumah sakit memiliki protokol masing-masing dalam
menangani kasus celah bibir dan langitan. Hal ini mengenai
keterlibatan multidisiplin dalam rumah sakit dan perawatan jangka
panjang yang akan dilakukan di rumah sakit tersebut. Tatalaksana
pada pasien dengan celah bibir dan langitan dimulai sejak usia 0
minggu hingga 18 tahun. Hal tersebut dapat dijelaskan dalam tabel
berikut:
Tabel 1. Tatalaksana labiopalatoschizis berdasarkan usia
Usia Tindakan
0-1 minggu Pemberian nutrisi dengan kepala miring 45 derajat
1-2 minggu Pemsasangan obturator untuk menutup celah pada
langitan agara dapat menghisap susu atau memakai
dot lubang besar kearah bawah untuk mencegah
aspirasi
10 minggu Labioplasty dengan memenuhi Rules of Ten
1. Usia 10 minggu
2. Berat 10 pounds
3. Hb > 10 gr%
1,5-2 tahun Palatoplasty karena bayi mulai bicara
2-4 tahun Terapi Wicara
4-6 tshun Veropharyngopasty untuk mengembalikan fungsi
katup yang dibentuk m. tensor veli palatine dan
m.levator veli palatine sebagai pembentuk huruf
konsonan dan latihan dengan cara meniup
6-8 tahun Ortodonsi {pengaturan lengkung gigi}
8-9 tahun Alveolar bone grafting
9-17 tahun Ortodons iulang
17-18 tahun Cek kesimetrisan mandibula dan maksila

25
I. KOMPLIKASI
Berbagai komplikasi yang terjadi pada anak yang mengalami
labiopalatoschizis yaitu:
1. Labioschizis dapat menyebabkan masalah kosmetik, serta susunan gigi
yang tidak beraturan.
2. Palatoschizis dapat menyebabkan mudahnya mengalami penyakit ISPA
(infeksi saluran pernapasan akut) serta berbicara sengau.
3. Otitis media berulang dan ketulian sering kali terjadi, jarang dijumpai
kasus karies gigi yang berlebihan. Koreksi ortodontik dibutuhkan apabila
terdapat kesalahan penempatan arkus maksilaris dan letak gigi geligi.
4. Cacat bicara bisa ada atau menetap meskipun penutupan palatum secara
anatomi telah dilakukan dengan baik. Cacat bicara yang demikian ditandai
dengan pengeluaran udara melalui hidung dan ditandai dengan kualitas
hipernasal jika mebuat suara tertentu. Baik sebelum dan sesudah operasi
palatum, cacat bicara disebabkan oleh fungsi otot-otot paltum dan faring
yang tidak adekuat. Selama proses menelan dan saat mengeluarkan suara
tertentu, otot-otot palatum mole dan dinding lateral serta posterior
nasofaring membentuk suatu katup yang memisahkan nasofaring dan
orofaring. Jika katup tersebut tidak berfungsi secara adekuat, orang itu
sukar mencipatkan tekanan yang cukup di dalam mulutnya untuk membuat
suara-sura tertentu. Kemungkinan terapi wicara diperlukan setelah suatu
operasi.
Komplikasi juga dapat dapat terjadi setelah operasi, yaitu berupa:
1. Wound dehiscence paling sering terjadi akibat ketegangan yang berlebihan
dari tempat operasi.
2. Wound expansion juga merupakan akibat dari ketegangan yang berlebih.
Bila hal ini terjadi, anak dibiarkan berkembang hingga tahap akhir dari
rekonstruksi langitan, dimana pada saat tersebut perbaikan jaringan parut
dapat dilakukan tanpa membutuhkan anestesi yang terpisah.
3. Wound infection merupakan komplikasi yang cukup jarang terjadi karena
wajah memiliki pasokan darah yang cukup besar. Hal ini dapat terjadi

26
akibat kontaminasi pascaoperasi, trauma yang tak disengaja dari anak yang
aktif dimana sensasi pada bibirnya dapat berkurang pascaoperasi, dan
inflamasi local yang dapat terjadi akibat simpul yang terbenam.
4. Malposisi Premaksilar seperti kemiringan atau retrusion, yang dapat
terjadi setelah operasi.
5. Whistle deformity merupakan defisiensi vermilion dan mungkin
berhubungan dengan retraksi sepanjang garis koreksi bibir. Hal ini dapat
dihindari dengan penggunaan total dari segmen lateral otot orbikularis.

J. PROGNOSIS
Pada umumnya, prognosis buat celah bibir dan celah langit-langit adalah
bagus kalau pasien di beri perawatan. Perawatan yang terbaik buat pasien celah
bibir dan celah langit-langit ialah pembedahan (Parker, 2010).
Pembedahan untuk membaiki bibir celah biasanya berlaku dalam
beberapa bulan pertama kehidupan dan disyorkan dalam tempoh 12 bulan
pertama kehidupan. Pembedahan untuk membaiki kelenjar celah disarankan
dalam tempoh 18 bulan pertama atau lebih awal jika mungkin. Ramai kanak-
kanak memerlukan prosedur pembedahan tambahan apabila mereka sudah
besar. Pembedahan boleh membaikan rupa muka kanak-kanak dan mungkin
juga meningkatkan kadar pernafasan, fungsi pendengaran, dan perkembangan
dalam komunikasi lisan. Kanak-kanak yang dilahirkan dengan celah orofacial
mungkin memerlukan jenis rawatan dan perkhidmatan yang lain, seperti
penjagaan gigi atau ortodontik khas atau terapi pertuturan (Parker, 2010).
Dengan rawatan, kebanyakan kanak-kanak dengan celah bibir dan celah
langit-langit dapat menjalani kehidupan yang baik. Sesetengah kanak-kanak
dengan kecacatan orofacial mungkin mempunyai masalah dengan harga diri
jika mereka bimbang dengan perbezaan yang kelihatan antara dirinya dan
anak-anak lain. Sokongan moral dari ibu bapa boleh adalah penting dalam
memelihara keadaan psikologis kanak-kanak supaya tidak mengalami depresi
dan sebagainya (Yazdy, 2008).

27
K. PENCEGAHAN
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya bibir
sumbing adalah:
1. Menghindari Merokok
Ibu yang merokok mungkin merupakan faktor risiko lingkungan
terkait untuk terjadinya celah. Ibu yang menggunakan tembakau selama
kehamilan secara konsisten terkait dengan peningkatan risiko terjadinya
plate.
2. Menghindari Alkohol
Peminum alkohol berat selama kehamilan diketahui dapat
mempengaruhi tumbuh kembang embrio, dan langit-langit mulut sumbing
telah dijelaskan memiliki hubungan dengan terjadinya defek sebanyak
10% kasus pada sindrom alkohol fetal.
3. Nutrisi
Nutrisi yang adekuat dari ibu hamil saat konsepsi dan trimester I
kehamilan sangat penting bagi tumbuh kembang yang normal bagi fetus.
a. Asam Folat
Asam folat memiliki dua peran dalam menentukan hasil
kehamilan. Satu, ialah dalam proses maturasi janin jangka panjang
untuk mencegah terjadinya anemia dalam kehamilan lanjut. Kedua,
ialah dalam mencegah defek kongenital selama tumbuh kembang
embrionik.
b. Vitamin B6
Diketahui bahwa Vitamin B6 dapat melindungi terhadap
induksi terjadinya celah pada penelitian terhadap binatang. Namun
penelitian pada manusia masih kurang untuk membuktikan peran
vitamin B6 dalam terjadinya celah.
c. Vitamin A
Hale adalah peneliti pertama yang menemukan bahwa defisiensi
vitamin A pada ibu menyebabkan defek pada mata, celah orofasial,
dan defek kelahiran lainnya pada mamalia. Penelitian klinis pada

28
manusia menyatakan bahwa paparan fetus terhadap retinoid dan diet
tinggi vitamin A juga dapat menghasilkan kelainan kraniofasial yang
gawat.

29
BAB III
KESIMPULAN

Bibir sumbing (labiopalatoschizis) merupakan kongenital anomali yang


berupa adanya kelainan bentuk pada struktur wajah. Labiopalatoschizis merupakan
suatu kelainan yang dapat terjadi pada daerah mulut, celah bibir dan atau palatum
untuk menyatu selama perkembangan embrio, hal ini dapat disebabkan oleh faktor
genetik dan berbagai faktor lingkungan yang terjadi pada trimester pertama
kehamilan karena tidak terbentuknya suatu jaringan di daerah tersebut.
Bibir sumbing merupakan kelainan kongenital yang memiliki prevalensi
cukup tinggi. Bibir sumbing memiliki beberapa tingkat kerusakan sesuai organ
yang mengalami kecacatannya yang dapat menyebabkan terjadinya masalah asupan
makan, dental, mudah terjadinya infeksi di rongga hidung, tenggorokan dan tuba
eustachius (saluran penghubung telinga dan tenggorokan) serta gangguan bicara.
Pengelolaan bibir sumbing langitan merupakan pengelolaan terpadu
(multidisipliner) yang melibatkan tim yang terdiri dari dokter ahli anak, ahli bedah
atau bedah plastik, ahli THT, ahli ortodonsi yang akan mengikuti perkembangan
rahang dan giginya serta ahli logopedi yang mengawasi dan membimbing
kemampuan bicara. Kelainan ini sebaiknya secepat mungkin diperbaiki dengan
berbagai teknik operasi labioplasty seperti teknik Millard untuk dan teknik
palatoplasty seperti teknik Von Langenbeck, V-Y palatoplasty, Bardach two flap
serta Furlow Z Plasty.

30
DAFTAR PUSTAKA

Bagian Bedah FK-UGM. (2012). Penatalaksanaan Celah Bibir dan Langitan.


Yogyakarta : RSUP dr. Sardjito
Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD (2006). Head & Surgery-Otolaryngology 4th
ed. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins.
Fawzy, A. Bibir Sumbing. 2007. Available from http://.bedah-
plastik.com/cleft/html.
Ismaniati NA, Herdiana A (2007) Perawatan Ortodonsia pada Kelainan Celah Bibir
dan Langit-Langit. Indonesian Journal of Dentistry 14(2):117-122.
Karmacharya J. Cleft Lip Workout (online). Dalam: Medscape. Juli 2013.
Kartika, H.I.2014. Teknik Operasi Labiopalatoschizis. CDK-215/ vol. 41 no. 4, th.
2014.
Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, et al. Sumbing Bibir dan Langitan. Dalam :
Kapita Selekta. Jilid 2. Jakarta: Media Aeusculapius. FKUI. 2005
Muhammad AH. Cleft Lip and Palate :Etiological Factos, a Review. Indian J Adv
(serial online) 2012 June (diakses 25 Oktober 2013); 4(2): (8 layar).
Octavia Alfini. 2014. Perawatan Interseptif Dental Pasien Anak Penderita Cleft-
Palate. IDJ Vol.3 No.1: Yogyakarta
Parker SE, Mai CT, Canfield MA, Rickard R, Wang Y, Meyer RE, Anderson P,
Mason CA, Collins JS, Kirby RS, Correa A; for the National Birth Defects
Prevention Network. 2010. Updated national birth prevalence estimates for.
Sacharin, Rosa M. Text Book of Pediatric. Edisi ke – 12. Jakarta: EGC. 2002
Shah NS, Khalid M, Khan MS. (2011). A review of classification systems for cleft
lip and palate patients: Morphological classifications. Journal of Khyber
College of Dentistry, 1(2):95-99.
Snell RS. Perkembangan Wajah dan Kelainan Kongenital. Dalam : Anatomi Klinik
Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi ke-6. Jakarta: EGC. 2006. 714-716.
The Northern and Yorkshire Cleft Lip and Palate Service. Cleft Lip and Palate.
Dalam : Neonatal Network Handout. Januari 2013.

31
Widjoseno, Gardjito. Kelainan Bawaan Kepala dan Leher. Dalam : R
Sjamsuhidajat, W De Jong, editor. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2. Jakarta:
EGC; 2004. 344-345.
Wrayetal D (2003). Textbook of General and Oral Surgery. London: Churchill
Livingstone
Yazdy MM, Autry AR, Honein MA, Frias JL. 2008. Use of special education
services by children with orofacial clefts. Birth Defects Research (Part A):
Clinical and Molecular Teratology. 82:147-54.

32

Anda mungkin juga menyukai