Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

INFEKSI LUKA OPERASI (WOUND DEHISCENCE)

Pembimbing :

dr. Futiha Arabia, Sp.OG

Disusun Oleh :

Syarifah Alawiyah 2018730142

STASE OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SAYANG CIANJUR

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2022
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan referat
dengan tepat waktu yang berjudul “Infeksi Luka Operasi (Wound Dehiscence)”.
Laporan referat ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan
pendidikan kepaniteraan klinik stase obstetric dan ginekologi di RSUD Sayang
Cianjur.

Penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada dr. Futiha


Arabia, Sp.OG selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan
pikirannya untuk memberikan masukan bimbingan serta arahan kepada penulis.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada keluarga dan pihak lain yang telah
membantu dalam penyusunan laporan ini.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan. Semoga laporan
ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembacanya.

Cianjur, 15 September 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii

DAFTAR ISI ..........................................................................................................iii


BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................2

A. Definisi ......................................................................................................2

B. Epidemiologi .............................................................................................3

C. Etiologi dan Faktor Risiko.........................................................................3

D. Klasifikasi ..................................................................................................4
E. Fase Penyembuhan Luka ..........................................................................5

F. Patomekanisme ..........................................................................................8

G. Manifestasi Klinis......................................................................................8

H. Diagnosis ...................................................................................................9
I. Pemeriksaan Penunjang .............................................................................9
J. Tatalaksana .............................................................................................10

K. Prognosis .................................................................................................13

L. Komplikasi ..............................................................................................13

BAB III KESIMPULAN .......................................................................................15


DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................16

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Angka infeksi di Indonesia merupakan salah satu penyebab utama kematian


ibu. Angka kematian ibu yang disebabkan oleh infeksi post Sectio Caesarea (SC)
di Indonesia pada tahun 2013 mencapai 7,3%. Komplikasi utama persalinan SC
adalah kerusakan organ-organ seperti vesika urinaria dan uterus saat dilangsungkan
operasi, komplikasi anestesi, perdarahan, infeksi dan tromboemboli. Kematian ibu
lebih besar pada persalinan SC dibandingkan persalinan pervaginam. Infeksi
setelah persalinan penyebabnya adalah luka persalinan, metritis, tromboflebitis, dan
radang panggul (Winta Ika Pratiwi, 2016).

Penyembuhan luka adalah proses penggantian dan perbaikan fungsi


jaringan yang rusak. Penyembuhan luka melibatkan integrasi proses fisiologis.
Proses penyembuhan luka terdiri dari 3 fase yaitu inflamasi, proliferasi (epitelisasi)
dan maturase (remodeling). Penyembuhan luka pada fase inflamasi terjadi sampai
hari ke 5 pasca pembedahan, lama fase ini bisa singkat jika tidak terjadi infeksi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka antara lain faktor stress,
nutrisi/gizi, perfusi jaringan, gangguan sirkulasi, perubahan metabolisme,
mobilisasi dini, usia, obesitas, oksigenisasi, hematoma, sepsis, obat-obatan, gaya
hidup, vaskularisasi, anemia dan penyakit lain (Kurniasari, 2019).

Wound dehiscence merupakan kegagalan luka untuk menutup kembali.


Kebanyakan kasus dehiscences terjadi pada hari ke 4-14 setelah operasi, dengan
rata-rata pada hari ke 7 pasca operasi. Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis
dan inspeksi luka yang ditandai dengan adanya: luka terbuka, rusak atau robeknya
sambungan jahitan luka (tanpa penyembuhan), nyeri pada area luka, perdarahan
luka, adanya pus atau cairan pada luka yang terinfeksi. Terdapat dua tipe wound
dehiscence, yaitu parsial dan komplit. Pada partial dehiscence, hanya bagian
superfisial atau sebagian jaringan yang terbuka kembali sedangkan yang komplit
semua lapisan ketebalan luka terbuka sehingga memperlihatkan jaringan serta
organ dibawahnya yang dapat menonjol keluar (Ningrum dan Isabela, 2016).

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Dehisensi luka adalah terbukanya kembali luka operasi yang telah
dijahit secara primer dengan spontan pada daerah berongga maupun pada
daerah kompak. Dehisensi dapat berupa terlepasnya sebagian atau
keseluruhan jahitan pada kulit beserta lapisan jaringan lain. Pada daerah
berongga seringkali tampak jahitan kulit masih utuh namun jahitan pada
lapisan lebih dalam (lemak atau muskulatur) terlepas.
Dehisensi luka adalah terpisahnya lapisan-lapisan fascia pada luka
operasi, hal ini merupakan komplikasi tersering dari infeksi pembedahan
yang dalam sehingga proses penyembuhan luka mengalami kegagalan dan
sepanjang luka insisi operasi menjadi terbuka.

Tidak ada penyebab tunggal yang bertanggung jawab untuk


dehisensi luka, kombinasi dari beberapa faktor diyakini mempengaruhi
terjadinya dehisensi luka.

2
B. Epidemiologi
Tindakan bedah sesar menunjukkan tren yang semakin meningkat
dari tahun ke tahun. WHO melaporkan dari 137 negara, ditemukan bahwa
terdapat 69 negara (50,4%) yang mempunyai angka persalinan dengan
bedah sesar > 15%. Penelitian yang dilakukan di Bangladesh, menemukan
dalam 10 tahun terjadi 21.149 kelahiran dan 70,5% di antaranya melalui
persalinan bedah sesar. Persalinan bedah sesar meningkat dari 45,8%
menjadi 70,5% dalam 10 tahun, sedangkan kelahiran spontan berkurang dari
54,1% menjadi 29,4%. Persalinan dengan bedah sesar terus bertambah
jumlahnya di berbagai negara, termasuk di Indonesia, dengan sectio
caesarea rate sebesar 6% menurut WHO. Peningkatan jumlah persalinan
dengan bedah sesar berbanding lurus dengan peningkatan kejadian ILO
pasca-operasi. Penelitian lain di salah satu rumah sakit Australia,
menemukan kejadian ILO sebanyak 40 kasus (6,9%) dari 583 kasus bedah
sesar. Angka kejadian ILO pasca bedah sesar lebih tinggi ditemukan di
Inggris yaitu 11,2% dari 715 pasien dan 27% di antaranya ditemukan ketika
pasien masih dirawat di rumah sakit. Peningkatan kejadian ILO tersebut
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain diabetes melitus, nilai
American Society of Anesthesiologist (ASA), pemberian antibiotik
profilaksis, lama persalinan, lebar luka membran, lama monitoring
perawatan luka dan jumlah dari bedah sesar, persalinan emergensi, lama
operasi, kehilangan darah, keterampilan operasi, lama perawatan pasca
operasi, body mass index (BMI), dan teknik penutupan luka dengan metode
staples (Rivai et al., 2013).

C. Etiologi dan Faktor Resiko


Dehisensi luka operasi abdomen dapat diakibatkan oleh faktor
teknis, karakteristik pasien dan faktor lokalis. Faktor teknis meliputi
kegagalan teknik penutupan luka. Karakteristik pasien dan faktor lokalis
yang mempengaruhi dehisensi luka adalah malnutrisi, kadar albumin yang
rendah, masalah pernapasan dan infeksi luka. Selain faktor-faktor tersebut,
terdapat banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya dehisensi luka.

3
Faktor-faktor tersebut adalah anemia, jaundice, uremia, diabetes,
hypoalbuminemia, chronic obstructive pulmonary disease (COPD),
malignansi, penggunaan steroid, obesitas dan infeksi luka.
Banyak faktor menjadi penyebab terjadinya infeksi luka operasi.
Infeksi luka operasi disebabkan oleh kontaminasi bakteri dari tempat bedah,
yang dapat terjadi dengan berbagai cara diantaranya: kerusakan dinding
viskus berongga, bakteri flora normal pada kulit dan teknik bedah steril
yang buruk sehingga dapat menyebabkan kontaminasi eksogen dari tim
bedah, peralatan dan lingkungan sekitar. Keparahan infeksi dipengaruhi
oleh toksin yang dihasilkan oleh mikroorganisme dan kemampuan untuk
resisten terhadap fagosit dan juga perusakan intrasel. Pathogen penyebab
infeksi luka operasi pada umumnya adalah flora normal pada kulit, yaitu
organisme gram positif, Staphylococcus aureus dan Staphylococcus
epidermidis.
Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya infeksi luka operasi
terbagi menjadi faktor pasien dan faktor prosedur. Faktor pasien meliputi
jenis operasi, skor ASA (American Society of Anesthesiologists), usia, status
nutrisi, obesitas, status imunitas, hiperglikemia, hipotermia, hipoksia,
anemia, riwayat merokok dan perdarahan. Sedangkan faktor pembedahan
meliputi lama dirawat sebelum operasi dan durasi operasi (Sumarningsih,
Yasin dan Asdie, 2020).
Selain hal-hal yang disebutkan di atas, terdapat juga faktor etiologi
lain yang ikut menentukan kejadian infeksi, seperti penggunaan antibiotik
yang tidak tepat, debridemen yang tidak memadai dan pus yang tidak disalir.

D. Klasifikasi
Dehisensi luka dapat terbagi dalam dehisensi inkomplit atau parsial
dan dehisensi komplit. Dehisensi inkomplit bila hanya meliputi jaringan
kulit atau jaringan dibawahnya dan terkadang mencapai fascia. Sedangkan
dehisensi komplit dikatakan apabila peritoneum juga ikut terbuka.
Berdasarkan waktu terjadinya dehisensi luka operasi dapat dibagi
menjadi dua, yaitu dehisensi luka operasi dini dan dehisensi luka operasi

4
lambat. Dehisensi luka operasi dini adalah luka yang terjadi kurang dari 3
hari pasca operasi dan biasanya disebabkan oleh teknik atau cara penutupan
dinding perut yang tidak baik. Sedangkan dehisensi luka operasi lambat
adalah luka yang terjadi kurang lebih antara 7-12 hari pasca operasi. Pada
keadaan ini biasanya dihubungkan dengan usia, adanya infeksi, status gizi
dan faktor lainnya.

E. Fase Penyembuhan Luka


Cedera yang terjadi pada jaringan apapun di seluruh tubuh utamanya
yang berkaitan dengan diskontinuitas fisik jaringan tersebut, disebut sebagai
luka. Luka yang ada kemudian akan mengalami respon fisiologis untuk
kembali pada kondisi sehat yang disebut dengan proses penyembuhan luka.
Penyembuhan luka merupakan sebuah fenomena alami dan secara spontan
akan terjadi apabila terdapat luka pada jaringan dalam tubuh.

Penyembuhan luka dapat dibagi ke dalam tiga fase, yaitu fase


inflamasi, proliferasi, dan remodeling yang merupakan perupaan-ulang
jaringan.
1) Fase Inflamasi
Fase inflamasi berlangsung sejak terjadinya luka sampai kira-kira
hari kelima. Pembuluh darah yang terputus pada luka akan

5
menyebabkan perdarahan, dan tubuh berusaha menghentikannya
dengan vasokonstriksi, pengerutan ujung pembuluh yang putus
(retraksi), dan reaksi hemostasis. Sementara itu, terjadi reaksi inflamasi.
Setelah hemostasis, proses koagulasi akan mengaktifkan kaskade
komplemen. Dari kaskade ini akan dikeluarkan bradykinin dan
anafilaktoksin C3a dan C5a yang menyebabkan vasodilatasi dan
permeabilitas vaskular meningkat sehingga terjadi eksudasi,
penyebukan sel radang, disertai vasodilatasi setempat yang
menyebabkan udem dan pembengkakan. Tanda dan gejala klinis reaksi
radang menjelas, berupa warna kemerahan karena kapiler melebar
(rubor), rasa hangat (kalor), nyeri (dolor), dan pembengkakan (tumor).
Aktivitas selular yang terjadi yaitu pergerakan leukosit menembus
dinding pembuluh darah (diapedesis) menuju luka karena daya
kemotaksis. Leukosit mengeluarkan enzim hidrolitik yang membantu
mencerna bakteri dan kotoran luka. Monosit dan limfosit yang
kemudian muncul, ikut menghancurkan dan memakan kotoran luka dan
bakteri (fagositosis). Fase ini disebut juga fase lamban karena reaksi
pembentukan kolagen baru sedikit, dan luka hanya dipertautkan oleh
fibrin yang amat lemah. Monosit yang berubah menjadi makrofag ini
juga menyekresi bermacam-macam sitokin dan growth factor yang
dibutuhkan dalam proses penyembuhan luka.
2) Fase Proliferasi
Fase proliferasi disebut juga fase fibroplasia karena yang menonjol
adalah proses proliferasi fibroblast. Fase ini berlangsung dari akhir fase
inflamasi sampai kira-kira akhir minggu ketiga. Fibroblast berasal dari
sel mesenkim yang belum berdiferensiasi, menghasilkan
mukopolisakarida, asam amino glisin, dan prolin yang merupakan bahan
dasar kolagen serat yang akan mempertautkan tepi luka. Pada fase ini,
serat kolagen dibentuk dan dihancurkan kembali untuk menyesuaikan
dengan tegangan pada luka yang cenderung mengerut. Sifat ini, bersama
dengan sifat kontraktil miofibroblast, menyebabkan tarikan pada tepi
luka. Pada akhir fase ini, kekuatan regangan luka mencapai 25%

6
jaringan normal. Nantinya, dalam proses remodeling, kekuatan serat
kolagen bertambah karena ikatan intramolekul dan antarmolekul
menguat.
Pada fase fibroplasia ini, luka dipenuhi oleh sel radang, fibroblast,
dan kolagen, serta pembentukan pembuluh darah baru (angiogenesis),
membentuk jaringan berwarna kemerahan dengan permukaan berbenjol
halus yang terdiri atas sel basal terlepas dari dasarnya dan berpindah
mengisi permukaan luka. Tempatnya kemudian diisi oleh sel baru yang
terbentuk dari proses mitosis. Proses migrasi hanya terjadi ke arah yang
lebih rendah atau datar. Proses ini baru berhenti setelah epitel saling
menyentuh dan menutup seluruh permukaan luka. Dengan tertutupnya
permukaan luka, proses fibroplasia dengan pembentukan jaringan
granulasi juga akan berhenti dan mulailah proses pematangan dalam
fase remodeling.
3) Fase Remodeling
Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri atas penyerapan
kembali jaringan yang berlebih, pengerutan yang sesuai dengan gaya
gravitasi, dan akhirnya perupaan ulang jaringan yang baru. Fase ini
dapat berlangsung berbulan-bulan dan dinyatakan berakhir kalau semua
tanda radang sudah lenyap. Tubuh berusaha menormalkan kembali
semua yang menjadi abnormal karena proses penyembuhan. Udem dan
sel radang diserap, sel muda menjadi matang, kapiler baru menutup dan
diserap kembali, kolagen yang berlebih diserap dan sisanya mengerut
sesuai dengan besarnya regangan. Selama proses ini berlangsung,
dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis, dan lentur, serta mudah
digerakkan dari dasar. Pada akhir fase ini, perupaan luka kulit mampu
menahan regangan kira-kira 80% kemampuan kulit normal. Hal ini
tercapai kira-kira 3-6 bulan setelah penyembuhan.

7
F. Patomekanisme
Invasi bakteri pada luka dapat terjadi pada saat trauma, selama
pembedahan atau setelah pembedahan, dimana gejala dari infeksi sering
muncul dalam 2-7 hari setelah pembedahan yang ditandai dengan adanya
purulent, peningkatan drainase, nyeri, kemerahan dan bengkak di sekeliling
luka, peningkatan suhu, dan peningkatan jumlah sel darah putih.
Infeksi luka operasi dianggap sebagai faktor utama yang
menyebabkan terjadinya wound dehiscence. Adanya bakteri menyebabkan
influx dan aktivasi neutrophil serta meningkatkan tingkat degradasi matrix
metalloproteinases (MMPs). Tidak adanya penutupan jaringan inhibitor dari
MMPs, menimbulkan degradasi pada luka. Terlepasnya endotoksin oleh
bakteri menyebabkan produksi kolagenase, yaitu degradasi serat kolagen.
Infeksi menyebabkan memanjangnya fase inflamasi, dan berdampak negatif
terhadap deposisi kolagen serta aktivitas fibroblast. Adanya bakteri pada
jaringan yang sedang mengalami proses penyembuhan memengaruhi semua
proses penyembuhan (Ningrum, Mediani dan H.P, 2017).

G. Manifestasi Klinis
Dehisensi luka seringkali terjadi tanpa gejala khas, biasanya
penderita sering merasa ada jaringan dari dalam rongga abdomen yang
bergerak keluar disertai keluarnya cairan serosa berwarna merah muda dari
luka operasi paada 85% kasus. Pada pemeriksaan inspeksi didapatkan luka
operasi yang terbuka dan terdapat pula tanda-tanda infeksi umum seperti
adanya rasa nyeri, edema dan hiperemis pada daerah sekitar luka operasi,
serta dapat pula terjadinya pus atau nanah yang keluar dari luka operasi.
Biasanya dehisensi luka operasi didahului oleh infeksi yang secara
klinis terjadi pada hari ke 4-9 pasca operasi. Penderita datang dengan klinis
febris, hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan jumlah leukosit yang
sangat tinggi dan pemeriksaan jaringan di sekitar luka operasi didapatkan
reaksi radang berupa kemerahan, hangat, pembengkakan, nyeri, fluktuasi
dan pus.

8
H. Diagnosis
Kriteria diagnosis mengacu pada Guideline for prevention of
surgical site infection yang dikeluarkan oleh Centers for Disease Control
and Prevention (CDC) National Nosocomial Infection Surveillance System
(NNIS) tahun 1999. Infeksi luka operasi adalah infeksi pada luka bedah
yang didapatkan selama pasien dirawat di rumah sakit sampai dengan 30
hari pasca pembedahan. Infeksi luka operasi diklasifikasikan menjadi tiga
jenis, yaitu superficial incisional SSI, deep incisional SSI dan organ/space
infection.

I. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan untuk menunjang pemeriksaan pada kasus dehisensi
luka, diantaranya:
1) Laboratorium
Darah lengkap dapat menunjukkan anemia hiperkromik (penyakit
aktif umum terjadi sehubungan dengan kehilangan darah dan
kekurangan besi), leukositosis dapat terjadi, khususnya pada kasus berat
atau komplikasi dan pada pasien dengan terapi steroid.
2) Rontgen
Foto polos abdomen untuk mendeteksi adanya udara pada usus dan
untuk mendeteksi adanya ileus.
3) EKG
Terjadi peningkatan nadi dan takikardi akibat adanya nyeri.
4) CT scan
Untuk medeteksi adanya obstruksi usus lebih detail dan
mengidentifikasi terjadinya nekrosis pada usus.
5) Tes BGA (Darah lengkap)
Hemoglobin, serum protein, gula darah, serum kreatinin dan urea.
Hitung darah lengkap dan serum elektrolit dapat menunjukkan
hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit), peningkatan sel darah putih
dan ketidakseimbangan elektrolit.

9
6) CT scan/MRI
Untuk menggambarkan atau mengetahui keadaan obstruksi usus
dengan lebih jelas.
7) Sinar X abdomen
Sinar X abdomen menunnjukkan abnormalnya tinggi kadar gas
dalam usus atau terjadinya obstruksi usus.

J. Tatalaksana
Penanganan dehisensi luka secara umum dibedakan menjadi
penanganan operatif dan penanganan non operatif. Tergantung atas keadaan
umum penderita (Ousey et al., 2018)

10
1) Penatalaksanaan Non-Operatif/Konservatif
Penanganan non operatif diberikan kepada penderita yang sangat
tidak stabil dan tidak mengalami eviserasi. Hal ini dilakukan dengan
penderita berbaring di tempat tidur dan menutup luka operasi dengan
kassa steril atau pakaian khusus steril. Penggunaan jahitan penguat
abdominal dapat dipertimbangkan untuk mengurangi perburukan luka
operasi terbuka.
Selain perawatan luka yang baik, diberikan nutrisi yang adekuat
untuk mempercepat penutupan kembali luka operasi. Diberikan pula
antibiotic yang memadai untuk mencegah perburukan dehisensi luka.
2) Penatalaksanaan Operatif
Penanganan operatif dilakukan pada sebagian besar penderita
dehisensi. Ada beberapa jenis operasi yang dilakukan pada dehisensi
luka yang dilakukan antara lain rehecting atau penjahitan ulang luka
operasi yang terbuka, mesh repair, vacuum pack, abdominal packing,
dan Bogota bag repair.
Jenis operasi rehecting atau penjahitan ulang paling sering dilakukan
hingga saat ini. Tindakan ini dilakukan pada pasien dengan keadaan
stabil, dan penyebab terbukanya luka operasi murni karena kesalahan
teknik penjahitan.
Pada luka yang sudah terkontaminasi dilakukan tindakan
debridement terlebih dahulu sebelum penutupan kembali luka operasi.
Dalam perencanaan jahitan ulang perlu dilakukan pemeriksaan yang
baik seperti laboratorium lengkap dan foto thoraks. Selain penjahitan
ulang dilakukan pula tindakan debridement pada luka.
Tindakan awal yang dilakukan adalah eksplorasi melalui dehisensi
luka jahitan secara berhat-hati dan memperlebar sayatan jahitan lalu
mengidentifikasi sumber terjadinya dehisensi jahitan. Tindakan
eksplorasi dilakukan dalam 48-72 jam sejak diagnosis dehisensi luka
operasi ditegakkan. Teknik yang sering digunakan adalah dengan
melepas jahitan lama dan menjahit kembali luka operasi dengan cara

11
satu lapisan sekaligus. Pemberian antibiotic sebelum operasi dilakukan,
membebaskan omentum dan usus di sekitar luka. Penjahitan ulang luka
operasi dilakukan secara dalam, yaitu dengan menjahit seluruh lapisan
abdomen menjadi satu lapis. Pastikan mengambil jaringan cukup dalam
dan hindari tekanan berlebihan pada luka. Tutup kulit secara erat dan
dapat dipertimbangkan penggunaan drain luka intraabdominal. Jika
terdapat tanda-tanda sepsis akibat luka, buka kembali jahitan luka
operasi dan lakukan perawatan luka operasi secara terbuka dan pastikan
kelembaban jaringan terjaga.
Prinsip pemilihan benang untuk penjahitan ulang adalah benang
monofilament nonabsorbable yang besar. Penjahitan dengan teknik
terputus sekurangnya 3 cm dari tepi luka dan jarak maksimal antar
jahitan 3 cm, baik pada jahitan dalam ataupun pada kulit. Jahitan
penguat dengan karet atau tabung plastic lunak (5-6 cm) dapat
dipertimbangkan guna mengurangi erosi pada kulit. Jangan mengikat
terlalu erat. Jahitan penguat luar diangkat setidaknya setelah 3 minggu.
Selain re-hecting, banyak teknik yang dilakukan untuk menutup
dehisensi luka secara sementara maupun permanen. Metode yang biasa
dilakukan antara lain mesh repair, yaitu penutupan luka dengan bahan
sintetis yaitu mesh yang berbentuk semacam kasa halus elastis yang
berfungsi sebagai pelapis pada jaringan yang terbuka tersebut dan
bersifat diserap oleh tubuh. Namun mesh repair menimbulkan angka
komplikasi yang cukup tinggi. Dilaporkan terdapat sekitar 80% pasien
dengan mesh repair mengalami komplikasi dengan 23% mengalami
enteric fistulation.
Selain itu digunakan pula vacuum pack. Teknik ini menggunakan
sponge steril untuk menutup luka operasi yang terbuka kembali setelah
itu ditutup dengan vacuum bag dengan sambungan semacam suction
dibagian bawahnya. Teknik lain yang digunakan adalah Bagota bag
teknik ini dilakukan pada dehisensi yang telah mengalami eviserasi.
Bogota bag adalah kantung dengan bahan dasar plastik steril yang
merupakan kantong irigasi genitourin dengna daya tampung 3 liter yang

12
digunakan untuk menutup luka operasi yang terbuka kembali. Plastic ini
dijahit ke kulit atau fascia pada dinding abdomen anterior.

K. Prognosis
Dehisensi luka operasi merupakan komplikasi operasi pembedahan
yang jarang, tetapi sering menyebabkan kematian. Insidennya sekitar 0,2-
0,6% dengan angka mortalitas cukup tinggi, mencapai 10-40% kasus yang
disebabkan luka operasi inadekuat.

L. Komplikasi
Infeksi dan wound dehiscence merupakan komplikasi dari
penyembuhan suatu luka yang salah. Biasanya paling sering wound
dehiscence sendiri didahului oleh suatu infeksi luka operasi berkelanjutan
sehingga penyembuhan luka terganggu dan infeksi hanya merupakan salah
satu faktor penyebab wound dehiscence selain faktor local, sistemik dan
teknik. Walaupun kadang akibat infeksi kecil dapat diresorbsi sendiri oleh
tubuh oleh karena antibody yang kuat. Apabila wound dehiscence telah
terjadi maka infeksi akan terus berlanjut dan menjadikan komplikasi makin
memburuk apabila tidak segera ditangani dan akan berakhir menjadi sepsis.
Pathogenesis infeksi luka operasi diawali dimana tempat insisi
operasi terkontaminasi, yang dapat dibuktikan dengan pemeriksaan kultur.
Akan tetapi tidak selalu daerah insisi operasi yang terkontaminasi kuman
pathogen menjadi infeksi. Kejadian infeksi sangat ditentukan oleh
resultante dari virulensi bakteri atau kemampuannya untuk menyebabkan
sakit, kekuatan dari sistem imun dan adanya biomaterial pada daerah
(lapangan) operasi seperti benang, drain, staples atau implant.
Kejadian infeksi juga akan meningkat jika jumlah bakteri
(mikroorganisme) meningkat menjadi 1 juta/gram jaringan.
Mikroorganisme juga akan lebih mudah untuk berkembang jika imunitas
tubuh turun. Imunitas tubuh penderita akan terganggu jika terdapat benda
asing pada daerah operasi, sehingga benda asing akan mempermudah
mikroorganisme untuk tumbuh dan berkembang. Sebagai contoh; 100

13
stafilokokus/gram jaringan dapat menyebabkan infeksi jika menggunakan
benang sutera untuk menutup luka operasi.
Bakteri paling sering menjadi penyebab infeksi luka operasi adalah
streptokokus B hemolitikus grup A diikuti Streptococcus B hemoliticus
grup B. Ini sebenarnya dapat dicegah dengan pemberian antibiotic jenis
penisilin generasi pertama sefalosporin pra bedah. Bila infeksi terus
berlanjut diserta wound dehiscence maka tidak jarang ada kuman penyerta
lainnya, misal Staphilococcus (25% kasus) dan bakteri vagina gram positif
dan gram negatif (75% kasus), sangat diperlukan suatu drainase terhadap
luka. Antibiotic profilaksis dibutuhkan, debridement, ganti balut sesering
mungkin sehingga kebersihan luka terjamin dan walaupun tetap
kontroverisal dapat digunakan larutan hydrogen peroksida, iodin, atau
dacons.
Apabila infeksi luka operasi dapat ditangani maka kelanjutan dari
infeksi dapat dicegah sehingga tidak terjadi sepsis yang pada akhirnya dapat
menyebabkan suatu kematian.

14
BAB III

KESIMPULAN

Wound dehiscence adalah salah satu komplikasi luka operasi yang


terinfeksi. Komplikasi lain penyembuhan luka dipindah; yang lambat, morbiditas
dan mortalitas yang meningkat, serta lama rawat yang berkepanjangan.
Penyembuhan luka sangat buruk dan luka terbuka kembali. Luka menetap, meluas
dan penyembuhan menjadi lebih lama serta risiko infeksi meningkat. Kata lain dari
dehiscence adalah kegagalan mekanik penyembuhan luka insisi. Insisi pada operasi
menstimulasi proses penyembuhan yang melalui empat fase berbeda dan
berkesinambungan yaitu hemostasis, inflamasi, proliferasi dan maturasi.

Luka yang sering terjadi diarea kebidanan yaitu, luka episiotomi, luka bedah
sectio cesarean, luka bedah abdomen karena kasus ginekologi atau luka akibat
komplikasi proses persalinan. Penatalaksanaan perawatan luka bedah kebidanan
upaya pencegahan infeksi pada pasien post sectio cesarean yaitu mengetahui
klasifikasi jenis luka, komplikasi luka, proses penyembuhan luka, tipe
penyembuhan luka, faktor yang mempengaruhi penyembuhan dan perawatan luka.
Perawatan luka pada umumnya dilakukan dengan mengganti balutan setiap hari dan
membersihkan luka memakai cairan antiseptik, kemudian dibiarkan kering. Pada
perkembangannya perawatan luka menunjukkan bahwa lingkungan yang lembab
lebih baik daripada lingkungan kering.

15
DAFTAR PUSTAKA

Kurniasari, D. (2019) “Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Penyembuhan


Luka Post Operasi Sectio Caesarea,” Jurnal Kebidanan, 5(1), hal. 7–15.

Ningrum, T. P. dan Isabela, C. (2016) “Gambaran Karakteristik Pasien Wound


Dehiscene Menurut Variabel Rotterdam di RSUD Kota Bandung,” Jurnal
Ilmu Keperawatan, IV(2), hal. 111–115.

Ningrum, T. P., Mediani, H. S. dan H.P, C. I. (2017) “Faktor-Faktor yang


Berhubungan dengan Kejadian Wound Dehiscence pada Pasien Post
Laparatomi,” Jurnal Keperawatan Padjadjaran, 5(2). doi:
10.24198/jkp.v5i2.455.

Ousey, K. et al. (2018) “Surgical wound dehiscence: improving prevention and


outcomes,” World Union of Wound Healing Societies. Consensus Document,
hal. 4. Tersedia pada: https://pure.hud.ac.uk/en/publications/surgical-wound-
dehiscence-improving-prevention-and-outcomes.

Rivai, F. et al. (2013) “Determinan Infeksi Luka Operasi Pascabedah Sesar,” Jurnal
Kesehatan Masyarakat Nasionall, 8, hal. 1–6.

Sumarningsih, P., Yasin, N. M. dan Asdie, R. H. (2020) “Pengaruh faktor resiko


terhadap kejadian ILO pada pasien bedah obstetri dan ginekologi di RSUP Dr
. Sardjito Yogyakarta,” Majalah Farmaseutik, 16(1), hal. 43–49. doi:
10.22146/farmaseutik.v16i1.47986.

Winta Ika Pratiwi (2016) “Upaya peningkatan istirahat tidur pada ibu post sectio
caesarea di RSU Assalam Gemolong.”

16

Anda mungkin juga menyukai