Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

DEHISENSI LUKA

OLEH :
IRFAN MARSUQ WAHYU RIYANTO
170070301111063
KELOMPOK 1B REGULER

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
1. DEFINISI
a. Luka dan penanganannya merupakan hal yang mendasar dalam praktek bedah.
Setiap intervensi bedah akan menghasilkan sebuah luka. Luka adalah suatu
gangguan dari kondisi normal pada kulit. Luka adalah kerusakan kontinyuitas kulit,
mukosa membran dan tulang atau organ tubuh lain. Tugas seorang ahli bedah
adalah meminimalisir efek samping dari luka yang dibuat, menyingkirkan atau
memperbaiki struktur yang rusak dan mempercepat proses penyembuhan luka untuk
mengembalikan fungsi.
b. Dehisensi luka adalah terbukanya kembali luka operasi pada daerah berongga
maupun pada daerah kompak. Dehisensi dapat berupa terlepasnya sebagian atau
keseluruhan jahitan pada kulit beserta lapisan jaringan lain. Pada daerah berongga
seringkali tampak jahitan kulit masih utuh namun jahitan pada lapisan lebih dalam
(lemak atau muskulatur) terlepas. Pada daerah kompak seperti ekstremitas jahitan
kulit dapat terbuka sebagian atau keseluruhan dengan disertai jahitan pada jaringan
subkutan sampai muskulatur.
c. Dehisensi luka adalah terpisahnya lapisan-lapisan fascia pada luka operasi, hal ini
merupakan komplikasi tersering dari infeksi pembedahan yang dalam. Tidak ada
penyebab tunggal yang bertanggung jawab untuk dehisensi luka, kombinasi dari
beberapa faktor diyakini mempengaruhi terjadinya dehisensi luka. Jika sistem
pendukung penyembuhan luka gagal beroperasi sebelum terjadinya penyatuan
fungsional dan struktural, maka tepi luka akan hancur. Dehisensi luka sering terjadi
pada luka-luka post operasi abdomen.
d. Dehisensi luka operasi abdomen adalah komplikasi berat dari luka post operasi yang
sering terjadi. Dehisensi luka operasi abdomen banyak dikaitkan dengan infeksi yang
terjadi pada luka post operasi. Hal ini senada dengan penelitian List, Semmelweis,
Ehrlich, Flemming dan Florey, dimana mereka menyadari bahwa infeksi dari bakteri
patogenlah yang sebenarnya memperlambat proses penyembuhan luka hingga
dapat berakibat pada sepsis.
e. Burst abdomen atau abdominal wound dehiscence adalah terbukanya tepi-tepi luka
sehingga menyebabkan evirasi atau pengeluaran isi organ-organ dalam seperti usus,
hal ini merupakan salah satu komplikasi post operasi dari penutupan luka di dalam
perut.
f. Abdominal wound dehiscence dan hernia insisional adalah bagian yang sama dari
proses kegagalan penyembuhan luka operasi. Abdominal wound dehiscence terjadi
sebelum penyembuhan kulit.
2. KLASIFIKASI
Dehisensi dapat dibagi dalam dehisensi inkomplit atau parsial dan dehisensi komplit.
Dehisensi disebut inkomplit bila hanya meliputi jaringan kulit atau jaringan dibawahnya
dan terkadang mencapai jaringan fascia. Dehisensi dikatakan komplit apabila
peritoneum juga ikut terbuka.
Berdasarkan waktu terjadinya dehisensi luka operasi dapat dibagi menjadi dua:
a. Dehisensi luka operasi dini : terjadi kurang dari 3 hari pasca operasi yang biasanya
disebabkan oleh teknik atau cara penutupan dinding perut yang tidak baik.
b. Dehisensi luka operasi lambat : terjadi kurang lebih antara 7 hari sampai 12 hari
paska operasi. Pada keadaan ini biasanya dihubungkan dengan usia, adanya infeksi,
status gizi dan faktor lainnya (Sjamsudidajat R, 2005)

3. FAKTOR PENYEMBUHAN LUKA


Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penyembuhan luka dapat digolongkan ke
dalam tiga kelompok besar, yaitu faktor lokal, faktor sistemik, dan faktor teknik. Dilihat
pada tabel di bawah, dari masing-masing kelompok berhubungan dengan efek
penyembuhan luka, masing-masing dapat menyebabkan disrupsi, nekrosis, reduksi lokal
kolagen, dan inhibisi formasi kolagen baru atau kombinasi dari ini semua. Keluaran
kegagalan penyembuhan luka dapat berupa infeksi minor sampai tidak terjadi
penyembuhan sama sekali, dan mayor wound dehiscence.

a. Faktor lokal
 Iskemia
Iskemia adalah kurangnya suplay darah (nutrisi dan oksigenasi) ke jaringan luka
dapat berupa :
Inadekuatnya aliran darah ke jaringan luka akibat misalnya ligasi, peripheral
vascular disease, atau hipotensi generalisata.
Sudah ada jaringan yang nekrotik pada tepi luka sebelumnya
Terlalu rapat pada penutupan luka sehingga kapiler rusak pada tepi luka.
Regangan yang kuat pada tepi luka sehingga mengganggu merapatnya
kontraksi luka.
Pada kejadian tunggal atau kombinasi dari ini semua menyebabkan penurunan
aliran darah pada tepi luka. Menurunkan leukosit dan fibroblas akibat nutrisi dan
oksigenasi berkurang.
 Ketegangan luka
Disini diharapkan aproksimasi luka yang baik sehingga posisi tepi luka bersatu
dengan baik sehingga memercepat proses kolagenasi. Luka pada area gerak
yang banyak akan sulit penyembuhan lukanya. Ketegangan dalam penjahitan
luka juga hendaknya diperhatikan, terlalu tegang akan menimbulkan iskemia.
Menarik terlalu keluar penjahitan dapat menyebabkan dead space didalam.
Untuk mengantisipasi ini semua dapat digunakan grafts dan flaps (pada jaringan
kulit yang banyak hilang), atau post operative splinting.
 Infeksi
Dengan adanya rongga (dead space) di dalam luka operasi dapat menyebabkan
terkumpulnya darah (hematoma) dan cairan serous lainnya yang merupakan
kultur media yang baik untuk bakteri dan merupakan predisposisi terjadinya
infeksi (Surgical Site Infection) . Akibat hematoma juga hemostasis tidak adekuat,
terjadi perdarahan, akibat relaksasi pembuluh darah, perdarahan lambat pada
infeksi luka atau obat-obat antikoagulasi atau disseminated intravascular
coaghulaphaty merupakan penyebab utama perdarahan. Selain itu bahan-bahan
dari benang operasi dapat juga menjadi predisposisi terjadinya infeksi, juga
persiapan pra bedah yang tidak adekuat misalnya pemberian antibiotika
profilaksis.
 Trauma Lokal
Kerusakan jaringan tempat bekas operasi terhadap suatu benturan dapat
menyebabkan iskemik parsial atau total. Hal ini menyebabkan respon radang
yang hampir sama dengan sepsis dimana mengganggu proses kolagenesis. Jika
demikian maka debridement diperlukan.
 Faktor Penyakit Kronik Jaringan
Pada keadaan seperti limfedema kronik, iskemik kronik, hipertensi venosa dan
jaringan parut yang luas dapat menyebabkan penyembuhan luka yang buruk.
Keadaan ini dapat dikurangi dengan teknik asidosis dan mengoptimalkan faktor-
faktor lainnya.
 Irradiasi
Radiasi pra operasi pada penyakit-penyakit keganasan (kanker) dapat
menyebabkan jeleknya penyembuhan luka operasi disebabkan oleh terjadinya
fibrosis maupun mikroangiopati. Radioterapi setelah operasi juga menigkatkan
kejadian kegagalan peneymbuhan luka. Pada keadaan ini pembentukan
fibroblast dihambat atau terganggu.
b. Faktor sistemik
Pada keadaan terjadinya gangguan sistemik maka penyembuhan luka terjadi
kegagalan sintesis kolagen dan fungsi imun terganggu. Faktor-faktor sistemik itu
antara lain :
 Usia/kondisi medis misal : diabetes, gagal ginjal, gagal fungsi hati, gagal nafas,
imunodefisiensi, obesitas
 Anemia
 Pasien dengan kondisi hipoksia
 Kekurangan berat badan/malnutrisi (missal : vit C, Zn, vit A, protein)
 Keganasan
 Penggunaan steroid.
Pada ulkus diabetikum, infeksi mudah terjadi sehingga memacu kerusakan
granulositik dan kemotaksis. Kelainan lainnya yang berhubunan dengan ulkus
diabetikum seperti memanjangnya proses inflamasi, terganggunya
neovaskulaskularisasi, penurunan sintesis kolagen, peningkatan proteinase serta
defek pada fungsi makrofag.
Keloid dan hipertrofi jaringan parut ditandai dengan akumulasi kolagen yang
berlebihan dalam luka adalah contoh gangguan fibroproliferasi. Pada keadaan ini,
abnormalitas dalam migarasi sel dan proliferasi, inflamasi, sintesis dan sekresi
protein matriks ekstraseluler dan sitokin, dan remodeling matriks luka terganggu.
Secara sistemis juga sebagai tambahan abnormalitas antar epidermis dan mesenkim
serta regulasi gen (mutasi p53) sekarang ini telah diusulkan untuk membantu
menjelaskan penyembuhan luka yang abnormal.
c. Faktor teknikal
Faktor ini sangat tergantung pada individual sebgai praktisi kliknik. Mencakup teknik
pembedahan dan kemampuan evaluasi klinik selama perawatan luka. Semuanya itu
untuk mengurangi terjadinya infeksi luka operasi yang bila berlajnut dapat
menyebabkan terjadinya wound dehiscence. Tindakan asepsis antiseptic sebelum
operasi memang perlu dilakukan.
Dari penelitian Moen et al (2002) yaitu membandingkan pemakaian povidone iodine
spray dengan teknik tradisional scrub-paints menunjukkan bahwa pemakaian
povidone iodine spray sama efektifnya dengan cara tradisional yang sering
digunakan. Pemakaian antibiotik profilaksis dan pasca operasi masih kontroversial.
Antibiotik profilaksis pada bedah Caesar diberikan segera setelah tali pusat diklem.
Adapun kriteria antibiotic profilaksis untuk pembedahan adalah sebagai berikut:
 Mempunyai spectrum yang sempit dan hanya untuk melawan kuman pathogen
yang menyebabkan infeksi luka operasional.
 Konsentrasi antimikrobanya cukup adekuat pada serum dan jaringan tempat
dilakukan operasi.
 Dapat diberikan secara bolus saat dilakukan anesthesia.
 Tidak menyebabkan efek sampaing pada pemberian jangka pendek.
 Tidak menyebabkan alergi
 Tidak meninmbulkan interaksi dengan obat-obat yang diiberikan perioperatif.
 Tidak menyebabkan resistensi kuman pada pasien.
 Antibiotik yang digunakan utnuk profilasis sebaiknya bukan antibiotik untuk
pilihan terapi infeksi.
 Tidak mahal
 Konsentrasi antimikroba harus tetap dipertahankan pada level terapeutik
selama operasi sampai beberapa jam setelah menutup luka operasi.
 Dosis tunggal
 Jenis antibiotika harus sesuai dengan pola kuman terbanyak yang
menyebabkan infeksi luka operasi.
Jenis insisi dinding abdomen juga mempengaruhi terjadinya wound dehiscence,
insisi yang sering digunakan adalah longitudinal (midline=sagital) dan transversal
(pfannenstiel, Maylard, supraumbilikal). Insisi transversal baik untuk kosmetik.
Berdasarkan penelitian, insisi transversal 30 kali lebih kuat dari insisi longitudianal.
Menurut penelitian Mowat dan Bonnar, insisi longitudinal lebih menyebabkan wound
dehiscence delapan kali dibanding insisi transversal setelah bedah Caesar. Keadaan
ini disebabkan di daerah linea mediana secara anatomis kurang vasskularisasinya
disertai fascia (muscle sheff) lebih tebal, dan dari segi teknik untuk aproksimasi insisi
kurang baik. Menurut Thompson, Tollefson dan Helmkamp angka kejadian eviserasi
3-5 kali lebih besar dan hernia 2-3 kali lebih sering terjadi pada insisi longitudinal.
Sementara itu penelitian lain mengindikasikan jenis jahitan pada luka yang kurang
baik sehingga terjadinya wound dehiscence tersebut. Penggunaan low molecular
weight heparin sebagai profilaksis terjadinya trombolik vena dan menurunkan risiko
terjadinya hematom telah diteliti oleh Burrows et al dan juga Wijk FH et al, sehingga
mengurangi terjadinya penyembuhan luka yang kurang baik.

4. ETIOLOGI
Faktor penyebab dehisensi luka operasi berdasarkan mekanisme kerjanya dibedakan
atas tiga yaitu:
a. Faktor mekanik : Adanya tekanan dapat menyebabkan jahitan jaringan semakin
meregang dan mempengaruhi penyembuhan luka operasi. Faktor mekanik tersebut
antara lain batuk-batuk yang berlebihan, ileus obstruktif dan hematom serta teknik
operasi yang kurang.
b. Faktor metabolik : Hipoalbuminemia, diabetes mellitus, anemia, gangguan
keseimbangan elektrolit serta defisiensi vitamin dapat mempengaruhi proses
penyembuhan luka.
c. Faktor infeksi: Semua faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi luka operasi akan
meningkatkan terjadinya dehisensi luka operasi. Secara klinis biasanya terjadi pada
hari ke 6 - 9 paska operasi dengan gejala suhu badan yang meningkat disertai tanda
peradangan disekitar luka.
Menurut National Nosocomial Infection Surveilance System, luka operasi dibedakan
menjadi luka bersih, bersih terkontaminasi, terkontaminasi dan kotor. Infeksi luka
jahitan yang terjadi dini ditandai dengan peningkatan temperatur dan terjadinya
selulitis dalam waktu 48 jam setelah penjahitan. Dehisensi luka operasi akan segera
terjadi jika infeksi tidak diatasi. Infeksi dini seringkali disebkan oleh streptococcus B
haemolyticus. Sedangkan pada infeksi lanjut seringkali tidak disertai peningkatan
temperatur dan pembentukan pus, dan terutama disebabkan oleh Staphylococcus
aureus.
Dehisensi luka operasi abdomen dapat diakibatkan oleh faktor teknis, karakteristik
pasien dan faktor lokalis. Faktor teknis meliputi kegagalan teknik penutupan luka.
Karakteristik pasien dan faktor lokalis yang mempengaruhi dehisensi luka adalah
malnutrisi, kadar albumin yang rendah, masalah pernapasan dan infeksi luka. Selain
faktor-faktor tersebut, terdapat banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya dehisensi
luka. Faktor-faktor tersebut adalah anemia, jaundice, uremia, diabetes,
hipoalbuminemia, chronic obstructive pulmonary disease (COPD), malignansi,
penggunaan steroid, obesitas, dan infeksi luka. Afzal S dan Bashir M.M mengemukakan
hasil penelitiannya mengenai faktor resiko dehisensi luka bahwa sepsis luka merupakan
satu-satunya faktor resiko yang terpenting dalam terjadinya dehisensi luka. Faktor resiko
lainnya hanya berkontribusi dalam proses terjadinya infeksi. Muhammad Ayub Khan dkk
dalam penelitiannya menyangkut masalah dehisensi luka pada anak-anak juga
menyatakan bahwa dehisensi luka seringkali terjadi pada pasien dengan infeksi luka
abdomen, peritonitis dan malnutrisi.
Etiologi dan faktor risiko yang dapat menyebabkan wound dehiscence antara lain:
a. Pre operasi
 Batuk
 Anemia
 Malnutrisi
 Hypoalbumin
b. Operasi
 Tipe insisi
 Jahitan luka
c. Post operasi
 Batuk
 Distensi abdominal
 Ascites
 Vomiting
 Kebocoran usus
 Infeksi
 Hematoma
 Ketidakseimbangan elektrolit
 Jaundice

5. FAKTOR RISIKO
Faktor risiko terjadinya wound dehiscence dibedakan atas faktor preoperasi yang
berhubungan erat dengan kondisi dan karakteristik penderita, faktor operasi yang
berhubungan dengan jenis insisi dan tehnik penjahitan, serta faktor pascaoperasi
(Webster et al, 2003).Faktor risiko preoperasi meliputi jenis kelamin (laki-laki lebih
rentandibandingkan wanita), usia lanjut (>50 tahun), operasi emergensi,
obesitas,diabetes mellitus, gagal ginjal, anemia, malnutrisi, terapi radiasi dan
kemoterapi, keganasan, sepsis, penyakit paru obstruktif serta pemakaian preparat
kortikosteroid jangka panjang (Afzal, 2008; Spiloitis et al , 2009;Makela, 2005; Singh,
2009).Faktor risiko operasi antara lain :
a. Jenis insisi : Tehnik insisi mediana lebih rentan untuk terbuka daripadatransversal
dikarenakan arah insisinya yang non anatomik, sehingga arah kontraksi otot-otot
dinding perut berlawanan dengan arah insisisehingga akan meregangkan jahitan
operasi.
b. Cara penjahitan : Pemilihan tehnik penutupan secara lapis demi lapis juga berperan
dalam terjadinya komplikasi ini. Tehnik ini di satu sisi memiliki keuntungan yaitu
mengurangi kemungkinan perlengketan jaringan, namun di sisi lain mengurangi
efektifitas dan kekuatannya(Afzal, 2008; Spiloitis et al, 2009; Makela J, 2005).
c. Tehnik penjahitan : tekhnik penjaitan terputus cenderung lebih amandaripada tekhnik
penjaitan kontinyu.
d. Jenis benang : Pemakaian benang chromic catgut juga dapat menjadisuatu
perhatian khusus, dikarenakan kecepatan penyerapannya oleh tubuh sering kali
tidak dapat diperkirakan (Afzal, 2008; Spiloitis et al,2009; Makela J, 2005)
Sedangkan faktor-faktor pascaoperasi yang dapat meningkatkanterjadinya dehisensi
luka antara lain:
a. Peningkatan tekanan intra abdomen misalnya batuk, muntah, ileusdan retensio urin.
Tekanan intra abdominal yang tinggi akan menekan otot-otot dinding abdomen
sehingga akan teregang. Regangan otot dinding abdomen iniah yang akan
menyebabkan berkurangnya kekuatan jahitan bahkan pada kasus yang berat akan
menyebabkan putusnya benang pada jahitan luka operasi dan keluarnya jaringan
dalam rongga abdomen.
b. Perawatan pascaoperasi yang tidak optimalPerawatan luka pasca operasi yang tidak
optimal memudahkan terjadinya infeksi pada luka sehingga memudahkan pula
terjadinyadehisensi luka operasi.
c. Nutrisi pascaoperasi yang tidak adekuat. Asupan nutrisi yang tidak adekuat terutama
protein salah satunya akan menyebabkan hipoalbuminemia, keadaan ini akan
mengurangi sintesa kolagen yang merupakan bahan dasar penyembuhan luka.
Defisiensi tersebut akan mempengaruhi proses fibroblasi dan kolagenisasi yang
merupakan proses awal penyembuhan luka.
d. Terapi radiasi dan penggunaan obat antikanker : radiasi pasca operasi dapat
menyebaban buruknya penyembuhan luka operasi karena terjadinya fibrosis dan
mikroangiopati (Afzal, 2008; Spiloitis et al,2009; Makela J, 2005).

6. MANIFESTASI KLINIK
Dehisensi luka seringkali terjadi tanpa gejala khas, biasanya penderita sering merasa
ada jaringan dari dalam rongga abdomen yang bergerak keluar disertai keluarnya cairan
serous berwarna merah muda dari luka operasi (85% kasus). Pada pemeriksaan
didapatkan luka operasi yang terbuka. Terdapat pula tanda-tanda infeksi umum seperti
adanya rasa nyeri, edema dan hiperemis pada daerah sekitar luka operasi, dapat pula
terjadi pus atau nanah yang keluar dari luka operasi (Anonim, 2008; Sjamsudidajat
R,2005).Biasanya dehisensi luka operasi didahului oleh infeksi yang secara klinis terjadi
pada hari keempat hingga sembilan pascaoperasi. Penderita datang dengan klinis febris,
hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan jumlah leukosit yang sangat tinggi dan
pemeriksaan jaringan di sekitar lukaoperasi didapatkan reaksi radang berupa
kemerahan, hangat, pembengkakan, nyeri, fluktuasi dan pus.
a. Dehiscence biasanya ditunjukkan pada 7-14 hari setelah operasi
b. Ketegangan atau perpindahan struktur
c. Pasien sering menunjukkan “sensasi penyobekan” atau merasakan sesuatu yang
pernah diberikan
d. Terlihat serosa tidak berfungsi dari luka. Itu terlihat lebih dari 85 % dari masalah

7. PATOFISIOLOGI
Burst Abdomen bisa disebabkan oleh faktor pre operasi, operasi dan post
operasi. Pada faktor pre operasi, hal-hal yang berpengaruh dalam factor pre operasi ini
adalah usia,kebiasaan merokok, penyakit diabetes mellitus, dan malnutrisi. Pada umur
tua otot dinding rongga perut melemah. Sejalan dengan bertambahnya umur, organ dan
jaringan tubuh mengalami proses degenerasi. Kejadian tertinggi burst abdomen sering
terjadi pada umur > 50-65 tahun. Selain itu adanya anemia, hypoproteinaemia, dan
beberapa kekurangan vitamin bisa menyebabkan terjadinya burst abdomen. Hemoglobin
menyumbang oksigen untuk regenerasi jaringan granulasi dan penurunan  tingkat
hemoglobin mempengaruhi penyembuhan luka. Kebiasaan merokok sejak muda
menyebabkan batuk-batuk yang persisten, batuk yang kuat dapat menyebabkan
peningkatan tekanan intra abdomen. Penyakit-penyakit tersebut tentu saja amat sangat
berpengaruh terhadap daya tahan tubuh sehingga akan mengganggu proses
penyembuhan luka operasi. Hypoproteinemia adalah salah satu faktor yang penting
dalam penundaan penyembuhan, seseorang yang  memiliki tingkat protein serum di
bawah 6 g / dl.  Untuk perbaikan jaringan, sejumlah besar asam amino
diperlukan.VitaminC sangat penting untuk memperoleh kekuatan dalam penyembuhan
luka.Kekurangan vitamin C dapat mengganggu penyembuhan dan merupakan
predisposisi kegagalan luka. Kekurangan vitamin C terkait dengan delapan kali lipat
peningkatan dalam insiden wound dehiscence. Seng adalah co-faktor untuk berbagai
proses enzimatik dan mitosis.
Untuk faktor operasi, tergantung pada tipe insisi, penutupan sayatan, penutupan
peritoneum, dan jahitan bahan. Kontraksi dari dinding abdomen menyebabkan tekanan
tinggi di daerah lateral pada saat penutupan. Pada insisi midline, ini memungkinkan
menyebabkan bahan jahitan dipotong dengan pemisahan lemak transversal.Dan
sebaliknya, pada insisi transversal, lemak dilawankan dengan kontraksi.Otot perut rektus
segmental memiliki suplai darah dan saraf.  Jika irisan sedikit lebih lateral, medial bagian
dari otot perut rektus mendapat denervated dan akhirnya berhenti tumbuh.  Ini
menciptakan titik lemah di dinding dan pecah perut.
Faktor post operasi terdiri dari peningkatan dari tekanan intra-abdominal yang
menyebabkan suatu kelemahan mungkin disebabkan dinding abdominal yang tipis atau
tidak cukup kuatnya pada daerah tersebut, dimana kondisi itu ada sejak atau terjadi dari
proses perkembangan yang cukup lama, pembedahan abdominal dan kegemukan.
Dapat dipicu juga jika mengangkat beban berat, batuk dan bersin yang kuat, mengejan
akibat konstipasi.Terapi radiasi dapat mengganggu sintesis protein normal, mitosis,
migrasi dari faktor peradangan, dan pematangan kolagen. Antineoplastik agents
menghambat penyembuhan luka dan luka penundaan perolehan dalam kekuatan tarik.

8. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Tes BGA (Darah lengkap)
b. Hemoglobin, serum protein, gula darah, serum kreatinin, dan urea. Hitung darah
lengkap dan serum elektrolit dapat menunjukkan hemokonsentrasi (peningkatan
hematokrit), peningkatan sel darah putih, dan ketidakseimbangan elektrolit.
c. Sinar X abdomen
Sinar X abdomen menunjukkan abnormalnya tinggi kadar gas dalam usus atau
obstruksi usus.

9. PENATALAKSANAAN MEDIS
Penatalaksanaan Wound Dehiscence dibedakan menjadi penatalaksanaan
non operatif atau konservatif dan penatalaksanaan operatif tergantung atas keadaan
umum penderita.
1. Penanganan Nonoperatif/ Konservatif
Penanganan non operatif diberikan kepada penderita yang sangat tidak stabil
dan tidak mengalami eviserasi.Hal ini dilakukan dengan penderita berbaring di
tempat tidur dan menutup luka operasi dengan kassa steril atau pakaian khusus
steril.Penggunaan jahitan penguat abdominal dapat dipertimbangkan untuk
mengurangi perburukan luka operasi terbuka (Anonim, 2008; Ismail, 2008).
Selain perawatan luka yang baik, diberikan nutrisi yang adekuat untuk
mempercepat penutupan kembali luka operasi.Diberikan pula antibiotik yang
memadai untuk mencegah perburukan dehisensi luka (Singh, 2008; Ismail, 2008).
2. Penanganan Operatif
Penanganan operatif dilakukan pada sebagian besar penderita dehisensi.
Ada beberapa jenis operasi yang dilakukan pada dehisensi luka yang dilakukan
antara lain rehecting atau penjahitan ulang luka operasi yang terbuka, mesh repair,
vacuum pack, abdominal packing, dan Bogota bag repair (Sukumar, 2004).
Jenis operasi rehecting atau penjahitan ulang paling sering dilakukan hingga
saat ini.Tindakan ini dilakukan pada pasien dengan keadaan stabil, dan penyebab
terbukanya luka operasi murni karena kesalahan tekhnik penjahitan (Sukumar,
2004).
Pada luka yang sudah terkontaminasi dilakukan tindakan debridemen terlebih
dahulu sebelum penutupan kembali luka operasi.Dalam perencanaan jahitan
ulangan perlu dilakukan pemeriksaan yang baik seperti laboratorium lengkap dan
foto throraks.Selain penjahitan ulang dilakukan pula tindakan debridement pada luka
(Spiloitis et al, 2009; Sjamsudidajat, 2005).
Tindakan awal yang dilakukan adalah eksplorasi melalui dehisensi luka
jahitan secara hati-hati dan memperlebar sayatan jahitan lalu mengidentifikasi
sumber terjadinya dehisensi jahitan. Tindakan eksplorasi dilakukan dalam 48 ± 72
jam sejak diagnosis dehisensi luka operasi di tegakkan. Tehnik yang sering
digunakan adalah dengan melepas jahitan lama dan menjahit kembali luka operasi
dengan cara satu lapisan sekaligus. Pemberian antibiotik sebelum operasi dilakukan,
membebaskan omentum dan usus di sekitar luka.Penjahitan ulang luka operasi
dilakukan secara dalam, yaitu dengan menjahit seluruh lapisan abdomen menjadi
satu lapis.Pastikan mengambil jaringan cukup dalam dan hindari tekanan berlebihan
pada luka. Tutup kulit secara erat dan dapat dipertimbangkan penggunaan drain luka
intraabdominal. Jika terdapat tanda- tanda sepsis akibat luka, buka kembali jahitan
luka operasi dan lakukan perawatan luka operasi secara terbuka dan pastikan
kelembaban jaringan terjaga (Anonim, 2008; Ismail, 2008; Spiloitis, 2009).
Prinsip pemilihan benang untuk penjahitan ulang adalah benang
monofilament nonabsorbable yang besar. Penjahitan dengan tehnik terputus
sekurangnya 3 cm dari tepi luka dan jarak maksimal antar jahitan 3 cm, baik pada
jahitan dalam ataupun pada kulit.Jahitan penguat dengan karet atau tabung plastic
lunak (5-6cm) dapat dipertimbangkan guna mengurangi erosi pada kulit.Jangan
mengikat terlalu erat.Jahitan penguat luar diangkat setidaknya setelah 3 minggu
(Anonim, 2008; Ismail, 2008).
Selain Rehecting, banyak tekhnik yang dilakukan untuk menutup dehisensi
luka secara sementara maupun permanen. Metode yang biasa dilakukan antara
lainmesh repair, yaitu penutupan luka dengan bahan sintetis yaitu mesh yang
berbentuk semacam kasa halus elastis yang berfungsi sebagai pelapis pada jaringan
yang terbuka tersebut dan bersifat diserap oleh tubuh. Namun mesh repair
menimbulkan angka komplikasi yang cukup tinggi. Dilaporkan terdapat sekitar 80%
pasien dengan mesh repair mengalami komlplikasi dengan 23% mengalami enteric
fistulation (Sukumar, 2004).
Selain itu digunakan pula vacuum pack. Tekhnik ini menggunakan sponge
steril untuk menutup luka operasi yang terbuka kembali setelah itu ditutup dengan
vacuum bag dengan sambungan semacam suction di bagian bawahnya. Tekhnik lain
yang digunakan adalah Bogota bag. Tekhnik ini dilakukan pada dehisensi yang telah
mengalami eviserasi.Bogota bag adalah kantung dengan bahan dasar plastik steril
yang merupakan kantong irigasi genitourin dengan daya tampung 3 liter yang
digunakan untuk menutup luka operasi yang terbuka kembali.Plastik ini dijahit ke kulit
atau fascia pada dinding abdomen anterior (Sukumar, 2004).

Penatalaksanaan Keperawatan
Perawatan luka steril dilakukan dan bila terdapat eviserasi pada area dehisensi tersebut,
perawat tidak diperkenankan untuk mengembalikan organ yang keluar tersbut secara
paksa ke dalam abdomen. Selanjutnya perawat harus memantau tanda-tanda vital
pasien dan mengedukasi keluarga untuk mendampingi terutama mengenai hal-hal yang
perlu dilakukan saat pasien memenuhi kebutuhan dasar.

10. PENCEGAHAN
Pencegahan dehisensi pada luka operasi dapat dilakukan dengan cara mengenali
dengan baik dan sedini mungkin faktor-faktor risiko yang dimiliki penderita, penggunaan
tehnik operasi/penjahitan yang tepat, cara penjahitan dan perawatan luka setelah
penjahitan yang baik. Penanganan pada penderita dehisensi luka operasi adalah
dengan mengobati penyebab dari dehisensi yang terjadi. Prinsip dasarnya adalah
dengan melakukan perawatan luka dengan baik. Pengetahuan akan faktor penyebab
dehisensi luka (mekanik, metabolik dan infeksi) sangat berperan dalam pencegahannya.
Koreksi terhadap faktor penyebab tersebut akan sangat bermakna dalam keberhasilan
pencegahan dehisensi luka operasi. Pada kasus risiko tinggi, pemberian antibiotik dapat
diberikan sebelum tindakan dan diet tinggi kalori dan protein dapat memberikan arti klinis
yang sangat bermakna.

11. ASUHAN KEPERAWATAN


PENGKAJIAN
A. Kondisi luka
1) Warna dasar luka
 Slough (yellow)
 Necrotic tissue (black)
 Infected tissue (green)
 Granulating tissue (red)
 Epithelialising (pink)
2) Lokasi ukuran dan kedalaman luka
3) Eksudat dan bau
4) Tanda-tanda infeksi
5) Keadaan kulit sekitar luka : warna dan kelembaban
6) Hasil pemeriksaan laboratorium yang mendukung
B.    Status nutrisi klien : BMI, kadar albumin
C.   Status vascular : Hb, TcO2
D.   Status imunitas: terapi kortikosteroid atau obat-obatan immunosupresan yang lain
E.    Penyakit yang mendasari : diabetes atau kelainan vaskularisasi lainnya
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan dehisensi luka antara
lain:
a. Nyeri akut berhubungan dengan terbukanya luka operasi.
b. Pola napas tidak teratur berhubungan dengan nyeri.
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan nafsu makan
menurun
d. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan proses invasif pada abdomen
e. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan kerusakan jaringan dan peningkatan
terhadap pajanan.

Intervensi Keperawatan
Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
keperawatan
Nyeri Akut Setelah dilakukan intervensi  Kaji tingkat nyeri yang
keperawatan maka nyeri yang dirasakan oleh pasien,
dirasakan klien berkurang lokasi dan intensitas
( skala 1-10).
 Kaji tanda-tanda vital,
perhatikan tachikardi,
hipertensi, dan
peningkatan pernapasan.
 Berikan informasi
mengenai sifat
ketidaknyamanan, sesuai
kebutuhan.
 Dorong penggunaan
tehnik relaksasi, misalnya
latihan napas dalam,
bimbingan imajinasi,
visualisasi.
 Kolaborasikan untuk
pemberian obat analgesic
yang sesuai.
Ketidakefektifan Setelah dilakukan intervensi  Observasi frekuensi dan
Pola Nafas keperawatan maka pola nafas kedalaman pernapasan,
klien efektif: pemakaian otot bantu
 Pasien bebas dari tanda- pernapasan, perluasan
tanda hipoksia rongga dada, retraksi tau
 Bunyi nafas tambahan tidak pernapasan cuping
ada hidung, warna kulit dan
 Pasien tidak menunjukan otot aliran udara.
bantu pernafasan  Berikan tambahan
oksigen sesuai kebutuhan
 Berikan instruksi untuk
latihan nafas dalam
 Catat kemajuan yang ada
pada klien tentang
pernafasan
Ketidakseimbanga Setelah dilakukan intervensi  Kolaborasikan dengan
n Nutrisi Kurang keperawatan maka nutrisi klien ahli gizi untuk
dari Kebutuhan seuai dengan kebutuhan menberikan diet TKTP
Tubuh  Nafsu makan pasien  Diskusikan dengan dokter
meningkat tentang kebutuhan
 Intake kalori sesuai dengan stimulus nafsu makan,
kebutuhan klien makanan pelengkap, atau
kemungkinan pemberia
makanan melalui selang
 Dukung anggota keluarga
untuk membawa
makanan kesukaan
pasien dengan tetap
memperhatikan status
kesehatan pasien
 Berikan edukasi kepada
pasie tentang pentingnya
asupan nutrisi yang
adekuat untuk membantu
proses enyembuhan
pasien
 Lakukan pemeriksaan BB
secara teratur
Kerusakan Setelah dilakukan intervensi  Lakukan perawatan luka
Integritas Jaringan keperawatan maka integritas secara teratur
jaringan klien baik :  Ajarkan perawatan luka
 Terbebas dari adanya lesi insisi pembedahan,
jaringan termasuk tanda dan
 Luka tertutup gejala infeksi, cara untuk
mempertahankan luka
insisi tetap kering dan
mengrangi stress pada
insisi
 Buang debris dan bekas
luka yang merekat
 Konsultasikan pada ahli
gizi tentang makanan
tinggi protein, mineral,
kalori dan vitamin
 Posisikan pasien untuk
menghindari ketegangan
pada luka, jika diperlukan
 Pantau secara teratur
kondisi luka pasien
Risiko Infeksi Setelah dilakukan intervensi  Kontrol infeksi, sterilisasi
keperawatan maka klien terbebas dan rosedur atau
dari infeksi: kebijakan aseptik.
 Pasien terbebas dari tanda  Uji bahwa pembersihan
dan gejala infeksi kulit post operasi telah
 Pasien menunjukan higiene dilakukan.
pribadi adekuat  Sediakan pembalut yang
 Melaporkan tanda dan gejala steril.
infeksi  Kolaborasikan untuk
melakukan irigasi luka
yang banyak, misalnya
air, antibiotic atau
analgesic.
 Kolaborasikan untuk
pemberian antibiotik
DAFTAR PUSTAKA

Afzal S, Bashir M. 2008. Determinants of Wound Dehiscence in Abdominal Surgery in


Public Sector Hospital. Department of Community Medicine, King Edward Medical
University Lahore . Annals 14:3

Ismail. 2008. Luka dan Perawatannya. Diakses Desember 2011 dari :


http://umy.ac.id/topik/files/2011/12/Merawat-luka.pdf

Makela J, Kiviniemi H, Juvonen T, et al. 2005. Factors influencing wound dehiscence after
midline laparotomy. American journal of surgery. 170 (4): 387-390

Singh, Abhijit. 2009. Case Report: Spontaneous scar dehiscence of a repaired bladder
rupture in a 5 yr old girl – a case study. Resident Medical Officer, Max Heart and
Vascular Institute, Saket, New Delhi, India. Cases Journal 1:363

Sjamsudidajat R, De Jong W. 2005. Luka Operasi. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2.
Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta

Spiloitis J, Tsiveriotis K, Datsis A, et al. 2009. Wound dehiscence: is still a problem in the
21th century: a retrospective study. World Journal of Emergency Surgery 4:12

Sukumar N, Shaharin S, Razman J, et al.Bogota Bag in the Treatment of Abdominal Wound


Dehiscence.Medical Journal Malaysia. 59:2

Webster C, Neumayer L, Smout R, et al. 2003. Prognostic models of abdominal wound


dehiscence after laparotomy. Journal of Surgical Research. 109 (2): 130-137

Anda mungkin juga menyukai