Anda di halaman 1dari 38

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK PADA PASIEN AnS

DENGAN PRE DAN POST OPERASI KELAINAN


KONGENITAL: LABIOSKIZIZ di PAVILIUN THERESIA
II Kamar 34.5 RS. RK CHARITAS
PALEMBANG

DISUSUN OLEH :

Antonius Ari Wibowo (1001140003)

DOSEN PEMBIMBING

Ns. Maria Resti Sulistyaningrum, S.Kep

UNIVERSITAS KATOLIK MUSI CHARITAS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
PALEMBANG
2016/2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat-Nyalah penulis dapat menyelesaikan Asuhan Keperawatan yang berjudul
Asuhan Keperawatan Anak Pada Pasien AnS Dengan pre dan post operasi
kelainan kongenital Paviliun Theresia II Kamar 34.5 Rs. Rk Charitas Palembang
tepat pada waktunya.
Penulisan Asuhan Keperawatan ini merupakan penugasan dari mata kuliah
blok Keperawatan Anak. Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen
pembimbing kami Ns. Maria Resti Sulistyaningrum, S.Kep yang telah memberikan
sarannya dalam pembuatan Asuhan Keperawatan ini dan teman-teman yang telah
memberikan dukungan dan membantu dalam pembuatan Asuhan Keperawatan ini.
Penulis berharap Asuhan Keperawatan ini dapat bermanfaat bagi pembaca
dan penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca guna memberikan sifat
membangun demi kesempurnaan Asuhan Keperawatan ini. Penulis menyadari bahwa
Asuhan Keperawatan ini masih jauh dari sempurna mengingat penulis masih tahap
belajar dan oleh karna itu mohon maaf apabila masih banyak kesalahan dan
kekurangan di dalam penulisan Asuhan Keperawatan ini.

Palembang, april 2017

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................
DAFTAR ISI...............................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang............................................................................
B. Ruang lingkup............................................................................
C. Tujuan Penulisan........................................................................
D. Metode penulisan.......................................................................
BAB II TINJAUAN TEORI
1. Konsep Dasar Medik.................................................................
a. Pengertian...............................................................................
b. Anatomi Fisiologi...................................................................
c. Klasifikasi...............................................................................
d. Etiologi...................................................................................
e. Manifestasi Klinis ..................................................................
f. Patofisiologi............................................................................
g. Pemeriksaan diagnostik..........................................................
h. Komplikasi..............................................................................
i. Penatalaksanaan medis...........................................................
2. Konsep Dasar Keperawatan.....................................................
1. Pengkajian.............................................................................
2. Diagnosa Keperawatan..........................................................
3. Intervensi...............................................................................
4. Implementasi.........................................................................
5. Evaluasi.................................................................................
6. Patoflow Diagram Teori........................................................
BAB IV TINJAUAN KASUS
A. Pengkajian ..................................................................................
B. Diagnosa......................................................................................
C. Intervensi.....................................................................................
D. Implementasi...............................................................................
E. Evaluasi........................................................................................
F. Patoflow Diagram kasus...............................................................
BAB III PEMBAHASAN
A. Pengkajian..................................................................................
B. Diagnosa Keperawatan..............................................................
C. Intervensi....................................................................................
D. Implementasi..............................................................................
E. Evaluasi......................................................................................
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan..................................................................................
B. Saran............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Labioskizis (celah bibir) dan palatoskizis (celah langit-langit
mulut/palatum) merupakan malformasi fasial yang terjadi dalam
perkembangan embrio. Keadaan ini sering dijumpai pada semua populasi dan
dapat menjadi disabilitas yang berat pada orang yang terkena. Keduanya dapat
terjadi secara terpisah atau yang lebih sering lagi, secara bersamaan.
Labioskizis terjadi karena kegagalan pada penyatuan kedua prosesus nasalis
maksilaris dan mediana, pataloskizis merupakan fisura pada garis tengah
palatum akibat kegagalan penyatuan kedua sisinya. Pembahasan berikut ini
terutama berkenaan dan labioskizis dan palatoskizis.
Fogh Andersen di Denmark melaporkan kasus bibir sumbing dan celah
langit-langit 1,47/1000 kelahiran hidup. Hasil yang hampir sama juga
dilaporkan oleh Woolf dan Broadbent di Amerika Serikat serta Wilson untuk
daerah Inggris. Neel menemukan insiden 2,1/1000 penduduk di Jepang.
Insiden bibir sumbing di Indonesia belum diketahui. Hidayat dan kawan-
kawan di propinsi Nusa Tenggara Timur antara April 1986 sampai Nopember
1987 melakukan operasi pada 1004 kasus bibir sumbing atau celah langit-
langit pada bayi, anak maupun dewasa di antara 3 juta penduduk.
Insidensi labioskizis dengan atau tanpa palatoskizis lebih kurang 1 dalam
800 kelahiran hidup. Insidensi palatoskizis saja adalah 1 dalam 2000 kelahiran
hidup. Labioskizis dengan atau tanpa palatoskizis lebih sering dijumpai pada
laki-laki, dan palatoskizis lebih sering pada wanita. Defek ini tampaknya lebih
sering terdapat pada orang Asia dan suku-suku tertentu penduduk asli Amerika
dibandingkan pada kulit putih, pada orang kulit hitam defek tersebut lebih
jarang ditemukan. (Wong, 2009).
Labioskizis dapat bervariasi dari lubang yang kecil hingga celah lengkap
pada bibir atas yang membentang ke dalam dasar hidung. Celah tersebut bias
unilateral atau bilateral. Deformitas struktur dental menyertai labioskizis.
Palatoskizis saja terjadi pada garis tengah dan dapat mengenai palatum mole
maupun durum (langit-langit lunak maupun keras). Nila disertai dengan
labioskizis, cacat ini dapat mengenai garis tengah dan meluas hingga palatum
mole pada salah satu atau kedua sisinya.
Bayi yang terlahir dengan labioschisis harus ditangani oleh klinisi dari
multidisiplin dengan pendekatan team-based , agar memungkinkan koordinasi
efektif dari berbagai aspek multidisiplin tersebut. Selain masalah rekonstruksi
bibir yang sumbing, masih ada masalah lain yang perlu dipertimbangkan yaitu
masalah pendengaran, bicara, gigi-geligi dan psikososial. Masalah-masalah ini
sama pentingnya dengan rekonstruksi anatomis, dan pada akhirnya
hasilfungsional yang baik dari rekonstruksi yang dikerjakan juga dipengaruhi
oleh masalah-masalah tersebut. Dengan pendekatan multidisipliner,
tatalaksana yang komprehensif dapat diberikan, dan sebaiknya kontinyu sejak
bayi lahir sampai remaja. Diperlukan tenaga spesialis bidang kesehatan anak,
bedah plastik, THT, gigi ortodonti, serta terapis wicara, psikolog, ahli nutrisi
dan audiolog. Kelainan ini sebaiknya secepat mungkin diperbaiki karena akan
mengganggu pada waktu menyususui dan akan mempengaruhi pertumbuhan
normal rahang serta perkembangan bicara. Penatalaksanaan labioschisis
adalah operasi. Bibir sumbing dapat ditutup pada semua usia, namun waktu
yang paling baik adalah bila bayi berumur 10 minggu, berat badan mencapai
10 pon, Hb > 10g%. Dengan demikian umur yang paling baik untuk operasi
sekitar 3 bulan. 1,5 Hasil penelitian yang dilakukan oleh Bustami dan kawan-
kawan diketahui bahwa alasan terbanyak anak penderita labioschisis terlambat
(berumur antara 5-15 tahun) untuk dioperasi adalah keadaan sosial ekonomi
yang tidak memadai dan pendidikan orang tua yang masih kurang.
Dari data tersebut, kelainan ini perlu tindakan yang tepat dan segera
mungkin, karena dapat mengakibatkan dampak yang lebih buruk sampai
dengan fatal dan dari data diatas maka penulis tertarik untuk membahas
tentang masalah labioskiziz dengan judul Asuhan Keperawatan Anak Pada
Pasien AnS Dengan pre dan post operasi Kelainan Kongenital: Labioskizis
di Rs. Rk Charitas Paviliun Theresia II Kamar 34.5.

B. Ruang Lingkup
Penulisan Asuhan Keperawatan ini difokuskan dengan mengingat
keterbatasan waktu yang ada pada penulis, maka dalam penulisan makalah ini penulis
membatasi ruang lingkup masalah hanya pada asuhan keperawatan anak dengan
gangguan kelainan kongenital: labioskizis

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami, dan mengaplikasikan asuhan keperawatan
anak dengan gangguan kelainan kongenital: labioskizis
2. Tujuan Khusus
1. menjelaskan tentang pengkajian labioskizis
2. Menjelaskan tentang diagnosa keperawatan labioskizis
3. Menjelaskan tentang intervensi keperawatan labioskizis
4. Menjelaskan tentang implementasi keperawatan labioskizis
5. Menjelaskan tentang evaluasi labioskizis

D. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan oleh penulis adalah metode deskriptif yaitu
menggambarkan keadaan yang sedang terjadi (Juhari, 1995). Penulis
menggambarkan suatu keadaan yang terjadi pada saat melakukan perawatan pada
Pada Pasien AnS Dengan pre dan post operasi kelainan kongenital: labioskizis
Di Rs. Rk Charitas Paviliun Theresia II Kamar 34.5.
Tehnik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah sebagai berikut:
a. Wawancara
Wawancara adalah suatu tehnik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara
mengadakan tanya jawab dengan pasien, keluarga dan tenaga kesehatan lain
untuk mendapatkan keterangan (Juhari, 1995). Penulis melakukan wawancara
pada pasien, keluarga, perawat, ruangan dan tim kesehatan lain mengenai teori
tentang keadaan Pada Pasien AnS Dengan pre dan post operasi kelainan
kongenital: labioskizis Di Rs. Rk Charitas Paviliun Theresia Kamar 34.5.
b. Observasi partisipatif
Observasi partisipatif adalah suatu tehnik pengumpulan data yang dilakukan
dengan mengadakan pengamatan dan melakukan asuhan keperawatan pada
pasien lebih objektif yaitu dengan melihat pasien setelah melakukan tindakan
(Juhari, 1995)
c. Studi Dokumenter
Studi dokumenter adalah suatu tekhnik yang diperoleh dengan mempelajari
buku laporan catatan medis serta hasil pemeriksaan yang ada.
d. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik adalah tehnik pengumpulan data dengan melakukan
pemeriksaan mulai dari inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi untuk
mendapatkan data fisik pasien untuk mendapatkan data fisik pasien secara
keseluruhan (Patricia, A Potter, 1996).

E. Sistematika Penulisan
BAB I Pendahuluan
Bab ini berisi tentang latar belakang, ruang lingkup, tujuan penulisan, metode
penulisan, dan sistematika penulisan
BAB II Tinjauan Pustaka
Bab ini terdiri dari dua sub bab yaitu, konsep dasar medis yang membahas
tentang pengertian, anatomi fisiologi, klasifikasi, etiologi, manifestasi klinis,
patofisiologi, komplikasi, pemeriksaan diagnostik dan penatalaksanaan.
Sedangkan sub bab konsep dasar keperawatan membahas tentang pengkajian,
diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi, evaluasi, discharge planning dan
patoflow diagram teori.
BAB III Tinjauan Kasus
Bab ini terdiri dari pengkajian keperawatan, analisa data, diagnosa
keperawatan, intervensi, implementasi keperawatan, evaluasi keperawatan dan
patoflow diagram kasus.
BAB IV Pembahasan
Bab ini membandingkan persamaan atau kesenjangan antara apa yang ada di
teori dengan realisasi atau kenyataan yang ada di tempat praktik.
BAB V Penutup
Bab ini terdiri dari kesimpulan dan saran
BAB II
TINJAUAN TEORI

1. Konsep Dasar Medik


A. Pengertian
Celah bibir dan celah palatum adalah kelainan congenital pada bibir dan
palatum yang dapat terjadi secara terpisah atau bersamaan (Speer, 2008).
Bibir sumbing (BS) adalah malformasi yang disebabkan oleh gagalnya
prosesus nasal median dan maksilaris untuk menyatu selama perkembangan
embriotik, sedangkan palatum sumbing (PS) adalah fisura garis tengah pada
palatum yang terjadi karena kegagalan dua sisi untuk menyatu selama
perkembangan embrionik (Sodikin, 2011).
Labioschisis atau cleft lip atau bibir sumbing adalah suatu kondisi dimana
terdapatnya celah pada bibir atas diantara mulut dan hidung. Kelainan ini
dapat berupa takik kecil pada bahagian bibir yang berwarna samapai pada
pemisahan komplit satu atau dua sisi bibir memanjang dari bibir ke hidung.
Celah pada satu sisi disebut labioschisis unilateral, dan jika celah terdapat
pada kedua sisi disebut labioschisis bilateral (Mansjoer A, et al, 2005).

B. Anatomi Fisiologi
Rongga mulut yang disebut juga rongga bukal, dibentuk secara anatomis
oleh pipi, palatum keras, palatum lunak, dan lidah. Pipi membentuk dinding
bagian lateral masing-masing sisi dari rongga mulut. Pada bagian eksternal dari
pipi, pipi dilapisi oleh kulit. Sedangkan pada bagian internalnya, pipi dilapisi oleh
membran mukosa, yang terdiri dari epitel pipih berlapis yang tidak terkeratinasi.
Otot-otot businator (otot yang menyusun dinding pipi) dan jaringan ikat tersusun
di antara kulit dan membran mukosa dari pipi. Bagian anterior dari pipi berakhir
pada bagian bibir (Tortora et al., 2009).
Gambar 1.1. Anatomi Rongga Mulut
(Tortorra et al., 2009)

Bibir atau disebut juga labia, adalah lekukan jaringan lunak yang
mengelilingi bagian yang terbuka dari mulut. Bibir terdiri dari otot orbikularis
oris dan dilapisi oleh kulit pada bagian eksternal dan membran mukosa pada
bagian internal (Seeley et al., 2008 ; Jahan-Parwar et al., 2011).
Secara anatomi, bibir dibagi menjadi dua bagian yaitu bibir bagian atas dan
bibir bagian bawah. Bibir bagian atas terbentang dari dasar dari hidung pada
bagian superior sampai ke lipatan nasolabial pada bagian lateral dan batas bebas
dari sisi vermilion pada bagian inferior. Bibir bagian bawah terbentang dari
bagian atas sisi vermilion sampai ke bagian komisura pada bagian lateral dan ke
bagian mandibula pada bagian inferior (Jahan-Parwar et al., 2011).
Kedua bagian bibir tersebut, secara histologi, tersusun dari epidermis,
jaringan subkutan, serat otot orbikularis oris, dan membran mukosa yang tersusun
dari bagian superfisial sampai ke bagian paling dalam. Bagian vermilion
merupakan bagian yang tersusun atas epitel pipih yang tidak terkeratinasi. Epitel-
epitel pada bagian ini melapisi banyak pembuluh kapiler sehingga memberikan
warna yang khas pada bagian tersebut. Selain itu, gambaran histologi juga
menunjukkan terdapatnya banyak kelenjar liur minor. Folikel rambut dan kelejar
sebasea juga terdapat pada bagian kulit pada bibir, namun struktur tersebut tidak
ditemukan pada bagian vermilion (Tortorra et al., 2009; Jahan-Parwar et al.,
2011).
Permukaan bibir bagian dalam dari bibir atas maupun bawah berlekatan
dengan gusi pada masing-masing bagian bibir oleh sebuah lipatan yang berada di
bagian tengah dari membran mukosa yang disebut frenulum labial. Saat
melakukan proses mengunyah, kontraksi dari otot-otot businator di pipi dan otot-
otot orbukularis oris di bibir akan membantu untuk memosisikan agar makanan
berada di antara gigi bagian atas dan gigi bagian bawah. Otot-otot tersebut juga
memiliki fungsi untuk membantu proses berbicara.
Palatum merupakan sebuah dinding atau pembatas yang membatasi antara
rongga mulut dengan rongga hidung sehingga membentuk atap bagi rongga
mulut. Struktur palatum sangat penting untuk dapat melakukan proses
mengunyah dan bernafas pada saat yang sama. Palatum secara anatomis dibagi
menjadi dua bagian yaitu palatum durum (palatum keras) dan palatum mole
(palatum lunak).
Palatum durum terletak di bagian anterior dari atap rongga mulut. Palatum
durum merupakan sekat yang terbentuk dari tulang yang memisahkan antara
rongga mulut dan rongga hidung. Palatum durum dibentuk oleh tulang maksila
dan tulang palatin yang dilapisi oleh membran mukosa. Bagian posterior dari atap
rongga mulut dibentuk oleh palatum mole. Palatum mole merupakan sekat
berbentuk lengkungan yang membatasi antara bagian orofaring dan nasofaring.
Palatum mole terbentuk dari jaringan otot yang sama halnya dengan paltum
durum, juga dilapisi oleh membran mukosa (Marieb and Hoehn, 2010; Jahan-
Parwar et al., 2011).

Gambar 1.2. Anatomi Palatum


(Agave Clinic, 2007)
C. Klasifikasi
Jenis labioskisis (celah bibir):
1. Sentral
Labioskisis ini sangat jarang dan terjadi sebagai akibat kegagalan fusi dari
dua prosesus nasal median
2. Lateral
Labioskisis lateral adalah bentuk yang paling sering ditemukan dimana
terdapat celah antara frenulum dan bagian lateral dari bibir atas. Jenis ini
diakibatkan oleh fusi yang tidak sempurna dari prosesus maksilaris dengan
prosesus nasal median. Varietas lateral dapat unilateral atau bilateral.
3. Komplit atau inkomplit
Pada kasus varietas komplit, labioskisis meluas ke dasar hidung. Pada
kasus varietas inkomplit, labioskisis tidak meluas sampai lubang hidung.
4. Simpleks atau gabungan (kompleks)
Jenis kompleks merujuk ke labioskisis yang disertai dengan celah pada
alveolus.
Jenis Labioschisis berdasarkan lokasi/ jumlah kelainan:
1. Unilateral
2. Bilateral

Gambar 1.3 Klasifikasi Labioschisis


(http://www.allianceforsmiles.org /?q=content/what-cleft-lip-cleft-palate.htm)

Jenis palatoskisis (celah palatum) berdasarkan lengkap/tidaknya celah


yang terbentuk:
1 Komplit
Kegagalan fusi dari prosesus palatine dengan premaksila mengakibatkan
palatoskisis komplit. Pada situasi ini, kavum nasi dan mulut saling
berhubungan. Bilamana premaksila tidak menyatu dengan kedua prosesus
palatine, premaksila menggantung dari septum nasi.
2 Inkomplit
Bilamana fusi dari tiga komponen palatum berlangsung, fusi dimulai dari
uvula dan selanjutnya kea rah belakang. Dengan demikian, berbagai tipe
fusi inkomplit terjadi :
a. Uvula bifida
b. Seluruh panjang palatum mole bifida
c. Seluruh panjang palatum mole dan bagian posterior palatum durum
terlibat. Sebaliknya, bagian anterior palatum berkembang normal. Pada
sekitar 25% kasus, palatoskisis saja dan pada 50% kasus, ditemukan
palatoskisis maupun labioskisis.

satu susu inkomplit satu sisi komplit dua sisi komplit


(Shenoy, 2014)

D. Etiologi
Celah bibir dan celah palatum disebabkan oleh kegagalan atau
penyatuan struktur fasial embrionik yang tidak komplet, kelainan ini
cenderung bersifat diturunkan (hereditary), tetapi dapat terjadi akibat factor
non genetik (Speer, 2008).
Penyebab terjadinya labioschisis belum diketahui dengan pasti.
Kebanyakan ilmuwan berpendapat bahwa labioschisis muncul sebagai akibat
dari kombinasi faktor genetik dan factor-faktor lingkungan. Di Amerika
Serikat dan bagian barat Eropa, para peneliti melaporkan bahwa 40% orang
yang mempunyai riwayat keluarga labioschisis akan mengalami labioschisis.
Kemungkinan seorang bayi dilahirkan dengan labioschisis meningkat bila
keturunan garis pertama (ibu, ayah, saudara kandung) mempunyai riwayat
labioschisis. Ibu yang mengkonsumsi alcohol dan narkotika, kekurangan
vitamin (terutama asam folat) selama trimester pertama kehamilan, atau
menderita diabetes akan lebih cenderung melahirkan bayi/ anak dengan
labioschisis.
Menurut Mansjoer dkk, hipotesis yang diajukan antara lain:
a) Insufisiensi zat untuk tumbuh kembang organ selama masa embrional
dalam hal kuantitas (pada gangguan sirkulasi feto-maternal) dan
kualitas (defisiensi asam folat, vitamin C, dan Zn)
b) Penggunaan obat teratologik, termasuk jamu dan kontrasepsi hormonal
c) Infeksi, terutama pada infeksi toxoplasma dan klamidia.
d) Faktor genetik
Kelainan ini terjadi pada trimester pertama kehamilan, prosesnya
karena tidak terbentuknya mesoderm pada daerah tersebut sehingga bagian
yang telah menyatu (prosesus nasalis dan maksilaris) pecah kembali
(Mansjoer A, et al, 2005).

E. Manifestasi Klinis
Labioschisis dengan manifestasi klinis berupa distorsi hidung, tampak
sebagian atau kedua-duanya, dan adanya celah bibir. Sedangkan pada
palatoschisis tampak ada celah pada tekak atau uvula, palato lunak dank eras,
serta atau foramen incisivus, adanya rongga pada hidung, distorsi hidung,
teraba ada celah atau terbukanya langit-langit pada waktu diperiksa, dan
mengalami kesukaran dalam mengisap atau makan (Sodikin, 2011).
Manifestasi klinis:
1. Celah bibir atau bilateral yang terlihat (dapat merupakan celah lengkap
melalui lubang hidung atau celah tidak lengkap pada bagian bibir)
2. Celah palatum dapat teraba dan/atau terlihat
3. Distorsi nasal
4. Kesulitan untuk menyusu/makan
Meupakan masalah pertama yang terjadi pada bayi penderita
labioschisis. Adanya labioschisis memberikan kesulitan pada bayi
untuk melakukan hisapan pada payudara ibu atau dot. Tekanan lembut
pada pipi bayi dengan labioschisis mungkin dapat meningkatkan
kemampuan hisapan oral. Keadaan tambahan yang ditemukan adalah
reflex hisap dan reflek menelan pada bayi dengan labioschisis tidak
sebaik bayi normal, dan bayi dapat menghisap lebih banyak udara
pada saat menyusu. Memegang bayi dengan posisi tegak lurus
mungkin dapat membantu proses menyusu bayi. Menepuk-nepuk
punggung bayi secara berkala juga daapt membantu. Bayi yang hanya
menderita labioschisis atau dengan celah kecil pada palatum biasanya
dapat menyusui, namun pada bayi dengan labioplatoschisis biasanya
membutuhkan penggunaan dot khusus. Dot khusus (cairan dalam dot
ini dapat keluar dengan tenaga hisapan kecil) ini dibuat untuk bayi
dengan labio-palatoschisis dan bayi dengan masalah pemberian
makan/ asupa makanan tertentu.
5. Infeksi telinga
Anak dengan labio-palatoschisis lebih mudah untuk menderita infeksi
telinga karena terdapatnya abnormalitas perkembangan dari otot-otot
yang mengontrol pembukaan dan penutupan tuba eustachius.
6. Gangguan berbicara
Pada bayi dengan labio-palatoschisis biasanya juga memiliki
abnormalitas pada perkembangan otot-otot yang mengurus palatum
mole. Saat palatum mole tidak dapat menutup ruang/rongga nasal pada
saat bicara, maka didapatkan suara dengan kualitas nada yang lebih
tinggi ( hypernasal quality of speech ). Meskipun telah dilakukan
reparasi palatum, kemampuan otot-otot tersebut diatas untuk menutup
ruang/ rongga nasal pada saat bicara mungkin tidak dapat kembali
sepenuhnya normal. Anak mungkin mempunyai kesulitan untuk
menproduksi suara/ kata "p, b, d, t, h, k, g, s, sh, and ch", dan terapi
bicara ( speech therapy ) biasanya sangat membantu.(Cecily, 2009)

F. Patofisiologi
Celah bibir dan celah palatum merupakan hasil dari kegagalan jaringan
lunak atau struktur tulang untuk menyatu selama perkembangan embrionik.
Celah bibir adalah suatu pemisahan dua sisi bibir, yang dapat memengaruhi
kedua sisi bibir juga tulang jaringan lunak alveolus. Celah palatum merupakan
lubang di garis tengah palatum yang terjadi karena gagalnya kedua sisi
palatum untuk menyatu selama perkembangan embrionik. Penyebab pastinya
tidak diketahui, tetapi dari kebanyakan kasus diduga multifaktor (suatu
kombinasi antara faktor lingkungan dan gangguan genetik). Celah biasanya
suatu kejadian yang tersendiri tetapi dapat terjadi sebagai bagian dari suatu
sindrom. Pengkajian fisik yang baik sangat penting untuk mengidentifikasi
tanda lain yang terjadi (Cecily, 2009).

G. Pemeriksaan Diagnostik
Uji laboratorium dan diagnostic
1. Evaluasi tim multidisiplin untuk melakukan konseling pada orang tua
tentang kondisi dan mempersiapkan mereka untuk merencanakan
pembedahan.
2. Uji laboratorium dan diagnostik lain jika terdapat kelainan lain.
3. Evaluasi audiologi untuk menentukan terjainya penurunan pendengaran
dan perlunya penggunaan slang penyeimbang tekanan. (Cecily, 2009)
H. Komplikasi
Komplikasi yang bisa terjadi:
1. Kesulitan berbicara bisa berupa hipernasalitas, artikulasi, kompensatori.
2. Maloklusi dapat terjadi, dengan pola erupsi gigi dan perkembangan
pertemuan mandibular dan maksila yang abnormal.
3. Kerusakan gigi yang berat umum ditemukan.
4. Otitis media kronis, sekunder akibat disfungsi tuba eustachius, yang dapat
mengakibatkan penurunan pendengaran.
5. Gangguan harga diri dan citra tubuh dapat terjadi.
(Cecily, 2009)
I. Penatalaksanaan Medik
1. Perawatan prabedah
Pada tahap sebelum operasi yang dipersiapkan adalah ketahanan
tubuh bayi menerima tindakan operasi, asupan gizi yang cukup dilihat dari
keseimbangan berat badan yang dicapai dan usia yang memadai. Patokan
yang biasa dipakai adalah rule of ten meliputi berat badan lebih dari 10
pounds atau sekitar 4-5 kg , Hb lebih dari 10 gr % dan usia lebih dari 10
minggu , jika bayi belum mencapai rule of ten ada beberapa nasehat yang
harus diberikan pada orang tua agar kelainan dan komplikasi yang terjadi
tidak bertambah parah.
a. Pemberian makanan
Pemberian makanan pertama kali terasa sukar, akan tetapi hal ini
tergantung pada derajat deformitas yang dialami. Pada kasus yang
ringan, ada kemungkinan untuk meneteki bayi, jika tidak, pemberian
susu botol dapat diberikan dengan mudah. Akan tetapi jika susu botol
menimbulkan kesukaran pada bayi, maka bayi dapat diberikan
makanan dengan menggunakan sendok, dengan membiarkan bayi
mengisap dari sendok. Apabila tidak disertai sumbing palatum, bayi
hanya makan sedikit atau tidak ditemukan adanya kesukaran, jika
disertai palatum sumbing, maka bayi akan mengalami masalah, bukan
saja dalam menelan tetapi juga mengisap, karena palatum yang
lengkap dan utuh diperlukan untuk memanipulasi putting susu serta
mengisap. Regurgitasi susu melalui hidung menimbulkan masalah lain
yang membahayakan. Inhalasi susu harus dicegah dengan menyiapkan
penyedot setiap saat. Pemenuhan kebutuhan nutrisi yang adekuat
penting untuk menjamin bahwa bayi dalam keadaan fisik yang baik,
adanya pertambahan berat bdan, dan tidak mengalami anemia. Apabila
dijumpai adanya anemia, maka harus ditangani kapan saja hal tersebut
terjadi.
b. Pemberian antibiotik
Pemberian antibiotic sebagai profilaksis diberikan untuk menjamin
bahwa pasien pada masa pasca pembedahan tidak mengalami bahaya
yang disebabkan mikroorganisme yang telah ada ataupun masuk
selama masa bedah dan pascapembedahan.
c. Persiapan prabedah
Prinsip manajemen prabedah bertujuan untuk mencapai atau
mempertahankan status fisik dan mental yang akan menjamin bahwa
anak mampu mengatasi trauma dari intervensi bedah. Tujuan
selanjutnya adalah untuk menghilangkan atau mengurangi terjadinya
komplikasi selama atau setelah pembedahan, dengan antisipasi yang
saksama dan pengobatan.
2. Perawatan saat bedah
Tahapan selanjutnya adalah tahapan operasi, pada saat ini yang
diperhatikan adalah soal kesiapan tubuh si bayi menerima perlakuan
operasi, hal ini hanya bisa diputuskan oleh seorang ahli bedah Usia
optimal untuk operasi bibir sumbing (labioplasty) adalah usia 3 bulan.
Usia ini dipilih mengingat pengucapan bahasa bibir dimulai pada usia 5-6
bulan sehingga jika koreksi pada bibir lebih dari usia tersebut maka
pengucapan huruf bibir sudah terlanjur salah sehingga kalau dilakukan
operasi pengucapan huruf bibir tetap menjadi kurang sempurna.
Gambar 2.5 Reparasi labioschisis (labioplasti). (A dan B) pemotongan
sudut celah pada bibir dan hidung. (C) Bagian bawah
nostril disatukan dengan sutura. (D) Bagian atas bibir
disatukan, dan (E) Jahitan memanjang sampai kebawah
untuk menutup celah secara keseluruhan.

Operasi untuk langit-langit (palatoplasty) optimal pada usia 18


20 bulan mengingat anak aktif bicara usia 2 tahun dan sebelum anak
masuk sekolah. Palatoplasty dilakukan sedini mungkin (15-24 bulan)
sebelum anak mulai bicara lengkap sehingga pusat bicara di otak belum
membentuk cara bicara. Kalau operasi dikerjakan terlambat, sering hasil
operasi dalam hal kemampuan mengeluarkan suara normal atau tidak
sengau sulit dicapai. (19) Operasi yang dilakukan sesudah usia 2 tahun harus
diikuti dengan tindakanspeech teraphy karena jika tidak, setelah operasi
suara sengau pada saat bicara tetap terjadi karena anak sudah terbiasa
melafalkan suarayang salah, sudah ada mekanisme kompensasi
memposisikan lidah pada posisi yang salah. Bila gusi juga terbelah
(gnatoschizis) kelainannya menjadi labiognatopalatoschizis, koreksi untuk
gusi dilakukan pada saat usia 89 tahun bekerja sama dengan dokter gigi
ahli ortodonsi.
3. Perawatan pascabedah
Hal-hal yang perlu diperhatikan saat merawat anak yang sudah selesai
menjalani operasi perbaikan bibir sumbing adalah sebagi berikut.
a. Imobilisasi lengan merupakan suatu aspek penting perawatan, hal ini
untuk mencegah bayi menyentuh jahitan.
b. Sedasi. Seorang anak yang menangis dapat meningkatkan tegangan
pada garis jahitan. Pemberian sedasi dianjurkan untuk mengurangi
tegangan, sering kali dikurangi dengan mengenakan suatu peralatan,
seperti busur logam.
c. Pembalutan garis sedasi. Biasanya jahitan sudah dibuka antara hari
kelima dan kedelapan. Garis jahitan biasanaya ditinggal tanpa penutup
dan kebersihan dipertahankan dengan melap area jahitan dengan air
steril atau normal salin setelah selesai makan.
d. Waktu pemberian makan. Pemberian makan dapat segera dimulai
setelah bayi sadar dan reflex menelan ditegakkan.
4. Pemberian makanan dan minum
Pemberian makan dan minum pada pasien dengan labioschisis dan
palatoschisis bertujuan untuk membantu pasien dalam memenuhi
kebutuhan cairan dan elektrolit sesuai program pengobatan.
Persiapan alat terdiri atas:
a) Seperangkat alat makan dan minum siap pakai menurut kebutuhan
seperti piring, sendok, garpu, lap makan, gelas minum, dan
mangkok berisi air bila diperlukan untuk mencuci tangan
b) Makanan dan minuman disiapkan, kemudian bawa ke dekat
pasien.
Persiapan pasien meliputi:
a) Mengadakan pendekatan kepada pasien dengan memberikan
penjelasan tentang tindakan yang akan dilakukan, sesuai dengan
tingkat perkembangan dan kemampuan dalam berkomunikasi
b) Pasien disiapkan dalam keadaan nyaman dengan posisi kepala
lebih tinggi dibanding badan.
Adapun langkah-langkah tindakan pemberian makan dan minum adalah
sebagian berikut:
1. Bentangkan lap makan di bawah dagu pasien
2. Perawat mengambil posisi yang memudahkan dalam melakukan
pekerjaan
3. Tawarkan minum pada pasien, bila perlu menggunakan sendok
atau sedotan
4. Berikan makanan sedikit demi sedikit sambil berkomunikasi
dengan pasien, perhatikan apakah makanan telah ditelan oleh
pasien sebelum menyuapkan makanan berikutnya
5. Stelah makan selesai, berikan minum pada pasien
6. Bersihkan daerah mulut dan sekitarnya, selanjutnya rapihkan
kembali
7. Bereskan alat-alat bersihkan dan kembalikan ke tempat semula
Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh perawat pada saat
memberikan makan atau minum pada pasien adalah :
1. Lakukan pemberian makan atau minum secara hati-hati agar
pasien tidak tersedak
2. Buatlah lingkungan pasien senyaman mungkin
3. Periksa makanan sebelum dihidangkan untuk mengetahui apakah
daftar makanan (diet) sudah sesuai
4. Berikan posisi duduk atau dipangku agar tidak tersedak
5. Upayakan peralatan makan menarik bagi anak
6. Observasi bagaimana selera (nafsu) makan pasien
7. Awasi keadaan umum pasien selama dan sesudah pemberian
makanan. (Sodikin, 2011)
Dalam penelitian Agus Santoso Budi, dr., Sp BP-RE(K) tentang
Penanganan Bibir Sumbing (CLP) secara paripurna SMF/Dep. Bedah
Plastik RSUD dr Soetomo-FK UNAIR Surabaya. Menyatakan tahapan
penatalaksanaan pada CLP adalah sebagai berikut:
TINDAKAN
USIA

0-1 minggu Pemberian nutrisi dengan kepala miring (posisi 45 derajat)

1-2 minggu Pasang obturator untuk menutup celah pada langitan, agar
dapat menghisap susu atau memakai dot lubang kearah bawah
untuk mencegah aspirasi (dot khusus)

10 minggu Labioplasty dengan menggunakan Rules of ten:


- Umur 10 minggu
- Berat 10 pons
- Hb>10 gr%

1,5-2 tahun Palatoplasty karena bayi mulai bicara

2-4 tahun Speech therapy

4-6 tahun Velopharyngoplasty, Untuk mengembalikan fungsi katub yang


dibentuk m. tensor veli palatine dan m. levator veli palatine,
untuk bicara konsonan, latihan dengan cara meniup.

6-8 tahun Orthodonsia (pengaturan lengkung gigi)

8-9 tahun Alveolar Bone Grafting

9-17 tahun Orthodonsia ulang

17-18 tahun Cek kesimetrisan mandibula dan maksila


B. Konsep Dasar Keperawatan
Pengkajian adalah tahap awal pemikiran dasar proses keperawatan, bertujuan
mengumpulkan informasi dari pasien agar perawat dapat mengindentifikasi
masalah kesehatan pasien.
1. Pengkajian
1. Pengkajian

a) Biodata pasien dan biodata penanggung jawab


b) Riwayat kesehatan masa lalu
Pasien menderita insufisiensi zat untuk tumbuh kembang organ selama
masa embrional.
c) Riwayat kesehatan sekarang
Pengaruh obat tetatologik termasuk jamu dan kontrasepsi
hormonal,kecanduan alkohol.
d) Riwayat keluarga
Anggota keluarga ada yang bibir sumbing.
e) Pemeriksaan Fisik
1 Mata
Keadaan konjungtiva
Keadaan sclera
Keadaan lensa
2 Hidung
Kemampuan penglihatankepekaan penciuman
Adanya polip/hambatan lain pada hidung, adanya pilek.
3 Mulut dan Bibir
Warna bibir
Apakah ada luka
7

Apakah ada kelainan


4 Leher
Keadaan vena jugularis
Apakah ada pembesaran kelenjar.
5 Telinga
Bentuk telinga
Kepekaan pendengaran
Kebersihan telinga
6 Dada
Bentuk dan irama napas
Keadaan jantung dan paru-paru
7 Abdomen
Ada kelainan atau tidak
Bentuknya supel atau tidak
8 Genitalia
Kebersihan daerah genetalia
Ada edema atau tidak
Keadaan alat genetalia
9 Ekstermitas atas dan bawah
Bentuknya normal atau tidak
Tonus otot kuat atau lemah
10 Kulit
Warna kulit
Turgor kulit
f) Pengkajian Perpola
a. Aktivitas / istirahat
Sulit mengisap Asi
Sulit menelan Asi

Bayi rewel,menangis
Tidak dapat beristirahat dengan tenang dan nyaman
b. Sirkulasi
Pucat
Turgor kulit jelek
c. Makanan / cairan
Berat badan menurun
Perut kembung
Turgor kulit jelek, kulit kering
d. Neurosensori
Adanya trauma psikologi pada orang tua
Adanya sifat kurang menerima, sensitif
e. Nyaman / nyeri
Adanya resiko tersedak
Disfungsi tuba eustachi
Adanya garis jahitan pada daerah mulut

2. Diagnosa Keperawatan
Praoperasi
1. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan
gangguan dalam pemberian makan.
2. Resiko infeksi yang berhubungan dengan kelainan.
3. Resiko perubahan peran orang tua yang berhubungan dengan stress akibat
hospitalisasi.
Pascaoperasi
1. Ketidakefektifan jalan napas yang berhubungan dengan efek anesthesia,
edema pascaoperasi, serta produksi lender yang berlebihan.
2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan
teknik pemberian makan yang baru dan perubahan diet pascaoperasi.
3. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan insisi bedah.
4. Nyeri berhubungan dengan pembedahan.
5. Defisit pengetahuan yang berhubungan dengan perawatan di rumah.
3. Intervensi
Praoperasi
1. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan
gangguan dalam pemberian makan.
Kriteria Hasil : Bayi mempertahankan status nutrisi adekuat yang ditandai
oleh kenaikan berat badan bulanan ( hingga 1kg)
Intervensi :
a. Gunakan botol dan dot botol yang sesuai (dot botol yang lunak, dipotong
serong, botol-peras atau botol biasa, botol terutama yang dirancang untuk
bayi prematur) untuk member makan pada bayi.
Rasional :
Karena ketidakmampuan seorang bayi dengan celah palatum membuat suatu
ruang hampa, ia dapat mengalami reflex mengisap yang tidak efektif.
Penggunaan dot botol, botol yang tepat, memudahkan aliran cairan
sehingga dapat meningkatkan pemberian makan. Dot botol khusus yang
digunakan bergantung pada keparahan celah tersebut.
b. Tempatkan dot botol di dalam mulut bayi, pada sisi berlawanan dari celah,
ke arah belakang lidah.
Rasional:
Meletakkan dot botol dengan cara ini dapat menstimulasi tindakan stripping
bayi (menekan dot botol melawan lidah dan atap mulut untuk
mengeluarkan susu).
c. Posisikan bayi tegak atau semi-Fowler, namun tetap relaks selama
pemberian makan.
Rasional:
Posisi ini mencegah tersedak dan regurgitasi per nasal.
d. Sendawakan bayi setelah setiap pemberian 15 hingga 30 ml susu, tetapi
jangan pindahkan dot botol terlalu sering selama pemberian makan.
Rasional:
Bayi perlu disendawakan dengan frekuensi yang sering karena kelainan
tersebut dapat menyebabkan menelan udara lebih banyak sehingga
menimbulkan rasa tidak nyaman. Melepas dot botol terlalu sering dapat
melelahkan, atau membuat bayi frustasi sehingga menyebabkan
pemberian makan tidak komplet.
e. Coba untuk memberi makan selama kira-kira 45 menit atau kurang untuk
setiap kali makan.
Rasional:
Pemberian makan yang lebih lama dapat melelahkan bayi sehingga
menyebabkan pencapaian berat badan yang sangat kurang.
f. Apabila bayi tidak dapat makan tanpa tersedak atau teraspirasi, letakkan
dalam posisi tegak, dan beri makan dengan menggunakan spuit serta
slang karet lunak.

Rasional:
Posisi tegak mengurangi risiko aspirasi, menggunakan sebuah spuit dan slang
karet lunak yang mampu menampung cairan di bagian belakang mulut
bayi dapat mengurangi aspirasi melalui celah.

2. Resiko infeksi yang berhubungan dengan kelainan.


Kriteria hasil : Bayi tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi yang ditandai
oleh suhu tubuh kurang dari 37,8 C dan tidak ada tanda-tanda drainase
telinga, batuk, mengi, ronki kasar di lapangan paru atau iritabilitas.
Intervensi:
a. Beri minum bayi sebanyak 5-10 ml air, setelah setiap pemberian makan.
Rasional:
Air dapat membersihkan pasase nasal dan palatum, serta mencegah susu
mengumpul di saluran eustasia, yang pada gilirannya dapat mencegah
pertumbuhan bakteri yang dapat mengarah pada terjadinya infeksi.
b. Buang formula atau susu yang mongering dengan menggunakan aplikator
yang berujung kapas basah.
Rasional:
Merontokkan dan melepaskan materi yang berkerak dalam botol, dapat
menjaga agar celah tersebut bersih dan bebas dari bakteri sehingga
mengurangi risiko infeksi
c. Setelah setiap pemberian makan, letakkan bayi di ayunan bayi atau
baringkan bayi di tempat tidurnya dengan posisi miring kanan dengan
kepala tempat tidur ditinggikan 30.
Rasional:
Mengatur posisi bayi dengan cara ini dapat mencegah aspirasi yang dapat
menimbulkan pneumonia.
d. Kaji bayi untuk menentukan bila ada tanda infeksi, termasuk drainase
telinga yang berbau dan demam. Beri obat antibiotic sesuai program.
Rasional:
Kekambuhan otitis media yang terjadi akibat saluran eustasia yang tidak
normal dapat dikaitkan dengan celah bibir dan palatum.

3. Resiko perubahan peran orang tua yang berhubungan dengan stress akibat
hospitalisasi.
Kriteria hasil: Orang tua mengajukan pertanyaan yang tepat tentang kondisi
bayi, dapat melibatkan perawatan bayi ke dalam gaya hidup normal
mereka, serta mengekspresikan perasaan mereka tentang penampilan
bayi.
Intervensi:
a. Beri kesempatan pada orang tua untuk menggedong serta memeluk bayi,
dan dapat mempraktikan tugas pemberian perawatan sebelum
pemulangan.
Rasional:
Kesempatan ini meningkatan ikatan dan mempersiapkan orang tua dalam
perawatan bayi di rumah.
b. Anjurakn orang tua untuk mempersiapkan anggota keluarga, termasuk
saudara kandung dan kerabat lain, untuk menyambut kehadiran bayi di
rumah. Nasihatkan mereka untuk menjelaskan kepada seluruh anggota
keluarga, tentang penampilan bayi dengan menggunakan istilah
sederhana, memperlihatkan kepada mereka gambar, dan meminta mereka
mengunjungi bayi di rumah sakit.
Rasional:
Mempersiapkan anggota keluarga untuk kedatangan bayi memungkinkan
mereka beradaptasi dengan penampilan bayinya, dan memungkinkan
orang tua berfokus pada kebutuhan bayi yang mendesak.
c. Anjurkan orang tua memperlakukan bayi layaknya anggota keluarga yang
normal, dan menjadwalkan kegiatan perawatan mereka ke dalam rutinitas
sehari-hari.
Rasional:
Orang tua perlu memiliki pemikiran bahwa bayi mereka merupakan individu
yang normal, yang menderita celah bibir atau palatum buakn sebagai
individu yang sedang sakit sehingga dapat member perawatan di rumah
yang adekuat, dan menjaga keutuhan keluarga.
d. Anjurkan orang tua untuk meminta bantuan dari anggota keluarga yang
lain atau dari teman saat memberi makan dan perawatan bayi.
Rasional:
Meminta bantuan orang lain dalam perawatan bayi dan pemberian makan
dapat member orang tua kesempatan beristirahat, serta berfokus pada
kebutuhan meraka sendiri.
e. Rujuk orang tua ke kelompok pendukung yang tepat serta pusat
kraniofasial, jika ada.
Rasional:
Kelompok pendukung memberi kesempatan pada orang tua untuk berbagi
perasaan dan pengalamanan dengan orang tua lain yang juga memiliki
status sama, dapat mengurangi kecemasan dan meningkatkan
keterampilan koping serta keterampilan penyelesaian masalah. Pusat
kraniofasial memiliki pengalaman dalam memberi perawatan bagi anak-
anak dengan celah palatum atau celah bibir.
Pascaoperasi
1. Ketidakefektifan jalan napas yang berhubungan dengan efek anesthesia,
edema pascaoperasi, serta produksi lendir yang berlebihan.
Kriteria hasil: Bayi atau anak tetap bebas dari komplikasi pernapasan yang
ditandai oleh mempertahankan pernapasan lancer, serta frekuensi teratur.
Intervensi:
a. Kaji status pernapasan bayi atau anak setiap 4 jam untuk mendeteksi
suara napas yang abnormal, sianosis, retraksi, mendengkur, atau
pernapasan cuping hidung.

Rasional:
Tanda distress pernapasan ini dapat mengindikasikan pneumonia yang
membutuhkan terapi antibiotic.
b. Atur ulang posisi bayi atau anak setiap 2 jam. Setelah pembedahan celah
bibir, bayi atau anak dapat diletakkan dengan baik di ayunan bayi atau
dalam posisi telentang atau miring dengan kepala ditinggikan, setelah
pembedahan celah palatum , ia dapat ditempatkan dalam posisi tengkurap.
Rasional:
Pengaturan kembali posisi dapat meningkatkan drainase sekresi paru.
c. Tempatkan bayi atau anak dalam tenda lembap, sesuai program.
Pertahankan bayi diselimuti dan ganti sprei dengan teratur.
Rasional:
Udara yang sejuk dan yang dilembabkan membantu mencairkan sekresi
sehingga dapat membantu bayi atau anak bernapas dengan lebih mudah.
Menutupi tubuh dengan selimut dapat mencegah anak dari menggigil.
d. Pertahankan bayi atau anak dalam posisi tegak selama pemberian makan.
Rasional:
Posisi tegak mengurangi risiko tersedak dan aspirasi.

2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan


teknik pemberian makan yang baru dan perubahan diet pascaoperasi.
Kriteria hasil: Bayi atau anak dapat mempertahankan nutrisi adekuat yang
ditandai oleh dapat beradaptasi terhadap diet dan metode pemberian
makan yang baru, serta terus mengalami peningkatan berat badan.
Intervensi:
a. Apabila bayi atau anak telah menjalani perbaikan celah bibir, beri mereka
makan melui spuit dan slang karet lunak yang ditempatkan di dalam pipi
dan jauh dari alur jahitan. Juga gunakan spuit dan slang untuk memberi
makan bayi yang telah menjalani perbaikan celah palatum. Jangan
gunakan dot botol. Untuk anak yang sudah lebih besar dan telah
menjalani perbaikan palatum, gunakan cangkir minum yang biasa
digunakan, bukan sedotan untuk pemberian makanan cair. Seiring anak
mengalami kemajuan dari diet cair murni, gunakan sendok untuk
pemberian makan, bukan garpu.
Rasional:
Menghisap dot botol menyebabkan terlalu banyak tekanan pada alur jahitan;
penggunaan garpu atau sedotan dapat merusak alur jahitan.
b. Mula-mula anjurakan pemberian makan dengan frekuensi yang sering
dalam porsi kecil, kemudian lanjutkan dengan asupan cairan sesuai usia.
Rasional:
Bayi atau anak membutuhkan pemberian makan dengan porsi lebih kecil,
sambil beradaptasi terhadap metode pemberian makan
c. Apabila anak telah menjalani perbaikan celah palatum, anjurkan orang tua
untuk member makan diet cair murni (seperti minuman kalori tinggi),
selama 3 minggu pertama setelah pembedahan.

3. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan insisi bedah.


Kriteria Hasil : Bayi atau anak tidak menderita kerusakan pada integritas kulit
yang ditandai oleh insisi tetap utuh, tidak ada tanda infeksi, dan tanda
pemulihan.
Intervensi :
a. Lakukan perawatan alur sutura berikut ini setelah pemberian makan, dan
sesuai kebutuhan:
1) Bersihkan garis sutura dengan menggunakan larutan salin dan aplikator
berujung kapas basah.
2) Oleskan salep antibiotik sesuai program untuk melembapkan mulut dan
mencegah pemisahan sutura.
3) Pantau tanda dan gejala infeksi.
4) Beri sedikit air setelah pemberian makan untuk membersihkan mulut dari
setiap sisa susu, yang dapat menyebabkan pertumbuhan bakteri.

Rasional:
Perawatan alur jahitan yang tepat menjamin tercapainya kebersihan,
mencegah pemisahan sutura, mengurangi risiko infeksi, dan mengurangi
jumlah materi berkerak di sekitar alur jahitan, yang mungkin
mengakibatkan pembesaran jaringan parut.
b. Pasang restrain lengan, sesuai program. Evaluasi sirkulasi dan latihan
pergerakan sendi (ROM) setiap 2 jam.
Rasional:
Restrain lengan mencegah bayi atau anak mengaruk alur jahitan atau
meletakkan objek dalam mulutnya sampai insisi memulih. Evaluasi
memastikan sirkulasi yang adekuat, dan latihan ROM mencegah
kekakuan dan kontraktur otot.
c. Setelah pembedahan celah bibir posisikan bayi atau anak dengan baik,
berbaring miring atau terlentang bukan posisi terlungkup pertahankan
kepala tempat tidur ditinggikan; setelah pembedahan celah palatum,
posisikan anak atau bayi terlungkup.
Rasional:
Duduk di tempat duduk bayi atau berbaring miring atau terlentang setelah
pembedahan celah bibir, mencegah anak menggesekkan bibirnya pada
linen tempat tidur, mengurangi risiko ruptur; berbaring terlungkup setelah
pembedahan celah palatum mencegah tekanan pada alur jahitan.
d. Antisipasi perlunya anak mengurangi menangis.
Rasional:
Menangis menyebabkan tegangan pada alur jahitan, yang dapat menyebabkan
ruptur.

4. Nyeri berhubungan dengan pembedahan.


Kriteria Hasil : Bayi atau anak dapat mempertahankan tingkat kenyamanan
yang ditandai oleh tangisan dan iritabilitas yang berkurang.
Intervensi :
a. Kaji bayi atau anak untuk mengetahui iritabilitas, kehilangan selera
makan, dan kegelisahan setiap 2 jam setelah pembedahan.
Rasional:
Bayi atau anak mungkin terlalu muda usianya untuk mengekspresikan rasa
tidak nyaman melalui kata-kata; petunjuk perilaku adalah satu-satunya
indikasi nyeri.
b. Beri obat analgesic, sesuai program.
Rasional:
obat analgesik dapat mengurangi nyeri.
c. Lakukan aktivitas pengalihan, misalnya, permainan, kartu, videotapes,
dan membaca buku untuk anak yang lebih besar.
Rasional:
Aktivitas pengalihan memfokuskan kembali perhatian anak, mengurangi
persepsinya terhadap nyeri.

5. Defisit pengetahuan yang berhubungan dengan perawatan di rumah.


Kriteria Hasil : Orang tua mengekspresikan pemahaman tentang instruksi
perawatan prabedah di rumah dan mendemostrasikan prosedur perawatan
di rumah.
Intervensi :
a. Jelaskan kepada orang tua sifat dari kelainan dan kebutuhan untuk
perawatan lanjutan.
Rasional:
Penjelasan yang demikian dapat mengurangi keemasan, dan meningkatkan
kapatuhan terhadap terapi yang diprogramkan dan pembedahan
selanjutnya.
b. Ajarkan orang tua dari bayi yang mengalami celah bibir atau celah
palatum, tentang teknik pemberian makan berikut ini :
1) Beri bayi makan dengan menggunakan botol dan dot botol yang sesuai
(dot botol yang lunak berbentuk serong atau dot khusus yang didesain
untuk bayi premature; botol-peras atau botol biasa).
2) Atur posisi dot botol di dalam mulut bayi berlawanan arah dengan celah
dan mengarah ke bagian belakang lidah.
3) Pertahankan bayi dalam posisi tegak atau semi-Fowler
4) Sendawakan bayi setelah setiap pemberian makan.
Rasional:
Karena kelainan tersebut, orang tua perlu memberi perhatian khusus saat
pemberian makan bayi.
1) Karena kelainan ini mungkin refleks menghisapnya tidak efektif.
Menggunakan alat pemberian makan yang sesuai dapat memastikan
bahwa ia mengkonsumsi setiap porsi makanan yang diberikan.
2) Meletakkan dot botol dengan cara demikian, dapat menstimulasi gerakan
menyedot yang digunakan bayi untuk menghisap cairan dari dalam
botol.
3) Mengatur posisi bayi tegak atau semi-Fowler dapat mencegah regurgitasi
per nasal dan tersedak.
4) Menyendawakan dengan sering dapat mengurangi jumlah udara yang
ditelan selama pemberian makan sehingga mengurangi rasa tidak nyaman
bayi.
5) Membersihkan celah segera setelah pemberian makan dapat mengurangi
risiko infeksi.
c. Jelaskan kepada orang tua tentang tujuan dan penggunaan alat pantau
apnea, jika alat pantau diprogramkan untuk penggunaan di rumah.
Rasional:
Bayi mungkin memerlukan pemantauan terhadap apnea, untuk mendeteksi
episode apnea yang berhubungan dengan kesulitan pernapasan akibat
aspirasi pemberian makan.

4. Implementasi
Pada tahap ini dilakukan pelaksanaan dari rencana keperawatan yang telah
ditentukan dengan tujuan memenuhi kebutuhan pasien secara optimal.
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir proses keperawatan yang bertujuan untuk
mengevaluasi respon pasien terhadap perawatan yang diberikan untuk
memastikan bahwa hasil yang diberikan dan diharapkan pada pasien telah
tercapai.
Pre operasi
a. nutrisi seimbang
b. infeksi tidak terjadi
c. perubahan peran terkontrol
post operasi
d. jalan nafas efektif
e. nutrisi seimbang
f. integritas kulit membaik
g. nyeri teratasi
h. pengetahuan bertambah
6. Patoflow Diagram Teori

Herediter,non genetic (ibu perokok,alcohol, kurang


vitamin terutama asam folat, infeksi toxoplasma dan
klamidia)

Prosesus nasal dan maksilaris, fisura garis


tengah palatum gagal menyatu selama
masa embriotik trimester I

Pemeriksaan diagnostik: Penatalaksanaan:


LABIO PALATO
1. darah lengkap 1. pembedahan
SKIZIS
2. konseling 2. medikamentosa
3. cairan
Distorsi hidung, celah pada
bibir dan palatung

Kesulitan menghisap (putting Penurunan otot-otot Kelainan Prosedur invasive


susu,dot minum dll) sekitar mulut anatomis pembedahan LPS

Reflek menghisap dan Control penutupan dan - Kerusakan Adanya trauma insisi
menelan menurun pembukaan tuba komunikas pembedahan
eustachius terganggu verbal
- HDR

Asupan nutrisi dan Proses inflamasi


cairan inadekuat Bakteri mudah masuk
saluran telinga

Nutrisi kurang dari


kebutuhan tubuh
Resiko tinggi Infeksi Resti Infeksi paska Nyeri
telinga pembedahan

Resiko aspirasi

Gangguan tumbuh
kembang anak
F. Patoflow diagram kasus

Ibu mengkonsumsi obat- obatan

Prosesus nasal dan maksilaris,


Pemeriksaan diagnostik Penatalaksanaan
gagal menyatu selama masa kehamilan
1. darah lengkap 1. pembedahan
2. medikamentosa
LABIO SKIZIS
3. cairan

distorsi bibir

kesulitan menghisap prosedur invasif


putting susu, dot pembedahan

reflek hisap dan adanya luka bekas merangsang stimulus


menelan menurun operasi nyeri

Resiko aspirasi Resiko infeksi Nyeri


BAB IV
PEMBAHASAN

1. Pengkajian
Merupakan tahap awal dalam proses keperawatan. Dalam pengkajiaan penulis
memperoleh data dengan menggunakan metode wawancara, observasi,
pemeriksaan fisik dan melihat data-data penunjang melalui catatan keperawatan
dari status pasien. Pada pengkajian secara teoritis ditemukan terdapat celah di
bibir, ibu minum alkohol, ibu minum obat tidak sesuai indikasi dokter, dan
mempunyai riwayat penyakit ketutunan.
Setelah dilakukan pengkajian pada pasien di lapangan, didapatkan pengkajian
yang berupa ibu pasien mengatakan terdapat celah di bibir sebelah kiri, saat lahir
sebelumnya ibu pasien pernah sering mengkonsumsi obat warung jika mual dan
pusing.
2. Diagnosa
Berdasarkan teori yang ada, perumusan diagnosa keperawatan merupakan proses
pemikiran melalui tanda dan gejala klinik menurut perubahan patofisiologi, respon
pasien maupun keluarga. Diagnosa secara teoritis yang mungkin ini timbul pada
kasus labioskizis adalah:
Praoperasi
1. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan
gangguan dalam pemberian makan.
2. Resiko infeksi yang berhubungan dengan kelainan.
3. Resiko perubahan peran orang tua yang berhubungan dengan stress akibat
hospitalisasi.
Pascaoperasi
1. Ketidakefektifan jalan napas yang berhubungan dengan efek anesthesia,
edema pascaoperasi, serta produksi lender yang berlebihan.
2. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan
teknik pemberian makan yang baru dan perubahan diet pascaoperasi.
3. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan insisi bedah.
4. Nyeri berhubungan dengan pembedahan.
5. Defisit pengetahuan yang berhubungan dengan perawatan di rumah.Pada saat
pengumpulan data dan menganalisis pasien dilapangan ditemukan diagnosa:
Pre operasi
a. Resiko aspirasi berhubungan dengan adanya celah pada bibir
Post operasi
a. nyeri berhubungan dengan agens cidera fisik: pembedahan
b. resiko infeksi berhubungan dengan insisi pembedahan
3. Intervensi
Setelah merumuskan diagnosa keperawatan, selanjutnya penulis menyusun
perencanaan yang meliputi prioritas masalah perumusan tujuan, penentuan kriteria
hasil dan rencana tindakan dalam memberikan pedoman tindakan yang akan
dilakukan untuk mengatasi masalah pasien berdasarkan tinjauan teoritis
perencanaan untuk mengatasi pre operasi; gangguan nutrisi, resiko infeksi, resiko
perubahan peran orangtua, post operasi; ketidakefektifan jalan nafas, gangguan
nutrisi, kerusakan integritas kulit, nyeri dan kurang pengetahuan.
Penulis banyak menganjurkan pasien untuk mengajarkan pemberian makan secara
hati hati dan menggunakan sendok serta dot yang lebih besar, mengajarkan anak
bermain mengurangi rasa nyeri, dan ibu pasien dianjurkan untuk selalu menjaga
kebersihan luka bekas operasi serta perawatan luka.

4. Implementasi
Pelaksanaan keperawatan merupakan perwujudan dari perencanaan keperawatan
yang telah disusun dalam rencana keperawatan, penulis tidak bekerja sendiri,
melainkan bekerja sama dengan perawat yang ada di ruangan dan juga pasien serta
dukungan adanya fasilitas yang memadai. Pelaksanaan secara teoritis dilakukan
bedasarkan kebutuhan, sedangkan dalam praktik, pelaksanaanya sesuai dengan
perencanaan yang telah disusun berdasarkan keluhan pasien.

5. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir proses keperawatan yang bertujuan untuk
mengevaluasi respon pasien terhadap perawatan yang diberikan untuk memastikan
bahwa hasil yang diberikan dan diharapkan pada pasien telah tercapai. Dalam
teori, evaluasi terdiri dari:
Pre operasi
a. nutrisi seimbang
b. infeksi tidak terjadi
c. perubahan peran terkontrol
post operasi
d. jalan nafas efektif
e. nutrisi seimbang
f. integritas kulit membaik
g. nyeri teratasi
h. pengetahuan bertambah
Saat dilakukan pengkajian pada pasien sampai ke tahap evaluasi maka penulis
mendapatkan evaluasi sebagai berikut:
Pre operasi
a. aspirasi tidak terjadi
post operasi
a. nyeri teratasi
c. infeksi tidak terjadi
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Setelah menganalisa kasus AnS dengan batu ginjal, maka penulis menarik
kesimpulan:
1. Tanda dan gejala yang ditemukan secara langsung selama pengkajian ternyata
tidak selalu sama dibandingkan dengan teori yang ada, hal ini dapat terjadi
salah satunya karena adanya komplikasi dan berat ringannya kondisi pasien saat
sakit.
2. Diagnosa keperawatan yang muncul secara teoritis dalam kenyataanya belum
tentu sama dengan diagnosa keperawatan yang ditemukan langsung pada
pasien, hal ini terjadi karena pasien telah mendapatkan perawatan obat
sebelumnya dan telah mendapat terapi obat.
3. Dalam perencanaan yang terdapat pada teori tidak digunakan seluruhnya pada
saat penyusunan rencana pada kasus karena diselesaikan dengan keluhan pasien
dan digunakan sebagai pedoman pelaksanaan keperawatan.
4. Pelaksanaan keperawatan yang terdapat pada teori yang tidak begitu jelas
namun pada kasus dilakukan sesuai dengan rencana yang disusun sebelumnya.
5. Evaluasi keperawatan pada teori tidak semua muncul dengan demikian evaluasi
dibuat sesuai dengan pengkajian yang didapat saat dilakukan praktek.

B. Saran
Dari hasil kesimpulan penulis memberikan saran kepada perawat, pasien dan
keluarga, antara lain:
1. Sebagai perawat harus mampu menggali lebih dalam pada saat melakukan
pengkajian keperawatan guna mengoptimalkan proses keperawatan dan
mampu memprioritaskan diagnosa keperawatan yang memerlukan
penanganan segera.
2. Sebagai pasien diharapkan dapat bekerjasama dengan tim medis berkaitan
dengan proses keperawatan
3. Sebagai Keluarga pasien diharapkan dapat bekerjasama dengan tim medis
dan selalu mendampingi pasien.

DAFTAR PUSTAKA
Betz, Cecily Lynn dan Linda A. Sowden. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatri
Edisi 5. Jakarta: EGC.
Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, et al. 2005. Sumbing Bibir dan Langitan. Dalam :
Kapita Selekta. Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius FK UI.
Speer, Kathleen Morgan. 2008. Rencana Asuhan Keperawatan Pediatrik dengan
Clinical Pathways . Edisi 3. Jakarta: EGC.
Wong, Donna L, et all. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik . Volume 2. Jakarta:
EGC.
Hidayat, A. Azis Alimul. 2006. Pengantar Ilmu Anak. Jakarta: Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai