Anda di halaman 1dari 20

Konsep dan Asuhan Keperawatan

Gangguan Pada Anak (Labiopalatoskizis)

OLEH

1.Irma Krismawati (P1337420518058)


2.Wiesnu Stya M (P1337420518093)
3.Agung Dwi L (P1337420518094)
4.Silvia Nurullita (P1337420518101)

POLITEKKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN SEMARANG


PRODI DIII KEPERAWATAN MAGELANG
2018/2019

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas berkat
dan rahmatnya sehingga makalah tentang “Askep Gangguan Pencernaan Anak
Labiopalatoskizis” untuk mata kuliah system pencernaan dapat terselesaikan.
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini ialah untuk menyelesaikan tugas yang
diberikan oleh dosen yang bersangkutan kepada kami kelompok 5 sebagai
mahasiswa program studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas
Hasnuddin.

Makalah ini berisi materi tentang gangguan pencernaan pada anak mengenai
Askep Gangguan Pencernaan Anak Labiopalatoskizis. Makalah ini dibuat untuk
mengetahui materi tentang Askep Gangguan Pencernaan Anak Labiopalatoskizis.
Dengan makalah ini, diharapkan dapat memudahkan kita dalam mempelajari materi
system pencernaan khususnya mengenai Askep Gangguan Pencernaan Anak
Labiopalatoskizis. Kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan baik dari cara
penulisan maupun isi dari makalah ini, karenanya kami siap menerima baik kritik
maupun saran dari dosen pembimbing dan pembaca demi tercapainya kesempurnaan
dalam pembuatan berikutnya.

Kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan


makalah ini, kami sampaikan penghargaan dan terima kasih. Semoga Tuhan yang
Maha Esa senantiasa melimpahkan berkat dan bimbingannya kepada kita semua.

Magelang, 18 Juni 2019

Penyusun

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................................. 2
DAFTAR ISI ................................................................................................................. 3
BAB I ............................................................................................................................ 4
PENDAHULUAN ........................................................................................................ 4
A. Latar Belakang .................................................................................................. 4
B. Rumusan Masalah ............................................................................................. 5
C. Tujuan ............................................................................................................... 5
BAB II ........................................................................................................................... 6
PEMBAHASAN ........................................................................................................... 6
A. Pengertian Labioschisis ..................................................................................... 6
B. Etiologi Labioschisis ......................................................................................... 7
C. Manifestasi Klinis Labioschisis ........................................................................ 8
D. Komplikasi ........................................................................................................ 8
E. Patofisiologi ...................................................................................................... 9
F. Evaluasi Diagnostik .......................................................................................... 9
G. Penatalaksanaan terapeutik ............................................................................. 10
H.Pertimbangan Keperawatan..........................................................................................
I.Asuhan keperawatan pada anak dengan Labiopalatoskizis............................................
BAB III ....................................................................................................................... 19
PENUTUP ................................................................................................................... 19
A. Kesimpulan ..................................................................................................... 19
B. Saran ................................................................................................................ 19
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 20

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Insiden labioskizis dengan atau tanpa palatoskizis lebih-kurang 1
dalam 800 kelahiran hidup. Insiden palatoskizis saja 1 dalam 2000 kelahiran
hidup. Labioskizis dengan atau tanpa palatoskizis lebih sering dijumpai pada
laki-laki, dan palatoskizis saja lebih sering pada wanita. Defek ini tampaknya
lebih sering terdapat pada orang Asia dan suku-suku tertentu penduduk asli
Amerika dibandingkan pada orang kulit putih, pada orang kulit hitam, defek
tersebut lebih jarang ditemukan.
Insidens celah bibir (sumbing) dengan atau tanpa adanya celah pada
palatum, kira-kira terdapat pada 1 : 600 kelahiran; insidens celah palatum
saja sekitar 1 : 1.000 kelahiran. Bibir sumbing lebih lazim terjadi pada laki-
laki. Kemungkinan penyebabnya meliputi ibu yang terpajan obat, kompleks
sindrom malformasi, murni tak diketahui, atau genetic. Faktor genetic pada
bibir sumbing , dengan atau tanpa celah palatum, lebih penting daripada
celah palatum saja.Namun keduanya dapat terjadi secara sporadic; insidens
tertinggi kelainan ini terdapat pada orang Asia dan terendah pada kulit hitam.
Insidens yang terkait malformasi congenital dan gangguan dalam proses
perkembangan meningkat pada anak-anak dengan cacat celah, terutama pada
mereka yang menderita cacat celah palatum saja. Penemuan ini sebagian
terjelaskan oleh adanya kenaikan insidens gangguan pendengaran konduktif
pada anak yang menderita celah palatum, sebagian disebabkan karena infeksi
berulang pada telinga tengah, juga oleh frekuensi cacat celah pada anak-anak
yang mempunyai kelainan kromosom.
Derajat deformitas bibir dan palatum Sumbing biasanya dibagi dalam
tiga kelompok. : Sumbing pra-alveolar, di mana melibatkan bagian bibir atau
bibi dan hidung (merupakan derajat keempat), sumbing alveolar, di mana
sumbing mengenai bibir, tonjolan alveolar, dan biasanya palatum ( derajat

4
ketiga), sumbing pascaalveolar, di mana sumbing pada derajat ini hanya
melibatkan palatum (derajat pertama dan kedua).

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Labiopalatoskizis?
2. Bagaimana etiologi labiopalatoskizis ?
3. Bagaimana manifestasi klinis labiopalatoskizis?
4. Bagaimana komplikasi labiopalatoskizis?
5. Bagaimana patofisiologi labiopalatoskizis ?
6. Bagaimana evaluasi diagnostik labiopalatoskizis ?
7. Bagaimana penatalaksanaan terapeutik labiopalatoskizis ?
8. Bagaimana pertimbangan keperawatan labiopalatoskizis ?
9. Bagaimana perawatan prabedah labiopalatoskizis ?
10. Bagaimana asuhan keperawatan pada anak labiopalatoskizis ?

C. Tujuan
1. Mahasiswa mampu mengetahui pengertian labiopalatoskizis
2. Mahasiswa mampu mengetahui etiologi labiopalatoskizis
3. Mahasiswa mampu mengetahui manifestasi klinis labiopalatoskizis
4. Mahasiswa mampu mengetahui komplikasi labiopalatoskizis
5. Mahasiswa mampu mengetahui patofisiologi labiopalatoskizis
6. Mahasiswa mampu mengetahui evaluasi diagnostik labiopalatoskizis
7. Mahasiswa mampu mengetahui penatalaksanaan terapeutik
labiopalatoskizis
8. Mahasiswa mampu mengetahui pertimbangan keperawatan
labiopalatoskizis
9. Mahasiswa mampu mengetahui perawatan prabedah labiopalatoskizis
10. Mahasiswa mampu mengetahui asuhan keperawatan pada anak
labiopalatoski

5
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Labiopalatoskizis
Bibir sumbing (SB) adalah
malformasi yang disebabkan oleh
gagalnya prosesus nasal dan
maksilaris untuk menyatu selama
perkembangan embriotik,
sedangkan palatum sumbing (PS)
adalah fisura garis tengah pada
palatum yang terjadi karena
kegagalan dua sisi menyatu selama
perkembangan embrionik.

Labioskizis (celah bibir) dan


palatoskizis (celah langit-langit
mulut/ palatum) merupakan
malformasi facial yang terjadi
dalam perkembangan embrio.
Keadaan ini sering dijumpai pada
semua populasi dan dapat menjadi disabilitas yang berat pada orang yang
terkena. Keduaya dapat terjadi secara terpisah atau yang lebih sering lagi,
secara bersamaan. Labiozkizis terjadi karena kegagalan pada penyatuan kedua
prosesus nasalis maksilaris dan mediana. Palatoskizis merupakan fisura pada
gais tengah palatum akibat kegagalan penyatuan kedua sisinya.

Labioskiizis dapat bervariasi dari lubang yang kecil hingga celah lengkap
pada bibir atas yang membentang kedalam dasar hidung (GBR 24-3). Celah
tersebut bisa unilateral atau bilateral. Deformitas struktur dental menyertai

6
labioskizis. Palatoskizis saja terjadi pada garis tengah dan dapat mengenai
palatum mole maupun durum (langit-langit lunak maupun keras). Bila disertai
dengan labioskizis, cacat ini dapat mengenai garis tengah dan meluaas hingga
palatum mole pada salah satu atau kedua sisinya.
Celah bibir dapat terjadi dalam berbagi variasi, mulai dari takik kecil
pada batas yang merah terang sampai celah sempurna yang meluas ke dasar
hidung. Cela ini mungkin unilateral ( lebih sering pada sisi kiri) atau bilateral,
dan biasanya melibatkan rigi-rigi alveolus. Biasanya disertai dengan gigi yang
cacat dan salah bentuk, gigi tambahan, atau bahkan tidak tumbuh gigi. Cela
kartilag, cuping hidung, dan bibir sering kali disertai dengan defisiensi sekat
hidumg dan panjang vomer, menghasilkan tonjolan keluar bagian anterior celah
prosesus maksilaris.
Cela palatum murni terjadi pada linea mediana dan dapat melibatkan
hanya uvula, atau dapat meluas ke dalam atau melalui palatum molle dan
palatum durum sampai ke foramen insisivus. Apabila celah palatum ini terjadi
bersamaan dengan cela bibir (sumbing), cacat ini dapat melibatkan linea
madiana palatum molle dan meluas sampai ke palatum durum pada satu atau
kedua sisi, memaparkan satu atau kedua rongga hidung sebagai cela palatum
unilateral atau bilateral. Dapat terjadi berbagai derajat malformasi dimulai dari
taktik yang ringan pada bagian tepi bibir di kanan atau kiri garis tengah. Sampai
sumbing yang lengkap berjalan hingga sampai ke hidung. Terdapat variasi
lanjutan dari cacat yang melibatkan palatum.

B. Etiologi Labiopalatoskizis
Mayoritas kasus tampaknya konsisten dengan konsep pewarisan
multifaktor sebagimana terbukti melalui peningkatan insiden pada kerabat dan
kesesuaian yang lebih tinggi pada kembar monozigot dibandingkan kemabr
dizigot. Banyak sindrom yang dikenal meliputi defek ini sebagai gambaran
klinis dan merupakan akibat dari abnormalitaas kromosom serta faaktor
lingkungan atau teratogen yang mungkin bertanggung jawab atas terjadinya
skizis (sumbing) pada suatu titik menentukan dalam perkembangan embrio.

7
Perlu dicacat bahwa perbuatan merokok yang dilakukan ibu hamil dalam
trisemester pertama diyakini merupakaan penyebab 11 % hingga 12 % dari
semua kasus labioskizis dan/atau palatoslizis.

C. Manifestasi Klinis Labiopalatoskizis


Labioschisis dengan manifestasi klinis berupa distorsi hidung, tampak
sebagaian atau kedua-duanya, dan adanya celah dibibir; sedangkan pada
palatoshisis tampak ada cela pada tekak atau uvula, palato lunak dan keras, serta
atau foramen incisivus, adaya rongga pada hidung, distorsi hidung, teraba ada
cela atau terbukanya langi-langit pada waktu diperiksa, dan mengalami
kesukaran dalam mengisap atau makan .
Celah bibir dapat terjadi dalam berbagai variasi, mulai dari takik kecil pada
batas yang merah terang sampai celah sempurna yang meluas ke dasar hidung.
Celah ini mungkin unilateral atau bilateral, dan biasanya melibatkan rigi-rigi
alveolus. Biasanya disertai dengan gigi yang cacat bentuk, gigi tambahan atau
bahkan tidak tumbuh gigi. Celah kartilago cuping hidung- bibir seringkali
disertai dengan defisiensi sekat hidung dan pemanjangan vomer, menghasilkan
tonjolan keluar bagian anterior celah prosesus maksilaris.
Celah palatum murni terjaid pada linea mediana dan dapat melibatkan hanya
uvula saja, atau dapat meluas ke dalam atau melalui palatum molle dan palatum
durum sampai ke foramen insisivus. Apabila celah palatum ini terjadi bersamaan
dengan celah bibir, cacat ini dapat melibatkan linea mediana palatum molle dan
meluas sampai ke palatum durum pada satu atau kedua sisi, memaparkan satu
atau kedua rongga hidung sebagai celah palatum unilateral atau bilateral.

D. Komplikasi Labiopalatoskizis
Otitis media berulang dan ketulian sering terjadi. Jarang dijumpai kasus
karies gigi yang berlebihan,. Koreksi ortodontik dibutuhkan apabila terdapat
kesalahan dalam penempatan arkus maksilaris dan letak gigi-geligi. Cacat bicara
bisa ada atau menetap meskipun penutupan palatum secara anatomic telah
dilakukan dengan baik. Cacat viwicara yang demikian ditandai dengan

8
pengeluaran udara melalui hidung dan ditandai dengan kualitas hipernasal jika
membuat suara tertentu. Baik sebelum maupun sesudah operasi palatum, cacat
wicara disebabkan oleh fungsi otot-otot palatum dan faring yang tidak adekuat.
Selama proses menelan dan pada saat mengeluarkan suara tertentu, otot-otot
palatum molle dan dinding lateral serta posterior nasofaring membentuk suatu
katup yang memisahkan nasofaring dengan orofaring. Jika katup tersebut tidak
berfungsi secara adekuat, orang itu sukar untuk menciptakan tekanan yang cukup
dalam mulutnya untuk membuat suara-suara ledakan seperti p,b,d,t,h,y atau
untuk bunyi berdesis s, sh, dan ch ; sehingga kata-kata sperti “cats”, “boats”, dan
“sisters” menjadi tidak jelas. Kemungkinan, terapi wicara diperlukan setelah
suatu operasi atau pemasukan alat bantu wicara .

E. Patofisiologi Labiopalatoskizis
Labio/palatoskizis terjadi karena kegagalan penyatuan prosesus maksilaris
dan premaksilaris selama awal usia embrio. Labioskizis dan palatoskizis
merupakan malformasi yang berbeda secara embrional dan terjadi pada waktu
yang berbeda selama proses perkembangan embrio. Penyatuan bibir atas pada
garis tengah selesai dilakukan pada kehamilan antara minggu ketujuh dan
kedelapan. Fusi palatum sekunder (palatum durum dan mole) terjadi kemudian
dalam proses perkembangan, yaitu pada kehamilan antara minggu ketujuh dan
kedua belas. Dalam proses migrasi ke posisi horizontal, palatumm tersebut
dipisahkan oleh lidah dalam waktu yanag singkat. Jika terjadi kelambatan
dalam porses migrasi atau pemindahan ini, atau bila lidah tidak berhasil turun
dalam waktu yang cukup singkat, bagian lain proses perkembangan tersebut
akan terus berlanjut namun palatum tidak bernah menyatu.

F. Evaluasi Diagnostik Labiopalatoskizis


Labioskizis dengan atau tanpa palatoskizis dapat terlihat dengan mudah
pada saat lahir dan merupakan defek pada bayi yang menimbulkan reaksi
emosional yang berat bagi orangtuannya. Palatoskizis dapat terjadi sebagai

9
defek yang terpisah atau menyertai plabioskizis. Palatoskizis mungkin tidak
dapat dideteksi jika tidak dilakukan pemeriksaan yang cermat unutk menilai
rongga mulut bayi. Deformitas dapat dikenali dengan meletakkan langsung jari
tangan pemeriksa pada palatum. Celah pada palatum durum membentuk lubang
yang kontinu antara mulut dan kavum nasi. Instensitas palatoskizis akan
memberikan dampak pada proses penyusu. Bayi tidak mampu menghasilkan
tekanan negatif dalam kavum oral yang memeberikan kepadanya kemampuan
mengisap air susu. Pada kebanyakan kasus kemampuan bayi untuk menelan
masih normal (Solidikin, 2011).

G. Penatalaksanaan Terapeutik Labiopalatoskizis


Penanganan anak yang menderita palaktoskizis berupa pembedahan dan
biasanya tindakan ini meliputi intervensi jangka panjang kecuali mungkin
oprasi perbaikan jaringan perutnya. Walaupun demikian, penatalaksanaan
palaktitoskizis meliputi upaya –upaya prabedah dari tim pelayanan kesehatan
multidisiplin, termasuk dokter spesialis anak, bedah plastik, ortodontik, THT
(otorinolaringologi), patologi bicara/bahasa, audiologi, keperawatan, dan
pekerjaan sosial untuk memberikan hasil yang optimal. Penatalaksanaan medis
ditunjukan kepada penutupan celah, pencegahan komplikasi dan percepatan
tumbuh-kembang anak yang normal.
 Koreksi Dengan Pembedahan : Labioskizis
Penutupan defek pada bibir mendahului proses penutupan
defek pada palatum yang biasanya terjadi pada usia embrio 6 hingga 12
minggu. Koreksi dengan pembedahan dilakukan ketika bayi tidak
menderita infeksi oral, respiratori ataupun sistemik. Metode perbaikan
labioskizis meliputi satu dari beberapa jahitan putus-putus(Z-plasty)
untuk meminimalkan pembentukan tonjolan pada bibir akibat rektraksi
jaringan parut.
Segera setelah pembedahan, garis jahitan dilindungi terhadap
tarikan/regangan dan trauma oleh logam yang tipis serta berbentuk
melengkung(logan bow) yang direkatkan pada pipi dengan plaster atau

10
oleh plaster penahan berbentuk kupu-kupu; kedua lengan bayi difiksasi
pada sendi sikunya agar bayitidak menggaruk luka insisi dengan kedua
belah tangannya. Dalam kondisi tanapa infeksi atau trauma, kesembuhan
berlangsung dengan sedikit pembentukan jaringan parut.

 Koreksi Dengan Pembedahan: Palatoskizis.


Umumnya koreksi palatoskizis ditunda sampai bayi berusia
12 hingga 18 bulan untuk mendapatkan manfaat dari perubahan palatum
yang berlangsung pada pertumbuhan normal. Kebanyakan dokter bedah
menyukai penutupan celah pada usia ini sebelum anak mengalami
penyimpangan pada kebiasaannya berbicara.

Prognosis

Kendati sudah dilakukan penutupan anatomi yang baik, mayoritas anak


yang menderita labio/ palatoskizis anak memiliki gangguan bicara
dalam derajat tertentu yang memerlukan terapi wicara. Masalah fisik
timbul karena infisiensi fungsi otot pada palatum mole serta nasofaring,
kesejajaran gigi yang tidak baik, dan gangguan pendengaran dengan
derajat yang bervariasi. Drainase telinga tengah yang tidak sempurna
akibat inefisiensi fungsi tuba eustachii turut memberikan kontribusi
untuk terjadinya otitis media yang rekuren dengan pembentukan
jaringan perut pada membran timpani yang pada banyak anak dengan
palatoskizis menyebabkan gangguan pendengaran. Infeksi respiratori
atas memerluksn perhatian segera serta penuh, dengan perawatan
ortodontikserta prostodontik yang ekstensif mungkin diperlukan untuk
mengoreksi problem malposisi gigi serta arkus maksilaris.

Beberapa masalah jangka-panjang yang lebih rumit


berhubungan dengan penyesuaian anak terhadap lingkungan sosialnya.
Semakin baik perawatan fisiknya, semakin besar kemungkinan
terbentuknya penyesuaian emosional dan sosial kendati keberadaan
defek serta derajat disabilitas yang tersisa tidak selalu berhubungan

11
langsung dengan penyesuaian yang memuaskan. Defek fisik merupakan
ancaman bagi citra diri, dan kualitas bicara yang abnormalmenjadi
kendala yang menghalangin ekspresi sosial penyandangnya.

12
Asuhan Keperawatan Anak dengan Labiopalatoskizis

1.Pengkajian

A.Identitas

Identitas Pasien

Nama : an.L

Usia :2 Jam

Jk :Laki-laki

Identitas Penanggung Jawab

Nama :Tn.A

Usia :30 Tahun

Jk :Laki-laki

Agama :Islam

Pendidikan: SMA sederajat

2.Keluhan Utama

Setelah lahir terdapat celah pada bibir dan langit-langit mulut dan tampak
sulit untuk menghisap ASI.

 Pengkajian Gordon
1. Pola Persepsi kesehatan
Kurangnya pemahaman orang tua tentang keluhan yang dialami anaknya.
2. Pola Nutrisi Metabolik
Kesulitan pada anak dalam menerima asupan ASI ataupun melalui botol
mengakibatkan kurang terpenuhinya kebutuhan nutrisi anak.

13
3. Pola Eliminasi
Volume urin tidak terlalu banyak,urine encer berwarna pucat dan
kuning,Perubahan dalam feses.
4. Pola aktivitas dan latihan

Bayi sering rewel dan menangis.

5.Pola Istirahat dan Tidur

Anak mengalami kesulitan tidur dan kurangnya istirahat karena sulitnya


dalam menerima ASI dario Ibu.

6.Pola kognitif Perseptual

Orang tua anak mengatakan ada kekawatiran mengenai keadaan anak nya
karena terus menangis dan adanya celah pada bibir anak.

7.Pola persepsi diri

8.Pola Peran Hubungan

Orang tua dan keluarga klien sangat menyayangi bayi itu.

9.Pola Seksualitas-Reproduksi

Tidak ada masalah dengan organ reproduksinya.

10.Pola koping-Toleransi stress

Bayi tampak gelisah.

11.Pola Nilai Kepercayaan

Keluarga dan bayi beragama Islam.

14
2.Pemeriksaan head to tue

1.Kepala

Bentuk kepala simetris,bersih rambut hitam lebat,tidak ada lesi,tidak ada nyeri
tekan.

2.Kulit

Warna kulit putih,tidak ada oedema,tidak ada lesi.

3.Mata

Bola mata simetris,pergerakan bola mata normal,refleks pupil terdapat


cahaya,kornea bening,ketajaman penglihatan normal.

4.Hidung

Bentuk simetris,penciuman normal,tidak ada peradangan.

5.Telinga

Bentuk daun telinga simetris,letaknya simetris,tidak ada peradangan,berfungsi


dengan baik/normal,ada sedikit serumen.

6.Mulut

Bibir berwara merah muda,terdapat celah di mulut,lidah bersih.

7.Leher

Tidak ada benjolan,tidak ada nyeri tekan,bisa bergerak rotasi.

8.Dada

Bentuk simetris,bentuk dan pergerakan dinding dada simetris,bunyi


pernapasan teratur.

9.Abdomen

Bentuk simetris,tidak ada nyeri tekan pada suprapubik,tidak ada odem.

15
3.Diagnosa keperawatan pre-operasi

1.Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh karena ketidakmampuan


menghisap/menerima asupan gizi.(Nanda 2018-2020).

2.Ketidak efektifan pola menyusu bayi .(Nanda 2018-2020)

3.Resiko ketidakseimbangan elektrolit(Nanda 2018-2020)

4.Gangguan citra tubuh (Nanda 2018-2020)

 Keperawatan Prioritas
Ketidakefektifan pola menyusu bayi.

Gangguan kemmpuan bayi untuk menghisap atau mengoordinasi respons


menghisap/menelan yang mengakibatkan ketidakadekuatan nutrisi oral untuk
kebutuhan metabolik.

Intervensi:

1.pemberian makan atau minum bayi dengan menggunaka cangkir/botol guna


memeudahkan untuk pemberian nutrisi pada bayi.

2.Dilakukan tindakan monitor cairan bayi guna mengetahui keadaan dan situasi bayi
dari faktor cairan.

3.Dilakukan tindakan intubasi gastrointestinal untuk membantu bayi dalam


pemenihan kebutuhan cairan yang dibutuhkan.

4Dilakukan rujukan ke tingkat Rumah Sakit yang lebih tinggi guna mendapatkan
penanganan atau solusi dari kelainana bayi tersebut.

16
Kriteria hasil:

1.Diharapkan kebutuhan bayi akan terpenuhi dengan diberiknnya nutrisi dengan


bantuan dari botol untuk menjaga kestabilan bayi.

2.Bayi dapat mendapatkan Berat Badan yang tepat sesuai dengan usia bayi dan
tumbuh kembang bayi.

3.agar bayi tidak tampak pucat,turgor kulit bayi membaik an kotoran dalam tuuh
bayi keluar dari tubuh.

4.agar bayi mendapatkan tindakan atau penyelesaian dari masalah atau dari keluhan
bayi supaya hidup dengan sehat dan lebih baik.

17
4.Diagnosa Keperawatan post operasi

1Kesiapan meningkatkan pemberian ASI

2.kesiapan meningkatkan penyesuaian individu

3.Hambata rasa nyaman

 Keperawatan Prioritas

Hambatan rasa nyaman

Merasa kurang nyaman ,lega,dan sempurna dalam dimensi


fisik,psikospiritual,lingkungan,budaya atau sosial.

Intervensi:

1.Pengurangan rasa nyaman dengan kaji penyebab ketidaknyamaan selain dari


proses keperawatan yang dijalankan.

2.Anjurkan keluarga untuk melakukan relaksasi sederhana untuk menguragi rasa


sakit/rasa nyaman yang dirasakan.

3.Kolaborasi pemberian analgesik sesuai dengan aturan untuk klien.

4.Jelaskan pda orang tua/keluarga untuk terlibat dalam perawatan bayi.

Kriteria Hasil:

1.Setelah mendapatkan perawatan diharapkan klien dapat berhenti menangis/rewel.

2.Bayi mendapatkan tingkat kenyamanan yang optimal.

3.Bayi tampak tenang dan dapat beristirahat dengan nyaman,.

18
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Labioskizis (celah bibir) dan palatoskizis (celah langit-langit mulut/
palatum) merupakan malformasi facial yang terjadi dalam perkembangan
embrio. Keadaan ini sering dijumpai pada semua populasi dan dapat menjadi
disabilitas yang berat pada orang yang terkena. Labioschisis dengan manifestasi
klinis berupa distorsi hidung, tampak sebagaian atau kedua-duanya, dan adanya
celah dibibir. Labioskiizis dapat bervariasi dari lubang yang kecil hingga celah
lengkap pada bibir atas yang membentang kedalam dasar hidung (GBR 24-3).
Celah tersebut bisa unilateral atau bilateral.

B. Saran
Mengingat labioskizis merupakan suatu hal yang menghambat bagi
keberlangsungan hidup bayi/anak-anak maka penanganan ini diupayakan secara
maksimal dengan peningkatan mutu pelayanan kesehatan baik melalui tenaga
kesehatan, prasarana dan sarana kesehatan dalam menangani labioskizis pada
anak.

19
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek,G.M.,Butcher,H.K.,Dochterman,J.M.,&Wagner,C.M(2013).
Nursing interventions classification (NIC).Singapore:ELSEVIER.
Herdman,T.H.,&Kamitsuru,S.(2015).Diagnosis keperawatan Defenisi
&Klasifikasi.Jakarta:EGC.
Moorhead,S.,Johnson,M.,Mass,M.L.,&Swanson.,E.(2013).Nursing Outcome
Classification (NOC),Singapore:ELSEVIER.
Solidikin.(2011).Asuhan Keperawatan Anak Gangguan Sistem Gastrointestinal dan
Hepatobilier,Jakarta:Salemba Medika.

20

Anda mungkin juga menyukai