Anda di halaman 1dari 57

MAKALAH KEPERAWATAN ANAK

LABIOPALATOSKIZIS
Dosen Pengampu : Elfira Awalia Rahmawati, Ns.,M.Kep.,Sp.Kep.An

Disusun Oleh :

Arianti Meilani (22003)

Ega Gita Septiani (22010)

Fadillah Fauziah (22011)

PRODI KEPERAWATAN

AKADEMI KEPERAWATAN PELNI JAKARTA


Pt. Pelni, Jalan Angkasa No.14, RT.13/RW.3 10610 Daerah Khusus Ibukota Jakarta
Daerah Khusus Ibukota Jakarta
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan
rahmatNya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun
isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah yang berjudul “Labiopalatoskizis” dapat
dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca.

Kami menyusun makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Anak.
Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan wawasan serta
dapat menerapkan makalah ini dalam kegiatan sehari-hari pembaca.

Dalam penyusunan makalah ini, Kami menyadari segala kekurangan dan kemampuan
yang sangat terbatas yang kami miliki, sehingga dalam penulisan, penyusunan kalimat dan
dalam mencari sumber buku serta sumber dari internet masih kurang. Dengan segala usaha
yang telah kami lakukan maka makalah ini dapat diselesaikan tepat waktu dan berharap
menghasilkan yang terbaik.

Dengan segala kerendahan hati, kami mengharapkan kritikan dan saran yang sifatnya
membangun guna untuk menyempurnakan makalah ini, khususnya dari dosen mata kuliah guna
menjadi acuan dalam bekal pengalaman bagi kami untuk lebih baik di masa yang akan datang.

Jakarta, 24 Oktober 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................... ii

DAFTAR ISI ............................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang ............................................................................................... 1


B. Rumusan masalah ......................................................................................... 2
C. Tujuan ........................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Definisi .......................................................................................................... 3
B. Etiologi .......................................................................................................... 3
C. Patofisiologi .................................................................................................. 5
D. Komplikasi .................................................................................................... 6
E. Penatalaksanaan medis .................................................................................. 7
F. Konsep asuhan keperawatan ......................................................................... 9

BAB III STUDI KASUS LABIOPALATOSKIZIS .................................................. 16

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................................... 21
B. Saran ............................................................................................................. 21

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 22

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Labiopalatoskizis atau yang biasa dikenal dengan istilah bibir sumbing
merupakan cacat berupa celah pada bibir atas yang terjadi sampai ke gusi, rahang dan
langit-langit yang terbentuk pada trimester pertama kehamilan karena tak terbentuknya
mesoderm pada daerah tersebut sehingga prosesus nasalis dan maksilaris yang telah
menyatu menjadi pecah kembali (Armi, 2018). Kelainan fisik ini berupa celah yang
terdapat pada bibir atas di antara rongga mulut dan rongga hidung yang menyebabkan
penderita mengalami kesulitan ketika berbicara (Asmara, 2018). Bibir sumbing
termasuk kelainan kraniofasial yang terjadi pada proses pembentukan janin semasa
dalam kandungan ibunya, kecacatan yang terjadi pada bagian wajah dan mulut
menyebabkan bayi cacat fisik maupun mental, secara psikologis sangat mencemaskan
orang tuanya. Menurut Muslich (2009) bibir sumbing atau rekahan (belahan) baik di
langit-langit, mulut, gusi, maupun bibir, terjadi sejak awal kehamilan ibu. Hal itu
disebabkan gagalnya jaringan janin pada saat pembentukan langit-langit mulut, gusi,
dan bibir. Selain itu, pada penderita bibir sumbing sering didapati kelainan bentuk
hidung.
Kejadian bibir sumbing mencapai 1:700 per angka kelahiran hidup. Benua Asia
dan Amerika, memiliki angka kejadian bibir sumbing tertinggi, yang mencapai 1:500
per angka kelahiran hidup, sedangkan Benua Eropa, mencapai 1:1.000 per angka
kelahiran hidup, dan Benua Afrika mencapai 1:2.500 per angka kelahiran hidup.
Kejadian bibir sumbing di Indonesia, selalu bertambah 3.000-6.000 kejadian setiap
tahun. Prevalensi nasional untuk kejadian bibir sumbing mencapai 2,4 %. Hasil
Riskesdas 2007, prevalensi nasional bibir sumbing adalah 0,2% (berdasarkan keluhan
responden atau observasi wawancara), dan menurut laporan Riskesdas Tahun 2010
dikumpulkan data kecacatan pada anak usia 24-59 bulan. Pada umumnya faktor genetik
menjadi salah satu penyebab utama kelainan sumbing. Jika keluarga memiliki satu anak
yang terkena kelainan sumbing atau riwayat orang tua dengan bibir dan langit-langit
sumbing, risiko anak pada kehamilan berikutnya adalah 4%. Jika dua anak sebelumnya

1
memiliki bibir dan langit-langit sumbing, risiko meningkat menjadi 9%, dan jika salah
satu orang tua dan satu anak sebelumnya terkena, resikonya menjadi 17%.
Untuk penyebab bibir sumbing masih belum diketahui secara pasti, tetapi
terdapat bukti bahwa ada dua faktor yang berperan dalam timbulnya bibir sumbing,
yaitu faktor keturunan dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan memiliki peran
terjadinya bibir sumbing pada saat kritis penyatuan bagian-bagian bibir dan palatum.
Pada wanita hamil yang mengkonsumsi obat-obatan secara berlebihan atau tidak benar,
seperti kortison, aspirin, obat-obatan anti-konvulsi, hal ini dapat meningkatkan
kemungkinan terjadinya bibir sumbing. Radiasi yang berlebihan juga dapat
meningkatkan resiko terjadinya cacat pada bayi, juga pada ibu yang mempunyai
kebiasan merokok dan waktu hamil masih diteruskan juga mempunyai resiko
terjadinya cacat pada bayinya (Sudiarsa, 2009).
Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti tertarik melakukan studi
literatur dari beberapa artikel ataupun jurnal yang berkaitan dengan bibir sumbing dan
penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penderita bibir sumbing atau Labioschisis
seperti faktor penyebab bibir sumbing.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian labiopalatoskizis?
2. Apa Etiologi labiopalatoskizis?
3. Bagaimana patofisiologi labiopalatoskizis?
5. Komplikasi apa saja yang dapat terjadi pada labiopalatoskizis?
5. Bagaimana penatalaksanaan medis pada labiopalatoskizis?
6. Konsep asuhan keperawatan pada labiopalatoskizis?
7. Studi kasus pada labiopalatoskizis
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari labiopalatoskizis
2. Untuk mengetahui etiologic dari labiopalatoskizis
3. Untuk mengetahui patofisiologi dari labiopalatoskizis
4. Untuk mengetahui komplikasi pada labiopalatoskizis
5. Untuk mengetahui penatalaksanaan dari labiopalatoskizis
6. Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan dalam labiopalatoskizis
7. Untuk mengetahui studi kasus dalam labiopalatoskizis

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Labioskizis dan Labiopalatoskizis


Labioskizis atau yang lebih dikenal dengan sebutan bibir sumbing adalah suatu
pemisahan dua sisi bibir yang dapat mempengaruhi kedua sisi bibir juga tulang dan
jaringan lunak tulang alveolus. Sumbing palatum merupakan suatu lubang di garis
tengah palatum yang terjadi karena kegagalan kedua sisi palatum untuk menyatu selama
perkembangan embrionik (Kusumawati, 2018).
Labiopalatoschizis adalah suatu kondisi dimana terdapat celah pada bibir atas
diantara mulut dan hidung. Kelainan ini dapat berupa celah kecil pada bagian bibir yang
berwarna sampai pada pemisahan komplit satu atau dua sisi bibir memanjang dari bibir
ke hidung. Celah pada satu sisi disebut labioschisisunilateral, dan jika celah terdapat
pada kedua sisi disebut labioschisis bilateral. Kelainan ini terjadi karena adanya
gangquan pada kehamilan trimester pertama yang menyebabkan terganggunya proses
tumbuh kembang janin. Faktor yang diduga dapat menyebabkan terjadinya kelainan in
adalah kekurangan nutrisi, stres pada kehamilan, trauma dan faktor genetik.

B. Etiologi
Penyebab secara pasti kelainan sumbing bibir dan langit-langit sampai saat ini
belum pasti. Akan tetapi beberapa hasil studi menunjukkan penyebab terpenting
terjadinya kelainan sumbing bibir dan langit-langit bersifat kompleks dan multifaktorial
yang melibatkan faktor genetik, lingkungan dan interaksi antara genetik dengan

3
lingkungan (Ahmed, et al.,2016; Khan, et al., 2020). Risiko terjadinya sumbing bibir
dan langit-langit adalah jika terdapat riwayat keluarga positif menderita kelainan ini
maka orang tua yang terkena memiliki peluang 3-5% untuk melahirkan anak yang
terkena, dan jika terdapat anak yang mengalami kecacatan maka orang tua memiliki
peluang 40% untuk melahirkan anak yang lain mengalami kecacatan.
Sumbing bibir terjadi akibat tonjolan nasal media gagal menyatu dengan
tonjolan maksila (keduanya merupakan pembentuk bibir atas), baik pada satu sisi
(sumbing bibir unilateral) maupun kedua sisi (sumbing bibir bilateral). Keduanya
menyebabkan otot bibir tidak dalam satu kesatuan otot, sehingga menimbulkan
gangguan fungsional dan estetik. Sumbing bibir merupakan kasus anomali kraniofasial
kongenital yang paling sering dalam bidang bedah plastik.Sumbing palatum terjadi
akibat tonjolan palatina gagal menyatu. Secara normal, palatum dapat dibagi menjadi
hard palate dan soft palate. Hard palate bagian anterior (alveolar) menjadi tempat
tumbuhnya gigi, sedangkan bagian posterior menjadi dasar kavum nasi. Soft palate
berguna dalam fungsi bicara normal, selain itu juga berkaitan dengan fungsi tuba
eustachius (Kapita Selekta Kedokteran, 2014).
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya bibir sumbing. faktor
tersebut antara lain, yaitu :
1. Faktor Genetik atau keturunan dimana material genetic dalam kromosom yang
mempengaruhi. Dimana dapat terjadi karena adanya mutasi gen ataupun kelainan
kromosom. Pada setiap sel yang normal mempunyai 46 kromosom yang terdiri dari 22
pasang kromosom non-sex (kromosom 1 s/d 22) dan 1 pasang kromosom sex
(kromosom X dan Y) yang menentukan jenis kelamin. Pada penderita bibir sumbing
terjadi Trisomi 13 atau Sindroma Patau dimana ada 3 untai kromosom 13 pada setiap
sel penderita, sehingga jumlah total kromosom pada tiap selnya adalah 47. Jika terjadi
hal seperti ini selain menyebabkan bibir sumbing akan menyebabkan gangguan berat
pada perkembangan otak, jantung, dan ginjal. Namun kelainan ini sangat jarang terjadi
dengan frekuensi 1 dari 8000-10000 bayi yang lahir.
2. Kurang Nutrisi contohnya defisiensi Zn dan B6, vitamin C pada waktu hamil,
kekuranganasam folat.
3. Infeksi pada ibu yang dapat mempengaruhi janin contohnya seperti infeksi rubella dan
sifilis, toxoplasmosis dan klamidia.
4. Pengaruh obat teratogenik, termasuk jamu dan kontrasepsi hormonal, akibat toksisitas
selama kehamilan, misalnya kecanduan alkohol, terapi penitonin.
4
C. Patofisiologi
Labioskizis terjadi karena kegagalan pada penyatuan kedua prosesus nasalis
maksilaris dan mediana, palatoskizis merupakan fisura pada garis tengah palatum
akibat kegagalan penyatuan kedua sisinya. (Wong, 2009)
Labiopalatoskizis terjadi karena kegagalan penyatuan prosesus maksilaris dan
remaksilaris selama awal usia embrio. Labiskizis dan palatoskiziz merupakan
malformasi yang berbeda secara embrional dan terjadi pada waktu yang berbeda selama
proses perkembangan embrio. Penyatuan bibir atas pada garis tengah selesai dilakukan
pada kehailan antara minggu ke tujuh dan kedelapan. Fusi palatum sekunder (palatum
durum dan mole) terjadi kemudian dalam proses perkembangan, yaitu pada kehamian
antara minggu ke tujuh dan kedua belas. Dalam proses migrasi ke posisi horizontal,
palatum tersebut dipisahkan oleh lidah untuk waktu yang singkat. Jika terjadi
Kelambatan dalam migrasi atau pemindahan ini, atau bila lidah tidak berhasil turun
dalam waktu yang cukup singkat, bagian lain proses tersebut akan terus berlanjut
namun palatum tidak menyatu. (Wong, 2009)
Periode perkembangan struktur anatomi bersifat spesifik sehingga sumbing
bibir dapat terjadi terpisah dari sumbing palatum, meskipun keduanya dapat terjadi
bersama-sama dan bervariasi dalam derarat keparahannya bergantung pada luas
sumbing yang dapat bervariasi mulai dari lingir alveolar sampai ke bagian akhir dari
palatum lunak. Variasi dapat pula dimulai dari tarik ringan pada sudut mulut atau bifid
uvula sampai deformitas berat berupa sumbing bibir yang meluas ke tulang alveolar
dan seluruh palatum secara bilateral. (Janti, 2008)
Variasi yang terjadi merupakan refleksi dari deviasi rangkaian perkembangan
palatum yang dimulai pada minggu ke-8 pada regio premaksila dan berakhir pada
minggu ke 12 pada uvula di palatum lunak. Jadi, jika faktor penyebab bekerja pada
minggu ke 8, sumbing akan terjadi lebih posterior dan juga anterior termasuk alveolus,
palatum kerad dan palatum lunak, serta vulva, membentuk cacat yang serius.
Sebaliknya, jika penyebab bekerja dekat akhir periode perkembangan (minggu ke 11),
sumbing yang terlihat hanya pada palatum lunak bagian posterior, menyebabkan
terjadinya sumbing sebagian atau hanya pada uvula sebagai cacat ringan yang tidak
membutuhkan terapi. (Janti, 2008)
Sumbing yang hanya mengenai bibir dinamakan cheilochisis. Sumbing bibir
umumnya terjadi pada minggu ke 6-7 intrauteri, sesuai dengan waktu perkembangan

5
bibir normal dengan terjadinya kegagalan penetrasi dari sel mesodemal pada grove
epitel diantara prosecus nasalis medialls dan lateralis. Lebih sering terjadi pada bayi
laki-laki dan lebih sering pada bagian kiri dari pada kanan. (Janti, 2008)
Saat usia kehamilan mencapai usia 6 minggu, bibir atas dan langit-langit
ronggaa mulut bayi dalam kansungan akan mulai terbentuk dari jaringan yang berada
dikedua sisi dari lidah dan bersatu di tengah-tengah. Apabila jaringan-jaringan ini gagal
bersatu maka akan terbentuk celah pada bibir atas atau langit-langit rongga.
D. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada pasien dengan Labiopalatoschizis adalah :
a. Kesulitan berbicara- hipernasalitas, artikulasi, kompensatori. Dengan adanya celah
pada bibir dan palatum, pada faring terjadi pelebaran sehingga suara yang keluar
menjadi sengau.
b. Maloklusi - pola erupsi gigi abnormal. Jika celah melibatkan tulang alveol, alveol
ridge terletak disebelah palatal, sehingga disisi celah dan didaerah celah sering
terjadi erupsi.
c. Masalah pendengaran - otitis media rekurens sekunder. Dengan adanya celah pada
paltum sehingga muara tuba eustachii terganggu akibtnya dapat terjadi otitis media
rekurens sekunder.
d. Aspirasi. Dengan terganggunya tuba eustachii, menyebabkan reflek menghisap dan
menelan terganggu akibatnya dapat terjadi aspirasi.
e. Distress pernafasan. Dengan terjadi aspirasi yang tidak dapat ditolong secara dini,
akan mengakibatkan distress pernafasan.
f. Resiko infeksi saluran nafas. Adanya celah pada bibir dan palatum dapat
mengakibatkan udara luar dapat masuk dengan bebas ke dalam tubuh, schingga
kuman - kuman dan bakteri dapat masuk ke dalam saluran pernafasan.
g. Pertumbuhan dan perkembangan terlambat. Dengan adanya celah pada bibir dan
palatum dapat menyebabkan kerusakan menghisap dan menelan terganggu.
Akibatnya bayi menjadi kekuranga nutrisi sehingga menghambat pertumbuhan dan
perkembangan bayi.
h. Asimetri wajah. Jika celah melebar ke dasar hidung " alar cartilage dan kurangnya
penyangga pada dasar alar pada sisi celah menyebabkan asimetris wajah.

6
i. Penyakit peri odontal. Gigi permanen yang bersebelahan dengan celah yang tidak
mencukupi di dalam tulang. Sepanjang permukaan akar di dekat aspek distal dan
medial insisiv pertama dapat menyebabkan terjadinya penyakit peri odontal.
j. Crosbite. Penderita labio palatoschizis seringkali paroksimallnya menonjol dan
lebih rendah posterior premaxillary yang colaps medialnya dapat menyebabkan
terjadinya crosbite.
k. Perubahan harga diri dan citra tubuh. Adanya celah pada bibir dan palatum serta
terjadinya asimetri wajah menyebabkan perubahan harga diri da citra tubuh.
E. Penatalaksanaan Medis
Tujuan dan intervensi bedah dan pembedahan adalah memulihkan struktur
anatomi, mengoreksi cacat dan memungkinkan anak mempunyai fungsi yang normal
dalam menelan, bernapas dan berbicara. Pembedahan biasanya dilakukan ketika anak
berumur ‡ 3 bulan, tetapi pada beberapa rumah sakit dilakukan segera setelah lahir.
1. Manajemen perawatan celah bibir
a. Perawatan pra bedah
1). Pemberian makan, Pemberian makan pertama kali sukar, tetapi tergantung pada
derajat deformitas yang dialami pada kasus ringan, ada kemungkinan member ASI
langsung kepada bayi. Jika tidak, pemberian susu botol mudah dilakukan. Akan tetapi,
bila menghisap susu dari botol sulit dilakukan bayi, makanan dapat diberikan
menggunakan sendok atau biarkan bayi menghisap dari sendok.
- Bila celah bibir tidak disertai celah palatum, bayi hanya mengalami sedikit kesukaran
dalam makan atau sama sekali tidak kesukaran.
- Jika celah bibir disertai celah palatum, bayi mengalami masalah bukan saja dalam
menelan tetapi juga dalam menghisap karena palatum yang lengkap dan utuh
diperlukan untuk memanifulasi puting dan menghisap ASI. Regurgitasi ASI melalui
hidung menimbulkan masalah lain yang membahayakan. Inhalasi ASI harus dicegah
dengan mempersiapkan penyedot setiap saat. Pemenuhan kebutuhan nutrisi adekuat
penting agar menjamin bahwa bayi dalam keadaan fisik yang baik, mengalami kenaikan
BB dan tidak mengalami anemia. Bila dijumpai adanya anemia, harus ditangani kapan
saja terjadi.

7
2) Pemberian antibiotic, Pemberian antibiotik sebagai profilaksis bertujuan menjamin
bahwa pada masa pasca bedah, anak tidak mengalami bahaya yang disebabkan oleh
mikroorganisme yang telah ada ataupun yang masuk selama masa bedah dan pasca
bedah.
3). Persiapan Pra bedah Prinsip, manajemen prabedah bertujuan mencapai atau
mempertahankan status fisik yang menjamin bahwa anak mampu mengatasi trauma
akibat intervensi bedah. Tujuan selanjutnya adalah menghilangkan atau mengurangi
terjadinya komplikasi selama atau setelah pembedahan melalui antisipasi yang seksama
dan pengobatan yang tepat.
b. Perawatan pasca bedah
Hal-hal yang perlu diperhatikan saat merawat anak yang sudah selesai mengalami
operasi perbaikan celah bibir meliputi :
1) Imobilisasi lengan merupakan aspek penting perawatan, untuk mencegah bayi
menyentuh garis jahitan.
2) Sedasi, anak yang menangis dapat mengingkatkan tegangan pada garis jahitan.
Pemberian sedasi sering kali dianjurkan untuk mengurangi tegangan, walaupun
tegangan sudah dikurangi dengan mengenakan peralatan seperti busur logam.
3) Pembalutan garis sedasi, biasanya jahitan sudah dibuka antar hari ke-5 dan ke-8.
Garis jahitan biasanya ditinggal tanpa penutup dan kebersihan dipertahankan dengan
mengelap area tersebut dengan air steril atau salin normal setelah selesai makan.
4) Pemberian makan dapat segera dimulai setelah bayi sadar dan refleks menelan
positif.
2. Manajemen perawatan celah palatum
Tindakan pembedahan umumnya dilakukan sebelum anak mulai berbicara.
Sebagian besar ahli bedah plastik melakukan pembedahan diantara usia 15 dan 18 bulan
tetapi beberapa berpendapat bahwa operasi harus ditunda sampai usia 7 tahun untuk
memungkinkan perkembangan tulang wajah secara lengkap. Operasi lebih baik
dilakukan oleh ahli bedah dengan pengalaman khusus dalam pekerjaan ini. Infeksi luka
harus dicegah dengan antibiotik yang sesuai.
Pemberian makan dapat merupakan masalah yang sulit pada anak tersebut,
karena adanya lubang antara rongga mulut dan hidung. Namun, pemberian ASI dapat
dilakukan pada sebagian besar kasus. Bila pemberian ASI tidak dapat dilakukan secara
langsung, sebaiknya digunakan puting karet besar yang menutup sebagian lubang
palatum. Pembesaran lubang puting karet dapat menolong banyak anak penderita celah
8
palatum. Banyak percobaan yang mungkin diperlukan untuk membentuk kebiasaan
makan yang benar. Terkadang, penggunaan pipet mengatasi masalah pemberian makan.
Pemberian makan melalui sonde harus dihindari karena akan menghalangi penggunaan
otot orofaring. Diet pascabedah langsung harus terdiri atas cairan jernih, seperti
minuman glukosa. Sekali diberikan diet normal harus terdiri atas makanan lunak
disusul dengan air steril. Makanan keras dan manisan harus diberikan selama 2/3
minggu setelah pembedahan. Pengangkatan jahitan biasanya dilakukan di kamar bedah
dibawah sedasi diantara hari ke-8 atau ke-10 Bila kemampuan bicara anak tidak
berkembang secara memuaskan, berikan terapi wicara. Ahli terapi wicara harus
dijadikan sumber konsultasi pada semua kasus dan rencana disusun untuk memastikan
perkembangan bicara yang adekuat. Kuantitas pengobatan atau latihan yang akan
diberikan oleh seorang ahli terapi wicara terbatas, sehingga beban utama ditanggung
oleh ibu.
Oleh sebab itu, baik ibu maupun anak harus ambil bagian dalam pelajaran ini
dengan ahli terapi wicara shingga ibu dapat melanjutkan terapi dirumah. Melalui latihan
yang cermat ada kemungkinan bagu anak untuk mencapal tingkat bercakap yang
memungkinkan anak untuk berkomunikasi bebas dengan orang lain pada saat mulai
sekolah. Orang tua memerlukan dukungan dan banyak dari unit celah palatum
menyimpan album foto gambaran sebelum dan sesudah dari kasus yang berhasil untuk
memperlihatkan kepada orang tua dan menenteramkannya bahwa bayinya akan terlihat
baik setelah operasi.
3. Pemberian makan dan minum
Pemberian makan dan minum pada pasien dengan labioschisis dan palatoschisis
bertujuan untuk membantu pasien dalam memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit
sesuai program pengobatan.
F. Konsep Asuhan Keperawatan Labiopalatoskizis
I. Pengkajian
1). Biodata : di jumpai pada bayi baru lahir/bulan/tahun, lingkungan tempat
tinggal orang tua dekat bahan toksik (periode fusi kedua). Rasio bayi laki-laki
dan Perempuan 6:4 (Markum. 1996 : 254).
2). Keluhan utama : klien tidak bisa menelan dan menyusui, terlihat adanya
celah di bibir dan platinum.

9
3). Riwayat Kesehatan :
a. Riwayat Kesehatan kehamilan, adanya satu atau lebih faktor predisposisi
terjadinya laboi/palate skisis antara lain toksisitas selama kehamilan missal :
rubella, pecandu alcohol, terapi fenitoin dan genitek..
b. Riwayat Kesehatan sekarang, pelajari berat dan panjang bayi saat lahir, pola
pertumbuhan, pertumbuhan/ penurunan berat badan, riwayat otitis media dan
infeksi saluran pernafasan atas.
c. Riwayat Kesehatan keluarga, meliputi riwayat keturunan dari keluarga.
4). Pemeriksaan diagnostic :
a. Rontgen, pemeriksaan radiologi ini dilakukan dengan melakukan foto
rontgen pada tengkorak. Para penderita dapat ditemukan celah processus
maxilla dan processus nasalis media.
b. Radiologi, beberapa celah orofasial dapat terdiagnosa dengan USG prenatal,
namun tidak terdapat skrining sistemik untuk celah orofasial. Diagnosa prenatal
untuk celah bibir baik unilateral maupun bilateral, memungkinkan dengan USG
pada usia janin 13-18 minggu. Celah palatum tersendiri tidak dapat di diagnosa
pada pemeriksaan USG prenatal. Ketika diagnosa prenatal dipastikan, rujukan
kepada ahli bedah plastic tepat untuk konseling dalam usaha mencegah.
Setelah lahir, tes genetic mungkin membantu menentukan perawatan terbaik
untuk seorang anak, khususnya jika celah tersebut dihubungkan dengan kondisi
genetic. Pemeriksaan genetic juga memberi informasi pada orang tua tentang
resiko mereka untuk mendapat anak lain dengan celah bibir atau celah palatum.
5). Pemeriksaan fisik :
a. Pada labio skisis : distorsi pada hidung dan adanya celah pada bibir,
b. Pada palate skisisi : tampak ada celah pada tekak (uvula), palate lunak, dan
keras atau foramen incisive, adanya rongga pada hidung, teraba ada celah atau
terbukanya langit-langit saat diperiksa dengan jari, dan kesukaran dalam
menghisap atau makan.
II. Diagnosa Keperawatan
1). Defisit nutrisi b.d ketidakmampuan menelan makanan.
2). Defisit pengetahuan b.d ketidaktahuan teknik memberi makan dan
perawatan di rumah.
3). Resiko aspirasi b.d defek kongenital di langit-langit mulut.

10
III. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Tujuan dan Kriteia Rencana Tindakan


Hasil
1. Defisit nutrisi b.d Setelah dilakukan Observasi :
ketidakmampuan intervensi keperawatan 1. Identifikasi status nutrisi.
menelan makanan. 3x24 jam, status nutrisi 2. Identifikasi alergi dan intoleransi
membaik dengan kriteria makanan.
hasil : 3. Identifikasi makanan yang disukai.
1. Kekuatan otot 4. Identifikasi kebutuhn kalori dan
mengunyah jenis nutrient.
meningkat. 5. Dentifikasi perlunya penggunaan
2. kekuatan otot selang nasogastric.
menelan 6. Monitor asupan makanan.
meningkat. 7. Monitor berat badan.
8. Monitor hasil pemeriksaan
laboratorium.
Terapeutik :
1. Lakukan oral hygiene sebelum
makan.
2. Fasilitasi menentukan pedoman
diet (mis, piramida makanan)
3. Sajikan makanan secara menarik
dan suhu yang sesuai.
4. Berikan makanan tinggi serat
untuk mencegah konstipasi.
5. Berikan makanan tinggi protein
dan kalori.
6. Berikan suplemen makanan, jika
perlu.
7. Hentikan pemberian makanan
melalui selang nasogastric jika
asupan oral dapat ditoleransi.

11
Edukasi :
1. Anjurkan posisi duduk, jika
mampu.
2. Ajaran diet yang diprogramkan.
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian medikasi
sebelum makan (mis, Pereda nyeri,
antiemetic).
2. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan jumlah kalori dan
nutrient yang dibutuhkan, jika
perlu.
2. Defisit Setelah dilakukan Observasi :
pengetahuan b.d intervensi keperawatan 1. Identifikasi kesiapan dan
ketidaktahuan selama 3x24 jam, tingkat kemampuan menerima informasi.
teknik memberi pengetahuan meningkat 2. Identifikasi faktor-faktor yang
makan dan dengan kriteria hasil : dapat meningkatkan dan
perawatan di 1. Orang tua menurunkan motivasi perilaku
rumah. mengetahui hidup bersih dan sehat.
teknik memberi Terapeutik :
makan dan 1. Sediakan materi dan media
perawatan selama pendidikan Kesehatan.
di rumah. 2. Jadwalkan pendidikan Kesehatan
sesuai kesepakatan.
3. Berikan kesempatan untuk
bertanya.
Edukasi :
1. Jelaskan faktor resiko yang dapat
mempengaruhi Kesehatan.
2. Ajarkan perilaku hidup bersih dan
sehat.

12
3. Ajarkan strategi yang dapat
digunakan untuk meningkatkan
perilaku hidup bersih dan sehat.
3. Resiko aspirasi b.d Setelah dilakukan Observasi :
defek kongenital intervensi keperawatan 1. Monitor tingkat kesadaran, batuk,
di langit-langit selama 3x24 jam, tingkat muntah dan kemampuan menelan.
mulut. aspirasi menurun dengan 2. Monitor status pernapasan.
kriteria hasil : 3. Monitor bunti napas, terutama
1. Kemampuan setelah makan/minum.
menelan 4. Periksa residu gaster sebelum
meningkat. memberikan asupan oral .
5. Periksa kepatenan selang
nasogastric sebelum memberikan
asupan oral.
Terapeutik :
1. Posisikan semifowler (30-40
derajat) 30 menit sebelum
memberi asupan oral.
2. Pertahankan posisi semifowler
(30-45 derajat) pada pasien tidak
sadar.
3. Pertahankan kepatenan jalan
napas.
4. Pertahankan pengembangan balon
endotracheal tube (ETT).
5. Lakukan penghisapan jalan napas,
jika produksi secret meningkat.
6. Sediakan suction di ruangan.
7. Hindari memberikan makanan
melalui gastrointestinal, jika
residu banyak.
8. Berikan makanan dengan ukuran
kecil atau lunak.

13
9. Berikan obat oral dalam bentuk
cair.
Edukasi :
1. Anjurkan makan secara perlahan
2. Ajarkan strategi mencegah
aspirasi.
3. Ajarkan Teknik mengunyah atau
menelan, jika perlu.

IV. Implementasi Keperawatan


Menurut Mufidaturrohmah (2017) implementasi keperawatan
merupakan suatu tindakan keperawatan yang sudah direncanakan terlebih
dahulu dalam suatu rencana keperawatan atau intervensi keperawatan (SIKI).
Tindakan keperawatan ini mencakup tindakan mandiri (independent) serta
tindakan kolaborasi. Tindakan mandiri (independent) ialah tindakan
keperawatan yang dilakukan secara mandiri atau tindakan yang didasarkan atas
kesimpulan juga keputusan sendiri dan bukan merupakan arahan atau perintah
dari tenaga kesehatan lainnya. Sedangkan tindakan kolaborasi ialah tindakan
keperawatan yang dilakukan secara berkelompok dengan harapan dapat
menyelesaikan masalah yang dialami oleh klien serta mencapai tujuan bahkan
target atau hasil yang telah ditetapkan.
Dalam implementasi perawat melaksanakan tindakan keperawatan
berdasarkan intervensi yang telah disusun. Dilakukan sesuai standar operasional
dalam melakukan tindakan.agar tindakan yang dilakukan perawat ada bukti dan
harus dicatat hasil monitoring tindakan.
V. Evaluasi Keperawatan
Menurut Mufidaturrohmah (2017) evaluasi keperawatan adalah suatu
hasil dari perkembangan kesehatan klien yang dapat dilihat berdasarkan dengan
hasil tindakan keperawatan yang telah dilakukan. Tujuan dilakukannya evaluasi
guna mengetahui apakah tindakan keperawatan yang telah diberikan dapat
tercapai sesuai target dengan memberikan umpan balik terhadap asuhan
keperawatan yang telah diberikan kepada pasien.

14
Setelah tindakan keperawatan dilakukan evaluasi proses dan hasil
mengacu pada kriteria evaluasi yang telah ditentukan pada masing-masing
keperawatan sehingga :
1). Masalah teratasi dan tujuan tercapai.
2). Masalah teratasi dan tujuan tercapai sebagian.
3). Masalah tidak teratasi dan tujuan tidak tercapai

15
BAB III

STUDI KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN

Pada An/By S Dengan Gangguan Labiopalatoskizis Di Ruang Mawar

RS Pelita Harapan

Tgl/Jam MRS : 21 Januari 2021, 10:00 WIB

Tanggal/Jam Pengkajian : 23 Januari 2021

Diagnosa Medis : Labiopalatoskizis

No. RM : 578960

A. Pengkajian
1. Identitas Klien
a. Nama : By.S
b. Tempat, tanggal lahir : Sukabumi, 10 Oktober 2021
c. Umur : 2 bulan
d. Pendidikan :-
e. Alamat : Kp. Domba
f. Agama : Islam
g. Nama ayah/ibu : Joni/Risma
h. Pekerjaan ayah : Karyawan swasta
i. Pekerjaan ibu : Ibu rumah tangga
j. Pendidikan ibu : SMA
k. Suku bangsa : Indonesia
2. Keluhan Utama
Ibu bayi mengatakan jika bayinya mengalami kesulitan saat menyusui.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Terdapat celah pada bibir bayi dan langit-langit mulut.

16
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Ny. R mengatakan bahwa selama ia mengandung By. S tidak pernah
mengalami trauma.
5. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum : Composmentis
b. Antropometri
Lingkar perut : 45 cm
BBL : 2500 gram
c. TTV
RR : 46 x/menit
HR : 120 x/menit
TD :-
Suhu : 37,8 C
Inspeksi : terdapat celah pada bibir dan langit-langit mulut bayi
Palpasi :-
Auskultasi :-
Perkusi :-
d. Pemeriksaan
B1 (Breathing) : Normal
B2 (Blood) : Normal
B3 (Brain) : Cemas
B4 (Bladder) : Normal
B5 (Bowel) : susah menelan dan menyusu
B6 (Bone) : Normal
e. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Hasil Normal
Leukosit 11.000 mg/dl 9000-12000 mm3
Eritrosit 3500 mg/dl 4,7 – 6,1 juta
Trombosit 270.000 mg/dl 200.000 – 400.000
mg/dl
Hb 16 gr/dl 12 – 24 gr/dl
Ht 30 33 – 38

17
Kalium 4,8 mEq 3,6 – 5,8 mEq
Natrium 138 mEq 134– 150 mEq

ANALISA DATA

Nama : By. S
No. RM : 578960
Ruangan : Mawar
Diagnosa Medis : Labiopalatoskizis

Data Etiologi Masalah


DS :
- Ibu mengatakan
anaknya sulit Labiopalatoskizis
menyusu.
- Ibu mengatakan berat Susunan mulut berbeda
badan anaknya sulit
naik. Fungsi mulut terganggu
DO :
- Terdapat celah pada Kesulitan melakukan
bibir dan langit-langit gerakan menghisap Defisit Nutrisi
mulut.
- Tampak sulit Sulit mentee
menyusu
- TTV Intake nutrisi (ASI) kurang
TD : -
RR : 46 x/menit Defisit nutrisi ditandai
HR : 120 x/menit dengan bayi mengalami
Suhu : 37,8 C kesulitan menyusu
- BB lahir : 2500 gram
- Lingkar perut : 45
cm
- Composmentis

18
B. Diagnosa Keperawatan
Defisit nutrisi b.d bayi mengalami kesulitan menyusui

C. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Rencana Tindakan
Keperawatan Hasil
1. Defisit nutrisi b.d Setelah dilakukan 1. Kaji kemampuan
bayi mengalami intervensi keperawatan menelan dan
kesulitan menyusui. selama 1x24 jam, status menghisap
nutrisi membaik dengan 2. Bantu ibu dalam
kriteri hasil : menyusui, bila ini
1. Intake nutrisi adalah keinginan ibu.
(ASI) terpenuhi Posisikan dan
stabilkan putting susu
dangan baik didalam
rongga mulut.
3. Bantu menstimulasi
refleks ejeksi asi
secara
manual/denganomoa
payudara sebelum
menyusui.
4. Gunakan alat makan
khusus, bila
menggunakan outing.
(dot, spuit asepto)
letakkan formula
dibelakang lidah.
5. Melatih ibu umtuk
memberikan asi yang
baik bagi bayinya.
6. Menganjurkan ibu
untuk tetep menjaga

19
kebersihan, apabila
dipulangkan.
7. Kolaborasi dengan
ahli gizi.

D. Implementasi Keperawatan
No Tanggal No Impelementasi Paraf
dx
1. 23 Januari 1 1. Mengkaji kemampuan menelan Fitri Diani
2021 dan menghisap. dan
2. Membantu ibu dalam menyusui Wanda SN
3. Membantu menstimulasi refleks
ejeksi ASI secara manual/dengan
pompa payudara sebelum
menyusui.
4. Menggunakan spuit asepto untuk
meletakkan susu dibelakang
lidah bayi.
5. Melatih ibu untuk memberikan
ASI.

E. Evaluasi Keperawatan
No Tanggal SOAP
1. 23 Januari 2021 S : Ibu bayi mengatakan bayinya mulai bisa
menghisap, menyusu tapi masih perlahan
O : Bayi tampak menelan asi tapi kesulitan
menghisap
A : Masalah teratasi Sebagian
P : Lanjutkan intervensi
- Menstimulasi refleks ejeksi asi secara
manual/dengan pompa payudara sebelum
menyusui

20
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian materi yang terdapat dalam bab pembahasan, dapat diambil
kesimpulan yaitu, Labiopalatoschizis adalah suatu kondisi dimana terdapat celah pada
bibir atas diantara mulut dan hidung. Kelainan ini dapat berupa celah kecil pada bagian
bibir yang berwarna sampai pada pemisahan komplit satu atau dua sisi bibir memanjang
dari bibir ke hidung.
Dan penyebab secara pasti kelainan sumbing bibir dan langit-langit sampai saat
ini belum pasti. Akan tetapi beberapa hasil studi menunjukkan penyebab terpenting
terjadinya kelainan sumbing bibir dan langit-langit bersifat kompleks dan multifaktorial
yang melibatkan faktor genetik, lingkungan dan interaksi antara genetik dengan
lingkungan (Ahmed, et al.,2016; Khan, et al., 2020).
B. Saran
1. Tenaga Kesehatan
Diharapkan tenaga kesehatan dapat lebih memahami tentang teori labiopalatoskisis
sehingga dapat benar-benar mengaplikasikan teori ini ke tempat kerjanya.
2. Mahasiswa
Diharapkan agar mahasiswa dapat memahami mengenai teori dan asuhan keperawatan
pasien anak dengan labiopalatoskisis juga dapat mengaplikasikannya saat bertemu
dengan pasien anak yang memiliki penyakit labiopalatoskisis

21
DAFTAR PUSTAKA

Lubis Halimatussakdiyah, dkk. (2023). ASUHAN NEONATUS BAYI, DAN BALITA


UNTUK MAHASISWA KEBIDANAN. Yogyakarta: ZAHIR PUBLISHING.

Dewi Ratna. “PENATALAKSAAN ASUHAN KEBIDANAN PADA BAYI DENGAN


LABIOPALATOSKIZIS DI KLINIK DAN RUMAH BERSALIN SEJATI
KABUPATEN PURWAKARTA” Politeknik Kesehatan Bandung, 2017.

Pratiwi G Intan, dkk. “Studi Kasus:Asuhan Kebidanan Neonatus Pada Bayi Ny.N Dengan
Kelainan Kongenital Labiopalatoskizis, Polidaktili Disertai Asfiksia Berat” Poltekkes
Kemenkes Mataram, 2022.

Xxdissu, “Askep Labiopalatoskizis” Diakses pada 03 Desember 2020.


https://id.scribd.com/document/486813320/Askep-Labiopalatoskisis

Wahid Abdul. (2012). Asuhan Keperawatan pada Anak dengan Kelainan Kongenital. Jakarta:
CV. TRANS INFO MEDIA.

Tim pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia Edisi 1.
Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia

Tim pokja SLKI DPP PPNI. (2022). Standar Luaran Keperawatan Indonesia Edisi 1. Jakarta
Selatan: Dewan Pengurus Persatuan Perawat Nasional Indonesia

Tim pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Edisi 1.
Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia

22
i
AKADEMI
KEPERAWATAN
PELNI JAKARTA KELOMPOK 12

LABIOPALATOSKIZIS
KEPERAWATAN ANAK
Elfira Awalia Rahmawati, Ns.,M.Kep.,Sp.Kep.An
Arianti Meilani 20003
Ega Gita Septiani 22010
Fadillah Fauziah 22011
AKADEMI
KEPERAWATAN
PELNI JAKARTA Defenisi Labioskizis dan
Labiopalatoskizis

01. 02.
Labioskizis Labiopalatoschizi
Labioskizis atau yang lebih dikenal dengan Labiopalatoschizis adalah suatu kondisi dimana
terdapat celah pada bibir atas diantara mulut dan
sebutan bibir sumbing adalah suatu
hidung. Kelainan ini dapat berupa celah kecil pada
pemisahan dua sisi bibir yang dapat
bagian bibir yang berwarna sampai pada pemisahan
mempengaruhi kedua sisi bibir juga tulang
komplit satu atau dua sisi bibir memanjang dari bibir
dan jaringan lunak tulang alveolus. ke hidung.
AKADEMI
KEPERAWATAN
PELNI JAKARTA

KELOMPOK 12S
AKADEMI
KEPERAWATAN
PELNI JAKARTA
Etiologi adalah istilah medis yang digunakan untuk mengacu pada
penyebab atau asal-usul suatu penyakit atau gangguan kesehatan.
Ini mencakup studi dan analisis tentang faktor-faktor yang berperan
dalam timbulnya suatu kondisi kesehatan atau penyakit, seperti
Etiologi faktor genetik, lingkungan, gaya hidup, dan lainnya.

Penyebab secara pasti kelainan sumbing bibir dan langit-langit sampai


saat ini belum pasti. Akan tetapi beberapa hasil studi menunjukkan
penyebab terpenting terjadinya kelainan sumbing bibir dan langit-langit
bersifat kompleks dan multifaktorial yang melibatkan faktor genetik,
lingkungan dan interaksi antara genetik dengan lingkungan (Ahmed, et
al.,2016; Khan, et al., 2020).

03
AKADEMI
KEPERAWATAN
PELNI JAKARTA

Beberapa cindromik clefts adalah sumbing yang terjadi pada


Etiologi kelainan kromosom (trysomit 13, 18, atau 21) mutasi genetik atau
kejadian sumbing yang berhubungan dengan akibat toksisitas
selama kehamilan (kecanduan alkohol), terapi fenitoin, infeksi
rubella, sumbing yang ditemukan pada syndrom pierrerobin,
penyebab non sindromik clefts dapat bersifat multifaktorial seperti
masalah genetik dan pengaruh lingkungan.

04
AKADEMI
KEPERAWATAN Faktor Yang Dapat Mempengaruhi
PELNI JAKARTA Terjadinya Bibir Sumbing

Faktor Genetik Faktor Lingkungan Nutrisi Obat-obatan

Kekurangan nutrisi, Penggunaan obat-


Bibir sumbing dapat Meliputi konsumsi terutama asam folat obatan seperti
terjadi dalam alkohol, merokok, (vitamin B9), selama antikonvulsan atau obat
keluarga dengan atau penggunaan awal kehamilan dapat pengobatan epilepsi,
riwayat genetik obat-obatan tertentu selama kehamilan
meningkatkan risiko
tertentu. selama kehamilan. dapat meningkatkan
terjadinya bibir
risiko bibir sumbing
sumbing. pada bayi.

5
AKADEMI
KEPERAWATAN
Labioskizis terjadi karena kegagalan pada penyatuan kedua prosesus nasalis
PELNI JAKARTA
maksilaris dan mediana, palatoskizis merupakan fisura pada garis tengah palatum
akibat kegagalan penyatuan kedua sisinya. (Wong, 2009)
Labiopalatoskizis terjadi karena kegagalan penyatuan prosesus maksilaris dan
remaksilaris selama awal usia embrio. Labiskizis dan palatoskiziz merupakan

Patofisiologi malformasi yang berbeda secara embrional dan terjadi pada waktu yang berbeda
selama proses perkembangan embrio. Penyatuan bibir atas pada garis tengah selesai
dilakukan pada kehailan antara minggu ke tujuh dan kedelapan. Fusi palatum
sekunder (palatum durum dan mole) terjadi kemudian dalam proses perkembangan,
yaitu pada kehamian antara minggu ke tujuh dan kedua belas. Dalam proses migrasi
ke posisi horizontal, palatum tersebut dipisahkan oleh lidah untuk waktu yang
singkat. Jika terjadi Kelambatan dalam migrasi atau pemindahan ini, atau bila lidah
tidak berhasil turun dalam waktu yang cukup singkat, bagian lain proses tersebut
akan terus berlanjut namun palatum tidak menyatu. (Wong, 2009)
06
AKADEMI Periode perkembangan struktur anatomi bersifat spesifik sehingga sumbing bibir
KEPERAWATAN dapat terjadi terpisah dari sumbing palatum, meskipun keduanya dapat terjadi
PELNI JAKARTA
bersama-sama dan bervariasi dalam derarat keparahannya bergantung pada luas
sumbing yang dapat bervariasi mulai dari lingir alveolar sampai ke bagian akhir dari
palatum lunak. Variasi dapat pula dimulai dari tarik ringan pada sudut mulut atau bifid
uvula sampai deformitas berat berupa sumbing bibir yang meluas ke tulang alveolar

Patofisiologi dan seluruh palatum secara bilateral. (Janti, 2008)


Variasi yang terjadi merupakan refleksi dari deviasi rangkaian perkembangan
palatum yang dimulai pada minggu ke-8 pada regio premaksila dan berakhir pada
minggu ke 12 pada uvula di palatum lunak. Jadi, jika faktor penyebab bekerja pada
minggu ke 8, sumbing akan terjadi lebih posterior dan juga anterior termasuk alveolus,
palatum kerad dan palatum lunak, serta vulva, membentuk cacat yang serius.
Sebaliknya, jika penyebab bekerja dekat akhir periode perkembangan (minggu ke 11),
sumbing yang terlihat hanya pada palatum lunak bagian posterior, menyebabkan
terjadinya sumbing sebagian atau hanya pada uvula sebagai cacat ringan yang tidak
membutuhkan terapi. (Janti, 2008) 06
AKADEMI
KEPERAWATAN
PELNI JAKARTA
Sumbing yang hanya mengenai bibir dinamakan cheilochisis. Sumbing bibir
umumnya terjadi pada minggu ke 6-7 intrauteri, sesuai dengan waktu
perkembangan bibir normal dengan terjadinya kegagalan penetrasi dari sel
mesodemal pada grove epitel diantara prosecus nasalis medialls dan lateralis.

Patofisiologi Lebih sering terjadi pada bayi laki-laki dan lebih sering pada bagian kiri dari pada
kanan. (Janti, 2008)
Saat usia kehamilan mencapai usia 6 minggu, bibir atas dan langit-langit
ronggaa mulut bayi dalam kansungan akan mulai terbentuk dari jaringan yang
berada dikedua sisi dari lidah dan bersatu di tengah-tengah. Apabila jaringan-
jaringan ini gagal bersatu maka akan terbentuk celah pada bibir atas atau langit-
langit rongga.

06
AKADEMI
KEPERAWATAN a. Kesulitan berbicara- hipernasalitas, artikulasi, kompensatori. Adanya
PELNI JAKARTA
celah pada bibir dan palatum, pada faring terjadi pelebaran sehingga
suara yang keluar menjadi sengau.
b.Maloklusi- pola erupsi gigi abnormal. Jika celah celah melibatkan
tulang alveol, alveol ridge terletak disebelah palatal, sehingga disisi
. celah dan didaerah celah sering terjadi erupsi.
komplikasi c. Masalah pendengaran - otitis media rekurens sekunder. Dengan adanya
celah pada paltum sehingga muara tuba eustachii terganggu akibtnya
dapat terjadi otitis media rekurens sekunder.
d.Aspirasi. Dengan terganggunya tuba eustachii, menyebabkan reflek
menghisap dan menelan terganggu akibatnya dapat terjadi aspirasi.
e. Distress pernafasan. Dengan terjadi aspirasi yang tidak dapat ditolong
secara dini, akan mengakibatkan distress pernafasan
f. Pertumbuhan dan perkembangan terlambat.
g.Asimetri wajah.

06
AKADEMI
KEPERAWATAN
PELNI JAKARTA
Tujuan dan intervensi bedah dan pembedahan adalah memulihkan struktur
anatomi, mengoreksi cacat dan memungkinkan anak mempunyai fungsi yang
normal dalam menelan, bernapas dan berbicara.
1. Manajemen perawatan celah bibir
. a. Perawatan pra bedah
Penatalaksanaan 1. Pemberian makan, Pemberian makan pertama kali sukar, tetapi tergantung

medis
pada derajat deformitas yang dialami pada kasus ringan, dilakukan ada
kemungkinan member ASI langsung kepada bayi.
2. Pemberian antibiotic, Pemberian antibiotik sebagai profilaksis bertujuan
menjamin bahwa pada masa pasca bedah, anak tidak mengalami bahaya
yang disebabkan oleh mikroorganisme yang telah ada selama masa bedah
atau pasca bedah.
3. Persiapan pra bedah prinsip, tujuan selanjutnya adalah menghilangkan atau
mengurangi terjadinya komplikasi selama atau setelah pembedahan melalui
antisipasi yang seksama dan pengobatan yang tepat.
AKADEMI b. Perawatan pasca bedah
KEPERAWATAN Hal-hal yang perlu diperhatikan saat merawat anak yang sudah selesai mengalami
PELNI JAKARTA operasi perbaikan celah bibir meliputi :
1. Imobilisasi lengan merupakan aspek penting perawatan
2. Sedasi, anak yang menangis dapat mengingkatkan tegangan pada garis jahitan
3. Pembalutan garis sedasi, biasanya jahitan dibuka antara hari ke 5 dan ke 8.
4. Pemberian makan dapat segera dimulai setelah bayi sadar dan refleks menelan.

Penatalaksanaan 2. Manajemen perawatan celah palatum


Tindakan pembedahan umumnya dilakukan sebelum anak mulai berbicara.
medis Sebagian besar ahli bedah plastik melakukan pembedahan diantara usia 15 dan 18
bulan tetapi beberapa berpendapat bahwa operasi harus ditunda sampai usia 7 tahun
untuk memungkinkan perkembangan tulang wajah secara lengkap.

3. Pemberian makan dan minum


Pemberian makan dan minum pada pasien dengan labioschisis dan
palatoschisis bertujuan untuk membantu pasien dalam memenuhi kebutuhan cairan
dan elektrolit sesuai program pengobatan.
AKADEMI
KEPERAWATAN I. Pengkajian
PELNI JAKARTA
1. Biodata : di jumpai pada bayi baru lahir/bulan/tahun, lingkungan tempat tinggal orang tua
dekat bahan toksik (periode fusi kedua). Rasio bayi laki-laki dan Perempuan 6:4 (Markum.
1996 : 254).
2. Keluhan Utama : klien tidak bisa menelan dan menyusui, terlihat adanya celah di bibir dan
Konsep Asuhan platinum.
Keperawatan
3. Riwayat Kesehatan :
Labiopalatoskizis
a. Riwayat Kesehatan kehamilan, adanya satu atau lebih faktor predisposisi terjadinya
laboi/palate skisis antara lain toksisitas selama kehamilan missal : rubella, pecandu alcohol,
terapi fenitoin dan genitek.
b. Riwayat Kesehatan sekarang, pelajari berat dan Panjang bayi saat lahir, pola pertumbuhan,
pertumbuhan/penurunan berat badan, Riwayat otitis media dan infeksi saluran pernafasan
atas.
c. Riwayat Kesehatan keluarga, meliputi riwayat keturunan.

06
AKADEMI
KEPERAWATAN 4. Pemeriksaan Diagnostic :
PELNI JAKARTA a. Rontgen, pemeriksaan radiologi ini dilakukan dengan melakukan foto rontgen pada
tengkorak. Para penderita dapat ditemukan celah processus maxilla dan processus
nasalis media.
b. Radiologi, beberapa celah orofasial dapat terdiagnosa dengan USG prenatal, namun
Konsep Asuhan . tidak terdapat skrining sistemik untuk celah orofasial. Diagnosa prenatal untuk celah
Keperawatan
bibir baik unilateral maupun bilateral, memungkinkan dengan USG pada usia janin 13-
Labiopalatoskizis
18 minggu. Celah palatum tersendiri tidak dapat di diagnosa pada pemeriksaan USG
prenatal. Ketika diagnosa prenatal dipastikan, rujukan kepada ahli bedah plastic tepat
untuk konseling dalam usaha mencegah.
Setelah lahir, tes genetic mungkin membantu menentukan perawatan terbaik untuk
seorang anak, khususnya jika celah tersebut dihubungkan dengan kondisi genetic.
Pemeriksaan genetic juga memberi informasi pada orang tua tentang resiko mereka untuk
mendapat anak lain dengan celah bibir atau celah palatum.
AKADEMI
KEPERAWATAN
PELNI JAKARTA
5. Pemeriksaan fisik :
a. Pada labio skisis : distorsi pada hidung dan adanya celah pada bibir,
Konsep Asuhan b. Pada palate skisisi : tampak ada celah pada tekak (uvula), palate lunak, dan
Keperawatan . keras atau foramen incisive, adanya rongga pada hidung, teraba ada celah
Labiopalatoskizis
atau terbukanya langit-langit saat diperiksa dengan jari, dan kesukaran
dalam menghisap atau makan
II. Diagnosa Keperawatan
1. Defisit nutrisi b.d ketidakmampuan menelan makanan.
2. Defisit pengetahuan b.d ketidaktahuan teknik memberi makan dan perawatan di
rumah.
3. Resiko aspirasi b.d defek kongenital di langit-langit mulut.

06
III. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan dan Kriteia Hasil Rencana Tindakan

1 Defisit nutrisi b.d Setelah dilakukan intervensi Observasi :


ketidakmampuan keperawatan 3x24 jam, status 1. Identifikasi status nutrisi.
2. Identifikasi alergi dan intoleransi makanan.
menelan makanan. nutrisi membaik dengan
3. Identifikasi makanan yang disukai.
kriteria hasil : 4. Identifikasi kebutuhn kalori dan jenis nutrient.
1. Kekuatan otot . mengunyah 5.6. Dentifikasi perlunya penggunaan selang nasogastric.
Monitor asupan makanan.
meningkat. 7. Monitor berat badan.
2. kekuatan otot menelan 8. Monitor hasil pemeriksaan laboratorium.
meningkat. Terapeutik :
1. Lakukan oral hygiene sebelum makan.
2. Fasilitasi menentukan pedoman diet (mis, piramida makanan)
3. Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai.
4. Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi.
5. Berikan makanan tinggi protein dan kalori.
6. Berikan suplemen makanan, jika perlu.
7. Hentikan pemberian makanan melalui selang nasogastric jika asupan oral dapat ditoleransi.
Edukasi :
1. Anjurkan posisi duduk, jika mampu.
2. Ajaran diet yang diprogramkan.
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan (mis, Pereda nyeri, antiemetic).
2. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrient yang dibutuhkan, jika
perlu. 06
No Diagnosa Tujuan dan Kriteia Hasil Rencana Tindakan

2 Defisit pengetahuan Setelah dilakukan intervensi Observasi :


b.d ketidaktahuan keperawatan selama 3x24 jam, 1. Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi.
teknik memberi tingkat pengetahuan meningkat 2. Identifikasi faktor-faktor yang dapat meningkatkan dan menurunkan motivasi
makan dan dengan kriteria hasil : perilaku hidup bersih dan sehat.
perawatan di rumah. 1. Orang
.
tua mengetahui Terapeutik :
teknik memberi makan dan
1. Sediakan materi dan media pendidikan Kesehatan.
perawatan selama di rumah.
2. Jadwalkan pendidikan Kesehatan sesuai kesepakatan.
3. Berikan kesempatan untuk bertanya.

Edukasi :

1. Jelaskan faktor resiko yang dapat mempengaruhi Kesehatan.


2. Ajarkan perilaku hidup bersih dan sehat.
3. Ajarkan strategi yang dapat digunakan untuk meningkatkan perilaku hidup bersih
dan sehat.

06
No DIAGNOSA Tujuan dan Kriteia Hasil Rencana Tindakan

3 Resiko aspirasi b.d Setelah dilakukan intervensi Observasi :


defek kongenital di keperawatan selama 3x24 jam, 1. Monitor tingkat kesadaran, batuk, muntah dan kemampuan menelan.
langit-langit mulut. tingkat aspirasi menurun dengan 2. Monitor status pernapasan.
kriteria hasil : 3. Monitor bunti napas, terutama setelah makan/minum.
4. Periksa residu gaster sebelum memberikan asupan oral .
1. Kemampuan menelan
meningkat.
. 5. Periksa kepatenan selang nasogastric sebelum memberikan asupan oral.

Terapeutik :

1. Posisikan semifowler (30-40 derajat) 30 menit sebelum memberi asupan oral.


2. Pertahankan posisi semifowler (30-45 derajat) pada pasien tidak sadar.
3. Pertahankan kepatenan jalan napas.
4. Pertahankan pengembangan balon endotracheal tube (ETT).
5. Lakukan penghisapan jalan napas, jika produksi secret meningkat.
6. Sediakan suction di ruangan.
7. Hindari memberikan makanan melalui gastrointestinal, jika residu banyak.
8. Berikan makanan dengan ukuran kecil atau lunak.
9. Berikan obat oral dalam bentuk cair.

Edukasi :

1. Anjurkan makan secara perlahan


2. Ajarkan strategi mencegah aspirasi. 06
3. Ajarkan Teknik mengunyah atau menelan, jika perlu.
AKADEMI
KEPERAWATAN
PELNI JAKARTA
Menurut Mufidaturrohmah (2017) implementasi keperawatan merupakan suatu tindakan
keperawatan yang sudah direncanakan terlebih dahulu dalam suatu rencana keperawatan atau
intervensi keperawatan (SIKI). Tindakan keperawatan ini mencakup tindakan mandiri

Implementasi (independent) serta tindakan kolaborasi. Tindakan mandiri (independent) ialah tindakan
keperawatan yang dilakukan secara mandiri atau tindakan yang didasarkan atas kesimpulan
juga keputusan sendiri dan bukan merupakan arahan atau perintah dari tenaga kesehatan
lainnya. Sedangkan tindakan kolaborasi ialah tindakan keperawatan yang dilakukan secara
berkelompok dengan harapan dapat menyelesaikan masalah yang dialami oleh klien serta
mencapai tujuan bahkan target atau hasil yang telah ditetapkan.
Dalam implementasi perawat melaksanakan tindakan keperawatan berdasarkan intervensi
yang telah disusun. Dilakukan sesuai standar operasional dalam melakukan tindakan.agar
tindakan yang dilakukan perawat ada bukti dan harus dicatat hasil monitoring tindakan.

04
AKADEMI
KEPERAWATAN
PELNI JAKARTA
Menurut Mufidaturrohmah (2017) evaluasi keperawatan adalah suatu hasil dari
perkembangan kesehatan klien yang dapat dilihat berdasarkan dengan hasil
tindakan keperawatan yang telah dilakukan. Tujuan dilakukannya evaluasi guna

Evaluasi mengetahui apakah tindakan keperawatan yang telah diberikan dapat tercapai
sesuai target dengan memberikan umpan balik terhadap asuhan keperawatan yang
telah diberikan kepada pasien.
Setelah tindakan keperawatan dilakukan evaluasi proses dan hasil mengacu
pada kriteria evaluasi yang telah ditentukan pada masing-masing keperawatan
sehingga :
1). Masalah teratasi dan tujuan tercapai.
2). Masalah teratasi dan tujuan tercapai sebagian.
3). Masalah tidak teratasi dan tujuan tidak tercapai

04
AKADEMI
KEPERAWATAN
PELNI JAKARTA
ASUHAN KEPERAWATAN

Pada An/By S Dengan Gangguan Labiopalatoskizis Di Ruang


Mawar
STUDI KASUS
RS Pelita Harapan

Tgl/Jam MRS : 21 Januari 2021, 10:00 WIB

Tanggal/Jam Pengkajian : 23 Januari 2021

Diagnosa Medis : Labiopalatoskizis

No. RM : 578960

04
AKADEMI
KEPERAWATAN A. Pengkajian
PELNI JAKARTA
1. Identitas Klien
a. Nama : By.S
b. Tempat, tanggal lahir : Sukabumi, 10 Oktober 2021

STUDI KASUS c. Umur : 2 bulan


d. Pendidikan :-
e. Alamat : Kp. Domba
f. Agama : Islam
g. Nama ayah/ibu : Joni/Risma
h. Pekerjaan ayah : Karyawan swasta
i. Pekerjaan ibu : Ibu rumah tangga
j. Pendidikan ibu : SMA
k. Suku bangsa : Indonesia
04
AKADEMI
KEPERAWATAN 2. Keluhan Utama
PELNI JAKARTA Ibu bayi mengatakan jika bayinya mengalami kesulitan saat menyusui.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Terdapat celah pada bibir bayi dan langit-langit mulut.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Ny. R mengatakan bahwa selama ia mengandung By. S tidak pernah mengalami
STUDI KASUS trauma.
5. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum : Composmentis
b. Antropometri
Lingkar perut : 45 cm
BBL : 2500 gram
c. TTV
RR : 46 x/menit
HR : 120 x/menit
TD :-
Suhu : 37,8 C
Inspeksi : terdapat celah pada bibir dan langit-langit mulut bayi
Palpasi :-
Auskultasi :- 04
Perkusi :-
AKADEMI
KEPERAWATAN
PELNI JAKARTA

d. Pemeriksaan
B1 (Breathing) : Normal
STUDI KASUS
B2 (Blood) : Normal
B3 (Brain) : Cemas
B4 (Bladder) : Normal
B5 (Bowel) : Susah menelan dan menyusu
B6 (Bone) : Normal

04
e. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Hasil Normal

Leukosit 11.000 mg/dl 9000-12000 mm3

.
Eritrosit 3500 mg/dl 4,7 – 6,1 juta

Trombosit 270.000 mg/dl 200.000 – 400.000 mg/dl

Hb 16 gr/dl 12 – 24 gr/dl

Ht 30 33 – 38

Kalium 4,8 mEq 3,6 – 5,8 mEq

Natrium 138 mEq 134.– 150 mEq

06
Analisa Data
Data Etiologi Masalah

DS : Labiopalatoskizis
- Ibu mengatakan anaknya sulit menyusu.
- Ibu mengatakan berat badan anaknya sulit naik.
Susunan mulut berbeda
DO : .
- Terdapat celah pada bibir dan langit-langit mulut.
Fungsi mulut terganggu
- Tampak sulit menyusu Defisit Nutrisi
- TTV
TD : - Kesulitan melakukan gerakan menghisap

RR : 46 x/menit
HR : 120 x/menit Sulit mentee
Suhu : 37,8 C
- BB lahir : 2500 gram
Intake nutrisi (ASI) kurang
- Lingkar perut : 45 cm
- Composmentis

Defisit nutrisi ditandai dengan bayi mengalami


kesulitan menyusu
06
AKADEMI
KEPERAWATAN
PELNI JAKARTA

Diagnosa Keperawatan

1. Defisit nutrisi berhubungan dengan bayi mengalami kesulitan menyusu


Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Rencana Tindakan

1. Defisit nutrisi b.d bayi Setelah dilakukan intervensi 1. Kaji kemampuan menelan dan menghisap
2. Bantu ibu dalam menyusui, bila ini adalah keinginan ibu.
mengalami kesulitan menyusui keperawatan selama 1x24 jam, status
Posisikan dan stabilkan putting susu dangan baik didalam
nutrisi membaik dengan kriteria hasil :
rongga mulut.
1. Intake nutrisi (ASI) terpenuhi 3. Bantu menstimulasi refleks ejeksi asi secara
manual/denganomoa payudara sebelum menyusui.
4. Gunakan alat makan khusus, bila menggunakan outing. (dot,
spuit asepto) letakkan formula dibelakang lidah.
5. Melatih ibu umtuk memberikan asi yang baik bagi bayinya.
6. Menganjurkan ibu untuk tetep menjaga kebersihan, apabila
dipulangkan.
7. Kolaborasi dengan ahli gizi.
Implementasi Keperawatan

No Tanggal No Impelementasi Paraf


dx
1. 23 Januari 2021 1 1. Mengkaji kemampuan menelan dan menghisap Fitri Diani dan
.
2. Membantu ibu dalam menyusui Wanda SN
3. Membantu menstimulasi refleks ejeksi ASI
secara manual/dengan pompa payudara sebelum
menyusui.
4. Menggunakan spuit asepto untuk meletakkan
susu dibelakang lidah bayi.
5. Melatih ibu untuk memberikan ASI.

06
Evaluasi Keperawatan

No Tanggal SOAP

1. 23 Januari 2021 S : Ibu bayi mengatakan bayinya mulai bisa menghisap,


menyusu tapi masih perlahan
O : Bayi tampak menelan asi tapi kesulitan menghisap
A : Masalah teratasi Sebagian
P : Lanjutkan intervensi
- Menstimulasi refleks ejeksi asi secara manual/dengan pompa
payudara sebelum menyusui

06
Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai