Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH

KONSEP DAN ASUHAN KEPERAWATAN


PENYAKIT LABIOPALATOSKISIS

Di Susun Oleh :
Kelompok 11
 Sofyan Laki 751440119090
 Sisilia Pakaya 751440119091

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN


JURUSAN KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES GORONTALO
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan hidayah-
Nyakami dapat menyelesaikan tugas ini dengan judul “PENYAKIT LABIOPALATOSKISIS”
tepat pada waktunya.
Kami sebagai manusia yang jauh dari kesempurnaan tentunya sadar
akan segala kekurangan dalam pembuatan makalah ini dan kami akan sangat
bangga apabila tugas yang kami susun ini mendapat saran dan kritik yang
bersifat membangun menyempurnakan makalah. Tak lupa pula kami
mengucapkan maaf apabila makalah ini terdapat kesalahan dalam penulisan.
Dalam penulisan makalah ini, kami selaku penulis menyampaikan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan tugas ini. Khususnya kepada Dosen Ibu Kartin Buheli, S.Kep,
M.Kes(K) yang telah memberikan tugas dan petunjuk dalam membuat tugas
kepada kami sehingga tugasini dapat terselesaikan dengan tepat waktu
meskipun masih memiliki kekurangan.

Gorontalo, Kamis 28 Febuari 2021


Penyusun

Kelompok 11

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................ i
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Tujuan ........................................................................................................ 3
C. Manfaat .......................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................4


A. Konsep Penyakit Labiopalatoskisis............................................................ 4
B. Konsep Asuhan KeperawatanLabiopalatoskisis........................................24

BAB III PENUTUP ...............................................................................................30


A. Kesimpulan ...............................................................................................30
B. Saran ..........................................................................................................30

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................31

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Labiopalatoskisis berasal dari kata labium yang berarti bibir, palatum yang

berarti langit-langit, dan skisis yang berarti celah. Jadi, Labiopalatoskisis

merupakan deformitas kongenital daerah orofacial, baik labium, palatum, atau

keduanya. Celah pada labium disebut labioskisis sedangkan celah pada palatum

disebut palatoskisis. Kelainan ini dapat merupakan bagian dari suatu sindrom atau

berdiri sendiri. Defek yang ada akan menyebabkan gangguan produksi suara,

gangguan makan, gangguan pertumbuhan maxilofacial, dan pertumbuhan gigi

abnormal. Mengingat banyaknya masalah yang ada, maka Labiopalatoskisis

merupakan salah satu defek yang melibatkan banyak disiplin ilmu dalam

penanganannya.

B. Tujuan
1. Tujuan umum

Mampu menggambarkan Asuhan Keperawatan pada anak dengan Labiopalatoskisis.

C. Manfaat

1. Bagi Penulis
Untuk menambah wawasan dan pengalaman bagi penulis khususnya dibidang
keperawatan pada Anak dengan masalah Labiopalatoskisis
2. Bagi Institusi
Sebagai acuan dalam kegiatan proses belajar dan bahan pustaka tentang asuhan
keperawatan pada Anak dengan masalah Labiopalatoskisis
3. Bagi Rumah Sakit
Sebagai bahan masukan yang diperlukan dalam pelaksanaan praktik pelayanan
keperawatan khususnya keperawatan pada Anak dengan masalah

3
Labiopalatoskisis

A. Konsep dasar Labiopalatoskisis

1. Pengertian Labiopalatoskisis

Labiopalatoskisis berasal dari kata labium yang berarti bibir, palatum yang

berarti langit-langit, dan skisis yang berarti celah. Jadi, Labiopalatoskisis

merupakan deformitas kongenital daerah orofacial, baik labium, palatum, atau

keduanya. Celah pada labium disebut labioskisis sedangkan celah pada palatum

disebut palatoskisis. Kelainan ini dapat merupakan bagian dari suatu sindrom atau

berdiri sendiri. Defek yang ada akan menyebabkan gangguan produksi suara,

gangguan makan, gangguan pertumbuhan maxilofacial, dan pertumbuhan gigi

abnormal. Mengingat banyaknya masalah yang ada, maka Labiopalatoskisis

merupakan salah satu defek yang melibatkan banyak disiplin ilmu dalam

penanganannya.

2. Epidemiologi

Perbandingan antara laki-laki dan perempuan, labioskisis dan celah

kombinasi lebih banyak pada laki-laki, sedangkan palatoskisis saja lebih banyak

pada perempuan. Angka prevalensi celah berbeda untuk tiap ras. Prevalensi

labiopalatoskisis lebih rendah pada kulit hitam dan lebih tinggi pada orang Asia

Timur. Diantara populasi penderita labiopalatoskisis, yang di diagnosis dengan

labiopalatoskisis 46%, palatoskisis 33%, kemudian labioskisis 21%. Mayoritas

labioskisis bilateral (86%) dan labioskisis unilateral (68%) berhubungan dengan

palatoskisis. Celah unilateral sembilan kali lebih sering daripada celah bilateral,
4
dan terjadi dua kali lebih sering pada sisi kiri dari pada kanan. labiopalatoskisis

memiliki angka kejadian sekitar 1:500-600 kelahiran hidup, dan untuk celah

palatum saja 1 dari 1000 kelahiran hidup. Insidensi lebih tinggi ditemukan pada

kelompok Asia (1:500) dan lebih rendah pada kelompok kulit hitam (1:2000).

3. Embriologi

Pada akhir minggu ke-4, processus facialis terbentuk secara primer oleh
sel mesenkim yang berasal dari krista neuralis. Proses pembentukan facial secara
keseluruhan di mulai dengan berpindahnya sel dari regio facial ke sel mesenkim.
Processus maxillaris dapat dikenali di sebelah lateral stomodeum, dan processus
mandibularis di sebelah caudal stomadeum. 7

5
a. Pandangan dari sisi lateral embrio pada akhir minggu ke-4
menunjukkan posisi dari arkus faringeal.

b. Pandangan dari arah frontal embrio minggu ke 5 menunjukkan


processus mandibula dan maxilaris.

c. Electron micrograph embrio manusia dengan usia minggu sama


dengan B.
Processus frontonasalis dibentuk oleh proliferasi sel mesenkim di sebelah
ventral vesikel otak, merupakan tepi atas stomodeum. Pada kedua sisi dari
processus frontonasalis, muncul penebalan permukaan ektoderm, yaitu plakoda
nasalis, yang berasal dari bagian ventral otak depan. 7
Pada minggu kelima, plakoda nasalis akan berinvaginasi membentuk
cavitas nasalis, setiap cavitas dan placoda nasalis membentuk rigi jaringan.
Processus pada tepi luar dari cavitas merupakan processus nasalis lateral; dan
yang berada pada tepi dalam merupakan processus nasalis medial.7

6
a. Embrio minggu ke-5.

b. Embrio minggu ke-6. Processus nasalis terpisah secara bertahap dari


processus maxillaris.
c. Electron micrograph dari embrio seekor tikus dengan usia minggu sama
dengan B.

Selama 2 minggu selanjutnya, ukuran processus maxillaris terus


bertambah dan tumbuh ke arah medial, sehingga mendesak processus nasalis
medial ke arah garis tengah. Selanjutnya celah diantara processus nasalis medial
dan processus maxillaris menutup secara perlahan, kedua processus maxillaris
dan kedua processus nasalis medialis yang berdifusi bergabung membentuk
segmen inter maxillaris. Segmen inter maxillaris membentuk 1 komponen labium
superior (membentuk filtrum dari labium superior), komponen rahang atas
(alveolus dan 4 gigi insisivus), dan palatum (palatum primer triangular). Processus
nasalis lateralis tidak ikut membentuk labium superior. Labium inferior dan
rahang bawah dibentuk oleh processus mandibula yang menyatu di garistengah.

7
Aspek frontal dari wajah.

a. Embrio minggu ke-7. Processus maxillaris berfusi dengan


processus nasalis medial.

b. Embrio minggu ke-10.

c. Electron micrograph dari embrio manusia dengan usia minggu


sama dengan A.

Labioskisis terjadi dari kegagalan menyatunya sebagian atau seluruhnya


dari jembatan epitel karena kekurangan pertumbuhan jaringan mesoderm dan
proliferasi processus maxillaris dan processus nasalis medialis. Celah palatum
primer pada satu atau kedua sisi, selalu muncul di depan foramen insisivus.
Disebabkan oleh pertumbuhan ke arah medial dari processus maxillaris, kedua
processus nasalis medial tidak hanya tumbuh pada permukaan tetapi juga pada
bagian yang terdalam.
Struktur yang terbentuk oleh kedua processus yaitu processus maxillaris,
yang terdiri dari
(a) komponen labialis, yang membentuk filtrum dari labium superior;
(b) komponen rahang atas, yang berisi 4 gigi insisivus ; dan
(c) komponen palatum, yang membentuk palatum trianguaris primer.

8
ASegmen intermaxillaris dan processus maxillaris. B. Segmen intermaxillaris
menghasilkan filtrum labium superior, bagial medial dari os maxillaris dengan
keempat gigi insisivus dan palatum triangularis primer.

9
Embriogenesis dan Embriopati

1. Perkembangan pada regio facial di mulai dari penyatuan processus di akhir

minggu ke-3, manakala terdapat dua gabungan proses yaitu pada minggu

ke-8 merupakan terbentuknya facial secara sempurna, sedangkan pada

minggu ke-10 merupakan terbentuknyapalatum.

2. Penggabungan palatum secara sempurna pada epithelium mediolateralis

merupakan hal utama dari susunanpalatum.

3. Skisis merupakan penyebab dari berbagai faktor, termasuk hipoplasia,

migrasi yang abnormal dari perkembanganwajah.

4. Skisis facial tipe non syndromic dan syndromic merupakan dasar genetik

yang mungkin juga dipengaruhi oleh faktorlingkungan.

5. Sebanyak70%daripasienlabiopalatoskisis,dan50%pasiendengan

palatoskisis merupakan tipe nonsyndromic

6. Lebih dari 400 tipe syndromic merupakan kumpulandari labioskisis

dengan atau tanpa palatoskisis.

10
Meskipun palatum primer berasal dari segmen intermaxillaris, bagian

utama palatum tetap dibentuk oleh dua lempeng dari processus maxillaris. Pada

kedua tonjolan ini, yaitu lempeng palatina muncul di minggu ke-6 perkembangan

dan mengarah ke bawah secara oblik pada sisi kanan dan kiri lingua. Pada minggu

ke-7, lempeng-lempeng palatina mengarah ke atas untuk mencapai posisi

horizontal di atas lingua dan berfusi membentuk palatum sekunder. Pada bagian

anterior, lempeng-lempeng tersebut bersatu, satu sama lain sehingga membentuk

palatum sekunder. Saat lempeng-lempeng dari palatina berfusi, pada waktu yang

bersamaan septum nasalis tumbuh ke bawah dan bersatu dengan permukaan atas

palatum yang baru terbentuk.

Potongan frontal kepala pada embrio minggu ke-7. Lingua mengarah ke bawah

dan lempeng-lempeng palatina mencapai posisi horizontal.

B. Aspek ventral dari lempeng-lempeng palatina setelah mandibula dan lingua

diangkat. Lempeng-lempengpalatinamengarahkearahhorizontal.Septumnasidapat

11
terlihat.

C. Electron micrograph dari seekor tikus dengan usia minggu sama dengan A.

D. Lempeng-lempeng palatum pada usia minggu sama dengan B.

Teori fusi dan teori klasik menyatakan bahwa labioskisis terjadi akibat

kegagalan penyatuan antara processus maxillaris dengan processus nasalis

medialis. Skema proses terjadinya fusi adalah sebagai berikut, teori penetrasi

mesoderm menyatakan bahwa palatoskisis terjadi akibat hilang atau terhambatnya

membran epitel, sehingga tidak dipenetrasi oleh mesoderm di sekitarnya.

Gabungan teori fusi dan teori penetrasi mesoderm diajukan pertama kali oleh

Patten.

Pada proses fusi ini sangat diperlukan faktor-faktor pertumbuhan, yang

berperan adalah dua macam regulator pertumbuhan yaitu TGFα dan β. TGFα

adalah suatu mitogen kuat, yang berperan di dalam aktivasi enzim Cyclin

Dependent Kinase 1 (CDK 1) pada fase G1 siklus sel yang akan masuk ke fase

sintesis, dan selanjutnya terjadilah pembelahan sel. Oleh karena itu apabila

terdapat hambatan sintesis atau berkurangnya intensitas faktor pertumbuhan

tersebut maka pertumbuhan jaringan mesoderm disana juga akan terhambat, dan

terjadi kegagalan fusi tersebut sehingga terbentuklah celah pada daerah tersebut.

4. Etiologi

Seperti kebanyakan kasus kelainan kongenital, celah orofacial disebabkan

oleh adanya interaksi antara faktor genetik dan lingkungan. Artinya, faktor

genetikmerupakan suatu kerentananyang dimiliki individu tertentu, sedangkan faktor

lingkungan sebagaipemicuekspresigen tersebut. Interaksi keduanyaakan


12
menyebabkan gangguan perkembangan pada tahap awal kehamilan.

Proporsi faktor genetik dan lingkungan bervariasi menurut jenis kelamin

individu yang mengalami kelainan celah. Pada celah bibir dan kombinasi, juga

terdapat variasi derajat keparahan dan lateralisasi anomali. Proporsi paling tinggi

terdapat pada kelompok wanita dengan celah bilateral dan proporsi terkecil adalah

kelompok pria dengan celah unilateral.

Dasar genetika kelainan celah sendiri cukup heterogen. Terdapat berbagai

pola genetik, seperti autosomal resesif, autosomal dominan, dan x-linked, yang

berkaitan dengan klinis labiopalatoskisis. Pada keseluruhan orang tua, memiliki

anak dengan celah adalah 1:600-700. Seperti yang telah dijelaskan, etiologi

kelainan ini masih belum jelas. Beberapa faktor lingkungan yang dapat memicu

munculnya fenotif berupa kelainan celah, antara lain: konsumsi alkohol pada

periode embrional. Beberapa bahan teratogen seperti fenitoin, asam retinoid, dan

beberapa agen anestetik juga dapat memicu terjadinya kelainan ini. Ibu yang

merokok pada masa kehamilan juga dapat penyebabkan peningkatan angka

kejadian labiopalatoskisis sebanyak 2 kali.

Pemetaan genetik pada keluarga yang memiliki labiopalatoskisis yang

diturunkan, berhasil mengidentifikasi gen yang berperan dalam kejadian

labiopalatoskisis. Kelainan palatoskisis dengan ankiloglossia merupakan kelainan

terkait-x yang menunjukkan adanya mutasi pada gen TBX22. Ekspresi gen

TBX22 pada lempeng palate berperan dalam proses penyatuan. Mutasi pada gen

ini akan menyebabkan palatoskisis.

Gen lain yang juga berperan adalah MSX1 dan TGFB3 yang terbukti

13
menyebabkan kelainan celah pada uji coba hewan pengerat. Terakhir, beberapa

gen yang telah ditemukan berkaitan dengan kelainan labiopalatoskisis adalah gen

D4S192, RARA, MTHFR, RFC1, GABRB3, PVRL1, dan IRF6.

Meskipun semakin banyak gen yang diketahui berperan terhadap

terjadinya labiopalatoskisis, namun bentuk interaksi gen-gen tersebut dengan

faktor lingkungan masih sulit dipahami, baik pada kelainan sindrom maupun

nonsindrom. Oleh sebab itu, perlu adanya upaya pencegahan baik berupa skrining

genetik maupun menghindari berbagai faktor risiko yang telah terbukti berkaitan

dengan labiopalatoskisis.

5. Klasifikasi

Beberapa klasifikasi labiopalatoskisis ditujukan untuk menggambarkan

derajat, lokasi dan variasi kondisi celah. Klasifikasi yang dibuat sudah seharusnya

sederhana,jelas, fleksibel, pasti, dan dapat digambarkan. Salah satu klasifikasi

tersebut adalah klasifikasi dengan sistem LAHSHAL dari Otto Kriens yang

mampu menggambarkan lokasi, ukuran, dan tipe celah.

Celah atau skisis komplit labium, alveolus, palatum durum dan palatum

mole dideskripsikan dengan huruf kapital LAH dan S, sedangkan bila skisis

inkomplit dituliskan dengan huruf kecil. Skisis mikro dapat ditulis dengan

asteriks. Dengan demikian, penulisan LAHSHAL menunjukkan skisis pada

labium, alveolar, dan palatum komplit bilateral. Contoh lain, lahSh menunjukkan

labioskisis inkomplit unilateral kanan dan alveolus, dengan skisis komplit palatum

mole yang melebar hingga sebagian palatum durum.

14
Tipe labioskisis:

(a) unilateral inkomplit,

(b) unilateral komplit,

(c) bilateral komplit.

Tipe palatoskisis:

(a) inkomplit,

(b) unilateral komplit,

(c) bilateral komplit.

15
Beberapa tipe labiopalatoskisis meliputi labiopalatoskisis komplit dan inkomplit. Dikatakan komplit
bila skisis mencapai dasar hidung (nasal floor) dan inkomplit bila di bagian cranial dari skisis
tersebut masih terdapat kulit dan mukosa, tetapi tanpa lapisan otot dan jaringan mesodermal lain
(simonart'sbanband)

(A) Labioskisis unilateral inkomplit, (B) Labioskisis unilateral

(C) Labioskisis bilateral dengan Palatoskisis dan tulang alveolar, (D)

Palatoskisis.

Baik labioskisis maupun palatoskisis dapat terjadi bilateral dan unilateral.

Pada skisis palatum molle tunggal yang selalu memiliki defek di bagian tengah,

maka dapat disebut pula palatoschizismediana. Palatoskisis submukosa sering

tidak terlalu tampak adanya skisis pada palatum mole, namun muskulus dektra

dan sinistranya tidak menyatu sehingga akan tampak adanya uvula bifida.

Penderita ini akan sengau suaranya bila defek tidakdikoreksi.

16
Klasifikasi labiopalatoskisis berdasarkan variasi dan pola genetik, yaitu:

- Labioskisis nonsindrom dengan atau tanpapalatoskisis

- Palatoskisisnonsindrom

- Labioskisis sindromik dengan atau tanpapalatoskisis

- Palatoskisissindromik

Klasifikasi Y dari Kernohan untuk labiopalatoskisis yang kemudian

dimodifikasi oleh Millard, juga mendeskripsikan keterlibatan nasal, seperti pada

gambar berikut:

17
6. Penatalaksanaan

Adapun tahapan penatalaksanaan labiopalatoskisis adalah sebagai berikut:

1. Labioplasty dimulai umur 10 minggu (3 bulan), Berat badan 10 pon (5 Kg),

danHb>10g%.

2. Palatoplasty dimulai umur 10-12bulan

3. Speechtherapy segera setelah dilakukan cheilopalatoraphy untuk

mencegah timbulnya suaranasal

4. Pharyngoplasty dilakukan umur 5-6tahun

5. Orthodonti dilakukan untuk memperbaiki lengkung alveolus pada umur 8-9

tahun

6. Bone grafting dilakukan umur 9-11 tahun, dan dilanjutkan hingga

pertumbuhan gigiberhenti

7. Operasi advancement osteotomi Le Fort I umur 17 tahun, dimana os facial

telah berhentipertumbuhannya.

18
ditanggulangi bersama-sama interdisipliner. Ahli bedah plastik melakukan

pembedahan pada cacat yang ada, ahli THT mengobati masalah telinga, speech

therapist membantu bicara yang benar, orthodontist mengatur rahang dan gigi

yang biasanya dilakukan menjelang tumbuhnya gigi permanen, pekerja sosial dan

psikolog membantu mengatasi keluhan kejiwaan setelah penderita dilahirkan.

Adapun tahapan penatalaksanaan labiopalatoskisis adalah sebagai berikut:

8. Labioplasty dimulai umur 10 minggu (3 bulan), Berat badan 10 pon (5 Kg),

danHb>10g%.

9. Palatoplasty dimulai umur 10-12bulan

10. Speechtherapy segera setelah dilakukan cheilopalatoraphy untuk

mencegah timbulnya suaranasal

11. Pharyngoplasty dilakukan umur 5-6tahun

12. Orthodonti dilakukan untuk memperbaiki lengkung alveolus pada umur 8-9

tahun

13. Bone grafting dilakukan umur 9-11 tahun, dan dilanjutkan hingga

pertumbuhan gigiberhenti

14. Operasi advancement osteotomi Le Fort I umur 17 tahun, dimana os facial

telah berhentipertumbuhannya.

ditanggulangi bersama-sama interdisipliner. Ahli bedah plastik melakukan

pembedahan pada cacat yang ada, ahli THT mengobati masalah telinga, speech

therapist membantu bicara yang benar, orthodontist mengatur rahang dan gigi

yang biasanya dilakukan menjelang tumbuhnya gigi permanen, pekerja sosial dan
19
psikolog membantu mengatasi keluhan kejiwaan setelah penderita

dilahirkan.Adapun tahapan penatalaksanaan labiopalatoskisis adalah sebagai

berikut:

1. Labioplasty dimulai umur 10 minggu (3 bulan), Berat badan 10 pon (5

Kg), danHb>10g%.

2. Palatoplasty dimulai umur 10-12bulan

3. Speechtherapy segera setelah dilakukan cheilopalatoraphy untuk

mencegah timbulnya suaranasal

4. Pharyngoplasty dilakukan umur 5-6tahun

5. Orthodonti dilakukan untuk memperbaiki lengkung alveolus pada umur 8-

9 tahun

6. Bone grafting dilakukan umur 9-11 tahun, dan dilanjutkan hingga

pertumbuhan gigiberhenti

7. Operasi advancement osteotomi Le Fort I umur 17 tahun, dimana os facial

telah berhentipertumbuhannya.

20
Perencanaan tahapan penatalaksanaan pasien labiopalatoskisis

berdasarkan umur pasien.

Manajemen labiopalatoskisis sendiri secara umum dibagi menjadi dua tahapan besar, yaitu
manajemen primer dan sekunder. Manajemen primer mencakup diagnosis antenatal, feeding
(termasuk masalah airway), dan koreksi bedah, sedangkan manajemen sekunder mencakup
seluruh prosedur penanganan hearing, speech, dan dental.

21
Salah satu teknik untuk koreksi labiopalatoskisis adalah teknik modifikasi

Millard. Teknik modifikasi Millard merupakan teknik yang digunakan secara luas,

terutama untuk memperbaiki labioskisis bilateral. Teknik ini juga dapat digunakan

untuk memperbaiki skisis inkomplit atau asimetrik bilateral.

Gambar 10. Tehnik modifikasi Millard. Tepi-tepi celah antara labium dan nasal

diinsisi (A dan B). Bagian bawah cavum nasi dijahit (C). Bagian superior dari

jaringan labium ditutup (D), dan jahitan diperpanjang hingga menutup seluruh

bagian yang terbuka(E).

Teknik penutupan celah submukosa sebenarnya serupa dengan penutupan

celah di bagian palatum. Teknik pharyngeal flap atau phryngoplasty dapat

dilakukan untuk masalah ini. Pharyngoplasty meliputi 2 flap yang diposisikan di

22
sisi faring dan dirotasikan ke atas untuk memperkecil terbukanya palatum,

sehingga akan memungkinkan penutupan palatum molle. Metode ini lebih baik

pada pola penutupan sirkular atau koronal, karena tidak mengganggu gerakan

palatum ke posterior. Pemilihan teknik penutupan sendiri bergantung pola

penutupan palatum preoperatif.

Alveolar bone-grafting merupakan bagian tak terpisahkan dari koreksi

celah yang meliputi maxillaris anterior. Dengan adanya union dari os akan

membantu mencegah kolaps segmental maxillaris, untuk menutup fistula

oronasal, dan untuk mendorong erupsi gigi. Bone-grafting pada pasien yang

berusia di bawah 2 tahun perlu dipertimbangkan bone-grafting primer dan

sekunder (2 tahap). Material graft dapat diperoleh dari hip, costae, fibula, atau

lapisan luarkranium. Meskipun terdapat morbiditas bagi donor, namun

keuntungan yang dicapai dalam menutup celah maxillaris jauh lebih besar

dibanding potensi risikonya.

Beberapa hal yang perlu dilakukan dan dipantau pada pasien

labiopalatoskisis paska bedah adalah:

- Paska bedah, feeding dilakukan dengan menggunakan ujung dot lembut yang

dipotongujungnya.

- Bayi perlu dihospitalisasi untuk pemberian cairan intravena hingga intake oral

memungkinkan dilakukan

- Jahitan hams tetap bersih dengan berkumur / dilusi larutan hidrogen peroksida

3 kali sehari setelahmakan

- Bila menggunakan benang jahit yang nonresorbable, jahitan dapatdilepas

23
pada hari ke-5 paskaoperasi.

7. Manifestasi klinis

a. Belahan di bibir dan langit-langit mulut


b. Belahan di bibir yang tampak seperti cekungan kecil atau memanjang dari bibir ke gusi
dan bagian bawah hidung

Belahan di langit-langit mulut yang tidak memengaruhi struktur wajah


Pada kasus yang jarang, celah hanya terbentuk pada otot langit-langit yang lunak (bibir
sumbing
submukosa). Jenis ini mungkin tidak akan langsung terdeteksi saat Si Kecil lahir, tapi
orang tua perlu
mewaspadai gejala di bawah ini:
a. Kesulitan saat menyusu
b. Susah menelan makanan
c. Makanan dan minuman yang keluar dari hidung
d. Suara terdengar sengau atau bindeng
e. Mengalami infeksi telinga kronis

24
Konsep Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
1. Identitas klien : Meliputi nama, alamat, umur
2. Keluhan utama : Alasan klien masuk ke rumah sakit
3. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan dahulu : mengkaji riwayat kehamilan ibu, apakah ibu pernah
mengalami trauma pada kehamilan Trimester 1. Bagaimana pemenuhan nutrisi ibu saat
hamil. Obat-obat yang pernah dikonsumsi oleh ibu dan apakah ibu pernah stress saat
hamil.
b. Riwayat kesehatan sekarang : mengkaji berat / panjang bayi saat lahir. Pola pertumbuhan.
Pertambahan / penurunan berat badan. Riwayat otitis media dan infeksi saluran
pernafasan atas.
c. Riwayat kesehatan keluarga : riwayat kehamilan, riwayat keturunan labiopalatoskisis dari
keluarga. Penyakit sifilis dari orang tua laki-laki
4. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi kecacatan pada saat lahir untuk mengidentifikasi karakteristik sumbing.
b. Kaji asupan cairan dan nutrisi bayi
c. Kaji kemampuan hisap, menelan, bernafas.
d. Kaji tanda-tanda infeksi
e. Palpasi dengan menggunakan jari
f. Kaji tingkat nyeri pada bayi

Pengkajian keluarga
a. Observasi infeksi bayi dan keluarga
b. Kaji harga diri / mekanisme koping dari anak / orang tua
c. Kaji reaksi orang tua terhadap operasi yang akan dilakukan
d. Kaji kesiapan orang tua terhadap pemulangan dan kesanggupan mengatur perawatan
dirumah.
e. Kaji tingkat pengetahuan keluarga

B. Diagnosa keperawatan
Pra pembedahan :
1. Resiko aspirasi dibuktikan dengan gangguan menelan
2. Resiko Defisit nutrisi dibuktikan dengan ketidakmampuan menelan
Pasca pembedahan :
1. Resiko infeksi dibuktikan dengan insisi pembedahan

25
C. Intervensi

NNo Diagnosa Tujuan Intervensi

1 Resiko aspirasi Setelah dilakukan tindakan Observasi


dibuktikan dengan keperawatan selama 3x24
gangguan menelan jam diharapkan : 1. Monitor pola napas
1. Kemampuan (frekuensi, kedalaman,
menelan (5) usaha napas)
2. Kebersihan mulut 2. Monitor bunyi napas
(5) tambahan (mis.
Gurgling, mengi,
weezing, ronkhi
kering)
3. Monitor sputum
(jumlah, warna, aroma)

Terapeutik

4. Pertahankan kepatenan
jalan napas dengan
head-tilt dan chin-lift
(jaw-thrust jika curiga
trauma cervical)
5. Posisikan semi-Fowler
atau Fowler
6. Berikan minum hangat
7. Lakukan fisioterapi
dada, jika perlu
8. Lakukan penghisapan
lendir kurang dari 15
detik
9. Lakukan
hiperoksigenasi
sebelum
10. Penghisapan
endotrakeal
11. Keluarkan sumbatan
benda padat dengan
forsepMcGill
12. Berikan oksigen, jika
perlu

26
Edukasi

1. Anjurkan asupan
cairan 2000 ml/hari,
jika tidak
kontraindikasi.

2. Ajarkan teknik batuk


efektif

No Diagnosa Tujuan Intervensi

2 RiRisiko Defisit Setelah dilakukan tindakan O observasi


nutrisi dibuktikan keperawatan selama 3x24 jam 1. Monitor asupan dan keluarnya
dengan diharapkan : makanan dan cairan serta
ketidakmampuan 1. Porsi makanan yang kebutuhan kalori
menelan dihabiskan (5) Terapeutik
2. Berat badan (5) 1. Timbang berat badan secara
3. Indeks massa tubuh rutin
(IMT) (5) 2. Diskusikan perilaku makan dan
jumlah aktivitas fisik
(termasuk olahraga) yang
sesuai
3. Lakukan kontrak perilaku (mis,
target berat badan, tanggung
jawab perilaku)
Edukasi
1. Anjurkan membuat catatan
harian tentang perasaan dan
situasi pemicu pengeluaran
makanan (mis, pengeluaran
yang disengaja, muntah,
aktivitas berlebihan)
2. Ajarkan pengaturan diet yang
tepat
3. Ajarkan keterampilan koping
untuk menyelesaikan masalah
perilaku makan

27
No Diagnosa Tujuan Intervensi

3 Resiko infeksi Setelah dilakukan Observasi


dibuktikan dengan tindakan keperawatan
insisi pembedahan selama 3x24 jam 1. Identifikasi riwayat
diharapkan : kesehatan dan riwayat
1. Demam menurun alergiI
(5) 2. dentifikasi kontraindikasi
2. Nyeri menurun (5) pemberian imunisasiI
3. Bengkak menurun 3. dentifikasi status
(5) imunisasi setiap
kunjungan ke pelayanan
kesehatan

Terapeutik

1. Berikan suntikan pada


pada bayi dibagian paha
anterolateral
2. Dokumentasikan
informasi vaksinasi
3. Jadwalkan imunisasi pada
interval waktu yang tepat

Edukasi

1. Jelaskan tujuan, manfaat,


resiko yang terjadi,
jadwal dan efek
sampingInformasikan
imunisasi yang
diwajibkan pemerintah
2. Informasikan imunisasi
yang melindungiterhadap
penyakit namun saat ini
tidak
diwajibkanpemerintah
3. Informasikan vaksinasi

28
untuk kejadian khusus
4. Informasikan penundaan
pemberian imunisasi tidak
berartimengulang jadwal
imunisasi kembali
5. Informasikan penyedia
layanan pekan imunisasi
nasional yang
menyediakan vaksin
gratis

D. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN

Merupakan inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang

29
spesifik.Tahappelaksanaandimulaidimulaisetelahrencanatindakandisusun
dan ditujukan pada nursing orders untuk membantu klien mencapai tujuan
yang diharapkan. Oleh karena itu rencana tindakan yang spesifik
dilaksanakan untuk memodifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhimasalah kesehatanklien.

E. EVALUASI KEPERAWATAN

Perencanaan evaluasi memuat kriteria keberhasilan proses dan


keberhasilantindakankeperawatan.Keberhasilanprosesdapatdilihatdengan
jalan membandingkan antara proses dengan pedoman/rencana proses
tersebut. Sedangkan keberhasilan tindakan dapat dilihat dengan
membandingkan antara tingkat kemandirian pasien dalam kehidupan
sehari- hari dan tingkat kemajuan kesehatan pasien dengan tujuan yang
telah di rumuskan sebelumnya. Sasaran evaluasi adalah sebagaiberikut:

a. Proses asuhan keperawatan, berdasarkan criteria/ rencana


yang telah disusun.

b. Hasil tindakan keperawatan ,berdasarkan kriteria


keberhasilan yang telah di rumuskan dalam rencanaevaluasi

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

30
Labioskizis atau Labiopalatoskizis merupakan kelainan kongenital atau
bawaan yang terjadi akibat kegagalan fusi atau penyatuan frominem
maksilaris dengan frominem medial yang diikuti disrupsi kedua bibir
rahang dan palatum anterior. Masa krisis fusi tersebut terjadi sekitar
minggu keenam pasca konsepsi. Sementara itu, palatoskizis terjadi akibat
kegagalan fusi dengan septum nasi. Gangguan gangguan palatum durum
dan palatum molle terjadi pada kehamilan minggu ke-7 sampai minggu
ke-12.
Penanganan yang dilakukan adalah dengan tindakan bedah efektif yang
melibatkan beberapa disiplin ilmu untuk penanganan selanjutnya.
Penutupan Labioskizis biasanya dilakukan pada usia 3 bulan. Sedangkan
palatoskizis biasanya ditutup pada usia 9-12 bulan menjelang anak belajar
bicara.

B. Saran

Untuk Labioskizis dan Labiopalatoskizis sangat penting diperlukan


pendekatan kepada orang tua agar mereka mengetahui masalah tindakan
yang diperlukan untuk perawatan anaknya.

DAFTAR PUSTAKA

1. https://www.slideshare.net/evhamariaefriliana/askep-

31
labiopalatoskisis

2. Supit L, Prasetyono TO. Cleft lip and palate review:


Epidemiology, Risk Factors, Quality of Life, and importance of
classifications. Med J Indones Vol.17, No.4, October-Desember
2008.

3. Sjamsuhidajat, de Jong. Kelainan bawaan. In Buku Ajar Ilmu


Bedah edisi
4. 3.Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2007. P.424-6.

5. Juniper RP, Smith WP. Cleft Lip and Palate. Developmental


abnormalities of the face, palate, jaws, and teeth. In Bailey
Surgical Textbook. 2001. P.403-6.

4. Jagomagi T, Soots M, Saag M. Epidemiologic factors causing


cleft lip and palate and their regularities of occurrence in Estonia.
Stomatologija, Baltic Dental and Maxillofacial Journal, 12: 105-
8, 2010.

5. Hopper RA, Cutting C, Grayson B. Cleft Lip and Palate. In


Grabb and Smith’s Plastic Surgery 6th edition. 2007. P.201-25

6. Bukhari SA, Ahmad W, Khursid T, Fazal M. Management of


Cleft Lip and Palate: An appraisal of 50 cased managed in oral
and maxillofacial

surgery department. Armed Forces Institute of Dentistry,


Rawalpindi, Pakistan. Pakistan Oral & Dental journal
2007;26(1):3-8.
7. Sadler, T.W. Langman’s Medical Embryology – Eight Edition.
32
Lippincott Williams and Wilkins. 2000. p.386-95.

8. Egan T, Antoine G. Cleft Lip and Palate. In Facial Plastic,


reconstructive, and Trauma Surgery. NewYork: Marcel Dekker,
Inc. 2004. p.359-77.

9. Stainer P, Moore GE. Genetics of cleft lip and palate: syndromic


genes contribute to the incidence of non-syndromic clefts.
Human Molecular Genetics, 2004, Vol. 13, Review Issue 1. DOI:
10.1093/hmg/ddh052.

33

Anda mungkin juga menyukai