Anda di halaman 1dari 41

Tugas Askeb Neonatus, Bayi dan Balita

Pertemuan 13

Oleh :

Nama : Ukhwatil fadila


Nim : 194210382
Kls : 2A

Dosen :Yosi Sefrina, m.Keb

POLTEKKES KEMENKES RI PADANG


PRODI DIII KEBIDANAN BUKITTINGGI
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Berkat limpahan kurnianya kita
dapat menyelesaikan sebuah makalah yamg berjudul “ “ ini . Penyusunan makalah ini
bertujuan sebagai penunjang mata kuliah dasar - dasar politik yang nantiknya dapat digunakan
mahasiswa untuk menambah wawasan dan pengetahuannya.

Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini mungkin banyak terdapadat kesalah -
kesalah dan masih jauh dari kekurangan . Oleh karena itu , kami mengharapkan kritik dan saran
dari pembaca , dan mudah - mudahan ini dapat mencapai sasaran yang diharapkan dan mudah -
mudahan makalah ini dapat mencapai sasaran yang di harapkan dan mudah-mudahan makalah
ini juga dapat bermanfaatn bagi kita semua .
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................

DAFTAR ISI................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang........................................................................................


1.2 Rumusan masalah..................................................................................
1.3 Tujuan penulisan....................................................................................

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Labiokhiziz..............................................................................................
2.2 Labiopalatokhiziz.....................................................................................
2.3 Atresia esophagus...................................................................................
2.4 Atresia rekti.............................................................................................
2.5 Atresia ani................................................................................................
2.6 Hisprung...................................................................................................
2.7 Omfalokel.................................................................................................
2.8 Hermia diafragmatika...............................................................................
2.9 Maningokel...............................................................................................
2.10 Ensefalokel...............................................................................................
2.11 Hidrosefalus............................................................................................
2.12 Fimosis....................................................................................................
2.13 Hipospadia..............................................................................................

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Kelainan kongenital adalah kelainan dalam pertumbuhan janin yang terjadi sejak konsepsi dan
selama dalam kandungan. Diperkirakan 10-20% dari kematian janin dalam kandungan dan kematian
neonatal disebabkan oleh kelainan kongenital. Khusunya pada bayi berat badan rendah diperkirakan
kira-kiraa 20% diantaranya meninggal karena kelainan kongenital dalam minggu pertama kehidupannya.
Malformasi kongenital merupakan kausa penting terjadinya keguguran, lahir mati, dan kematian
neonatal. Mortalitas dan morbiditas pada bayi pada saat ini masih sangat tinggi pada bayi yang
mengalami penyakit bawaan. Salah satu sebab morbiditas pada bayi adalah atresia duedoni esophagus,
meningokel eosephalokel, hidrosephalus, fimosis, hipospadia dan kelainan metabolik dan endokrin.
Sebagian besar penyakit bawaan pada bayi disebabkan oleh kelainan genetik dan kebiasaan ibu pada
saat hamil mengkonsumsi alkohol, rokok dan narkotika. Dari uraian diatas diharapkan seorang bidan
dapat melakukan penanganan secara terpadu.

Dari masalah yang ada diatas setidaknya dapat memberikan pertolongan pertama dengan dapat
untuk menekan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi, tetapi jika kondisi lebih parah kita harus
melakukanrujukan. Berdasarkan hal-hal diatas, makalah yang berjudul “Asuhan Neonatus dengan Cacat
Bawaan dan Penatalaksanaannya” ini disusun untuk mengkaji lebih jauh mengenai neonatus dengan
kelainan kongenital serta penatalaksanaannya sehingga sebagai seorang bidan kita mampu memberikan
asuhan neonatus dengan tujuan meminimalisir angka kematian dan kesakitan pada neonatus sehingga
tugas mutlak seorang bidan dan terpenuhi dengan baik.

2. Rumusan masalah

1) Apa itu labiokhiziz


2) Apa itu labiopalatokhiziz
3) Apa itu atresia esophagus
4) Apa itu atresia rekti
5) Apa itu atresia ani
6) Apa itu hisprung
7) Apa itu omfalokel
8) Apa itu hermia diafragmatika
9) Apa itu maningokel
10) Apa itu ensefalokel
11) Apa itu hidrosefalus
12) Apa itu fimosis
13) Apa itu hipospadia
3. Tujuan penulisan

1) Dapat memahami tentang labiokhiziz


2) Dapat memahami tentang labiopalatokhiziz
3) Dapat memahami tentang atresia esofagus
4) Dapat memahami tentang atresia rekti
5) Dapat memahami tentang atresia ani
6) Dapat memahami tentang hisprung
7) Dapat memahami tentang omfalokel
8) Dapat memahami tentang hermia diafragmatika
9) Dapat memahami tentang maningokel
10) Dapat memahami tentang ensefalokel
11) Dapat memahami tentang hidrosefalus
12) Dapat memahami tentang fimosis
13) Dapat memahami tentang hipospadia
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Labiokhiziz

A. Pengertian

Labioskizis/Labiopalatoskizis yaitu kelainan kotak palatine (bagian depan serta samping muka
serta langit-langit mulut) tidak menutup dengan sempurna. Merupakan deformitas daerah mulut berupa
celah atau sumbing atau pembentukan yang kurang sempurna semasa embrional berkembang, bibir
atas bagian kanan dan bagian kiri tidak tumbuh bersatu. Belahnya belahan dapat sangat bervariasi,
mengenai salah satu bagian atau semua bagian dari dasar cuping hidung, bibir, alveolus dan palatum
durum serta molle

Suatu klasifikasi berguna membagi struktur-struktur yang terkena menjadi palatum primer dan
palatum sekunder. Palatum primer meliputi bibir, dasar hidung, alveolus dan palatum durum dibelahan
foramen incisivum. Palatum sekunder meliputi palatum durum dan molle posterior terhadap foramen.
Suatu belahan dapat mengenai salah satu atau keduanya, palatum primer dan palatum sekunder dan
dapat unilateral atau bilateral. Kadang-kadang terlihat suatu belahan submukosa, dalam kasus ini
mukosanya utuh dengan belahan mengenai tulang dan jaringan otot palatum.

B. Etiologi

Penyebab terjadinya labioschisis belum diketahui dengan pasti. Kebanyakan ilmuwan berpendapat
bahwa labioschisis muncul sebagai akibat dari kombinasi faktor genetik dan factor-faktor lingkungan. Di
Amerika Serikat dan bagian barat Eropa, para peneliti melaporkan bahwa 40% orang yang mempunyai
riwayat keluarga labioschisis akan mengalami labioschisis. Kemungkinan seorang bayi dilahirkan dengan
labioschisis meningkat bila keturunan garis pertama (ibu, ayah, saudara kandung) mempunyai riwayat
labioschisis. Ibu yang mengkonsumsi alcohol dan narkotika, kekurangan vitamin (terutama asam folat)
selama trimester pertama kehamilan, atau menderita diabetes akan lebih cenderung melahirkan bayi/
anak dengan labioschisis. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya bibir sumbing antara lain :

C. Tanda dan gejala

1.Terjadi pemisahan langit – langit

2.Terjadi pemisahan bibir

3.Terjadi pemisahan bibir dan langit – langit.

4.Berat badan tidak bertambah

5.Pada bayi terjadi regurgitasi nasal ketika menyusui yaitu keluarny air susu dari hidung.
D. Diagnosis

Untuk mendiagnosa terjadi celah sumbing pada bayi setelah lahir mudah karena pada celah sumbing
mempunyai ciri fisik yang spesifik. Sebetulnya ada pemeriksaan yang dapat digunakan untuk
mengetahui keadaan janin apakah terjadi kelainan atau tidak. Walaupun pemeriksaan ini tidak
sepenuhya spesifik, ibu hamil dapat memeriksakan kandungannya dengan menggunakaan USG.

E. Penatalaksanaan

Penanganan untuk bibir sumbing adalah dengan cara operasi. Operasi ini dilakukan setelah bayi
berusia 2 bulan, dengan berat badan yang meningkat, dan bebas dari infeksi oral pada saluran napas
dan sistemik. Dalam beberapa buku dikatakan juga untuk melakukan operasi bibir sumbing dilakukan
hukum Sepuluh (rules of Ten) yaitu, Berat badan bayi minimal 10 pon, Kadar Hb 10 g%, dan usianya
minimal 10 minggu dan kadar leukosit minimal 10.000/ui. Ada tiga tahap penatalaksanaan labioschisis
yaitu :

1.Tahap sebelum operasi

Pada tahap sebelum operasi yang dipersiapkan adalah ketahanan tubuh bayi menerima
tindakan operasi, asupan gizi yang cukup dilihat dari keseimbangan berat badan yang dicapai dan usia
yang memadai. Patokan yang biasa dipakai adalah rule of ten meliputi berat badan lebih dari 10 pounds
atau sekitar 4-5 kg , Hb lebih dari 10 gr % dan usia lebih dari 10 minggu , jika bayi belum mencapai rule
of ten ada beberapa nasehat yang harus diberikan pada orang tua agar kelainan dan komplikasi yang
terjadi tidak bertambah parah. Misalnya memberi minum harus dengan dot khusus dimana ketika dot
dibalik susu dapat memancar keluar sendiri dengan jumlah yang optimal artinya tidak terlalu besar
sehingga membuat bayi tersedak atau terlalu kecil sehingga membuat asupan gizi menjadi tidak cukup,
jika dot dengan besar lubang khusus ini tidak tersedia bayi cukup diberi minum dengan bantuan sendok
secara perlahan dalam posisi setengah duduk atau tegak untuk menghindari masuknya susu melewati
langit-langit yang terbelah.

Selain itu celah pada bibir harus direkatkan dengan menggunakan plester khusus non alergenik
untuk menjaga agar celah pada bibir menjadi tidak terlalu jauh akibat proses tumbuh kembang yang
menyebabkan menonjolnya gusi kearah depan (protrusio pre maxilla) akibat dorongan lidah pada
prolabium , karena jika hal ini terjadi tindakan koreksi pada saat operasi akan menjadi sulit dan secara
kosmetika hasil akhir yang didapat tidak sempurna. Plester non alergenik tadi harus tetap direkatkan
sampai waktu operasi tiba.

2.Tahap sewaktu operasi

Tahapan selanjutnya adalah tahapan operasi, pada saat ini yang diperhatikan adalah soal
kesiapan tubuh si bayi menerima perlakuan operasi, hal ini hanya bisa diputuskan oleh seorang ahli
bedah Usia optimal untuk operasi bibir sumbing (labioplasty) adalah usia 3 bulan. Usia ini dipilih
mengingat pengucapan bahasa bibir dimulai pada usia 5-6 bulan sehingga jika koreksi pada bibir lebih
dari usia tersebut maka pengucapan huruf bibir sudah terlanjur salah sehingga kalau dilakukan operasi
pengucapan huruf bibir tetap menjadi kurang sempurna.

Operasi untuk langit-langit (palatoplasty) optimal pada usia 18 – 20 bulan mengingat anak aktif
bicara usia 2 tahun dan sebelum anak masuk sekolah. Palatoplastydilakukan sedini mungkin (15-24
bulan) sebelum anak mulai bicara lengkap sehingga pusat bicara di otak belum membentuk cara bicara.
Kalau operasi dikerjakan terlambat, sering hasil operasi dalam hal kemampuan mengeluarkan suara
normal atau tidak sengau sulit dicapai. (19) Operasi yang dilakukan sesudah usia 2 tahun harus diikuti
dengan tindakan speech teraphy karena jika tidak, setelah operasi suara sengau pada saat bicara tetap
terjadi karena anak sudah terbiasa melafalkan suara yang salah, sudah ada mekanisme kompensasi
memposisikan lidah pada posisi yang salah. Bila gusi juga terbelah (gnatoschizis) kelainannya menjadi
labiognatopalatoschizis, koreksi untuk gusi dilakukan pada saat usia 8–9 tahun bekerja sama dengan
dokter gigi ahli ortodonsi.

3.Tahap setelah operasi.

Tahap selanjutnya adalah tahap setelah operasi, penatalaksanaanya tergantung dari tiap-tiap
jenis operasi yang dilakukan, biasanya dokter bedah yang menangani akan memberikan instruksi pada
orang tua pasien misalnya setelah operasi bibir sumbing luka bekas operasi dibiarkan terbuka dan tetap
menggunakan sendok atau dot khusus untuk memberikan minum bayi. Banyaknya penderita bibir
sumbing yang datang ketika usia sudah melebihi batas usia optimal untuk operasi membuat operasi
hanya untuk keperluan kosmetika saja sedangkan secara fisiologis tidak tercapai, fungsi bicara tetap
terganggu seperti sengau dan lafalisasi beberapa huruf tetap tidak sempurna, tindakan speech teraphy
pun tidak banyak bermanfaat.

2.2 Labiopalatokhiziz

A. pengertian

Palatokizis (sumbing palatum/celah llangit-langit), labioskizis (sumbing bibir/celah bibir) yang terjadi
akibat gagalnya jaringan lunak (struktur tulang maxila dan premaxilla) untuk menyatu selama
perkembangan embrio.

Jenis belahan pada labioskizis atau labiopalatokizis dapat sangat bervariasi, bisa mengenai salah satu
bagian atau semua bagian dari dasar cuping hidung, bibir, alveolus dan palatum durum, serta malatum
molle. Suatu klasifikasi membagi struktur-struktur yang terkena menjadi beberapa bagian berikut :

1) Palatum primer meliputi bibir, dasar hidung, alveolus, palatum dulum di belahan foramen
insisivum.

2) Palatum sekunder meliputi palatum durum dan palatum molle posterior terhadap foramen.

3) Suatu belahan dapat mengenai salah satu atau keduanya, palatum primer dan palatum
sekunder dan juga bisa berupa unilateral dab bilateral.
4) Terkadang terlihat suatu belahan submukosa. Dalam kasus ini mukosanya utuh dengan belahan
mengenai tulang dan jaringan otot palatum.

Berdasarkan organ yang terlihat :

o Celah di bibir (labioskizis).

o Celah di gusi (platokizis).

o Celah di langit (palatokizis).

o Celah dapat terjadi dalam satu organ misalnya terjadi di bibir dan langit-langit
(labiopalatoskizis).

Berdasarkan lengkap atau tidak lengkapnya celah terbentuk.

1) Unilateral inclompete adalah jika celah sumbing terjadi hanya di salah satu sisi bibir dan tidak
memanjang ke hidung.

2) Unirateral complete adalah jika celah sumbing yang terjadi hanya di salah satu sisi bibir dan
memanjang ke hidung.

3) Bilateral complete adalah jika celah sumbing terjhadi di kedua sisi bibir dan memanjang hingga
ke hidung.

B. Etiologi

Penyebab terjadinya labioskizis dan labiopalatokizis adalah sebagai berikut :

1. Kelainan-kelainan yang dapat menimbulkan hipokalemia.

2 .Obat-obatan yang dapat merusak sel muda (mengganggu mitosis), misalnya sitostatika dan
radiasi.

3 .Obat-obatan yang mempengaruhi metabolisme, misalnya difisiensi vitamin B6, asam folat,
dan vitamin C.

4. Faktor genetik atau keteurunan.

5.Terjadi trauma pada kehamilan trimester pertama.

6 .Infeksi pada ibu yang dapat mempengaruhi janin seperti infeksi rubella, sifilis, toxoplasma,
dan klamidia.

7. Multi faktoral dan mutasi genetik.

8. Displasia ektodernal.
E. Penatalaksanaan

1) Pemberian ASI secara langsung dapat pula diupayakan jika ibu mempunyai refleks
mengeluarkan air susu dengan baik yang mungkin dapat dicoba dengan sedikit menekan
payudara.

2) Bila anak sukar mengisap sebaiknya gunakan botol peras (squeze bottles). Untuk mengatasi
gangguan mengisap, pakailah dot yang panjang dengan memeras botol maka susu dapat di
dorong jatuh di belakang mulut hingga dapat diisap. Jika anak tidak mau, berikan dengan cangkir
dan sendok.

3) Dengan bantuan ortodontis dapat pula dibuat okulator untuk menutup sementara celah
palatum agar memudahkan pemberian minum, dan sekaligus mengurangi deformitas palatum
sebelum dpat dilakukan tindakan bedah

4) Tindakan bedah, dengan kerja sama yang baik antara ahli bedah, ortodontis, dokter anak, dokter
THT, serta ahli wicara

5) Tahapan tindakan orthondofic diperlukan pula untuk perbaikan gusi dan gigi.

6) Pendekatan kepada orang tua sangat penting agar mereka mengetahui masalah tindakan yang
diperlukan untuk perawatan anaknya.

2.3 Atresia Esophagus

A. Pengertian

Atresia esophagus adalah malformasi yang disebabkan oleh kegagalan esophagus untuk melakukan
pasase yang kontinu, esophagus mungkin tidak membentuk sambungan dengan trakea (fistula
trajeoesofagus).

B. Etiologi

Ateresia esophagus terjadi sekitar 1 dari 4.425 kelahiran hidup. Menurut (Solidikin, 2011) Penyakit
ini, secara embriologis anomaly ini terjadi akibat :

1 .Diferensiasi usus depan yang tidak sempurna dalam memisahkan diri masing-masing untuk menjadi
esophagus dan trachea.

2. Perkembangan sel entodermal yang tidak lengkap sehi2ngga menyebabkan terjadinya atresia.

3. Perlekatan dinding lateral usus depan yang tidak sempurna sehingga terjadi fistula tracheosofagus.
Faktor genetic tidak berperan dalam pathogenesis kelainan ini.

C. Tanda dan Gejala Atresia Esophagus


Adanya penemuan khas terlihat pada jam-jam awal kehidupan, dan penentuan penyakit harus
dibuat sebelum diberikan makanan pertama (Rendle, Gray, & Dodge, 2005). Tanda ataupun gejala dapat
berupa :

1. Salivasi yang berlebihan dimana saliva cenderung mengalir dari mulut dalam bentuk seperti buih

2. Apabila diusahakan pemberian makanan maka akan terjadi batuk dan sumbatan, kesukaran bernapas
dan ditemukan sianosis.

3. Terdapat kesukaran pemberian makanan yang mengarah pneumonia aspirasi, walaupun demikian hal
ini jarang terbukti mencapai 2-3 hari setelah dimulainya pemberian makanan

4. Dapat terjadi pneumonitis yang disebabkan kerusakan akibat refluks cairan lambung melalui kantong
bagian bawah.

D. Diagnosis

Dalam pemeriksaan USG pada usia kehamilan sekitar 26 mingu ditemukan polyhidramnion tetapi
pembesaran perut ibu tidak sesuai dengan umur kehamilan (lebih kecil). Kesulitan memasukkan kateter
ke dalam lambung akan memperkuat kecurigaan. Kateter biasanya berhenti mendadak pada 10-11 cm
dari garis gusi atas, dan gambaran rontgen menunjukkan kateter menggulung di kantong esophagus
atas. Kadang-kadang, pada foto rontgen polos dada terlihat esophagus melebar dengan udara di
dalamnya. Adanya udara dalam perut menunjukkan fistula diantara trakea dan esophagus distal. Media
kontras yang digunakan pada foto rontgen seharusnya larut dalam air ; jumlah kurang dari 1 ml yang
diberikan di bawah pengamatan fluoroskopi cukup untuk memberikan gambaran kebuntuan kantong
bagian atas. Gambaran video esophagus, saat pengisian bahan kontras, biasanya efektif. Lubang fistula
pada trakea mungkin dapat ditemukan dengan bronkoskopi. Pencarian malformasi yang menyertai
dengan teliti harus dilakukan. Banyak orang menganjurkan ultrasonografi jantung praoperatif untuk
mendeteksi yang cukup berat.

E. penatalaksanaan

Penatalaksanaan Atresia Esophagus sbb:

1.Pada anak segera dipasangkan kateter ke dalam esophagus dan bila mungkin dilakukan penghisapan
terus-menerus.

2.Pemberian antibiotic pada kasus dengan resiko infeksi

3.Kadang-kadang keadaan bayi memerlukan tindakan bedah dalam 2 tahap, tahap pertama berupa
pengikatan fistula serta pemasangan pipa gastrostomi untuk pemberian makanan, tahap kedua berupa
tindakan anastomosis kedua ujung esophagus.
2.4 Atresia Rekti dan Anus

A. Pengertian

Istilah atresia berasal dari bahasa Yunani yaitu “a” yang berarti tidak ada dan trepsis yang berarti
makanan atau nutrisi. Dalam istilah kedokteran, atresia adalah suatu keadaan tidak adanya atau
tertutupnya lubang badan abnormal.

Atresia ani adalah malformasi congenital dimana rectum tidak mempunyai lubang keluar
(Walley,1996). Ada juga yang menyebutkan bahwa atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan
embrionik pada distal anus atau tertutupnya anus secara abnormal (Suriadi, 2001). Sumber lain
menyebutkan atresia rekti dan anus adalah kondisi dimana rectal terjadi gangguan pemisahan kloaka
selama pertumbuhan dalam kandungan.

Atresia rekti dan anus adalah kelainan congenital anus dimana anus tidak mempunyai lubang untuk
mengeluarkan feces karena terjadi gangguan pemisahan kloaka yang terjadi saat kehamilan. Walaupun
kelainan lubang anus akan mudah terbukti saat lahir, tetapi kelainan bisa terlewatkan bila tidak ada
pemeriksaan yang cermat atau pemeriksaan perineum.

B. Etiologi

Penyebab secara pasti atresia rekti dan anus belum diketahui, namun ada sumber mengatakan
kelainan bawaan anus disebabkan oleh gangguan pertumbuhan, fusi, dan pembentukan anus dari
tonjolan embriogenik. Pada kelainan bawaan anus umumnya tidak ada kelainan rectum, sfingter, dan
otot dasar panggul. Namun demikian pada agenesis anus, sfingter internal mungkin tidak memadai.
Orang tua yang mempunyai gen carrier penyakit ini mempunyai peluang sekitar 25% untuk diturunkan
pada anaknya saat kehamilan. 30% anak yang mempunyai sindrom genetik, kelainan kromosom atau
kelainan congenital lain juga beresiko untuk menderita atresia rekti dan anus. Sedangkan kelainan
bawaan rectum terjadi karena gangguan pemisahan kloaka menjadi rectum dan sinus urogenital
sehingga biasanya disertai dengan gangguan perkembangan septum urorektal yang memisahkannya.

C. Gejala Klinis

1. Kegagalan lewatnya mekonium setelah bayi lahir

2. Tidak ada atau stenosis (penyempitan) kanal rectal

3. Bayi tidak dapat buang air besar sampai 24 jam setelah lahir

4. Gangguan intestinal, pembesaran abdomen, pembuluh darah di kulit abdomen akan terlihat
menonjol

5. Bayi muntah – muntah pada usia 24 – 48 jam setelah lahir

6. Cairan muntahan akan dapat berwarna hijau karena cairan empedu juga berwarna hitam kehijauan
yang disebabkan tercampurnya dengan mekonium.
E. Penatalaksanaan

Kepada orang tua perlu diberitahukan mengenai kelainan pada anaknya dan keadaan tersebut
dapat diperbaiki dengan jalan operasi. Operasi akan dilakukan 2 tahap yaitu tahap pertama hanya
dibuatkan anus buatan dan setelah umur 3 bulan dilakukan operasi tahapan ke 2, selain itu perlu
diberitahukan perawatan anus buatan dalam menjaga kebersihan untuk mencegah infeksi. Serta
memperhatikan kesehatan bayi

2.5 Atresia Ani

A. Pengertian

Atresia ani adalah salah satu kelainan bawaan atau cacat lahir. Penyakit yang juga disebut anus
imperforata ini ditandai dengan tidak adanya anus atau lokasi anus yang tidak pada tempat semestinya.
Selama masa perkembangan janin, saluran pencernaan bayi akan mengalami perkembangan. Apabila
terdapat kesalahan, saluran cerna bayi tidak dapat terbentuk dengan normal. Dalam beberapa kasus,
gangguan perkembangan tersebut dapat menyebabkan anus imperforata. Pada kasus ini, usus besar
bisa terhubung melalui sebuah saluran menuju kandung kemih. Menurut beberapa penelitian, kasus
malformasi anus dapat terjadi pada satu dari antara 5.000 bayi. Kasus ini juga lebih sering ditemukan
pada bayi laki-laki dibandingkan dengan bayi perempuan.

Sementara tingkat keparahan atresia ani juga beragam pada tiap penderita dan bergantung pada:

1) Panjang saluran pencernaan bayi. Apabila rektum hampir mendekati posisi anus yang normal,
kelainan akan lebih mudah untuk diperbaiki dengan operasi.

2) Dampak anus imperforata pada otot di sekitarnya.

3) Letak akhir saluran rektum. Jika tidak berada di lokasi seharusnya (misalnya terhubung ke vagina
atau penis), kondisi ini harus diperbaiki lewat operasi.

4) Bila tidak ditangani dengan benar, komplikasi anus imperforata mungkin saja terjadi. Sebagai
contoh, penderita tidak bisa menahan buang air besar dan buang air kecil, serta munculnya
infeksi lain.

B. Etiologi

Penyebab atresia ani adalah gangguan perkembangan anatomi. Malformasi anus ini bisa terjadi
pada janin sejak usia kehamilan awal ketika janin sedang berkembang.Pemicu di balik gangguan
perkembangan tersebut belum diketahui secara pasti. Akan tetapi, beberapa penelitian menunjukkan
bahwa faktor risiko atresia ani berkaitan dengan hal-hal berikut:

1. Faktor genetik atau keturunan, misanya mutasi gen

2. Faktor-faktor lingkungan tertentu


Atresia dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :

a) Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi lahir tanpa lubang
dubur.

b) Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu/3 bulan

c) Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik didaerah usus, rektum bagian
distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu keempat sampai keenam usia
kehamilan

C. Tanda dan gejala

Tanda dan gejala atresia ani bisa berbeda-beda pada tiap penderita. Namun beberapa gejalanya
yang umum meliputi:

 Tidak adanya anus.

 Lokasi anus yang tidak normal. Pada penderita perempuan, saluran anus mungkin berada sangat
dekat dengan vagina.

 Tinja yang keluar melalui vagina maupun penis.

 Perut bengkak.

 Bayi baru lahir tidak bisa buang air besar dalam waktu 24-48 jam.

 Tingkat keparahan akibat atresia ani dapat muncul dalam bentuk-bentuk di bawah ini:

 Saluran rektum yang tidak terhubung dengan usus besar.

 Adanya penyempitan atau stenosis pada anus.

 Rektum dengan saluran yang tidak normal, seperti terhubung pada vagina dan penis.

D. Diagnosis

Beberapa metode diagnosis atresia ani meliputi:

1) Pemeriksaan fisik

Kasus anus imperforata sering ditemukan langsung oleh dokter saat memeriksa kondisi bayi tepat
setelah lahir. Pada pemeriksaan ini, dokter akan mengecek area sekitar alat kelamin dan bokong bayi.
Pemeriksaan fisik umumnya sudah cukup untuk memastikan diagnosis dan menentukan tingkat
keparahan atresia ani yang terjadi.

2) Rontgen dan USG


Pada pemeriksaan ini, akan dilakukan rontgen pada area perut (abdominal) guna menentukan lokasi
atresia ani. Beberapa jenis USG juga dapat membantu dalam mendiagnosis penyakit ini, seperti USG
ginjal, panggul, serta tulang belakang. Rontgen dan USG bertujuan mengetahui secara lebih detail
mengenai anus imperforata yang dialami oleh bayi. Contohnya, untuk melihat posisi ujung saluran usus
besar dalam tubuh penderita. Dengan ini, penanganan yang tepat bisa diberikan.

3) MRI

Prosedur MRI berfungsi mendeteksi ketidaknormalan pada tulang belakang, organ kelamin, hingga
otot-otot panggul.

4) Ekokardiogram

Ekokardiogram bertujuan memeriksa ada tidaknya kelainan pada jantung, yang juga dapat ditemukan
pada penderita anus imperforata.

5) Colostogram

Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengecek ada tidaknya kelainan pada usus, yang juga mungkin
dialami oleh penderita atresia ani.

6) Cystourethrogram

Cystourethrogram bertujuan mengecek ada tidaknya masalah pada saluran kemih. Kondisi ini juga
dapat dialami oleh penderita anus imperforata.

E. Penatalaksanaan Medis

Pembedahan Terapi pembedahan pada bayi baru lahir bervariasi sesuai dengan keparahan
kelainan. Semakin tinggi gangguan, semakin rumit prosedur pengobatannya. Untuk kelainan dilakukan
kolostomi beberapa lahir, kemudian anoplasti perineal yaitu dibuat anus permanen (prosedur penarikan
perineum abnormal) dilakukan pada bayi berusia 12 bulan. Pembedahan ini dilakukan pada usia 12
bulan dimaksudkan untuk memberi waktu pada pelvis untuk membesar dan pada otot-otot untuk
berkembang. Tindakan ini juga memungkinkan bayi untuk menambah berat badan dan bertambah baik
status nutrisnya. Gangguan ringan diatas dengan menarik kantong rectal melalui afingter sampai lubang
pada kulit anal fistula, bila ada harus tutup kelainan membranosa hanya memerlukan tindakan
pembedahan yang minimal membran tersebut dilubangi degan hemostratau skapel.

Pengobatan, antara lain :

1. Aksisi membran anal (membuat anus buatan)

2. Fiktusi yaitu dengan melakukan kolostomi sementara dan setelah 3 bulan dilakukan korksi sekaligus
(pembuat anus permanen)

Pemeriksaan Penunjang, antara lain :


a. Pemeriksaan rectal digital dan visual adalah pemeriksaan diagnostik yang umum dilakukan pada
gangguan ini

b. Jika ada fistula, urin dapat diperiksa untuk memeriksa adanya sel-sel epitel meonium.

c. Pemeriksaan sinyal X lateral infeksi (teknik wangensteen-rice) dapat menunjukkan adanya kumpulan
udara dalam ujung rectum yang buntu pada mekonium yang mencegah udara sampai keujung kantong
rectal.

d.Ultrasound dapat digunakan untuk menentukan letak rectal kantong.

e. Aspirasi jarum untuk mendeteksi kantong rectal dengan menusukan jarum tersebut sampai
melakukan aspirasi, jika mekonium tidak keluar pada saat jarum sudah masuk 1,5 cm Derek tersebut
dianggap defek tingkat tinggi.

f. Pemeriksaan radiologis dapat ditemukan seperti di bawah ini

 Udara dalam usus berhenti tiba-tiba yang menandakan obstruksi di daerah tersebut.

 Tidak ada bayangan udara dalam rongga pelvis pada bagian baru lahir dan gambaran ini harus
dipikirkan kemungkinan atresia reftil/anus impoefartus, pada bayi dengan anus impoefartus.
Udara berhenti tiba-tiba di daerah sigmoid, kolon/rectum.

 Dibuat foto anterpisterior (AP) dan lateral. Bayi diangkat dengan kepala dibawah dan kaki diatas
pada anus benda bang radio-opak, sehingga pada foto daerah antara benda radio-opak dengan
dengan bayangan udara tertinggi dapat diukur.

2.6 Hisprung

A. Pengertian Hirschsprung

Penyakit Hirschsprung merupakan salah satu jenis kelainan bawaan yang ditemukan pada bayi.
Kelainan terdapat pada usus besar (kolon), berupa tidak adanya saraf pada salah satu bagian usus besar
yang menyebabkan kontraksi usus terganggu. Bayi dengan penyakit Hirschsprung sering kali mengalami
kesulitan dalam buang air besar. Hal ini disebabkan karena gangguan yang terdapat pada sel saraf yang
bertugas untuk mengendalikan pergerakan usus.

B. Etiologi
Etiologi Hirschsprung disease merupakan suatu hal yang kompleks karena merupakan kombinasi
dari kegagalan migrasi sel krista saraf dengan peranan genetik.

1. Gangguan Migrasi Sel Krista Saraf

Sistem saraf pada saluran pencernaan manusia berasal dari sel primordium sistem saraf pusat yang
mulai membelah dan berkembang sejak berada di dalam kandungan. Semua bagian aksis primordial
akan membentuk saraf seluruh tubuh, namun hanya beberapa bagian dari aksis yang akan membentuk
persarafan pada saluran gastrointestinal. Sel prekursor akan bermigrasi dari sistem saraf pusat menuju
ke usus untuk mengkolonisasi semua bagian usus. Proses migrasi ini nantinya juga akan diikuti dengan
proses diferensiasi menjadi berbagai tipe sel neuron dan glia yang membentuk sistem persarafan
saluran cerna.

Adanya gangguan atau penghentian pada perpindahan sel krista saraf (neural crest) menuju ke usus
menyebabkan Hirschsprung disease. Kondisi ini biasanya terjadi pada usia gestasi 5-12 minggu. Semakin
awal terhentinya proses migrasi dari sel, bagian usus yang mengalami kondisi aganglionik juga akan
semakin panjang.

2. Faktor Genetik

Faktor genetik memiliki peran yang penting dalam Hirschsprung disease, tetapi 70% kasus terjadi
secara sporadik. Hirschsprung memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan kelainan kongenital dan
sindrom lain, serta gangguan pada kromosom. Selain itu, risiko Hirschsprung disease meningkat dalam
keluarga dan beberapa studi menunjukkan adanya pola pewarisan secara mendel.

Beberapa gen yang memiliki keterlibatan dalam penyakit hirschsprung, antara lain RET, GDNF,
GFRa1, NRTN, EDNRB, ET3, ZFHX1B, PHOX2b, SOX10, dan SHH. Semua gen tersebut merupakan gen
yang berperanan dalam pembentukan krista saraf sehingga adanya mutasi pada gen tersebut akan
menyebabkan gangguan perkembangan saraf yang dapat menyebabkan Hirschsprung disease. [5-7]

3. Faktor Risiko

Faktor risiko terjadinya Hirschsprung disease, antara lain:

 Riwayat keluarga dengan Hirschsprung disease

 Kelainan kongenital, seperti trisomy 21, trisomi 18 mosaik, delesi distal 13q, dan delesi parsial
2p. Penderita sindrom down memiliki risiko 40 kali lebih besar menderita penyakit ini
dibandingkan dengan populasi normal.

 Sindroma kongenital, seperti neuroblastoma, sindrom Waardenburg, dan sindrom Bardet-Biedl

 Obesitas maternal saat kehamilan

 Kondisi hipotiroid ibu saat hamil

 paritas ≥ 3

C. Gejala Hirschsprung

Penyakit Hirschsprung memiliki gejala yang berbeda-beda, tergantung pada tingkat


keparahannya. Gejala umumnya sudah dapat dideteksi sejak bayi baru lahir, di mana bayi tidak buang
air besar (BAB) dalam 48 jam setelah lahir. Selain bayi tidak BAB, di bawah ini adalah gejala lain penyakit
Hirschsprung pada bayi baru lahir:
 Muntah-muntah dengan cairan berwarna coklat atau hijau

 Perut buncit

 Rewel

Pada penyakit Hirschsprung yang ringan, gejala baru muncul saat anak berusia lebih besar. Gejala
penyakit Hirschsprung pada anak yang lebih besar terdiri dari:

 Mudah merasa lelah

 Perut kembung dan kelihatan buncit

 Sembelit yang terjadi dalam jangka panjang (kronis)

 Kehilangan nafsu makan

 Berat badan tidak bertambah

 Tumbuh kembang terganggu

Apa saja tanda-tanda dan gejala Hirschsprung?

Tanda-tanda dan gejala dari penyakit Hirschsprung bervariasi pada tingkat keparahan kondisi.
Biasanya tanda-tanda dan gejala muncul setelah persalinan, tetapi kadang tidak terlihat hingga
kemudian hari. Umumnya, tanda yang paling jelas dari Hirschsprung adalah bayi tidak bisa buang air
besar dalam kurun waktu 48 jam setelah dilahirkan. Padahal normalnya, bayi akan mengeluarkan
mekonium atau feses pertama saat baru lahir.

Tanda dan gejala Hirschsprung atau hisprung pada bayi yang baru lahir adalah sebagai berikut:

 Perut bengkak dan kembung pada bayi

 Anak muntah berwarna hijau atau cokelat

 Sembelit atau susah buang air besar

 Perut bergas yang dapat menyebabkan bayi rewel

 Bayi dan anak demam

 Kesulitan dalam buang air kecil

 Gagal untuk mengeluarkan mekonium setelah kelahiran

 Frekuensi buang air besar tidak sering

 Penyakit kuning
 Susah menyusui

 Kenaikan berat badan yang buruk

Bayi dengan Hirschsprung juga bisa mengalami diare dan enterocolitis atau adanya infeksi pada usus
yang mengancam jiwa. Jika saat baru lahir bayi tidak mengalami gejala Hirschsprung, biasanya gejala
kondisi ini akan muncul saat ia sudah bertambah dewasa.

Gejala Hirschsprung pada anak yang sudah lebih besar adalah sebagai berikut:

 Perut membengkak dan kembung

 Sembelit yang semakin memburuk

 Perut penuh dengan gas

 Pertumbuhan tertunda atau gagal tumbuh pada anak

 Kelelahan

 Impaksi tinja

 Malnutrisi

 Berat badan susah naik

D. Diagnosis Penyakit Hirschsprung

Dokter anak akan menanyakan gejala yang dialami oleh anak dan melakukan pemeriksaan fisik,
termasuk pemeriksaan colok dubur. Jika pasien diduga menderita penyakit Hirschsprung, dokter dapat
melakukan beberapa tes tambahan, seperti:

1. Foto Rontgen

Foto Rontgen dilakukan untuk melihat kondisi usus besar lebih jelas. Sebelumnya, zat pewarna
khusus berbahan barium akan dimasukkan ke dalam usus melalui selang yang masuk dari dubur.

 Tes mengukur kekuatan otot usus

Pada prosedur ini, dokter akan menggunakan alat khusus berupa balon dan sensor tekanan untuk
memeriksa fungsi usus.

 Biopsi

Dokter akan mengambil sampel jaringan usus besar, yang selanjutnya akan diperiksa di bawah
mikroskop.

E. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Hirschsprung disease terbagi menjadi dua, yaitu penatalaksanaan awal dan
penatalaksanaan definitif. Penatalaksanaan awal dilakukan untuk memperbaiki keadaan umum, irigasi,
dan dekompresi.

1. Tatalaksana Awal

Tujuan dari penatalaksanaan awal Hirschsprung disease adalah stabilisasi keadaan umum pasien.
Biasanya penderita mengalami gambaran peritonitis, perforasi maupun enterokolitis. Stabilisasi
dilakukan dengan tindakan resusitasi cairan jika pasien mengalami dehidrasi. Selain itu, dilakukan pula
irigasi dan dekompresi. Irigasi dilakukan dengan cairan fisiologis 10-20 ml/kgBB, diulangi 2-3 kali sehari.
Dapat pula dilakukan operasi kolostomi untuk membantu pasase feses sementara menunggu terapi
definitif. Kolostomi diindikasikan pada pasien dengan enterokolitis berat, perforasi, malnutrisi, atau
dilatasi berat pada proksimal usus.

2. Tatalaksana Definitif

Operasi merupakan satu-satunya terapi definitif pada penderita Hirschsprung disease. Prinsip
operasi pada Hirschsprung disease adalah membuang bagian aganglionik usus yang dilanjutkan dengan
proses anastomosis bagian proksimal dan distal yang bersifat ganglionik, serta mempertahankan fungsi
kanal dan sfingter anus. Operasi biasanya dikerjakan pada usia 6-12 bulan karena kolon mudah
mengalami dilatasi pada saat dilakukan washout, serta ukuran usus saat operasi mendekati normal
sehingga meminimalisir risiko kebocoran maupun infeksi saat anastomosis.

Prosedur operasi dapat dilakukan sekaligus atau bertahap, tergantung derajat keparahan dari
penyakit. Pada kasus dengan area aganglionik pada semua bagian kolon, operasi dilakukan secara
bertahap dengan pembentukan stoma dilanjutkan dengan operasi definitif. Sedangkan pada kasus
aganglionik pada seluruh usus, selain kolostomi, pasien juga memerlukan nutrisi parenteral total dan
transplantasi intestinal.

Teknik Operasi

Terdapat 3 teknik operasi pada kasus hirschsprung, antara lain:

 Swenson: Diseksi dilakukan pada seluruh bagian rektosigmoid yang aganglion dan hanya
menyisakan sedikit bagian aganglion

 Soave: Diseksi dilakukan hanya di bagian endorektal usus yang bersifat aganglionik

 Duhamel: Teknik menyambungkan bagian aganglionik parsial dengan membentuk kantong


rektorektal.

2.7 Omfalokel

A. Pengertian
Omphalocele atau omfalokel adalah kelainan lahir yang ditandai dengan keluarnya organ yang ada
di dalam rongga perut bayi, seperti lambung, usus, dan hati, melalui pusar. Omfalokel bisa terdeteksi
sejak kehamilan atau baru terlihat saat bayi dilahirkan.

Omfalokel tergolong kelainan lahir yang cukup jarang terjadi. Hasil penelitian menunjukkan
omfalokel terjadi pada 1 dari 5.000-10.000 kelahiran. Omphalocele sering disamakan dengan
gastroschisis. Padahal, keduanya merupakan kelainan yang berbeda.

OmphalocelePerbedaannya adalah pada omphalocele, organ yang keluar dilapisi oleh selaput membran;
sedangkan pada gastroschisis, organ yang keluar tidak diselubungi selaput membran.

B. Etiologi

Penyebab omfalokel hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti. Namun, beberapa studi
menduga bahwa defek tersebut disebabkan oleh kekurangan asam folat, kekurangan salisilat, dan
kondisi hipoksia. Beberapa faktor risiko yang diduga berperan dalam terjadinya omfalokel adalah usia
ibu yang terlalu muda atau terlalu tua saat mengandung, riwayat multiparitas, konsumsi alkohol di masa
prenatal, kebiasaan merokok, penggunaan obat-obatan selama kehamilan seperti obat asthma, dan
obat yang mengandung selective serotonin reuptake inhibitors.

C. Gejala dan Tanda Omphalocele

Omphalocele mudah dikenali karena gejalanya cukup jelas, yaitu keluarnya organ dalam perut
melalui lubang pusar. Organ yang keluar dari pusar tersebut diselubungi oleh selaput pelindung.

Pada omphalocele ringan, lubang yang terbentuk tidak terlalu besar, sehingga hanya salah satu
organ atau hanya sebagian usus yang keluar. Namun, pada kasus yang parah di mana lubang yang
terbentuk cukup besar, usus hati, kandung kemih, lambung, dan testis juga bisa keluar.

D. Diagnosis Omphalocele

Omfalokel dapat terdeteksi melalui USG kehamilan, terutama pada trimester kedua dan ketiga
kehamilan. Bila omfalokel terdeteksi, dokter akan melakukan serangkaian pemeriksaan pada janin,
seperti fetal echo, yaitu USG untuk melihat fungsi dan gambaran jantung pada janin, USG untuk melihat
ginjal, dan pemeriksaan genetik. Pada bayi yang baru lahir, omfalokel akan terlihat melalui pemeriksaan
fisik. Jika bayi lahir dengan omfalokel, dokter juga akan melakukan pemeriksaan penunjang, seperti
Rontgen, untuk melihat kemungkinan adanya kelainan pada organ lain.

Diagnosis omfalokel bisa ditegakkan sebelum bayi lahir, melalui pemeriksaan penunjang seperti
ultrasonografi (USG) di usia kehamilan 10-12 minggu dan pemeriksaan kadar alpha-fetoprotein pada ibu
yang meningkat. Anamnesis dilakukan hanya untuk mencari tau faktor risiko. Sedangkan pemeriksaan
fisik pada bayi tentunya baru dapat dinilai dan dilakukan sesaat setelah bayi dilahirkan.

E. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada bayi dengan omfalokel terbagi menjadi empat tahap. Hal ini dikarenakan
kondisi ini biasanya sudah diketahui sebelum bayi lahir, sehingga penatalaksanaan yang diberikan
sifatnya bertahap. Penatalaksanaan dimulai sejak asuhan perinatal, kemudian pada saat kelahiran yakni
resusitasi, manajemen neonatus, hingga tindakan operatif. Tujuan utama dilakukannya tindakan
pembedahan atau operatif adalah untuk mengembalikan organ ke rongga abdomen agar mengurangi
risiko kerusakan visera akibat trauma langsung atau peningkatan tekanan intraabdominal. [4]

2.8 Hermia diafragmatika

A. Pengertian

Hernia diafragmatika atau hernia diafragma adalah kondisi cacat lahir bayi ketika ada lubang pada
diafragma. Diafragma adalah otot besar yang memisahkan antara organ-organ di dada (jantung dan
paru-paru) dan organ di perut (lambung, usus, hati, limpa).

Hernia diafragmatika atau hernia diafragma adalah kondisi yang terjadi ketika ada satu atau lebih
organ di perut yang bergerak naik ke bagian dada bayi. Satu atau beberapa organ di perut bisa naik ke
dada melalui lubang atau bukaan pada otot diafragma. Hernia diafragma pada bayi atau yang juga bisa
disebutkan dengan hernia diafragmatika kongenital bisa mencegah paru-paru bayi berkembang
sepenuhnya.

Hal ini tentu dapat menyebabkan bayi mengalami kesulitan bernapas saat lahir. Kondisi cacat lahir
bayi yang satu ini bisa muncul saat bayi baru lahir maupun di kemudian hari.

B. Etiologi

Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), sebagian besar penyebab hernia
difragmatika atau hernia diafragma kongenital pada bayi tidak diketahui secara pasti. Akan tetapi,
beberapa kasus hernia diafragma dipercaya disebabkan oleh adanya kelainan genetik di dalam tubuh
bayi.

Lebih lanjutnya, penyebab hernia diafragmatika kongenital adalah karena perkembangan diafragma
tidak berjalan dengan normal selama masa pertumbuhan janin di dalam kandungan. Kondisi cacat lahir
pada bayi karena diafragma berlubang dapat membuat satu atau lebih organ yang ada di dalam perut
bayi untuk bergerak naik ke dada. Berbagai organ di perut tersebut kemudian menempati ruang yang
seharusnya merupakan area bagi paru-paru. Akibatnya, paru-paru bayi tidak dapat berkembang dengan
baik. Namun pada kebanyakan kasus, hernia diafragmatika biasanya hanya mengenai salah satu paru-
paru bayi yang mengalami gangguan.

C. Tanda & Gejala

Menurut Stanford Children’s Health, gejala hernia diafragma bisa berbeda-beda pada setiap bayi.
Beberapa gejala hernia diafragmatika atau hernia diafragma kongenital pada bayi adalah sebagai
berikut:
 Kesulitan bernapas atau sesak pada bayi

 Napas bayi cenderung cepat

 Denyut jantung bayi cepat

 Kulit bayi terlihat berwarna kebiruan

 Perkembangan dada bayi terlihat tidak normal dengan satu sisi dada lebih besar daripada yang
lain

 Perut bayi tampak cekung

 Tingkat keparahan gejala hernia bisa bervariasi sesuai dengan ukuran, penyebab, dan organ
tubuh yang bermasalah.

 Sulit bernapas (difficulty breathing)

Kondisi hernia diafragma pada bayi ini terbilang sangat parah. Ini terjadi saat perkembangan
paru-paru terbilang tidak normal.

 Takipnea (pernapasan cepat)

Paru-paru Anda dapat mencoba memperbaiki kadar oksigen yang rendah di dalam tubuh bayi.
Hal ini dilakukan paru-paru dengan cara bekerja lebih cepat.

 Kulit bayi berwarna kebiruan

 Ketika pasokan oksigen dari paru-paru bayi dengan kondisi hernia diafragmatika tidak
mencukupi, kulit bayi akan tampak berwarna kebiruan (sianosis).

 Takikardia (detak jantung cepat)

Jantung bayi bisa saja berkerja lebih cepat dalam memompa darah. Hal ini bertujuan agar
pasokan darah yang mengandung oksigen di sekujur tubuh bayi dengan kondisi hernia
diafragmatika tercukupi dengan baik.

 Bunyi napas berkurang atau tidak ada

Bunyi pernapasan bayi yang berkurang atau tidak ada adalah gejala umum pada hernia
diafragmati atau hernia diafragmatika kongenital pada bayi. Gejala ini bisa terjadi karena salah
satu paru-paru bayi yang seharusnya terdiri atas dua organ belum terbentuk dengan sempurna.
Kondisi ini kemudian membuat bunyi napas bayi pada paru-paru bayi yang belum terbentuk
atau berkembang tersebut tidak terdengar.

 Bunyi usus di area dada


Kondisi ini terjai saat usus bayi bergerak naik ke bagian rongga dada melalui lubang pada otot
diafragma. Hal ini membuat suara usus bayi terdengar muncul dari area dada.

 Perut bayi tidak penuh

Kondisi perut bayi mungkin kurang penuh seperti yang seharusnya. Hal ini bisa dideteksi saat
melakukan palpasi atau pemeriksaan tubuh bayi dengan cara menekan area tertentu. Perut bayi
yang tidak penuh ini bisa disebabkan oleh organ di dalam perut yang masuk ke area rongga
dada.

D. Diagnosis Hernia Diafragma

Sebagian besar kasus hernia diafragma bawaan dapat terdiagnosis sejak dalam kandungan. Melalui
pemeriksaan ultrasonografi (USG) kehamilan, dokter dapat mendeteksi kelainan yang terjadi pada paru
dan diafragma janin. Dalam beberapa kasus, hernia diafragma tidak terdeteksi selama masa kehamilan
dan baru terlihat ketika bayi lahir. Dokter mencurigai seorang bayi menderita hernia diafragma bawaan
jika terdapat gejala-gejalanya, yang diperkuat oleh pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik juga dilakukan
terhadap pasien hernia diafragma didapat, yaitu dengan cara:

a. Palpasi, yaitu meraba dan menekan bagian tubuh untuk memeriksa kondisi perut. Pasien
dengan hernia diafragma memiliki kondisi perut yang tidak terasa penuh ketika ditekan karena
organ perut naik ke rongga dada.

b. Perkusi, yaitu mengetuk permukaan perut dengan jari tangan untuk memeriksa kondisi organ
perut bagian dalam.

c. Auskultasi, yaitu pemeriksaan bising usus menggunakan stetoskop untuk mendeteksi apakah
suara bising usus terdengar di area dada.

Untuk lebih memastikannya, terkadang pemeriksaan lanjutan perlu dilakukan. Di antaranya adalah:

a. Foto Rontgen dada, untuk memeriksa dan mendeteksi kelainan yang mungkin terjadi pada paru,
diafragma, dan organ dalam

b. USG, untuk menghasilkan gambar kondisi rongga perut dan dada.

c. CT scan, untuk memeriksa kondisi diafragma dan organ dalam perut dari berbagai sudut.

d. MRI, untuk mengevaluasi dan memeriksa organ dalam tubuh secara lebih detail.

e. Pemeriksaan analisa gas darah juga dilakukan untuk memeriksa kadar oksigen, karbon dioksida,
dan keasaman atau pH darah.

E. Penalaksanaan

Penatalaksanaan utama pada kasus hernia diafragma, baik kongenital dan akuisata, adalah
pembedahan. Namun, karena etiologi dari masing-masing berbeda, maka pendekatan dalam
penatalaksanaan juga berbeda. Sebagai contoh, pada kasus hernia diafragma congenital, tata laksana
akan meliputi asuhan prenatal, resusitasi dan monitoring bayi saat persalinan, serta tindakan
pembedahan. Sedangkan, pada kasus hernia diafragma akuisata, tata laksana awal berfokus pada
resusitasi dan stabilisasi pasien (terutama apabila disebabkan oleh trauma), kemudian dilakukan
tindakan pembedahan.

1. Hernia Diafragma Kongenital

Penatalaksanaan dari hernia diafragma kongenital meliputi asuhan prenatal, resusitasi dan
monitoring, serta tindakan pembedahan.

2.9 Maningokel

A. Pengertian maningokel

Meningokel adalah menonjolnya selaput yang menutupi tulang belakang dan bagian saraf tulang
belakang. Penyakit ini biasanya ditandai dengan adanya benjolan pada punggung bayi. Meningokel
disebabkan oleh kelainan pada pembentukan tulang belakang dan jaringan saraf janin di dalam
kandungan. Meningokel merupakan bagian dari penyakit akibat gangguan pembentukan tabung saraf
pada janin atau spina bifida. Kantung atau kista meningokel muncul melalui celah di tulang belakang.

B. Etiologi

Penyebab terjadinya meningokel adalah karena adanya defek pada penutupan spina bifida yang
berhubungan dengan pertumbuhan yang tidak normal dari korda spinalis atau penutupnya, biasanya
terletak di garis tengah. Resiko melahirkan anak dengan spina bifida berhubungan erat dengan
kekurangan asam folat, terutama terjadi pada awal kehamilan.

Meningokel terbentuk saat meninges berherniasi melalui defek pada lengkung vertebra posterior.
Medulla spinalis biasanya normal dan menerima posisi normal pada medulla spinalis, meskipun mungkin
terhambat, ada siringomeielia. Meningokel membentuk sebuah kista yang diisi oleh cairan serebrospinal
dan meninges. Massa linea mediana yang berfluktuasi yang dapat bertaransiluminasi terjadi sepanjang
kolumna vertebralis, biasanya terjadi dibawah punggung. Sebagian bessar meningokel terutup dengan
baik dengan kulit dan tidak mengancam penderita. Pemeriksaan neurologis yang cermat sangat
dianjurkan.

Penyebab spesifik dari meningokel atau belum diketahui. Banyak factor seperti keturunan dan
lingkungan diduga terlibat dalam terjadinya defek ini. Tuba neural umumnya lengkap empat minggu
setelah konsepsi. Hal- hal berikut ini telah ditetapkan sebagai faktor penyebab; kadar vitamin maternal
rendah, termasuk asam folat dan hipertermia selama kehamilan. Diperkirakan hampir 50% defek tuba
neural dapat dicegah jika wanita bersangkutan meminum vitamin-vitamin prakonsepsi, termasuk asam
folat.
Kelainan konginetal SSP yang paling sering dan penting ialah defek tabung neural yang terjadi pada
3-4 per 100.000 lahir hidup. Bermacam-macam penyebab yang berat menentukan morbiditas dan
mortalitas, tetapi banyak dari abnormalitas ini mempunyai makna klinis yang kecil dan hanya dapat
dideteksi pada kehidupan lanjut yang ditemukan secara kebetulan.

Gangguan pembentukan komponen janin saat dalam kandungan. Penonjolan dari korda spinalis dan
meningens menyebabkan kerusakan pada korda spinalis dan akar saraf, sehingga terjadi penurunan atau
gangguan fungsi pada bagian tubuh yang dipersarafi oleh saraf tersebut atau bagian bawahnya.

C. Gejala

Gejalanya bervariasi, tergantung kepada beratnya kerusakan pada korda spinalis dan akar saraf yang
terkena. Beberapa anak memiliki gejala ringan atau tanpa gejala, sedangkan yang lainnya mengalami
kelumpuhan pada daerah yang dipersarafi oleh korda spinalis maupun akar saraf yang terkena (Wafi
Nur, 2010). Kebanyakan terjadi di punggung bagian bawah, yaitu daerah lumbal atau sakral, karena
penutupan vertebra di bagian ini terjadi paling akhir.

Kelainan bawaan lainnya yang juga ditemukan pada penderita spina bifida: hidrosefalus,
siringomielia, serta dislokasi pinggul. Beberapa anak memiliki gejala ringan atau tanpa gejala, sedangkan
yang lainnya mengalami kelumpuhan pada daerah yang dipersarafi oleh korda spinalis maupun akar sarf
yang terkena.

Terdapat tiga jenis spina bifida, yaitu :

a. Spina bifida okulta, merupakan spina bifida yang paling ringan. Satu atau beberapa vertebra
tidak terbentuk secara normal, tetapi korda spinalis dan selaputnya (meningens) tidak menonjol.

b. Meningokel, yaitu meningens menonjol melalui vertebra yang tidak utuh dan teraba sebagai
suatu benjolan berisi cairan di bawah kulit.

c. Mielokel, merupakan jenis spina bifida yang paling berat, dimana korda spinalis menonjol dan
kulit di atasnya tampak kasar dan merah.

Contoh gejala dari spina bifida umumnya berupa:

 Penonjolan seperti kantung di punggung tengah sampai bawah pada bayi baru lahir.

 Jika disinari, kantung tersebut tidak tembus cahaya.

 Kelumpuahn/kelemahan pada pinggul, tungkai atau kaki.

 Penurunan sensasi, inkontinensia uri (beser) maupun inkontinensia tinja (diare).

 Korda spinalis yang tertekan rentan terhadap infeksi (meningitis).

Gejala pada spina bifida okulta, adalah:


 Seberkas rambut pada daerah sakral (panggul bagian belakang).

 Ada Lekukan pada daerah sakrum.

 Korda tetap dalam korda spinalis (dalam durameter tidak terdapat saraf).

Operasi akan mengoreksi kelainan, sehingga tidak terjadi gangguan sensorik dan motorik dan bayi akan
menjadi normal.

D. Diagnosis

Diagnosis spina bifida, termasuk meningokel ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan
fisik. Pada trimester pertama, wanita hamil menjalani pemeriksaan darah yang disebut triple screen. Tes
ini merupakan tes penyaringan untuk spina bifida, sindroma down dan kelainan bawaan lainnya.

Sebanyak 85 % wanita yang mengandung bayi dengan spina bifida, akan memiliki kadar serum alfa
fetoprotein yang tinggi. Tes ini meliliki angka positif palsu yang tinggi, karena itu jika hasilnya positif,
perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk memperkuat diagnosis. Dilakukan USG yang biasanya dapat
menemukan adanya spina bifida. Kadang-kadang dilakukan amniosentesis (analisa cairanm ketuban).

Setelah bayi lahir, dilakukan pemeriksaan rontgen tulang belakang untuk menentukan luas dan
lokasi kelainan, pemeriksaan USG tulang belakang bisa menunjukkan adanya kelainan pada korda
spinalis maupun vertebra, serta pemeriksaan CT-Scan atau MRI tulang belakang kadang-kadang
dilakukan untuk menentukan lokasi dan luasnya kelainan (Wafi Nur, 2010).

Pemeriksaan neurologis yang cermat sangat dianjurkan. Anak yang tidak bergejala dengan
pemeriksaan neurologis normal dan keseluruhan tebal kulit menutup meningokel dapat menunda
pembedahan. Sebelum koreksi defek dengan pembedahan penderita harus secara menyeluruh diperiksa
dengan menggunakan rontgenogram sederhana, ultrasonografi, dan tomografi komputasi (CT) dengan
metrizamod atau resonansi magnetik (MRI) untuk menentukkan luasnya keterlibatan jaringan syaraf jika
ada dan anomali yang terkait, termasuk diastematomelia, medulla spinalis terlambat dan lipoma.
Penderita dengan kebocoran cairan serebrospinalis (CSS) satu kulit yang menutupi tipis harus dilakukan
pembedahan segera untuk mencegah meningitis. Scan CT kepala dianjurkan pada anak dengan
meningokel karena kaitannya dengan hidrosefalus pada beberapa kasus. Meningokel anterior menonjol
ke dalam pelvis melalui defek pada sakrum .

E. Penatalaksanaan

 Sebelum dioperasi, bayi dimasukkan kedalam incubator dengan kondisi tanpa baju.

 Bayi dalam posisi telungkup atau tidurjika kantungnya besar untuk mencegah infeksi.

Berkolaborasi dengan dokter anak, ahli bedah dan ahli ortopedi, dan ahli urologi, terutama untuk
tidakan pembedahan, dengan sebelumnya melakukan informed consent.
a. Penanganan yang dapat dilakukan pada kelainan ini, antara lain :

b. Untuk spina bifida atau meningokel tidak diperlukan pengobatan

c. Perbaikan mielomeningokel, kadang-kadang meningokel, melalui pembedahan diperlukan

Apabila dilakukan perbaikan melalui pembedahan, pemasangan pirau (shunt) untuk


memungkinkan drainase CSS perlu di lakukan untuk mencegah hidrosefalus dan peningkatan
tekanan intrakranial selanjutnya

d. Seksio sesarea terencana sebelum mulainya persalinan dapat penting dalam mengurangi
kersakan neurologis yang terjadi pada bayi dengan defek medula spinalis (Corwin, 2009).

2.10 Ensefalokel

A. pengertian

Ensefalokel adalah suatu kelainan tabung saraf yang ditandai dengan adanya penonolan
meningens (selaput otak) dan otak yang berbentuk seperti kantung melalui suatu lubang pada tulang
tengkorak.

B. Etiologi

Ada beberapa dugaan penyebab penyakit itu diantaranya, infeksi, faktor usia ibu yang terlalu muda atau
tua ketika hamil, mutasi genetik, serta pola makan yang tidak tepat sehingga mengakibatkan kekurangan
asam folat. Langkah selanjutnya, sebelun hamil, ibu sangat disarankan mengonsumsi asam folat dalam
jumlah cukup.

C.tanda dan gejala

gejala encephalocele yang dialami bayi adalah sebagai berikut:

1.Mengalami kelainan sistem saraf (masalah neurologis)

2.Mengalami penumpukan cairan serebrospinal di otak (hidrosefalus)

3.Mengalami kelumpuhan anggota gerak

4.Mengalami ukuran lingkar kepala kecil yang tidak normal (mikrosefalus)

5.Mengalami gerakan otot yang tidak terkoordinasi (ataksia)

6.Mengalami keterlambatan dalam perkembangan

7.Mengalami gangguan penglihatan

8.Mengalami masalah atau kesulitan bernapas bila ensefalokel ada di bagian hidung

9.Mengalami kesulitan saat menelan


10.Rasa sakit di sekitar jendolan encephalocele

11.Bayi kejang

12.Bayi mengalami keterlambatan dalam perkembangan mental

D. Diagnosis

1. Atas dasar :

 X foto kepala : untuk melihat deformitas

 USG : untuk melihat isi benjolan dan kelainan hidrosefalus

 CT Scan : untuk melihat kelainan kongenital lain yang menyertai seperti anensefali,hidrosefalus
dan melihat lokasi serta besarnya defek tulang.

E.PENATALAKSANAAN

Tindakan yang harus dilakukan adalah :

a) Cegah infeksi perlukaan ensefalokel waktu lahir, menutup luka dengan kasa steril setelah lahir.

b) Persiapan operasi dilakukan sedini mungkin untuk mencegah infeksi otak yang sangat
berbahaya. Biasanya dilakukan pembedahan untuk mengembalikan jaringan otak yang menonjol
kedalam tulang tengkorak, membuang kantung dan memperbaiki kelainan kraniofasil yang
terjadi :

 Sebelum operasi , bayi dimasukkan ke dalam inkubator dengan kondisi tanpa baju.

 Jika kantong Bayi besar tidurkan bayi dengan posisi terlungkup untuk mencegah infeksi.

 Berkolaborasi dengan dokter anak, ahli bedah saraf, ahli ortopedi , dan ahli urologi, terutama
pada tindakn pembedahan.

 Melakukan informed consent dan informed choice pada keluarga.

c). Pasca operasi perhatikan luka agar : tidak basah, ditarik atau digaruk bayi, perhatikan mungkin
terjadi hidrosefalus, ukur lingkar kepala, pemberian antibiotik dan kolaborasi

2.11 Hidrosefalus

A. Pengertian
Hidrosefalus adalah penumpukan cairan di rongga otak, sehingga meningkatkan tekanan pada otak.
Pada bayi dan anak-anak, hidrosefalus membuat ukuran kepala membesar. Sedangkan pada orang
dewasa, kondisi ini bisa menimbulkan sakit kepala hebat.

Cairan otak diproduksi oleh otak secara terus menerus, dan diserap oleh pembuluh darah.
Fungsinya sangat penting, antara lain melindungi otak dari cedera, menjaga tekanan pada otak, dan
membuang limbah sisa metabolisme dari otak. Hidrosefalus terjadi ketika produksi dan penyerapan
cairan otak tidak seimbang.

Hidrosefalus dapat dialami oleh siapa saja, tetapi lebih sering dialami oleh bayi dan orang-orang
yang berusia 60 tahun ke atas.

B. Etiologi

Etiologi hydrocephalus dibagi menjadi kelainan kongenital, didapat (acquired), dan normal
pressure hydrocephalus serta hydrocephalus ex-vacuo. [8,9]

 Hydrocephalus Kongenital

Etiologi hydrocephalus kongenital antara lain spina bifida, bayi yang lahir prematur,
hydrocephalus x-linked, kelainan genetik, dan kista arachnoid.

o Spina Bifida

Beberapa anak dengan spina bifida, biasanya dengan malformasi Arnold-Chiari II, mengalami
herniasi jaringan otak lewat foramen magnum sehingga menyebabkan oklusi pada ventrikel
keempat, serta sumbatan aliran CSF. [13]

o Bayi Prematur

Bayi prematur (lahir sebelum usia kehamilan 37 minggu) rentan mengalami post hemorrhagic
hydrocephalus (PHH) sebagai komplikasi dari perdarahan intraventrikular, terutama mereka
yang lahir pada usia kehamilan <29 minggu (20-30%). Pada neonatus yang lahir prematur, PHH
terjadi karena obstruksi aliran CSF serta respon inflamasi ependim, sehingga terjadi gangguan
komplians dan menurunnya kemampuan reabsorbsi CSF. [14-16]

 Hydrocephalus X-linked

Hydrocephalus x-linked disebabkan karena mutasi kromosom X yang menyebabkan stenosis


aquaductus Sylvius.

o Kelainan Genetik

Pada gangguan genetik seperti malformasi Dandy-Walker, dapat terjadi dilatasi ventrikel ketiga
dan lateral sehingga menyebabkan atrioventrikular hydrocephalus dengan atrofi otak bilateral. [
o Kista Arachnoid

Kista arachnoid adalah kantung berisi cairan serebrospinal pada arachnoid. Manifestasi tipikal
pada keadaan ini adalah hydrocephalus kronik pada ventrikel keempat, vertigo, ataxia, dan
terkadang disertai dengan gejala yang timbul karena kompresi batang otak. [19]

 Hydrocephalus Didapat

Hydrocephalus yang didapat (acquired) biasanya terjadi karena komplikasi infeksi, clotting pada
pembuluh darah di otak, tumor otak, cedera kepala, dan stroke juga dapat menjadi penyebab
terjadinya acquired hydrocephalus. [10]

o Komplikasi Infeksi

Infeksi selaput otak (meningitis) serta infeksi sistem saraf pusat saat intrauterin (infeksi
Toxoplasma gondii) dapat menyebabkan hydrocephalus obstruktif. Proses inflamasi
menyebabkan timbulnya agregasi infiltrat, eksudat, serta jaringan fibrosis, terutama pada ruang
subarachnoid sehingga mengganggu absorbsi cairan serebrospinal. Jadi hydrocephalus
obstruktif di sini terjadi karena adanya penyempitan atau oklusi pada aquaductus, karena
kompresi sirkumferensial batang otak oleh eksudat meningeal maupun adhesi dan septum
intraventrikular yang terbentuk oleh proses inflamasi.

o Clotting Pembuluh Darah di Otak

Clotting pembuluh darah atau trombosis pada vena menyebabkan hydrocephalus lewat
sumbatan yang mengganggu drainase CSF dan aliran balik vena.

o Tumor Otak

Tumor otak dapat menyebabkan hydrocephalus obstruktif apabila terjadi sumbatan pada aliran
cairan serebrospinal.

o Cedera Kepala dan Stroke Hemorrhagic

Cedera kepala dan stroke hemorrhagic yang menyebabkan perdarahan intraventrikular dapat
menyebabkan terjadinya hydrocephalus obstruktif maupun nonobstruktif.

Normal Pressure Hydrocephalus dan Hydrocephalus Ex-Vacuo

Normal Pressure Hydrocephalus (NPH) pada orang dewasa dapat terjadi setelah cedera kepala,
perdarahan otak, maupun infeksi. Namun pada banyak kasus etiologinya dapat bersifat idiopatik.
Sedangkan hydrocephalus ex-vacuo disebabkan oleh pengerutan jaringan otak sehingga terjadi
peningkatan volume ruang ventrikel yang dikompensasi dengan peningkatan produksi CSF.

C. Gejala
Hidrosefalus pada bayi ditandai dengan lingkar kepala yang cepat membesar. Selain itu, akan
muncul benjolan yang terasa lunak di ubun-ubun kepala. Selain perubahan ukuran kepala, gejala
hidrosefalus yang dapat dialami bayi dengan hidrosefalus adalah:

o Rewel

o Mudah mengantuk

o Tidak mau menyusu

o Muntah

o Pertumbuhan terhambat

o Kejang

Pada anak-anak, dewasa, dan lansia, gejala hidrosefalus yang muncul tergantung pada usia penderita.
Gejala-gejala tersebut antara lain:

o Sakit kepala

o Penurunan daya ingat dan konsentrasi

o Mual dan muntah

o Gangguan penglihatan

o Gangguan koordinasi tubuh

o Gangguan keseimbangan

o Kesulitan menahan buang air kecil

o Pembesaran kepala

Hidrosefalus yang tidak segera ditangani dapat menyebabkan gangguan dalam perkembangan fisik dan
intelektual anak. Pada orang dewasa, hidrosefalus yang terlambat ditangani dapat menyebabkan gejala
menjadi permanen.

D. Diagnosis Hidrosefalus

Hidrosefalus pada bayi dapat dilihat dari bentuk kepalanya yang membesar. Sedangkan pada
pasien dewasa, hidrosefalus dapat diketahui oleh dokter dengan menanyakan gejala yang dialami dan
melakukan pemeriksaan fisik.

Kemudian, dokter akan memastikannya dengan melakukan pencitraan melalui USG, CT scan, atau MRI.
Pencitraan tersebut juga digunakan untuk mengetahui penyebab hidrosefalus dan adanya kondisi lain
yang terkait dengan gejala pada pasien.
E. penatalaksanaan

Tata laksana utama pada hydrocephalus adalah teknik pembedahan, yaitu pemasangan shunting
yang berfungsi sebagai drainage. Tindakan ini bukan untuk menyembuhkan, namun untuk mengontrol
gejala akibat peningkatan tekanan intrakranial. Pada hydrocephalus kongenital, pembedahan pada bayi
berpotensi komplikasi sehingga ahli bedah saraf mungkin menunda melakukannya (terutama bayi
prematur). Untuk mengurangi progresifitas kerusakan otak, maka bayi hydrocephalus dapat diberikan
terapi farmakologi dahulu sampai pembedahan aman dikerjakan. Pada keadaan peningkatan tekanan
intrakranial akut, biasa terjadi pada hydrocephalus didapat pada pasien anak atau dewasa, diperlukan
tindakan pembedahan secepatnya. Beberapa kasus hydrocephalus didapat, pembedahan tidak
diperlukan karena etiologinya telah membaik, misalnya pada perdarahan intraventrikular yang sudah
reabsorbsi tanpa skar.

1) Terapi Pembedahan

Pembedahan merupakan tatalaksana yang paling efektif untuk mengontrol gejala hydrocephalus karena
peningkatan tekanan intrakranial. Pembedahan yang bisa dilakukan adalah metode pemasangan shunt,
endoscopic third ventriculostomy (ETV), atau alternatif lainnya.

2) Metode Pemasangan Shunt

Pemasangan shunt adalah penatalaksanaan hydrocephalus yang paling efektif, hanya 25% pasien
hydrocephalus berhasil diterapi tanpa shunting. Metode pemasangan shunt pada neonatus, bayi atau
anak harus dikerjakan beberapa kali, ini untuk mempertahankan fungsi shunt yang sudah terpasang
sesuai dengan pertumbuhan tubuh pasien.

3) Beberapa alternatif pemasangan shunt adalah :

 Ventriculoperitoneal (VP) shunt, paling sering dikerjakan, yaitu menghubungkan ventrikel lateral
dengan peritoneum. Bertujuan mengalirkan CSF yang berlebihan untuk diabsorbsi di cavum
abdomen. Keuntungannya adalah kebutuhan untuk memperpanjang kateter dapat dihilangkan
dengan menggunakan kateter peritoneum yang panjang

 Ventriculoatrial (VA) shunt, adalah mengalirkan CSF dari ventrikel otak melalui vena jugularis
dan vena cara superior, menuju atrium jantung kanan. Metode ini dikerjakan apabila pasien
memiliki kelainan perut (peritonitis, obesitas berat, atau setelah laparotomi luas). Shunting ini
perlu pembedahan berulang sesuai pertumbuhan anak

 Lumboperitoneal shunt, hanya dilakukan pada kasus hydrocephalus communicating, fistula CSF,
atau pseudotumor cerebri

 Torkildsen shunt, jarang digunakan, adalah shunting ventrikel ke ruang cisternal. Hanya efektif
untuk hydrocephalus obstruktif yang didapat
 Ventriculopleural shunt, dianggap sebagai lini kedua setelah VP shunt. Digunakan jika jenis
shunting lain dikontraindikasikan .

 Intervensi / terapi pada bayi prematur yang mengalami dilatasi ventrikel masih kontroversial,
antara terapi farmakologis dengan acetazolamide, pungsi lumbal, ventricular access reservoir,
ventriculo-subgaleal shunt, atau drainase ekstraventrikular. Namun, biasanya pada keadaan
dimana terjadi ventrikulomegali yang progresif dengan tanda peningkatan tekanan intrakranial
yang signifikan, lebih dipilih intervensi operasi dibanding terapi farmakologis.

Pada normal pressure hydrocephalus, intervensi standar yang direkomendasikan adalah


pemasangan AV shunt. Hal ini berdasarkan hipotesis bahwa CSF yang dialirkan akan mengurangi dan
menormalisasi tekanan transmantle (perbedaan tekanan antara ruang ventrikel dan subarachnoid),
sehingga gejala membaik.

4) Endoscopic Third Ventriculostomy (ETV)

Endoscopic third ventriculostomy (ETV) adalah prosedur menggunakan endoskopi untuk membuat
lubang / perforasi pada tulang tengkorak. Bertujuan untuk mengakses ventrikel, kemudian membuat
lubang pada membran basal ruang ventrikel ke ruang subarachnoid, agar CSF dapat mengalir melalui
bypass ini kemudian diabsorbsi. Dilakukan terutama pada kasus aqueductal stenosis (hydrocephalus
obstruktif), kontraindikasi untuk hydrocephalus communicating. Metode ETV ini sudah banyak
dilakukan, terutama di negara-negara maju, karena memiliki angka keberhasilan yang lebih tinggi (62-
82%) dengan angka infeksi yang rendah (<2%).

5) Pembedahan Alternatif Lain

Alternatif pembedahan untuk tata laksana hydrocephalus, selain shunting di antaranya :

o Pungsi lumbal berulang, dapat dilakukan pada kasus hydrocephalus pasca perdarahan
intraventrikular, karena kondisi ini dapat sembuh secara spontan maka tidak diperlukan
shunting Hanya dapat dilakukan untuk kasus hydrocephalus communicating, dan kontraindikasi
apabila ada tanda peningkatan tekanan intrakranial

Choroid Plexus Cauterization (CPC) atau pleksektomi koroid atau koagulasi pleksus koroid. Bertujuan
mengurangi jumlah jaringan plexus choroid yang memproduksi cairan serebrospinal. Akan
meningkat angka keberhasilannya bila kombinasi dengan prosedur ETV

o Pembukaan aqueductal stenosis (cerebral queductoplasty), tingkat keberhasilannya lebih


rendah daripada shunting. Efektif pada kasus hydrocephalus didapat karena tumor, juga kasus
dengan stenosis membran dan segmen pendek sylvian aqueduct

Pengangkatan tumor penyebab dapat menyembuhkan 80% pasien hydrocephalus didapat.

6) Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis untuk pasien hydrocephalus hanya diberikan sementara, misalnya untuk
hydrocephalus pasca perdarahan pada neonatus, normal pressure hydrocephalus (NPH), atau pada
pasien yang tidak mungkin dilakukan tindakan operasi. Tujuan terapi untuk mencegah komplikasi
sensorik / intelektual. Obat-obatan yang dapat digunakan meliputi agen osmotik, carbonic anhydrase
inhibitors (CAI) / acetazolamide, glukokortikoid, dan digoxin.

7) Agen Osmotik

Agen osmotik dapat mengurangi produksi cairan serebrospinal, atau membuat otak dehidrasi
karena diuresis. Isosorbide sering digunakan untuk hydrocephalus kongenital, sebagai terapi mengontrol
tekanan intrakranial sebelum bayi menjalankan shunting, bukan sebagai pengganti tindakan operasi.
Suatu penelitian, memberikan isosorbide kepada pasien hydrocephalus neonatus sampai usia 62 tahun
(median usia 1 bulan), dengan dosis 1-3 g/kgBB, per oral, sampai 6 kali per hari, selama 1-54 hari
(median 4 hari). Hasil menunjukkan isosorbide dapat menunda operasi pemasangan shunting karena
dapat memperlambat laju peningkatan tekanan intrakranial, tetapi harus diperhatikan efek samping
obat. Jika ACZ digunakan sendirian, tampaknya menurunkan risiko nefrokalsinosis secara signifikan.

8) Carbonic Anhydrase Inhibitors (CAI)

Acetazolamide (ACZ) merupakan CAI yang dapat mengurangi sekresi CSF. Berdasarkan teori bahwa
plexus choroid memiliki kadar carbonic anhydrase yang tinggi, sehingga penggunaan ACZ mengurangi
produksi CSF. Pemberian ACZ dapat sendiri atau bersama dengan furosemid, untuk hydrocephalus pasca
perdarahan pada neonatus sebelum dilakukan operasi shunting. Namun, efek penurunan produksi
cairan serebrospinal tidak konsisten, sehingga efek terapeutiknya untuk hydrocephalus bayi dan anak
diabaikan.

Hal ini kontras dengan hydrocephalus pada orang dewasa, ACZ memberikan respon yang baik
terutama pada normal pressure hydrocephalus (NPH), serta untuk penurunan tekanan intrakranial pasca
operasi shunting. Pada NPH, pemberian ACZ per oral, dosis 125-375 mg/hari, dapat menurunkan
hiperintensitas periventrikular yang terlihat pada pemeriksaan MRI.

9) Glukokortikoid

Glukokortikoid, seperti dexamethasone atau prednison, memiliki efek menurunkan produksi


tekanan intrakranial dengan mengurangi produksi CSF. Penelitian menyebutkan dexamethason dapat
sementara menghilangkan gejala hydrocephalus pada anak, meskipun tetap diperlukan intervensi
bedah. Kortikosteroid juga diyakini dapat mengurangi kemungkinan terjadinya fibrosis pada ruang
subarachnoid.

10) Digoxin

Digoxin merupakan inhibitor Na-K-ATPase, pada dosis yang tidak kardiotoksik dapat mengurangi
produksi CSF. Namun, berdasarkan beberapa penelitian pada hydrocephalus anak maupun dewasa,
sebagian pasien memberikan respon positif terhadap obat ini, tetapi ada pula yang tidak memberikan
efek apapun.
11) Terapi Non-Farmakologis

Belum ada terapi non-farmakologis yang spesifik untuk hydrocephalus. Pasien yang baru
menjalankan intervensi operasi akan dirawat di ruang perawatan intensif selama beberapa hari
tergantung klinis. Beberapa ahli bedah menyarankan pasien post-shunting untuk berada pada posisi
terlentang selama 1-2 hari setelah operasi untuk meminimalisir kemungkinan mengalami hematoma
subdural. Sedangkan pada pasien dengan normal pressure hydrocephalus (NPH) disarankan untuk tetap
melakukan mobilisasi bertahap post-operasi.

12) Terapi Hydrocephalus dengan Peningkatan Tekanan Intrakranial Akut

Pada kasus hydrocephalus dengan peningkatan tekanan intrakranial onset cepat, pedoman
penatalaksanaannya adalah darurat. Hal-hal yang harus dilakukan disesuaikan dengan etiologi setiap
kasus, di antaranya :

o Ventricular tap pada pasien neonatus

o Open ventricular drainage pada pasien anak-anak dan dewasa

2.12 Fimosis

A. Pengertian
Fimosis adalah kondisi ujung kulit Mr. P (kulup) menempel terlalu erat sehingga tidak dapat
ditarik ke belakang melewati kepala Mr. P. Kondisi ini sering terjadi pada anak atau bayi yang belum
dilakukan sirkumsisi (sunat), meskipun dewasa juga dapat mengalami kondisi ini.

B. Etiologi

Fimosis hanya dapat terjadi pada laki-laki yang belum dilakukan sirkumsisi saja. Lebih sering
terjadi pada anak-anak dibanding dewasa.

Berikut beberapa penyebab dari fimosis, yaitu:

 Jaringan parut, infeksi daerah sekitar kulup dapat menyebabkan terbentuknya jaringan parut
dan membuat kulit akan semakin berkurang elastisitasnya.

 Penuaan, pada orang dewasa, penuaan membuat serat kolagen menurun, sehingga elastisitas
kulit menurun dan menyebabkan sulitnya kulup ditarik ke belakang.

 Penumpukan smegma, smegma merupakan masa putih yang biasanya ada di sekitar kepala Mr.
P. Smegma terbentuk dari jaringan kulit mati yang di sekitar kepala Mr. P dan bagian dalam dari
ujung kulit Mr. P. Penumpukan smegma dapat menyebabkan kedua sisi dalam ujung kulit Mr. P.
dapat menempel dan sulit ditarik ke belakang.

C. Gejala
Fimosis tidak selalu menimbulkan gejala yang dirasakan oleh pengidap. Ketika menimbulkan
gejala, yang timbul biasanya adalah kemerahan, nyeri atau bengkak.

Perlekatan ujung kulit Mr. P dapat mempengaruhi laju keluarnya urine. Pada kasus fimosis berat, urine
tidak dapat keluar melalui ujung Mr. P karena sudah tertutup oleh fimosis.

D. Diagnosis fimosis

Dokter dapat melakukan diagnosis fimosis dengan melakukan pemeriksaan pada Mr.P pengidap.
Jika dokter menemukan perlengketan pada ujung kulit Mr. P dan tidak dapat ditarik kebelakang, maka
dokter dapat memastikan bahwa kondisi tersebut merupakan fimosis. Tidak ada pemeriksaan penunjang
khusus untuk menegakkan diagnosis fimosis.

E. Penatalaksanaan fimosis

Penatalaksanaan fimosis tergantung pada jenis fimosis dan usia pasien. Pada fimosis fisiologis,
dapat digunakan strategi watchful waiting dengan meyakinkan orang tua bahwa kondisi tersebut normal
sesuai kelompok usia. Terapi konservatif seperti pemberian salep atau krim kortikosteroid juga dapat
dilakukan pada fimosis fisiologis. Jika fimosis bersifat simtomatik atau fimosis patologis, maka tata
laksana pilihan adalah sirkumsisi.

o krim kortikosteroid

Pengobatan ini biasanya efektif pada sebagian besar pengidap. Krim kortikosteroid membantu
melunakkan ujung kulit Mr. P, sehingga lebih mudah ditarik ke belakang. Krim diberikan selama
6-8 minggu dua kali sehari. Setelah kulit dapat ditarik kebelakang, krim kortikosteroid dapat
dihentikan dan dilanjutkan penarikan halus berkala setiap pagi.

o Sirkumisi (sunat)

Sirkumsisi dilakukan jika ditemui kegagalan dalam penggunaan krim kortikosteroid. Sirkumsisi
diperlukan jika terdapat tanda-tanda hambatan aliran urine dan infeksi saluran kemih berulang.

2.13. Hopospadia

A. Pengertian hipospadia

Hipospadia adalah suatu kelainan di mana letak lubang kencing pada bayi laki-laki tidak normal.
Kondisi ini merupakan kelainan bawaan sejak lahir. Pada kondisi normal, uretra terletak tepat di ujung
penis. Tetapi pada bayi dengan hipospadia, uretra berada di bagian bawah penis. Jika tidak ditangani,
penderita hipospadia bisa kesulitan buang air kecil atau berhubungan seksual saat dewasa.

B. Etiologi
Hipospadia terjadi ketika perkembangan saluran lubang kencing (uretra) dan kulup penis terganggu,
waktu di dalam kandungan. Belum diketahui apa penyebab pastinya. Namun, ada sejumlah faktor yang
diduga dapat meningkatkan risiko seseorang anak mengalami hipospadia, misalnya karena sang ibu:

o Mengandung pada saat berusia 35 tahun ke atas.

o Menderita obesitas dan diabetes saat hamil.

o Menjalani terapi hormon untuk merangsang kehamilan.

o Terpapar asap rokok atau pestisida saat hamil.

Selain karena faktor di atas, memiliki keluarga yang pernah mengalami hipospadia, dan anak yang
terlahir secara prematur, juga diduga dapat membuat anak mengalami hipospadia.

C. Gejala Hipospadia

Kondisi hipospadia pada setiap penderita bisa berbeda-beda. Pada sebagian besar kasus, lubang kencing
terletak di bagian bawah kepala penis, dan sebagian lain memiliki lubang kencing di bagian bawah
batang penis. Posisi lubang kencing juga bisa berada di area skrotum (buah zakar), tetapi kondisi ini
jarang terjadi.

Akibat letak letak lubang kencing yang tidak normal, anak dengan hipospadia akan mengalami gejala
seperti di bawah ini:

o Percikan urine tidak normal saat buang air kecil.

o Kulup hanya menutupi bagian atas kepala penis.

o Bentuk penis melengkung ke bawah.

Hipospadia yang tidak ditangani sejak dini, dapat membuat anak kesulitan buang air kecil dalam
posisi berdiri. Jika dibiarkan sampai beranjak dewasa, hipospadia bisa menyebabkan gangguan ejakulasi.
Akibatnya, penderita akan sulit memiliki anak.

D. Diagnosis Hipospadia

Hipospadia dapat diketahui melalui pemeriksaan fisik setelah bayi dilahirkan, tanpa harus
dilakukan pemeriksaan penunjang. Tetapi pada hipospadia yang parah, pemeriksaan lanjutan
dibutuhkan untuk mengetahui kelainan lain yang terjadi pada kelamin bayi. Bila dokter menduga
terdapat kelainan lain pada kelamin bayi, dokter akan menjalankan uji pencitraan dan melakukan
pemeriksaan genetik.

E. Penatalaksanaan Hipospadia

Jika posisi lubang kencing sangat dekat dari posisi yang seharusnya, dan bentuk penis tidak
melengkung, penanganan tidak diperlukan. Namun bila letak lubang kencing jauh dari posisi normalnya,
operasi perlu dilakukan. Operasi bertujuan untuk menempatkan lubang kencing ke posisi yang
seharusnya, dan untuk memperbaiki kelengkungan penis. Operasi dapat dilakukan dua kali, tergantung
pada tingkat keparahannya.Pada banyak kasus, fungsi penis anak akan kembali normal setelah operasi.
Idealnya, operasi dilakukan ketika bayi berusia 6 sampai 12 bulan.

Penting untuk diingat, jangan menyunat anak sebelum operasi dilakukan. Dokter bedah
memerlukan cangkok dari kulup, untuk membuat lubang kencing baru.

Penatalaksanaan hipospadia adalah melalui tindakan pembedahan. Pasien yang didiagnosa dengan
hipospadia harus segera dirujuk untuk evaluasi lanjutan pada minggu pertama kehidupannya. Tindakan
pembedahan pada hipospadia bertujuan untuk mengatasi masalah yang berhubungan dengan pancaran
urin, alasan kosmetik dan kelak untuk memperbaiki fungsi seksual. Pemberian androgen preoperatif
untuk memperbesar penis sehingga dapat memudahkan tindakan pembedahan masih bersifat
kontroversi.

o Pembedahan

Pembedahan dapat mulai dikerjakan saat anak berusia 6-18 bulan, diharapkan pembedahan selesai
sebelum usia sekolah. Pembedahan pada hipospadia yang terlambat pada usia pubertas atau
postpubertas, berhubungan dengan stress psikologis dan masalah perilaku. Beberapa penelitian
melaporkan tingkat komplikasi meningkat pada orang dewasa, hampir 50% pasien postpubertas
mengalami komplikasi fistula urethrocutaneous.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

1. Labioskizis/Labiopalatoskizis yaitu kelainan kotak palatine (bagian depan serta samping muka
serta langit-langit mulut) tidak menutup dengan sempurna.
2. Palatokizis (sumbing palatum/celah llangit-langit), labioskizis (sumbing bibir/celah bibir) yang
terjadi akibat gagalnya jaringan lunak (struktur tulang maxila dan premaxilla) untuk menyatu
selama perkembangan embrio.

3. Atresia esophagus adalah malformasi yang disebabkan oleh kegagalan esophagus untuk
melakukan pasase yang kontinu, esophagus mungkin tidak membentuk sambungan dengan
trakea (fistula trajeoesofagus).

4. Atresia rekti dan anus adalah kelainan congenital anus dimana anus tidak mempunyai lubang
untuk mengeluarkan feces karena terjadi gangguan pemisahan kloaka yang terjadi saat
kehamilan.
5. Atresia ani adalah salah satu kelainan bawaan atau cacat lahir. Penyakit yang juga disebut anus
imperforata ini ditandai dengan tidak adanya anus atau lokasi anus yang tidak pada tempat
semestinya.
6. Penyakit Hirschsprung merupakan salah satu jenis kelainan bawaan yang ditemukan pada bayi.
Kelainan terdapat pada usus besar (kolon), berupa tidak adanya saraf pada salah satu bagian
usus besar yang menyebabkan kontraksi usus terganggu. Bayi dengan penyakit Hirschsprung
sering kali mengalami kesulitan dalam buang air besar.
7. Omphalocele atau omfalokel adalah kelainan lahir yang ditandai dengan keluarnya organ yang
ada di dalam rongga perut bayi, seperti lambung, usus, dan hati, melalui pusar.
8. Hernia diafragmatika atau hernia diafragma adalah kondisi cacat lahir bayi ketika ada lubang
pada diafragma.
9. Meningokel adalah menonjolnya selaput yang menutupi tulang belakang dan bagian saraf tulang
belakang.
10. Ensefalokel adalah suatu kelainan tabung saraf yang ditandai dengan adanya penonolan
meningens (selaput otak) dan otak yang berbentuk seperti kantung melalui suatu lubang pada
tulang tengkorak.

11. Hidrosefalus adalah penumpukan cairan di rongga otak, sehingga meningkatkan tekanan pada
otak. Pada bayi dan anak-anak, hidrosefalus membuat ukuran kepala membesar.
12. Fimosis adalah kondisi ujung kulit Mr. P (kulup) menempel terlalu erat sehingga tidak dapat
ditarik ke belakang melewati kepala Mr. P.
13. Hipospadia adalah suatu kelainan di mana letak lubang kencing pada bayi laki-laki tidak normal.
Kondisi ini merupakan kelainan bawaan sejak lahir. Pada kondisi normal, uretra terletak tepat di
ujung penis. Tetapi pada bayi dengan hipospadia, uretra berada di bagian bawah penis.
DAFTAR PUSTAKA

https://id.scribd.com/doc/209324607/Makalah-Labioschisis-Kel-3-Ganjil

https://id.scribd.com/doc/315425404/MAKALAH-revisi-labioschisis

http://www.iwansain.wordpress.com

http://www.scrib.com

Anda mungkin juga menyukai