Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

PENYAKIT ATRESIA ANI PADA ANAK

DISUSUN OLEH :
ANISA SULISKA ULANDARI (09150000068)
DESIE SAFRIDA (09150000062)

STIKIM-STIKOM IMA
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
Jalan Harapan No.50 Lenteng Agung Jakarta Selatan 12610
TAHUN 2016

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadiran Tuhan YME karena dengan


rahmat, karunia, serta taufik dan hidayahNya kami dapat menyelesaikan
makalah tentang Atresia Ani Pada Anak dan juga kami berterimakasih
kepada Ibu Ns. Ristinawati, S.Kep selaku Dosen mata kuliah Ilmu
Kesehatan Anak yang telah memberikan tugas ini kepada kami.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka


menambah wawasan serta pengetahuan. Kami juga menyadari sepenuhnya
bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Semoga makalah ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi
kami sendiri maupun orang lain. Sebelumnya kami mohon maaf bila
terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon
kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Jakarta, 10 Mei 2015

Penulis
DAFTAR ISI

Cover

Kata Pengantar ..............................................................................................................i

Daftar Isi ........................................................................................................................ii


2
BAB I Pendahuluan .......................................................................................................1

1.1. Latar Belakang .......................................................................................................1

1.2. Rumusan Maalah.....................................................................................................2

1.3. Tujuan.....................................................................................................................3

1.4. Sistematika Penulisan.............................................................................................3

BAB II Tujuan Teoritis ..................................................................................................4

2.1. Definisi....................................................................................................................4

2.2. Etiologi....................................................................................................................4

2.3. Anatomi dan Fisiologi.............................................................................................5

2.4. Tanda dan Gejala.....................................................................................................6

2.5. Patofisiologi............................................................................................................7

2.6. Pencegahan..............................................................................................................8

2.7. Pemeriksaan Penunjang..........................................................................................9

2.8. Penatalaksanaan......................................................................................................9

2.9. Tumbuh Kembang Anak.........................................................................................10

BAB III Rencana Asuhan Keperawatan ........................................................................14

3.1. Pengkajian...............................................................................................................14

3.1.1 Wawancara........................................................................................14

3.1.2 Pemeriksaan Fisik dan Psikososial....................................................14

3.1.3 Pemeriksaan Penunjang....................................................................15

3.2. Diagnosa Keperawatan...........................................................................................16

3.3. Rencana Asuhan Keperawatan................................................................................16

BAB IV Kesimpulan......................................................................................................22

PENUTUP

3
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Atresia ani atau anus imperporata adalah malformasi
congenital dimana rectum
tidak mempunyai lubang ke luar (Wong,2004). Sebagian besar
prognosis atresia
ani biasanya baik bila didukung perawatan yang tepat dan juga
tergantung
kelainaan letak anatomi saat lahir. Atresia ani bila tidak segera
ditangani maka
dapat terjadi komplikasi seperti obstruksi intestinal, konstipasi dan
inkontinensia
feses.
Kehidupan masyarakat perkotaan erat kaitannya dengan
kepadatan penduduk, dan
polusi udara. Sulitnya mencari pekerjaan untuk kaum urban
berpendidikan
rendah, membuat banyak kaum urban berada pada tingkat ekonomi
menengah ke
bawah. Tinggal di pemukiman padat dan kumuh dengan polusi udara
dan pola
konsumsi nutrisi yang mungkin kurang baik. Rendahnya tingkat
pendidikan dan
tingkat ekonomi sangat memungkinkan terbatasnya keluarga dengan
ibu hamil
terpapar dengan informasi kesehatan tentang nutrisi kehamilan. Nutrisi
yang

4
dikonsumsi ibu selama kehamilan dipercaya dapat mempengaruhi
perkembangan
janin. Polusi udara dari asap rokok/nikotin dikaitkan dengan retardasi
pertumbuhan janin dan peningkatan mortalitas dan morbiditas bayi
dan perinatal
(Bobak, 2005).
Atresia ani merupakan salah kelainan kongenital yang dapat
dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungan atau keduanya.
Atresia ani terjadi pada 1 dari setiap 4000-5000 kelainan hidup. Secara
umum atresia ani lebih banyak ditemukan pada laki-laki daripada
perempuan. Fistula rektouretra merupakan kelainan yang paling
banyak ditemuai pada bayi laki-laki, diikuti oleh fistula perineal.
Sedangkan pada bayi perempuan jenis atresia ani yang paling banyak
ditemukan adalah atresia ani diikuti fistula rektovestibular dan fistula
perineal (Oldham K,2005).
Angka kejadian kasus atresia ani di RSUP fatmawati selama
kurun waktu 3 bulan
dari Januari sampai Maret 2013 ada sekitar 14 kasus dari 100 klien
yang dirawat
di gedung Teratai lantai III Utara. Dari 14 kasus atresia ani tersebut
sekitar 7
kasus dirawat untuk tutup kolostomi.
Atresia ani letak tinggi memerlukan penatalaksanaan operasi
bertahap yaitu
pembuatan kolostomi, pembuatan saluran anus/PSARP (posterior
sagital
anorectoplasty), dan yang terakhir tutup kolostomi. Perawatan pada
klien tutup
kolostomi memerlukan perhatian yang serius terutama pada
penatalaksanaan

5
cairan intravena dan perawatan luka. Nyeri, puasa lama, dan hari
perawatan yang
lama menimbulkan trauma bagi anak. Perawat memegang peranan
penting dalam
mengurangi efek hospitalisasi pada anak, terutama nyeri.
Dunia anak adalah dunia bermain, khususnya bagi anak yang
berusia 1- 3 tahun.
Pertumbuhan dan perkembangan tersebut harus dijaga
kelangsungannya dengan
upaya stimulasi yang dpat dilakukan, sekalipun anak dalam perawatan
dirumah
sakit. Bermain pada anak di rumah sakit sebagai media bagi anak
untuk
mengekspresikan perasaan, relaksasi, dan distraksi perasaan yang
tidak nyaman
(Supartini, 2004). Terapi musik dapat di jadikan alternatif dalam
meminimalkan
nyeri dan ketidaknyamanan pada anak yang mengalami hospitalisasi
sebagai
bagian dari program bermain pada anak.
1.2. RUMUSAN MASALAH
1.2.1. Apa definisi penyakit atresia ani ?
1.2.2. Bagaimana etiologi penyakit atresia ani ?
1.2.3. Bagaimana anatomi dan fisiologi pada penyakit atresia ani ?
1.2.4. Bagaimana tanda dan gejala pada penyakit atresia ani ?
1.2.5. Bagaimana patofisiologi pada penyakit atresia ani ?
1.2.6. Bagaimana cara pencegahan pada penyakit atresia ani ?
1.2.7. Apa saja pemeriksaan penunjang pada penyakit atresia ani ?
1.2.8. Bagaimana penatalaksanaan pada penyakit atresia ani ?
1.2.9. Bagaimana proses tumbuh kembang bayi pada penyakit atresia
ani ?

6
1.3. TUJUAN
1.3.1. Tujuan Khusus
Untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah ilmu
kesehatan anak.
1.3.2. Tujuan Umum
1. Untuk mengetahui definisi penyakit atresia ani.
2. Untuk mengetahui etiologi penyakit atresia ani.
3. Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi pada penyakit
atresia ani.
4. Untuk mengetahui tanda dan gejala pada penyakit atresia
ani.
5. Untuk mengetahui patofisiologi pada penyakit atresia ani.
6. Untuk mengetahui cara pencegahan pada penyakit atresia
ani.
7. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang pada penyakit
atresia ani.
8. Untuk mengetahui penatalaksanaan pada penyakit atresia
ani.
9. Untuk mengetahui proses tumbuh kembang bayi pada
penyakit atresia ani.
1.4. SISTEMATIKA PENULISAN
Dalam penulisan makalah,menggunakan metode deskriptif yaitu
metode ilmiah dengan mengumpulkan data,menganalisa serta menarik
kesimpulan dan selanjutnya disajikan dalam bentuk narasai.

7
Adapun teknik penulisan makalah ini menggunakan studi
kepustakaan yaitu membaca bahan ilmiah yang bersifat teori
berhubungan dengan judul makalah.

BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1. DEFINISI
Atresia ani atau anus imperforata atau malformasi anorektal
adalah suatu kelainan kongenital tanpa anus atau anus tidak sempurna,
termasuk didalamnya agenesis ani, agenesis rekti dan atresia rekti.
Insiden 1:5000 kelahiran yang dapat muncul sebagai sindroma
VACTRERL (Vertebra, Anal, Cardial, Esofageal, Renal, Limb).
2.2. ETIOLOGI
Atresia ani atau anus imperforata dapat disebabkan karena:
1. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur,
sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur.
2. Gangguan organogenesis dalam kandungan
3. Berkaitan dengan sindrom down
Malformasi anorektal memiliki etiologi yang multifaktorial. Salah
satunya adalah

8
komponen genetik. Pada tahun 1950an, didapatkan bahwa risiko
malformasi meningkat pada
bayi yang memiliki saudara dengan kelainan malformasi anorektal yakni
1 dalam 100
kelahiran, dibandingkan dengan populasi umum sekitar 1 dalam 5000
kelahiran. Penelitian
juga menunjukkan adanya hubungan antara malformasi anorektal
dengan pasien dengan
trisomi 21 (Down's syndrome). Kedua hal tersebut menunjukkan bahwa
mutasi dari
bermacam-macam gen yang berbeda dapat menyebabkan malformasi
anorektal atau dengan
kata lain etiologi malformasi anorektal bersifat multigenik.

2.3. ANATOMI DAN FISIOLOGI


2.3.1. ANATOMI

9
Atresia ani adalah spektrum kelainan rektum dan anus . Ada
banyak kemungkinan kelainan sebagai berikut :
1. Tidak adanya pembukaan dubur .
2. Anal membuka di tempat yang salah .
3. Sambungan , atau fistula , bergabung dengan usus dan sistem
kemih .
4. Sambungan bergabung usus dan vagina .
5. Pada wanita , usus dapat bergabung dengan sistem kemih dan
vagina dalam pembukaan tunggal , dikenal sebagai kloaka .
2.3.2. FISIOLOGI
1. Motilitas kolon
a. Absorbsi cairan
b. Keluarkan isi feses dari kolon ke rectum
2. Fungsi defekasi
a. Keluarkan feses secara intermitten dari rectum
b. Tahan isi usus agar tidak keluar saat tidak defekasi
2.4. TANDA DAN GEJALA
10
Gejala yang menunjukan terjadinya atresia ani terjadi dalam waktu 24-
48 jam, gejala itu dapat berupa :
1. Perut kembung
2. Muntah
3. Tidak bisa buang air besar
4. Pada pemeriksaan radiologis dengan posisi tegak serta terbalik
dapat dilihat sampai dimana terdapat penyumbatan.
Malformasi anorektal sangat bervariasi, mulai dari anus
imperforata letak rendah dimana rectum berada pada lokasi yang
normal tapi terlalu sempit sehingga feses bayi tidak dapat melaluinya,
malformasi anorektal intermedia dimana ujung dari rektum dekat ke
uretra dan malformasi anorektal letak tinggi dimana anus sama sekali
tidak ada. Sebagian besar bayi dengan anus imperforata memiliki satu
atau lebih abnormalitas yang mengenai sistem lain. Insidennya berkisar
antara 50% - 60%. Makin tinggi letak abnormalitas berhubungan
dengan malformasi yang lebih sering. Kebanyakan dari kelainan itu
ditemukan secara kebetulan, akan tetapi beberapa diantaranya dapat
mengancam nyawa seperti kelainan kardiovaskuler. Beberapa jenis
kelainan yang sering ditemukan bersamaan dengan malformasi
anorektal adalah :
a. Kelainan kardiovaskuler
Ditemukan pada sepertiga pasien dengan anus imperforata. Jenis
kelainan yang paling banyak ditemui adalah atrial septal defect dan
paten ductus arteriosus, diikuti oleh tetralogi of fallot dan
vebtrikular septal defect.
b. Kelainan gastrointestinal
Kelainan yang ditemui berupa kelainan trakeoesofageal (10%),
obstruksi duodenum
(1% - 2%).
c. Kelainan tulang belakang dan medulla spinalis

11
Kelainan tulang belakang yang sering ditemukan adalah kelainan
lumbosakral seperti hemivertebrae, skoliosis, butterfly vertebrae,
dan hemisacrum. Sedangkan kelainan spinal yang sering ditemukan
adalah myelomeningocele, meningocele, dan teratoma intraspinal.

d. Kelainan traktus genitourinarius


Kelainan traktus urogenital kongenital paling banyak ditemukan
pada malformasi anorektal. Beberapa penelitian menunjukkan
insiden kelainan urogeital dengan malformasi anorektal letak tinggi
antara 50 % sampai 60%, dengan malformasi anorektal letak rendah
15% sampai 20%. Kelainan tersebut dapat berdiri sendiri ataupun
muncul bersamaan sebagai VATER (Vertebrae, Anorectal,
Tracheoesophageal and Renal abnormality) dan VACTERL
(Vertebrae, Anorectal, Cardiovascular, Tracheoesophageal, Renal
and Limb abnormality).
2.5. PATOFISIOLOGI
Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum
urorektal secara komplit karena gangguan perubahan pertumbuhan,
fusi atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik, sehingga anus
dan rectum berkembang dari embrionik bagian belakang. Ujung ekor
dari bagian belakang berkembang menjadi kloaka yang merupaan
bakal genitourinary dan struktur anorektal. Terjadi stenosis anal
karena adanya penyempitan pada kanal anorektal. Terjadi atresia
anal karena tidak ada kelengkapan dan perkembangan struktur kolon
antara 7-10 minggu dalam perkembangan fetal. Kegagalan migrasi
dapat juga karena kegagalan dalam agenesis sacral dan abnormalitas
pada uretra dan vagina. Tidak ada pembukaan usus besar yang keluar
melalui anus sehingga menyebabkan fekal tidak dapat dikeluarkan
sehingga intestinal mengalami obstruksi. Putsnya saluran pencernaan

12
dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi baru lahir tanpa lubang
anus. Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan, terdapat tiga letak :
1. Tinggi (supralevator) : rectum berakhir di atas M. levator ani
(M. puborektalis) dengn jarak antara ujung buntu rectum dengan
kulit perineum lebih dari 1 cm. Letak upralevator biasanya
disertai dengan fstel ke saluran kemih atau saluran genital.
2. Intermediate : rectum terletak pada M. levator ani
tetapi tidak menembusnya.
3. Rendah : rectum berakhir di bawah M. levator
ani sehingga jarak antara kulit dan ujung rectum paling jauh 1
cm.

Pathway
Kelainan congenital pada bayi dan anak

Kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena


gangguan pertumbuhan,fusi atau pembentukan anus dari tonjolan
embrionik

Anus dan rektum berkembang dari embrionik bagian belakang

Ujung ekor dari bagian belakang berkembang menjadi kloaka


(bakal genitourinari dan struktur anorektal)

Terjadi stenosis anal (penyempitan pada kanal anorektal)

Tidak ada pembukaan usus besar yang keluar melalui anus

Atresia ani

13
Intestinal mengalami obstruksi

Inkontinensia bowel

Feses tidak keluar


Vistel rektovaginal
Feses menumpuk
Feses masuk ke uretra

2.6. PENCEGAHAN
2.6.1. Atresia ani dieksplorasi melalui tindakan bedah yang disebut
diseksi posterosagital atau plastic anorektal posterosagital.
2.6.2. Colostomi sementara (anus buatan).

2.7. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan
penunjang sebagai berikut :
a. Pemeriksaan radiologis
Dilakukan untuk mengetahui ada tiaknya obstruksi intestinal.
b. Sinar X terhadap abdomen
Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan
untuk mengetahui jarak pemanjangan kantung rectum daei
sfingternya.
c. Ultrasound terhadap abdomen
Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam
system pencernaan dan mencari adanya factor reversible seperti
obstruksi oleh karena massa tumor.
d. CT Scan

14
Digunakan untuk menentukan lesi.
e. Pyelografi intra vena
Digunakan untuk menilsi pelviokalises dan ureter.
f. Pemeriksaan fisik rectum
Kepatenan rektal dapat dilakukan colok dubur dengan
menggunakan selang atau jari.
g. Rontgenogram abdomen dan pelvis
Juga bias digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang
berhubungan dengan traktus urinarius.

2.8. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan dalam tindakan atresia ani, yaitu :
a. Pembuatan kolostomi
Kolostomi adalah sebuah lubang buatan yang dibuat oleh dokter
ahli bedah pada dinding abdomen untuk mengeluarkan feses.
Pembuatan lubang biasanya sementara atau permanen dari usus
besar atau coloniliaka. Untuk anomaly tinggi, dilakukan kolostomi
beberapa hari setelah lahir.
b. PSARP (Posterio Sagital Anno Rectal Plasty)
Bedah definitifnya, yaitu anoplasty dan umumnya ditunda 9
sampai 12 bulan. Penundaan ini dimaksudkan untuk memberi
waktu pelvis untuk membesar dan pada otot-otot untuk
berkembang. Tindakan ini juga memungkinkan bayi untuk
menambah berat badannya dan bertambah baik status nutrisinya.
c. Tutup Kolostomi
Tindakan yang terakhir dari atresia ani. Biasanya beberapa hari
setelah operasi, anak akan mulai BAB melalui anus. Pertama, BAB
akan sering tapi seminggu setelah operasi BAB berkurang
frekuensinya dan agak padat.
2.9. TUMBUH KEMBANG ANAK
2.9.1. Konsep Tumbuh Kembang Anak Usia Todler (1-3 tahun)

15
Pertumbuhan merupakan bertambahnya jumlah dan
besarnya sel di seluruh tubuh yang secara kuantitatif dapat di
ukur, sedangkan perkembangan merupakan bertambah
sempurnanya fungsi alat tubuh yang dicapai melalui tumbuh
kematangan dan belajar (Whalley & Wong, 2000).
Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dan struktur
atau fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur,
dapat diperkirakan, dan diramalkan sebagai hasil dari proses
diferensiasi sel, jaringan tubuh, organ-organ, dan sistemnya
yang terorganisasi (IDAI, 2002). Dengan demikian, aspek
perkembangan ini bersifat kualitatif, yaitu kematangan fungsi
dari masing-masing bagian tubuh. Hal ini diawali dengan
berfungsinya jantung untuk memompa darah, kemampuan
untuk bernafas, sampai kemampuan anak untuk tengkurap,
duduk, berjalan, bicara, memungut bendabenda
disekelilingnya, serta kematangan emosi dan sosial anak.
Tahap perkembangan awal akan menentukan tahap
perkembangan selanjutnya. Pada dasarnya, manusia dalam
kehidupannya mengalami berbagai tahapan tumbuh kembang
dan setiap tahap mempunyai ciri tertentu.
Pertumbuhan melambat selama masa todler. Rata-rata
pertambahan berat badan adalah 1,8 sampai 2,7 kg/tahun.
Berat rata-rata pada usia 2 tahun adalah 12 kg. Berat badan
menjadi empat kali berat badan lahir pada usia 2 tahun.
Kecepatan pertambahan tinggi badan juga melambat.
Penambahan tinggi yang biasa adalah bertambah 7,5 cm/tahun
dan terutama terjadi dalam perpanjangan tungkai dan bukan
batang tubuh. Tinggi badan rata-rata anak usia 2 tahun adalah
86,6 cm. Secara umum, tinggi badan orang dewasa sekitar dua
kali tinggi badannya sewaktu berusia 2 tahun.

16
Kecepatan pertambahan lingkar kepala melambat pada
akhir masa bayi, dan lingkar kepala biasanya sama dengan
lingkar dada pada usia 1-2 tahun. Total pertambahan lingkar
kepala umumnya selama tahun kedua adalah 2,5 cm.
Kemudian kecepatan pertambahan melambat sampai usia 5
tahun, pertambahan tinggi badan menjadi kurang dari 1,25
cm/tahun. Fontanale anterior menutup antara usia 12 sampai
18 bulan.
Keterampilan motorik kasar mayor selama masa todler
adalah perkembangan lokomosi. Pada usia 12 sampai 13 bulan
todler sudah dapat berjalan sendiri dengan jarak kedua kaki
melebar untuk keseimbangan ekstra dan pada 18 bulan mereka
berusaha lari tetapi mudah terjatuh. Antara usia 2 dan 3 tahun,
posisi tegak dengan dua kaki menunjukan peningkatan
koordinasi dan keseimbangan. Pada usia 2 tahun todler dapat
berjalan menaiki dan menuruni tangga, dan pada usia 2 tahun
mereka dapat melompat, menggunakan kedua kaki, berdiri
pada satu kaki selama satu atau dua detik, dan melakukan
beberapa langkah dengan berjinjit. Pada akhir tahun kedua
mereka dapat berdiri dengan satu kaki, berjalan jinjit, dan
menaiki tangga dengan berganti-ganti kaki.
Perkembangan motorik halus diperlihatkan dengan
meningkatnya keterampilan deksteritas manual. Misalnya,
pada usia 12 bulan todler mampu menggenggam sebuah benda
yang sangat kecil tetapi tidak mampu melepaskan sesuai
keinginannya. Pada 15 bulan mereka dapat menjatuhkan
kelereng ke dalam botol berleher sempit. Menangkap atau
melempar benda dan menangkapnya kembali menjadi aktivitas
yang hampir obsesif pada usia sekitar 15 bulan. Pada usia 18
bulan todler dapat melempar bola dari tangan tanpa kehilangan
keseimbangan.

17
Todler dihadapkan pada penguasaan beberapa tugas
penting. Apabila kebutuhan untuk membentuk dasar
kepercayaan telah terpuaskan, mereka siap meninggalkan
ketergantungannya menjadi memiliki kontrol, mandiri, dan
otonomi. Tugas mayor periode todler adalah diferensiasi diri
dari orang lain, terutama ibu. Proses diferensiasi terdiri atas
dua fase: perpisahan, kemunculan anak dari kesatuan simbiosis
dengan ibunya, dan individualisasi, pencapaian tersebut
menandai asumsi anak mengenai karakteristik individual
mereka di dalam lingkungan.
Meskipun proses ini dimulai selama paruh waktu masa
bayi, pencapaian terbesar terjadi selama masa todler.
Karakteristik perkembangan bahasa yang paling mengejutkan
selama masa kanak-kanak awal adalah meningkatnya tingkat
pemahaman. Meskipun jumlah kata yang dikuasai sekitar 4
pada usia 1 tahun menjadi 300 pada usia 2 tahun-perlu dicatat,
kemampuan untuk memahami dan mengerti percakapan jauh
lebih besar dibandingkan jumlah kata yang dapat diucapkan
anak. Ini terjadi terutama pada keluarga yang menggunakan
dua bahasa, yang perbendaharaan katanya bisa terlambat
dikuasai tetapi kedua bahasa dapat dipahami dengan tepat
(Chiocca, 1998 dikutip dari Wong, D. L, et.al, 2009).

2.9.2. Konsep Hospitalisasi Anak Usia Todler (1-3 Tahun)


Hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena
suatu alasan yang berencana atau darurat, mengharuskan anak
untuk tinggal di rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan
sampai pemulangannya kembali ke rumah (Supartini, 2004).
Selama proses tersebut, anak dan orang tua dapat mengalami
berbagai kejadian yang menurut beberapa penelitian
ditunjukkan dengan pengalaman yang sangat traumatik dan

18
penuh dengan stress. Berbagai perasaan yang sering muncul
pada anak, yaitu cemas, marah, sedih, takut, dan rasa bersalah
(Wong, 2000 dikutip dari Supartini, 2004). Perasaan tersebut
dapat timbul karena menghadapi sesuatu yang baru dan belum
pernah dialami sebelumnya, rasa tidak aman dan tidak nyaman,
perasaan kehilangan sesuatu yang biasa dialaminya, dan
sesuatu yang dirasakan menyakitkan.
Apabila anak stress selama dalam perawatan, orang tua
menjadi stress pula, dan stress orang tua akan membuat tingkat
stress anak semakin meningkat (Supartini, 2004). Anak adalah
bagian dari kehidupan orang tuanya sehingga apabila ada
pengalaman yang mengganggu kehidupannya maka orang tua
pun merasa sangat stress (Brewis, 1995 dikutip dari Supartini,
2004). Dengan demikian, asuhan keperawatan tidak bisa
hanya berfokus pada anak, tetapi juga pada orang tuanya. Anak
usia todler bereaksi terhadap hospitalisasi sesuai dengan
sumber stressnya. Sumber stress yang utama adalah cemas
akibat perpisahan. Respons perilaku anak sesuai dengan
tahapannya, yaitu tahap protes, putus asa, dan pengingkaran
(denial). Pada tahap protes, perilaku yang ditunjukkan adalah
menangis kuat, menjerit memanggil orang tua atau menolak
perhatian yang diberikan orang lain. Pada tahap putus asa,
perilaku yang ditunjukkan adalah menangis berkurang, anak
tidak aktif, kurang menunjukkan minat untuk bermain dan
makan, sedih dan apatis. Pada tahap pengingkaran, perilaku
yang ditunjukkan adalah secara samar mulai menerima
perpisahan, membina hubungan secara dangkal, dan anak
mulai terlihat menyukai lingkungannya.
Oleh karena adanya pembatasan terhadap
pergerakannya, anak akan kehilangan kemampuannya untuk
mengontrol diri dan anak menjadi tergantung pada

19
lingkungannya. Akhirnya, anak akan kembali mundur pada
kemampuan sebelumnya atau regresi. Terhadap perlukaan
yang dialami atau nyeri yang dirasakan karena mendapatkan
tindakan invasif, seperti injeksi, infus, pengambilan darah,
anak akan menangis, menggigit bibirnya, dan memukul.
Walaupun demikian, anak dapat menunjukkan lokasi rasa nyeri
dan mengkomunikasikan rasa nyerinya.

BAB III
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
3.1.PENGKAJIAN
3.1.1. Wawancara
a. Biodata klien.
b. Riwayat keperawatan.

20
1) Riwayat keperawatan/ kesehatan sekarang.
2) Riwayat kesehatan masa lalu.
c. Riwayat psikologis.
Koping keluarga dalam menghadapi masalah.
d. Riwayat tumbuh kembang anak.
1) BB lahir abnormal.
2) Kemampuan motorik halus, motorik kasar, kognitif
dan tumbuh kembang pernah mengalami trauma
saat sakit.
3) Sakit kehamilan mengalami infeksi intrapartal.
4) Sakit kehamilan tidak keluar mekonium.

e. Riwayat sosial.

3.1.2 Pemeriksaan fisik dan psikososial

a. Pemeriksaan fisik

Hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien atresia


ani adalah anus tampak merah, usus melebar, kadang
kadang tampak ileus obstruksi, termometer yang
dimasukkan melalui anus tertahan oleh jaringan, pada
auskultasi terdengan hiperperistaltik, tanpa mekonium
dalam 24 jam setelah bayi lahir, tinja dalam urin dan vagina.
(Doengoes Merillyn, E. 2000).

b. Psikososial

1. Konsep Diri dan Persepsi Diri

Menjelaskan konsep diri dan persepsi diri misalnya body


image, body comfort. Terjadi perilaku distraksi, gelisah,
penolakan karena dampak luka jahitan operasi

21
2. Peran dan Pola Hubungan

Bertujuan untuk mengetahui peran dan hubungan


sebelum dan sesudah sakit. Perubahan pola biasa dalam
tanggungjawab atau perubahan kapasitas fisik untuk
melaksanakan peran

3. Pola Reproduktif dan Sexual

Pola ini bertujuan menjelaskan fungsi sosial sebagi alat


reproduksi.

4. Pola Pertahanan Diri, Stress dan Toleransi, Adanya


faktor stress lama, efek hospitalisasi, masalah keuangan.

5. Pola Keyakinan dan Nilai

Untuk menerangkan sikap, keyakinan klien dalam


melaksanakan agama yang dipeluk dan konsekuensinya
dalam keseharian. Dengan ini diharapkan perawat dalam
memberikan motivasi dan pendekatan terhadap klien
dalam upaya pelaksanaan ibadah (Mediana,1998).

3.1.3 Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan rectal digital dan visual adalah


pemeriksaan diagnostik yang umum dilakukan pada
gangguan ini.

b. Jika ada fistula, urin dapat diperiksa untuk


memeriksa adanya sel-sel epitel mekonium.

c. Pemeriksaan sinyal X lateral infeksi (teknik


wangensteen-rice) dapat menunjukkan adanya
kumpulan udara dalam ujung rectum yang buntu
pada mekonium yang mencegah udara sampai
keujung kantong rectal.

22
d. Ultrasound dapat digunakan untuk menentukan letak
rectal kantong.

e. Aspirasi jarum untuk mendeteksi kantong rectal


dengan menusukan jarum tersebut sampai
melakukan aspirasi, jika mekonium tidak keluar
pada saat jarum sudah masuk 1,5 cm Derek tersebut
dianggap defek tingkat tinggi.

f. Pemeriksaan radiologis dapat ditemukan

1) Udara dalam usus berhenti tiba-tiba yang


menandakan obstruksi di daerah tersebut.

2) Tidak ada bayangan udara dalam rongga pelvis


pada bagian baru lahir dan gambaran ini harus
dipikirkan kemungkinan atresia reftil/anus
impoefartus, pada bayi dengan anus impoefartus.
Udara berhenti tiba-tiba di daerah sigmoid,
kolon/rectum.

3) Dibuat foto anterpisterior (AP) dan lateral. Bayi


diangkat dengan kepala dibawah dan kaki diatas
pada anus benda bang radio-opak, sehingga pada
foto daerah antara benda radio-opak dengan
dengan bayangan udara tertinggi dapat diukur.
(Brunner dan Suddart.2002)

3.2. DIAGNOSA KEPERAWATAN

a. Pre-operasi

1. Konstipasi berhubungan dengan aganglion.


2. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan
intake yang tidak adekuat, muntah.
3. Cemas orang tua berhubungan dengan kurang
pengetahuan tentang penyakit dan prosedur perawatan.

23
b. Post-operasi

1. Nyeri berhubungan dengan trauma pembedahan/ insisi


luka.

2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan terdapat


stoma sekunder dari kolostomi.

3. Resiko infeksi berhubungan dengan masuknya


mikroorganisme sekunder terhadap luka kolostomi.

4. Perubahan pola eliminasi berhubungan dengan


kolostomi.

5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan perawatan di


rumah.

3.3.RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

3.3.1 Perencanaan keperawatan pada diagnosa preoperasi

a. Konstipasi berhubungan dengan aganglion.

Tujuan: Klien mampu mempertahankan pola


eliminasi BAB dengan teratur.

Kriteria hasil:

1) Penurunan distensi abdomen.

2) Meningkatnya kenyamanan.

Intervensi:

1) Lakukan enema atau irigasi rektal.

2) Kaji bising usus dan abdomen.

3) Ukur lingkar abdomen.

b. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan


dengan menurunnya intake, muntah.

Tujuan: Klien dapat mempertahankan keseimbangan


cairan.
24
Kriteria hasil:

1) Output urin 1-2 ml/ Kg/ Jam.

2) Capillary refill 3-5 detik.

3) Turgor kulit baik.

4) Membran mukosa lembab.

Intervensi:

1) Pantau TTV.

2) Monitor intake-output cairan.

3) Lakukan pemasangan infus dan berikan cairan


IV.

c. Cemas orang tua berhubungan dengan kurang


pengetahuan tentang penyakit dan prosedur
perawatan.

Tujuan: Kecemasan orang tua dapat berkurang.

Kriteria hasil:

1) Klien tidak lemas.

Intervensi:

1) Jelaskan dengan istilah yang dimengerti oleh


orang tua tentang anatomi dan fisiologi saluran
pencernaan normal.

2) Beri jadwal studi diagnosa pada orang tua.

3) Beri informasi pada orang tua tentang operasi


kolostomi.

3.3.2. Perencanaan keperawatan pada diagnosa postoperasi

a. Nyeri berhubungan dengan teruma pembedahan/ insisi


luka.

25
Tujuan: Rasa nyeri teratasi/ berkurang.

Kriteria hasil:

1) Klien tampak tenang dan merasa nyaman.

2) Klien tidak meringis kesakitan.

Intervensi:

1) Kaji skala nyeri.

2) Kaji lokasi, waktu dan intensitas nyeri.

3) Berikan lingkungan yang tenang.

4) Atur posisi klien.

5) Kolaborasi dalam pemberian antibiotik.

b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan


terdapat stoma sekunder dari kolostomi.

Tujuan: Tidak ditemukan tanda-tanda kerusakan kulit


lebih lanjut.

Kriteria hasil:

1) Penyembuhan luka tepat waktu.

2) Tidak terjadi kerusakan di daerah sekitar anoplasti.

Intervensi:

1) Kaji area stoma.


2) Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian
lembut dan longgar pada area stoma.
3) Tanyakan apakah ada keluhan gatal sekitar stoma.
4) Kosongkan kantong kolostomi setelah terisi
atau kantong.

5) Lakukan perawatan luka kolostomi.

c. Resiko infeksi berhubungan masuknya


mikroorganisme sekunder terhadap luka kolostomi.
26
Tujuan: Tidak terjadi infeksi.

Kriteria hasil:

1) Tidak ada tanda-tanda infeksi.

2) TTV normal.

3) Leukosit normal.

Intervensi:

1) Kaji adanya tanda-tanda infeksi.

2) Pantau TTV.

3) Pantau hasil laboratorium.

4) Kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium.

5) Kolaborasi dalam pemberian antibiotik.

d. Perubahan eliminasi berhubungan kolostomi.

Tujuan: Gangguan pola eliminasi teratasi.

Kriteria hasil:

1) BAB normal.

2) Frekuensi buang air besar 1-2x/ hari.

Intervensi:

1) Kaji pola dan kebiasaan buang air besar.

2) Kaji faktor penyebab konstipasi/ diare.

3) Anjurkan orang tua klien untuk memberi minum


banyak dan mengandung tinggi serat jika konstipasi.

4) Lakukan perawatan kolostomi.

e. Kurang pengetahuan berhubungan dengan perawatan


di rumah.

Tujuan: Pasien dan keluarga memahami perawatan di


rumah.
27
Kriteria hasil:

1) Menunjukkan kemampuan untuk memberikan


perawatan kolostomi dirumah.

Intervensi:

1) Ajarkan perawatan kolostomi dan partisipasi


dalam perawatan sampai mereka dapat melakukan
perawatan.

2) Ajarkan untuk mengenal tanda-tanda dan gejala


yang perlu dilaporkan perawat.

3) Ajarkan bagaimana memberikan pengamanan


pada bayi dan melakukan dilatasi pada anal secara
tepat.

4) Ajarkan cara perawatan luka yang tepat.

5) Latih pasien untuk kebiasaan defekasi.

6) Ajarkan pasien dan keluarga untuk memodifikasi


diit (misalnya serat).

3.3.3. Pelaksanaan keperawatan

Tahap pelaksanaan merupakan tahap ke empat dari


proses keperawatan dengan melaksanakann berbagai
strategi keperawatan (tindakan keperawatan) yang telah
direncanakan dalam rencana tindakan keperrawatan.
Dalam tahap ini, perawat harus mengetahui berbagai hal di
antaranya bahaya-bahaya fisik dan perlindungan pada
klien, tehnik komunikasi, kemampuan dalam prosedur
tindakan, pemahaman tentang hak-hak dari pasien serta
28
dalam memahami tingkat perkembangan pasien. Dalam
pelaksanaan rencana tindakan terdapat dua jenis tindakan,
yaitu tindakan jenis mandiri dan tindakan kolaborasi
(Hidayat, A. Aziz Alimul, 2008: 122).

3.3.4. Evaluasi keperawatan

Tahap evaluasi adalah perbandingan hasil-hasil


yang diamati dengan kriteria hasil yang dibuat pada tahap
perencanaan. Kemampuan yang harus dimiliki perawat
pada tahap ini adalah memahami respon terhadap
intervensi keperawatan, kemampuan mengembalikan
kesimpulan tentang tujuan yang dicapai serta kemampuan
dalam menghubungkan tindakan keperawatan pada
kriteria hasil. Pada tahap evaluasi ini terdiri dari 2
kegiatan yaitu:

a. Evaluasi formatif menyatakan evaluasi yang


dilakukan pada saat memberikan intervensi dengan
respon segera.

b. Evaluasi sumatif merupakan rekapitulasi dari hasil


observasi dan analisis status klien pada waktu tertentu
berdasarkan tujuan yang direncanakan pada tahap
perencanaan. Di samping itu, evaluasi juga sebagai
alat ukur suatu tujuan yang mempunyai kriteria
tertentu yang membuktikan apakah tujuan tercapai,
tidak tercapai atau tercapai sebagian.

1) Tujuan tercapai

Tujuan dikatakan tercapai bila klien telah


menunjukan perubahan dan kemajuan yang
sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan.

2) Tujuan tercapai sebagian

29
Tujuan ini dikatakan tercapai sebagian apabila
tujuan tidak tercapai secara keseluruhan
sehingga masih perlu dicari berbagai masalah
atau penyebabnya, seperti klien dapat makan
sendiri tetapi masih merasa mual. Setelah
makan bahkan kadang-kadang muntah

3) Tujuan tidak tercapai

Dikatakan tidak tercapai apabila tidak


menunjukan adanya perubahan kearah
kemajuan sebagaimana kriteria yang
diharapkan.

Adapun evaluasi akhir yang ingin dicapai dari tiap-


tiap diagnosa adalah:

a. Klien mampu mempertahankan pola eliminasi


BAB dengan teratur.

b. Klien dapat mempertahankan keseimbangan


cairan.

c. Kecemasan orang tua dapat berkurang.

d. Rasa nyeri teratasi/ berkurang.

e. Tidak ditemukan tanda-tanda kerusakan kulit


lebih lanjut.

f. Tidak terjadi infeksi.

g. Gangguan pola eliminasi teratasi.

h. Pasien dan keluarga memahami perawatan di


rumah

30
BAB IV

KESIMPULAN

A. KESIMPULAN

Atresia ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya


lubang atau saluran anus (Wong, D. L, 2003).

Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus


imperforate meliputi anus, rectum atau keduanya (Betz, C. L and
Sowden, L. A, 2002).

Etiologi secara pasti atresia ani belum diketahui, namun ada


sumber mengatakan kelainan bawaan anus disebabkan oleh gangguan
pertumbuhan, fusi, dan pembentukan anus dari tonjolan embriogenik.
Atresia ani dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur
sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur.
2. Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12
minggu atau 3 bulan.

31
3. Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik
didaerah usus, rektum bagian distal serta traktus urogenitalis,
yang terjadi antara minggu keempat sampai keenam usia
kehamilan.
4. Berkaitan dengan sindrom down.
5. Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan
B. SARAN
Dengan adanya makalah ini diharapkan kita sebagai seorang perawat
mampu mendiagnosis secara dini mengenai penyakit hernia pada anak,
sehingga kita mampu memberikan asuhan keperawatan yang maksimal
terhadap anak tersebut.Tentunya dalam pembuatan makalah ini masih
terdapat banyak kesalahan sehingga kritik dan saran dari semua pihak
sangat kami harapkan.

DAFTAR PUSTAKA

Betz, Cealy L. & Linda A. Sowden. 2002. Buku Saku Keperawatan


Pediatrik. Edisike-3. Jakarta : EGC.

Carpenito, Lynda Juall. 1997. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi ke-
6. Jakarta : EGC.

Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Sri


Kurnianianingsih (ed), Monica Ester (Alih Bahasa). edisi ke-4.
Jakarta : EGC

https://hidayat2.wordpress.com/2009/04/11/askep-atresia-ani/ (diakses:
kamis, 5 mei 2016 pukul 12.59)

32
http://sukma08nov.blogspot.co.id/2015/01/asuhan-keperawatan-pada-
anak-dengan_99.html (diakses : kamis, 5 mei 2016 pukul 11.27)
http://dokteryudabedah.com/atresia-ani-bayi-lahir-tanpa-anus/ (diakses
: kamis, 5 mei 2016 pukul 13.00)

33

Anda mungkin juga menyukai