Anda di halaman 1dari 20

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK

DENGAN HISPRUNG

DOSEN PENGAMPU

Ns Diena Juliana, S.Kep.,M.Kes

DISUSUN OLEH :

Bagus Triadi (841191004)

Ananda (841191005)

Elniati Sestia Ningsih (841191006)

PRODI D-III KEPERAWATAN SEMESTER IV

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YAYASAN RUMAH SAKIT

ISLAM (YARSI) PONTIANAK

TAHUN AJARAN 2020/2021

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan hidayah dan inayah-
Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Asuhan
Keperawatan Pada Anak Dengan Hisprung “

Makalah ini kami buat bertujuan untuk menjelaskan materi tentang Asuhan Keperawatan
Pada Anak Dengan Hisprung. Dengan adanya makalah ini diharapkan mahasiswa lain dapat
memahami Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Hisprung.

Makalah ini dibuat dengan semaksimal mungkin, walaupun kami menyadari masih banyak
kekurangan yang harus kami perbaiki. Oleh karena itu kami mengharapkan saran atau kritik dan
yang sifatnya membangun demi tercapainya suatu kesempurnaan makalah ini. Kami berharap
makalah ini dapat berguna bagi pembaca maupun kami.

Pontianak, 21 Juni 2021

Pemulis
Hal

Kata Pengantar..............................................................................................................................

Daftar Isi.......................................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................................

A. Latar Belakang...................................................................................................................

B. Rumusan Masalah..............................................................................................................

C. Tujuan.................................................................................................................................

D. Manfaat...............................................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN..............................................................................................................

A. Pengertian Hidrosefalus....................................................................................................

B. Etiologi..............................................................................................................................

C. Patofisiologi......................................................................................................................

D. Patway Hidrosefalus..........................................................................................................

E. Tanda dan Gejala...............................................................................................................

F. Manefestasi Klinis.............................................................................................................

G. Pemeriksaan Penunjang.....................................................................................................

H. Penatalaksanaan................................................................................................................

BAB III KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN........................................................................

A. Pengkajian.........................................................................................................................

B. Diagnosa Keperawatan......................................................................................................

C. Intervensi Keperawatan.....................................................................................................

D. Implementasi.....................................................................................................................

Daftar Pustaka .............................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Megakolon atau hirschprungadalah penyakit yang tidak adanya sel-sel ganglion dalam rectum
atau bagian rektosigmoid colon, hal tersebutmenimbulkan keabnormal atau tidak adanya peristaltikserta
tidak adanya evakuasi usus spontan.Penyebab hirsprung atau megacolon itu sendiri belum diketahui
tetapi diduga terjadi karena faktor genetikdan lingkungan, sering terjadi pada anak dengan down
syndrome, kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi, dan sub
mukosa dinding plexsus(Nurarif & Kusuma, 2015).

Menurut WHO (World Health Organization) memperkirakan bahwa sekitar 7% dari seluruh
kematian bayidi dunia disebabkan oleh kelainan kongenital. Di Indonesia tidak diketahui secara pasti,
tetapi berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat
kelahiran 35 permil. Hal tersebutdiprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit
Hirschsprung, hirsprung lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan. Keadaan umum pasien
tampak sakit berat perempuan (1-5) (Corputty dkk, 2015). Di RSPAD khususnya di ruang IKA I
penderita hirsprung termasuk 10 penyakit terbanyak, berdasarkan data 3 bulan terakhir yaitu bulan
Oktober-Desember 2017 didapatkan data jumlah total seluruh pasien yaitu 16 orang (RSPAD, 2017).

Penyakit hirschprungharus dicurigai apabila seorang bayi cukup bulan dengan berat lahir ≥ 3 kg
(penyakit ini tidak bisa terjadi pada bayi kurang bulan) yang terlambat mengeluarkan tinja. Gambaran
klinis pada neonatus adalah pengeluaran mekonium yang terlambat, Diagnosis penyakit
Hirschsprungharus dapat ditegakkan sedini mungkin mengingat berbagai komplikasi yang dapat terjadi
dan sangat membahayakan jiwa pasien seperti enterokolitis, pneumatosis usus, abses perikolon,
perforasi, dan septikimia yang dapat menyebabkan kematian. enterokolitis merupakan komplikasi yang
amat berbahaya sehingga mortalitasnya mencapai 30% apabila tidak ditangani dengan sempurna.
Diagnosis penyakit ini dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan rontgen
dengan enema barium,pemeriksaan manometri, serta pemeriksaan patologi anatomi (Mendri & Prayogi,
2017).

Penatalaksanaan Penyakit Hirschsprungterdiri dari tindakan non bedah dan tindakan bedah.
Tindakan non bedah dimaksudkan untuk mengobati komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi atau
untuk memperbaiki keadaan umum penderita sampai pada saat operasi defenitif dapat dikerjakan.
Tindakan bedah pada penyakit ini terdiri dari tindakan bedah sementara yang bertujuan untuk
dekompresi abdomen dengan cara membuat kolostomi pada kolon yang mempunyai ganglion normal di
bagian distal dan tindakan bedah definitif yang dilakukan antara lain menggunakan prosedur Duhamel,
Swenson, Soave, dan Rehbein (Mendri & Prayogi, 2017).
B. Rumusan Masalah
Bagaimana asuhan keperawatan pada anak dengan Hisprung?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Penulis dapat melaksanakan asuhan keperawatan pada klien dengan Hisprung
2. Tujuan Khusus
a. Penulis dapat melaksanakan pengkajian pada klien Hisprung.
b. Penulis dapat merumuskan diagnosa keperawatan pada klien Hisprung.

c. Penulis dapat merencanakan tindakan asuhan keperawatan pada klien Hisprung.

d. Menambah pengetahuan bagi penulis maupun pembaca tentang hidrosefalus pada anak.

D. Manfaat
1. Bagi Penulis
Menambah wawasan dan pengetahuan dalam menerapkan proses keperawatan dan
memafaatkan ilmu pengetahuan yang diperoleh selama menempuh pendidikan di STIKes Yarsi
Pontianak terutama dalam menerapkan asuhan keperawatan dengan Hisprung.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai tambahan referensi dan acuan dalam memberikan asuhan keperawatan dengan
Hisprung.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian

Penyakit hirschprung atau yang juga disebut dengan megakolon konginetal adalah suatu
kelainan bawaan berupa tidak adanya ganglion pada usus besar, mulai dari sfingter ani interna ke
arah proksimal dan termasuk rectum yang tidak diketahui secara pasti penyebabnya. Gejala yang
muncul pada penderita hirschprung yaitu gangguan pasase usus (PerMenKes, 2017) .Sedangkan
menurut Chhabra S.,dkk (2019), kondisi penyakit hirschprung disebabkan karena kegagalan kolonisasi
usus distal oleh saraf enterik prekursor selama perkembangan embrio pada usia kehamilan minggu ke-5
hingga ke-12.

Pada kondisi normal, otot-otot yang ada di usus akan memeras dan mendorong feses (kotoran)
secara ritmis melalui rektum, namun pada kasuspenyakit hirschsprungsaraf yang mengendalikan otot-
otot ini (sel ganglion) hilang dari bagian usus sehingga tinja tidak dapat didorong melalui usus secara
lancar.Akibat dari kondisi tersebut maka kotoran akan menumpuk di bagian bawah hingga
menyebabkan pembesaran pada usus dan juga kotorandapatmenjadi keras kemudian membuat bayi
tidak dapat BAB(RSUP dr. Sardjito, 2020).Pada bayi baru lahir dengan hirschprung,mekonium
tidak dapat dikeluarkan dalam waktu 24-48 jam setelah kelahiran (Mayo Clinic, 2019).
B. Epidemiologi

Angka kejadian penyakit hirschsprung secara internasional adalah 1:1.500 sampai dengan
1:7.000 kelahiran hidup.Sedangkan insiden penyakit hirschsprung yang terjadi di Indonesia belum
begitu jelas. Jika diperkirakan angka insiden yang dapat terjadi yaitu 1 diantara 5000 kelahiran
hidup, maka dapat diprediksi dengan jumlah penduduk 220 juta dan tingkat kelahiran 35 per juta
kelahiran, akan lahir 1400 bayi setiap tahunnya dengan penyakit hirschsprung. Di RSUPN
Cipto Mangunkusomo Jakarta, ada 20 sampai 40 penderita penyakit Hirschsprung yang dirujuk
setiap tahunnya(PerMenKes, 2017).

Risiko tertinggi terjadinya penyakit Hirschprung biasanya padapasien yang mempunyai


riwayat keluarga penyakit hirschprungdan pada pasien penderita Syndrome Down, sekitar 5-15%
dari pasien dengan penyakit hirschsprung juga memiliki trisomi 21. Kejadian pada bayi laki-laki
lebih banyak dari pada perempuan dengan perbandingan 4:1 dan ada kenaikan insidensi pada
kasus-kasus dengan faktor risiko familial yang rata-rata mencapai 6% (Mustaqqin dan Sari, 2011).

C. Etiologi

Kondisi penyakit hirschsprungdapat disebabkan oleh beberapa faktor menurut Suryandari


(2018), yaitu terdiri dari:

1. Masa kehamilan Terjadinya gangguan pada proses migrasi sel-sel kristaneuralis yang
menyebabkan terjadinya segmen usus yang aganglionik.
2. Penyebab genetik Mutasi genetik adalah salah satu faktor penyebab terjadinya penyakit
hisprung. Mutasigenetik pada Ret proto-onkogen dan sel neurotrofik glial.
3. Kondisi terkait Sindrom Down, 5-15% pasien dengan penyakit hisprung juga mengalami trisomi
21. Sindrom Down adalah kelainan kromosom di mana ada tambahan salinan kromosom
21, dengan karakteristikfitur wajah, cacat jantung bawaan, dan keterlambatan perkembangan anak.

Pada kasus ringan, kondisi hirschprung mungkin tidak terdeteksi sampai masa anak-
anak. Seorang anak lebih berisiko terkena penyakit hirschprung jika ada riwayat genetikdengan
kelainan tersebut. Hirschprung juga sering dikaitkan dengan penyakit sindrom Down. Anak laki-laki
lebih cenderung mengalami penyakit hirschprung daripada anak perempuan (Stanford
Children’s Health, 2016)
D. Manifestasi Klinis

Terdapat beberapa tanda dan gejala yang mungkin muncul pada penderita hirschprung
yaitu(Hockenberry dkk, 2017; Luanne & Haile, 2017):

1. Bayi Baru lahir Ditandai dengan kegagalan mengeluarkan mekonium dalam 24 hingga 48 jam
setelah lahir, penolakan untuk memberi makan, muntah berwarna kehijauan dan terjadi distensi
perut.
2. Masa bayi Ditandai mengalami kegagalan tumbuh/ failureto thrive(FTT),konstipasi, distensi perut,
muntahterus menerus,demamdan diare.
3. Masa anak Ditandai mengalami sembelit, keluar kotoran seperti pita dan berbau busuk, distensi perut,
terjadi peristaltik, teraba masa tinja, penampilan anak kurang gizi dan mengalami anemia.

Komplikasi yang paling serius dan harus diwaspadai akibat dari penyakit hirschsprung
biasanya adalah enterocolitis, prerforasi usus dan sepsis yang merupakan penyebab dari kematian.
Manifestasi yang mungkin muncul pada penyakit hirschsprung dengan komplikasi enterocolitis yaitu
distensi abdomen, demam dengan disertai diare berupa feses cair bercampur mukus dan berbau busuk,
dengan atau tanpa darah dan umumnya berwarna kecoklatan (PerMenKes, 2017).

E. Klasifikasi

Kondisi pada penyakit hirschprung dapat dibedakan menjadi duajenis, yatu terdiri dari:

1. Segmen pendekSegmen pendek aganglionisis dimulai dari anus hingga sigmoid, terjadi sekitar
70% dan sering ditemukan pada laki-laki. Pada tipe segmen pendek yang umum insidennya 5 kali
lebih besar pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan.
2. Segmen panjangDaerah aganglionisis bisa melampaui sigmoid, bahkan bisa mengenai seluruh
kolon. Laki-lakidan perempuan memiliki peluang yang sama.

F. Patofisiologi

Penyakit hirschprung terjadi karena tidak adanya atau kekurangan sel-sel ganglion yang berasal
dari puncak saraf. Pada kondisi normal, neuroblasts ditemukan di usus kecil pada minggu ke-7 kehamilan
dan akan mencapai usus besar pada minggu ke-12 kehamilan. Kemungkinanyang dapat menjadi
penyebabdari penyakit hirschsprung adalah kecacatan dalam migrasi neuroblast sehingga
menyebabkan kegagalan turunnya neuroblast untuk berada di lokasinya yaitu di usus besar. Selain itu,
terjadi kegagalan neuroblas untuk bertahan hidup, berkembang biak juga dapat menyebabkan
gagalnya neuroblast turun kearah usus besar(Imseis dan Gariepy, 2012).Tidak adanya ganglion yang
berada di pleksus auerbach yang terletak pada lapisan otot dan pleksus meissner pada submukosa,
mengakibatkan hipertrofi pada serabut saraf dan terjadinya kenaikan kadar asetilkolinesterase. Enzim ini
merupakan produksi serabut saraf secara spontan dari saraf parasimpatik ganglia otonom dalam
mencegah akumulasi neurotransmiter asetilkolin pada neuromuskular junction. Ganguan inervasi
parasimpatis ini akan menyebabkan incoordinate peristalsis, sehingga mengganggu propulsi isi usus.
Obstruksi yang terjadi secara kronik akan menyebabkan distensi abdomen yang dapat beresiko
terjadinya enterokolitis(PerMenKes, 2017). Kondisi tersebut juga dapat mengakibatkan bagian
proksimal dari daerah transisi terjadi penebalan dan pelebaran dinding usus dengan penimbunan
feses dan gas yang banyak (Wagner, 2018). Anak dengan hirschsprung memiliki risiko kondisi
yang lebih serius seperti radang usus (enterokolitis) atau lubang di dinding usus (perforasi usus) dapat
menyebabkan terjadinya infeksi serius dan mungkin berakibat kematian (NIH, 2019).

G. Pemeriksaan Diagnostic
Menurut PerMenKes(2017), terdapat beberapa pemeriksaan yang dapat dlakukan untuk mendeteksi
penyakit hirschprung, yaitu:
1. Foto Polos Abdomen Foto polos abdomen dapat menyingkirkan diagnosis lain, seperti peritonitis
intrauterin atau perforasi gaster.Foto polos abdomen dapat memperlihatkan loop distensi usus
dengan penumpukan udara di daerah rektum. Pada hasil foto untuk penyakit hirschsprung
pada neonatus cenderung akan menampilkangambaran obstuksi usus letak rendah, meski pada bayi
tidak selalu mudah untuk membedakan antara distensi usus halus dan usus besar.Sedangkan pada
pasien bayi dan anak gambaran distensi kolon dan gambaran massa feses akan lebih jelas
terlihat.Pengambilan foto pada posisi tengkurap kadang-kadang terlihat jelas bayangan udara
dalam rektosigmoid dengan tanda-tanda klasik penyakit Hirschsprung.
2. Barium EnemaPemeriksaan enema barium merupakan pemeriksaan diagnostik terpenting untuk
mendeteksi penyakit hirschsprung. Pemeriksaan enema barium harus dikerjakan pada neonatus
yang mengalami keterlambatan evakuasi mekonium dan disertai dengan distensi abdomen dan
muntahhijau meskipun dengan pemeriksaan colok dubur gejala dan tanda-tanda obstruksi usus telah
mereda atau menghilang.
Tanda-tanda klasik radiografik yang khas untuk penyakit hirschsprung adalah:
a) Segmen sempit dari sfingter anal dengan panjang tertentu.
b) Zona transisi, daerah perubahan dari segmen sempit ke segmen dilatasi.
c) Segmen dilatasi.
Terdapat 3 jenis gambaran zona transisi yang dijumpai pada pemeriksaan barium
enema, yatu:
-Abrupt, perubahan mendadak
-Cone, bentuk seperti corong atau kerucut
-Funnel, bentuk seperti cerobong

Penggunaan water-soluble contrast enema (WSCE) dapat memberikan hasil yang lebih
sensitive dan spesifik untukmendeteksi penyakit hirschprung. Pada pasien dengan perforasi
usus,WSCE juga dapat memberikan hasil yang lebih baik dan bila terjadi ekstravasasi kontras
karena sudah terjadi perforasi usus, tidak akan terjadi resiko seperti ekstravasasi barium
yang sulit dibersihkan dan akan memberikan efek barium staining yang permanen pada
pemeriksaan X-ray dikemudian hari.

3. Foto Retensi Barium


Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas HD, maka dapat dilanjutkan dengan
foto retensi barium, yakni foto setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feces.
Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang membaur dengan feces kearah proksimal
kolon. Sedangkan pada penderita yang bukan Hirschsprung namun disertai dengan obstipasi kronis,
maka barium terlihat menggumpal di daerah rektum dan sigmoid
4. Anal manometri (balon ditiupkan dalam rektum untuk mengukur tekanan dalam rektum)
Sebuah balon kecil ditiupkan pada rektum. Ano-rektal manometri mengukur tekanan dari otot
sfingter anal dan seberapa baik seorang dapat merasakan perbedaan sensasi dari rektum yang
penuh. Pada anak-anak yang memiliki penyakit Hirschsprung otot pada rektum tidak relaksasi
secara normal. Selama tes, pasien diminta untuk memeras, santai, dan
mendorong.Tekanan otot spinkter anal diukur selama aktivitas. Saat memeras, seseorang
mengencangkan otot spinkter seperti mencegah sesuatu keluar. Mendorong, seseorang seolah mencoba
seperti pergerakan usus. Tes ini biasanya berhasil pada anak-anak yang kooperatif dan dewasa.
5. Biopsi rectum
Pemeriksaan jenis ini merupakan tes paling akurat untuk penyakit Hirschsprung. Dokter
mengambil bagian sangat kecil dari rektum untuk dilihat di bawah mikroskop. Anak-anak dengan
penyakit Hirschsprung akan tidak memiliki sel-sel ganglion pada sampel yang diambil. Pada
biopsi hisap, jaringan dikeluarkan dari kolon dengan menggunakan alat penghisap. Karena tidak
melibatkan pemotongan jaringan kolon maka tidak diperlukan anestesi. Jika biopsi menunjukkan
adanya ganglion, penyakit Hirschsprung tidak terbukti. Jika tidak terdapat sel-sel ganglion pada
jaringan contoh, biopsi full-thicknessbiopsi diperlukan untuk mengkonfirmasi penyakit
Hirschsprung. Pada biopsi full-thicknesslebih banyak jaringan dari lapisan yang lebih dalam
dikeluarkan secara bedah untuk kemudian diperiksai di bawah mikroskop. Tidak adanya sel-sel
ganglion menunjukkan penyakit Hirschsprung.
6. Pemeriksaan Genetik
Minimal terdapat 12 gen yang dianggap berperan terhadap terjadinya penyakit hirschsprung, yaitu
RET, GDNF, NRTN, SOX10, EDNRB, EDN3, ECE1, ZFHX1B, TCF4, PHOX2B, KBP1, dan
L1CAM. Namun, mutasi pada gen-gen di atas hanya ditemukan pada 21% pasien penyakit
hirschsprung. Sebaliknya, polimorfisme pada intron 1 gen RET (rs2435357) ditemukan pada
hampir 80% pasien hirschsprung, sehingga polimorfisme ini dianggap sebagai faktor risiko mayor
untuk terjadinya penyakit hirschsprung.

7. Laboratoriuma
a. Kimia Darah : Pada kebanyakan pasien temuan elektrolit dan panel renal biasanya dalam batas
normal. Anak dengan diare memiliki hasil yang sesuai dengan dehidrasi. Pemeriksaan ini dapat
membantu mengarahkan pada penatalaksanaan cairan dan elektrolit.
b. Darah Rutin : Pemeriksaanini dilakukan untuk mengetahui hematokrit dan platelet preoperatif.
c. Profil Koagulasi : Pemeriksaan ini dilakukan untuk memastikan tidak ada gangguan pembekuan
darah yang perlu dikoreksi sebelum operasi dilakukan.

H. Penanganan

Terdapat beberapa tatalaksana dari penyakit hirschsprung yang dapat dilakukab baik secara
medis maupun non medis, yaitu:

1. Dekompresi
Dekompresi dilakukan bila terdapat perut kembung dan muntah berwarna hijau dengan
pemasangan pipa orogaster/nasogaster dan pipa rektum serta dilakukan irigasi feces dengan
menggunakan NaCl 0.9% 10-20 cc/kgBB, bila irigasi efektif dapat dilanjutkan sampai cairan
yang keluar relatif bersih (PerMenKes, 2017).
2. Perbaikan Keadaan Umuma
a) Resusitasi cairan dan koreksi elektrolit
b) Antibiotic spectrum luas untuk mencegah sepsis
c) Rehabilitasi nutrisi (PerMenKes, 2017).
3. Penatalaksanaan Medis
a) Prosedur Penarikan Usus (laparoscopic pull-throught)
Pada prosedur ini dokter akan memotong dan membuang bagian usus besar yang tidak
memiliki saraf, kemudian menyambung usus yang sehat langsung ke anus.
b) Prosedur Swenson
Tujuan swenson pull-through adalah untuk menghilangkan seluruh kolon aganglionik, dengan
end-to-end anastomosis di atas anal sphingter. operasi awalnya dilakukan melalui
laparotomi, dengan anatomosis dilakukan perineum setelah mengalami rektum aganglionik
(Holcomb,2010).
c) Prosedur Soave
Prosedur Soave melibatkan reseksi mukosa dan submukosa rektum dan menarik melalui
ganglion usus normal melalui manset berotot aganglionik rektum. Itu diperkenalkan
pada 1960-an dan awalnya tidak termasuk bergabung secara formal. Itu tergantung pada
pembentukan jaringan parut antara segmen pull-through dan usus aganglionik sekitarnya
(Holcomb,2010).
d) Prosedur Duhamel
Prosedur duhamel adalah tindakan operasi yang memotong usus besar yang tidak memiliki
saraf dan pembuluh darah, lali menyambung usus besara yang memiliki saraf dengan stapler
linear untuk membuat lumen baru(Holcomb,2010).
4. Penatalaksanaan Non Medis
Berikut adalah gaya hidupdan pengobatan rumahan yang dapat digunakan untuk mengatasi
hirschsprung:
a) Memberikan makanan berserat tinggi
Apabila anak makan makanan yang padat, berikan makanan berserat tinggi. Seperti gandum
utuh, buah-buahan dan sayuran serta batasi roti tawar dan makanan berserat rendah
lainnya. Karena peningkatan makanan berserat tinggi secara tiba-tiba dapat memperburuk
sembelit pada awalnya, berikan makanan berserat tinggi secara perlahan.
b) Tingkatkan cairan
Dorong anak untuk minum lebih banyak air. Apabila sebagian atau seluruh usus besar anak
diangkat, anak mungkin akan mengalami kesulitan menyerap cukup air. Minum lebih banyak
air dapat membantu anak tetap terhidrasi, yang dapat membantu meringankan sembelit.
c) Dorong anak untuk aktif secara fisik: Aktivitas aerobik harian dapat membantu buang air
secara rutin.
d) Laksatif
Apabila anak tidak merespon atau tidak dapat mentolerir peningkatan serat, air atau
aktivitas fisik, laksatif tertentu –obat untuk membantu buang air besar-dapat membantu
mengurangi sembelit.

PENGKAJIAN NEONATUS
(usia 0-28 hari)
STIKES YARSI PONTIANAK

DATA BAYI

Nama : By.N

Nama Panggilan : By. N

Tgl Lahir/Umur : 14 Juni 2021

Jenis kelamin : Perempuan

Agama :-

Bahasa yang dipakai :-

Pendidikan : -

Alamat : Jl. Paanglima Ai’m

Telp : +62

Ruang : Bedah

No. Register : 014

Nama Ayah : Amat

Pekerjaan : Petani

Pendidikan : Tidak tamat SD

Nama Ibu : Kirana

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Pendidikan : Tidak tamat SD

Diagnosa Medis : Hisprung

Riwayat Bayi : Tidak BAB selama 7 hari

Apgar Score : -
Usia Gestasi : -

Pemeriksaan Antropometri saat lahir :

Berat Badan : 3400 gr Panjang Badan : 46cm Lingkar Kepala : 32cm

LILA : - Lingkar Dada : - Lingkar Perut :-

Riwayat Ibu :

a. Usia : 18 th
b. Gravida :-
c. Partus :-
d. Abortus :-

Jenis Persalinan :

a. Pervaginum ( √ )
b. Sectio Cesarea ( ) ; Alasan

Komplikasi Kehamilan : Tidak ada (√ ) Ada ( )

Analisa Data

No Data Fokus Etiologi Masalah


1. Ds : - Gangguan Pola Spatis usus dan tidak
Do: Eliminasi BAB adanya daya dorong
 Perut membesar
 Sejak lahir belum BAB
2. Ds : Defisit Nutrisi Ketidakmampuan
 Nafsu minum ASI menurun mencerna makanan
Do :
 Otot menelan lemah
 Membrane mukosa pucat
Sariawan
3. Ds : Usus spastic dan daya Nyeri akut
 Perut kembung dorong tidak ada
 Tidak bab 7 hari
Do: Obstipasi, tidak

 Biasanya tampak Distensi adameconium

abdomen
 Biasanya tampak Obstruksi Distensi abdomen

usus akut hebat


4. Ds : Mual, muntah Defisit pengetahuan
1. Klien mengatakan bahwa
mereka tidak tau apa-apa
tentang penyakit anaknya Nutrisi kurang dari
Do : kebutuhan tubuh
 Ortu klien tampak bertanya
tentang apa yang petugas
kesehatan lakukan . Pembedahan

Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan Pola Eliminasi BAB b.d Spatis usus dan tidak adanya daya dorong
2. Defisit Nutrisi b.d Ketidakmampuan mencerna makanan
3. Nyeri akut b.d prosedur operasi
4. Defisit Pengetahuan b.d Peran menjadi orang tua
Intervensi
No. DX Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Keperawatan
1. Gangguan Pola eliminasi Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2x24 jam klien a. Monitor cairan yang keluar dari
BAB b.dSpatis usus dan tidak tidak mengalami gangguan eliminasi dengan kriteria hasil : kolostomi
adanya daya dorong a. Defekasi normal b. Menentukan cairan yang keluar
b. Tidak distensi abdomen
2. Defisit Nutrisi b.d Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2x24 a. Berikan nutrisi paentral sesuai
Ketidakmampuan mencerna
kebutuhan nutrisi terpenuhi dengan kriteria hasil : kebutuhan
makanan
a. Dapat mentoleransi diet sesusi kebutuhan secara b. Pantau pemasukan makanan
prentral/peroral selama perawatan
c. Pantau/timbang berat badan
3. Nyeri akut b.d prosedur Setelah dilakukannya asuhan keperawatan selama 2x24 jam a. Observasi dan monitoring tanda
kebutuhan rasa nyaman terpenuhi dengan Kriteria Hasil :
operasi skala nyeri
a. Tenang
b. Tidak menangis b. Lakukan teknik pengurangan
c. Tidak mengalami gangguan pola tidur
nyeri seperti teknik pijat
punggung dan sentuhan
c. Kolaborasi dalam pemberian
analgetik apabila dimungkinkan
4. Defisit pengetahuan b.d peran Setelah dilakukannya asuhan keperawatan selama 2x24 jam a. jelaskan pada ibu tantang
diharapkan pengetahuan ibu tentang penyakit anaknya
menjadi orang tua penyakit yang di derita anaknya
bertambah dengan
Kriteria Hasil : b. berikan ibu jadwal pemeriksaan
a. ibu mengungkapkan suatu pemahaman yang baik
diagnostik
tentang proses penyakit ananknya c. berikan informasi tentang
b. ibu memahami terapi yang diprogramkan tim medis
rencana operasi
d. berikan penjelasan pada ibu
tentang perawatan setelah operasi

Implementasi

No Hari/Tanggal Waktu Implementasi Paraf


. Keperawatan
Dx
1 Senin, 21 Juni 2021 08.00 1. Memperkenalkan diri
08.02 2. Menjelaskan tujuan tindakan
08.10 3. Kontrak waktu
08.15 4. Menjelasksan tujuan tindakan
08.20 5. Menulis dan memantau cairan yang
keluar dari kolostomi
08.30 6. Menentukan cairan yang keluar
2 Senin, 21 Juni 2021 09.00 1. Pemberian nutrisi sesuai kebutuhan
09.10 2. Mengukur pemasukan makanan
09.20 3. Timbang berat badan
3 Senin, 21 Juni 2021 09.30 1. Mengukur skala nyeri
09.40 2. Melakukan pemijatan punggung
09.50 3. Menjelaskan teknik relaksasi dan
ditraksi
10.00 4. Kolaborasi pemberian obat
4 Senin, 21 Juni 2021 10.10 1. Menjelaskan pada ibu tentang penyakit
Hisprung yang diderita bayinya.
10.30 2. Penjadwalan pemeriksaan diagnostic.
10.50 3. Memberikan informasi pada ibu tentang
rencana operasi hisprung
11.10 4. Mengajarkan ibu teknik perawatan bayi
setelah operasi
11.30 5. Kontak waktu tindakan lanjut

Evaluasi

No Hari/Tanggal Waktu Catatan Perkembangan Paraf


.
Dx
1 Selasa, 22 Juni 2021 08.40 S : Ibu mengatakan BAB bayi lancar
O:
 Defekasi normal
 Tidak distensi abdomen
A : Gangguan elimnasi teratasi
P : Lanjutan semua Intervensi yang ada dx.1
2 Selasa, 22 Juni 2021 9.50 S : Ibu mengatakan bayi nutrisi terpenuhi
O:
 Dapat mentoleransi diet sesusi kebutuhan
secara prentral/peroral
A. Nutrisi bayi terpenuhi
P : Lanjutan semua Intervensi yang ada dx.2
3 Selasa, 22 Juni 2021 10.30 S: Ibu dapat menjelaskan kembali teknik relaksasi
O:
 Bayi Tenang
 Tidak menangis
 Tidak mengalami pola tidur
A : Masalah nyeri pada bayi teratasi
P : Lanjutan semua Intervensi yang ada dx.3
4 Selasa, 22 Juni 2021 11.30 S : Ibu mengungkapkan suatu pemahaman yang baik
tentang proses penyakit bayinys
O:
 Ibu tampak tenang
A : Masalah Defisit pengetahuan teratasi
P : Lanjutan semua Intervensi yang ada dx.4

Anda mungkin juga menyukai