Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

PNEUMONIA

DISUSUN OLEH :

Clara Erika 841191003

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM

PRODI DIII KEPERAWATAN

PONTIANAK

2021
LAPORAN PENDAHULUAN

PNEUMONIA

A. DEFINISI
Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli)
biasanya disebabkan oleh masuknya kuman bakteri, yang ditandai oleh gejala klinis
batuk, demam tinggi dan disertai adanya napas cepat ataupun tarikan dinding dada
bagian bawah ke dalam. Dalam pelaksanaan Pemberantasan Penyakit ISPA (P2ISPA)
semua bentuk pneumonia baik pneumonia maupun bronchopneumonia disebut
pneumonia (Depkes RI, 2002).
Pneumonia adalah suatu radang paru yang disebabkan oleh bermacam-macam
etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing yang mengenai jaringan paru
(alveoli). (DEPKES. 2006).
Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus
terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli, serta menimbulkan
konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. (Zuh Dahlan. 2006)..
Pneumonia adalah penyakit infeksi akut paru yang disebabkan terutama oleh bakteri;
merupakan penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang paling sering
menyebabkan kematian pada anak dan anak balita (Said 2007).
Dapat disimpulkan pneumonia adalah suatu peradangan yang mengenai parenkim
paru yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan
benda asing yang ditandai oleh gejala klinis batuk, demam tinggi dan disertai adanya
napas cepat ataupun tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam.

B. ETIOLOGI
Pneumonia yang ada di kalangan masyarakat umumnya disebabkan oleh bakteri,
virus, mikoplasma (bentuk peralihan antara bakteri dan virus) dan protozoa.
1. Bakteri
Pneumonia yang dipicu bakteri bisa menyerang siapa saja, dari bayi sampai usia lanjut.
Sebenarnya bakteri penyebab pneumonia yang paling umum adalah Streptococcus
pneumoniae sudah ada di kerongkongan manusia sehat. Begitu pertahanan tubuh
menurun oleh sakit, usia tua atau malnutrisi, bakteri segera memperbanyak diri dan
menyebabkan kerusakan. Balita yang terinfeksi pneumonia akan panas tinggi,
berkeringat, napas terengah-engah dan denyut jantungnya meningkat cepat (Misnadiarly,
2008).
2. Virus
Setengah dari kejadian pneumonia diperkirakan disebabkan oleh virus. Virus yang
tersering menyebabkan pneumonia adalah Respiratory Syncial Virus (RSV). Meskipun
virus-virus ini kebanyakan menyerang saluran pernapasan bagian atas, pada balita
gangguan ini bisa memicu pneumonia. Tetapi pada umumnya sebagian besar pneumonia
jenis ini tidak berat dan sembuh dalam waktu singkat. Namun bila infeksi terjadi
bersamaan dengan virus influenza, gangguan bisa berat dan kadang menyebabkan
kematian (Misnadiarly, 2008).
3. Mikoplasma
Mikoplasma adalah agen terkecil di alam bebas yang menyebabkan penyakit pada
manusia. Mikoplasma tidak bisa diklasifikasikan sebagai virus maupun bakteri, meski
memiliki karakteristik keduanya. Pneumonia yang dihasilkan biasanya berderajat ringan
dan tersebar luas. Mikoplasma menyerang segala jenis usia, tetapi paling sering pada
anak pria remaja dan usia muda. Angka kematian sangat rendah, bahkan juga pada yang
tidak diobati (Misnadiarly, 2008).
4. Protozoa
Pneumonia yang disebabkan oleh protozoa sering disebut pneumonia pneumosistis.
Termasuk golongan ini adalah Pneumocystitis Carinii Pneumonia (PCP). Pneumonia
pneumosistis sering ditemukan pada bayi yang prematur. Perjalanan penyakitnya dapat
lambat dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan, tetapi juga dapat cepat dalam
hitungan hari. Diagnosis pasti ditegakkan jika ditemukan P. Carinii pada jaringan paru
atau spesimen yang berasal dari paru (Djojodibroto, 2009).

Cara Penularan
Pada umumnya pneumonia termasuk kedalam penyakit menular yang ditularkan
melalui udara. Sumber penularan adalah penderita pneumonia yang menyebarkan kuman
ke udara pada saat batuk atau bersin dalam bentuk droplet. Inhalasi merupakan cara
terpenting masuknya kuman penyebab pneumonia kedalam saluran pernapasan yaitu
bersama udara yang dihirup, di samping itu terdapat juga cara penularan langsung yaitu
melalui percikan droplet yang dikeluarkan oleh penderita saat batuk, bersin dan berbicara
kepada orang di sekitar penderita, transmisi langsung dapat juga melalui ciuman,
memegang dan menggunakan benda yang telah terkena sekresi saluran pernapasan
penderita (Azwar, 2002).

Faktor Resiko Penyebab Terjadinya Pneumonia


Banyak faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya pneumonia pada balita
(Depkes, 2004), diantaranya :
a. Faktor risiko yang terjadi pada balita
Salah satu faktor yang berpengaruh pada timbulnya pneumonia dan berat ringannya
penyakit adalah daya tahan tubuh balita. Daya tahan tubuh tersebut dapat dipengaruhi
oleh beberapa hal diantaranya :
1. Status Gizi
Keadaan gizi adalah faktor yang sangat penting bagi timbulya pneumonia. Tingkat
pertumbuhan fisik dan kemampuan imunologik seseorang sangat dipengaruhi adanya
persediaan gizi dalam tubuh dan kekurangan zat gizi akan meningkatkan kerentanan dan
beratnya infeksi suatu penyakit seperti pneumonia (Dailure, 2000).
2. Status Imunisasi
Kekebalan dapat dibawa secara bawaan, keadaan ini dapat dijumpai pada balita umur 5-9
bulan, dengan adanya kekebalan ini balita terhindar dari penyakit. Dikarenakan
kekebalan bawaan hanya bersifat sementara, maka diperlukan imunisasi untuk tetap
mempertahankan kekebalan yang ada pada balita (Depkes RI, 2004). Salah satu strategi
pencegahan untuk mengurangi kesakitan dan kematian akibat pneumonia adalah dengan
pemberian imunisasi. Melalui imunisasi diharapkan dapat menurunkan angka kesakitan
dan kematian penyakit yang dapapat dicegah dengan imunisasi.
3. Pemberian ASI (Air Susu Ibu)
Asi yang diberikan pada bayi hingga usia 4 bulan selain sebagai bahan makanan bayi
juga berfungsi sebagai pelindung dari penyakit dan infeksi, karena dapat mencegah
pneumonia oleh bakteri dan virus. Riwayat pemberian ASI yang buruk menjadi salah
satu faktor risiko yang dapat meningkatkan kejadian pneumonia pada balita (Dailure,
2000).
4. Umur Anak
Umur merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian pneumonia. Risiko
untuk terkena pneumonia lebih besar pada anak umur dibawah 2 tahun dibandingkan
yang lebih tua, hal ini dikarenakan status kerentanan anak di bawah 2 tahun belum
sempurna dan lumen saluran napas yang masih sempit (Daulaire, 2000).
b. Faktor Lingkungan
Lingkungan khususnya perumahan sangat berpengaruh pada peningkatan resiko
terjadinya pneumonia. Perumahan yang padat dan sempit, kotor dan tidak mempunyai
sarana air bersih menyebabkan balita sering berhubungan dengan berbagai kuman
penyakit menular dan terinfeksi oleh berbagai kuman yang berasal dari tempat yang
kotor tersebut (Depkes RI, 2004), yang berpengaruh diantaranya :
1. Ventilasi
Ventilasi berguna untuk penyediaan udara ke dalam dan pengeluaran udara kotor dari
ruangan yang tertutup. Termasuk ventilasi adalah jendela dan penghawaan dengan
persyaratan minimal 10% dari luas lantai. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan
naiknya kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan media untuk
berkembangnya bakteri terutama bakteri patogen (Semedi, 2001).
2. Polusi Udara
Pencemaran udara yang terjadi di dalam rumah umumnya disebabkan oleh polusi di
dalam dapur. Asap dari bahan bakar kayu merupakan faktor risiko terhadap kejadian
pneumonia pada balita. Polusi udara di dalam rumah juga dapat disebabkan oleh karena
asap rokok, kompor gas, alat pemanas ruangan dan juga akibat pembakaran yang tidak
sempurna dari kendaraan bermotor (Lubis, 1989).

C. MANIFESTASI KLINIS
Gejala
Gejala penyakit pneumonia biasanya didahului dengan infeksi saluran napas
atas akut selama beberapa hari. Selain didapatkan demam, menggigil, suhu tubuh
meningkat dapat mencapai 40 derajat celcius, sesak napas, nyeri dada dan batuk dengan
dahak kental, terkadang dapat berwarna kuning hingga hijau. Pada sebagian penderita
juga ditemui gejala lain seperti nyeri perut, kurang nafsu makan, dan sakit kepala
(Misnadiarly, 2008).
Tanda
Menurut Misnadiarly (2008), tanda-tanda penyakit pneumonia pada balita antara lain :
1. Batuk nonproduktif
2. Ingus (nasal discharge)
3. Suara napas lemah
4. Penggunaan otot bantu napas
5. Demam
6. Cyanosis (kebiru-biruan)
7. Thorax photo menujukkan infiltrasi melebar
8. Sakit kepala
9. Kekakuan dan nyeri otot
10. Sesak napas
11. Menggigil
12. Berkeringat
13. Lelah
14. Terkadang kulit menjadi lembab
15. Mual dan muntah

D. PATOFISIOLOGI
Jalan nafas secara normal steril dari benda asing dari area sublaringeal sampai unit
paru paling ujung. Paru dilindungi dari infeksi bakteri dengan beberapa mekanisme:
1. filtrasi partikel dari hidung.
2. pencegahan aspirasi oleh reflek epiglottal.
3. Penyingkiran material yang teraspirasi dengan reflek bersin.
4. Penyergapan dan penyingkiran organisme oleh sekresi mukus dan sel siliaris.
5. Pencernaan dan pembunuhan bakteri oleh makrofag.
6. Netralisasi bakteri oleh substansi imunitas lokal.
7. Pengangkutan partikel dari paru oleh drainage limpatik.
Infeksi pulmonal bisa terjadi karena terganggunya salah satu mekanisme pertahanan
dan organisme dapat mencapai traktus respiratorius terbawah melalui aspirasi maupun
rute hematologi. Ketika patogen mencapai akhir bronkiolus maka terjadi penumpahan
dari cairan edema ke alveoli, diikuti leukosit dalam jumlah besar. Kemudian makrofag
bergerak mematikan sel dan bakterial debris. Sisten limpatik mampu mencapai bakteri
sampai darah atau pleura visceral
Jaringan paru menjadi terkonsolidasi. Kapasitas vital dan pemenuhan paru menurun
dan aliran darah menjadi terkonsolidasi, area yang tidak terventilasi menjadi fisiologis
right-to-left shunt dengan ventilasi perfusi yang tidak pas dan menghasilkan hipoksia.
Kerja jantung menjadi meningkat karena penurunan saturasi oksigen dan hiperkapnia.
(Bennete, 2013)
Secara patologis, terdapat 4 stadium pneumonia, yaitu (Bradley et.al., 2011):
1.    Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang berlangsung
pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan
permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-
mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan.
Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast
juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan
prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas
kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang
interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus.
Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus
ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
2.    Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah,
eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari reaksi
peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya penumpukan
leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah dan pada perabaan
seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak
akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
3.    Stadium III (3-8 hari berikutnya)
Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi
daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh daerah
yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai
diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah
menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
4.    Stadium IV (7-11 hari berikutnya)
Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan
mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga
jaringan kembali ke strukturnya semula.

E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Darah perifer lengkap
Pada pneumonia virus atau mikoplasma, umunya leukosit normal atau sedikit meningkat,
tidak lebih dari 20.000/mm3 dengan predominan limfosit (Sectish and Prober, 2007).
Pada pneumonia bakteri didapatkan leukositosis antara 15.000-40.000/mm3 dengan
predominan sel polimorfonuklear khususnya granulosit. Leukositosis hebat
(30.000/mm3) hampir selalu menunjukkan pneumonia bakteri. Adanya leukopenia
(<5.000/mm3) menunjukkan prognosis yang buruk. Kadang-kadang terdapat anemia
ringan dan peningkatan LED. Namun, secara umum, hasil pemeriksaan darah perifer
lengkap dan LED tidak dapat membedakan infeksi virus dan bakteri secara pasti (Said,
2008)
2. Uji serologi
Uji serologis untuk deteksi antigen dan antibodi untuk bakteri tipik memiliki sensitivitas
dan spesifisitas rendah. Pada deteksi infeksi bakteri atipik, peningkatan antibodi IgM dan
IgG dapat mengkonfirmasi diagnosis (Said, 2008).
3. Pemeriksaan mikrobiologis
Pada pneumonia anak, pemeriksaan mikrobiologis tidak rutin dilakukan, kecuali pada
pneumonia berat yang rawat inap. Spesimen pemeriksaan ini berasal dari usap
tenggorok, sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau aspirasi paru
(Said, 2008). Spesimen dari saluran napas atas kurang bermanfaat untuk kultur dan uji
serologis karena tingginya prevalens kolonisasi bakteri (McIntosh, 2002).
4. Pemeriksaan rontgen toraks
Foto rontgen tidak rutin dilakukan pada pneumonia ringan, hanya direkomendasikan
pada pneumonia berat yang rawat inap. Kelainan pada foto rotgen toraks tidak selalu
berhubungan dengan manifestasi klinis. Kadang bercak-bercak sudah ditemukan pada
gambaran radiologis sebelum timbul gejala klinis, namun resolusi infiltrat seringkali
memerlukan waktu yang lebih lama bahkan setelah gejala klinis menghilang. Ulangan
foto rontgen thoraks diperlukan bila gejala klinis menetap, penyakit memburuk, atau
untuk tindak lanjut. Umumnya pemeriksaan penunjang pneumonia di instalasi gawat
darurat hanyalah foto rontgen toraks posisi AP (Said, 2008).

F. PENATALAKSANAAN MEDIS
Radang paru-paru dapat diobati dengan antibiotik. Itulah yang biasanya ditentukan di
sebuah pusat kesehatan atau rumah sakit , tapi sebagian besar kasus pneumonia masa kecil
dapat diberikan secara efektif di dalam rumah. Rawat inap disarankan pada bayi berusia dua
bulan dan lebih muda, dan juga dalam kasus yang sangat parah(WHO, 2011).
1. Terapi suportif umum:
a. Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 % berdasarkan
pemeriksaan AGD.
b. Humidifikasi dengan nebulizer untuk mengencerkan dahak yang kental.
c. Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak, khususnya dengan clapping dan vibrasi.
d. Pengaturan cairan: pada pasien pneumonia, paru menjadi lebih sensitif terhadap
pembebanan cairan terutama pada pneumonia bilateral.
e. Pemberian kortikosteroid, diberikan pada fase sepsis.
f. Ventilasi mekanis : indikasi intubasi dan pemasangan ventilator dilakukan bila
terjadi hipoksemia persisten, gagal napas yang disertai peningkatan respiratoy
distress dan respiratory arrest.
2. Penatalaksanaan pada Bayi dan Balita
 Untuk bayi dan anak berusia 2 bulan – 5 tahun
a. Pneumonia berat : Bila ada sesak napas harus dirawat dan diberikan
antibiotic.
b. Pneumonia : Bila tidak ada sesak napas tetapi napas cepat tidak per;lu
dirawat namun diberikan antibiotic oral.
c. Bukan Pneumonia : bila tidak ada napas cepat dan sesak napas, tidak perlu
antibiotic, hanya diberikan pengobatan simptomatis seperti penurun panas.
 Untuk bayi berusia dibawah 2 bulan
a. Pneumonia : Bila ada napas cepat atau sesak napas harus dirawat dan
diberikan antibiotic.
b. Bukan Pneumonia : Tidak ada napas cepat atau sesak napas tidak perlu
dirawat, cukup diberikan pengobatan simptomatis.
 Pneumonia rawat jalan
a. Pada pneumonia rawat jalan diberikan antibiotik lini pertama secara oral
misalnya amoksisilin atau kotrimoksazol.
b. Dosis amoksisilin yang diberikan adalah 25 mg/KgBB .
c. Dosis kotrimoksazol adalah 4 mg/kgBB TMP – 20 mg/kgBB
sulfametoksazol).
 Pneumonia rawat inap
a. Pilihan antibiotika lini pertama dapat menggunakan beta-laktam atau
kloramfenikol.
b. Pada pneumonia yang tidak responsif terhadap obat diatas, dapat diberikan
antibiotik lain seperti gentamisin, amikasin, atau sefalosporin.
c. Terapi antibiotik diteruskan selama 7-10 hari pada pasien dengan pneumonia
tanpa komplikasi.
d. Pada neonatus dan bayi kecil, terapi awal antibiotik intravena harus dimulai
sesegera mungkin untuk mencegah terjadinya sepsis atau meningitis.
e. Antibiotik yang direkomendasikan adalah antibiotik spektrum luas seperti
kombinasi beta-laktam/klavunalat dengan aminoglikosid, atau sefalosporin
generasi ketiga.
f. Bila keadaan sudah stabil, antibiotik dapat diganti dengan antibiotik oral
selama 10 hari,
3. Obat – obatan
a. Antibiotik
Antibiotik yang sering digunakan adalah penicillin G. Mediaksi efektif lainnya
termasuk eritromisin, klindamisin dan sefalosporin generasi pertama. Bila penderita
alergi terhadap golongan penisilin dapat diberikan eritromisin 500mg 4 x sehari.
Demikian juga bila diduga penyebabnya mikoplasma (batuk kering). Diberikan
kotrimoksazol 2 x 2 tablet. Dosis anak :
               • 2 – 12 bulan : 2 x ¼ tablet
               • 1 – 3 tahun : 2 x ½ tablet
               • 3 – 5 tahun : 2 x 1 tablet
Tergantung jenis batuk dapat diberikan kodein 8 mg 3 x sehari atau
brankodilator (teofilin atau salbutamol). Pada kasus dimana rujukan tidak
memungkinkan diberikan injeksi amoksisilin dan / atau gentamisin. Pada orang
dewasa terapi kausal secara empiris adalah penisilin prokain 600.000 – 1.200.000 IU
sehari atau ampisilin 1 gram 4 x sehari terutama pada penderita dengan batuk
produktif.
b. Kortikosteroid
Kortikosteroid diberikan pada keadaan sepsis berat.
c. Inotropik
Pemberian obat inotropik seperti dobutamin atau dopamine kadang-kadang diperlukan
bila terdapat komplikasi gangguan sirkulasi atau gagal ginjal pre renal.
d. Terapi oksigen
Terapi oksigen diberikan dengan tujuan untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau
saturasi 95-96 % berdasarkan pemeriksaan analisa gas darah.
e. Nebulizer
Nebulizer digunakan untuk mengencerkan dahak yang kental. Dapat disertai nebulizer
untuk pemberian bronchodilator bila terdapat bronchospasme.
f. Ventilasi mekanis
Indikasi intubasi dan pemasangan ventilator pada pneumonia :
 Hipoksemia persisten meskipun telah diberikan oksigen 100 % dengan
menggunakan masker
 Gagal nafas yang ditandai oleh peningkatan respiratory distress, dengan atau
didapat asidosis respiratorik.
 Respiratory arrest
 Retensi sputum yang sulit diatasi secara konservatif.

G. KOMPLIKASI

a. Abses paru
Abses paru di dalam paru-paru diding tebal, nanah mengisi rongga yang dibentuk
ketika infeksi atau peradangan merusak jaringan paru-paru.

b. Efusi pleural dan empiema


Daerah yang sempit di antara dua selaput pleural secara normal berisi sejumlah kecil
cairan yang membantu melumasi paru-paru. Sekitar 20% pasien yang diopname untuk
radang paru-paru, cairan ini membangun di sekeliling paru-paru. Dalam banyak kasus
terutama pada streptococcus pneumoniae, cairan tetap steril, tetapi ada kalanya dapat
terkena infeksi dan bahkan berisi nanah (suatu kondisi yang disebut empiema).
Radang paru-paru dapat juga disebabkan pleura sehingga terjadi peradangan yang
mana dapat mengakibatkan terganggunya jalan nafas dan sakit yang akut.

c. Kegagalan paru-paru
Udara mungkin memenuhi area antara selaput-selaput pleural yang menyebabkan
pneumothorak atau kegagalan paru-paru. Kondisi bisa berupa suatu kesulitan dari
radang paru-paru (terutama sekali radang paru-paru pneumococcal) atau sebagian dari
prosedur pelanggaran yang digunakan untuk melakukan efusi pleural.
d. Komplikasi radang paru-paru yang lain
Di dalam kasus-kasus yang jarang, infeksi peradangan mungkin dapat menyebar dari
paru-paru ke hati dan dapat menyebar ke seluruh tubuh, kadang-kadang menyebabkan
bisul pada otak dan bagian tubuh atau organ-organ yang lain. Hemoptisis yang parah
(batuk darah) adalah komplikasi radang paru-paru serius yang lain. Selain itu
komplikasi yang lain yaitu perikarditis, meningitis dan atelektasis.

e. Gagal nafas
Kegagalan yang berhubungan dengan pernafasan adalah suatu hal yang
penting-penting yang dapat menyebabkan kematian pada diri pasien dengan radang
paru-paru pneumoccocal. Kegagalan dapat terjadi karena perubahan mekanik dalam
paru-paru yang disebabkan oleh radang paru-paru (kegagalan ventilatory) atau
hilangnya oksigen di dalam nadi ketika radang paru-paru mengakibatkan arus darah
menjadi tidak normal (kegagalan pernapasan hypoxemic).

H. KLASIFIKASI
Menurut Zul Dahlan (2007), pneumonia dapat terjadi baik sebagai penyakit primer
maupun sebagai komplikasi dari beberapa penyakit lain. Secara morfologis pneumonia
dikenal sebagai berikut:
1. Pneumonia lobaris, melibatkan seluruh atau satu bagian besar dari satu atau lebih
lobus paru. Bila kedua paru terkena, maka dikenal sebagai pneumonia bilateral atau
“ganda”.
2. Bronkopneumonia, terjadi pada ujung akhir bronkiolus, yang tersumbat oleh eksudat
mukopurulen untuk membentuk bercak konsolidasi dalam lobus yang berada
didekatnya, disebut juga pneumonia loburalis.
3. Pneumonia interstisial, proses inflamasi yang terjadi di dalalm dinding alveolar
(interstisium) dan jaringan peribronkial serta interlobular.

Pneumonia lebih sering diklasifikasikan berdasarkan agen penyebabnya, virus, atipikal


(mukoplasma), bakteri, atau aspirasi substansi asing. Pneumonia jarang terjadi yang mingkin
terjadi karena histomikosis, kokidiomikosis, dan jamur lain.
1. Pneumonia virus, lebih sering terjadi dibandingkan pneumonia bakterial. Terlihat
pada anak dari semua kelompok umur, sering dikaitkan dengan ISPA virus, dan
jumlah RSV untuk persentase terbesar. Dapat akut atau berat. Gejalanya bervariasi,
dari ringan seperti demam ringan, batuk sedikit, dan malaise. Berat dapat berupa
demam tinggi, batuk parah, prostasi. Batuk biasanya bersifat tidak produktif pada
awal penyakit. Sedikit mengi atau krekels terdengar auskultasi.
2. Pneumonia atipikal, agen etiologinya adalah mikoplasma, terjadi terutama di musim
gugur dan musim dingin, lebih menonjol di tempat dengan konsidi hidup yang padat
penduduk. Mungkin tiba-tiba atau berat. Gejala sistemik umum seperti demam,
mengigil (pada anak yang lebih besar), sakit kepala, malaise, anoreksia, mialgia. Yang
diikuti dengan rinitis, sakit tenggorokan, batuk kering, keras. Pada awalnya batuk
bersifat tidak produktif, kemudian bersputum seromukoid, sampai mukopurulen atau
bercak darah. Krekels krepitasi halus di berbagai area paru.
3. Pneumonia bakterial, meliputi pneumokokus, stafilokokus, dan pneumonia
streptokokus, manifestasi klinis berbeda dari tipe pneumonia lain, mikro-organisme
individual menghasilkan gambaran klinis yang berbeda. Awitannya tiba-tiba, biasanya
didahului dengan infeksi virus, toksik, tampilan menderita sakit yang akut , demam,
malaise, pernafasan cepat dan dangkal, batuk, nyeri dada sering diperberat dengan
nafas dalam, nyeri dapat menyebar ke abdomen, menggigil, meningismus.

Berdasarkan usaha terhadap pemberantasan pneumonia melalui usia, pneumonia dapat


diklasifikasikan:
1. Usia 2 bulan – 5 tahun
a. Pneumonia berat, ditandai secara klinis oleh sesak nafas yang dilihat dengan
adanya tarikan dinding dada bagian bawah.
b. Pneumonia, ditandai secar aklinis oleh adanya nafas cepat yaitu pada usia 2
bulan – 1 tahun frekuensi nafas 50 x/menit atau lebih, dan pada usia 1-5 tahun
40 x/menit atau lebih.
c. Bukan pneumonia, ditandai secara klinis oleh batuk pilek biasa dapat disertai
dengan demam, tetapi tanpa terikan dinding dada bagian bawah dan tanpa
adanya nafas cepat.

2. Usia 0 – 2 bulan
a. Pneumonia berat, bila ada tarikan kuat dinding dada bagian bawah atau nafas
cepat yaitu frekuensi nafas 60 x/menit atau lebih.
b. Bukan pneumonia, bila tidak ada tarikan kuat dinding dada bagian bawah dan
tidak ada nafas cepat.
I. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian

a. Aktivitas/istirahat

Gejala : kelemahan, kelelahan, insomnia


Tanda : letargi, penurunan toleransi terhadap aktivitas.
b. Sirkulasi
Gejala : riwayat adanya
Tanda : takikardia, penampilan kemerahan, atau pucat.
c. Makanan/cairan
Gejala : kehilangan nafsu makan, mual, muntah, riwayat diabetes mellitus
Tanda : sistensi abdomen, kulit kering dengan turgor buruk, penampilan kakeksia
(malnutrisi).

d. Neurosensori
Gejala : sakit kepala daerah frontal (influenza)
Tanda : perusakan mental (bingung)

e. Nyeri/kenyamanan
Gejala : sakit kepala, nyeri dada (meningkat oleh batuk), imralgia, artralgia.
Tanda : melindungi area yang sakit (tidur pada sisi yang sakit untuk membatasi
gerakan)

f. Pernafasan
Gejala : adanya riwayat ISK kronis, takipnea (sesak nafas), dispnea.
Tanda :

a. sputum: merah muda, berkarat

b. perpusi: pekak datar area yang konsolidasi

c. premikus: taksil dan vocal bertahap meningkat dengan konsolidasi

d. Bunyi nafas menurun


e. Warna: pucat/sianosis bibir

g. Keamanan
Gejala : riwayat gangguan sistem imun misal: AIDS, penggunaan steroid, demam.
Tanda : berkeringat, menggigil berulang, gemetar

h. Penyuluhan/pembelajaran
Gejala : riwayat mengalami pembedahan, penggunaan alkohol kronis
Tanda : DRG menunjukkan rerata lama dirawat 6 – 8 hari
Rencana pemulangan: bantuan dengan perawatan diri, tugas pemeliharaan rumah.

Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi
Perlu diperhatikan adanya takipnea dispne, sianosis sirkumoral, pernapasan cuping
hidung, distensi abdomen, batuk semula nonproduktif menjadi produktif, serta nyeri
dada pada waktu menarik napas. Batasan takipnea pada anak berusia 12 bulan – 5
tahun adalah 40 kali / menit atau lebih. Perlu diperhatikan adanya tarikan dinding
dada ke dalam pada fase inspirasi. Pada pneumonia berat, tarikan dinding dada
kedalam akan tampak jelas.
2. Palpasi
Suara redup pada sisi yang sakit, hati mungkin membesar, fremitus raba mungkin
meningkat pada sisi yang sakit, dan nadi mungkin mengalami peningkatan atau
tachycardia.
3. Perkusi
Suara redup pada sisi yang sakit.
4. Auskultasi
Auskultasi sederhana dapat dilakukan dengan cara mendekatkan telinga ke hidung /
mulut anak. Pada anak yang pneumonia akan terdengar stridor. Sementara dengan
stetoskop, akan terdengar suara napas berkurang, ronkhi halus pada sisi yang sakit,
dan ronkhi basah pada masa resolusi. Pernapasan bronchial, egotomi, bronkofoni,
kadang terdengar bising gesek pleura (Mansjoer,2000).
2. Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul
1. Pola nafas tidak efektif b.d proses inflamasi
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d obstruksi mekanis, inflamasi, peningkatan
sekresi, nyeri.
3. Intoleransi aktivitas b.d proses inflamasi, ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen.
4. Risiko tinggi infeksi b.d adanya organisme infektif.
5. Nyeri b.d proses inflamasi
6. Cemas b.d kesulitan bernafas, prosedur dan lingkungan yang tidak dikenal
(rumah sakit).
7. Perubahan proses keluarga b.d penyakit dan atau hospitalisasi anak.

3. Rencana asuhan keperawatan


No Tujuan Intervensi Rasional
Dx

1 Klien menunjukkan  Beri posisi yang  Mengurangi stres pada


fungsi pernafasan nyaman anak dan anak dapat
normal.  Posisikan untuk beristirahat
ventilasi yang  Untuk
Kriteria hasil:
maksimum mempertahankan
pernafasan tetap dalam
(pertahankan terbuka jalan nafas.
batas normal,
peninggian kepala  Untuk menghindari
pernafasan tidak sulit,
sedikitnya 30 derajat) penekanan diafragma.
anak istirahat dan tidur
 Periksa posisi anak  Pakaian yang ketat
dengan tenang.
dengan sering, untuk menghambat
NOC: Perpiratory: memastikan bahwa perkembangan nafas.
airways patency, anak tidak merosot.  Untuk meningkatkan
respiratory status:  Hindari pakaian atau keadekuatan oksigen.
ventilasi. Status vital gedong yang terlalu  Relaksasi dapat
sign. ketat. mengurangi

NIC: Mechanical  Tingkatkan istirahat kecemasan.

ventilatory weaning. dan tidur dengan  Pendidikan kesehatan


penjadualan yang dapat meningkatkan
tepat. pengetahuan tentang
 Dorong teknik teknik meningkatkan
relaksasi. kepatenan jalan nafas.
 Ajarkan pada anak
dan keluarga tentang
tindakan yang
mempermudah upaya
pernafasan (misal:
pemberian posisi
yang tepat).
2 Klien dapar  Posisikan anak pada  Memungkinkan
mempertahankan jalan kesejajaran tubuh ekspansi paru yang
nafas paten. yang tepat. lebih baik dan
 Hisap sekresi jalan perbaikan pertukaran
Kriteria hasil: jalan
nafas sesuai gas, serta mencegah
nafas tetap bersih,
kebutuhan. aspirasi sekresi.
anak bernafas dengan
 Bantu anak dalam  Untuk membersihkan
mudah, pernafasan
mengeluarkan jalan nafas akibat
dalam batas normal.
sputum. hipersekresi.
NOC: Status respirasi:  Beri ekspektoran  Sputum yang keluar
kepatenan jalan nafas. sesuai ketentuan. akan mengurangi efek
hambatan jalan nafas.
NIC: airways  Lakukan fisioterapi

suctioning dada.  Ekspektoran obat


 Puasakan anak. untuk mengencerkan
 Berikan dahak sehingga
penatalaksanaan sputum dapat
nyeri yang tepat. dikeluarkan.

 Bantu anak dalam  Fisioterapi dada


menahan atau membantu
membebat area insisi mengeluarkan sputum
atau cedera  Untuk mencegah
aspirasi cairan (pada
dengan takipnea
hebat).
 Pengurangan nyeri
mengurangi kebutuhan
oksigen.
 Untuk
memaksimalkan efek
batuk dan fisioterapi
dada.
3 Klien  Kaji tingkat toleransi  Tujuannya agar
mempertahankan anak. aktivitas anak sesuai
tingkat energi yang  Bantu anak dalam dengan
adekuat. aktivitas hidup kemampuannya.
sehari-hari yang  Agar tidak terjadi
Kriteria hasil: anak
mungkin melebihi penggunaan energi
mentoleransi
toleransi. yang berlebihan.
peningkatan aktivitas.
 Berikan aktivitas  Untuk mencegah anak
NOC: endurance pengalihan yang dari rasa bosan, dan
sesuai dengan usia, untuk stimulasi
NIC: Menejemen
kondisi, kemampuan, tumbuh kembang.
energi.
dan minat anak.  Untuk menjaga
 Beri periode istirahat keseimbangan
dan tidur yang sesuai oksigenasi dan
dengan usia dan mengurangi konsumsi
kondisi. oksigen yang
 Instruksikan anak berlebihan.
untuk beristirahat jika  Untuk mencegah
lelah. penggunaan oksigen
yang berlebihan.

4 Klien tidak  Pertahankan  Mencegah terjadi


menunjukkan tanda- lingkungan aseptik, potensial komplikasi
tanda infeksi dengan infeksi nosokomial.
sekunder. menggunakan  Untuk mencegah
kateter penghisap penyebaran infeksi
Kriteria hasil: anak
steril dan teknik nosokomial.
menunjukkan bukti
mencuci tangan  Untuk mencegah atau
penurunan gejala yang baik. mengatasi infeksi.
infeksi.  Isolasi anak sesuai  Untuk mendukung
indikasi. pertahanan tubuh
NOC: Risk contol dan
 Beri antibiotik alami.
status imun.
sesuai ketentuan.  Membantu
NIC: Kontrol infeksi  Berikan diit bergizi mengurangi sputum
dan perlindungan sesuai kesukaan yang ada di dalam
infeksi. anak dan kemauan dada.
untuk
mengkonsumsi
nutrisi.
 Ajarkan fisioterapi
dada yang baik.
5 Klien tidak mengalami  Lakukan strategi  Teknik-teknik seperti
nyeri atau penurunan nonfarmakologis relaksasi, nafas dalam,
nyeri/ketidaknyamana untuk membantu dan distraksi dapat
n sampai tingkat yang anak mengatasi membuat nyeri dapat
dapat diterima oleh nyeri. lebih ditoleransi.
anak.  Rencanakan untuk  Maksudnya agar efek
memberikan puncaknya tepat
Kriteria hasil: anak
analgesik yang dengan kejadian nyeri.
tidak mengalami nyeri
ditentukan sebelum  Untuk menghindari
atau tingkat nyeri
prosedur. nyeri tambahan.
dapat diterima dengan
 Berikan analgesik Hindari injeksi i.m
baik.
dengan rute atau i.sc.
NOC: Level traumatik yang  Untuk memudahkan
kenyamanan. paling kecil jika pembelajaran anak
mungkin. dan penggunaan
NIC: Conscious
sedation.  Gunakan strategi strategi toleransi
yang dikenal anak nyeri.
atau gambarkan  Karena orang tua
beberapa strategi adalah orang yang
dan biarkan anak paling mengetahui
memilih salah anaknya.
satunya.  Karena pendekatan ini
 Libatkan rang tua tampak paling efektif
dalam pemilihan pada nyeri ringan.
strategi.  Karena pelatihan
 Ajarkan anak untuk mungkin diperlukan
menggunakan untuk membantu anak
strategi berfokus pada
nonfarmakologis tindakan yang
khusus sebelum diperlukan.
terjadi nyeri atau
sebelum nyeri
menjadi lebih berat.
 Bantu atau minta
orangtua membantu
anak dengan
menggunakan stratei
selama nyeri aktual.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia Tahun 2007. Jakarta: Depkes
RI
Barbara Engram (1998), Rencana Asuhan Keperawatan Medikal – Bedah Jilid I, Peneribit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Bare Brenda G & Smeltzer Suzan C. (2000). Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Vol. 1,
EGC, Jakarta.
Betz, C. L., & Sowden, L. A 2002, Buku saku keperawatan pediatri, RGC, Jakarta.
Carpenito, Lynda Juall.1995.Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktik Klinis.Jakarta :
EGC
Dahlan, Zul. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 2 edisi 4. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Depkes RI 2002, Pedoman penanggulangan P2 ISPA, Depkes RI, Jakarta
Doenges, Marilynn, E. dkk (2000). Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, EGC, Jakarta.
Mansjoer, Arief dkk. (2000). Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius FKUI Jakarta
Misnadiarly. 2008. Penyakit Infeksi Saluran Napas Pneumonia pada Anak, Orang Dewasa,
Usia Lanjut, Pneumonia Atipik & Pneumonia Atypik Mycobacterium. Jakarta: Pustaka
Obor Populer.
Nanda. 2011. Diagnostik keperawatan. Jakarta: penerbit buku kedokteran EGC
Price, Sylvia dan Wilson Lorraine. 2006. Infeksi Pada Parenkim Paru: Patofisiologi Konsep
Klinis dan Proses-proses Penyakit volume 2 edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC

Anda mungkin juga menyukai