Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN

SMALL GROUP DISCUSSION LBM 2


BLOK SISTEM REPRODUKSI II
“ADA DARAH PADA KEHAMILANKU”

DISUSUN OLEH :

Nama : Dinda Amalia Shaleha


NIM/Kelas : 019.06.0022 / A
Kelompok : SGD 2
Tutor : dr. Halia Wanadiatri, M.Si

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR MATARAM
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat-Nya dan dengan kemampuan yang kami miliki, penyusunan makalah SGD
(Small Group Discussion) LBM 2 yang berjudul “Ada Darah Pada
Kehamilanku” dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah ini membahas mengenai hasil SGD lembar belajar mahasiswa
(LBM) 2 yang berjudul “Ada Darah Pada Kehamilanku” meliputi seven jumps
step yang dibagi menjadi dua sesi diskusi. Penyusunan makalah ini tidak akan
berjalan lancar tanpa bantuan dari berbagai pihak, maka dari itu dalam
kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih kepada:
1. dr. Halia Wanadiatri, M.Si. sebagai dosen fasilitator SGD 1 yang
senantiasa memberikan saran serta bimbingan dalam pelaksanaan
SGD.
2. Sumber literatur dan jurnal ilmiah yang relevan sebagai referensi kami
dalam berdiskusi.
3. Keluarga dan Teman sejawat yang kami cintai yang senantiasa
memberikan dorongan dan motivasi.
Mengingat pengetahuan dan pengalaman kami yang terbatas untuk
menyusun makalah ini, maka kritik dan saran yang membangun dari semua pihak
sangat diharapkan demi kesempurnaan makalah ini. Kami berharap semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Mataram, 30 Juni 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................
1.1 Skenario...............................................................................................
1.2 Deskripsi Masalah..............................................................................
BAB II PEMBAHASAN SKENARIO.......................................................
2.1 Proses Fisiologi Fertilisasi ................................................................
2.2 Diagnosa Banding...............................................................................
2.2.1 Abortus ........................................................................................
2.2.2 Kehamilan Ektopik Terganggu (KET) .....................................
2.3 Diagnosis Kerja..................................................................................
BAB III PENUTUP......................................................................................
3.1 Kesimpulan.........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Skenario
"ADA DARAH PADA KEHAMILANKU"
Seorang perempuan berusia 37 tahun, G2P1A0 dengan umur kehamilan 10
minggu dibawa oleh suaminya ke Puskesmas dengan keluhan utama yaitu keluar
darah dari liang vagina sejak tadi malam. Darah berwarna merah segar, tidak ada
gumpalan. Pasien juga merasakan kalau perutnya sangat mules.
Pada saat dilakukan pemeriksaan fisik pada pasien tersebut didapatkan TD :
100/60 mmHg, Suhu 37℃ , N : 85x/menit, RR : 20x/menit. Pada saat dilakukan
VT tidak didapatkan adanya dilatasi serviks. Dokter akan melakukan pemeriksaan
penunjang pada pasien tersebut untuk menegakkan diagnosis.

1.2 Deskripsi Masalah


Berdasarkan pembahasan kelompok kami sesuai dengan skenario,
didapatkan beberapa identifikasi masalah, dalam rangka untuk menentukan apakah
perdarahannya abnormal atau tidak, dan mengetahui apa penyebabnya, kita
ketahui juga memang perdarahan pervaginam pada wanita dapat disebabkan oleh
kelainan hormonal, ini terjadi karena ketidak seimbangan hormonal pemicunya
beragam, seperti stress, diet ketat, penggunaan alat kontrasepsi sampai obat–obat
tertentu seperti maag dan pelangsin. Hal ini dapat menyebabkan hiperplasia
endometrium (penebalan hal ini sangat tidak bagus jika dialami sama ibu yang
sedang mengandung karena dapat menyebabkan keguguran atau biasa disebut
dengan abortus. Selain disebabkan gangguan hormonal, usia juga berpengaruh
sangat besar terhadap kehamilan. Usia tua seperti diatas 35 tahun akan membuat
kekuatan elastis dari otot-otot panggul itu berkurang dan system reproduksinya
pun mengalami kelemahan, sehingga biasanya akan berisiko untuk terjadi
perdarahan pada saat kehamilan atau akan mengalami komplikasi antenatal yang
berujung terjadinya abortus.
Pada pemeriksaan fisik maupun vital sign didapatkan semua masih dalam
batas normal, kecuali tekanan darah terjadi penurunan, dan pada pemeriksaan VT
tidak terdapat dilatasi serviks. Berdasarkan keluhan dan pemeriksaan pada pasien
kami mengumpulkan beberapa diagnosis banding, yaitu abortus dan kehamilan
ektopik.
BAB II
PEMBAHASAN SKENARIO

2.1 Proses Fisiologi Ovulasi-Fertilisasi


Proses ovulasi dimulai dari Fase pra-ovulasi. Pada fase pra-ovulasi
atau akhir siklus menstruasi, hipotalamus mengeluarkan hormon
gonadotropin. Gonadotropin merangsang hipofisis untuk mengeluarkan FSH.
Adanya FSH merangsang pembentukan folikel primer di dalam ovarium yang
mengelilingi satu oosit primer. Folikel primer dan oosit primer akan tumbuh
sampai hari ke-14 hingga folikel menjadi matang atau disebut folikel de Graaf
dengan ovum di dalamnya. Selama pertumbuhannya, folikel juga melepaskan
hormon estrogen. Adanya estrogen menyebabkan pembentukan kembali
(proliferasi) sel-sel penyusun dinding dalam uterus dan endometrium.
Peningkatan konsentrasi estrogen selama pertumbuhan folikel juga
mempengaruhi serviks untuk mengeluarkan lendir yang bersifat basa. Lendir
yang bersifat basa berguna untuk menetralkan sifat asam pada serviks agar
lebih mendukung lingkungan hidup sperma.
Kemudian  Fase Ovulasi. Pada saat mendekati fase ovulasi (dekat hari
ke-14) terjadi perubahan produksi hormon. Peningkatan kadar estrogen selama
fase pra-ovulasi menyebabkan reaksi umpan balik negatif atau penghambatan
terhadap pelepasan FSH lebih lanjut dari hipofisis. Penurunan konsentrasi
FSH menyebabkan hipofisis melepaskan LH. LH merangsang pelepasan oosit
sekunder dari folikel de Graaf. Pada saat inilah disebut ovulasi, yaitu saat
terjadi pelepasan oosit sekunder dari folikel de Graaf dan siap dibuahi oleh
sperma. Umunya ovulasi terjadi pada hari ke-14.
Dan terakhir, Fase pasca-ovulasi. Pada fase ini, folikel de Graaf yang
ditinggalkan oleh oosit sekunder karena pengaruh LH dan FSH akan berkerut
dan berubah menjadi korpus luteum. Korpus luteum tetap memproduksi
estrogen (namun tidak sebanyak folikel de Graaf memproduksi estrogen) dan
hormon lainnya, yaitu progesteron. Progesteron mendukung kerja estrogen
dengan menebalkan dinding dalam uterus atau endometrium dan
menumbuhkan pembuluh-pembuluh darah pada endometrium. Progesteron
juga merangsang sekresi lendir pada vagina dan pertumbuhan kelenjar susu
pada payudara. Keseluruhan fungsi progesteron (juga estrogen) tersebut
berguna untuk menyiapkan penanaman (implantasi) zigot pada uterus bila
terjadi pembuahan atau kehamilan.
Pembuahan atau fertilisasi (singami) adalah peleburan dua gamet yang
dapat berupa nukleus atau sel-sel bernukleus untuk membentuk sel tunggal
(zigot) atau peleburan nukleus. Biasanya melibatkan penggabungan sitoplasma
(plasmogami) dan penyatuan bahan nukleus (kariogami). Dengan meiosis,
zigot itu membentuk ciri fundamental dari kebanyakan siklus seksual
eukariota, dan pada dasarnya gametgamet yang melebur adalah haploid.
Bilamana keduanya motil seperti pada tumbuhan, maka fertilisasi itu disebut
isogami, bilamana berbeda dalam ukuran tetapi serupa dalam bentuk maka
disebut anisogami, bila satu tidak motil (dan biasanya lebih besar) dinamakan
oogami. Hal ini merupakan cara khas pada beberapa tumbuhan, hewan, dan
sebagian besar jamur. Pada sebagian gimnofita dan semua antofita, gametnya
tidak berflagel, dan polen tube terlibat dalam proses fertilisasi.
Peristiwa fertilisasi terjadi di saat sel spermatozoa dilepaskan dan
dapat membuahi ovum di ampula tuba fallopii. Sebanyak 300 juta
spermatozoa diejakulasikan ke dalam saluran genital wanita. Sekitar 1 juta
yang dapat berenang melalui serviks, ratusan yang dapat mencapai tuba fallopi
dan hanya 1 yang dapat membuahi sel telur. Sel spermatozoa mempunyai
rentang hidup sekitar 48 jam (Cambridge, 1998). Sebelum membuahi sel telur,
spermatozoa harus melewati tahap kapasitasi dan reksi akrosom terlebih
dahulu. Kapasitasi merupakan suatu masa penyesuaian di dalam saluran
reproduksi wanita, berlangsung sekitar 7 jam. Selama itu suatu selubung
glikoprotein dari plasma semen dibuang dari selaput plasma yang
membungkus daerah akrosom spermatozoa. Sedangkan reaksi akrosom terjadi
setelah penempelan spermatozoa ke zona pelusida. Reaksi tersebut membuat
pelepasan enzim-enzim yang diperlukan untuk menembus zona pelusida yang
terdapat pada akrosom. Oosit (ovum) akan mencapai tuba satu jam lebih
setelah diovulasikan. Ovum ini dikelilingi oleh korona dari sel-sel kecil dan
zona pelusida yang nantinya akan menyaring sel spermatozoa yang ada
sehingga hanya satu sel yang dapat menembus ovum.
2.2 Diagnosa Banding
Perdarahan pervaginam pada kehamilan muda adalah perdarahan yang
terjadi sebelum kehamilan 22 minggu. World Health Organization (WHO)
IMPAC menetapkan batas usia kehamilan kurang dari 22 minggu, namun
beberapa acuan terbaru menetapkan batas usia kehamilan kurang dari 20
minggu. Kehamilan normal biasanya tidak disertai dengan perdarahan
pervaginam, tetapi terkadang banyak wanita mengalami episode perdarahan
pada trimester pertama kehamilan. Darah yang keluar biasanya segar (merah
terang) atau berwarna coklat tua (coklat kehitaman). Perdarahan yang terjadi
biasanya ringan, tetapi menetap selama beberapa hari atau secara tiba-tiba
keluar dalam jumlah besar.
Terdapat klasifikasi perdarahan pada kehamilan muda, yaitu:
1. Abortus, merupakan suatu proses ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi
sebelum janin dapat hidup di luar kandungan.
2. Kehamilan Ektopik Terganggu (KET), adalah suatu kehamilan yang
berbahaya bagi wanita yang bersangkutan berhubung dengan besarnya
kemungkinan terjadi keadaan yang gawat.
3. Mola hidatidosa, merupakan kehamilan abnormal dimana hampir seluruh
vili korialis mengalami perubahan hidrofik.
Namun berdasarkan pada manifestasi klinis pada skenario, hanya 2
diagnosis banding yang akan dibahas karena lebih mengarah kepada skenario,
yaitu Abortus dan KET.

2.2.1 Abortus
Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum
janin mampu hidup luar kandungan. Batasan abortus adalah umur kehamilan
kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram. Sedang menurut
WHO/FIGO adalah jika kehamilan kurang dari 22 minggu, bila berat janin
tidak diketahui.
Epidemiologi abortus dapat terjadi pada segala usia namun
insidensinya akan meningkat sesuai pertambahan usia. Di Eropa, dilaporkan
angka kejadian abortus berkisar antara 2-5%. [6] Sebesar 9-17% abortus
terjadi pada usia 20-30 tahun,15% abortus terjadi pada usia 30-35 tahun, 20-
25% abortus terjadi pada usia 35-40 tahun. Pada pasien yang berusia 42-45
tahun, angka kejadian abortus mencapai 50%, dimana 80% di antaranya terjadi
pada usia 45 tahun.

Abortus dapat terjadi karena beberapa sebab, yaitu


a. Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi. Kelainan pertumbuhan hasil
konsepsi biasanya menyebabkan abortus pada kehamilan sebelum usia 8
minggu. Faktor yang menyebabkan kelainan ini adalah:
- Kelainan kromosom Kelainan yang sering ditemukan pada abortus
spontan ialah trisomi, poliploidi, kelainan kromosom sex serta
kelainan kromosom lainnya.
- Lingkungan sekitar tempat implantasi kurang sempurna Bila
lingkungan di endometrium di sekitar tempat implantasi kurang
sempurna sehingga menyebabkan pemberian zat-zat makanan pada
hasil konsepsi terganggu.
- Pengaruh dari luar Adanya pengaruh dari radiasi, virus, obat-obat, dan
sebagainya dapat mempengaruhi baik hasil konsepsi maupun
lingkungan hidupnya dalam uterus. Pengaruh ini umumnya dinamakan
pengaruh teratogen.
b. Kelainan pada plasenta Misalnya end-arteritis dapat terjadi dalam vili
korialis dan menyebabkan oksigenasi plasenta terganggu, sehingga
menyebabkan gangguan pertumbuhan dan kematian janin. Keadaan ini
bisa terjadi sejak kehamilan muda misalnya karena hipertensi menahun.
c. Faktor maternal Penyakit mendadak seperti pneumonia, tifus abdominalis,
pielonefritis, malaria, dan lain-lain dapat menyebabkan abortus. Toksin,
bakteri, virus atau plasmodium dapat melalui plasenta masuk ke janin,
sehingga menyebabkan kematian janin dan kemudian terjadilah abortus.
Anemia berat, keracunan, laparotomi, peritonitis umum, dan penyakit
menahun juga dapat menyebabkan terjadinya abortus.
d. Kelainan traktus genitalia Retroversi uteri, mioma uteri, atau kelainan
bawaan uterus dapat menyebabkan abortus.
Pada awal abortus terjadilah perdarahan dalam desidua basalis
kemudian diikuti oleh nekrosis jaringan di sekitarnya. Hal tersebut
menyebabkan hasil konsepsi terlepas sebagian atau seluruhnya, sehingga
menjadi benda asing dalam uterus. Keadaan ini menyebabkan uterus
berkontraksi untuk mengeluarkan isinya. Pada kehamilan kurang dari 8
minggu, hasil konsepsi biasanya dikeluarkan seluruhnya karena villi korialis
belum menembus desidua secara mendalam.
Pada kehamilan antara 8 sampai 14 minggu villi korialis menembus
desidua lebih dalam, sehingga umumnya plasenta tidak terlepas sempurna
yang dapat menyebabkan banyak perdarahan. Pada kehamilan 14 minggu
keatas umumnya dikeluarkan setelah ketuban pecah ialah janin, disusul
beberapa waktu kemudian plasenta. Hasil konsepsi keluar dalam berbagai
bentuk, seperti kantong kosong amnion atau benda kecil yang tidak jelas
bentuknya (blighted ovum), janin lahir mati, janin masih hidup, mola kruenta,
fetus kompresus, maserasi, atau fetus papiraseus.
Patogenesis abortus iminens, proses abortus iminens biasanya
berlangsung secara spontan maupun sebagai komplikasi dari abortus
provokatus kriminalis ataupun medisinalis. Proses terjadinya berawal dari
pendarahan pada desidua basalis yang menyebabkan nekrosis jaringan
diatasnya. Pada abortus iminens nekrosis yang terjadi tidak cukup dalam untuk
menimbulkan pelepasan hasil konsepsi dari dinding uterus.Namun jika tidak
segera ditangani, nekrosis dapat meluas dan menimbulkan inkompetensi
desidua dalam menjaga hasil konseptus

Abortus dapat digolongkan atau di klasifikasikan atas dasar:


a. Abortus Spontan, yaitu :
- Abortus imminens;
- Abortus insipiens;
- Missed abortion;
- Abortus habitualis;
- Abortus infeksiosa & Septik;
- Abortus inkompletus;
- Abortus kompletus.
b. Abortus Provakatus (induced abortion)
- Abortus Medisinalis (abortus therapeutica)
- Abortus Kriminalis
Abortus Spontan
Abortus spontan adalah abortus yang terjadi dengan tidak didahului
faktor-faktor mekanis ataupun medisinalis, semata-mata disebabkan oleh
faktorfaktor alamiah.
a. Abortus Imminens, Merupakan peristiwa terjadinya perdarahan
pervaginam pada kehamilan kurang dari 20 minggu, dimana hasil konsepsi
masih dalam uterus dan tanpa adanya dilatasi serviks. Adanya abortus
imminens terlihat pada gambar. Diagnosis abortus imminens ditentukan
dari Terjadinya perdarahan melalui ostium uteri eksternum dalam jumlah
sedikit; Disertai sedikit nyeri perut bawah atau tidak sama sekali; Uterus
membesar, sesuai masa kehamilannya; Serviks belum membuka, ostium
uteri masih tertutup; dan Tes kehamilan (+).
b. Abortus Insipiens, Merupakan peristiwa perdarahan uterus pada kehamilan
kurang dari 20 minggu dengan adanya dilatasi serviks yang meningkat dan
ostium uteri telah membuka, tetapi hasil konsepsi masih dalam uterus.
Dalam hal ini rasa mules menjadi lebih sering dan kuat, perdarahan
bertambah. Ciri dari jenis abortus ini yaitu perdarahan pervaginam dengan
kontraksi makin lama makin kuat dan sering, serviks terbuka, besar uterus
masih sesuai dengan umur kehamilan dan tes urin kehamilan masih positif.
c. Abortus Inkomplet, Merupakan pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada
kehamilan sebelum 20 minggu dengan masih ada sisa tertinggal dalam
uterus. Perdarahan abortus ini dapat banyak sekali dan tidak berhenti
sebelum hasil konsepsi dikeluarkan. Ciri dari jenis abortus ini yaitu
perdarahan yang banyak disertai kontraksi, kanalis servikalis masih
terbuka, dan sebagian jaringan keluar.
d. Abortus Komplet, terjadi dimana semua hasil konsepsi sudah dikeluarkan.
Pada penderita ditemukan perdarahan sedikit, ostium uteri sebagian besar
telah menutup, dan uterus sudah banyak mengecil. Ciri dari abortus ini
yaitu perdarahan pervaginam, kontraksi uterus, ostium serviks menutup,
dan tidak ada sisa konsepsi dalam uterus.
e. Missed Abortion, Tertahannya hasil konsepsi yang telah mati didalam
rahim selama ≥8 minggu. Ditandai dengan tinggi fundus uteri yang
menetap bahkan mengecil, biasanya tidak diikuti tanda–tanda abortus
seperti perdarahan, pembukaan serviks, dan kontraksi.
f. Abortus Habitualis, Merupakan abortus spontan yang terjadi 3x atau lebih
secara berturut-turut. Pada umumnya penderita tidak sulit untuk menjadi
hamil, tetapi kehamilan berakhir sebelum mencapai usia 28 minggu.
Etiologi abortus habitualis yaitu Kelainan dari ovum atau spermatozoa,
dimana kalau terjadi pembuahan hasilnya adalah pembuahan patologis.
Kesalahan-kesalahan pada ibu yaitu disfungsi tiroid, kesalahan korpus
luteum, kesalahan plasenta, yaitu tidak sanggupnya plasenta menghasilkan
progesteron sesudah korpus luteum atrofi. Ini dapat dibuktikan dengan
mengukur kadar pregnadiol dalam urin. Selain itu juga bergantung pada
gizi ibu (malnutrisi), kelainan anatomis dalam rahim, hipertensi oleh
karena kelainan pembuluh darah sirkulasi pada plasenta/vili terganggu dan
fetus menjadi mati. Dapat juga gangguan psikis, serviks inkompeten, atau
rhesus antagonisme. Dan Kelainan kromosom. Diketahui bahwa adanya
trisomi pada kromosom ke 9, 12, 15, 16, 21, 22 dan X akan menyebabkan
anomali genetik pada kejadian abortus habitualis. Akhir-akhir ini teknik
analisis molekuler membantu dalam mengidentifikasi banyak
polimorfisme genetik bertanggung jawab akan terjadinya abortus
habitualis.
g. Abortus Infeksius & Abortus Septik. Abortus infeksius adalah abortus
yang disertai infeksi pada genitalia bagian atas termasuk endometritis atau
parametritis. Abortus septik juga merupakan komplikasi yang jarang
terjadi akibat prosedur abortus yang aman. Abortus septik adalah abortus
infeksius berat disertai penyebaran kuman atau toksin ke dalam peredaran
darah atau peritonium. Infeksi dalam uterus/sekitarnya dapat terjadi pada
tiap abortus, tetapi biasanya ditemukan pada abortus inkomplet dan lebih
sering pada abortus buatan yang dikerjakan tanpa memperhatikan asepsis
dan antisepsis.
Diagnosis abortus infeksius ditentukan dengan adanya abortus yang
disertai gejala dan tanda infeksi alat genital seperti panas, takikardi,
perdarahan pervaginam yang lama atau bercak perdarahan, discharge
vagina atau serviks yang berbau busuk, uterus lembek, serta nyeri perut
dan pelvis serta leukositosis. Apabila terdapat sepsis, penderita tampak
sakit berat atau kadang menggigil, demam tinggi, dan penurunan tekanan
darah.
Abortus Provokatus
Abortus provokatus adalah abortus yang disengaja, baik dengan
memakai obat-obatan maupun alat-alat. Abortus ini terbagi lagi menjadi :
a. Abortus Medisinalis (abortus therapeutica), adalah abortus karena tindakan
kita sendiri, dengan alasan bila kehamilan dilanjutkan, dapat
membahayakan jiwa ibu (berdasarkan indikasi medis).
b. Abortus Kriminalis Abortus kriminalis adalah abortus yang terjadi oleh
karena tindakantindakan yang tidak legal atau tidak berdasarkan indikasi
medis.

Adapun tanda dan gejalanya, yaitu :


a. Tanda-tanda kehamilan, seperti amenorea kurang dari 20 minggu,
mualmuntah, mengidam, hiperpigmentasi mammae, dan tes kehamilan
positif;
b. Pada pemeriksaan fisik, keadaan umum tampak lemah atau kesadaran
menurun, tekanan darah normal atau menurun, denyut nadi normal atau
cepat dan kecil, serta suhu badan normal atau meningkat;
c. Perdarahan pervaginam, mungkin disertai keluarnya jaringan hasil
konsepsi;
d. Rasa mulas atau keram perut di daerah atas simfisis disertai nyeri pinggang
akibat kontraksi uterus;
e. Pemeriksaan ginekologis:
- Inspeksi vulva: perdarahan pervaginam ada/tidak jaringan hasil
konsepsi, tercium/tidak bau busuk dari vulva.
- Inspekulo: perdarahan dari kavum uteri ostium uteri terbuka atau
sudah tertutup, ada/tidak jaringan keluar dari ostium, serta ada/tidak
cairan atau jaringan berbau busuk dari ostium.
- Colok vagina: porsio masih tebuka atau sudah tertutup serta teraba
atau tidak jaringan dalam kavum uteri, besar uterus sesuai atau lebih
kecil dari usia kehamilan, tidak nyeri saat porsio digoyang, tidak nyeri
pada perabaan adneksa, dan kavum douglas tidak menonjol dan tidak
nyeri.
Kemudian untuk pemeriksaan penunjangnya dilakukan :
a. Laboratorium :
- Darah Lengkap, Kadar hemoglobin rendah akibat anemia hemoragik;
LED dan jumlah leukosit meningkat tanpa adanya infeksi.
- Tes Kehamilan Terjadi penurunan atau level plasma yang rendah dari
β-hCG secara prediktif. Hasil positif menunjukkan terjadinya
kehamilan abnormal (blighted ovum, abortus spontan atau kehamilan
ektopik).
b. Ultrasonografi :
- USG transvaginal dapat digunakan untuk deteksi kehamilan 4 - 5
minggu; Detik jantung janin terlihat pada kehamilan dengan CRL > 5
mm (usia kehamilan 5 - 6 minggu); Dengan melakukan dan
menginterpretasi secara cermat, pemeriksaan USG dapat digunakan
untuk menentukan apakah kehamilan viabel atau non-viabel.

Tatalaksana terdapat farmakologi dan non-farmakologi, yaitu :


a. Abortus imminens
- Istirahat baring agar aliran darah ke uterus bertambah dan rangsang
mekanik berkurang.
- Progesteron 10 mg sehari untuk terapi substitusi dan untuk
mengurangi kerentanan otot-otot rahim.
- Tes kehamilan dapat dilakukan. Bila hasil negatif, mungkin janin
sudah mati.
- Pemeriksaan USG untuk menentukan apakah janin masih hidup.
- Berikan obat penenang, biasanya fenobarbital 3 x 30 m
- Pasien tidak boleh berhubungan seksual dulu sampai lebih kurang 2
minggu.
b. Abortus insipiens
- Bila ada tanda-tanda syok maka atasi dulu dengan pemberian cairan
dan transfusi darah.
- Pada kehamilan kurang dari 12 minggu, yang biasanya disertai
perdarahan, tangani dengan pengosongan uterus memakai kuret
vakum atau cunam abortus, disusul dengan kerokan memakai kuret
tajam. Suntikkan ergometrin 0,5 mg intramuskular.
- Pada kehamilan lebih dari 12 minggu, berikan infus oksitosin 10 IU
dalam dekstrose 5% 500 ml dimulai 8 tetes per menit dan naikkan
sesuai kontraksi uterus sampai terjadi abortus komplet.
- Bila janin sudah keluar, tetapi plasenta masih tertinggal, lakukan
pengeluaran plasenta secara digital yang dapat disusul dengan
kerokan.
- Memberi antibiotik sebagai profilaksis.
c. Abortus inkomplet
- Bila disertai syok karena perdarahan, berikan infus cairan NaCl
fisiologis atau ringer laktat yang disusul dengan ditransfusi darah.
- Setelah syok diatasi, lakukan kerokan dengan kuret lalu suntikkan
ergometrin 0,2 mg intramuskular untuk mempertahankan kontraksi
otot uterus.
- Berikan antibiotik untuk rnencegah infeksi.
d. Abortus komplet
- Bila pasien anemia, berikan hematinik seperti sulfas ferosus atau
transfusi darah.
- Berikan antibiotik untuk mencegah infeksi.
- Anjurkan pasien diet tinggi protein, vitamin, dan mineral.
e. Missed abortion
- Bila terdapat hipofibrinogenemia siapkan darah segar atau fibrinogen.
- Pada kehamilan kurang dari 12 minggu. Lakukan pembukaan serviks
dengan gagang laminaria selama 12 jam lalu dilakukan dilatasi serviks
dengan dilatator Hegar. Kemudian hasil konsepsi diambil dengan
cunam ovum lalu dengan kuret tajam.
- Pada kehamilan lebih dari 12 minggu. Infus intravena oksitosin 10 IU
dalam dekstrose 5% sebanyak 500 ml mulai dengan 20 tetes per menit
dan naikkan dosis sampai ada kontraksi uterus. Oksitosin dapat
diberikan sampai 10 IU dalam 8 jam. Bila tidak berhasil, ulang infus
oksitosin setelah pasien istirahat satu hari.
- Bila tinggi fundus uteri sampai 2 jari bawah pusat, keluarkan hasil
konsepsi dengan menyuntik larutan garam 20% dalam kavum uteri
melalui dinding perut.
f. Abortus infeksius dan septik
- Tingkatkan asupan cairan.
- Bila perdarahan banyak, lakukan transfusi darah.
- Penanggulangan infeksi seperti : Gentamycin 3 x 80 mg dan Penicillin
4 x 1,2 juta, Chloromycetin 4 x 500 mg, Cephalosporin 3 x 1,
Sulbenicilin 3 x 1-2 gram.
- Kuretase dilakukan dalam waktu 6 jam karena pengeluaran sisa-sisa
abortus mencegah perdarahan dan menghilangkan jaringan nekrosis
yang bertindak sebagai medium perkembangbiakan bagi jasad renik.
- Pada abortus septik diberikan antibiotik dalam dosis yang lebih tinggi
misalnya Sulbenicillin 3 x 2 gram.
- Pada kasus tetanus perlu diberikan ATS, irigasi dengan H2O2, dan
histerektomi total secepatnya.
g. Abortus Habitualis
- Memperbaiki keadaan umum, pemberian makanan yang sehat,
istirahat yang cukup, larangan koitus, dan olah raga.
- Merokok dan minum alkohol sebaiknya dikurangi atau dihentikan.
- Pada serviks inkompeten terapinya adalah operatif: Shirodkar atau
Mac Donald (cervical cerclage).

Pencegahan terjadinya abortus ini dapat dilakukan dengan pemeriksaan


rutin antenatal, makan makanan yang bergizi (sayuran, susu, ikan, daging, dan
telur yang disesuaikan), menjaga kebersihan diri terutama didaerah
kewanitaan dengan tujuan untuk mencegah infeksi yang bisa mengganggu
proses implantasi janin. Hindari rokok, karena nikotin mempunyai efek
vasoaktif sehingga menghambat sirkulasi uteroplasenta. Apabila terdapat
anemia sedang berikan tablet sulfas ferosus, dan jika berat lakukan transfuse
darah. Melakukan konseling untuk memberikan dukungan emosional,
menganjurkan penggunaan kontrasepsi pasca keguguran, serta lakukan follow
up setelah 2 minggu. Selain itu, perlu juga pemberian progesteron sediaan oral
maupun per vaginam sering digunakan dalam tata laksana abortus imminens,
embedahan/kuret, wanita hamil yang mengalami abortus imminens harus
bedrest total sampai perdarahannya benar-benar berhenti. Pergerakan atau
aktivitas fisik dapat merangsang terjadinya kontraksi otot-otot rahim. Setelah
perdarahan berhenti, pasien dapat mencoba aktivitas fisik bertahap dari yang
ringan seperti belajar duduk, berdiri kemudian berjalan perlahan-lahan sampai
benar-benar tidak ada perdarahan selama 24 jam ke depan. Terapi suportif
pada wanita hamil yang mengalami perdarahan juga perlu dilakukan oleh
suami dan seluruh anggota keluarga. Hal ini bertujuan untuk mengurangi
faktor stress pada ibu. Serta KIE merupakan hal yang sangat penting didalam
kasus ini dimana yang harus dititik beratkan adalah tentang diagnosis
penyakitnya
Komplikasi yang berbahaya pada abortus ialah perdarahan, perforasi,
infeksi, dan syok.
- Perdarahan, dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari sisa-sisa hasil
konsepsi dan jika perlu pemberian tranfusi darah. Kematian karena
perdarahan dapat terjadi apabila pertolongan tidak diberikan pada
waktunya.
- Perforasi uterus, pada kerokan dapat terjadi terutama pada uterus dalam
posisi hiporetrofleksi. Jika terjadi peristiwa ini, penderita perlu diamat-
amati dengan teliti. Jika ada tanda bahaya, perlu segera dilakukan
laparatomi, dan tergantung dari luar dan bentuk perforasi, penjahitan luka
perforasi atau histerektomi. Perforasi uterus pada abortus yang dikerjakan
oleh orang awam menimbulkan persoalan gawat karena perlukaan uterus
biasanya luas, mungkin juga terjadi perlukaan pada kandung kemih atau
usus. Dengan adanya dugaan atau kepastian terjadinya perforasi,
laparatomi harus segera dilakukan untuk menentukan luasnya cedera,
untuk selanjutnya mengambil tindakan-tindakan seperlunya guna
mengatasi komplikasi.
- Infeksi, dalam uterus atau sekitarnya dapat terjadi pada tiap abortus, tetapi
biasanya ditemukan pada abortus inkompletus dan lebih sering pada
abortus buatan yang dikerjakan tanpa memperhatikan asepsis dan
antisepsis. Apabila infeksi menyebar lebih jauh, terjadilah peritonitis
umum atau sepsis, dengan kemungkinan diikuti oleh syok.
- Syok, pada abortus bisa terjadi karena perdarahan (syok hemoragik) dan
karena infeksi berat (syok endoseptik).
Dan untuk prognosisnya sendiri, umumnya lebih cenderung ke “dubia
ad bonam” atau lebih baik, jika ditangani dengan cara yang baik, cepat dan
tepat. Sebaliknya, jika tidak akan mengarah ke “dubia ad malam” atau lebih
buruk dari sebelumnya.
2.2.2 Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)
Kehamilan ektopik didefinisikan sebagai suatu kehamilan yang
pertumbuhan sel telur yang telah dibuahi tidak menempel pada dinding
endometrium kavum uteri, tetapi biasanya menempel pada daerah
didekatnya. 2,18,19 Kehamilan ekstrauterin tidak sinonim dengan
kehamilan ektopik karena kehamilan pada pars interstitialis tuba dan kanalis
servikalis masih termasuk dalam uterus tetapi jelas bersifat ektopik.
Ada berbagai macam faktor yang dapat menyebabkan kehamilan
ektopik. Namun kehamilan ektopik juga dapat terjadi pada wanita tanpa
faktor risiko. Faktor risiko kehamilan ektopik adalah sebagai berikut:
a. Penggunaan kontrasepsi spiral dan pil progesteron Kehamilan ektopik
meningkat apabila ketika hamil masih menggunakan kontrasepsi spiral
(3-4%). Pil yang hanya mengandung hormon progesteron juga
meningkatkan kehamilan ektopik karena dapat mengganggu pergerakan
sel rambut silia di saluran tuba yang membawa sel telur yang sudah
dibuahi untuk berimplantasi ke dalam rahim.
b. Faktor abnormalitas dari zigot Apabila tumbuh terlalu cepat atau
tumbuh dengan ukuran besar, maka zigot akan tersendat dalam
perjalanan pada saat melalui tuba, kemudian terhenti dan tumbuh di
saluran tuba.
c. Faktor tuba
- Faktor dalam lumen tuba: Endosalpingitis dapat menyebabkan
lumen tuba menyempit atau membentuk kantong buntu akibat
perlekatan endosalping; Pada hipoplasia uteri, lumen tuba sempit
dan berkelok-kelok panjang dapat menyebabkan fungsi silia tuba
tidak berfungsi secara baik; Pascaoperasi rekanalisasi tuba dan
sterilisasi yang tak sempurna.
- Faktor pada dinding tuba: Endometriosis tuba dapat memudahkan
implantasi telur yang dibuahi dalam tuba; Divertikel tuba
kongenital atau ostium assesorius tubae dapat menahan telur yang
dibuahi di tempat itu.
- Faktor di luar dinding tuba, Perlengketan peritubal dengan ditorsi
atau lekukan tuba dapat menghambat perjalanan telur; Tumor yang
menekan dinding tuba dapat menyempitkan lumen tuba.
d. Faktor ovum, Bila ovarium memproduksi ovum dan ditangkap oleh tuba
yang kontralateral, dapat membutuhkan proses khusus atau waktu yang
lebih panjang sehingga kemungkinan terjadinya kehamilan ektopik lebih
besar.
e. Faktor lain Pemakaian IUD dimana proses peradangan yang dapat
timbul pada endometrium dan endosalping dapat menyebabkan
terjadinya kehamilan ektopik.
Adapun manifestasi klinisnya, yaitu gejala dan tanda kehamilan tuba
tergangu sangat berbeda-beda dari perdarahan banyak yang tiba-tiba dalam
rongga perut sampai terdapatnya gejala yang tidak jelas. Gejala dan tanda
bergantung pada lamanya kehamilan ektopik terganggu, abortus atau ruptur
tuba, tuanya kehamilan, derajat perdarahan yang terjadi dan keadaan umum
penderita sebelum hamil.
Diagnosis kehamilan ektopik terganggu pada jenis yang mendadak
atau akut biasanya tidak sulit. Nyeri merupakan keluhan utama pada
kehamilan ektopik terganggu (KET). Pada ruptur tuba, nyeri perut bagian
bawah terjadi secara tiba-tiba dan intensitasnya disertai dengan perdarahan
yang menyebabkan penderita pingsan, tekanan darah dapat menurun dan
nadi meningkat serta perdarahan yang lebih banyak dapat menimbulkan
syok, ujung ekstremitas pucat, basah dan dingin. Rasa nyeri mula-mula
terdapat dalam satu sisi, tetapi setelah darah masuk ke dalam rongga perut,
rasa nyeri menjalar ke bagian tengah atau keseluruh perut bawah dan bila
membentuk hematokel retrouterina menyebabkan defekasi nyeri.
Perdarahan pervaginam merupakan tanda penting kedua pada KET.
Hal ini menunjukkan kematian janin dan berasal dari kavum uteri karena
pelepasan desidua. Perdarahan dari uterus biasanya tidak banyak dan
berwarna coklat tua. Frekuensi perdarahan ditemukan dari 51-93%.
Perdarahan berarti gangguan pembentukan hCG. Yang menonjol ialah
penderita tampak kesakitan, pucat, dan pada pemeriksaan ditemukan tanda-
tanda syok serta perdarahan rongga perut. Pada pemeriksaan ginekologik
ditemukan serviks yang nyeri bila digerakkan dan kavum Douglas yang
menonjol dan nyeri raba. Pada abortus tuba biasanya teraba dengan jelas
suatu tumor di samping uterus dalam berbagai ukuran dengan konsistensi
agak lunak. Hematokel retouterina dapat diraba sebagai tumor di kavum
Douglas.
Kesulitan diagnosis biasanya terjadi pada kehamilan ektopik
terganggu jenis atipik atau menahun. Keterlambatan haid tidak jelas, tanda
dan gejala kehamilan muda tidak jelas, demikian pula nyeri perut tidak
nyata dan sering penderita tampak tidak terlalu pucat. Hal ini dapat terjadi
apabila perdarahan pada kehamilan ektopik yang terganggu berlangsung
lambat. Dalam keadaan yang demikian, alat bantu diagnostik sangat
diperlukan untuk memastikan diagnosis.

2.3 Diagnosis Kerja


Berdasarkan diskusi kelompok kami, untuk menegakkan diagnosis
perlu diberikan beberapa pemeriksaan, yaitu anamnesa, pemeriksaan fisik,
serta pemeriksaan penunjang. Dalam skenario tidak dijelaskan adanya
pemeriksaan penunjang yang dilakukan pasien. Sehingga kami mengambil
kesimpulan untuk menegakan diagnosis berdasarkan gejala dan
pemeriksaan fisik saja. Kelompok kami mengambil diagnosis kerja pasien
yaitu mengalami abortus dengan klasifikasi abortus imniens, yang mana
wanita tersebut mengalami pendarahan pervaginam dengan usia kehamilan
10 minggu, kemudia tidak disertai dengan adanya dilatasi serviks.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pendarahan pervaginam pada masa kehamilan dapat berupa
pendarahan normal jika terjadi ahri hari awal setelah fertilisasi hal ini bias
jadi disebabkan karna adanya proses implantasi. Setelah melewati beberapa
minggu proses fertilasi dan implantasi kemudia terjadi pendarahan maka
harus sangat diwaspadai. Pendarahan pervaginama ketika mengalami
kehamilan dapat disebabkan oleh adanya proses abortus, kehamilan ektopik
serta hamil anggur atau molahidatidosa.
Kelompok kami mengambil diagnosis kerja pasien yaitu abortus
dengan kalsifikasi iminens, hal ini dilihat dari pendarahan yang terjadi
kemudian usia kehamilan 10 minggu serta pemeriksaan fisik yang dimana
tidak didapatkan adanya dilatasi serviks. Abortus adalah berakhirnya
kehamilan sebelum janin dapat hidup di dunia luar, tanpa mempersoalkan
penyebabnya. Bayi baru mungkin hidup di dunia luar bila berat badannya
telah mencapai > 500 gram atau umur kehamilan > 20 minggu. Abortus
iminens merupakan ancaman terjadinya abortus ditandai dengan pendarahan
pervaginam, ostium uteri tertutup dan hasil konsepsi masih baik dalam
kandungan.
DAFTAR PUSTAKA

Abbas, A.K., Aster, J. C., dan Kumar. 2015. Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi
9. Singapura : Elsevier Saunders
Cunningham, F. Gary. 2014. Obstetri Williams Ed. 24 Vol. 1. Jakarta : EGC
Dharma, Sanjaya. 2015. Laporan Kasus Iminens Juni 2015 Faktor Resiko,
Patogenesis dan Penatalaksanaan. Jurnal ISM. Vol. 3. No. 2
Prawirohardjo, Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta : PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo
Sayono, 2015. Faktor Risiko Kejadian Abortus. Jurnal J. Kesehatan Masyarakat
Indonesia. Vol. 10. No. 1
Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, K.Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF. 2014.
Ilmu Penyakit Dalam. Ed. VI, Jilid 1. Jakarta : Interna Publishing.
Sherwood, Lauralee. 2014. Fisiologi Manusia : Dari Sel ke Sistem. Edisi 8.
Jakarta : EGC
S.V. Gaufberg. Early Pregnancy Loss In Emergency Medicine. 2018.

Tortora, GJ, Derrickson, B. 2012. Principle of Anatomy & Physiologi . 13th


edition. United States of America : JohnWiley & Sons, Inc.

Anda mungkin juga menyukai