Anda di halaman 1dari 72

BLOK REPRODUKSI

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
Makassar, 15 Maret 2022

LAPORAN KELOMPOK PBL


“GANGGUAN HAID”
BLOK REPRODUKSI

Tutor :
dr. Febie Irsandy Syahruddin, Sp. Rad
Disusun Oleh :
Kelompok 6A

Mohammad Alif Asy’hari 11020190099


Yusuf Rezchillah 11020190101
Ismu Wiramadani Sarkawi 11020190103
St. Nasrah Syam 11020190105
Erza Anugrah 11020190107
Safirah Alwamiqah Waqqas 11020190109
Yaumil Khair 11020190111
Raihan Aulia Arbani 11020190113
Septyan Wahyu Pambagyo 11020190115
Nining Nurnanengsih 11020190117

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Segala puji kami panjatkan


kepada Allah SWT. yang telah memberi rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat
menyusun Laporan Modul 3 yang berjudul Gangguan Haid. Shalawat serta salam
semoga Allah SWT sampaikan kepada jujungan kita semua yaitu kepada Baginda
Rasulullah SAW yang menjadi tauladan kita semua, juga sebagai motivator kita dalam
menuntut ilmu hingga sampai saat ini.

Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah, akhirnya laporan ini dapat diselesaikan.


Laporan ini merupakan kelengkapan bagi mahasiswa agar dapat mengetahui dan
memahami materi yang telah diberikan. Laporan ini juga diharapkan dapat digunakan
oleh mahasiswa dalam menambah pengetahuannya.

Pada kesempatan ini penyusun ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terima
kasih kepada dr. Febie Irsandy Syahruddin, Sp. Rad yang telah membimbing kami dan
telah bersedia meluangkan waktunya untuk menjadi tutor kami.

Dalam penyusunan laporan ini, kami menyadari bahwa masih jauh dari
kesempurnaan dan banyak kekurangannya baik dari segi teknik penulisan maupun isi
materinya. Oleh karena itu, dengan penuh kerendahan hati, kami mengharapkan
bimbingan dan arahannya yang bersifat membangun demi perbaikan laporan ini.

Akhir kata, dengan segala keterbatasan yang ada, mudah-mudahan laporan ini
dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Amin.

Makassar, 11 Maret 2022


SKENARIO II :

Seorang perempuan, berusia 47 tahun, P3A0, datang ke poliklinik dengan keluhan


haid terus menerus sudah 3 bulan. Saat ini ibu mengeluh pusing. Riwayat haid
sebelumnya teratur.

A. KATA SULIT :
 P3A0 : Paritas 3 (sdh melahirkan 3x), Abortus 0

B. KALIMAT KUNCI :
 Perempuan usia 47 tahun
 P3A0
 Keluhan utama : haid terus-menerus sudah 3 bulan
 Keluhan lain : pusing
 Riwayat haid sebelumnya teratur

C. PERTANYAAN :
1. Jelaskan fisiologi siklus haid !
2. Apa definisi, etiologi dan klasifikasi gangguan haid !
3. Bagaimana patofisiologi terjadinya gangguan haid berdasarkan skenario ?
4. Jelaskan langkah-langkah diagnosis berdasarkan skenario !
5. Apa diagnosis banding berdasarkan skenario ?
- Menoragia
- PUA
- Ca Serviks
6. Bagaimana tatalaksana berdasarkan skenario ?
7. Jelaskan pencegahan dan edukasi terkait skenario !
8. Apa perspektif islam sesuai skenario !
D. JAWABAN PERTANYAAN :
1. Jelaskan fisiologi siklus haid !

Gambar 1. Siklus haid


Saat seorang bayi perempuan lahir, dia memiliki sekitar 450 ribu sel telur yang
disimpan di dalam ovarium yang masing-masing memiliki kantung yang disebut
folikel. Seiring dengan perkembangan menjadi dewasa, tubuh mulai memproduksi
berbagai hormone yang mematangkan sel telur. Hal ini merupakan awal siklus
pertama, dimana siklus ini akan berlangsung dan berakhir pada saat menopause.
Dalam masa kanak-kanak, indung telur masih istirahat, belum berfungsi dengan
baik. Setelah akil balik, maka terjadilah perubahan-perubahan besar pada seluruh
tubuh wanita. Pubertas tercapai pada usia sekitar 12-16 tahun, namun hal ini
diperhatikan oleh keturunan, bangsa, iklim, dan lingkungan. Kedewasaan manusia
ditandai dengan adanya perubahan-perubahan siklik pada alat kandungan sebagai
persiapan untuk kehamilan. Haid merupakan tanda utama pubertas pada seorang
wanita, dan merupakan satu dari berbagai tanda fisik pada seorang anak perempuan
menjadi wanita dewasa.
Masa reproduksi merupakan masa terpenting pada wanita dan berlangsung kira-
kira 33 tahun. Haid pada masa ini paling teratur dan bermakna untuk kemugkinan
kehamilan. Pada wanita yang sehat dan tidak hamil, setiap bulan secara teratur
mengeluarkan darah dari alat kandungannya, dan ini yang disebut haid. Ada yang
menyebutnya mensis, menstruasi, datang bulan, kain kotor, atau period. Haid yang
pertama kali disebut menarke. Setelah masa reproduksi, wanita masuk dalam masa
klimakterium yang terjadi secara berangsur-angsur di mana haid akan menjadi tidak
teratur , lalu akhirnya berhenti sama sekali sesuai dengan lanjutnya usia. Keadaan
ini disebut menopause (stop haid). Dalam proses terjadinya ovulasi harus ada
kerjasama antara korteks serebri, hipotalamus, hipofisis, ovarium, glandula tiroidea,
glandula supra renalis dan kelenjar kelenjar endokrin lainnya, yang memegang
peranan penting dalam proses tersebut adalah hubungan antara hipotalamus,
hipofisis dan ovarium (hyopothalamic-pituitary-ovarian axis).

Siklus Ovarium
Ovarium mengalami perubahan- perubahan dalam besar, bentuk, dan posisinya
sejak bayi dilahirkan hingga masa tua seorang wanita. Disamping itu terdapat
perubahan perubahan yang diakibatkan oleh rangsangan berbagai kelenjar endokrin.
Perubahan pada ovarium utamanya dikontrol oeleh hipofisis anterior yang
memproduksi tiga hormon utama yaitu Follicle Stimulating Hormone (FSH) yang
menstimulasi pertumbuhan folikel. Luteinizing Hormone (LH) yang menstimulasi
ovulasi dan menyebabkan luteinisasi dari sel sel granulosa setelah ovum
dikeluarkan, serta prolaktin yang juga dikeluarkan oleh hipofisis anterior.
1. Fase Folikuler (Pertumbuhan Folikel)
Pada saat seorang anak perempuan lahir masing- masing ovum dikelilingi oleh
selapis sel granulosa, dan ovum dengan selubung sel granulosanya disebut folikel
primordial. Sesudah pubertas bila FSH dan LH dari kelenjar hipofisis anterior mulai
disekresikan dalam jumlah besar, seluruh ovarium bersama dengan folikelnya akan
mulai bertumbuh.
Mula mula sel sel sekeliling ovum yang berlipat ganda, kemudian diantara sel sel
ini timbul sebuah rongga yang berisi cairan yang disebut liquor folliculi. Ovum
sendiri terdesak ke pinggir dan terdapat di tengah tumpukan sel yang menonjol ke
dalam rongga folikel. Tumpukan sel dengan sel telur di dalamnya disebut cumulus
oophorus. Antara sel telur dan sel sekitarnya terdapat zona pelluzida. Sel sel
granulosa lainnya yang membatasi ruang folikel disebut membrane granulosa.
Dengan tumbuhnya folikel, jaringan ovarium sekitar folikel tersebut terdesak keluar
dan membentuk 2 lapisan yaitu theca interna yang banyak mengandung pembuluh
darah dan theca externa yang terdiri dari jaringan ikat yang padat. Folikel yang
matang ini disebut folikel de Graaf . Folikel de Graaf menghasilkan estrogen dimana
tempat pembuatannya terdapat di theca interna. Karena liquor follikuli terbentuk
terus maka tekanan di dalam folikel makin tinggi, tetapi untuk terjadinya ovulasi
bukan hanya tergantung pada tekanan tinggi tersebut melainkan juga harus
mengalami perubahan-perubahan nekrobiotik pada permukaan folikel. Pada
permukaan ovarium sel - sel menjadi tipis hingga pada suatu waktu folikel akan
pecah dan mengakibatkan keluarnya liquor follikuli bersama dengan ovum yang
dikelilingi oleh sel sel cumulus oophorus. Keluarnya sel telur dari folikel de Graaf
disebut ovulasi.
2. Fase Ovulasi
Ovulasi pada wanita yang mempunyai siklus menstruasi normal 28 hari, ovulasi
terjadi 14 hari sesudah terjadinya menstruasi.7 Ovulasi merupakan pelepasan suatu
oosit, yang biasanya terjadi pada hari ke 14, yang merupakan titik tengah siklus rata-
rata. Fase ini hanya memakan waktu 2 atau 3 menit. Peristiwa yang terjadi selama
ovulasi adalah sebagai berikut: Pada hari terakhir atau dua hari sebelum fase
preovulatori, level estrogen sangat tinggi. Estrogen merangsang hipofisis anterior
untuk mensekresi LH dan hipotalamus untuk mengeluarkan GnRH. GnRH akan
lebih menginduksi peningkatan sekresi FSH dan LH oleh hipofisis. Oleh karena itu
level FSH meningkat dalam dua hari terakhir sebelum ovulasi, tapi level LH lebih
meningkat.
LH akan menyebabkan sekresi hormon - hormon steroid folikuler dengan cepat
yang mengandung sejumlah kecil progesteron untuk pertama kalinya. Dalam waktu
beberapa jam akan berlangsung dua peristiwa, keduanya dibutuhkan untuk ovulasi.
teka eksterna (kapsul folikel) mulai melepaskan enzim proteolitik dari lisosim yang
akan melarutkan dinding kapsul dan akibatnya yaitu melemahnya dinding,
menyebabkan makin membengkaknya seluruh folikel. Secara bersamaan juga akan
terjadi pertumbuhan pembuluh darah baru yang berlangsung cepat ke dalam folikel,
dan pada saat yang bersamaan, prostaglandin setempat (hormon yang menyebabkan
vasodilatasi) akan disekresi dalam jaringan folikular. Kedua efek ini selanjutnya
akan menyebakan transudasi plasma ke dalam folikel yang juga berperan dalam
pembengkakan folikel. Akhirnya kombinasi dari pembengkakan folikel dan
degenerasi stigma mengakibatkan pecahnya folikel disertai pengeluaran ovum.
Proses inilah yang dikenal dengan ovulasi.
3. Fase Luteal
Selama beberapa jam pertama sesudah ovum dikeluarkan dari folikel, sel- sel
granulosa dan teka interna yang tersisa berubah dengan cepat menjadi sel lutein.
Diameter sel ini besar, dua kali atau lebih dan terisi dengan inklusi lipid yang
memberi tampilan kekuningan. Proses ini disebut luteinisasi dan seluruh massa dari
sel bersama- sama disebut korpus luteum. Suatu suplai vaskuler berkembang baik
dalam korpus luteum. Perubahan sel – sel granulosa dan sel teka menjadi sel lutein
sangat bergantung pada LH yang di hasilkan oleh kelenjar hipofisis anterior. Sel –
sel granulosa yang terdapat dalam retikulum endoplasma halus yang luas
membentuk sejumlah besar hormon seks wanita progesteron dan estrogen, tetapi
lebih banyak progesteron.
Pecahnya folikel memulai serangkaian morfologis dan perubahan kimia menuju
transformasi ke korpus luteum. Membran basement akan memisahkan granulosa
lutein dan sel teka lutein yang rusak, dan 2 hari setelah ovulasi, pembuluh darah dan
kapiler mengisi lapisan sel granulosa. Selama luteinization, sel-sel ini mengalami
hipertrofi dan meningkatkan kapasitas mereka untuk mensintesis hormon.
Estrogen khususnya dan progesteron dalam jumlah lebih sedikit yang disekresi
oleh korpus luteum selama tahap luteal dari siklus ovarium mempunyai efek umpan
balik yang kuat terhadap kelenjar hipofisis anterior dalam mempertahankan
kecepatan sekresi FSH maupun LH yang rendah. Selain dari itu sel lutein juga
mensekresi sejumlah kecil hormon inhibin yang menghambat sekresi dari kelenjar
hipofisis anterior khususnya FSH. Sebagai akibatnya konsentrasi FSH dan LH
dalam darah turun rendah dan hilangnya hormon ini menyebabkan korpus luteum
berdegenerasi secara menyeluruh, suatu proses yang disebut involusi korpus luteum.
Involusi akhir terjadi pada hampir tepat 12 hari dari masa hidup korpus luteum yang
merupakan hari ke 26 dari siklus wanita normal menjadi apa yang disebut korpus
albikans yang nantinya akan digantikan oleh jaringan ikat 2 hari sebelum menstruasi
mulai. Sekarang, kurangnya sekresi estrogen, progesteron, dan inhibin dari korpus
luteum akan menghilangkan umpan balik halangan dari kelenjar hipofisis anterior,
memungkinkan kelenjar kembali meningkatkan sekresi FSH, dan setelah beberapa
hari kemudian sedikit meningkatkan jumlah LH. FSH dan LH akan merangsang
pertumbuhan Folikel baru untuk memulai siklus ovarium yang baru. Tergantung
apakah terjadi konsepsi (pembuahan) atau tidak, corpus luteum dapat menjadi
corpus luteum graviditatum atau corpus luteum menstruationum. Jika terjadi
konsepsi, corpus luteum dipelihara oleh hormon Chorion Gonadotrophin yang
dihasilkan oleh sinsiotrofoblas dari korion.
Siklus Endometrium
Selama kehidupan reproduksi, endometrium terus-menerus mengalami
perubahan siklik. Setiap siklus umumnya melewati empat tahap yang sesuai dengan
aktivitas hormon ovarium dan dapat diidentifikasi melalui biopsi endometrium atau
pemeriksaan multi hormon. Siklus endometrium terdiri dari 4 fase :
1. Fase menstruasi atau deskuamasi
Kira-kira 2 hari sebelum akhir siklus bulanan korpus luteum tiba-tiba berinvolusi
dan hormon- hormon ovarium estrogen dan progesteron menurun dengan tajam
sampai kadar sekresi yang rendah kemudian terjadilah menstruasi. Menstruasi
disebabkan oleh berkurangnya estrogen dan progesteron secara tiba-tiba terutama
progesteron pada akhir siklus ovarium bulanan. Efek pertama adalah penurunan
rangsangan terhadap sel endmetrium oleh kedua hormon ini diikuti dengan cepat
oleh involusi endometrium menjadi kira- kira 65 % dari ketebalan semula. Pada
masa ini endometrium dilepaskan dari dinding uterus disertai dengan perdarahan.
Hanya lapisan tipis yang tinggal yang disebut dengan stratum basal, stadium ini
berlangsung. 4 hari. Dengan haid itu keluar darah, potongan- potongan
endometrium dan lendir dari serviks. Darah tidak membeku karena adanya fermen
yang mencegah pembekuan darah dan mencairkan potongan potongan mukosa.
Hanya kalau banyak darah keluar maka fermen tersebut tidak mencukupi hingga
timbul bekuan bekuan darah dalam darah haid.
2. Fase post menstruasi atau stadium regenerasi
Luka endometrium yang terjadi akibat pelepasan endometrium secara berangsur
angsur sembuh dan ditutup kembali oleh selaput lendir baru yang tumbuh dari sel
sel epitel kelenjar endometrium. Pada waktu ini tebal endometrium ± 0,5 mm,
stadium sudah mulai waktu stadium menstruasi dan berlangsung ± 4 hari.
3. Fase proliferatif
Fase proliferatif dapat berbeda-beda dalam hal durasi tapi biasanya konsisten
pada masing-masing individu. Dalam fase ini endometrium tumbuh menjadi setebal
± 3,5 mm. Fase ini berlangsung dari hari ke 5 sampai hari ke 14 dari siklus haid.
Fase proliferasi dapat dibagi dalam 3 subfase yaitu :
a. Fase proliferasi awal
Fase proliferatif awal dimulai kira- kira pada hari keempat atau kelima siklus,
tepat sebelum akhir menstruasi, dan berlangsung selama 2-3 hari. Akhir fase ini
bertepatan dengan hari kesembilan siklus haid. Fase ini dikenal dari epitel
permukaan yang tipis dan adanya regenerasi epitel, terutama dari mulut kelenjar.
Kelenjar kebanyakan lurus, pendek dan sempit. Bentuk kelenjar ini merupakan ciri
khas fase proliferasi, sel sel kelenjar mengalami mitosis. Sebagian sediaan masih
menunjukkan suasana fase menstruasi dimana terlihat perubahan perubahan
involusi dari epitel kelenjar yang berbentuk kuboid. Stroma padat dan sebagian
menunjukkan aktivitas mitosis, sel selnya berbentuk bintang dan lonjong dengan
tonjolan tonjolan anastomosis. Nukleus sel stroma relatif besar karena sitoplasma
relatif sedikit.
b. Fase Mieproliferatif
Fase yang midproliferatif bertepatan dengan hari ke-10 siklus. Permukaan
endometrium lebih teratur, kelenjar lebih berkelok-kelok, dan sel-sel kelenjar
pseudostratified. Ketebalan endometrium meningkat.
c. Fase proliferasi akhir
Fase ini berlangsung pada hari ke 11 sampai hari 14. Fase ini dapat dikenal dari
permukaan kelenjar yang tidak rata dan dengan banyak mitosis. Inti epitel kelenjar
membentuk pseudostratifikasi. Stroma bertumbuh aktif dan padat.
4. Fase pramenstrum atau stadium sekresi
Fase ini mulai sesudah ovulasi dan berlangsung dari hari ke 14 sampai ke 28.
Selama sebagian besar separuh akhir siklus bulanan setelah ovulasi terjadi,
progesteron dan estrogen disekresi dalam jumlah yang besar oleh korpus luteum.
Estrogen menyebabkan sedikit proliferasi sel tambahan pada endometrium selama
fase siklus endometrium ini sedangkan progestron menyebabkan pembengkakan
yang nyata dan perkembangan sekretorik dari endometrium. Pada fase ini
endometrium kira kira tebalnya tetap, tetapi bentuk kelenjar berubah menjadi
panjang, berkelok kelok dan mengeluarkan getah yang makin lama makin nyata.
Dalam endometrium telah tertimbun glikogen dan kapur yang kelak diperlukan
sebagai makanan untuk telur yang dibuahi. Memang tujuan perubahan ini adalah
untuk mempersiapkan endometrium menerima telur yang dibuahi. Fase ini dibagi
atas :
1. Fase sekresi dini
Dalam fase ini endometrium lebih tipis daripada fase sebelumnya karena
kehilangan cairan, tebalnya ± 4 – 5 mm. Pada saat ini dapat dibedakan beberapa
lapisan, yaitu :
a. stratum basale, yaitu lapisan endometrium bagian dalam yang berbatasan dengan
lapisan miometrium. Lapisan ini tidak aktif, kecuali mitosis pada kelenjar.
b. stratum spongiosum, yaitu lapisan tengah berbentuk anyaman seperti spons. Ini
disebabkan oleh banyak kelenjar yang melebar dan berkelok- kelok dan hanya
sedikit stroma di antaranya.
c. stratum kompaktum, yaitu lapisan atas yang padat. Saluran saluran kelenjar
sempit, lumennya berisi sekret dan stromanya edema.

2. Fase sekresi lanjut


Endometrium dalam fase ini tebalnya 5 – 6 mm. Dalam fase ini terdapat
peningkatan dari fase sekresi dini, dengan endometrium sangat banyak mengandung
pembuluh darah yang berkeluk keluk dan kaya dengan glikogen. Fase ini sangat
ideal untuk nutrisi dan perkembangan ovum. Sitoplasma sel sel stroma bertambah.
Sel stroma menjadi sel desidua jika terjadi kehamilan.

Referensi :
1. Sherwood, Lauralee. 2019. Fisiologi Manusia : Dari Sel ke Sistem, Edisi 9. Jakarta
: EGC
2. Reed, Beverly G., and Bruce R. Carr. "The normal menstrual cycle and the control
of ovulation." Endotext [Internet]. MDText. com, Inc., 2015.
3. Hendarto, Hendy. 2011. Ilmu Kandungan, Edisi 3. Jakarta: PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.

2. Apa definisi, etiologi, dan klasifikasi gangguan haid ?


Defenisi gangguan haid
Gangguan haid adalah perdarahan haid yang tidak normal dalam hal : panjang
siklushaid, lama haid, dan jumlah darah haid. Melibatkan hipotalamus, hipofisis,
ovarium dan endometrium.
Etiologi dari gangguan haid :
1) Stress
Apabila terjadi peningkatan paparan stress, fungsi reproduksi secara otomatis akan
mengalami penurunan untuk mempertahankan homeostasis tubuh. Mediator utama
sistem stress adalah corticotropin-releasing-hormone (CRH). CRH memiliki
reseptor di berbagai jaringan seperti ovarium. Penigkatan produksi CRH dan
kortisol menyebabkan pembatasan sekresi gonadotropin releasing hormone (GnRH)
dan secara konsekuen turut menurunkan ovulasi. Penurunan ovulasi ini akan
mempengaruhi lama proliferasi dan sekresi sehingga berpengaruh pada lama siklus
menstruasi.
2) Penyakit
Suatu penyakit dapat mempengaruhi siklus menstruasi misalnya, penyakit pada
rahim yaitu, mioma uteri, polip endometrium, endometriosis, penyakit tiroid,
perdarahan uterus disfungsional.
3) Status gizi
Penurunan berat badan akan menyebabkan gangguan pada fungsi ovarium,
tergantung derajat ovarium dan lamanya penurunan berat badan. Kondisi patologis
seperti berat badan yang kurang/kurus dapat menyebabkan amenorrhea. Sedangkan
pada obesitas dapat menyebabkan gangguan siklus menstruasi melalui jaringan
adipose yang secara aktif mempengaruhi rasio hormon estrogen dan progesterone.
4) Aktifitas fisik
Tingkat aktifitas fisik yang sedang dan berat dapat mempengaruhi kerja hipotalamus
yang akan mempengaruhi hormone menstruasi sehingga dapat membatasi siklus
menstruasi.
5) Konsumsi obat-obatan tertentu seperti antidepresan, antipsikotik, tiroid dan
beberapa obat kemoterapi. Hal ini dikarenakan obat-obatan yang mengandung
bahan kimia jika dikonsumsi terlalu banyak dapat menyebabkan sistem hormonal
terganggu, seperti hormone reproduksi.
6) Ketidakseimbangan hormone. Dimana kerja hormon ovarium (estrogen dan
progesterone) bila tidak seimbang akan mempengaruhi siklus menstruasi.
7) Penggunaan alat kontrasepsi
Penggunaan alat kontrasepsi dapat menyebabkan siklus menstruasi menjadi tidak
teratur. Salah satu kontrasepsi yaitu (Intra Uterine Device) IUD dapat menyebabkan
perubahan siklus menstruasi, menstruasi yang lebih lama dan banyak (menoragia),
perdarahan atau spooting antar menstruasi dan darah menstruasi lebih sedikit.
Masalah yang sering di alami oleh akseptor kontrasepsi IUD adalah Menoragia atau
perdarahan yang lebih banyak dan lebih panjang. IUD (Intra Uterine Device),
merupakan suatu benda asing bagi rahim, karena IUD ini berbahan dasar padat,
maka pada saat dinding rahim bersentuhan dengan IUD bisa saja terjadi perlukaan.
Hal inilah yang dapat mengakibatkan keluarnya bercak darah (spotting) di antara
masa menstruasi. Demikian pula ketika masa menstruasi, darah yang keluar menjadi
lebih banyak karena ketika menstruasi, terjadi peluruhan dinding rahim. Proses ini
menimbulkan perlukaan di daerah rahim, sehingga apabila IUD mengenai daerah
tersebut, maka akan menambah volume darah yang keluar pada masa menstruasi
dan lebih lama dari biasanya (menoragia). Gangguan siklus menatruasi ini
merupakan masa adaptasi pada pengguna IUD. Dimana adaptasi merupakan suatu
proses perubahan yang menyertai individu dalam merespon benda asing yang ada
pada dirinya. Masa adaptasi setelah pemasangan IUD ini maksimal berlangsung
umumnya 3 bulan pertama yang ditandai dengan spotting atau timbulnya bercak-
bercak darah meskipun bukan masa menstruasi serta volume darah lebih banyak dan
masa menstruasi lebih panjang (menoragia).
Klasifikasi gangguan haid digolongkan dalam :
Kelainan siklus haid (N=21-35hr):
• Polimenore (sering) jika haid terjadi kurang 21 hari
• Oligomenore (jarang) jika haid terjadi lebih dari 35 hari
• Amenore (tidak haid) → jika haid tidak terjadi selama 3 bln berturut–turut
Kelainan banyaknya haid (Normalnya darah haid = ±90ml):
• Hipermenore (banyak) jika darah haid lebih 90 ml per siklus
• Hipomenore (sedikit) jika darah haid kurang dari 30 ml siklus
Kelainan lama haid (Normalnya lama haid 3– 7 hari):
• Menoragi (memanjang) jika lama haid lebih 7 hari
• Brakimenore (memendek) jika lama haid kurang dari 3 hari
Gangguan lain berhubungan dengan haid :
• Metroragi (haid diluar siklus)
• Dismenore (nyeri bila haid)
• Premenstrual tension (ketegangan haid)

Referensi :
1. WN panjang. Pendarahan Vagina Tidak Normal. Dalam: Walker HK, Hall
WD, Hurst JW, editor. Metode Klinis: Anamnesis, Pemeriksaan Fisik, dan
Laboratorium. edisi ke-3. Boston: Butterworth; 1990. Bab 173. Tersedia
dari: https://www-ncbi-nlm-nih-
gov.translate.goog/books/NBK282/?_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id
&_x_tr_pto=sc
3. Bagaimana patofisiologi terjadinya gangguan haid berdasarkan scenario ?

Di negara maju, rata-rata wanita mengalami 400 siklus berulang dari


perdarahan menstruasi bulanan dengan pelepasan lapisan fungsional
endometrium superfisialnya. Pada sebanyak 20-30% wanita, perdarahan ini
berlebihan dan disebut perdarahan menstruasi berat (HMB). Terlepas dari
gejala fisik anemia (kelelahan, lesu dan dispnea saat beraktivitas), HMB dapat
mengganggu kehidupan normal sehari-hari dan dapat mempengaruhi
kesejahteraan sosial dan emosional wanita, sehingga mengurangi produktivitas
mereka di masyarakat.

Karakteristik menstruasi berubah sepanjang umur reproduksi, dengan


populasi rata-rata panjang siklus menstruasi dan variabilitas menurun seiring
dengan usia wanita dari 20 hingga 40 tahun. Sebelum menopause, variabilitas
populasi dalam panjang siklus menstruasi meningkat dengan transisi ke
menopause yang ditandai dengan peningkatan frekuensi siklus yang sangat
panjang dan sangat pendek. Siklus menstruasi yang semakin lama umumnya
menandakan kedekatan dengan periode menstruasi terakhir (FMP).Ciri lain dari
transisi menopause adalah perubahan jumlah dan durasi aliran menstruasi.
Konsisten dengan data tentang hubungan antara estradiol tinggi (E2) dan
peningkatan kehilangan darah, Kehilangan darah menstruasi lebih dari 200 mL
dikaitkan dengan siklus ovulasi dengan kadar E2 yang tinggi, serta dengan
transisi menopause yang terlambat itu sendiri.

Pendarahan menstruasi yang normal tergantung pada keterpaparan


berurutan dari estrogen-primed endometrium terhadap estrogen dan
progesteron, diikuti oleh penarikan progesteron pada akhir siklus
menstruasi. Setiap ketidakteraturan endokrin yang mencegah kejadian
berurutan ini berpotensi menyebabkan HMB.
Dasar pelaksanaan perdarahan pada keadaan ini adalah disfungsi
ovulasi. Tidak adanya ovulasi karena tidak terbentuk korpus luteum yang
menyebabkan berkurangnya sekresi progesteron, sedangkan produksi estrogen
yaitu estradiol berlebihan akan menimbulkan rangsangan pada endometrium
secara terus menerus. Tanpa diproduksinya progesteron, maka endometrium
akan berproliferasi dan endometrium menjadi mengandung banyak pembuluh
darah, tanpa ditunjang stroma yang cukup sehingga endometrium menjadi
rapuh sehingga menyebabkan perdarahan endometrium atau perdarahan pada
uterus yang berat dan terus menerus.

Referensi :

 Walker MH, Coffey W, Borger J. Menoragia. [Diperbarui 2022 Februari 5]. Di:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): Penerbitan StatPearls; 2022 Jan-. Tersedia
dari: https://www-ncbi-nlm-nih-
gov.translate.goog/books/NBK536910/?_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_t
r_pto=sc
 Hapangama, DK, & Bulmer, JN (2016). Patofisiologi perdarahan menstruasi
berat. Kesehatan wanita (London, Inggris) , 12 (1), 3–
13. https://doi.org/10.2217/whe.15.81
4. Jelaskan Langkah – Langkah diagnosis berdasarkan scenario !
- Anamnesis
1. Identitas pasien: perempuan 47 tahun
2. Sejak kapan keluhan dialami: 3 bulan
3. Seberapa sering keluhan dirasakan: Terus menerus
4. Riwayat menstruasi sebelumnya: teratur
5. Apakah disertai rasa nyeri: -
6. Riwayat obstetric: -
Perlu diketahui riwayat kehamilan sebelumnya, apakah pernah mengalami
keguguran, partus secara spontan normal atau partus dengan tindakan, dan
bagaimana keadaan anaknya. Adakah infeksi nifas dan riwayat kuretase
yang dapat menjadi sumber infeksi panggul dan kemandulan.

1. Riwayat ginekologik: -
2. Riwayat penyakit/ kelainan ginekologik dan pengobatannya, khususnya
operasi yang pernah dialami.
3. Riwayat keluarga berencana: -
4. Riwayat pemakaian alat kontrasepsi: -
apakah pasien sebelumnya pernah menggunakan kontrasepsi alami dengan
atau tanpa alat, hormonal, non hormonal.

1. Apakah ada riwayat keluarga tentang gangguan perdarahan: -


2. Riwayat penyakit sebelumnya: -
3. Riwayat pengobatan: -

- Pemeriksaan fisik

1. Pemeriksaan abdomen hati dan limpa (apakah terjadi pembesaran)


2. Pemeriksaan vagina (adanya tanda perdarahan atau infeksi)
3. Pemeriksaan serviks (mis:nyeri serviks)
4. Pemeriksaan uterus (ukuran, bentuk, dan kontur)
5. Adanya tanda deplesi volume (anemia)
6. Tanda-tanda gangguan perdarahan seperti ekimosis, purpura, gusi yang
berdarah
7. Tanda-tanda kelebihan androgen seperti hirsutisme
8. Pemeriksaan pelvis
9. Pemeriksaan ginekologi
Pemeriksaan ginekologi yang teliti perlu dilakukan termasuk pemeriksaan
Pap‟s smear dan harus disingkirkan kemungkinan adanya mioma uteri,
polip, hiperplasia endometrium atau keganasan. Pemeriksaan ini juga
dilakukan untuk menyingkirkan kelainan organic yang dapat menyebabkan
perdarahan uterus abnormal, misalnya mioma uteri, polip serviks, ulkus,
trauma, erosi, tumor, atau keganasan. Sering sekali evaluasi untuk
menentukan diagnosis tumpang tindih dengan penanganan yang dilakukan
pada perdarahan uterus abnormal.

1. Penilaian ovulasi
Konfirmasi ovulasi dapat dilakukan dengan pemeriksaan progesteron
serum atau USG transvaginal bila diperlukan.

1. Penilaian endometrium
Pengambilan sampel endometrium hanya dilakukan pada :

1. Perempuan umur > 45 tahun

2. Terdapat faktor risiko genetic

3. USG transvaginal menggambarkan penebalan endometrium kompleks


yang merupakan faktor risiko hiperplasia atipik atau kanker endometrium.

4. Terdapat faktor risiko diabetes melitus, hipertensi, obesitas, nullipara


5. Perempuan dengan riwayat keluarga nonpolyposis colorectar cancer
memiliki risiko kanker endometrium sebesar 60% dengan rerata umur saat
diagnosis antara 48-50 tahun.

- Pemeriksaan penunjang :

Pengujian laboratorium untuk evaluasi pasien dengan perdarahan uterus abnormal akut

Evaluasi laboratorium Tes laboratorium khusus

Pemeriksaan laboratorium awal Hitung darah lengkap

Golongan darah dan kecocokan silang

Tes kehamilan

Evaluasi laboratorium awal untuk Waktu tromboplastin parsial

gangguan hemostasis Waktu protrombin

Waktu tromboplastin parsial teraktivasi

Fibrinogen

Pengujian awal untuk von Willebrand Antigen faktor von Willebrand

Penyakit Uji kofaktor ristocetin

Faktor VIII

Tes laboratorium lain yang perlu dipertimbangkan Hormon perangsang tiroid

Besi serum, kapasitas pengikatan besi


total, dan feritin

Tes fungsi hati

Chlamydia trachomatis

Wanita dewasa yang menerima hasil positif untuk risiko gangguan perdarahan atau
yang memiliki inisial abnormal , Hasil tes laboratorium untuk gangguan hemostasis
harus menjalani pengujian untuk penyakit von Willebrand. Remaja dengan menstruasi
berat sejak menarche yang datang dengan perdarahan uterus abnormal akut juga harus
menjalani pengujian untuk penyakit von Willebrand. Konsultasi dengan ahli
hematologi dapat membantu dalam menafsirkan hasil tes ini. Jika salah satu dari
penanda ini adalah abnormal rendah, ahli hematologi harus dikonsultasikan.

Pemeriksaan anomali/kelainan struktur dimaksudkan untuk mencari adanya polip dan


leiomioma uteri.Untuk kecurigaan anomali struktur diperlukan pemeriksaan USG
transvagina, dan bila hasilnya positif mendukung adanya anomali struktur maka
sebaiknya dilanjutkan dengan pemeriksaan saline infus sonografi atau histeroskopi.
Bila diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan MRI untuk melengkapi data penyebab
perdarahan uterus abnormal.

Pemeriksaan darah lengkap

Untuk mengetahui apakah pasien mengalami kekurangan zat besi atau terjadi anemia
dan kondisi lainnya seperti kelainan tiroid atau kelainan pembekuan darah.

Pap smear

Untuk mengetahui apakah terdapat peradangan atau perubahan yang mungkin bersifat
kanker atau dapat menyebabkan kanker.

Biopsi endometrium

Apakah terdapat gangguan pada endometrium dengan mengambil sampel jaringan dari
bagian dalam rahim untuk diperiksa oleh ahli patologi. Pengambilan sampel jaringan
endometrium mungkin tidak diperlukan untuk semua wanita dengan abnormal uterus
bleeding tetapi dilakukan pada wanita yang berisiko tinggi mengalami hiperplasia atau
keganasan. Biopsi endometrium dianggap sebagai tes lini pertama pada wanita berusia
45 tahun atau lebih. Pengambilan sampel endometrium juga harus dilakukan pada
wanita yang berusia di bawah 45 tahun dengan paparan estrogen tanpa lawan, seperti
wanita dengan obesitas atau sindrom ovarium polikistik (PCOS), serta kegagalan
pengobatan atau perdarahan yang terus-menerus.
Ultrasonografi transvaginal (USG)

merupakan alat investigasi yang paling tidak invasif untuk menilai panggul wanita
dengan menoragia, metode ini menggunakan gelombang suara untuk menghasilkan
gambar rahim, ovarium, dan panggul untuk melihat kondisi rahim, mulut rahim,
saluran telur, dan indung telur pasien sehingga mengetahui apabila terjadi gangguan.
Pemeriksaan sonografi khususnya USG Transvaginal dapat memperlihatkan gambaran
endometrium sesuai dengan tingkat perkembangannya.

Gambaran myoma uteri

Gambaran polip endometrium

Gambaran hyperplasia endometrium


Sonohisterografi (saline-infusion sonography)

Pada tes ini, cairan disuntikkan melalui tabung ke dalam rahim melalui miss V dan
leher rahim, kemudian menggunakan USG untuk mencari masalah yang terjadi pada
lapisan rahim.

Indikasi dilakukan SIS antara lain

 Kelainan endometrium : polip endometrium, hiperplasia endometrium, kanker


endometrium, mioma uteri, adhesi/sinekia
 Tes patensi tuba pada kasus infertilitas
 Abortus berulang
 Kelainan kongenital uterus misalnya : septum uterus, uterus bikornis, uterus
dupleks

Sementara itu SIS merupakan kontraindikasi pada keadaan

 Hamil
 Penyakit radang panggul (PRP)
 Akseptor IUD
 Hematometra
 Obstruksi : stenosis serviks atau vagina

American Institute of Ultrasound in Medicine (AIUM) menganjurkan SIS pada wanita


yang belum menopause dilakukan segera setelah menstruasi, selama fase proliferatif,
tidak lebih dari hari ke -10. SIS paling optimal dilakukan pada hari ke-4, 5 atau 6
setelah sikus menstruasi karena dengan endometrium dalam keadaan paling tipis,
diharapkan dapat diketahui patologi dalam kavum uteri secara lebih jelas. pada wanita
postmenopause dengan perdarahan abnormal, pemeriksaan SIS dapat dilakukan kapan
saja.

Gambaran kavum uteri normal pada SIS

Gambaran multiple polip a) dengan SIS b) dengan color doppler

Gambaran hiperplasia endometrium pada SIS


Gambaran kanker endometrium pada SIS

Histeroskopi

Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara memasukkan alat tipis berupa selang khusus
kecil berkamera melalui vagina kedalam rahim untuk melihat kondisi bagian dalam
rahim. Histeroskopi merupakan suatu prosedur endoskopik untuk mendapatkan
visualisasi langsung kanalis endoservikalis dan kavum uterus. Histeroskopi atau
histerosonografi dapat digunakan sebagai prosedur lini kedua apabila pemeriksaan
USG menunjukkan adanya kelainan intrauterin atau jika perawatan medis gagal setelah
3-6 bulan. Pada pasien dengan faktor risiko kanker endometrium harus kombinasikan
dengan biopsi terarah.

Tindakan histeroskopi ditujukan sebagai prosedur diagnostik maupun operatif untuk


kelainan ginekologi. Indikasi dilakukan histeroskopi untuk diagnostik bila hasil biopsi
endometrium yang abnormal, curiga polip dan fibroid, perdarahan uterus abnormal,
kasus infertilitas, evaluasi anatomi uterus, dan curiga intrauterine device tidak pada
posisi yang tepat. Sedangkan, indikasi untuk operatif, yaitu ablasi atau reseksi
endometrium, polipektomi endometrium, biopsi langsung, miomektomi, pembuangan
lesi pada endoservik, eksisi adhesi intrauterin, perbaikan septum uteri, sterilisasi
histeroskopik, tuboplasti atau kanulasi, salphingography, dan Asherman’s syndrome.
Referensi:

- Jurnal Biomedik (JBM), Volume 8, Nomor 3, November 2016, hlm 135-142


- Suwito Tjondro Hudono. Pemeriksaan Ginekologi dalam Sarwono
Prawirohardjo. Ed.Ilmu Kandungan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka, 2011.
- NICE Clinical Guidline, Heavy Menstrual Bleeding. London. 2017.
- SALINE INFUSION SONOHYSTEROGRAPHY PADA KELAINAN
ENDOMETRIUM DAN TES PATENSI TUBA dr. Putu Doster Mahayasa, Sp.OG(K)
BAGIAN / SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FK UNUD / RSUP SANGLAH
DENPASAR 2014
- American Institute of Ultrasound in Medicine. AIUM Practice Guideline for The
Performance of Sonohysterography. J Ultrasound Med 2012 ; 31

5. Apa diagnosis banding berdasarkan scenario ?


I. MENORAGIA
a) Definisi
Menoragia berasal dari bahasa latin “Men” yang berarti bulan atau bulanan dan
“rhegynai” yang berarti desakan keluar (Dewhurts,2007). Gangguan haid yang
menerangkan bahwa darah haid yang keluar terlalu banyak dan menerangkan
darah haid yang keluar lebih lamadisebut hipermenorea atau menoragia.
Menoragia adalah perdarahan haid yang lebih banyak dari normal, atau lebih
lam dari normal. Terjadi pada siklus menstruasi yang normal,terkadang disertai
bekuan darah sewaktu menstruasi (UNPAD,2009). Kelainan banyaknya yaitu
ganti tela/pembalut lebih dari 6 x/hari atau kelainan lamanya yaitu lebih dari 6
hari. Menoragia adalah istilah medis untuk perdarahan menstruasi yang
berlebihan. Dalam satu siklus menstruasi normal, perempuan rata-rata
kehilangan sekitar 30-40 ml darah selama sekitar 5-7 hari haid. Bila perdarahan
melampaui 7 hari atau terlalu deras (melebihi 80 ml), maka dikategorikan
menoragia atau menstruasi berat
b) Etiologi
Ada banyak hal yang dapat menyebabkan menoragia, antara lain
ketidakseimbangan hormonal, adanya tumor fibroid rahim, polip serviks, polip
endometrium, radang panggul, atau yang lebih parah adalah adanya kanker
serviks, kanker endometrium, atau gangguan penggumpalan darah. Di samping
itu penggunaan IUD atau alat kontrasepsi Rahim, gangguan tiroid, peradangan
atau infeksi pada vagina atau leher rahim juga dapat menyebabkan menoragia
(Marret et al, 2010).
Ketidakseimbangan hormonal, yaitu ketidakseimbangan jumlah estrogen dan
progesteron dalam tubuh merupakan penyebab utama menoragia.
Ketidakseimbangan tersebut menyebabkan endometrium terus terbentuk.
Ketika tubuh membuang endometrium melalui menstruasi, perdarahan menjadi
parah.
Tumor fibroid merupakan tumor jinak. Tumor ini sering terjadi di dalam rahim
pada wanita berusia 30-an atau 40-an. Penyebab tumor fibroid rahim tidak jelas,
namun diketahui berkaitan dengan hormon estrogen. Beberapa perawatan
bedah dapat dilakukan untuk kasus ini, seperti ablasi endometrium, embolisasi
arteri rahim, terapi balon rahim, serta histerektomi. Pengobatan selain bedah
termasuk pemberian agonis GnRH dan kontrasepsi oral juga dapat dilakukan.
Bila gejala tidak parah, biasanya tumor akan terus mengecil dan menghilang
tanpa menggunakan pengobatan setelah menopause terjadi.
Polip serviks adalah sebuah pertumbuhan kecil dan rapuh yang muncul di
permukaan mukosa serviks atau kanal endoserviks, dan menonjol melalui
pembukaan serviks, sedangkan polip endometrium adalah pertumbuhan yang
menonjol dari dinding rahim. Polip merupakan tumor jinak. Penyebab polip
serviks dan polip endometrium tidak jelas, namun bisa muncul akibat infeksi
atau gangguan hormonal, terutama yang terkait dengan estrogen. Wanita yang
paling sering terkena polip serviks adalah wanita yang berusia di atas 20 tahun
yang telah memiliki anak.
c) Manifestasi Klinis
Beberapa gejala yang bisa muncul adalah:
- Darah yang keluar memenuhi 1 atau 2 pembalut setiap jamnya, selama beberapa
jam berturut-turut.
 Perlu mengganti pembalut saat sedang tidur di malam hari.
 Durasi keluarnya darah lebih dari 7 hari.
- Darah yang keluar disertai gumpalan-gumpalan darah berukuran sebesar koin
atau lebih.
 Darah yang keluar terlalu banyak hingga mengganggu aktivitas sehari-hari.
 Kelelahan, lemah atau napas pendek (gejalaanemia).
Selain itu, menorrhagia juga dapat disertai dengan timbulnya rasa nyeri di perut
bagian bawah selama haid.
d) Patofisiologi
Penyebab paling umum dari perdarahan menstruasi yang berlebihanadalah:
 Kelainan hormonal pada aksis hipotalamus hipofisisovarium.
 Gangguan ginekologi, pertumbuhan abnormal pada rahim, seperti polip atau
fibroid.
 Gangguan perdarahan.
Kelainan hormonal tidak terjadi ovulasi atau jarangterjadi. Selama siklus
anovulatoir,korpus luteum tidak membentuk,dan dengan demikian sekresi
siklus normal progesteron tidak terjadi. Tanpa progesteron, estrogen
menyebabkan endometrium untuk terus berkembang biak, akhirnya tumbuh
melampaui suplai darah. Endometrium menjadi tebal dan mengandung sangat
banyak pembuluh darah. Sehingga menyebabkan perdarahan yang tidak teratur
dan kadang deras dan lama. Anovulasi terjadi ketika ovarium tidak
memproduksi dan melepaskan telur (ovulasi) sekali per bulan.
Halinimenyebabkan
periodemenstruasitidakteraturatautidakada.Anovulasiumum terjadi pada
remaja dan pada wanita yang mendekatimenopause.Pada wanita dengan
sindrom ovarium polikistik (PCOS) seringtidak ovulasi secara teratur.
Gangguan ginekologi merupakan pertumbuhan uterus yang bersifat kanker
pada rahim dapat menyebabkan perdarahan menstruasi berat antara lain:
1. Polip yang kecil, seperti anggur pertumbuhan pada lapisanrahim.
2. Fibroid, pertumbuhan dari rahim(miom).
3. Hiperplasia endometrium lapisan endometrium yang berlebihan yang dapat
menjadi pelopor untuk kanker rahim (Zacur,2012).
Gangguan perdarahan biasanya karena adanya gangguan pembekuan darah,
antara lain:
1. Penyakit VonWillebrand
Penyakit Von Willebrand paling sering disebabkan oleh mutasi genetik yang
baik merusak kemampuan untuk membuat faktor von Willebrand atau
menyebabkan produksi cacat bentuk protein.
2. Memiliki jumlah trombosit yangrendah
Trombosit berpengaruh pada pembekuan darah, darah akan menjadi encer jika
trombosit rendah.
e) Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Pada anamnesis perlu diketahui usia menarke, frekuensi, durasi, dan sifat
perdarahan. Kuantifikasi perdarahan yang terjadi dapat menjadi masalah karena
remaja memiliki pengalaman terbatas dalam menilai perdarahan. Sebaiknya
ditanyakan berapa jumlah produk tampon maupun pembalut yang
digunakan. Pada remaja yang mengeluhkan haid yang banyak perlu
ditanyakan riwayat mudah memar, perdarahan yang sulit berhenti pada luka
minor, epistaksis yang sering atau sulit dikontrol, atau perdarahan hebat
setelah operasi. Riwayat perdarahan pada keluarga termasuk riwayat
perdarahan postpartum penting diketahui untuk mencari kelainan perdarahan
pada keturunan. Anamnesis mengenai riwayat penggunaan obat-obat dan
kontrasepsi hormonal juga perlu ditanyakan. Pemeriksaan fisik harus
sebaiknya dilakukan walaupun sebagian besar kasus normal. Takikardi dan
hipotensi dapat memberikan petunjuk ketidakstabilan hemodinamik
akut yang memerlukan intervensi cepat. Adanya takikardia, penampilan
pucat, atau bunyi bising pada auskultasi jantung mengarah pada anemia.
Petekia atau memar yang berlebihan dapat mengarah pada defek platelet atau
kelainan perdarahan lainnya. Pemeriksaan inspeksi pada genitalia cukup
untuk menegakkan diagnosis pada kebanyakan pasien. Pemeriksaan
bimanual dan spekulum disarankan pada pasien yang aktif secara seksual
atau pada pasien yang tidak mengalami respon terhadap terapi.
f) Pemeriksaan Lanjutan
Guna mengetahui penyebab yang mendasari terjadinya menorrhagia, beberapa
pemeriksaan lanjutan juga dapat dilakukan, seperti:

 Pemeriksaan darah, untuk mendeteksi adanya anemia, kelainan hormon tiroid


atau gangguan pembekuan darah.

 Pap smear, untuk memeriksa tanda-tanda peradangan, infeksi, atau potensi


kanker dengan mengambil sampel sel dari dinding dalam serviks.

 Biopsi, dengan mengambil sampel jaringan dari rahim untuk diperiksa dengan
mikroskop.

 USG rahim, yaitu pemindaian untuk memeriksa jika terdapat miom, polip, atau
kelainan lain secara visual.
 Sonohysterography (SIS), untuk mendeteksi gangguan pada lapisan dinding
rahim dengan menggunakan zat warna (kontras) yang disuntikkan ke dalam
rahim.

 Histeroskopi, untuk melihat kondisi rahim pasien dengan memasukkan selang


tipis yang dilengkapi kamera khusus yang dimasukkan melalui vagina.

 Dilatasi dan kuretase (kuret), untuk mengetahui penyebab perdarahan dengan


mengambil sampel dinding rahim.
g) Penatalaksanaan
Pengobatan menorrhagia bertujuan untuk menghentikan perdarahan,
mengobati penyebab, dan mencegah terjadinya komplikasi. Pengobatan akan
ditentukan berdasarkan penyebab menorrhagia dan tingkat keparahan kondisi.
Dokter juga akan mempertimbangkan usia, kondisi kesehatan secara umum,
riwayat kesehatan, dan kebutuhan pribadi pasien, seperti rencana kehamilan.
Berikut adalah beberapa cara yang dapat digunakan untuk menangani
menorrhagia:

Obat-obatan

Beberapa jenis obat-obatan yang bisa digunakan untuk menangani menorrhagia


yaitu:

 Obat antifibrinolitik, seperti asam traneksamat, untuk membantu proses


pembekuan darah.
 Obat antiinflamasi nonsteroid (NSAIDs), seperti ibuprofen, naproxen, dan
asam mefenamat, untuk meredakan gejala nyeri dan menurunkan produksi
prostaglandin yang bisa memicu menorrhagia.

 Pil kontrasepsi kombinasi, untuk mengatur siklus menstruasi dan mengurangi


durasi serta banyaknya darah yang keluar saat menstruasi.

 Desmopressin, untuk mengatasi penyebab perdarahan pada penyakit von


Willebrand.

 Progestogen suntik dan norethisterone oral (obat minum), untuk membantu


menyeimbangkan kadar hormon dan mengurangi jumlah perdarahan.

 Analog GnRH-a (gonadotropin releasing hormone analogue), untuk


mengurangi perdarahan saat menstruasi, memperbaiki siklus menstruasi,
meredakan gejala menstruasi, mengurangi risiko radang panggul, serta
mencegah kanker.

 Jika menorrhagia sampai menyebabkan terjadinya anemia, dokter akan


memberikan suplemen zat besi.

Operasi
Prosedur operasi biasanya akan direkomendasikan oleh dokter apabila
menorrhagia sudah tidak bisa lagi ditangani dengan obat-obatan dan untuk
menangani penyebab yang mendasari menorrhagia

h) Prognosis
Prognosis perdarahan uterus abnormal dapat baik dengan terapi yang tepat guna
dan tepat waktu. Perdarahan uterus yang sering terjadi dapat menyebabkan
anemia defisiensi besi. Perdarahan yang masif juga dapat mengakibatkan
terjadinya syok hemoragik
Hasil pengobatan tergantung pada proses perjalanan penyakit (patofisiologi).
Penegakan diagnosa yang tepat dan regulasi hormonal secara dini dapat
memberikan angka kesembuhan hingga 90 %. Pada wanita muda, yang
sebagian besar terjadi dalam siklus anovulasi, dapat diobati dengan hasil baik.
Referensi
 John J. E. Wantania.2016. Perdarahan uterus abnormal - menoragia pada masa
remaja. Bagian SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas KedokteranUniversitas
Sam Ratulangi.
 S. Gokyildiz, E.Aslan, N.K. Beji, M. Mecdi. The Effect of Mennorhagia on
Womens’s Quality of Life. ISRN Obstetric and Gynecology, 2013.
 Shaw, J.A. Menorrhagia 2017. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/255540
 Pubmed Health. Heavy Period: Overview. 2013. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhe

II. PUA
a) DEFINISI
Perdarahan uterus abnormal yang meliputi gangguan perdarahan berasal
dari uterus yang disebabkan oleh gangguan hormonal, kelainan organik
genetalia dan kontak berdarah. (Manuaba, 2010) Perdarahan uterus abnormal
meliputi semua kelainan haid baik dalam hal jumlah maupun lamanya.
Manifestasi klinis dapat berupa perdarahan banyak, sedikit, siklus haid yang
memanjang atau tidak beraturan. Terminologi menoragia saat ini diganti
dengan perdarahan haid banyak atau heavy menstrual bleeding (HMB)
sedangkan perdarahan uterus abnormal yang disebabkan faktor koagulopati,
gangguan hemostasis lokal endometrium dan gangguan ovulasi merupakan
kelainan yang sebelumnya termasuk dalam perdarahan uterus disfungsional
(PUD).
b) EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ahmed di Lady Willingdon
Hospital, Lahore, dari Agustus 2010 sampai Juli 2011 didapatkan sebanyak
2.109 perempuan atau sekitar 19,6% dari total 10.712 wanita yang mengunjungi
klinik pasien rawat jalan ginekologi yang didiagnosis menderita perdarahan
uterus abnormal. Kategorisasi PALM-COEIN dilakukan pada 991 (47%) kasus
yang menunjukkan 30 (3%) menderita polip, 15 (15%) adenomiosis, 250 (25%)
Leiomioma, 66 (6,6%) keganasan dan hiperplasia, 3 (0.3%) koagulopati , 236
(24%) disfungsi ovulasi, 48 (5%) endometritis, dan 53 (6%) iatrogenik. Sisanya
155 (15%) kasus yang tak terkategorikan.
c) KLASIFIKASI
A. Klasifikasi

Klasifikasi PUA berdasarkan jenis pendarahan

A. Pendarahan uterus abnormal akut didefinisikan sebagai pendarahan haid yang


banyak sehingga perlu dilakukan penanganan segera untuk mencegah kehilangan
darah. Pendarahan uterus abnormal akut dapat terjadi pada kondisi PUA kronik atau
tanpa riwayat sebelumnya.

B. Pendarahan uterus abnormal kronik merupakan terminologi untuk


pendarahan uterus abnormal yang telah terjadi lebih dari 3 bulan. Kondisi ini
biasanya tidak memerlukan penanganan yang segera seperti PUA akut.
C. Pendarahan tengah (intermenstrual bleeding) merupakan pendarahan haid
yang terjadi diantara 2 siklus haid yang teratur. Pendarahan dapat terjadi kapan
saja atau dapat juga terjadi di waktu yang sama setiap siklus. Istilah ini
ditujukan untuk menggantikan terminologi metroragia.
Klasifikasi PUA berdasarkan penyebab pendarahan
Klasifikasi utama PUA berdasarkan FIGO dapat dilihat pada bagan 2.
Sistem klasifikasi ini telah disetujui oleh dewan eksekutif FIGO sebagai sistem
klasifikasi PUA berdasarkan FIGO. Terdapat 9 kategori utama yang disusun
berdasarkan akronim “PALM-COEIN” 13. x Kelompok “PALM” adalah
merupakan kelompok kelainan struktur penyebab PUA yang dapat dinilai
dengan berbagai teknik pencitraan dan atau pemeriksaan histopatologi.
Kelompok “COEIN” adalah merupakan kelompok kelainan non
struktur penyebab PUA yang tidak dapat dinilai dengan teknik pencitraan atau
histopatologi. PUA terkait dengan penggunaan hormon steroid seks eksogen,
AKDR, atau agen sistemik atau lokal lainnya diklasifikasikan sebagai
“iatrogenik”.
 Polip (PUA-P)
Polip endometrial dan endoservikal adalah proliferasi epitel yang bersifat
vaskuler, grandular, dan fibromuskular, dan sering asimptomatis. Lesi
umumnya bersifat jinak, walaupun sebagian kecil dapat bersifat ganas.
Perdarahan sering terjadi intermenstrual.
Etiologi polip endometrium masih belum banyak diketahui, namun ada
kemungkinan adanya proliferasi dan peran protein pengatur apoptosis selama
siklus menstruasi. Namun, pada wanita premenopause dan pascamenopause,
polip endometrium kehilangan proses apoptosisnya dan kerja reseptor estrogen
dan progesterone yang berlebihan. Estrogen memeganng peran penting pada
kemungkinan terjadinya polip endometrium.
Polip endometrium umumnya bersifat tanpa gejala dan dibuktikan saat
pemeriksaan USG. Namun, gejala yang umum timbul pada pasien adalah
menorrhagia, perdarahan pascamenopause, keluarnya sekret vagina yang
abnormal, dan prolapsus melalui ostium servikal.
Polip endometrium jarang terjadi pada wanita usia dibawah 20 tahun.
Insidensi meningkat seiring pertambahan usia. Pada studi lainnya, kasus polip
endometruim juga terjadi pada wanita dengan terapi hormone pengganti (HRT)
dan tamoxifen (8-36%) yang bekerja sebagai modulator reseptor selektif dan
agonis estrogen pada endometrium. Hipertensi, diabetes, dan hipertensi juga
secara independen menjadi faktor risiko.
Walaupun kemungkinan keganasan polip endometrium tergolong kecil,
polip endometrium sebaiknya dieksisi ketika terdeteksi. Eksisi juga membantu
menatalaksana perdarahan uterus abnormal. Polip endometrium yang kecil
masih dapat ditatalaksana dengan terapi konservatif karena kemungkinan
keganasannya yang kecil. Namun apabila polip tersebut telah menyebabkan
infertilitas, perdarahan posmenopause, menorrhagia, dan perdarahan uterus
abnormal, maka diperlukan tindakan operatif. Reseksi histeroskopi juga dapat
diandalkan untuk penatalaksanaan polip endometrium.

 Adenomiosis (PUA-A)
Adenomiosis didefenisikan sebagai invasi jinak endometrium dan stroma di
dalam lapisan miometrium, tepatnya pada endomyometrial junction,
menghasilkan pembesaran uterus yang pada pemeriksaan mikroskopik
menunjukkan tanda non-neoplasmik. Diperkirakan prevalensi Adenomiosis
cukup besar, yakni 5-70%. 70-80% wanita yang menjalani histerektomi untuk
mengatasi adenomiosisnya berusia 40 sampai 50 tahun dan multipara.
Kehamilan dapat meningkatkan terjadinya adenomiosis oleh adanya fokus
adenomiotik yang masuk ke miometrium karena sifat invasif dari tropoblas
pada serat-serat miometrium. Selain itu, pemakaian obat tamoxifen dapat
menjadi faktor terjadinya adenomiosis.
Gejala klinis pasien umumnya adalah menorrhagia, nyeri pinggul
kronik, dan dismenorrhea. Gejala ini hampir serupa dengan leiomioma dan
gangguan struktural uterus lainnya. Pemakaian obat-obatan seperti NSAID atau
terapi hormonal sering digunakan untuk mengatasi gejala adenomiosis dan
untuk menginduksi regresi adenomiosis.

 Leiomyoma (PUA-L)
Leiomioma (atau sering disebut dengan mioma uteri/fibroid uteri) didefinisikan
sebagai neoplasma otot polos yang secara khas berasal dari miometrium. Pada
kebanyakan wanita, leiomyoma muncul secara tidak signifikan. Prevalensi
kejadian leiomioma diperkirakan 77% diantara wanita usia reproduktif di
Amerika Serikat.
Gejala pada leimyoma :
- Perdarahan uterus abnormal berupa pemanjangan periode, ditandai oleh
perdarahan menstruasi yang banyak dan/atau menggumpal, dalam dan di luar
siklus.
- Pembesaran rahim (bisa simetris ataupun berbenjol-benjol).
- Seringkali membesar saat kehamilan.
- Penekanan terhadap organ sekitar uterus, atau benjolan pada dinding
abdomen.
- Nyeri dan/atau tekanan di dalam atau sekitar daerah panggul.
- Peningkatan frekuensi berkemih atau inkontinensia.
Pada kebanyakan wanita, mioma uteri bersifat asimtomatis dan
didiagnosis secara tidak sengaja pada saat pemeriksaaan klinis rutin.
Leiomioma
uteri diketahui menyebabkan perdarahan uterus abnormal (perdarahan uterus
yang berat, tidak teratur, dan berkepanjangan), nyeri pinggul, dan infertilitas
sebagai gejala utama. Leiomioma umumnya dibagi menjadi 3 sub kelompok
berdasarkan lokasinya: subserosal (muncul di luar uterus), intramural (di dalam
miometrium, dan submukosa (menonjol kedalam uterus).
 Malignansi (PUA-M)
Malignansi dapat muncul pada endometrium. Adenokarsinoma adalah satu
dari keganasan yang paling umum terjadi pada saluran reoroduksi wanita,
sedangkan sarkoma dan karsinosarcoma jarang terjadi. Karsinoma endometrial
adalah keganasan paling umum ditemukan oleh ahli ginekologi. Kebanyakan
kanker endometrium didiagnosis pada tingkat awal (75%) dengan survival rate
75%.
Gejala yang paling sering terjadi adalah adanya perdarahan uterus
abnormal dan sekret vagina abnormal. gejala lainnya ialah nyeri pinggul, nyeri
abdomen, dan perubahan fungsi sistem berkemih. Paparan estrogen
berkepanjangan dan tidak berhenti dihubungkan sebagai faktor risiko kanker
endometrium. Obesitas pada populasi di Amerika Serikat terbukti memiliki
peran dalam terjadinya malignansi endometrium. Keadaan ini dihubungkan
dengan adanya peningkatan jumlah estrone yang dihasilkan oleh jaringan
adiposit.
Usia juga secara representatif memberikan fisiko terhadap pertumbuhan
kanker endometrium. Banyak wanita didagnosis pada usia pascamenopause,
dan hanya 15% didiagnosis sebelum usia 50 tahun. Wanita usia muda yang
didiagnosis mengalami kanker uterus umumnya memiliki riwayat obesitas dan
nullipara.

 Koagulopati (PUA-C)
Terdapat gangguan sistemik hemostatis (koagulopati), yang paling umum
diantaranya adalah von Willebrand Disease walaupun belum jelas seberapa
sering kelainan ini terutama pada bentuk ringan, dapat menebabkan PUA.
Pemberian obat-obatan anikoagulan dapat memberikan efek perdarahan
mesntruasi berat (HMB) secara sekunder. Maka penggolongan pemakaian
walfarin atau heparin tergolong pada PUA-C I.
 Gangguan Ovulasi (PUA-O)
Pada wanita normal usia reproduktif yang tidak sedang hamil dan tidak
menggunakan kontrasepsi hormonal sistemik ataupun pengobatan hormonal
lain
yang menekan fungsi ovulasi, siklus menstruasi biasa terjadi dalam 22-35 hari.
Wanita dengan gangguan ovulasi biasanya mengalami perdarahan tidak teratur
dan volume perdarahan yang bervariasi. Keadaan ini sering muncul pada wanita
dengan gangguan ovulasi, terutama pada wanita usia reproduktif akhir dengan
kejadian LOOP (luteal out-of-phase). Hal ini ditandai dengan perkembangan
folikel penghasil estradiol yang luar biasa ketika orang tersebut masih berada
pada fase lutealnya.
Gangguan ovulasi sebelumnya di beberapa literatur masih disebut
dengan
Perdarahan Uterus Disfungsional (PUD). Kriteria ini digolongkan karena tidak
adanya gangguan struktur pada pasien tersebut. Dalam kebanyakan kasus,
penegakan diagnosis dapat didukung dengan pemeriksaan struktur uterus untuk
memastikan tidak adanya gangguan struktural pada uterus pasien, seperti polip
endometrium, mengingat polip endometrium dapat bersifat asimptomatis.

 Gangguan Endometrium (PUA-E)


Ketika PUA terjadi pada siklus menstruasi normal, sifat ovulasi normal, dan
khususnya tidak ada kelainan pada endometrium yang dapat ditegaskan,
mekanisme ini dapat diarahkan pada kelainan primer endometrium. Jika terjadi
Heavy Menstrual Bleeding (HMB), kemungkinan ada gangguan pada
mekanisme pengaturan “hemostatis” endometrial lokal, seperti penurunan
pengeluaran vasokonstriktor seperti endothelin-1 dan prostaglandin F2α,
peningkatan lisis bekuan darah akibat produksi plasminogen aktivator yang
berlebihan, atau peningkatan produksi substrat vasodilator seperti prostaglandin
E2. Akibat banyaknya kemungkinan, maka diagnosis gangguan endometrium
sebaiknya diarahkan pada wanita tanpa gangguan struktural dan ovarium.

 Iatrogenik (PUA-I)
Ada beberapa mekansime intervensi pengobatan yang dapat menimbulkan
PUA, yaitu pengobatan yang langsung berdampak pada endometrium, berkerja
pada mekanisme koagulasi darah, atau memengaruhi kontrol sistemik pada
ovulasi. Perdarahan endometrium tidak terjadwal yang terjadi selama
penggunaan terapi steroid gonad biasa disebut dengan breaktrough bleeding
(BTB) dan merupakan komponen terbanyak pada PUA-I. Pemberian
pengobatan steroid gonadal dosis tunggal maupun kombinasi, termasuk
estrogen, prostestin, dan androgen, berefek pada gangguan hormonal melalui
efek pada hipotalamus hipofisis dan dapat langsung berpengaruh pada ovarium,
dan akhirnya dapat mengganggu keadaan endometrium secara langsung. Jenis
obat-obatan yang dapat berpengaruh pada perubahan hormon steroid gonad
adalah GnRH antagonis, aromatase inhibitor, Selective Estrogen Reseptor
Modulators (SERMs), Progesterone Receptor Modulators (PRMs).

 Tidak terklasifikasi (PUA-N)


Beberapa perdarahan uterus tidak dapat diklasifikasikan pada 8 kelas PUA
diatas. Secara kelompok, jenis ini akan diklasifikasikan dalam perdarahan
uterus
abnormal tidak terklasifikasi (PUA-N). Setelah ada pembuktian yang tersedia,
jenis perdarahan tersebut dapat diklasifikasikan sesuai kategori dalam sistem
ini.
d) PATOFISIOLOGI
Endometrium merupakan lapisan epitel yang melapisi rongga rahim.
permukaannya terdiri dari selapis sel kolumnar yang bersilia dengan kelenjar
sekresi mukosa rahi yang berbentuk invaginasi kedalam stroma selular. kelenjar
dan stroma mengalami perubahan yang siklik, bergantian antara pengelupasan
dan pertumbuhan baru setiap sekitar 28 hari. endometrium terdiri dari dua
lapisan yaitu lapisan fungsional letaknya superfisial yang akan mengelupas
setiap bulan dan lapisan basal yang tidak ikut mengelupas. Epitel lapisan
fungsional menunjukkan perubahan proliferasi yang aktif setelah periode haid
sampai terjadi ovulasi, kemudian kelenjar endometrium sekresi. kerusakan
yang permanen lapisan basal akan menyebabkan amenorea (Prawirohardjo,
2014).
Perempuan merupakan salah satu yang mempunyai siklus reproduksi
bulanan setiap 28 hari. Proses siklus menstruasi sangat kompleks karena
pengaruh hormonal dan keadaan mikronitra folikel bersumber autokrine serta
parakrine. Sistem koordinasinya harus diketahui, untuk menganalisa berbagai
kelainan siklus menstruasi. Proses menstuasi terdiri dari :
1. Fase folikuler
2. Fase ovulasi
3. Fase luteal
Ketiga fase ini dikendalikan oleh sistem hormonal hipotalamus hipofisis
serta ovarium dan organ akhir yang dipengaruhi olehkombinasi hormon
estrogen dan progesteron (Manuaba, 2010).
Pematangan folikel dan ovulasi dikontrol oleh hipotalamus hipofisis
oavarium. hipotalamus mengontrol siklus tetapi ia sendiri dapat dipengaruhi
oleh senter yang lebih tinggi di otak misalnya kecemasan dan stres. hipotalamus
memacu kelenjar hipofisi dengan menyekresikan GnRH suatu dekade peptide
yang disekresi secara pulsatil oleh hipotalamus.Pulsasi sekitar 90 menit
menyekresi GnRH melalui pembuluh darah kecil di sistem portal kelenjar
hipofisi ke hipofisis anterior, ginadotropin hipofisi memacu sintesis dan
pelepasan FSH dan LH. FSH adalah hormon glikoprotein yang memacu
pematangan folikel selama fase folikular dari siklus. FSH juga membantu LH
memacu sekresi hormon sterodi terutama estrogen oleh sel granulosa dari
folikel matang. LH juga termasuk glikoprotein. LH ikut dalam steroidogenesis
dalam folikel dan berperan penting dalam ovulasi yang tergantung pada mid
cycle surge dari LH. Produksi progesteron oleh korpus luteum juga dipengaruhi
oleh LH. FSH dan LH dan dua hormon glikoprotein lainnya yaitu thyroid
stimulating hormon (TSH) dan human chorionic gonadotropin (hCG) dibentuk
oleh dua subunit protein rantai alfa dan beta. Siklus haid terdiri dari dua siklus,
yaitu siklus ovarium dan siklus endometrium.
1. Siklus ovarium terdiri dari beberapa fase :
a. Fase Folikular/ Preovulasi
Panjang fase folikuler mempunyai variasi yang cukup lebar. Pada
umumnya berkisar antara 10-14 hari. Selama fase ini didapatkan proses
steroidogenesis, folikulogenesis dan oogenesis/meiosis yang saling terkait.
Selama fase folikular, kadar estrogen meningkat pada pertumbuhan yang
paralel dari folikel yang dominan dan peningkatan jumlah dari sel granulosa.
Sel granulosa tempat ekslusif dari reseptor FSH. Peningkatan sirkulasi FSH
selama fase luteal dari siklus sebelumnya merangsang peingkatan dari reseptor
FSH dan kemampuan untuk mengaromatisasi sel theka untuk derivat
androstenedion menjadi estradiol. FSH menginduksi enzim aromatase dan
pelebaran antrum dari folikel yang bertumbuh. Folikel dengan kelompok sangat
berespon terhadap FSH seperti untuk memproduksi dan mengawali tanda dari
reseptor LH. Setelah terlihat reseptor LH, sel granulosa preovulasi mulai untuk
mensekresi sejumlah progesteron. Sekresi preovulasi progesteron, walaupun
jumlahnya terbatas, dipercaya untuk mengirimkan feedback positif pada
estrogen utama hipofisis yang menyebabkan atau membantu menambah
pelepasan LH. Selama fase folikuler lambat, LH menstimulasi produksi sel
theka dari androgen. Terutama androstenedion, yang kemudian dilanjutkan ke
folikel dimana mereka dimetabolisme menjadi estradiol. Selama fase folikel
awal, sel granulosa juga menghasilkan inhibin B, yang menghambat pelepasan
FSH. Karena folikel dominan mulai berkembang, hasil dari estradiol dan
inhibin meningkat, menghasilkan penurunan FSH. Penurunan ini bertanggung
jawab untuk kegagalan dari folikel lain untuk mencapai preovulasi tingkat
folikel the Graaf selama satu siklus. Jadi, 95 persen dari estradiol plasma
diproduksi pada waktu itu disekresi oleh folikel dominan, yang dipersiapkan
untuk ovulasi.
b. Fase Ovulasi
Ovulasi merupakan peningkatan kadar estrogen yang menghambat
pengeluaran FSH, kemudian hipofise mengeluarkan LH (lutenizing hormon).
Peningkatan kadar LH merangsang pelepasan oosit sekunder dari folikel.
Folikel primer primitif berisi oosit yang tidak matur (sel primordial). Sebelum
ovulasi, satu sampai 30 folikel mulai matur didalam ovarium dibawah pengaruh
FSH dan estrogen. Lonjakan LH sebelum terjadi ovulasi mempengaruhi folikel
yang terpilih. Di dalam folikel yang terpilih, oosit matur dan terjadi ovulasi,
folikel yang kosong memulai berformasi menjadi korpus luteum. Korpus
luteum mencapai puncak aktivitas fungsional 8 hari setelah ovulasi, dan
mensekresi baik hormon estrogen maupun progesteron.
c. Fase Luteal/Post-ovulasi
Setelah terjadi ovulasi, korpus luteum berkembang dari tetai dominan
atau folikel de Graff pada proses ini disebut sebagai lutenisasi. Ruptur dari
folikel mengawali berbagai perubahan morfologi dan kimiawi mengakibatkan
transformasi menjadi korpus luteum. Membran basalis pemisah dari sel
granulosa luteal dan theka luteal rusak, dan hari kedua postovulasi, pembuluh
darah dan kapiler menembus ke lapisan sel granulosa. Neovaskularisasi yang
cepat pada granulosa avaskuler dikarenakan variasi dari faktor angiogenik
meliputi faktor pertumbuhan endotel vaskuler dan produksi lain pada respon
terhadap LH oleh sel theka lutein dan granulosa lutein. Selama luteinisasi, sel
itu mengalami hipertrofi dan meningkat kapasitas mereka untuk mensintesis
hormon. Pada wanita, masa hidup dari korpus luteum tegantung pada LH atau
Human Chorionic Gonadotropin (hCG). Pada siklus normal wanita, korpus
luteum dipertahankan oleh frekuensi rendah, amplitudo tinggi dari sekresi LH
oleh gonadotropin pada hipofisis anterior.
2. Perubahan endometrium pada terjadinya menstruasi
e) FAKTOR RESIKO

Beberapa hal di bawah merupakan faktor risiko penyebab terjadinya perdarahan uterus
abnormal, yaitu:

o Pemakaian pil KB, pil KB memiliki kandungan hormon seksual wanita, estrogen
dan/atau progesteron. Ketidakseimbangan hormon disebabkan oleh pemakaian pil KB
yang tidak disertai konsultasi yang lebih dalam terlebih dahulu dengan petugas
kesehatan.
o Peningkatan atau penurunan berat badan yang cepat, lemak dalam tubuh merupakan
salah satu pembentuk hormon seksual wanita. Sehingga, kehilangan lemak dalam
waktu cepat dapat mengakibatkan perubahan jumlah hormon yang mendadak.
o Stres, stres fisik maupun emosional dapat menyebabkan perubahan hormon dalam
tubuh.
o Penggunaan AKDR, Alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) merupakan salah satu
metode KB yang memiliki efektivitas tinggi, namun penggunaannya harus hati-hati
karena AKDR dapat menyebabkan infeksi panggul jika tidak dilakukan dengan baik
dan benar.
f) GEJALA KLIINIS
Beberapa manifestasi klinis berikut dapat terjadi pada berbagai perdarahan
uterus abnormal.
1. Perdarahan uterus abnormal akut
Menorrhagia didefenisikan sebagai pemanjangan atau peningkatan keparahan
siklus menstruasi. Secara objektif, menstruasi terjadi selama lebih dari 7 hari
dan perkiraan perdarahan terjadi lebih dari 80 cc. Metrorrhagia adalah
terjadinya perdarahan intermenstrual. Kebanyakan wanita mengalami
keduanya, yang disebut menometorrhagia.
Sangat banyak penyebab yang dapat membuat terjadinya menometrorrhagia,
sehingga bentuk perdarahan pada pasien kurang dapat menjelaskan penyakit
yang mendasari terjadinya perdarahan uterus. Namun menometrorrhagia dapat
menunjukkan perbaikan penyakit setelah pemberian pengobatan.

2. Nyeri pinggul
Karena adanya peran prostaglandin pada menorrhagia dan dismenorrhea, gejala
kram pada pinggul sangat mungkin terjadi selama perdarahan uterus abnormal.
Namun, gejala dismenorrhea dapat pula pada saat bersamaan terjadi pada kasus
leiomioma, polip, adenomiosis, infeksi, dan kelainan kehamilan5

g) LANGKAH DIAGNOSIS
Berdasarkan Himpunan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (2007) penegakan
diagnosis didapat dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.
a. Anamnesis
Anamnesis dilakukan untuk menilai kemungkinan adanya kelainan uterus,
faktor risiko kelainan tiroid, penambahan dan penurunan berat badan yang
drastis, serta riwayat kelainan hemostasis pada pasien dan keluarganya. Perlu
ditanyakan siklus haid sebelumnya serta waktu mulai terjadinya perdarahan
uterus abnormal. Pada perempuan pengguna pil kontrasepsi perlu ditanyakan
tingkat kepatuhan dan obat-obat lain yang diperkirakan menggangu koagulasi.
b. Pemeriksaan umum
Pemeriksaan fisik pertama kali dilakukan untuk menilai stabilitas keadaan
hemodinamik. Pastikan bahwa perdarahan berasal dari kanalis servikalis dan
tidak berhubungan dengan kehamilan. Pemeriksaan IMT, tanda-tanda
hiperandrogen, pembesaran kelenjar tiroid atau manifestsi
hipotiroid/hipertiroid, galaktorea, gangguan lapang pandang (adenoma
hipofisis), purpura dan ekimosis wajib diperiksa. Awalnya, lokasi perdarahan
uterus harus dikonfirmasi karena perdarahan juga dapat berasal dari saluran
reproduksi yang letaknya lebih rendah, sistem pencernaan, atau saluran kemih.
Hal ini lebih sulit dilakukan jika tidak ada perdarahan aktif. Dalam situasi ini,
urinalisis atau evaluasi guaiac feses mungkin membantu pemeriksaan fisik.
c. Pemeriksaan ginekologi
Pemeriksaan ginekologi yang teliti perlu dilakukan. Teliti untuk kemungkinan
adanya mioma uteri, polip, hiperplasia endometrium atau keganasan.
d. Penilaian ovulasi Siklus haid yang berovulasi sekitar 22-35 hari.
Jenis perdarahan PUAO bersifat ireguler dan sering diselingi amenorea.
Konfirmasi ovulasi dapat dilakukan dengan pemeriksaan progesteron serum
atau USG transvaginal bila diperlukan.
e. Penilaian endometrium
Pengambilan sampel endometrium tidak harus dilakukan pada semua pasien
PUA. Pengambilan sample endometrium hanya dilakukan pada :
1) Perempuan umur > 45 tahun
2) Terdapat faktor risiko genetik
3) USG transvaginal menggambarkan penebalan endometrium kompleks yang
merupakan faktor risiko hiperplasia atipik atau kanker endometrium.
4) Terdapat faktor risiko diabetes melitus, hipertensi, obesitas, nulipara
5) Perempuan dengan riwayat keluarga nonpolyposis colorectar cancer
memiliki risiko kanker endometrium sebesar 60% dengan rerata umur saat
diagnosis antara 48-50 tahun. Pengambilan sampel endometrium perlu
dilakukan pada perdarahna uterus abnormal yang menetap (tidak respon
terhadap pengobatan).
Beberapa teknik pengambilan sample endometrium seperti D & K dan biopsi
endometrium dapat dilakukan.
f. Penilaian kavum uteri
Bertujuan untuk menilai kemungkinan adanya polip endometrium atau mioma
uteri submukosum. USG transvaginal merupakan alat penapis yang tepat dan
harus dilakukan pada pemeriksaan awal PUA. Bila dicurigai terdapat polip
endometrium atau mioma uteri submukosum disarankan untuk melakukan SIS
atau histeroskopi. Keuntungan dalam penggunaan histeroskopi adalah
diagnosis dan terapi dapat dilakukan bersamaan.
g. Penilaian myometrium
Bertujuan untuk menilai kemungkinan adanya mioma uteri atau adenomiosis.
Miometrium dinilai menggunakan USG (transvagina, transrektal dan
abdominal), SIS, histeroskopi atau MRI. Pemeriksaan adenomiosis
menggunakan MRI lebih ungguk dibandingkan USG transvaginal.
h. Pemeriksaan Laboratorium
1) Tes β-Human Chorionic Gonadotropin dan Hematologik Keguguran,
kehamilan ektopik dan mola hidatidosa dapat menyebabkan perdarahan yang
mengancam nyawa. Komplikasi dari kehamilan dapat secara cepat dieksklusi
dengan penentuan kadar subunit beta human chorionic gonadotropin (β-hCG)
dari urin atau serum. Sebagai tambahan, pada wanita dengan perdarahan uterus
abnormal, complete blood count dapat mengidentifikasi anemia dan derajat
kehilangan darah. Diperlukan juga skrining untuk gangguan koagulasi jika
sebab yang jelas tidak dapat ditemukan. Yang termasuk adalah complete blood
count dengan platelet count, partial thromboplastin time, dan prothrombin time
dan mungkin juga memeriksa tes spesial untuk penyakit von Willebrand.
2) Pemeriksaan “Wet Prep” dan Kultur Serviks
Pemeriksaan mikroskopik dari sekresi serviks diperlukan jika perdarahan
dicurigai karena servisitis yang akan memperlihatkan gambaran sel darah
merah dan neutrofil. Servisitis sekunder karena herpes simplex virus (HSV)
juga dapat menyebabkan perdarahan dan diindikasikan untuk melakukan kultur
secara langsung. Trikomoniasis juga dapat menyebabkan servisitis dan
ektoserviks yang rapuh.
3) Pemeriksaan Sitologi Kanker serviks dan kanker endometrium dapat
menyebabkan perdarahan yang abnormal dan dapat sering ditemukan dengan
skrining Pap smear.
4) Biopsi Endometrium Pada wanita dengan perdarahan abnormal, evaluasi
histologi endometrium mungkin mengidentifikasikan lesi infeksi atau
neoplastik seperti hiperplasia endometrium atau kanker. Terdapat perdarahan
abnormal pada 80 sampai 90 persen wanita dengan kanker endometrium. i.
Histeroskopi Prosedur ini menggunakan endoskop optik dengan diameter 3
sampai 5 mm ke dalam kavitas endometrium. Kemudian kavitas uterus
diregangkan dengan menggunakan larutan salin. Keuntungan utama
menggunakan histeroskopi adalah untuk mendeteksi lesi intrakavitas seperti
leiomioma dan polip yang mungkin terlewati jika menggunakan sonografi atau
endometrial sampling. Walaupun akurat untuk mendeteksi kanker
endometrium, namun histeroskopi kurang akurat untuk mendeteksi hiperplasia
endometrium.
h) PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Rowe T., Senikas dalam Journal Obstetry & Gynekology Canada
(2013) hitung darah lengkap dianjurkan jika ada riwayat perdarahan.
Kehamilan dieksklusi melalui serum β-hCG. Thyrotropin diukur hanya jika ada
gejalaatau temuan yang sugestif ke penyakit tiroid.Pengujian untuk gangguan
koagulasi harus dipertimbangkan pada wanita yang memiliki riwayat
perdarahan berat yang dimulai dari menarche, riwayat perdarahan postpartum
atau perdarahan saat ekstraksi gigi, bukti masalah perdarahan lainnya, atau
riwayat keluarga cenderung mengarah ke gangguan koagulasi. Tidak ada bukti
bahwa pengukuran gonadotropin serum, estradiol, atau kadar progesteron
membantu dalam pengelolaan AUB.
1. Ultrasound
Transvaginal sonografi memungkinkan evaluasi dari kelainan anatomi uterus
dan endometrium.Selain itu, patologi dari miometrium, serviks, tuba, dan
ovarium juga dapat dievaluasi. Modalitas investigasi ini dapatmembantu dalam
diagnosis polip endometrium, adenomiosis, leiomioma, anomali uterus,
danpenebalan endometrium yang berhubungan dengan hiperplasia dan
keganasan.
2. Saline Infusion Sonohysterography

Saline infusion sonohysterography menggunakan 5 sampai 15 mL larutan saline yang


dimasukkan ke dalam rongga rahim selama sonografi transvaginal dan
mengimprovisasi diagnosis patologi intrauterin. Terutama dalam kasus polip dan
fibroid uterus, SIS memungkinkan pemeriksa untukmembedakan lokasi dan
hubungannya dengan kavitas uterus.SIS juga dapat menurunkan kebutuhanMRI dalam
diagnosis dan manajemen dari anomali uterus.

3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)


MRI jarang digunakan untuk menilai endometrium pada pasien yang memiliki
perdarahan uterus abnormal. MRI mungkin membantu untuk memetakan lokasi yang
tepat dari fibroid dalam perencanaan operasi dan sebelum terapi embolisasi untuk
fibroid. Hal ini juga mungkin berguna dalam menilai endometrium ketika USG
transvaginal atautidak dapat dilakukan.

4. Histeroskopi Evaluasi
histeroskopi untuk perdarahan uterus abnormal adalah pilihan yang
menyediakan visualisasi langsung dari patologi kavitas dan memfasilitasi
biopsi langsung. Histeroskopi dapat dilakukan dalam suasana praktek swasta
dengan atau tanpa anestesi ringan atau di ruang operasidengan anestesi regional
atau umum. Risiko dari histeroskopi termasuk perforasi rahim, infeksi, luka
serviks, dan kelebihan cairan.
5. Biopsi Endometrium
Biopsi endometrium biasanya dapat dilakukan dengan mudah pada wanita
premenopause dengan persalinan pervaginam sebelumnya. Biopsi lebih sulit dilakukan
pada wanita dengan riwayat persalinan sesar sebelumnya, wanita yang nulipara, atau
yang telah memiliki operasi serviks sebelumnya. Biopsi endometrium dapat
mendeteksi lebih dari 90% dari kanker. Patologi dari endometrium dapat mendiagnosa
kanker endometrium atau menentukan kemungkinan kanker.

i) PENATALAKSANAAN
1. Tatalaksana pengobatan
Ketika keganansan dan keadaan patologis yang parah telah dieliminasi
dari kemungkinan diagnosis, maka penatalaksanaan obat-obatan adalah pilihan
utama untuk PUA. Secara umum, HMB dapat ditatalaksana secara baik dengan
terapi hormonal maupun obat nonhormonal.
Terapi nonhormonal seperti obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) dan
antifibrinolitik biasa diberikan selama menstruasi untuk mengurangi volume
darah yang keluar dan efektif mengatur waktu perdarahan pada HMB.
Penatalaksanaan hormonal lebih efektif pada HMB yang tidak teratur
dan berkepanjangan. Siklik progestin (oral atau injeksi), terapi hormon
kombinasi, levonorgesrerl-releasing intrauterine, gonadotropin releasing
hormone agonist, merupakan pilihan pengobatan hormonal yang biasa
diberikan. Penatalaksanaan
hormonal ini juga berguna padan beberapa kejadian untuk menurunkan
perdarahan akibat fibroid atau adenomiosis.
Asam traneksamat, obat yang berfungsi untuk membantu pembekuan
darah, sehingga perdarahan dapat dihentikan

2.Tatalaksana operasi
Pembedahan pada pasien PUA membutuhkan evaluasi penyebab
patologis struktural yang mendalam. Pilihan tatalaksana operasi yang
dilakuakan adalah:

a. Kuretasi uterus

b. Histereskopi polipektomi

c. Ablasi endometrial

d. Miomektomi

e. Histerektomi

Indikasi pembedahan pasien PUA adalah:


a. Gagal dengan tatalaksana obat-obatan
b. Tidak dapat memberikan tatalaksana obat-obatan (seperti efek samping,
kontraindikasi)
c. Anemia berat

d. Telah diketahui ada patologis struktur (seperti fibroid uterus yang besar, hiperplasia
endometrial)

1. Penatalaksanaan Non-Bedah
Setelah keganasan dan patologi panggul yang signifikan telah
dikesampingkan, pengobatan medis harus dipertimbangkan sebagai pilihan
terapi lini pertama untuk perdarahan uterus abnormal. Target pengobatan untuk
kondisi medis yang mendasari yang dapat mempengaruhi siklus menstruasi,
seperti hipotiroidisme, harus dimulai sebelum penambahan obat lainnya.
Wanita yang ditemukan anemia karena perdarahan uterus abnormal harus
segera diberikan suplementasi besi.
Perdarahan menstruasi yang berat dan teratur dapat diatasi dengan pilihan
pengobatan hormonal dan non-hormonal. Perawatan non-hormonal seperti obat
antiinflamasi non-steroid dan antifibrinolitik dikonsumsi selamamenstruasi
untuk mengurangi kehilangan darah, dan pengobatan ini efektif terutama saat
perdarahan menstruasi yang berat ketika waktu perdarahan dapat diprediksi.
Perdarahan yang tidak teratur atau berkepanjangan paling efektif diobati dengan
pilihan terapi hormonal yang mengatur siklus menstruasi, karena mengurangi
kemungkinan perdarahan menstruasi dan episode perdarahan berat.
Progestin siklik, kontrasepsi hormonal kombinasi, dan levonorgesterel-
releasing intrauterine system adalah contoh pilihan yang efektif dalam
kelompok ini. Terapi medis juga berguna pada beberapa kasus untuk
mengurangi kerugian menstruasi yang berhubungan dengan fibroid atau
adenomiosis.
2. Penatalaksanaan Bedah Peran pembedahan dalam penatalaksanaan
perdarahan uterus abnormal membutuhkan evaluasi yang teliti dari patologi
yang mendasari serta faktor pasien. Indikasi pembedahan pada wanita dengan
perdarahan uterus abnormal adalah:a. Gagal merespon tatalaksana non-bedah
b. Ketidakmampuan untuk menggunakan terapi non-bedah (efek samping,
kontraindikasi) c. Anemia yang signifikan d. Dampak pada kualitas hidup e.
Patologi uterus lainnya (fibroid uterus yang besar, hiperplasia endometrium)
Pilihan tatalaksana bedah untuk perdarahan uterus abnormal tergantung pada
beberapa faktor termasuk ekspektasi pasien dan patologi uterus. Pilihan
bedahnya adalah :
a. Dilatasi dan kuretase uterus
b. Hysteroscopic Polypectomy
c. Ablasi endometrium
d. Miomektomi
e. Histerektom

Referensi :
- Davis E, Sparzak PB. Abnormal Uterine Bleeding. [Updated 2021 Feb 10].
In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK532913/
- John J. E. Wantania.2016. Perdarahan uterus abnormal - menoragia pada masa
remaja. Bagian SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas KedokteranUniversitas
Sam Ratulangi.
- Affandi, biran. 2017. Konsensus tatalaksana perdarahan uterus abnormal
karena efek samping kontrasepsi. Jakarta : himpunan reproduksi endokrin dan
fertilisasi indonesia.

III. CA CERVIKS
a) Definisi
Kanker serviks adalah tumbuhnya sel-sel abnormal pada jaringan leher rahim
(serviks). Kanker serviks merupakan kanker primer yang berasal dari serviks
(kanalis servikalis dan atau porsio). Serviks adalah bagian ujung depan rahim yang
menjulur ke vagina.

b) Epidemiologi

Kanker leher rahim (serviks) atau karsinoma serviks uteri merupakan


kanker pembunuh wanita nomor dua di dunia setelah kanker payudara. Setiap
tahunnya, terdapat kurang lebih 500.000 kasus baru kanker leher rahim (cervical
cancer), sebanyak 80% terjadi pada wanita yang hidup di negara berkembang.
Sedikitnya 231.000 wanita di seluruh dunia meninggal akibat kanker leher
rahim. Dari jumlah itu, 50% kematian terjadi di negara-negara berkembang. Hal
tersebut terjadi karena pasien datang dalam stadium lanjut.
Menurut data Departemen Kesehatan RI, penyakit kanker leher rahim saat
ini menempati urutan pertama daftar kanker yang diderita kaum wanita. Saat ini
di Indonesia ada sekitar 100 kasus per 100 ribu penduduk atau 200 ribu kasus
setiap tahunnya. Kanker serviks yang sudah masuk ke stadium lanjut sering
menyebabkan kematian dalam jangka waktu relatif cepat. Selain itu, lebih dari
70% kasus yang datang ke rumah sakit ditemukan dalam keadaan stadium lanjut.
Selama kurun waktu 5 tahun, usia penderita antara 30 – 60 tahun, terbanyak
antara 45- 50 tahun. Periode laten dari fase prainvasif untuk menjadi invasif
memakan waktu sekitar 10 tahun. Hanya 9% dari wanita berusia dibawah 35 tahun
menunjukkan kanker serviks yang invasif pada saat didiagnosis, sedangkan 53%
dari KIS (karsinoma in-situ) terdapat pada wanita diatas usia 35 tahun.

c) Etiologi
Perjalanan penyakit karsinoma serviks merupakan salah satu model
karsinogenesis yang melalui tahapan atau multistep, dimulai dari karsinogenesis
awal sampai terjadinya perubahan morfologi hingga menjadi kanker invasif. Studi-
studi epidemiologi menunjukkan lebih dari 90% kanker serviks dihubungkan
dengan jenis human papiloma virus (HPV). Beberapa bukti menunjukkan kanker
dengan HPV negatif ditemukan pada wanita yang lebih tua dan dikaitkan dengan
prognosis yang buruk. HPV merupakan faktor inisiator kanker serviks. Onkoprotein
E6 dan E7 yang berasal dari HPV merupakan penyebab terjadinya degenerasi
keganasan. Onkoprotein E6 akan mengikat p53 sehingga TSG (Tumor Supressor
Gene) p53 akan kehilangan fungsinya. Sedangkan onkoprotein E7 akan mengikat
TSG Rb, ikatan ini menyebabkan terlepasnya E2F yang merupakan faktor
transkripsi sehingga siklus sel berjalan tanpa kontrol.
d) Manifestasi Klinis
Kanker serviks sering tidak menimbulkan tanda dan gejala. Gejala akan muncul
jika sudah memasuki stadium kanker serviks. Gejala-gejala yang ditimbulkan penyakit
kanker serviks menurut “Kanker Serviks”, Antara Lain:

a. Gejala awal
1) Pendarahan vagina yang abnormal, berupa pendarahan setelah berhubungan
seksual, pendarahan diluar siklus menstruasi atau pendarahan pasca menopause.
2) Menstruasi banyak dan berlangsung lebih dari 7 hari
3) Keputihan banyak yang berlebihan dan berbau tidak sedap.
4) Nyeri saat berhubungan seksual

b. Gejala pada stadium lanjut


1) Anoreksia, berat badan menurun,dan mudah merasa lelah
2) Nyeri pada panggul, pinggang, dan tungkai
3) Gangguan eliminasi
4) Salah satu kaki mengalami pembengkakan
5) Vagina mengeluarkan urine atau feses.
e) Patofisiologi
Karsinoma serviks biasa timbul di daerah yang disebut squamo-columnar
junction (SCJ) atau sambungan skuamo-kolumnar (SSK), yaitu batas antara
epitel yang melapisi ektoserviks (porsio) dan endoserviks kanalis serviks, dimana
secara histologik terjadi perubahan dari epitel ektoserviks yaitu epitel skuamosa
berlapis dengan epitel endoserviks yaitu epitel kuboid/kolumnar pendek selapis
bersilia. Letak SSK dipengaruhi oleh faktor usia, aktivitas seksual dan paritas.
Pada wanita muda SSK berada di luar ostium uteri eksternum, sedangkan pada
wanita berusia di atas 35 tahun SSK berada di dalam kanalis serviks. Oleh karena
itu pada wanita muda, SSK yang berada di luar ostium uteri eksternum ini rentan
terhadap faktor luar berupa mutagen yang akan memicu displasia dari SSK
tersebut. Pada wanita dengan aktivitas seksual tinggi, SSK terletak di ostium
eksternum karena trauma atau retraksi otot oleh prostaglandin.
Pada masa kehidupan wanita terjadi perubahan fisiologis pada epitel
serviks; epitel kolumnar akan digantikan oleh epitel skuamosa yang diduga
berasal dari cadangan epitel kolumnar. Proses pergantian epitel kolumnar
menjadi epitel skuamosa disebut proses metaplasia dan terjadi akibat pengaruh
pH vagina yang rendah. Aktivitas metaplasia yang tinggi sering dijumpai pada
masa pubertas. Akibat proses metaplasia ini maka secara morfogenetik terdapat 2
SCJ, yaitu SCJ asli dan SCJ baru yang menjadi tempat pertemuan antara epitel
skuamosa baru dengan epitel kolumnar. Daerah di antara kedua SSK ini disebut
daerah transformasi.
Penelitian akhir-akhir ini lebih memfokuskan virus sebagai salah satu
faktor penyebab yang penting, terutama virus DNA. Pada proses karsinogenesis
asam nukleat virus tersebut dapat bersatu ke dalam gen dan DNA sel host
sehingga menyebabkan terjadinya mutasi sel. Sel yang mengalami mutasi tersebut
dapat berkembang menjadi sel displastik sehingga terjadi kelainan epitel yang
disebut displasia. Dimulai dari displasia ringan, displasia sedang, displasia berat
dan karsinoma in-situ dan kemudian berkembang menjadi karsinoma invasif.
Tingkat displasia dan karsinoma in-situ dikenal juga sebagai tingkat pra-kanker.

Displasia mencakup pengertian berbagai gangguan maturasi epitel


skuamosa yang secara sitologik dan histologik berbeda dari epitel normal, tetapi
tidak memenuhi persyaratan sel karsinoma. Perbedaan derajat displasia
didasarkan atas tebal epitel yang mengalami kelainan dan berat ringannya
kelainan pada sel. Sedangkan karsinoma in-situ adalah gangguan maturasi epitel
skuamosa yang menyerupai karsinoma invasif tetapi membrana basalis masih
utuh. Klasifikasi terbaru menggunakan istilah Neoplasia Intraepitel Serviks (NIS)
untuk kedua bentuk displasia dan karsinoma in-situ. NIS terdiri dari : 1) NIS 1,
untuk displasia ringan; 2) NIS 2, untuk displasia sedang; 3) NIS 3, untuk displasia
berat dan karsinoma in-situ.
Patogenesis NIS dapat dianggap sebagai suatu spekrum penyakit yang
dimulai dari displasia ringan (NIS 1), displasia sedang (NIS 2), displasia berat
dan karsinoma in-situ (NIS 3) untuk kemudian berkembang menjadi karsinoma
invasif. Beberapa peneliti menemukan bahwa 30-35% NIS mengalami regresi,
yang terbanyak berasal dari NIS 1/NIS 2. Karena tidak dapat ditentukan lesi mana
yang akan berkembang menjadi progesif dan mana yang tidak, maka semua
tingkat NIS dianggap potensial menjadi ganas sehingga harus ditatalaksanai
sebagaimana mestinya.

f) Diagnosis
 Anamnesis
Wanita yang menderita kanker serviks stadium awal atau lesi pra kanker
umumnya tidak mengalami keluhan yang spesifik. Gejala kanker serviks biasanya
dirasakan bila kanker sudah berkembang dan menyerang organ di sekitarnya seperti
rektum, kandung kemih dan organ di luar panggul atau pelvis. Anamnesis dapat
dilakukan untuk menggali keluhan utama, keluhan tambahan, riwayat siklus haid dan
faktor risiko lain termasuk riwayat seksual. Anamnesis yang bisa ditanyakan saat
pasien melakukan pemeriksaan pertama kali diantaranya:

 Menggali Faktor Risiko


- Berapa usia pasien saat ini?
- Apakah pasien sudah pernah berhubungan intim atau aktif secara seksual?
- Berapa usia pertama kali berhubungan intim?
- Apakah pernah menderita penyakit menular seksual sebelumnya?
- Apakah pernah melakukan hubungan intim dengan berganti pasangan?
- Apakah pernah menggunakan KB atau obat hormonal lain?
- Apakah pasien merokok?
- Apakah ada keluarga dekat seperti saudara kandung atau ibu yang menderita
kanker serviks atau kanker yang lain?
- Keluhan Sistem Reproduksi dan Organ Sekitarnya
- Apakah ada keluhan perdarahan dari vagina setelah berhubungan intim (post
coital bleeding)?
- Apakah ada perdarahan atau flek-flek (spotting) di luar siklus haid?
- Apakah ada perdarahan setelah menopause?
- Apakah ada perubahan haid seperti perdarahan yang lebih sering, lebih
banyak, lebih lama dari biasanya, atau perdarahan antara siklus mens?
- Apakah ada nyeri saat berhubungan intim (dispareuni)?
- Apakah ada nyeri di sekitar panggul?
- Apakah ada lendir vagina (vaginal discharge) yang disertai dengan darah dan
bau yang tidak enak / bau busuk?

 Pemeriksaan Fisik

Pada wanita yang menderita kanker serviks stadium awal atau lesi pra kanker
umumnya pemeriksaan fisiknya relatif normal. Pada penderita kanker serviks
stadium lanjut dapat ditemukan abnormalitas pada pemeriksaan fisik baik
pemeriksaan secara sistemik maupun lokalis.

Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan di antaranya:

Tanda-tanda vital seperti tekanan darah saat duduk atau berbaring, suhu tubuh,
denyut nadi dan frekuensi napas. Pemeriksaan kepala leher dilakukan untuk mencari
apakah ada tanda-tanda anemia seperti konjungtiva sklera yang pucat. Pemeriksaan
thoraks dilakukan untuk mencari komplikasi pada jantung dan paru-paru seperti
sesak napas, suara tambahan napas seperti rhonki, tanda efusi pleura seperti
penurunan suara napas dan perkusi redup dan tanda kardiomegali serta suara jantung
tambahan. Pemeriksaan abdomen dilakukan untuk mencari komplikasi pada daerah
perut seperti hepatomegali dan asites. Pemeriksaan ekstremitas untuk mencari
komplikasi seperti anemia yang ditandai dengan pucat pada telapak tangan dan kaki,
pembesaran kelenjar getah bening pada selangkangan, serta edema pada kaki yang
disebabkan oleh obstruksi sistem limfatik atau pembuluh darah oleh tumor.
Pemeriksaan lokalis pada serviks dapat dilakukan dengan inspeksi menggunakan
inspekulo atau spekulum cocor bebek. Pada kanker stadium awal umumnya kondisi
serviks masih terlihat normal. Pada kanker stadium lanjut dapat ditemukan
abnormalitas pada serviks seperti erosi luas, ulkus dan massa. Pemeriksaan palpasi
bimanual pelvis dapat dilakukan untuk mengetahui apakah ada metastasis di rongga
panggul.

 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis kanker


serviks dan stadiumnya di antaranya:
- Pemeriksaan Pap Smear
Pemeriksaan pap smear sebenarnya merupakan pemeriksaan untuk skrining
bukan merupakan tes diagnostik. Hasil pemeriksaan pas smear yang tidak normal
membutuhkan pemeriksaan lanjutan seperti biopsi untuk mendeteksi apakah ada sel
kanker atau tidak.

- Kolposkopi
Kolposkopi merupakan tindakan pemeriksaan inspeksi serviks dengan
menggunakan alat kolposkop. Pasien diposisikan berbaring di meja pemeriksaan
dengan posisi litotomi. Kolposkop merupakan alat pemeriksaan yang berada di luar
tubuh dan memiliki lensa pembesar sehingga dokter dapat melakukan inspeksi yang
lebih akurat bila dibandingkan dengan penggunaan spekulum cocor bebek biasa. Bila
ada bagian yang abnormal, dokter dapat melanjutkan pemeriksaan dengan
melakukan tindakan biopsi.

- Biopsi Serviks
Biopsi serviks merupakan tindakan pengambilan sampel jaringan untuk
dilakukan pemeriksaan histopatologi di bawah mikroskop. Biopsi dapat dilakukan
pada pasien poliklinis. Biopsi dapat menyebabkan rasa nyeri, tidak nyaman, kram
dan perdarahan. Biopsi dapat digunakan sebagai alat diagnostik sekaligus alat terapi
definitif bila lesi abnormalnya kecil.

- CT Scan (Computed Tomography)


CT scan digunakan bila ukuran tumor besar atau diduga ada metastasis.
- MRI (Magnetic Resonance Imaging)
MRI digunakan untuk mendeteksi metastasis di jaringan lunak atau soft
tissue.

- IVP (Intravenous Pielography)


IVP merupakan pemeriksaan X-ray untuk mendeteksi kelainan pada sistem
perkemihan (urinary system). IVP dilakukan dengan menyuntikkan cairan kontras
pada pembuluh darah vena untuk kemudian dilakukan foto rontgen. Kanker serviks
biasanya menyebabkan sumbatan ureter. Pemeriksaan ini umumnya lebih jarang
digunakan karena dengan menggunakan CT scan atau MRI sudah dapat dideteksi
kelainan pada sistem urinari pasien kanker serviks.

g) Tatalaksana
Pada tingkat pelayanan primer dengan sarana dan prasarana terbatas dapat
dilakukan program skrining atau deteksi dini dengan tes IVA. Skrining dengan tes
IVA dapat dilakukan dengan cara single visit approach atau see and treat program,
yaitu bila didapatkan temuan IVA positif maka selanjutnya dapat dilakukan
pengobatan sederhana dengan krioterapi oleh dokter umum atau bidan yang sudah
terlatih. Pada skrining dengan tes Pap smear, temuan hasil abnormal
direkomendasikan untuk konfirmasi diagnostik dengan pemeriksaan kolposkopi.
Bila diperlukan maka dilanjutkan dengan tindakan Loop Excision Electrocauter
Procedure (LEEP) atau Large Loop Excision of the Transformation Zone (LLETZ)
untuk kepentingan diagnostik maupun sekaligus terapeutik. Bila hasil elektrokauter
tidak mencapai bebas batas sayatan, maka bisa dilanjutkan dengan tindakan konisasi
atau histerektomi total.

DUKUNGAN NUTRISI
Pasien kanker serviks berisiko mengalami malnutrisi dan kaheksia kanker,
sehingga perlu mendapat terapi nutrisi adekuat, dimulai dari skrining gizi, dan
apabila hasil skrining abnormal (berisiko malnutrisi), dilanjutkan dengan diagnosis
serta tatalaksana nutrisi umum dan khusus. Tatalaksana nutrisi umum mencakup
kebutuhan nutrisi umum (termasuk penentuan jalur pemberian nutrisi),
farmakoterapi, aktivitas fisik, dan terapi nutrisi operatif (lihat lampiran). Pasien
kanker serviks dapat mengalami gangguan saluran cerna, berupa diare, konstipasi,
atau mual-muntah akibat tindakan pembedahan serta kemo- dan atau radio-terapi.
Pada kondisi-kondisi tersebut, dokter SpGK perlu memberikan terapi nutrisi khusus,
meliputi edukasi dan terapi gizi serta medikamentosa, sesuai dengan masalah dan
kondisi gizi pada pasien.
Penyintas kanker sebaiknya memiliki BB ideal dan menerapkan pola makan
yang sehat, tinggi buah, sayur dan biji-bijian, serta rendah lemak, daging merah, dan
alkohol dan direkomendasikan untuk terus melakukan aktivitas fisik sesuai
kemampuan secara teratur dan menghindari gaya hidup sedenter (Rekomendasi
tingkat A).

REHABILITASI MEDIK
Rehabilitasi medik bertujuan untuk mengoptimalkan pengembalian
kemampuan fungsi dan aktivitas kehidupan sehari-hari serta meningkatkan kualitas
hidup pasien dengan cara aman & efektif, sesuai kemampuan fungsional yang ada.

h) Prognosis
Prognosis untuk kanker sering dilaporkan dalam bentuk 5-year survival rate.
Untuk kanker serviks, 5-year survival rate berdasarkan stadium adalah

Stadium I : 80-93%
Stadium II : 58-63%
Stadium III : 32-35%
Stadium IV : 15-16%
Kanker serviks dapat dicegah dengan pemberian vaksin dan teknik skrining
yang mendeteksi lesi pra-kanker pada serviks. Insidens kanker serviks di negara
maju menurun secara bermakna setelah dikenalkannya Pap smear untuk mendeteksi
perubahan pra-kanker yang dapat diterapi sebelum berlanjut menjadi kanker

Referensi:

1. Laras, L. 2019. Analisis Faktor Terjadinya Kanker Serviks. Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia. Universitas Indonesia. Jakarta

2. Kementerian Kesehatan RI. 2017. Panduan Penatalaksanaan Kanker Serviks

3. Prabanurwin, E. 2018. Kanker Serviks. Fakultas Kedokteran Universitas


Muhammdiyah Semarang. Universitas Muhammadiyah Semarang.

4. Cancer research UK. Symptoms of cervical cancer. 2017. Diunduh dari:


http://www.cancerresearchuk.org/about-cancer/cervical-cancer/symptoms

5. American Cancer Society. Signs and Symptoms of cervical cancer. 2017. Diunduh
dari: https://www.cancer.org/cancer/cervical-cancer/detection-diagnosis-
staging/signs-symptoms.html

6. American Cancer Society. Tests for cervical cancer. 2017. Diunduh dari:
https://www.cancer.org/cancer/cervical-cancer/detection-diagnosis-staging/how-
diagnosed.html

6. Bagaimana tatalaksana berdasarkan scenario ?


Penanganan perdarahan uterus abnormal

Dalam kasus ini, prinsip terapi bertindak berdasarkan stabilitas


endometrium atau mengendalikan faktor-faktor yang menyebabkan
deskuamasi dan penyembuhan endometrium. Jika pengobatan ini gagal, pilihan
pembedahan yang tersedia juga akan disajikan.

Penanganan Pertama
Penanganan pertama ditentukan pada kondisi hemodinamik. Bila
keadaan hemodinamik tidak stabil segera masuk rumah sakit untuk perawatan
perbaikan keadaan umum. Bila keadaan hemodinamik stabil, segera dilakukan
penanganan untuk menghentikan perdarahan.

Perdarahan Ireguler

Perdarahan ireguler dapat dalam bentuk metroragia, menometroragia,


oligomenorea, perdarahan memanjang yang sudah terjadi dalam hitungan
minggu atau bulan dan berbagai bentuk pola perdarahan lainnya. Bentuk pola
perdarahan di atas digabungkan karena mempunyai penanganan yang relatif
sama. Perdarahan ireguler melibatkan banyak macam pola perdarahan dan
tentunya mempunyai berbagai macam penyebab. Sebelum memulai dengan
terapi hormon sebaiknya penyebab sistemik dievaluasi lebih dulu, seperti yang
dilakukan di bawah ini :

• Periksa TSH: evaluasi penyakit hipotiroid dan hipertiroid sebaiknya dilakukan


sejak awal.

• Periksa prolaktin: bila ada oligomenorea atau hipomenorea

• Lakukan PAP smear: bila didapatkan perdarahan pascasanggama

Bila curiga atau terdapat risiko keganasan endometrium: lakukan biopsi


endomerrium dan pertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan dengan USG
transvagina. Bila terdapat keterbatasan untuk melakukan evaluasi seperti
tersebut di atas dapat segera melakukan pengobatan seperti di bawah ini, yaitu:

- Kombinasi estrogen progestin

Berikan pil kontrasepsi kombinasi dosis 1 x 1 tablet sehari, diberikan secara


siklik selama 3 bulan.

-Progestin
Bila terdapat kontraindikasi pemakaian pil kontrasepsi kombinasi, dapat diberi
pro- gestin misalnya: MPA 10 mg 1 x 1 tablet per hari. Pengobatan dilakukan
selama 14 hari dan dihentikan selama 14 hari. Pengobatan progestin diulang
selama 3 bulan.

Bila pengobatan medikamentosa gagal sebaiknya dipertimbangkan


untuk dirujuk ke tempat pengobatan dengan fasilitas yang lebih lengkap.
Pemeriksaan USG transvagina atau infus salin sonohisterografi dilakukan
untuk mendeteksi mioma uteri dan polip endometrium. Kegagalan terapi
medikamentosa bisa menjadi pertimbangan untuk melakukan tindakan bedah,
misalnya ablasi endometrium, reseksi histeroskopi, dan histerektomi.

Pada keadaan tertentu terjadi variasi minor perdarahan ireguler yang


tidak diperlukan evaluasi seperti diterangkan di atas. Perdarahan ireguler terjadi
dalam 2 tahun setelah menarke biasanya karena anovulasi akibat belum
matangnya poros hipotalamus hipofisis - ovarium. Haid tidak datang dengan
interval memanjang sering terjadi pada periode perimenopause. Pada keadaan
demikian konseling sangat diperlukan, tetapi bila diperlukan dapat diberi
kombinasi estrogen progesteron.

Menoragia

Menoragia adalah perdarahan lebih dari 80 ml atau ganti pembalut lebih


dari 6 kali per hari dengan siklus yang normal teratur. Perhitungan jumlah darah
seringkali tidak sesuai dengan jumlah perdarahan yang keluar.

Menoragia dapat ditangani tanpa biopsi endometrium. Karena siklusnya


yang masih teratur jarang merupakan tanda kondisi keganasan. Walaupun
demikian, bila perdarahan lebih dari 7 hari atau terapi dengan obat gagal,
pemeriksaan lanjut menggunakan USG transvagina dan biopsi endometrium
sangat dianjurkan. Pemeriksaan faal pembekuan darah sebaiknya dilakukan.
Pengobatan medikamentosa untuk menoragia dapat dilakukan seperti di bawah
ini, yaitu:

• Kombinasi estrogen progestin Tata cara pengobatan sesuai pada pengobatan


perdarahan ireguler

• Progestin Diberikan bila terdapat kontraindikasi pemakaian estrogen. Tata


cara pengobatan sesuai dengan pengobatan perdarahan ireguler.

• NSAID (Obat anti inflamasi nonsteroid)

• Alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) berisi Levonorgestrel AKDR


Levonorgestrel terbukti efektif dan efisien dibandingkan operasi histerektomi
pada kasus menoragia.

Penanganan dengan Medikamentosa Nonhormon

Penanganan medikamentosa diberikan bila tidak ditemukan keadaan


patologi pada panggul. Tujuan medikamentosa tersebut adalah mengurangi
jumlah darah yang keluar, menurunkan risiko anemia, dan meningkatkan
kualitas hidup. Medikamentosa non- hormon yang dapat digunakan untuk
perdarahan uterus abnormal adalah sebagai berikut :

Obat Antiinflamasi Nonsteroid (NSAID)

Terdapat 5 kelompok NSAID berdasarkan susunan kimianya, yaitu (1)


Salisilat (aspirin), (2) Analog asam indoleasetik (indometasin), (3) Derivat
asam aril proponik (ibuprofen), (4) Fenamat (asam mefenamat), (5) Coxibs
(celecoxib). Empat kelompok pertama bekerja dengan menghambat
siklooksigenase-1 (COX-1) dan kelompok terakhir bekerja menghambat
siklooksigenase-2 (COX-2).
Asam mefenamat diberikan dengan dosis 250 - 500 mg 2 - 4 kali sehari.
Ibuprofen diberikan dengan dosis 600 - 1.200 mg per hari. NSAID dapat
memperbaiki hemostasis endometrium dan mampu menurunkan jumlah darah
haid 20 - 50%. Efek samping secara umum adalah dapat menimbulkan keluhan
gastrointestinal dan merupakan kon- traindikasi pada perempuan dengan ulkus
peptikum.

Antifibrinolisis

Endometrium memiliki sistem fibrinolitik. Pada perempuan dengan


keluhan menoragia ditemukan kadar aktivator plasminogen pada endometrium
yang lebih tinggi dari normal. Penghambat aktivator plasminogen atau obat
antifibrinolisis dapat digunakan untuk pengobatan menoragia.

Asam traneksamat bekerja menghambat plasminogen secara reversibel


dan bila di- berikan saat haid mampu menurunkan jumlah perdarahan 40 - 50%.
Efek samping asam traneksamat adalah keluhan gastro intestinal dan
tromboemboli yang ternyata keja- diannya tidak berbeda bermakna
dibandingkan kejadian pada populasi normal.

Penanganan dengan Terapi Bedah

Faktor utama yang mempengaruhi pilihan penanganan perdarahan


uterus abnormal adalah apakah penderita telah menggunakan pengobatan
medikamentosa pilihan pertama dengan sedikit kesembuhan atau tidak ada
perbaikan keluhan sama sekali. Jika keadaan ini terjadi, penderita akan menolak
untuk kembali ke pengobatan medikamentosa, sehingga terapi bedah menjadi
pilihan.

Histerektomi merupakan prosedur bedah utama yang dilakukan pada


kegagalan terapi medikamentosa. Angka keberhasilan terhadap perdarahan
mencapai 100%. Angka kepuasan cukup tinggi mencapai 95% setelah 3 tahun
pascaoperasi. Walaupun demikian, komplikasi tetap bisa terjadi berupa
perdarahan, infeksi, dan masalah penyembuhan luka operasi. Saat ini telah
dikembangkan prosedur bedah invasif minimal dengan cara ablasi untuk
mengurangi ketebalan endometrium. Cara ini diduga lebih mudah dilakukan,
dan sedikit komplikasi. Namun, tentunya masih perlu bukti dengan dilakukan
evaluasi lebih lanjut. Beberapa prosedur bedah yang saat ini digunakan pada
penanganan per- darahan uterus abnormal adalah ablasi endometrium, reseksi
transerviks, histeroskopi operatif, miomektomi, histerektomi, dan oklusi atau
emboli arteri uterina

Referensi :

1.Benetti-Pinto CL, De Sá Rosa-E-Silva ACJ, Yela DA, Júnior JMS.


Sangramento uterino anormal. Rev Bras Ginecol e Obstet. 2017;39(7):358–68.

2. Prawirohardjo, S. Ilmu Kandungan. (PT Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo, 2011)

7. Jelaskan pencegahan dan edukasi terkait skenario !


1. Mengatur pola makan dengan memenuhi asupan nutrisi yang dibutuhkan
tubuh sehingga mengurangi craving makanan yang tidak sehat dan teratur
2. Menyeimbangkan dan memperbaiki kerja sistem saraf tubuh, termasuk di
otak sehingga tidak mudah stress
3. Menyeimbangkan hormon tubuh dengan nutrisi yang cepat diserap dan
dibutuhkan setiap sel dalam tubuh
4. Melancarkan pencernaan dan mengontrol nafsu makan sehingga mencegah
berat badan berlebihan
5. Cegah dan atasi anemia. Berikan vitamin yang mengandung zat besi untuk
mencegah anemia.
6. Menggunakan kontrasepsi secara konsisten, seperti yang diarahkan oleh
dokter saat konsultasi.
7. Olahraga secara teratur
8. Belajar dan berlatih relaksasi untuk mengurangi dan mengatasi stres.

Edukasi Gangguan Menstruasi

Penderita gangguan haid harus segera memeriksakan dirinya sehingga dapat


segera diketahui penyebab utamanya dan diagnosis pastinya dan dapat segera
ditatalaksana secara tepat.

Pada beberapa pasien, dapat diajarkan mengenai menstrual diary, yang akan
berguna bagi pasien dan dokter dalam melakukan tatalaksana. Menstural diary
seharusnya berisikan tanggal mulainya menstruasi, tanggal selesai menstruasi,
dan banyaknya darah yang keluar.

Kebersihan menstruasi. Ganti pembalut setiap 4-6 jam. Hindari


menggunakan pembalut atau tampon berparfum, serta deodoran wanita yang
dapat mengiritasi bagian kewanitaan.

Referensi :

1. Sinaga, Ernawati Dkk. 2017. Manajemen Kesehatan Menstruasi. Global One


2. Sugarni, Mika. 2019. Gangguan Menstruasi. Universitas Hasanuddin Makassar
8. Apa perspektif islam sesuai skenario !

Artinya:

“Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah (darah) haid adalah kotoran,

maka menjauhlah kalian dari istri kalian di tempat keluarnya haid. Dan janganlah

kalian mendekati mereka sampai mereka suci. Jika mereka telah bersuci maka

datangilah (campurilah) mereka sesuai dengan cara yang diperintahkan Allah kepada

kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan orang-orang yang

menyucikan diri.” (QS. Al-Baqarah/2:222)16


DAFTAR PUSTAKA
• American Cancer Society. Signs and Symptoms of cervical cancer. 2017.
Diunduh dari: https://www.cancer.org/cancer/cervical-cancer/detection-
diagnosis-staging/signs-symptoms.html
• American Institute of Ultrasound in Medicine. AIUM Practice Guideline for
The Performance of Sonohysterography. J Ultrasound Med 2012 ; 31
• Benetti-Pinto CL, De Sá Rosa-E-Silva ACJ, Yela DA, Júnior JMS.
Sangramento uterino anormal. Rev Bras Ginecol e Obstet. 2017;39(7):358–68.
• Cancer research UK. Symptoms of cervical cancer. 2017.
• Hapangama, DK, & Bulmer, JN (2016). Patofisiologi perdarahan menstruasi
berat. Kesehatan wanita (London, Inggris) , 12 (1), 3–
13. https://doi.org/10.2217/whe.15.81
• Hendarto, Hendy. 2011. Ilmu Kandungan, Edisi 3. Jakarta: PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.
• John J. E. Wantania.2016. Perdarahan uterus abnormal - menoragia pada masa
remaja. Bagian SMF Obstetri dan Ginekologi FK Universitas Sam Ratulangi.
• Jurnal Biomedik (JBM), Volume 8, Nomor 3, November 2016, hlm 135-142
• Kementerian Kesehatan RI. 2017. Panduan Penatalaksanaan Kanker Serviks
• Laras, L. 2019. Analisis Faktor Terjadinya Kanker Serviks. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
• NICE Clinical Guidline, Heavy Menstrual Bleeding. London. 2017.
• Prabanurwin, E. 2018. Kanker Serviks. Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammdiyah Semarang. Universitas Muhammadiyah Semarang.
• Prawirohardjo, S. Ilmu Kandungan. (PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo,
2011)
• Pubmed Health. Heavy Period: Overview. 2013. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0072478/
• Reed, Beverly G., and Bruce R. Carr. "The normal menstrual cycle and the
control of ovulation." Endotext [Internet]. MDText. com, Inc., 2015.
• S. Gokyildiz, E.Aslan, N.K. Beji, M. Mecdi. The Effect of Mennorhagia on
Womens’s Quality of Life. ISRN Obstetric and Gynecology, 2013.
• Saline Infusion Sonohysterography Pada Kelainan Endometrium Dan Tes
Patensi Tuba Dr. Putu Doster Mahayasa, Sp.OG(K) BAGIAN / SMF
OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FK UNUD / RSUP SANGLAH
DENPASAR 2014
• Shaw, J.A. Menorrhagia 2017. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/255540
• Sherwood, Lauralee. 2019. Fisiologi Manusia : Dari Sel ke Sistem, Edisi 9.
Jakarta : EGC
• Sinaga, Ernawati Dkk. 2017. Manajemen Kesehatan Menstruasi. Global One
• Sugarni, Mika. 2019. Gangguan Menstruasi. Universitas Hasanuddin
Makassar
• Suwito Tjondro Hudono. Pemeriksaan Ginekologi dalam Sarwono
Prawirohardjo. Ed.Ilmu Kandungan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka, 2011.
• Walker MH, Coffey W, Borger J. Menoragia. [Diperbarui 2022 Februari 5]. Di:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): Penerbitan StatPearls; 2022 Jan-
.Tersedia dari: https://www-ncbi-nlm-nih-
gov.translate.goog/books/NBK536910/?_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=i
d&_x_tr_pto=sc
• WN panjang. Pendarahan Vagina Tidak Normal. Dalam: Walker HK, Hall WD,
Hurst JW, editor. Metode Klinis: Anamnesis, Pemeriksaan Fisik, dan
Laboratorium. edisi ke-3. Boston: Butterworth; 1990. Bab 173. Tersedia dari:
https://www-ncbi-nlm-nih
gov.translate.goog/books/NBK282/?_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&
_x_tr_pto=sc

Anda mungkin juga menyukai