Anda di halaman 1dari 31

SYOK ANAFILAKTIK

OLEH KARENA OBAT

OLEH:
I G N Paramartha W P (0702005123)

PEMBIMBING
Prof.Dr.dr.Tjokorda Raka putra,SpPD-KR

DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT DALAM
FK UNIVERSITAS UDAYANA/RSUP SANGLAH
2017
KATA PENGANTAR

Atas berkat rahmaTuhan Yang Maha Esa, penulis dapat menyelesaikan responsi
yang berjudul “Syok Anafilaksis Oleh Karena Obat” tepat pada waktunya.
Tugas ini merupakan salah satu syarat didalam mengikuti Kepanitraan Klinik
Madya di bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Banyak berbagai pihak yang membantu penulis dalam menyelesaikan tugas
ini. oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Prof.Dr.dr.Tjokorda Raka Putra,SpPD-KR selaku pembimbing dan penguji.
2. Dr.dr.Ketut Suega,SpPD-KHOM, selaku kepala bagian di bagian Ilmu
Penyakit Dalam.
3. Kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tugas ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu kritik dan saran sangat penulis harapkan.

Denpasar, 2017

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Penghantar.......................................................................................... ii
Daftar Isi..................................................................................................... iii
BAB I Pendahuluan.................................................................................... 1
BAB II Laporan Kasus................................................................................ 2
2.1 Identitas Pasien............................................................................ 2
2.2 Anamnesis................................................................................... 2
2.3 Pemeriksaan Fisik........................................................................ 5
2.4 Pemeriksaan Penunjang............................................................... 7
2.5 Diagnosis………………………………………………………. 9
2.6 Penatalaksanaan........................................................................... 9
BAB III Pembahasan.................................................................................. 11
3.1 Faktor Predisposisi dan etiologi………………………………… 13
3.2 Patofisiologi…………………………………………………… 16
3.3 Manifestasi Klinis……………………………………………… 17
3.4 Pemeriksaan Penunjang………………………………………… 20
3.5 Diagnosis………………………………………………………… 20
3.6 Penatalaksanaan…………………………………………………. 22
BAB IV Kesimpulan.................................................................................. 25
Daftar Pustaka............................................................................................. 28
Responsi Kasus

Syok Anafilaksis Oleh Karena Obat


I G N Paramartha W P
Pembimbing: Prof.Dr.dr.Tjokorda Raka Putra,SpPD-
KR Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam / RSUP Sanglah
Denpasar

I. Pendahuluan

Definisi anafilaksis adalah sindroma klinik (kompleks gejala) yang timbul


secara mendadak sebagai akibat perubahan permeabilitas vaskuler dan
hiperaktivitas bronkial karena kerja dari mediator – mediator endogen yang
dihasilkan oleh sel – sel mast dan basofil akibat stimuli antigen. Jadi anafilaksis
merupakan reaksi antigen – antibodi ( reaksi hipersensitivitas ). Penderita yang
terlambat mendapat penanganan reaksi anafilaksis akan berlanjut ke fase syok
anafilaksis. Syok anafilaksis termasuk dalam kegawatan medis dan harus
segera ditangani karena dapat segera jatuh ke situasi yang membahayakan
bahkan fatal.1
Angka kejadian yang pasti sukar diperoleh karena sering tidak dilaporkan. Di
Amerika Serikat diperkirakan 1-2% pasien yang disuntik dengan antibiotik
mengalami reaksi anafilaksis dan 400-800 di antaranya meninggal per tahun.
15% dari populasi Amerika Serikat mempunyai risiko untuk reaksi anafilaksis.2
Sampai 500-1,000 kasus fatal anafilaksis per tahun diestimasi akan terjadi di
Amerika Serikat.3
Reaksi ini lebih sering terjadi pada mereka yang mempunyai riwayat atopi atau
reaksi alergi sebelumnya. Umumnya tidak ditemukan predisposisi ras, jenis
kelamin, umur atau musim. Reaksi anafilaksis karena obat lebih sering pada
mereka yang sudah menggunakan obat yang sama berulang-ulang.2,3
II. Laporan Kasus
2.1 Identitas Pasien

 Nama : PK
 Jenis Kelamin : Laki-laki
 Umur : 24 tahun
 Alamat : Bedeng Proyek Pt Prada Ungasan, Kuta, Badung
 Pekerjaan : Lain- lain
 Pendidikan : Tamat SD
 Agama : Kristen
 Suku : Sumba
 Status : Belum Menikah
 Tanggal MRS : 05/09/2012

2.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Sesak napas

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien mengeluh sesak napas sejak ± 17 jam sebelum masuk rumah sakit
setelah disuntik obat. Sesak dirasakan timbul secara tiba-tiba seperti sulit
untuk mengambil napas dan tidak membaik dengan perubahan posisi. Sesak
awalnya terasa ringan, namun dalam setengah jam semakin memberat.
Pasien mengatakan sesak napas muncul ± 30 menit setelah perawat
memasukkan obat.
Pasien juga mengeluh bengkak di kedua mata dan bibirnya sejak ± 30 menit
setelah perawat memasukkan obat. Mata dirasakan semakin bengkak dan
kemerahan. Sensasi seperti terbakar juga dirasakan pada bibir pasien.
Pasien juga mengeluh gatal dan kemerahan pada seluruh tubuhnya sejak ±
30 menit setelah perawat memasukkan obat terutama pada tangan dan
kakinya. Gatal tidak berkurang dengan garukan.
Pasien juga mengeluh mual setelah timbul kemerahan pada seluruh tubuh ±
40 menit setelah memasukkan obat. Mual tidak disertai dengan muntah.
Mual dirasakan terus menerus, disertai rasa tidak enak pada tenggorokan.
Pasien dikatakan oleh penunggunya sempat dikatakan seperti orang bingung.
Keluhan bingung tersebut terjadi sesaat setelah pasien mengeluh bengkak
pada bibir dan mual. Pasien sempat tidak mengenali penunggunya untuk
beberapa saat.
Pasien juga mengeluhkan mencret sudah sebanyak dua kali sejak tadi pagi
(6/9/2012), dengan konsistensi cair, ampas dikatakan sedikit, berwarna
kuning, volume ±200 cc. Darah segar dikatakan tidak ada. BAB berwarna
coklat juga disangkal oleh pasien.
Pasien mengeluh batuk darah 1 hari SMRS dengan frekuensi 1 kali dan
dengan volume ± 200 cc. Keluhan sesak dan nyeri dada yang menyertai
batuk disangkal. Pasien juga mengeluh demam sejak 5 hari berturut-turut
SMRS. Demam dikatakan berupa rasa panas pada seluruh tubuh namun
pasien tidak sempat mengukur suhu tubuhnya. Demam dirasakan menetap
hingga mengganggu aktivitas sehari-hari dan menyebabkan nafsu makan
menurun. Demam dikatakan membaik setelah minum obat penurun panas
namun muncul kembali beberapa jam kemudian. Demam dirasakan tiba-tiba
dan terus menetap. Demam tidak disertai menggigil. Inilah sebab pasien
dibawa berobat ke RSUP Sanglah pada tanggal 5 September 2012. Keluhan
sesak dan nyeri dada yang menyertai batuk disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien dikatakan menderita penyakit HIV Stadium IV diketahui sejak ± 5
bulan yang lalu dan TB paru yang diketahui ± 2 bulan yang lalu . Namun
pasien tidak rutin meminum obat yang diberikan oleh dokter dan jarang
sekali untuk kontrol ke dokter. Riwayat OAT kategori I selama 1 minggu
SMRS.
Tanggal 05/09/2012 pasien datang dan didiagnosis dengan Hemoptisis e.c
Susp. TB paru + infeksi Sekunder (Pnemonia/HCAP) + B24 Stadium IV.
Diberikan obat Codein, paracetamol, asam tranexamat, ceftazidine,
ciprofloxacin, ambroxol, OAT kategori I dilanjutkan.
Saat di ruangan tanggal 06/09/2012 jam 08.30 pasien diberikan obat codein,
paracetamol, asam tranexamat, ceftazidine, ciprofloxacin, ambroxol, dan
cotrimoxasol, ± 30 menit kemudian pasien mengeluh timbul kemerahan
pada wajah dan tangan, disertai rasa tertekan didada.
Pasien menyangkal memiliki keluhan yang sama sebelumnya. Pasien
menyangkal memiliki penyakit asma dan menyangkal mengkonsumsi obat-
obatan untuk asma. Pasien menyangkal memiliki alergi terhadap obat-
obatan maupun debu.

Tabel 1. Kronologis pasien datang, obat yang diberikan, dan keluhan


Tanggal Jam Keluhan Obat Masuk
05/09/2012 23.15 Pasien ke UGD RSUP
Sanglah dengan keluhan
utama batuk darah
Panas badan sejak 5 hari
yang lalu
Pasien kemudian
didiagnosis :
Hemoptisis e.c susp TB
paru + infeksi Sekunder
(Pnemonia/HCAP)
B24 stadium 4
06/09/2012 01.00 Codein 3x10 mg
Asam tranexamat 3x500 mg
IV Ceftazidine 3 x 1 g IV
Ambroxol 3 x CI
Paracetamol 3 x 500 mg
08.00 Pasien masuk ruangan
Nusa Indah
08.30 Diberikan obat diruangan Codein 3x10 mg
Asam tranexamat 3x500 mg
IV Ceftazidine 3 x 1 g IV
Ambroxol 3 x CI
Paracetamol 3 x 500 mg
Cotrimoxasole 1 x 960 mg
OAT kategori I
09.00 Timbul kemerahan pada
wajah, badan, dan lengan
disertai sesak nafas, mual,
dan rasa tertekan di dada

Riwayat Penyakit dalam Keluarga :


Tidak ada anggota keluarga yang menderita keluhan serupa seperti penderita.
Tidak ada riwayat asma, gatal-gatal berulang pada kulit, maupun bersin-
bersin berulang pada keluarga penderita.

Riwayat Sosial :
Pasien adalah seorang perokok berat sejak usia remaja. Pasien dalam sehari
bisa menghabiskan hingga 1-2 bungkus rokok. Pasien berhenti bersekolah
setelah tamat SD dan sejak itu sering melakukan berbagai kerja sementara
seperti bartender di tempat- tempat hiburan dan sering mengkonsumsi
alkohol di tempat kerja. Riwayat penggunaan jarum suntik disangkal oleh
penderita.

2.2 Pemeriksaan Fisik


Kondisi Umum : Sedang
Kesadaran : Compos Mentis / E4V5M6
Berat Badan : 64 kg
Tinggi badan : 168 cm
IMT : 22,72 kg/m2

Tanda-Tanda Vital :
Tekanan Darah : 80/60 mmHg
Nadi : 112 x/menit, lemah, reguler, tidak kuat
angkat Pernafasan : 24 x/menit
Suhu Aksila : 39,1 OC

Pemeriksaan Umum :
Kepala : Normocephali
Mata : Anemis -/-, Ikterus -/-, Reflek Pupil +/+ Isokor, Edema Palpebra
+/+
THT : Pembesaran tonsil (-), Hiperemis faring (-), Atrofi lidah
(-), Edema bibir (+)
Leher : JVP PR + 0 cmH2O, Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thorax : Inspeksi : Simetris, tidak tampak pulsasi iktus kordis
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, Vokal fremitus N / N
Perkusi : Batas atas jantung setinggi ICS II
Batas bawah jantung setinggi ICS V
Batas kanan jantung pada PSL kanan
Batas kiri jantung pada MCL kiri
Auskultasi : Cor: S1S2 tunggal, regular, murmur (-)
Pulmo: Vesikuler +/+, Ronkhi -/- , Wheezing -/-
Abdomen: Inspeksi : Distensi (-)
Auskultasi : Bising Usus (+) Normal
Palpasi : Hepar tidak teraba, Lien tidak teraba, Nyeri tekan
(-)
Perkusi : Timpani (+)
Ekstremitas : Hangat ++ / ++ Edema: - -/- -
Eritema generalisata berbatas tidak tegas pada seluruh tubuh (+)

2.3 Pemeriksaan Penunjang

Darah Lengkap ( 6 September 2012)

Parameter Nilai Unit Remarks Nilai Normal


WBC 10,02 103/μL 4,10-11,00
9,33
#Ne 103/μL 2,50 -7.50
(93,1%)
#Lym 0,16 (1,6%) 103/μL 1,00- 4,00
#Mo 0,34 (3,3%) 103/μL 0,10-1,20
#Eo 0,15(1,5%) 103/μL 0,00 – 0,50
#Ba 0,01 (0,0%) 103/μL 0,00 – 0,10
RBC 4,07 103/μL Rendah 4,50 – 5,90
HGB 9,40 g/dl Rendah 13,50 – 17,50
HCT 29,00 % Rendah 41,00 – 53,00
MCV 71,20 fl Rendah 80,00 – 100,00
MCH 23,00 pg Rendah 27,00 – 31,20
MCHC 32,30 g/dl 31,80 – 35,40
PLT 141 K/ul Rendah 150,00 – 440,00

Analisa gas darah ( 6 September 2012)


06/09/2012 Nilai normal
pH 7,44 7,35-7,45
pCO2 26 mmHg 35,00-45,00 (mmHg)
pO2 155 mmHg 80,00-100,00 (mmHg)
-
H CO3 17,7 mmol/L 22,00-26,00 ( mmol/L)
T CO2 18,5 mmol/L 24,00-30,00 (mmol/L)
BE -3,10 -2-2 (mmol/L)
S O2 99,00 95,00-100,00 (%)
T Hbc 19,50 13,00-18,00 (g/dL)

Kimia Darah ( 5 September 2012)


05/09/2012 Nilai normal
SGOT 65,68 11-33 U/L
SGPT 47,28 11-50 U/L
BUN 8,338 8-23 mg/dL
Creatinin 0,74 0,5-1,2 mg/dL
Natrium 135,00 136-145 mmol/L
Kalium 3,30 3,5-5,1 mmol/L
GDS 130,10 <140

EKG ( 05/09/2012) :
Sinus takikardia
HR: 113 x/menit
Axis normal P-R interval
normal S-T change (-)

Rontgen Thorax AP (5 September 2012)


Cor : Besar dan bentuk normal
Pulmo :
- Tak tampak infiltrat atau nodul, corakan bronkovaskular normal

- Sinus pleura kanan kiri tajam

- Diafragma kanan/kiri normal

Tulang : Tak tampak kelainan


Kesan :
- Cor dan pulmo tak tampak kelainan

2.4 Diagnosis Kerja


- Syok Anafilaksis oleh karena obat

- Hemoptisis ec. TB Paru on treatment

- Infeksi HIV st IV (WHO)

- Anemia hipokromik mikrositer oleh karena perdarahan kronis

2.5 Penatalaksaan

Planning Terapi
- Oksigen 2-4 lpm
- IVFD NaCl 0,9% 20 tetes/menit

- Adrenalin 0,3 cc IM

- Diphenhydramine 1 x 10mg IV (diberikan setelah pasien stabil)

- Methylprednisolone 2 x 62,5 mg IV

- Stop obat-obat yang dicurigai (Codein, paracetamol, asam tranexamat,


ceftazidine, ciprofloxacin, ambroxol, cotrimoxasol, dan OAT)

- Kompres hangat

Planning Diagnostik
 Tes immunology IgE total

Monitoring
 Vital sign
 Keluhan

Prognosis
 Dubius ad bonam

III. Pembahasan
Reaksi anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas tipe 1 atau tipe cepat, sistemik,
mengancam hidup pada orang yang sensitif terhadap antigen tertentu, yang
timbul dalam beberapa menit setelah terpapar antigen tersebut.1 Menurut
kriteria Sampson HA, et al. JACI 2006 ada tiga kriteria klinis dalam
mendiagnosis anafilaksis yaitu :1
1. Onset yang akut (terjadi dalam beberapa menit sampai jam) dengan
melibatkan kulit, jaringan mukosa, atau keduanya. Contoh gatal diseluruh
permukaan kulit, pembengkakan di bibir, lidah, atau uvula.
Dengan disertai satu dari dua kelainan dibawah :
a. Kelainan sistem respirasi ( dyspnea, wheeze-bronchospasm, stridor,
hypoxemia).
b. Penurunan tekanan darah atau keterlibatan gejala disfungsi organ
(hipotonia, pingsan, inkontinensia).
2. Dua atau lebih gejala dibawah yang terjadi setelah terpapar alergen yang
terjadi dalam beberapa menit sampai jam :
a. Keterlibatan kulit dan mukosa (contoh gatal diseluruh permukaan kulit,
pembengkakan di bibir, lidah, atau uvula )
b. Kelainan respirasi (dyspnea, wheeze-bronchospasm, stridor,
hypoxemia).
c. Penurunan tekanan darah atau keterlibatan gejala disfungsi organ
(hipotonia, pingsan, inkontinensia).
d. Gejala gastrointestinal yang persisten (contoh kram abdomen, nyeri,
atau muntah)
3. Penurunan tekanan darah setalah terpapar alergen dalam beberapa menit
atau jam :
a. Bayi dan anak-anak : tekanan darah sistolik yang rendah atau dibawah
30% dari darah sistolik normal
b. Dewasa : tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau penurunan
tekanan darah dibawah 30% dari tekanan darah ormal orang tersebut.
Pada kasus diatas memenuhi ketiga kriteria Sampson HA, et al. JACI 2006.
Pasien terjadi keluhan di kulit dan mukosa seperti gatal-gatal dan kemerahan
diseluruh tubuh, disertai bengkak pada kelopak mata dan bibir. Pasien
diinjeksikan obat secara intravena ± 30 menit yang lalu. Pasien terpapar allergen
dari suntikan tersebut dan keluhan yang terjadi dalam ± 30 menit. Yang artinya
memenuhi kriteria, kejadian terpapar allergen dalam beberapa menit sampai jam.
Pasien juga mengeluhkan adanya sesak nafas yang terjadi bersamaan dengan
keluhan yang lain. Selain itu, terjadi penurunan tekanan darah, saat diperiksa
tekanan darah pasien 80/60 mmHg. Tekanan darah sistolik pasien 80mmHg,
menurut salah satu kriteria Sampson HA, et al. JACI 2006 tekanan darah sistolik
dibawah 90 mmHg, yang artinya pada kasus ini sudah memenuhi salah satu
kriteria. Jadi pada pasien ini memenuhi kriteria Sampson HA, et al. JACI 2006
untuk mendiagnosis anafilaksis secara klinis.
Reaksi anafilaksis terjadi akibat pajanan ulang alergen yang sama yang dimediasi
oleh Ig E spesifik yang melekat pada dinding mastosit dan basofil. Reaksi ini
dapat diperberat dan diperpanjang oleh mediator sekunder yang dikeluarkan oleh
sel-sel radang yang tertarik ke lokasi reaksi.2 Manifestasi klinis yang terjadi
merupakan efek mediator kimia akibat reaksi antigen dengan Ig E yang telah
terbentuk yang menyebabkan kontraksi otot polos, meningkatnya permeabilitas
kapiler serta hipersekresi kelenjar mucus.2,3 Kejang bronkus gejalanya berupa
sesak. Kadang-kadang kejang bronkus disertai kejang laring. Bila disertai edema
laring keadaan ini bisa sangat gawat karena pasien tidak dapat atau sangat sulit
bernapas. Manifestasi klinis renjatan anafilaksis dapat terjadi dalam waktu 30
menit setelah pemberian obat. Karena hal tersebut mengenai beberapa organ dan
secara potensial membahayakan, reaksi ini sering disebut sebagai anafilaksis.
Pada tipe I ini terjadi beberapa fase yaitu: 2,5
a) Fase sensitasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE
b) Fase aktivasi, yaitu fase yang terjadi karena paparan ulang antigen spesifik.
Akibat aktivasi ini sel mast/basofil mengeluarkan kandungan yang
berbentuk granul yang dapat menimbulkan reaksi.
c) Fase efektor, yaitu fase terjadinya respons imun yang kompleks akibat
pelepasan mediator.
3.1 Faktor Predisposisi dan Etiologi
Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah sifat
alergen, jalur pemberian obat, riwayat atopi, dan kesinambungan paparan
alergen. Golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis adalah
makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks. Udang, kepiting, kerang,
ikan kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur, dan susu adalah
makanan yang biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obat-obatan
yang bisa menyebabkan anafikasis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat
anestesi intravena, relaksan otot, aspirin,, NSAID, opioid, vitamin B1, asam
folat, dan lain-lain. Media kontras intravena, transfusi darah, latihan fisik, dan
cuaca dingin juga bisa menyebabkan anafilaksis.1,2,3

Gambar 1. Faktor-faktor yang bisa mencetuskan anafilaksis pada


pasien.1
Reaksi hipersensitivitas pada pasien HIV sering terjadi dan umumnya berkaitan
dengan obat-obatan. Reaksi hipersensitivitas yang berlanjut ke reaksi
anafilaksis, bahkan sampai menimbulkan syok anafilaksis juga dilaporkan
terus meningkat. Daftar obat-obatan yang diketahui menimbulkan reaksi
hipersensitivitas pada infeksi HIV semakin lama semakin bertambah. Kejadian
hipersensitivitas terhadap obat jauh lebih tinggi pada infeksi HIV dibandingkan
non-HIV. Misalnya hipersensitivitas terhadap trimetropin-sulfametokzasol
dosis tinggi untuk mengobati PCP terjadi antara 27%-64%, dibandingkan 3%
pada orang imunokompeten atau imunodefisiensi karena non HIV. Kejadian
hipersensitivitas terhadap obat ini lebih buruk lagi karena selalu diperlukan
obat pengganti dimana obat ini mempunyai efekstivitas kurang atau
mempunyai efek yang lebih toksik.4

Pada kasus diatas pasien dengan infeksi HIV mengalami anafilaksis diduga
karena pemberian obat-obatan seperti Codein, Paracetamol, Asam Tranexamat,
Ceftazidine, Ciprofloxacin, Ambroxol, Cotrimoxasol, dan OAT. Faktor
pencetus anafilakasis karena pasien terinfeksi HIV, yang dikatakan sesuai
dengan epidemiologi lebih banyak terjadi pada pasien HIV dibandingkan yang
non HIV. Pasien juga diberikan antibiotik, menurut kepustakaan, antibiotik
sering dilaporkan merupakan penyebab terjadinya reaksi anafilaksis. Selain itu
pasien juga mendapat NSAID, yaitu paracetamol, golongan NSAID merupakan
salah satu faktor yang bisa mencetuskan terjadinya reaksi anafilaksis.

3.2 Patofisiologi

Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaksis dalam hipersensitivitas


tipe I (Immediate type reaction). Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu: 5
1. fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig
E sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan
basofil.
2. fase aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan
antigen yang sama sampai timbulnya gejala.
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di
tangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut
kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang
menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel
plasma memproduksi Ig E spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat
pada reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil. 5
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang
menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen
yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E
spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator
vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan
vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah preformed mediators. 5
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran
sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang
terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed
mediators. Fase Efektor adalah waktu terjadinya respon yang kompleks
(anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan
aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek
bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya
menyebabkan edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan
permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos.
Platelet activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan
permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor
kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang
dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi. 5
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya
fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan
penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti
dengan penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi
yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi pada
keaadan syok yang membahayakan penderita. 5
Gambar 2.1. Patofisiologi Reaksi Anfilaksis5

Gambar 2.2. Patofisiologi Syok Anafilaksis5


3.3 Manifestasi Klinis
Gambaran klinis anafilaksis sangat bervariasi baik cepat dan lamanya reaksi
maupun luas dan beratnya reaksi. Reaksi dapat mulai dalam beberapa detik
atau menit sesudah terpajan allergen dan gejala ringan dapat menetap sampai
24 jam meskipun diobati. Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru
menjadi berat, tetapi kadang-kadang langsung berat. Berikut adalah gejala dan
tanda anafilaksis berdasarkan organ sasaran:1,2,5

Sistem Gejala dan Tanda


Lesu, lemah, rasa tak enak yang sukar
Umum
dilukiskan, rasa tak enak di dada dan
perut, rasa penuh dalam mulut dan
tenggorokan, rasa gatal di hidung dan
palatum

Pernapasan
Hidung Hidung gatal, bersin dan tersumbat

Laring Rasa tercekik, suara serak, sesak napas,


stridor, edema, spasme

Lidah Edema

Bronkus Batuk, sesak, mengi, spasme

Kardiovaskular Pingsan, sinkop, palpitasi, takikardia,


hipotensi sampai syok, aritmia. Kelainan
EKG: gelombang T datar, terbalik atau
tanda-tanda infark miokard.

Gastrointestinal Disfagia, mual, muntah, kolik, diare yang


kadang-kadang disertai darah, peristaltik
usus meninggi.

Kulit Urtika, gatal, angioedema di bibir, muka


atau ekstremitas.

Mata Gatal, lakrimasi, merah dan kelopak mata


bengkak.

Susunan saraf pusat Gelisah, kejang


Gambar 4. Kriteria Sampson HA, et al. JACI 2006. Diagnosis anafilaksis
secara klinis.1

Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi
kadang-kadang langsung berat. Brown SGA et.al membagi berdasarkan derajat
keluhan, dalam derajat ringan, sedang, dan berat.6
1. Ringan (keterlibatan kulit dan jaringan mukosa)
Derajat ringan sering dengan keluhan kesemutan perifer, sensasi hangat,
rasa sesak dimulut, dan tenggorok. Dapat juga terjadi kongesti hidung,
pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-bersin, dan mata berair. Awitan
gejala-gejala dimulai dalam 2 jam pertama setelah pemajanan.
2. Sedang (keterlibatan sistem respirasi, kardiovaskuker, dan gastrointestinal)
Derajat sedang dapat mencakup semua gejala-gejala ringan ditambah
bronkospasme dan edema jalan nafas atau laring dengan dispnea, batuk dan
mengi. Wajah kemerahan, hangat, ansietas, dan gatal-gatal juga sering
terjadi. Awitan gejala-gejala sama dengan reaksi ringan.
3. Berat (hypoxia, hipotensi, deficit neurologis)
Sianosis (SpO2≤ 92%, hipotensi (pada dewasa tekanan darah ≤ 90 mmHg),
konfusi, penurunan kesdaran, inkontinesia. Derajat berat mempunyai
awitan yang sangat mendadak dengan tanda-tanda dan gejala-gejala yang
sama seperti yang telah disebutkan diatas disertai kemajuan yang pesat
kearah bronkospame, edema laring, dispnea berat, dan sianosis. Bisa
diiringi gejala disfagia, keram pada abdomen, muntah, diare, dan kejang-
kejang.
Menurut Brown SGA et.al nomor satu merupakan reaksi hipersensitivitas,
sedangkan nomor dua dan tiga adalah anafilaksis.6
Pada pasien diatas sesuai dengan kriteria Brown SGA et.al termasuk dalam
anafilaksis berat. Pasien dikelompokkan dalam anafilaksis berat karena pada
pasien ditemukan adanya keluhan di kulit dan mukosa seperti gatal-gatal dan
kemerahan diseluruh tubuh, disertai bengkak pada kelopak mata dan bibir.
Kemudian keterlibatan sistem respirasi, yang pada pasien ditemukan adanya
keluhan sesak nafas yang timbul segera setelah terpapar alergen. Selain sistem
respirasi, ditemukan juga keluhan pada sistem gastrointestinal, yaitu pasien
mengeluhkan mencret sudah sebanyak dua kali, dengan konsistensi cair, ampas
dikatakan sedikit, berwarna kuning, volume ±200 cc. Darah segar dikatakan
tidak ada. BAB berwarna coklat juga disangkal oleh pasien. Pada pasien juga
ditemukan hipotensi. Pasien saat diperiksa tekanan darah didapatkan 80/60
mmHg.
3.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium diperlukan karena sangat membantu menentukan
diagnosis, memantau keadaan awal, dan beberapa pemeriksaan digunakan
untuk memonitor hasil pengbatan serta mendeteksi komplikasi lanjut. Hitung
eosinofil darah tepi dapat normal atau meningkat, demikian halnya dengan IgE
total sering kali menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan ini berguna untuk
prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga
dengan derajat alergi yang tinggi. Pemeriksaan lain yang lebih bermakna yaitu
IgE spesifik dengan RAST (radio-immunosorbent test) atau ELISA (Enzym
Linked Immunosorbent Assay test), namun memerlukan biaya yang mahal.1,2
3.5 Diagnosis
Menurut kriteria Sampson HA, et al. JACI 2006 ada tiga kriteria klinis dalam
mendiagnosis anafilaksis yaitu :1
a. Onset yang akut (terjadi dalam beberapa menit sampai jam) dengan
melibatkan kulit, jaringan mukosa, atau keduanya. Contoh gatal diseluruh
permukaan kulit, pembengkakan di bibir, lidah, atau uvula.
Dengan disertai satu dari dua kelainan dibawah :
1. Kelainan sistem respirasi ( dyspnea, wheeze-bronchospasm, stridor,
hypoxemia).
2. Penurunan tekanan darah atau keterlibatan gejala disfungsi organ
(hipotonia, pingsan, inkontinensia).
b. Dua atau lebih gejala dibawah yang terjadi setelah terpapar alergen yang
terjadi dalam beberapa menit sampai jam :
1. Keterlibatan kulit dan mukosa (contoh gatal diseluruh permukaan
kulit, pembengkakan di bibir, lidah, atau uvula )
2. Kelainan respirasi (dyspnea, wheeze-bronchospasm, stridor,
hypoxemia).
3. Penurunan tekanan darah atau keterlibatan gejala disfungsi organ
(hipotonia, pingsan, inkontinensia).
4. Gejala gastrointestinal yang persisten (contoh kram abdomen, nyeri,
atau muntah)
c. Penurunan tekanan darah setalah terpapar alergen dalam beberapa menit
atau jam :
1. Bayi dan anak-anak : tekanan darah sistolik yang rendah atau dibawah
30% dari darah sistolik normal
2. Dewasa : tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau penurunan
tekanan darah dibawah 30% dari tekanan darah normal orang tersebut.
Pada kasus diatas memenuhi ketiga kriteria Sampson HA, et al. JACI 2006.
Pasien terjadi keluhan di kulit dan mukosa seperti gatal-gatal dan kemerahan
diseluruh tubuh, disertai bengkak pada kelopak mata dan bibir. Pasien
diinjeksikan obat secara intravena ± 30 menit yang lalu. Pasien terpapar
allergen dari suntikan tersebut dan keluhan yang terjadi dalam ± 30 menit.
Yang artinya memenuhi kriteria, kejadian terpapar allergen dalam beberapa
menit sampai jam. Pasien juga mengeluhkan adanya sesak nafas yang terjadi
bersamaan dengan keluhan yang lain. Selain itu, terjadi penurunan tekanan
darah, saat diperiksa tekanan darah pasien 80/60 mmHg. Tekanan darah
sistolik pasien 80mmHg, menurut salah satu kriteria Sampson HA, et al. JACI
2006 tekanan darah sistolik dibawah 90 mmHg, yang artinya pada kasus ini
sudah memenuhi salah satu kriteria. Jadi pada pasien ini memenuhi kriteria
Sampson HA, et al. JACI 2006 untuk mendiagnosis anafilaksis secara klinis.
Karena pasien sempat seperti orang bingung. Keluhan bingung tersebut terjadi
sesaat setelah pasien mengeluh bengkak pada bibir dan mual. Pasien sempat
tidak mengenali penunggunya. Dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan
darah pasien 80/60 mmHg disertai nadi yang cepat 112x/menit maka diagnosis
pasien adalah syok anafilaksis oleh karena obat.

3.6 Penatalaksanaan

Reaksi anafilaksis harus ditanggulangi secara cepat dan tepat. Pasien dengan
simptom anafilaksis yang berat harus diberikan intervensi yang standar.
Intervensi tersebut antara lain pemberian oksigen, cardiac monitoring dan
akses IV.1,2

Gambar 5. Penatalaksaan dasar anafilaksis.7

Langkah-langkah pengobatan :

1. Hentikan faktor-faktor yang dicurigai menimbulkan anafilaksis.1,2,3,7


2. Baringkan pasien dengan kaki lebih tinggi daripada kepala. 1,2,3
3. Segera suntikkan adrenalin 0,3-0,5 ml intramuscular di lengan atas atau
paha depan. Bila anafilaksis oleh sengatan serangga, ikan atau binatang
lain atau suntikan pada ekstremitas, absorpsi allergen dapat dihambat
dengan turniket di proksimal tempat masuknya antigen. Di tempat tersebut
diinfiltrasi dengan 0,2 ml adrenalin. Suntikan adrenalin kalau perlu dapat
diulang setiap 5-15 menit, biasanya cukup 1-4 kali suntikan.1,2,7
4. Dengan segera evaluasi saluran nafas karena kemungkinan bisa terjadi
edema atau bronkospasm. Apabila pasien tidak sadar dilakukan ekstensi
kepala, dorong mandibula ke depan dan buka mulut. Pada keadaan reaksi
anafilaksis yang berat sampai terjadi edema laring, krikotireodotomi atau
catheter jet ventilation bisa menyelamatkan nyawa pasien.7
5. IV line harus kaliber yang besar karena diperlukan volume cairan IV yang
banyak untuk resusitasi cairan. Cairan kristaloid yang isotonis seperti
larutan salin atau Ringer lactate bisa digunakan.7
6. Jika hipotensi tidak membaik dengan adrenalin intramuscular, dapat
diberikan adrenalin intravena 1-5ml larutan 1:10000 dengan cairan
fisiologis + 1 liter dalam 15-30 menit pertama dan seterusnya bisa sampai
6 liter dalam 12 jam. Apabila renjatan belum teratasi dapat diberikan
vasopressor seperti dopamine 2-20mg/kgBB per menit untuk
mempertahankan tensi di atas 80mmHg.7
7. Antihistamin pada fase akut dapat menghilangkan pruritus. Urtikaria dan
angioedema dapat ditanggulangi dengan memberikan 10-20 mg
diphendhidramin intravena secara perlahan-lahan. Jika pasien mengalami
syok, pemberian antihistamin diberikan setelah keadaan pasien mulai
stabil.
8. Kortikosteroid tidak bermanfaat pada fase akut tapi diberikan untuk
mengurangi insiden dan bahaya dari reaksi biphasic atau reaksi lambat.
Dapat diberikan metilprednisolon 125 mg secara intravena.2,7
9. Observasi harus dilakukan 2-4 jam, oleh karena ada  20% kasus muncul
kembali setelah beberapa jam.7
10. Konsultasi kepada ahli allergi immunologi jika perlu dan untuk follow-up
seterusnya.7
IV Kesimpulan

Pasien dengan inisial PK, 24 tahun mengeluh sesak nafas 6 September 2012
setelah dinjeksikan obat secara intravena di ruangan Nusa Indah RSUP
Sanglah. Sesak dirasakan timbul secara tiba-tiba seperti sulit untuk
mengambil napas dan tidak membaik dengan perubahan posisi. Sesak
awalnya terasa ringan, namun dalam setengah jam semakin memberat.
Pasien mengatakan sesak napas muncul ± 30 menit setelah perawat
memasukkan obat.
Pasien juga mengeluh bengkak di kedua mata dan bibirnya sejak ± 30 menit
setelah perawat memasukkan obat. Mata dirasakan semakin bengkak dan
kemerahan. Sensasi seperti terbakar juga dirasakan pada bibir pasien.
Pasien juga mengeluh gatal dan kemerahan pada seluruh tubuhnya sejak ±
30 menit setelah perawat memasukkan obat terutama pada tangan dan
kakinya. Gatal tidak berkurang dengan garukan.
Pasien juga mengeluh mual setelah timbul kemerahan pada seluruh tubuh ±
40 menit setelah memasukkan obat. Mual tidak disertai dengan muntah.
Mual dirasakan terus menerus, disertai rasa tidak enak pada tenggorokan.
Pasien dikatakan oleh penunggunya sempat dikatakan seperti orang bingung.
Keluhan bingung tersebut terjadi sesaat setelah pasien mengeluh bengkak
pada bibir dan mual. Pasien sempat tidak mengenali penunggunya untuk
beberapa saat.
Pasien juga mengeluhkan mencret sudah sebanyak dua kali sejak tadi pagi
(6/9/2012), dengan konsistensi cair, ampas dikatakan sedikit, berwarna
kuning, volume ±200 cc. Darah segar dikatakan tidak ada. BAB berwarna
coklat juga disangkal oleh pasien.
Pada pemeriksaan fisik general dan tanda vital ditemukan edema palpebra
pada pemeriksaan mata. Pada pemeriksaan telinga,hidung dan tenggorokan,
didapati edema pada bibir. Juga didapati pada inspeksi eritema pada seluruh
tubuh pasien. Nadi pasien lemah, regular dan tidak kuat angkat.Temparatur
aksilla pada saat pemeriksaan menunjukkan pasien febris (39,1 C).

Pada pemeriksaan laboratorium Darah Lengkap yang dilakukan pada


tanggal 6 September 2012 ditemukan bahawa pasien mengalami
Anemia Ringan Hipokromik-Mikrositer dan Trombositopenia.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang yang lain,


pasien didiagnosis sebagai pasien Syok Anafilaksis oleh karena obat
(Codein/Paracetamol/Asam
Tranexamat/Ceftazidine/Ciprofloxacin/Ambroxol/Cotrimoxasol/OAT),
Hemoptisis ec. TB Paru on treatment dan Infeksi HIV st IV (WHO) yang
disertai Anemia Ringan Hipokromik-Mikrositer oleh karena suspek
pendarahan kronis on HIV.

Penatalaksaan

Planning Terapi
- Oksigen 2-4 lpm

- IVFD NaCl 0,9% 20 tetes/menit

- Adrenalin 0,3 cc IM

- Diphenhydramine 1 x 10mg IV (diberikan setelah pasien stabil)

- Methylprednisolone 2 x 62,5 mg IV

- Stop obat-obat yang dicurigai (Codein, paracetamol, asam


tranexamat, ceftazidine, ciprofloxacin, ambroxol, cotrimoxasol,
dan OAT)

- Kompres hangat

Planning Diagnostik
 Tes immunology IgE total
Rencana Monitoring:

- Vital Sign (Tekanan Darah, Suhu, Denyut Nadi, Pernafasan)

- Keluhan

- Tanda-tanda alergi
DAFTAR PUSTAKA

1. Estelle F. et all. 2011. World Allergy Organization Guidelines for the


Assessment and Management of Anaphylaxis. 2011 American
Academy of Allergy, Asthma & Immunology. WAO Journal 2011;
4:13–37
2. Estelle F. et all. 2011. World Allergy Organization anaphylaxis
guidelines: Summary. 2011 American Academy of Allergy, Asthma &
Immunology. J Allergy Clin Immunol 2011;127:587-93.
3. Jirapongsananuruk O, et all, 2007. Features of Patients with
Anaphylaxis Admitted To a University Hospital. Ann Allergy Asthma
Immunol, 2007 Feb; 98(2):157-62
4. Merati T. P., Djauzi S. Respons Imun Infeksi HIV; Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I Edisi Keempat; Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2006; 272-276
5. Haupt M. T. ,Fujii T. K. et al (2005) Anaphylactic Reactions. In :Text
Book of Critical care. Eds : Ake Grenvvik, Stephen M. Ayres,Peter
R,William C.Shoemaker 4th edWB Saunders company. Philadelpia-
Tokyo.pp246-56.
6. Brown S.G. . Clinical features and severity grading of anaphylaxis J.
Allergy Clin Immunol 2004, 114(2) : 371-6.

7. Soar Jasmeet, et all. 2008. Emergency Treatment of Anaphylactic


Reactions : Guidelines for Health Care. 2008 January. P 1-50.

Anda mungkin juga menyukai