Oleh:
Pembimbing :
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat dan hidayah-Nya laporan kasus yang berjudul
“Bronchopneumonia” dapat penulis selesaikan dengan sabagaimana mestinya.
Laporan kasus ini merupakan salah satu tugas dalam mengikuti stase Anak di
RSUD Kabupaten Klungkung.
Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr.
Ayu Shintia Shanti, M.Biomed. Sp.A sebagai dosen pembimbing klinis, serta
semua pihak yang telah memberikan dukungan serta bantuan hingga
terselesaikannya penulisan laporan kasus ini.
Penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun
sehingga dapat membantu penulis untuk dapat lebih baik lagi kedepannya.
Semoga laporan kasus ini dapat memberi manfaat dan pelajaran bagi kita
semua.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
3.10 Tatalaksana ........................................................................................30
3.11 Prognosis ............................................................................................35
BAB V PEMBAHASAN ...............................................................................36
BAB IV PENUTUP ......................................................................................36
Kesimpulan ...............................................................................................39
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................40
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
DAFTAR TABEL
v
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas
Nama : DNSG
Tanggal Lahir/ Umur : 14-08-2021/ 1 Tahun 4 Bulan (16 Bulan)
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : BR. KELODAN, MANGGIS
KARANGASEM
Agama : Hindu
No Rekam Medis : 283228
Tanggal MRS : 14 Desember 2022
Tanggal Pemeriksaan : 14 Desember 2022
2.2 Anamnesis
2.2.1 Keluhan Utama
Sesak
2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke UGD RSUD Klungkung dengan
keluhan sesak, sesak di alami sejak pukul 02.00 WITA pagi
sebelum di bawa ke IGD RSUD pada pukul 02.40 WITA.
Sesak terus-menerus, pasien menjadi rewel dan suka
menangis. Sesak di rasa memberat pada malam hari, sesak
berkurang apabila diberikan terapi uap. Awalnya pasien batuk
pilek sejak 4 hari sebelum MRS, batuk dirasa terus menerus
dan keras, batuk disertai dahak kental berwarna bening, batuk
kadang sampai mengganggu tidur pasien. Batuk awalnya
kering kemudian berdahak. Batuk dapat sampai pasien
muntah sebanyak 2-3x. Pada saat tidur pasien terdengan suara
grog-grog. Keluhan lain seperti Makan minum baik, BAB
2
(+), BAK (+), demam (-) namun terdapat Riwayat demam
sebelumnya 3 hari yang lalu. Pasien memiliki Riwayat RS
sebelumnya di RSUD dengan keluhan yang sama sekitar 2
minggu sebelumnya dengan keluhan yang sama yaitu batuk
pilek sesak dengan lama rawat inap yaitu 3-4 hari.
3
2.2.8 Riwayat Imunisasi
Hepatitis B : + (4 kali)
BCG : + (1 kali)
Polio : + (3 kali)
DPT : + (3 kali)
HiB : + (3 kali)
PCV : + (3 kali)
Campak : -
4
Frekuensi nadi : 120 x/menit
Frekuensi napas : 27 x/menit
Suhu : 36.6 0C
SpO2 : 96%
➢ Antropometri
❖ BB = 8.7 kg
❖ PB = 76 cm
❖ BB/U = -1 ( Berat badan normal)
❖ PB/U = -0.92 (Normal)
❖ BB/PB = -0.75 (Gizi baik)
➢ Status Generalis
Tabel 1. Status Generalis
PEMERIKSAAN Hasil
A. Kepala Bentuk dan Normochepali (46 cm)
ukuran
B. Mata a. Konjungtiva -/-
anemis
b. Sklera ikterik -/-
c. Reflek pupil +/+
C. THT a. Telinga Hiperemis (-), serumen (-)
b. Hidung Discharge (-)
c. Mulut- Hiperemis (-),
Tenggorokan Sianosis (-), kotor (-)
D. Leher a. Trakea Posisi di tengah
b. Kelenjar getah Normal, tidak terjadi
bening (KGB) pembesaran pada KGB
E. Toraks Anterior dan Posterior
5
Pulmo a. Inspeksi Pergerakan dinding dada
simetris , retraksi (-)
b. Palpasi Tidak di evaluasi
c. Perkusi Tidak di evaluasi
d. Auskultasi BronkoVes +/+, Rh +/+,
Whz +/-
Cor a. Inspeksi Iktus cordis tidak terlihat
a. Palpasi Tidak di evaluasi
b. Perkusi Tidak di Evaluasi
c. Auskultasi BJ I & II tunggal, murmur (-)
F. Abdomen a. Inspeksi Bentuk normal, distensi (-),
b. Auskultasi Bising usus (+) 9 x/mnit
c. Perkusi Tidak di evaluasi
d. Palpasi Tidak di evaluasi
G. Ekstremitas Hangat + +
+ +
Edema - -
- -
CRT < 2 detik
6
2.4 Pemeriksaan Penunjang
2.4.1 Pemeriksaan Radiologis (14-12-2022)
7
2.4.2 Pemeriksaan Laboratorium (14/12/2022)
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
HEMATOLOGI
Darah Lengkap
Hematokrit 34.0 % 35 ~ 55
Index Eritrosit
KIMIA KLINIK
Gula Darah
8
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
2.7 Prognosis
➢ Ad vitam : dubia ad bonam
➢ Ad funcionam : dubia ad bonam
➢ Ad sanationam: dubia ad bonam
9
✓ Ceftriaxone 1 gr injeksi (dosis 2 x 400 mg iv)
✓ Dexamethasone 5 mg/ml inj (3 x 2.5 mg iv)
✓ Combivent dosis 1 ml inhalasi @8jam
✓ Fluimucil 2 x 80 mg/PO
10
- T : 36.3 0C
- SpO2 : 98%
A : ➢ Broncopneumonia
P : ✓ Stoper
✓ Ceftriaxone 1 gr injeksi (dosis 2 x 400 mg iv)
✓ Dexamethasone 5 mg/ml inj (3 x 2.5 mg iv)
✓ Combivent dosis 1 ml inhalasi
✓ Fluimucil 2 x 80 mg/PO
✓ Azitromicyn 1x90 mg PO
11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA DAN PEMBAHASAN
3.1 Broncopneumonia
3.1.1 Definisi
Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru.
Bronkopneumonia adalah salah satu jenis pneumonia yang
mempunyai pola penyebaran berbercak, teratur dalam satu atau lebih
area terlokalisasi di dalam bronchioles dan meluas ke parenkim paru
yang berdekatan di sekitarnya (Said, 2018).
Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu
suatu peradangan pada parenkim paru pada bagian distal bronkiolus
termilanis dan meliputi bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris,
sakus alveolaris dan alveoli disekitarnya, yang sering menimpa anak-
anak dan balita, yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi
seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing. Bronkopneumonia lebih
sering merupakan infeksi sekunder terhadap berbagai keadaan yang
melemahkan daya tahan tubuh tetapi bisa juga sebagai infeksi primer
yang sering dijumpai pada anak-anak (Said, 2018).
3.1.2 Epidemiologi
Berdasar atas Studi World Health Organization (WHO), pada
tahun 2017 penyakit pneumonia membunuh 808.694 anak di bawah
usia 5 tahun, terhitung 15% dari semua kematian anak di bawah usia
lima tahun. Pneumonia menyerang anak-anak dan keluarga di
manapun, tetapi paling umum di Asia Selatan dan Afrika sub-Sahara.
Dan sanitasi yang buruk, polusi udara di dalam ruangan yang buruk
dan juga akses yang tidak memadai ke perawatan kesehatan. Saat ini,
32 % anak-anak dengan dugaan pneumonia tidak dibawa ke fasilitas
kesehatan di seluruh dunia, jumlah itu meningkat menjadi 40 %
12
untuk anak-anak yang miskin di negara berpenghasilan rendah dan
menengah (Sofia, Dian. 2021).
13
pemberian pengobatan akan didapat 250.000 kematian balita akibat
pneumonia setiap tahunnya
3.1.3 Etiologi
Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh infeksi
mikroorganisme (virus, bakteri, jamur, parasit) dan sebagain kecil
disebabkan oleh hal lain, seperti aspirasi makanan dan asam
lambung, benda asing, senyawa hidrokarbon, reaksi
hipersensitivitas, dan drug – or radiation induced pneumonitis. Usia
pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada
perbedaan dan kekhasan penumonia anak terutama dalam spektrum
etiologi, gambaran klinis, dan strategi pengobatan (Said, 2018).
14
persalinan sering terjadi pada bayi di bawah 2 bulan. Penularan
transplasenta juga dapat terjadi dengan mikroorganisme
Toksoplasma, Rubela, virus Sitomegalo, dan virus Herpes simpleks
(TORCH), Varisela – Zoster, dan Listeria monocytogenes. Pada
bayi yang lebih besar dan anak balita, pneumonia lebih sering
disebabkan oleh infeksi Streptococcus pneumoniae, Haemophillus
influenzae tipe B, dan Staphylococcus aureus, sedangkan pada anak
yang lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut, sering juga
ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae (Said, 2018).
3.1.4 Patofisiologi
Dalam keadaan sehat tidak terjadi pertumbuhan
mikroorganisme di paru. Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme
15
pertahanan paru antara lain, mekanisme pertahanan awal yang berupa
filtrasi bulu hidung, refleks batuk dan mukosilier aparatus dan
mekanisme pertahanan lanjut berupa sekresi Ig A lokal dan respon
inflamasi yang diperantarai leukosit, komplemen, sitokin,
imunoglobulin, makrofag alveolar, dan imunitas yang diperantarai
sel. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh,
mikroorganisme dan lingkungan, maka mikroorganisme dapat
berkembang biak dan menimbulkan penyakit (Price and Wilson,
2006).
16
titer inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia. Pada
pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau
aspirasi. Umumnya mikroorganisme yang terdapat di saluran napas
bagian atas sama dengan saluran napas bagian bawah, tetapi pada
beberapa penelitian tidak ditemukan jenis mikroorganisme yang
sama (Said, 2018; Price and Wilson, 2006).
17
terjadi konsolidasi di dalam alveoli akibat deposit fibrin dan leukosit
yang semakin bertambah, yang disebut dengan hepatisasi kelabu
(Said, 2018; Price and Wilson, 2006; Kliegman et al, 2007). Sebagai
akibat dari proses ini, secara akut salah satu lobus tidak lagi dapat
menjalankan fungsi pernapasan (jadi merupakan gangguan restriksi).
Di samping itu, pada saat yang bersamaan juga ada peningkatan
kebutuhan oksigen sehubung dengan panas yang tinggi. Proses
radang juga akan mengenai pleura viseralis yang membungkus lobus
tersebut. Dengan demikian akan timbul pula rasa nyeri setempat.
Nyeri dada ini juga akan menyebabkan ekspansi paru terhambat.
Ketiga faktor ini akan menyebabkan penderita mengalami sesak
napas, tetapi karena tak ada obstruksi bronkus, maka tidak akan
terdengar wheezing (Said, 2018; Price and Wilson, 2006; Kliegman
et al, 2007).
18
dinding alveolus, meskipun rongga alveolar sendiri bebas dari
eksudat dan tidak ada konsolidasi (Said, 2018; Price and Wilson,
2006; Kliegman et al, 2007).
3.1.5 Klasifikasi
Pneumonia diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal, yaitu (Said,
2018) :
1. Berdasarkan klinis dan epidemiologis:
a. Pneumonia komuniti (community–acquired pneumonia) :
pneumonia yang didapat di masyarakat dan sering
disebabkan oleh kokus Gram positif (Pneumokokus,
Staphylococcus), basil Gram negatif (Haemophillus
influenzae), dan bakteri atipik.
b) Pneumonia nosokomial (hospital–acquired pneumonia) :
pneumonia yang timbul setelah 72 jam dirawat di rumah
sakit, yang lebih sering disebabkan oleh bakteri gram
negatif (Staphylococcus aureus) dan jarang oleh
pneumokokus atau Mycoplasma pneumoniae.
c) Pneumonia aspirasi : pneumonia yang terjadi akibat
aspirasi antara lain makanan dan asam lambung
d) Pneumonia pada penderita immunocompramised
2. Berdasarkan mikoorganisme penyebab
a. Pneumonia bakterial / tipikal
b. Pneumonia atipikal : disebabkan Mycoplasma, Legionella,
dan Clamydia
c. Pneumonia virus
d. Pneumonia jamur : sering merupakan infeksi sekunder
dengan predileksi pada penderita dengan daya tahan tubuh
lemah (immunocompromised)
3. Berdasarkan predileksi infeksi
19
a. Pneumonia lobaris
b. Bronkopneumonia
c. Pneumonia interstisial
20
o Keluhan gastrointestinal, seperti mual, muntah, atau diare,
neyri abdomen
o Kadang – kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner
➢ Gambaran gangguan respiratori:
o Batuk yang awalnya kering kemudian menjadi produktif
o Sesak nafas
o Retraksi dada
o Takipnea
o Napas cuping hidung
o Penggunaan otat pernafasan tambahan
o Air hunger
o Merintih
o Sianosis
o Pemeriksaan fisik : Rhonki/crackles basah halus terutama di
daerah perifer pada akhir inspirasi, retrasi subcostal,
intercostal dan/ suprasternal (PPK sanglah, 2018).
21
3.1.7 Pemeriksaan Penunjang
a. Darah Perifer Lengkap Pada pneumonia virus dan mikoplasma,
umumnya ditemukan leukosit dalam batas normal atau sedikit
meningkat. Akan tetapi pada pneumonia bakteri didapatkan
leukositosis yang berkisar antara 15.000-40.000/mm3 dengan
predominan PMN. Leukopenia (2,5 g/dL, dan glukosa relatif
lebih rendah dibandingkan glukosa darah. Kadang-kadang
terdapat anemia ringan dan laju endap darah (LED) yang
meningkat. Trombositopeni dapat ditemukan pada 90%
penderita pneumonia dengan empiema. Secara umum hasil
pemeriksaan darah perifer tidak dapat membedakan antara
infeksi virus dan infeksi bakteri secara pasti (Said, 2018; WHO,
2014).
b. C – Reaktive Protein (CRP) CRP adalah suatu protein fase akut
yang disintesis oleh hepatosit. Sebagai respon infeksi atau
inflamasi jaringan, produksi CRP secara cepat distimulasi oleh
sitokin, terutama IL–6, IL–1, dan TNF. Meskipun fungsinya
belum diketahui, CRP sangat mungkin berperan dalam
opsonisasi mikroorganisme atau sel yang rusak. Secara klinis
CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan
antara faktor infeksi dan non infeksi, infeksi virus dan bakteri,
atau infeksi bakteri superfisialis dan profunda, dimana kadar
CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan infeksi
bakteri superfisialis dibandingkan infesksi bakteri profunda
(Said, 2018; WHO, 2014).
c. Uji Serologis Uji serologis untukj mendeteksi antigen dan
antibodi pada infeksi bakteri tipik mempunyai sensitivitas yang
rendah dan secara umum tidak terlalu bermanfaat dalam
mendiagnosis infeksi bakteri atipik (Said, 2018; WHO, 2014).
22
d. Pemeriksaan Mikrobiologis Pemeriksaan mikrobiologis untuk
diagnosis pneumonia anak tidak rutin dilakukan kecuali pada
pneumonia berat yang dirawat di RS. Untuk pemeriksaan
mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap tenggorok,
sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau
aspirasi paru. Pemeriksaan sputum kurang berguna. Diagnosis
dikatakan definitif apabila kuman ditemukan dalam darah,
cairan pleura, atau aspirasi paru, kecuali pada masa neonatus,
dimana kejadian bakteremia sangat rendah sehingga kultur
darah jarang positif (Said, 2018; WHO, 2014).
e. Analisa Gas Darah Analisa gas darah (AGD) menunjukkan
hipoksemia dan hiperkarbia. Pada stadium lanjut dapat terjadi
asidosis metabolic. AGD bila terdapat ancaman gagal nafas
yaitu SpO2 <90%, sianosis, apnea, kesadaran menurun atau
gelisah, kejang (Said, 2018; WHO, 2014).
f. Pemeriksaan Rontgen Thorax Foto toraks dengan proyeksi
antero-posterior merupakan dasar diagnosis untuk pneumonia.
Foto lateral dilakukan bila diperlukan informasi tambahan,
misalnya efusi pleura. Kelainan foto toraks pada pneumonia
tidak selalu berhubungan dengan gambaran klinis. Kadang-
kadang bercak-bercak sudah ditemukan pada gambaran
radiologis sebelum timbul gejala klinis. Akan tetapi, resolusi
infiltrat sering memerlukan waktu yang lebih lama setelah
gejala klinis menghilang. Pada pasien dengan pneumonia tanpa
komplikasi, ulangan foto rontgen tidak diperlukan. Ulangan
foto rontgen toraks diperlukan bila gejala klinis menetap,
penyakit memburuk, atau untuk tidak lanjut. Secara umum
gambaran foto toraks terdiri dari (Said, 2018; WHO, 2014):
23
▪ Pneumonia/infiltrat interstisial: ditandai dengan
peningkatan corakan bronkovaskular, peribronchial cuffing,
dan hiperaerasi. Biasanya disebabkan oleh virus atau
Mycoplasma. Bila berat dapat terjadi patchy consolidation
karena atelectasis (Said, 2018).
▪ Infiltrat alveolal : merupakan konsolidasi paru dengan air
bronchogram. Konsolidasi dapat mengenai satu lobus
disebut dengan pneumonia lobaris, atau terlihat sebagai lesi
tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis,
berbatas yang tidak terlalu tegas, dan menyerupai lesi tumor
paru, dikenal sebagai round pneumonia. Biasanya
disebabkan oleh bakteri pnuemokokus atau bakteri lain
(Said, 2018).
▪ Bronkopneumonia : ditandai dengan gambaran difus merata
pada kedua paru, berupa bercak–bercak infiltrat halus yang
dapat meluas hingga daerah perifer paru, disertai dengan
peningkatan corakan peribronkial (Said, 2018).
24
anak terbanyakk di paru kanan, terutama lobus atas. Bila
ditemukan di lobus kiri, dan terbanyak di lobus bawah, maka
hal tersebut merupakan prediktor perjalanan penyakit yang
lebih berat dengan risiko terjadinya pleuritis lebih meningkat
(Said, 2018).
25
3.1.8 Diagnosis
Diagnosis etiologik berdasarkan pemeriksaan mikrobiologis
dan / atau serologis merupakan dasar yang optimal. Akan tetapi,
penemunan bakteri penyebab tidak selalu mudah karena memerlukan
laboratorium menunjang yang memadai. Oleh karena itu pneumonia
pada anak didiagnosis berdasarkan gambaran klinis yang
menunjukkan keterlibatan sistem respiratori, serta gambaran
radiologis. Prediktor paling kuat adanya pneumonia adalah demam,
sianosis, dan lebih dari satu gejala respiratori sebagai berikut:
takipnea, batuk, napas cuping hidung, retraksi, ronki, dan suara napas
melemah (Said, 2018; WHO, 2014).
26
Tabel 3 Diagnosis Pneumonia Untuk Bayi dan Anak
Usia 2 Bulan–5 Tahun (Said, 2018; WHO, 2014).
Bayi dan anak berusia 2 bulan – 5 tahun
Bukan pneumonia
− bila tidak ada napas cepat dan sesak napas
− tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya
diberikan pengobatan simptomatis seperti penurun panas
Pneumonia
− bila ada sesak napas
− ada napas cepat dengan laju napas
o > 50 x/menit untuk anak usia 2 bulan – 1 tahun
o > 40 x/menit untuk anak > 1 – 5 tahun
− tidak perlu dirawat, diberikan antibiotik oral
Pneumonia berat
− bila ada sesak napas
− harus dirawat dan diberikan antibiotic
Pada bayi berusia di bawah 2 bulan, perjalanan penyakitnya
lebih bervariasi, mudah terjadi komplikasi, dan sering menyebabkan
kematian. Klasifikasi pneumonia pada kelompok usia ini adalah
sebagai berikut (Said, 2018; WHO, 2009):
Tabel 4. Diagnosis Pneumonia Untuk Bayi Di Bawah 2 Bulan
(Said, 2018; WHO, 2014)
27
− bila ada napas cepat ( > 60 x/menit ) atau sesak napas
− harus dirawat dan diberikan antibiotic
Namun, menurut Pelayanan Kesehatan Medik Rumah Sakit (WHO),
pneumonia dapat dibagi menjadi pneumonia ringan dan berat (Said,
2018; WHO, 2014):
1. Pneumonia ringan: Disamping batuk atau kesulitan napas, hanya
terdapat napas cepat saja, dimana napas cepat adalah:
a. pada usia 2 bulan – 11 bulan : ≥ 50 kali / menit
b. pada usia 1 tahun – 5 tahun : ≥ 40 kali / menit
2. Pneumonia berat: Batuk dan atau kesulitan bernapas ditambah
minimal salah satu hal berikut ini:
a. kepala terangguk – angguk
b. pernapasan cuping hidung
c. tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
d. foto dada menunjukkan gambaran pneumonia (infiltrat
luas, konsolidasi, dll.)
Selain itu bisa didapatkan pula tanda berikut ini:
− Napas cepat
o anak umur < 2 bulan : ≥ 60 kali / menit
o anak umur 2 – 11 bulan : ≥ 50 kali / menit
o anak umur 1 – 5 tahun : ≥ 40 kali / menit
o anak umur ≥ 5 tahun : ≥ 30 kali / menit
− Suara merintih (grunting) pada bayi muda
− Pada auskultasi terdengar
o crackles (ronki)
o suara pernapasan menurun
o suara pernapasan bronkial
Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai:
28
− tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau
memuntahkan semuanya
− kejang, letargi, atau tidak sadar
− sianosis
− distress pernapasan berat
3.1.9 Diagnosis Banding
1. Bronkioloitis
Bronkiolitis merupakan inflamasi pada bronkiolus. Pada
anamnesis di dapatkan usia < 2 tahun, pilek batuk dan demam
subfebris, Diawali infeksi saluran nafas bagian atas,, sesak nafas,
takipnea dengan fase ekspirasi memanjang, nafas cuping hidung,
retraksi intercostal dan suprasternal, terdengar wheezing atau
mengi dalam 1-2 hari setelah onset gejala, rewel, kesulitan minum
dan muntah, ronki nyaring halus pada auskultasi. Gambaran
labarotorium dalam batas normal, kimia darah menggambarkan
asidosis respiratotik ataupun metabolik (IDAI, 2011;
Pusponegoro, 2004).
2. Aspirasi benda asing
Ada riwayat tersedak, stridor atau distress pernapasan tiba –
tiba, wheezing atau suara pernapasan yang menurun yang bersifat
fokal (IDAI, 2011; Pusponegoro, 2004).
3. Asma
Asma merupakan spasme akut bronkus akibat reaksi alergi
atau hipersensitivitas. Keluhan anak berupa batuk, mengi
(wheezing), sesak, dada tertekan yang timbul secara episodik
berulang, reversibel, cenderung memberat pada malam hari,
timbul jika da pencetus (suhu, hirupan, debu, cuaca), gejala
berfluktuasi, riwayat alergi pada pasien maupun keluarga.
29
4. Tuberkulosis
Pada TB, terdapat kontak dengan pasien TB dewasa, uji
tuberkulin positif ( > 10 mm atau pada keadaan imunosupresi > 5
mm ), demam 2 minggu atau lebih, batuk 3 minggu atau lebih,
pertumbuhan buruk/kurus atau berat badan menurun,
pembengkakan kelenjar limfe leher, aksila, inguinal yang spesifik,
pembengkakan tulang/sendi punggung, panggulm lutut, dan falang,
dan dapat disertai nafsu makan menurun dan malaise yang dapat
ditegakkan melalui skor TB (IDAI, 2011; Pusponegoro, 2004).
3.1.10 Penatalaksanaan
Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat
inap. Indikasi perawatan terutama berdasarkan berat-ringannya
penyakit, misalnya toksis, distres pernapasan, tidak mau
makan/minum, atau bila ada penyakit dasar yang lain, komplikasi,
dan terutama mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi
kecil dengan kemungkinan klinis pneumonia harus dirawat inap
(Said, 2018).
Dasar tatalaksana pada pneumonia rawat inap adalah
pengobatan kasual dengan antibiotik yang sesuai, serta tindakan
suportif. Pengobatan suportif meliputi pemberian cairan intravena,
terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan keseimbangan asm-basa
dan elektrolit, dan gula darah. Untuk nyeri dan demam dapat
diberikan analgetik/antipiretik (Said, 2018).
Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utama
keberhasilan pengobatan. Terapi antibiotik harus segera diberikan
pada anak dengan pneumonia yang diduga disebabkan oleh bakteri.
Karena identifikasi dini mikroorganisme tidak umum dilakukan,
maka pemilihan antibiotik dipilih berdasarkan pengalaman empiris
30
yang didasarkan pada kemungkinan etiologi penyebab dengan
mempertimbangkan usia dan keadaan klinis pasien serta faktor
epidiemiologis (Said, 2018).
❖ Pneumonia Rawat Jalan
Pada pneumonia ringan rawat jalan dapat diberikan antibiotik
lini pertama secara oral, misalnya amoksisilin 25 mg/kgBB atau
kotrimoksazol 4 mg/kgBB TMP dan 20 mg/kgBB
sulfametoksazol dua kali sehari selama 3 hari. Makrolid, baik
eritromisin maupun makrolid baru, dapat digunakan sebagai
terapi alternatif beta-laktam untuk pengobatan inisial
pneumonia, dengan pertimbangan adanya aktivitas ganda
terhadap S. pneumoniae dan bakteri atipik (Said, 2018; WHO,
2014).
Setalah itu, anjurkan ibu untuk memberi makan anak.
Nasihati ibu untuk membawa kembali anaknya setelah 2 hari
atau lebih kalau keadaan anak memburuk atau tidak dapat
minum atau menyusui. Bila pernapasannya membaik
(melambat), demam berkurang, nafsu makan membaik,
lanjutkan pengobatan sampai selesai 3 hari. Jika frekuensi
pernapasan, demam, dan nafsu makan tidak ada perubahan,
ganti ke antibiotik lini kedua dan nasihati ibu untuk kembali 2
hari lagi. Jika ada tanda pneumonia berat, rawat anak di rumah
sakit dan tangani sesuai pedoman pneumonia berat (Said, 2018;
WHO, 2014).
❖ Pneumonia Rawat Inap
Terapi Antibiotik
Pemilihan antibiotik lini pertama dapat menggunakan
golongan beta–laktam atau kloramfenikol. Pada pneumonia
yang tidak responsif terhadap beta–laktam dan kloramfenikol,
31
dapat diberikan antibiotik seperti gentamisin, amikasin, atau
sefalosporin, sesuai dengan petunjuk etiologi yang ditemukan.
Antibiotik diteruskan selama 7–10 hari pada pasien dengan
pneumonia tanpa komplikasi. Pada neonatus dan bayi kecil,
terapi awal antibiotik intravena harus dimulai sesegera
mungkin. Oleh karena pada neonatus dan bayi kecil sering
terjadi sepsis dan meningitis, antibiotik yang
direkomendasikan adalah antibiotik spektrum luas seperti
kombinasi betalaktam/ klavulanat dengan aminoglikosid, atau
sefalosporin generasi ketiga (Said, 2018; WHO, 2014).
WHO menganjurkan pemberian ampisilin/amoksisilin
25 – 50 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 6 jam yang dipantau
dalam 24 jam selama 72 jam pertama. Bila anak memberi
respons yang baik maka diberikan selama 5 hari. Selanjutnya
terapi dilanjutkan di rumah atau di rumah sakit dengan
amoksisilin oral 15 mg/kgBB/kali tiga kali sehari untuk 5 hari
berikutnya (Said, 2018; WHO, 2014).
Pada balita dan anak yang lebih besar, antibiotik yang
direkomendasikan adalah antibiotik beta–laktam dengan/tanpa
klavulanat; pada kasus yang lebih berat diberikan beta-
laktam/klavulanat dikombinasikan dengan makrolid baru
intravena, atau sefalosporin generasi ketiga. Bila pasien sudah
tidak demam atau keadaan sudah stabil, antibiotik diganti
dengan antibiotik oral dan berobat jalan selama 10 hari (Said,
2018; WHO, 2014).
Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam atau
terdapat keadaan yang berat maka ditambahkan kloramfenikol
25 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 8 jam. Bila pasien datang
dengan keadaan klinis yang berat segera berikan oksigen dan
32
pengobatan kombinasi ampisilin-kloramfenikol atau ampisilin-
gentamisin. Sebagai alternatif, beri seftriakson 80-100
mg/kgBB IV atau IM sekali sehari. Bila tidak membaik dalan
48 jam, maka bila mungkin foto toraks (Said, 2018; WHO,
2014).
Apabila diduga pneumonia stafilokokal, ganti antibiotik
dengan gentamisin 7,5 mg/kgBB IM sekali sehari dan
klokasilin 50 mg/kgBB IM atau IV setiap 6 jam atau
klindamisin 15 mg/kgBB/hari hingga 3 kali pemberian. Bila
keadaan anak membaik, lanjutkan kloksasilin atau diklokasilin
secara oral 4 kali sehari sampai secara keseluruhan mencapai 3
minggu atau klindamisin oral selama 2 minggu (Said, 2018;
WHO, 2014).
Antibiotik berdasarkan PPK Sanglah (2018) :
• Ampisilin 50 mg/kgBB/kali IV tiap 6 jam dan gentamisin
7,5 ng/kgBB/kali IV tiap 24 jam minimal selama 5 hari
• Bila dalam 48-72 jam belum terdapat perbaikan klinis,
diganti dengan ceftriaxone 50-75 mg/kgBB/hari IV tiap 12
jam minimal selama 5 hari
• Pada kecurigaan staphilococus aureus : cefazolin 50-100
mg/kgBB/hari diberikan setiap 6-8 jam selama 21 hari
• Bila tidak ada perbaikan klinis, antibiotic disesuaikan
dengan sensitivitas mikroorganisme yang di dapay pada
biakan sputum
Terapi Oksigen
Beri oksigen pada semua anak dengan pneumonia berat.
Bila tersedia pulse oksimeter, gunakan sebagai panduan untuk
terapi oksigen (nasal kanul 2 Lpm) berikan pada anak dengan
33
saturaso < 90%, anak yang tidak stabil. Hentikan pemberian
oksigen bila saturasi tetap stabil > 90%. Pemberian oksigen
setelah saat ini tidak berguna, monitoring saturasi oksigen tiap
3 jam (Said, 2018; WHO, 2014). Bila membaik (laju
pernafasan mendekati normal, retraksi minimal, saturasi
oksigen >90%), turunkan kadar oksigen secara bertahap. Setiap
menurunkan kadar O2, evaluasi saturasi perifer 15 menit, 45
menit setelah menurun, kemuidan tiap 3 jam selama total 24
jam. Bisa saturasi O2 perifer tetap >90% kadar oksigen
diturunkan bertahap sampai pada akhirnya tanpa oksigen. Bila
saturasi oksigen perifer <90% kada oksigen dikembalikan ke
kadar sebelumnya, setelah oksigen dihentikan, perlu juga
dilakukan evaluasi saturasi oksigen perifer seperti di atas. Bila
oksigen sudah >90% maka oksigen sudah tidak diperlukan lagi
(PPK Sanglah, 2018).
Terapi Suportif
Bila anak disetai demam yang tampaknya menyebabkan
distres, beri antipiretik seperti parasetamol 10 mg/kgBB/kali
bila suhu aksila ≥38 C. Bila ditemukaan adanya wheezing atau
mengi, beri nebulizer bronkodilator β2 agonis (salbutamol) 0,1
mg/kgBB/kali tiap 6 jam dilarutkan dalam Nacl 3 % hinggal 4
ml/cc dan steroid (deksametason bolus 0,5-1 mg/kgBB/kali di
lanjutkan 1 mg/kgBB/hari tiap 6 jam). kerja cepat. Bila terdapat
sekret kental di tenggorokan yang tidak dapat dikeluarkan oleh
anak, hilangkan dengan alat penghisap (suction) secara
perlahan. D5 0,225 NS untuk anak <2 tahun dan D5 0,45 NS
untuk anak ≥
Pastikan anak mendapatkan kebutuhan cairan runatan
yang sesuai, tetapi hati-hati terhadap kelebihan
34
cairan/overhidrasi. Anjurkan pemberian ASI dan cairan oral.
Jika anak tidak dapat minum, pasang pipa nasogastrik dan
berikan cairan rumatan dalam jumlah sedikit tapi sering. Jika
asupan cairan oral mencukupi, jangan menggunakan pipa
nasogastrik untuk meningkatkan asupan, karena akan
meningkatkan risiko pneumonia aspirasi. Jika oksigen
diberikan bersamaan dengan cairan nasogastrik, pasang
keduanya pada lubang hidung yang sama (Said, 2018; WHO,
2014; PPK Sanglah, 2018).
Indicator medis Pulang :
1. Tidak demam tanpa penurun demam minimal 48 jam
2. Sesak nafas berkurang atau menghilang
3. Saturasi oksigen >90% minimal 24 jam setelah oksigen
dihentikan (bernafas ruangan)
4. Asupan oral adekuat
3.1.11 Prognosis
Pneumonia biasanya sembuh total dengan mortalitas kurang
dari 1 %. Mortalitas dapat lebih tinggi didapatkan pada anak-anak
dengan keadaan malnutrisi energi-protein dan datang terlambat
untuk pengobatan. Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi
sudah lama diketahui. Infeksi berat dapat memperjelek keadaan
melalui asupan makanan dan peningkatan hilangnya zat-zat gizi
esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi ringan memberikan pengaruh
negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Kedua-duanya
bekerja sinergis, maka malnutrisi Bersama-sama dengan infeksi
memberi dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan
dampak oleh faktor infeksi dan malnutrisi apabila berdiri sendiri.
Pneumonia biasanya tidak mempengaruhi tumbuh kembang anak
(Priyanti dkk, 2002).
35
BAB IV
PEMBAHASAN
36
sebagian besar menggunakan antibiotik golongan sefalosporin, hal ini
sesuai dengan penelitian Fiqhul Azhari, et al (2015) yaitu sebagian besar
memilih terapi empirik golongan sefalosporin sebanyak 53 (67,09%) .
Kemungkinan akibat kurangnya responsifitas terhadap terapi lini pertama
menurut WHO yaitu berupa golongan penisilin, maka dipergunakan
golongan yang lebih spesifik yaitu lini kedua berupa golongan sefalosporin,
namun pemilihan golongan antibiotic dipengaruhi oleh berat-ringannya
penyakit (Sofia, Dian. 2021). Sefalosporin generasi ketiga memiliki
spektrum luas untuk melawan bakteri gram positif maupun gram
negatif.Karena spektrumnya yang luas sefalosporin generasi ketiga ini
sering digunakan untuk terapi empiris berbagai jenis infeksi, sehingga
sefalosporin generasi ketiga ini banyak digunakan untuk menggantikan
penisilin dan golongannya sebagai first line theraphy (Aulia, Riska. 2016).
37
kombinasi beta-lactam dan makrolida, kombinasi yang paling umum ialah
ceftriaxone dan azitromisin seperti pada kasus (Prakoso, Dimas. 2018).
Azithromycin memiliki spektrum yang luas untuk melawan bakteri gram
positif dan negative, sehingga efektif melawan berbagai organisme patogen
khususnya pada infeksi saluran pernafasan yang disebabkan oleh
Haemophillus influenzae dan juga infeksi saluran kemih (Aulia, Riska.
2016).
38
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
39
DAFTAR PUSTAKA
40
pada Tahun 2018-2019. Fakultas Kedokteran, Universitas Islam
Bandung, Indonesia.
41