Anda di halaman 1dari 47

LAPORAN

CASE BASED DISCUSSION


“Bronkopneumonia”

Oleh:

Baiq Nanda Kencana Arum


017.06.0033

Pembimbing :

dr. Ayu Shintia Shanti, M. Biomed, Sp.A

DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK


MADYA BAGIAN/KSM ANAK DI RSUD KABUPATEN
KLUNGKUNG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat dan hidayah-Nya laporan kasus yang berjudul
“Bronchopneumonia” dapat penulis selesaikan dengan sabagaimana mestinya.
Laporan kasus ini merupakan salah satu tugas dalam mengikuti stase Anak di
RSUD Kabupaten Klungkung.
Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr.
Ayu Shintia Shanti, M.Biomed. Sp.A sebagai dosen pembimbing klinis, serta
semua pihak yang telah memberikan dukungan serta bantuan hingga
terselesaikannya penulisan laporan kasus ini.
Penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun
sehingga dapat membantu penulis untuk dapat lebih baik lagi kedepannya.
Semoga laporan kasus ini dapat memberi manfaat dan pelajaran bagi kita
semua.

Klungkung, 16 November 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................. ii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ...........................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................1
BAB II LAPORAN KASUS ..........................................................................2
2.1 Identitas .................................................................................................2
2.2 Anamnesis ............................................................................................2
2.3 Pemeriksaan Fisik .................................................................................4
2.3 Pemeriksaan Penunjang ........................................................................7
2.4 Diagnosis Kerja .....................................................................................9
2.6 Penatalaksanaan ...................................................................................9
2.7 Prognosis ..............................................................................................9
2.8 Follow Up Pasien ..................................................................................9
BAB III TINJAUAN PUSTAKA .................................................................12
3.1 Definisi ..............................................................................................12
3.2 Epidemiologi.......................................................................................12
3.3 Etiologi ..............................................................................................14
3.4 Patofisiologi ........................................................................................15
3.5 Klasifikasi ...........................................................................................19
3.6 Manifestasi klinis ................................................................................20
3.7 Pemeriksaan penunjang ......................................................................22
3.8 Diagnosis ...........................................................................................26
3.9 Diagnosis banding .............................................................................29

ii
3.10 Tatalaksana ........................................................................................30
3.11 Prognosis ............................................................................................35
BAB V PEMBAHASAN ...............................................................................36
BAB IV PENUTUP ......................................................................................36
Kesimpulan ...............................................................................................39
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................40

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Rontgen Thorax ............................................................................6


Gambar 2 Perbedaan Bronkopneumonia dan Pneumonia Klasik .................24

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Diagnosis Pneumonia Untuk Bayi dan Anak ……………………..26

v
BAB I
PENDAHULUAN

Menurut studi World Health Organization (WHO), Pneumonia


adalah penyebab kematian penyakit menular yang terbesar pada anak-anak
di seluruh dunia. Pneumonia adalah penyakit Infeksi Saluran Pernafasan
Akut (ISPA) yang berupa inflamasi yang mengenai parenkim paru.
Penyakit ini sebagian besar disebabkan oleh mikroorganisme
(virus,bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh hal lain (aspirasi, radiasi
, dll). Di negara berkembang, pneumonia pada anak anak biasanya
disebabkan oleh bakteri. Bakteri yang pada umumnya sering menyebabkan
pneumonia adalah Streptococcus Pneumoniae, Haemophilus Influenzae,
dan Staphylococcus Aureus (Sofia, Dian. 2021).

Pneumonia merupakan salah satu masalah kesehatan dan


penyumbang terbesar penyebab kematian anak usia di balita (bawah lima
tahun)(Depkes RI, 2008). Pneumonia membunuh anak lebih banyak
daripada penyakit lain apapun, mencakup hampir 1 dari 5 kematian anak-
balita, membunuh lebih dari 2 juta anak-balita setiap tahun yang sebagian
besar terjadi di negara berkembang. Oleh karena itu pneumonia disebut
sebagai pembunuh anak nomor satu (the number one killer of children).Di
negara berkembang pneumonia merupakan penyakit yang terabaikan (the
neglegted disease) atau penyakit yang terlupakan (the forgotten disease)
karena begitu banyak anak yang meninggal karena pneumonia, namun
sangat sedikit perhatian yang diberikan kepada masalah pneumonia

1
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas
Nama : DNSG
Tanggal Lahir/ Umur : 14-08-2021/ 1 Tahun 4 Bulan (16 Bulan)
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : BR. KELODAN, MANGGIS
KARANGASEM
Agama : Hindu
No Rekam Medis : 283228
Tanggal MRS : 14 Desember 2022
Tanggal Pemeriksaan : 14 Desember 2022

2.2 Anamnesis
2.2.1 Keluhan Utama
Sesak
2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke UGD RSUD Klungkung dengan
keluhan sesak, sesak di alami sejak pukul 02.00 WITA pagi
sebelum di bawa ke IGD RSUD pada pukul 02.40 WITA.
Sesak terus-menerus, pasien menjadi rewel dan suka
menangis. Sesak di rasa memberat pada malam hari, sesak
berkurang apabila diberikan terapi uap. Awalnya pasien batuk
pilek sejak 4 hari sebelum MRS, batuk dirasa terus menerus
dan keras, batuk disertai dahak kental berwarna bening, batuk
kadang sampai mengganggu tidur pasien. Batuk awalnya
kering kemudian berdahak. Batuk dapat sampai pasien
muntah sebanyak 2-3x. Pada saat tidur pasien terdengan suara
grog-grog. Keluhan lain seperti Makan minum baik, BAB

2
(+), BAK (+), demam (-) namun terdapat Riwayat demam
sebelumnya 3 hari yang lalu. Pasien memiliki Riwayat RS
sebelumnya di RSUD dengan keluhan yang sama sekitar 2
minggu sebelumnya dengan keluhan yang sama yaitu batuk
pilek sesak dengan lama rawat inap yaitu 3-4 hari.

2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien sebelumnya pernah di rawat sekitar 2 minggu
yang lalu dengan keluhan yang sama dan diagnosis
pneumonia

2.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga


• Tidak ada kelurga maupun kerabat pasien yang memiliki
keluhan serupa seperti pasien
• Alergi (-)
• Asma (-)
• TBC (-)
2.2.5 Kondisi Bayi Saat Lahir
• Bayi Lahir : Spontan Partus
• BBL : 3200 gram
• PBL :-
• LK/LD :-
• Bayi lahir menangis : +
2.2.6 Riwayat Sosial
Pasien merupakan anak kedua dari 3 bersaudara, ia
tinggal bersama kedua orang tua dan saudaranya dalam satu
rumah. Ayah pasien merupakan perokok aktif, lingkungan di
luar rumah pasien kadang berdebu

2.2.7 Riwayat Pengobatan


Pasien sebelumnya berobat di RSUD Klungkung
diberikan obat batuk pilek namun pasien tidak tahu namanya

3
2.2.8 Riwayat Imunisasi
Hepatitis B : + (4 kali)
BCG : + (1 kali)
Polio : + (3 kali)
DPT : + (3 kali)
HiB : + (3 kali)
PCV : + (3 kali)
Campak : -

2.2.9 Riwayat Nutrisi


Pasien meminum ASI eksklusif hingga umur 1 tahun
5 bulan, Sufor pada usia 1 tahun 5-6 bulan. MP Asi usia 13
bulan berupa roti tawar dan regal. Pasien minum susu baik 5-6
kali sehari kadang tergantung kemauan pasien
2.2.10 Riwayat Tumbuh Kembang
• Tengkurap : 5 bulan
• Duduk : 6 bulan
• Merangkak : 7 bulan
• Berdiri : 11 bulan
• Berjalan : 14 bulan
• Berbicara : 16 bulan ( mengatakan beberapa
kata)

2.3 Pemeriksaan Fisik


➢ Status Present
Keadaan Umum : Lemas
GCS : Composmentis (E4M6V5)
Vital Sign
Tekanan Darah : Tidak di evaluasi

4
Frekuensi nadi : 120 x/menit
Frekuensi napas : 27 x/menit
Suhu : 36.6 0C
SpO2 : 96%
➢ Antropometri
❖ BB = 8.7 kg
❖ PB = 76 cm
❖ BB/U = -1 ( Berat badan normal)
❖ PB/U = -0.92 (Normal)
❖ BB/PB = -0.75 (Gizi baik)

➢ Status Generalis
Tabel 1. Status Generalis
PEMERIKSAAN Hasil
A. Kepala Bentuk dan Normochepali (46 cm)
ukuran
B. Mata a. Konjungtiva -/-
anemis
b. Sklera ikterik -/-
c. Reflek pupil +/+
C. THT a. Telinga Hiperemis (-), serumen (-)
b. Hidung Discharge (-)
c. Mulut- Hiperemis (-),
Tenggorokan Sianosis (-), kotor (-)
D. Leher a. Trakea Posisi di tengah
b. Kelenjar getah Normal, tidak terjadi
bening (KGB) pembesaran pada KGB
E. Toraks Anterior dan Posterior

5
Pulmo a. Inspeksi Pergerakan dinding dada
simetris , retraksi (-)
b. Palpasi Tidak di evaluasi
c. Perkusi Tidak di evaluasi
d. Auskultasi BronkoVes +/+, Rh +/+,
Whz +/-
Cor a. Inspeksi Iktus cordis tidak terlihat
a. Palpasi Tidak di evaluasi
b. Perkusi Tidak di Evaluasi
c. Auskultasi BJ I & II tunggal, murmur (-)
F. Abdomen a. Inspeksi Bentuk normal, distensi (-),
b. Auskultasi Bising usus (+) 9 x/mnit
c. Perkusi Tidak di evaluasi
d. Palpasi Tidak di evaluasi
G. Ekstremitas Hangat + +
+ +
Edema - -
- -
CRT < 2 detik

6
2.4 Pemeriksaan Penunjang
2.4.1 Pemeriksaan Radiologis (14-12-2022)

Gambar 2.1 Rhontgen Torax


Hasil Thorak PA :
• Cor : tidak membesar
• Pulmo : corakan bronchovaskular meningkat, tampak
infiltrate parahiler dan paracardial kanan kiri
• Sinus costofrenicus kanan kiri tajam
• Diafragma kanan kiri normal
• Skelet hemitorak : tak tampak fraktur
Kesan :
• Tak tampak kardiomegali
• Mengesankan gambaran pneumonia

7
2.4.2 Pemeriksaan Laboratorium (14/12/2022)
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

HEMATOLOGI

Darah Lengkap

Hemoglobin 10.4 g/dL 10.8 ~ 16.5

Lekosit 5.15 ribu/uL 3.5 ~ 10

Hitung Jenis Lekosit

Neutrofil 28 % 39.3 ~ 73.7

Limfosit 57.6 % 18.0 ~ 48.3

Monosit 13.1 % 4.4 ~ 12.7

Eosinofil 0.06 % .600 ~ 7.30

Basofil 1.14 % 0.00 ~ 1.70

Eritrosit 4.8 juta/uL 3.5 ~ 5.5

Hematokrit 34.0 % 35 ~ 55

Index Eritrosit

MCV 70.4 fL 81.1 ~ 96

MCH 21.5 Pg 27.0 ~ 31.2

MCHC 30.5 % 31.5 ~ 35.0

RDW-CV 19.3 % 11.5 ~ 14.5

Trombosit 303 ribu/uL 145 ~ 450

MPV 5.33 fL 6.90 ~ 10.6

KIMIA KLINIK

Gula Darah

8
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan

Gula Darah Sewaktu 86 mg/dL 80-200

2.4 Diagnosis Kerja


▪ Broncopneumonia
2.5 Penatalaksanaan
✓ Dextrosa 5% + ¼ NS Wida infus 20 tpm mikro
✓ Ceftriaxone 1 gr injeksi (dosis 2 x 400 mg iv)
✓ Dexamethasone 5 mg/ml inj (3 x 2.5 mg iv)
✓ Combivent dosis 1 ml inhalasi @8 jam
✓ Fluimucil 2 x 80 mg/PO

2.7 Prognosis
➢ Ad vitam : dubia ad bonam
➢ Ad funcionam : dubia ad bonam
➢ Ad sanationam: dubia ad bonam

2.8 Follow Up Pasien


Kamis, 15 Desember 2022
S : Batuk (+), pilek (+) sesak berkurang, kembung (-), muntah(-),
BAB (+), BAK (+) makan minum (+) demam (-)
O : KU : Sedang Pemeriksaan Fisik
Kesadaran : - Retraksi dinding dada (-)
E4V5M6 - Paru : Rhonki +/+, wheezing +/-
TTV
- TD : -
- N : 119 x/m
- R : 27 x/m
- T : 36.50C
- SpO2 : 97%
A : ➢ Broncopneumonia
P : ✓ Dextrosa 5% + ¼ NS Wida infus 20 tpm mikro

9
✓ Ceftriaxone 1 gr injeksi (dosis 2 x 400 mg iv)
✓ Dexamethasone 5 mg/ml inj (3 x 2.5 mg iv)
✓ Combivent dosis 1 ml inhalasi @8jam
✓ Fluimucil 2 x 80 mg/PO

Jumat, 16 Desember 2022


S : Batuk (+), pilek (-) sesak berkurang, kembung (-), muntah(-),
BAB (+), BAK (+) makan minum (+) demam (-)
O : KU : sedang Pemeriksaan Fisik
Kesadaran : - Retraksi dada (-)
E4V5M6 - Paru : rhonki +/-, wheezing -/-
TTV
- TD : -
- N : 111 x/m
- R : 30x/m
- T : 36.10C
- SpO2 : 99%
A : ➢ Broncopnemunonia
P : ✓ Stoper
✓ Ceftriaxone 1 gr injeksi (dosis 2 x 400 mg iv)
✓ Dexamethasone 5 mg/ml inj (3 x 2.5 mg iv)
✓ Combivent dosis 1 ml inhalasi
✓ Fluimucil 2 x 80 mg/PO
✓ Azitromicin 1x90 mg PO
Sabtu, 17 Desember 2022
S : Batuk (-) , pilek (-) sesak (-), kembung (-), muntah(-), BAB (+),
BAK (+) makan minum (+) demam (-)
O : KU : Baik Pemeriksaan Fisik
Kesadaran : - Retraksi dada (-)
E4V5M6 - Paru : Broncovesikular +/+, rhonki -/-,
TTV wheezing -/-
- TD : -
- N : 120 x/m
- RR : 28 x/m

10
- T : 36.3 0C
- SpO2 : 98%
A : ➢ Broncopneumonia
P : ✓ Stoper
✓ Ceftriaxone 1 gr injeksi (dosis 2 x 400 mg iv)
✓ Dexamethasone 5 mg/ml inj (3 x 2.5 mg iv)
✓ Combivent dosis 1 ml inhalasi
✓ Fluimucil 2 x 80 mg/PO
✓ Azitromicyn 1x90 mg PO

Jam 14.00 pasien BPL keluhan sudah membaik

11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA DAN PEMBAHASAN

3.1 Broncopneumonia
3.1.1 Definisi
Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru.
Bronkopneumonia adalah salah satu jenis pneumonia yang
mempunyai pola penyebaran berbercak, teratur dalam satu atau lebih
area terlokalisasi di dalam bronchioles dan meluas ke parenkim paru
yang berdekatan di sekitarnya (Said, 2018).
Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu
suatu peradangan pada parenkim paru pada bagian distal bronkiolus
termilanis dan meliputi bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris,
sakus alveolaris dan alveoli disekitarnya, yang sering menimpa anak-
anak dan balita, yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi
seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing. Bronkopneumonia lebih
sering merupakan infeksi sekunder terhadap berbagai keadaan yang
melemahkan daya tahan tubuh tetapi bisa juga sebagai infeksi primer
yang sering dijumpai pada anak-anak (Said, 2018).
3.1.2 Epidemiologi
Berdasar atas Studi World Health Organization (WHO), pada
tahun 2017 penyakit pneumonia membunuh 808.694 anak di bawah
usia 5 tahun, terhitung 15% dari semua kematian anak di bawah usia
lima tahun. Pneumonia menyerang anak-anak dan keluarga di
manapun, tetapi paling umum di Asia Selatan dan Afrika sub-Sahara.
Dan sanitasi yang buruk, polusi udara di dalam ruangan yang buruk
dan juga akses yang tidak memadai ke perawatan kesehatan. Saat ini,
32 % anak-anak dengan dugaan pneumonia tidak dibawa ke fasilitas
kesehatan di seluruh dunia, jumlah itu meningkat menjadi 40 %

12
untuk anak-anak yang miskin di negara berpenghasilan rendah dan
menengah (Sofia, Dian. 2021).

Pneumoia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah


kesehatan utama pada anak-anak dinegara berkembang. Pneumonia
merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak berusia
dibawah 5 tahun (balita). Diperkirakan hampir seperlima kematian
anak didunia , lebih kurang 2 juta anak balita meninggal setiap tahun
akibat pneumonia, sebagian besar terjadi diafrika dan asia tenggara.
Insiden pneumonia dinegara berkembang yaitu 30-45% per 1000
anak dibaawah usia 5 tahun, 16-22% per 1000 anak pada usai 5-9
tahun, dan 7-16% per 1000 anak pada anak yang lebih tua (Kliegman
et al, 2007).

Berdasar atas data The United Nations Children's Fund


(UNICEF) Pneumonia adalah penyakit menular yang membunuh
lebih banyak anak daripada penyakit menular lainnya, nyawa lebih
dari 800.000 anak balita setiap tahun, atau sekitar 2.200 setiap hari.
Ini termasuk lebih dari 153.000 bayi baru lahir. Relatif pada tahun
2018, sebanyak 437.000 anak balita meninggal karena diare dan
272.000 karena malaria. Secara global, ada lebih dari 1.400 kasus
pneumonia per 100.000 anak, atau 1 kasus per 71 anak setiap tahun,
dengan insiden terbesar terjadi di Asia Selatan (2.500 kasus per
100.000 anak) dan Afrika Barat dan Tengah (1.620 kasus per
100.000 anak) (Sofia, Dian. 2021).

Menurut WHO kejadian pneumonia di Indonesia pada balita


diperkirakan antara 10%-20% per tahun. Secara teoritis diperkirakan
bahwa 10% dari penderita pneumonia akan meninggal bila tidak
diberi pengobatan. Bila hal ini benar maka diperkirakan tanpa

13
pemberian pengobatan akan didapat 250.000 kematian balita akibat
pneumonia setiap tahunnya

Kasus pneumonia didominasi oleh kelompok usia 0-1 tahun.


Yang terdapat kesesuaian dengan WHO yang memperkirakan bahwa
angka kejadian dan angka kematian tertinggi pada pneumonia terjadi
pada anak dibawah usia lima tahun. Hal ini terjadi karena sistem
imunitas pada anak yang masih lemah atau belum terbentuk
sempurna , sehingga proses penyebaran infeksi menjadi lebih cepat
(Sofia, Dian. 2021).

3.1.3 Etiologi
Sebagian besar pneumonia disebabkan oleh infeksi
mikroorganisme (virus, bakteri, jamur, parasit) dan sebagain kecil
disebabkan oleh hal lain, seperti aspirasi makanan dan asam
lambung, benda asing, senyawa hidrokarbon, reaksi
hipersensitivitas, dan drug – or radiation induced pneumonitis. Usia
pasien merupakan faktor yang memegang peranan penting pada
perbedaan dan kekhasan penumonia anak terutama dalam spektrum
etiologi, gambaran klinis, dan strategi pengobatan (Said, 2018).

Pada neonatus sering terjadi pneumonia akibat transmisi


vertikal ibu – anak yang berhubungan dengan proses persalinan.
Infeksi terjadi akibat kontaminasi dengan sumber infeksi dari ibu,
misalnya melalui aspirasi mekoneum, cairan amnion, atau dari
serviks ibu. Spektrum mikroorganisme penyebab pada neonatus
dan bayi kecil meliputi Streptococcus group B, Chlamydia
trachomatis, dan bakteri Gram negatif seperti E. coli, Pseudomonas
sp, atau Klebsiella sp. disamping bakteri utama penyebab
pneumonia yaitu Streptococcus pneumoniae. Infeksi oleh
Chlamydia trachomatis akibat transmisi dari ibu selama proses

14
persalinan sering terjadi pada bayi di bawah 2 bulan. Penularan
transplasenta juga dapat terjadi dengan mikroorganisme
Toksoplasma, Rubela, virus Sitomegalo, dan virus Herpes simpleks
(TORCH), Varisela – Zoster, dan Listeria monocytogenes. Pada
bayi yang lebih besar dan anak balita, pneumonia lebih sering
disebabkan oleh infeksi Streptococcus pneumoniae, Haemophillus
influenzae tipe B, dan Staphylococcus aureus, sedangkan pada anak
yang lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut, sering juga
ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae (Said, 2018).

Di negara berkembang, pneumonia pada anak terutama


disebabkan oleh bakteri. Bakteri yang sering menyebabkan
pneumonia adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus
influenzae, dan Staphylococcus aureus. Pneumonia yang
disebabkan oleh bakteri-bakteri ini umumnya responsif terhadap
pengobatan dengan antibiotik beta-laktam. Di lain pihak, terdapat
pneumonia yang tidak responsif dengan antibiotik beta-laktam dan
dikenal sebagai pneumonia atipik. Pneumonia atipik terutama
disebabkan oleh Mycoplasma pneumoniae dan Chlamydia
pneumoniae (Said, 2018)

Faktor resiko yang meningkatkan insiden bronkopneumonia


yaitu: pertusis, morbili, gizi kurang, ada penyakit
imunocomprimised, umur kurang dari 2 bulan, berat badan lahir
rendah, tidak mendapat ASI yang memadai, polusi udara, laki-laki,
imunisasi yang tidak memadai, defisiensi Vitamin A, pemberian
makanan tambahan terlalu dini, kepadatan tempat tinggal

3.1.4 Patofisiologi
Dalam keadaan sehat tidak terjadi pertumbuhan
mikroorganisme di paru. Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme

15
pertahanan paru antara lain, mekanisme pertahanan awal yang berupa
filtrasi bulu hidung, refleks batuk dan mukosilier aparatus dan
mekanisme pertahanan lanjut berupa sekresi Ig A lokal dan respon
inflamasi yang diperantarai leukosit, komplemen, sitokin,
imunoglobulin, makrofag alveolar, dan imunitas yang diperantarai
sel. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh,
mikroorganisme dan lingkungan, maka mikroorganisme dapat
berkembang biak dan menimbulkan penyakit (Price and Wilson,
2006).

Risiko infeksi di paru sangat tergantung pada kemampuan


mikroorganisme untuk sampai dan merusak permukaan epitel saluran
napas. Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan
saluran napas: aspirasi sekret yang berisi mikroorganisme patogen
yang telah berkolonisasi pada orofaring, inhalasi aerosol yang
infeksius, dan penyebaran hematogen dari bagian ekstrapulomonal.
Dari ketiga cara tersebut, aspirasi dan inhalasi agen–agen infeksius
adalah dua cara tersering yang menyebabkan pneumonia, sementara
penyebaran secara hematogen lebih jarang terjadi. Secara inhalasi
terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme atipikal, mikrobakteria,
atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5–2,0 mm melalui
udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveol dan selanjutnya
terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas atas
(hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah
dan terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan
infeksi dari sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dan sebagian sekret
orofaring terjadi pada orang normal waktu tidur (50%) juga pada
keadaan penurunan kesadaran. Sekret dari faring tersebut
mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi 10/mL, sehingga
aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001–1,1 mL) dapat memberikan

16
titer inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia. Pada
pneumonia mikroorganisme biasanya masuk secara inhalasi atau
aspirasi. Umumnya mikroorganisme yang terdapat di saluran napas
bagian atas sama dengan saluran napas bagian bawah, tetapi pada
beberapa penelitian tidak ditemukan jenis mikroorganisme yang
sama (Said, 2018; Price and Wilson, 2006).

Gambaran patologi tergantung dalam batas tertentu


tergantung pada agen etiologinya. Pneumonia yang disebabkan oleh
bakteri ditandai dengan eksudat intraalveolar supuratif disertai
konsolidasi. Awalnya, mikroorganisme yang masuk bersama sekret
bronkus ke dalam alveoli menyebabkan reaksi radang berupa edema
seluruh alveoli yang mempermudah proliferasi dan penyebaran
kuman ke jaringan sekitarnya. Kemudian, disusul dengan
konsolidasi, yaitu terjadi sebukan sel-sel PMN dan diapedesis
eritrosit sehingga terjadi permulaan fagositosis sebelum terbentuk
antibodi. Sel-sel PMN mendesak bakteri ke permukaan alveoli dan
dengan bantuan leukosit yang lain melalui pseudopodosis
sitoplasmik mengelilingi bakteri tersebut kemudian dimakan (Said,
2018; Kliegman et al, 2007).

Secara garis besar terdapat 3 stadium, yaitu stadium


prodromal, stadium hepatisasi, dan stadium resolusi. Pada stadium
prodromal, yaitu 4-12 jam pertama, alveolus-alveolus mulai terisi
sekret dari pembuluh darah yang berdilatasi dan bocor yang
ditimbulkan infeksi dengan kuman patogen yang berhasil masuk.
Pada 48 jam berikutnya, paru tampak merah dan bergranulasi, seperti
hati, dimana alveoli terisi dengan sebukan sel – sel leukosit terutama
sel PMN, fibrin, eritrosit, cairan edema, dan kuman, yang disebut
dengan stadium hepatisasi merah. Selanjutnya, selama 3 – 8 hari,

17
terjadi konsolidasi di dalam alveoli akibat deposit fibrin dan leukosit
yang semakin bertambah, yang disebut dengan hepatisasi kelabu
(Said, 2018; Price and Wilson, 2006; Kliegman et al, 2007). Sebagai
akibat dari proses ini, secara akut salah satu lobus tidak lagi dapat
menjalankan fungsi pernapasan (jadi merupakan gangguan restriksi).
Di samping itu, pada saat yang bersamaan juga ada peningkatan
kebutuhan oksigen sehubung dengan panas yang tinggi. Proses
radang juga akan mengenai pleura viseralis yang membungkus lobus
tersebut. Dengan demikian akan timbul pula rasa nyeri setempat.
Nyeri dada ini juga akan menyebabkan ekspansi paru terhambat.
Ketiga faktor ini akan menyebabkan penderita mengalami sesak
napas, tetapi karena tak ada obstruksi bronkus, maka tidak akan
terdengar wheezing (Said, 2018; Price and Wilson, 2006; Kliegman
et al, 2007).

Bila penderita dapat mengatasi infeksi akut ini, maka pada


hari ke-7 sampai 11 terjadi stadium resolusi dimana jumlah makrofag
mingingkat di alveoli, sel akan mengalami degenerasi, fibrin menipis,
kuman dan debris menghilang, dan isi alveolus akan melunak untuk
berubah menjadi dahak dan yang akan dikeluarkan lewat batuk, dan
jaringan paru kembali kembali pada struktur semulanya (Said, 2018;
Price and Wilson, 2006; Kliegman et al, 2007).

Proses infeksi tersebut juga dapat diklasifikasikan


berdasarkan anatomi, dimanan pada pneumonia lobaris konsolidasi
ditemuka pada seluruh lobus dan pada bronkopneumonia terjadi
penyebaran daerah infeksi yang berbercak dengan diameter 3-4 cm
yang mengelilingi bronki. Pada pneumonia akibat virus atau
Mycoplasma pneumoniae, gambaran patologi ditandai dengan
peradangan interstisial yang disertai penimbunan infiltrat dalam

18
dinding alveolus, meskipun rongga alveolar sendiri bebas dari
eksudat dan tidak ada konsolidasi (Said, 2018; Price and Wilson,
2006; Kliegman et al, 2007).

3.1.5 Klasifikasi
Pneumonia diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal, yaitu (Said,
2018) :
1. Berdasarkan klinis dan epidemiologis:
a. Pneumonia komuniti (community–acquired pneumonia) :
pneumonia yang didapat di masyarakat dan sering
disebabkan oleh kokus Gram positif (Pneumokokus,
Staphylococcus), basil Gram negatif (Haemophillus
influenzae), dan bakteri atipik.
b) Pneumonia nosokomial (hospital–acquired pneumonia) :
pneumonia yang timbul setelah 72 jam dirawat di rumah
sakit, yang lebih sering disebabkan oleh bakteri gram
negatif (Staphylococcus aureus) dan jarang oleh
pneumokokus atau Mycoplasma pneumoniae.
c) Pneumonia aspirasi : pneumonia yang terjadi akibat
aspirasi antara lain makanan dan asam lambung
d) Pneumonia pada penderita immunocompramised
2. Berdasarkan mikoorganisme penyebab
a. Pneumonia bakterial / tipikal
b. Pneumonia atipikal : disebabkan Mycoplasma, Legionella,
dan Clamydia
c. Pneumonia virus
d. Pneumonia jamur : sering merupakan infeksi sekunder
dengan predileksi pada penderita dengan daya tahan tubuh
lemah (immunocompromised)
3. Berdasarkan predileksi infeksi

19
a. Pneumonia lobaris
b. Bronkopneumonia
c. Pneumonia interstisial

3.1.6 Manifestasi Klinis


Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar
dari ringan hingga sedang. Hanya sebagian kecil yang berat,
mengancam kehidupan, dan mungkin terjadi komplikasi sehingga
perlu dirawat. Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis
pada anak adalah imaturitas anatomik dan imunologik,
mikroorganisme penyebab yang luas, gejala klinis yang tidak khas
terutama pada bayi, terbatasnya penggunaan prosedur diagnostik
invasif, etiologi noninfeksi yang relatif lebih sering, dan faktor
pathogenesis (Said, 2018; WHO, 2014).

Adapun berdasarkan anamnesis pasien di dapatkan pertama di


dahului infeksi respiratori atas akut (batuk, pilek, demam). Batuk
awalnya kering kemudian prduktif (sputum purulent sampai darah).
Sesak nafas, lemah dan nafsu makan berkuang setelah 3-5 hari infeksi
respiratori atas akut. Gali kondisi imunocomprimised dan penyakit
dasar lainnya (PPK Sanglah, 2018). Gambaran klinis pneumonia
pada bayi dan anak bergantung berat ringannya infeksi, tetapi secara
umum adalah sebagai berikut (Said, 2018; WHO, 2014):

➢ Gambaran infeksi umum :


o Demam: suhu bisa mencapai 39 – 40 o c
o Sakit kepala
o Gelisah
o Malaise
o Penurunan nafsu makan
o Takikardi

20
o Keluhan gastrointestinal, seperti mual, muntah, atau diare,
neyri abdomen
o Kadang – kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner
➢ Gambaran gangguan respiratori:
o Batuk yang awalnya kering kemudian menjadi produktif
o Sesak nafas
o Retraksi dada
o Takipnea
o Napas cuping hidung
o Penggunaan otat pernafasan tambahan
o Air hunger
o Merintih
o Sianosis
o Pemeriksaan fisik : Rhonki/crackles basah halus terutama di
daerah perifer pada akhir inspirasi, retrasi subcostal,
intercostal dan/ suprasternal (PPK sanglah, 2018).

Bronkopneumonia biasanya di dahului oleh infeksi saluran


nafas bagian atas selama beberapa hari. Batuk mungkin tidak
dijumpai pada anak–anak. Bila terdapat batuk, batuk berawal kering
lalu berdahak. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda klinis
seperti vokal fremitus yang meningkat pada daerah terkena, pekak
perkusi atau perkusi yang redup pada daerah yang terkena, suara
napas melemah, suara napas bronkial, dan ronki. Akan tetapi pada
neonatus dan bayi kecil, gejala dan tanda pnuemonia lebih beragam
dan tidak selalu terlihat jelas. Pada perkusi dan auskultasi paru
umumnya tidak ditemukan kelainan (Said, 2018; WHO, 2014).

21
3.1.7 Pemeriksaan Penunjang
a. Darah Perifer Lengkap Pada pneumonia virus dan mikoplasma,
umumnya ditemukan leukosit dalam batas normal atau sedikit
meningkat. Akan tetapi pada pneumonia bakteri didapatkan
leukositosis yang berkisar antara 15.000-40.000/mm3 dengan
predominan PMN. Leukopenia (2,5 g/dL, dan glukosa relatif
lebih rendah dibandingkan glukosa darah. Kadang-kadang
terdapat anemia ringan dan laju endap darah (LED) yang
meningkat. Trombositopeni dapat ditemukan pada 90%
penderita pneumonia dengan empiema. Secara umum hasil
pemeriksaan darah perifer tidak dapat membedakan antara
infeksi virus dan infeksi bakteri secara pasti (Said, 2018; WHO,
2014).
b. C – Reaktive Protein (CRP) CRP adalah suatu protein fase akut
yang disintesis oleh hepatosit. Sebagai respon infeksi atau
inflamasi jaringan, produksi CRP secara cepat distimulasi oleh
sitokin, terutama IL–6, IL–1, dan TNF. Meskipun fungsinya
belum diketahui, CRP sangat mungkin berperan dalam
opsonisasi mikroorganisme atau sel yang rusak. Secara klinis
CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan
antara faktor infeksi dan non infeksi, infeksi virus dan bakteri,
atau infeksi bakteri superfisialis dan profunda, dimana kadar
CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan infeksi
bakteri superfisialis dibandingkan infesksi bakteri profunda
(Said, 2018; WHO, 2014).
c. Uji Serologis Uji serologis untukj mendeteksi antigen dan
antibodi pada infeksi bakteri tipik mempunyai sensitivitas yang
rendah dan secara umum tidak terlalu bermanfaat dalam
mendiagnosis infeksi bakteri atipik (Said, 2018; WHO, 2014).

22
d. Pemeriksaan Mikrobiologis Pemeriksaan mikrobiologis untuk
diagnosis pneumonia anak tidak rutin dilakukan kecuali pada
pneumonia berat yang dirawat di RS. Untuk pemeriksaan
mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap tenggorok,
sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau
aspirasi paru. Pemeriksaan sputum kurang berguna. Diagnosis
dikatakan definitif apabila kuman ditemukan dalam darah,
cairan pleura, atau aspirasi paru, kecuali pada masa neonatus,
dimana kejadian bakteremia sangat rendah sehingga kultur
darah jarang positif (Said, 2018; WHO, 2014).
e. Analisa Gas Darah Analisa gas darah (AGD) menunjukkan
hipoksemia dan hiperkarbia. Pada stadium lanjut dapat terjadi
asidosis metabolic. AGD bila terdapat ancaman gagal nafas
yaitu SpO2 <90%, sianosis, apnea, kesadaran menurun atau
gelisah, kejang (Said, 2018; WHO, 2014).
f. Pemeriksaan Rontgen Thorax Foto toraks dengan proyeksi
antero-posterior merupakan dasar diagnosis untuk pneumonia.
Foto lateral dilakukan bila diperlukan informasi tambahan,
misalnya efusi pleura. Kelainan foto toraks pada pneumonia
tidak selalu berhubungan dengan gambaran klinis. Kadang-
kadang bercak-bercak sudah ditemukan pada gambaran
radiologis sebelum timbul gejala klinis. Akan tetapi, resolusi
infiltrat sering memerlukan waktu yang lebih lama setelah
gejala klinis menghilang. Pada pasien dengan pneumonia tanpa
komplikasi, ulangan foto rontgen tidak diperlukan. Ulangan
foto rontgen toraks diperlukan bila gejala klinis menetap,
penyakit memburuk, atau untuk tidak lanjut. Secara umum
gambaran foto toraks terdiri dari (Said, 2018; WHO, 2014):

23
▪ Pneumonia/infiltrat interstisial: ditandai dengan
peningkatan corakan bronkovaskular, peribronchial cuffing,
dan hiperaerasi. Biasanya disebabkan oleh virus atau
Mycoplasma. Bila berat dapat terjadi patchy consolidation
karena atelectasis (Said, 2018).
▪ Infiltrat alveolal : merupakan konsolidasi paru dengan air
bronchogram. Konsolidasi dapat mengenai satu lobus
disebut dengan pneumonia lobaris, atau terlihat sebagai lesi
tunggal yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis,
berbatas yang tidak terlalu tegas, dan menyerupai lesi tumor
paru, dikenal sebagai round pneumonia. Biasanya
disebabkan oleh bakteri pnuemokokus atau bakteri lain
(Said, 2018).
▪ Bronkopneumonia : ditandai dengan gambaran difus merata
pada kedua paru, berupa bercak–bercak infiltrat halus yang
dapat meluas hingga daerah perifer paru, disertai dengan
peningkatan corakan peribronkial (Said, 2018).

Gambar 2. Perbedaan Bronkopneumonia dan Pneumonia Klasik


Gambaran foto rontgen toraks pada anak meliputi
infiltrat ringan pada satu paru hingga konsolidasi luas pada
kedua paru. Pada suatu penelitian ditemukan pneumonia pada

24
anak terbanyakk di paru kanan, terutama lobus atas. Bila
ditemukan di lobus kiri, dan terbanyak di lobus bawah, maka
hal tersebut merupakan prediktor perjalanan penyakit yang
lebih berat dengan risiko terjadinya pleuritis lebih meningkat
(Said, 2018).

Gambaran foto toraks pada pneumona dapat membantu


mengarahkan kecenderungan etiologi pneumonia. Penebalan
peribronkial, infiltrat interstisial merata, dan hiperinflasi
cenderung terlihat pada pneumonia virus. Infiltrat alveolar
berupa konsolidasi segmen atau lobar, bronkopnumonia, dan air
bronchogram sangat mungkin disebabkan oleh bakteri. Pada
pneumonia Stafilokokus sering ditemukan abses–abses kecil
dan pneumoatokel dengan berbagai ukuran (Said, 2018).

Gambaran foto toraks pada pneumonia Mikoplasma


sangat bervariasi. Pada beberapa kasus terlihat sangat mirip
dengan gambaran foto rontgen toraks pneumonia virus. Selain
itu, dapat juga ditemukan gambaran bronkopneumonia terutama
di lobus bawah, inflitrat interstisial retikulonodular bilateral,
dan yang jarang adalah konsolidasi segmen atau subsegmen.
Biasanya gambaran foto toraks yang jauh lebih berat
dibandingkan gejala klinis. Meskipun tidak terdapat gambaran
foto toraks yang khas, tetapi bila ditemukan gambaran
retikulonodular fokal pada satu lobus, hal ini cenderung
disebabkan oleh infeksi Mikoplasma. Demikian pula bila
ditemukan gambaran perkabutan atau ground–glass
consolidation, serta transient pseudoconsolidation (Said, 2018).

25
3.1.8 Diagnosis
Diagnosis etiologik berdasarkan pemeriksaan mikrobiologis
dan / atau serologis merupakan dasar yang optimal. Akan tetapi,
penemunan bakteri penyebab tidak selalu mudah karena memerlukan
laboratorium menunjang yang memadai. Oleh karena itu pneumonia
pada anak didiagnosis berdasarkan gambaran klinis yang
menunjukkan keterlibatan sistem respiratori, serta gambaran
radiologis. Prediktor paling kuat adanya pneumonia adalah demam,
sianosis, dan lebih dari satu gejala respiratori sebagai berikut:
takipnea, batuk, napas cuping hidung, retraksi, ronki, dan suara napas
melemah (Said, 2018; WHO, 2014).

WHO mengembangkan pedoman diagnosis sederhana yang


ditujukan untuk Pelayanan Kesehatan Primer dan sebagai pendidikan
kesehatan untuk masyarakat di negara berkembang. Gejala klinis
sederhana tersebut meliputi: napas cepat, sesak napas, dan berbagai
tanda bahaya agar anak segera dirujuk ke rumah sakit. Napas cepat
dinilai dengan menghitung napas anak dalam 1 menit penuh dalam
keadaan tenang. Sesak napas dinilai dengan melihat adanya tarikan
dinding dada bagian bawah ke dalam ketika menarik napas (retraksi
epigastrium). Tanda bahaya pada anak berusia 2 bulan –5 tahun
adalah tidak dapat minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, dan
gizi buruk, sedangkan tanda bahaya pada anak berusia dibawah 2
bulan adalah malas minum, kejang, kesadaran menurun, stridor,
mengi, dan demam/badan terasa dingin. Berikut adalah klasifikasi
pneumonia berdasarkan pedoman tersebut (Said, 2018; WHO, 2014):

26
Tabel 3 Diagnosis Pneumonia Untuk Bayi dan Anak
Usia 2 Bulan–5 Tahun (Said, 2018; WHO, 2014).
Bayi dan anak berusia 2 bulan – 5 tahun
Bukan pneumonia
− bila tidak ada napas cepat dan sesak napas
− tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya
diberikan pengobatan simptomatis seperti penurun panas
Pneumonia
− bila ada sesak napas
− ada napas cepat dengan laju napas
o > 50 x/menit untuk anak usia 2 bulan – 1 tahun
o > 40 x/menit untuk anak > 1 – 5 tahun
− tidak perlu dirawat, diberikan antibiotik oral
Pneumonia berat
− bila ada sesak napas
− harus dirawat dan diberikan antibiotic
Pada bayi berusia di bawah 2 bulan, perjalanan penyakitnya
lebih bervariasi, mudah terjadi komplikasi, dan sering menyebabkan
kematian. Klasifikasi pneumonia pada kelompok usia ini adalah
sebagai berikut (Said, 2018; WHO, 2009):
Tabel 4. Diagnosis Pneumonia Untuk Bayi Di Bawah 2 Bulan
(Said, 2018; WHO, 2014)

Bayi di bawah 2 bulan


Bukan pneumonia
− bila tidak ada napas cepat dan sesak napas
− tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya diberikan
pengobatan simptomatis seperti penurun panas
Pneumonia

27
− bila ada napas cepat ( > 60 x/menit ) atau sesak napas
− harus dirawat dan diberikan antibiotic
Namun, menurut Pelayanan Kesehatan Medik Rumah Sakit (WHO),
pneumonia dapat dibagi menjadi pneumonia ringan dan berat (Said,
2018; WHO, 2014):
1. Pneumonia ringan: Disamping batuk atau kesulitan napas, hanya
terdapat napas cepat saja, dimana napas cepat adalah:
a. pada usia 2 bulan – 11 bulan : ≥ 50 kali / menit
b. pada usia 1 tahun – 5 tahun : ≥ 40 kali / menit
2. Pneumonia berat: Batuk dan atau kesulitan bernapas ditambah
minimal salah satu hal berikut ini:
a. kepala terangguk – angguk
b. pernapasan cuping hidung
c. tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
d. foto dada menunjukkan gambaran pneumonia (infiltrat
luas, konsolidasi, dll.)
Selain itu bisa didapatkan pula tanda berikut ini:
− Napas cepat
o anak umur < 2 bulan : ≥ 60 kali / menit
o anak umur 2 – 11 bulan : ≥ 50 kali / menit
o anak umur 1 – 5 tahun : ≥ 40 kali / menit
o anak umur ≥ 5 tahun : ≥ 30 kali / menit
− Suara merintih (grunting) pada bayi muda
− Pada auskultasi terdengar
o crackles (ronki)
o suara pernapasan menurun
o suara pernapasan bronkial
Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai:

28
− tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau
memuntahkan semuanya
− kejang, letargi, atau tidak sadar
− sianosis
− distress pernapasan berat
3.1.9 Diagnosis Banding
1. Bronkioloitis
Bronkiolitis merupakan inflamasi pada bronkiolus. Pada
anamnesis di dapatkan usia < 2 tahun, pilek batuk dan demam
subfebris, Diawali infeksi saluran nafas bagian atas,, sesak nafas,
takipnea dengan fase ekspirasi memanjang, nafas cuping hidung,
retraksi intercostal dan suprasternal, terdengar wheezing atau
mengi dalam 1-2 hari setelah onset gejala, rewel, kesulitan minum
dan muntah, ronki nyaring halus pada auskultasi. Gambaran
labarotorium dalam batas normal, kimia darah menggambarkan
asidosis respiratotik ataupun metabolik (IDAI, 2011;
Pusponegoro, 2004).
2. Aspirasi benda asing
Ada riwayat tersedak, stridor atau distress pernapasan tiba –
tiba, wheezing atau suara pernapasan yang menurun yang bersifat
fokal (IDAI, 2011; Pusponegoro, 2004).
3. Asma
Asma merupakan spasme akut bronkus akibat reaksi alergi
atau hipersensitivitas. Keluhan anak berupa batuk, mengi
(wheezing), sesak, dada tertekan yang timbul secara episodik
berulang, reversibel, cenderung memberat pada malam hari,
timbul jika da pencetus (suhu, hirupan, debu, cuaca), gejala
berfluktuasi, riwayat alergi pada pasien maupun keluarga.

29
4. Tuberkulosis
Pada TB, terdapat kontak dengan pasien TB dewasa, uji
tuberkulin positif ( > 10 mm atau pada keadaan imunosupresi > 5
mm ), demam 2 minggu atau lebih, batuk 3 minggu atau lebih,
pertumbuhan buruk/kurus atau berat badan menurun,
pembengkakan kelenjar limfe leher, aksila, inguinal yang spesifik,
pembengkakan tulang/sendi punggung, panggulm lutut, dan falang,
dan dapat disertai nafsu makan menurun dan malaise yang dapat
ditegakkan melalui skor TB (IDAI, 2011; Pusponegoro, 2004).

3.1.10 Penatalaksanaan
Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat
inap. Indikasi perawatan terutama berdasarkan berat-ringannya
penyakit, misalnya toksis, distres pernapasan, tidak mau
makan/minum, atau bila ada penyakit dasar yang lain, komplikasi,
dan terutama mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi
kecil dengan kemungkinan klinis pneumonia harus dirawat inap
(Said, 2018).
Dasar tatalaksana pada pneumonia rawat inap adalah
pengobatan kasual dengan antibiotik yang sesuai, serta tindakan
suportif. Pengobatan suportif meliputi pemberian cairan intravena,
terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan keseimbangan asm-basa
dan elektrolit, dan gula darah. Untuk nyeri dan demam dapat
diberikan analgetik/antipiretik (Said, 2018).
Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utama
keberhasilan pengobatan. Terapi antibiotik harus segera diberikan
pada anak dengan pneumonia yang diduga disebabkan oleh bakteri.
Karena identifikasi dini mikroorganisme tidak umum dilakukan,
maka pemilihan antibiotik dipilih berdasarkan pengalaman empiris

30
yang didasarkan pada kemungkinan etiologi penyebab dengan
mempertimbangkan usia dan keadaan klinis pasien serta faktor
epidiemiologis (Said, 2018).
❖ Pneumonia Rawat Jalan
Pada pneumonia ringan rawat jalan dapat diberikan antibiotik
lini pertama secara oral, misalnya amoksisilin 25 mg/kgBB atau
kotrimoksazol 4 mg/kgBB TMP dan 20 mg/kgBB
sulfametoksazol dua kali sehari selama 3 hari. Makrolid, baik
eritromisin maupun makrolid baru, dapat digunakan sebagai
terapi alternatif beta-laktam untuk pengobatan inisial
pneumonia, dengan pertimbangan adanya aktivitas ganda
terhadap S. pneumoniae dan bakteri atipik (Said, 2018; WHO,
2014).
Setalah itu, anjurkan ibu untuk memberi makan anak.
Nasihati ibu untuk membawa kembali anaknya setelah 2 hari
atau lebih kalau keadaan anak memburuk atau tidak dapat
minum atau menyusui. Bila pernapasannya membaik
(melambat), demam berkurang, nafsu makan membaik,
lanjutkan pengobatan sampai selesai 3 hari. Jika frekuensi
pernapasan, demam, dan nafsu makan tidak ada perubahan,
ganti ke antibiotik lini kedua dan nasihati ibu untuk kembali 2
hari lagi. Jika ada tanda pneumonia berat, rawat anak di rumah
sakit dan tangani sesuai pedoman pneumonia berat (Said, 2018;
WHO, 2014).
❖ Pneumonia Rawat Inap
Terapi Antibiotik
Pemilihan antibiotik lini pertama dapat menggunakan
golongan beta–laktam atau kloramfenikol. Pada pneumonia
yang tidak responsif terhadap beta–laktam dan kloramfenikol,

31
dapat diberikan antibiotik seperti gentamisin, amikasin, atau
sefalosporin, sesuai dengan petunjuk etiologi yang ditemukan.
Antibiotik diteruskan selama 7–10 hari pada pasien dengan
pneumonia tanpa komplikasi. Pada neonatus dan bayi kecil,
terapi awal antibiotik intravena harus dimulai sesegera
mungkin. Oleh karena pada neonatus dan bayi kecil sering
terjadi sepsis dan meningitis, antibiotik yang
direkomendasikan adalah antibiotik spektrum luas seperti
kombinasi betalaktam/ klavulanat dengan aminoglikosid, atau
sefalosporin generasi ketiga (Said, 2018; WHO, 2014).
WHO menganjurkan pemberian ampisilin/amoksisilin
25 – 50 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 6 jam yang dipantau
dalam 24 jam selama 72 jam pertama. Bila anak memberi
respons yang baik maka diberikan selama 5 hari. Selanjutnya
terapi dilanjutkan di rumah atau di rumah sakit dengan
amoksisilin oral 15 mg/kgBB/kali tiga kali sehari untuk 5 hari
berikutnya (Said, 2018; WHO, 2014).
Pada balita dan anak yang lebih besar, antibiotik yang
direkomendasikan adalah antibiotik beta–laktam dengan/tanpa
klavulanat; pada kasus yang lebih berat diberikan beta-
laktam/klavulanat dikombinasikan dengan makrolid baru
intravena, atau sefalosporin generasi ketiga. Bila pasien sudah
tidak demam atau keadaan sudah stabil, antibiotik diganti
dengan antibiotik oral dan berobat jalan selama 10 hari (Said,
2018; WHO, 2014).
Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam atau
terdapat keadaan yang berat maka ditambahkan kloramfenikol
25 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 8 jam. Bila pasien datang
dengan keadaan klinis yang berat segera berikan oksigen dan

32
pengobatan kombinasi ampisilin-kloramfenikol atau ampisilin-
gentamisin. Sebagai alternatif, beri seftriakson 80-100
mg/kgBB IV atau IM sekali sehari. Bila tidak membaik dalan
48 jam, maka bila mungkin foto toraks (Said, 2018; WHO,
2014).
Apabila diduga pneumonia stafilokokal, ganti antibiotik
dengan gentamisin 7,5 mg/kgBB IM sekali sehari dan
klokasilin 50 mg/kgBB IM atau IV setiap 6 jam atau
klindamisin 15 mg/kgBB/hari hingga 3 kali pemberian. Bila
keadaan anak membaik, lanjutkan kloksasilin atau diklokasilin
secara oral 4 kali sehari sampai secara keseluruhan mencapai 3
minggu atau klindamisin oral selama 2 minggu (Said, 2018;
WHO, 2014).
Antibiotik berdasarkan PPK Sanglah (2018) :
• Ampisilin 50 mg/kgBB/kali IV tiap 6 jam dan gentamisin
7,5 ng/kgBB/kali IV tiap 24 jam minimal selama 5 hari
• Bila dalam 48-72 jam belum terdapat perbaikan klinis,
diganti dengan ceftriaxone 50-75 mg/kgBB/hari IV tiap 12
jam minimal selama 5 hari
• Pada kecurigaan staphilococus aureus : cefazolin 50-100
mg/kgBB/hari diberikan setiap 6-8 jam selama 21 hari
• Bila tidak ada perbaikan klinis, antibiotic disesuaikan
dengan sensitivitas mikroorganisme yang di dapay pada
biakan sputum

Terapi Oksigen
Beri oksigen pada semua anak dengan pneumonia berat.
Bila tersedia pulse oksimeter, gunakan sebagai panduan untuk
terapi oksigen (nasal kanul 2 Lpm) berikan pada anak dengan

33
saturaso < 90%, anak yang tidak stabil. Hentikan pemberian
oksigen bila saturasi tetap stabil > 90%. Pemberian oksigen
setelah saat ini tidak berguna, monitoring saturasi oksigen tiap
3 jam (Said, 2018; WHO, 2014). Bila membaik (laju
pernafasan mendekati normal, retraksi minimal, saturasi
oksigen >90%), turunkan kadar oksigen secara bertahap. Setiap
menurunkan kadar O2, evaluasi saturasi perifer 15 menit, 45
menit setelah menurun, kemuidan tiap 3 jam selama total 24
jam. Bisa saturasi O2 perifer tetap >90% kadar oksigen
diturunkan bertahap sampai pada akhirnya tanpa oksigen. Bila
saturasi oksigen perifer <90% kada oksigen dikembalikan ke
kadar sebelumnya, setelah oksigen dihentikan, perlu juga
dilakukan evaluasi saturasi oksigen perifer seperti di atas. Bila
oksigen sudah >90% maka oksigen sudah tidak diperlukan lagi
(PPK Sanglah, 2018).
Terapi Suportif
Bila anak disetai demam yang tampaknya menyebabkan
distres, beri antipiretik seperti parasetamol 10 mg/kgBB/kali
bila suhu aksila ≥38 C. Bila ditemukaan adanya wheezing atau
mengi, beri nebulizer bronkodilator β2 agonis (salbutamol) 0,1
mg/kgBB/kali tiap 6 jam dilarutkan dalam Nacl 3 % hinggal 4
ml/cc dan steroid (deksametason bolus 0,5-1 mg/kgBB/kali di
lanjutkan 1 mg/kgBB/hari tiap 6 jam). kerja cepat. Bila terdapat
sekret kental di tenggorokan yang tidak dapat dikeluarkan oleh
anak, hilangkan dengan alat penghisap (suction) secara
perlahan. D5 0,225 NS untuk anak <2 tahun dan D5 0,45 NS
untuk anak ≥
Pastikan anak mendapatkan kebutuhan cairan runatan
yang sesuai, tetapi hati-hati terhadap kelebihan

34
cairan/overhidrasi. Anjurkan pemberian ASI dan cairan oral.
Jika anak tidak dapat minum, pasang pipa nasogastrik dan
berikan cairan rumatan dalam jumlah sedikit tapi sering. Jika
asupan cairan oral mencukupi, jangan menggunakan pipa
nasogastrik untuk meningkatkan asupan, karena akan
meningkatkan risiko pneumonia aspirasi. Jika oksigen
diberikan bersamaan dengan cairan nasogastrik, pasang
keduanya pada lubang hidung yang sama (Said, 2018; WHO,
2014; PPK Sanglah, 2018).
Indicator medis Pulang :
1. Tidak demam tanpa penurun demam minimal 48 jam
2. Sesak nafas berkurang atau menghilang
3. Saturasi oksigen >90% minimal 24 jam setelah oksigen
dihentikan (bernafas ruangan)
4. Asupan oral adekuat
3.1.11 Prognosis
Pneumonia biasanya sembuh total dengan mortalitas kurang
dari 1 %. Mortalitas dapat lebih tinggi didapatkan pada anak-anak
dengan keadaan malnutrisi energi-protein dan datang terlambat
untuk pengobatan. Interaksi sinergis antara malnutrisi dan infeksi
sudah lama diketahui. Infeksi berat dapat memperjelek keadaan
melalui asupan makanan dan peningkatan hilangnya zat-zat gizi
esensial tubuh. Sebaliknya malnutrisi ringan memberikan pengaruh
negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi. Kedua-duanya
bekerja sinergis, maka malnutrisi Bersama-sama dengan infeksi
memberi dampak negatif yang lebih besar dibandingkan dengan
dampak oleh faktor infeksi dan malnutrisi apabila berdiri sendiri.
Pneumonia biasanya tidak mempengaruhi tumbuh kembang anak
(Priyanti dkk, 2002).

35
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien datang ke UGD RSUD Klungkung dengan keluhan sesak,


sesak. Awalnya pasien batuk pilek sejak 4 hari sebelum MRS. Keluhan
terjadi di akibatkan adanya infalmasi akut pada parenkim paru yang
menyebabkan adanya akumulasi cairan pada alveolus sehingga
menyebabkan gangguan pernafasan seperti halnya sesak dan batuk.

Pasien tidak terdapat demam, namun terdapat Riwayat demam


sebelumnya 3 hari yang lalu. Demam menjadi gejala klinis yang paling
sering muncul pada penderita pneumonia balita. Hal ini terjadi karena
pneumonia adalah penyakit infeksi yang disebabkan masuknya
mikroorganisme ke saluran pernapasan lalu menempel dan merusak sel
epitel respirasi. Hal tersebut akan memicu terjadinya respon inflamasi yang
gejala terbanyaknya adalah berupa demam (Sofia, Dian. 2021).

Pada pemeriksaan foto torax pasien di dapatkan kesan pneumonia.


Sebagian besar hasil foto rontgent thorax pasien pneumonia balita
menunjukan adanya gambaran infiltrat / bercak di lapang paru. Sesuai
dengan penelitian Osharinanda Monita dkk. (2015) yang menyatakan
bahwa pemeriksaan penunjang pada pasien pneumonia didapatkan hasil
gambaran foto rontgen thoraks berupa infiltrat pada lapang paru sebanyak
96,6% kasus, hal ini disebabkan oleh adanya bakteri maupun virus (Sofia,
Dian. 2021).

Terapi pengobatan pada pasien di berikan Dextrosa 5% + ¼ NS Wida


infus 20 tpm mikro yang berfungsi sebagai terapi suportif. Antibiotic
Ceftriaxone 1 gr injeksi (dosis 2 x 400 mg iv), pada pasien sebelumnya
terdapat riwayat yang sama dengan pengobatan sebelumnya, maka pada
terapi ini diberikan jenis golongan yang lebih spesifik. Antibiotik diperoleh

36
sebagian besar menggunakan antibiotik golongan sefalosporin, hal ini
sesuai dengan penelitian Fiqhul Azhari, et al (2015) yaitu sebagian besar
memilih terapi empirik golongan sefalosporin sebanyak 53 (67,09%) .
Kemungkinan akibat kurangnya responsifitas terhadap terapi lini pertama
menurut WHO yaitu berupa golongan penisilin, maka dipergunakan
golongan yang lebih spesifik yaitu lini kedua berupa golongan sefalosporin,
namun pemilihan golongan antibiotic dipengaruhi oleh berat-ringannya
penyakit (Sofia, Dian. 2021). Sefalosporin generasi ketiga memiliki
spektrum luas untuk melawan bakteri gram positif maupun gram
negatif.Karena spektrumnya yang luas sefalosporin generasi ketiga ini
sering digunakan untuk terapi empiris berbagai jenis infeksi, sehingga
sefalosporin generasi ketiga ini banyak digunakan untuk menggantikan
penisilin dan golongannya sebagai first line theraphy (Aulia, Riska. 2016).

Dexamethasone 5 mg/ml inj (3 x 2.5 mg iv), Combivent dosis 1 ml


inhalasi berfungsi sebagai terapi suportif yaitu mucoclearen dan anti
inflamasi pada saluran nafas pasien. Fluimucil 2 x 80 mg/PO sebagai terapi
simptomatik terhadap gejala yang di alami pasien seperti batuk pilek. Pada
hari ketiga pasien dir awat di berikan tambahan antibiotic berupa
azitromicin yang merupakan salah sau golongan makrolida. Terapi
kombinasi antara ceftriaxone dan azitromicin ini sudah di uji pada peneliti-
penelitian sebelumnya yang memiliki peningkatan efek terapi pada pasien
pneumonia. Pemberian kombinasi makrolida pada terapi betalactam
diperkirakan dapat meningkatkan luaran pasien karena tiga faktor, yaitu
spektrum kerja antibiotik yang lebih luas dengan adanya kombinasi dua
golongan antibiotik, cara kerja makrolida dan betalactam yang saling
melengkapi, dan adanya kemampuan imunomodulator dari makrolida.
Berdasarkan studi meta analisis dari 16 penelitian dengan metode cohort
dan total 42.942 pasien, terapi kombinasi makrolida dan beta-lactam
menurunkan mortalitas secara bermakna (P<0.001). Pada penggunaan

37
kombinasi beta-lactam dan makrolida, kombinasi yang paling umum ialah
ceftriaxone dan azitromisin seperti pada kasus (Prakoso, Dimas. 2018).
Azithromycin memiliki spektrum yang luas untuk melawan bakteri gram
positif dan negative, sehingga efektif melawan berbagai organisme patogen
khususnya pada infeksi saluran pernafasan yang disebabkan oleh
Haemophillus influenzae dan juga infeksi saluran kemih (Aulia, Riska.
2016).

Pada beberapa penelitian Jika dibandingkan antara terapi yang


menggunakan antibiotik kombinasi (dual terapi) dengan terapi antibiotik
tunggal (monoterapi), pasien yang mendapatkan dual terapi memiliki masa
terapi yang relative lebih singkat daripada pasien yang mendapatkan
monoterapi. Dual terapi menggunakan kombinasi antara antibiotik
golongan beta laktam dengan makrolida dalam penatalaksanaan awal untuk
pasien pneumonia rawat inap yang tidak memerlukan perawatan ICU,
dapat menurunkan mortalitas dan lama perawatan pasien. Terapi kombinasi
antara azithromycin dengan ceftriaxone ini sesuai dengan panduan
penatalaksanaan pasien pneumonia dari British Thoracic Society
(2009).Terapi yang dianjurkan menurut British Thoracic Society untuk
pasien pneumonia rawat inap adalah terapi antibiotik golongan beta laktam
yang dikombinasi dengan makrolida (Aulia, Riska. 2016).

38
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, pasien anak perempuan usia


16 bulan datang ke IGD RSUD klungkung dengan keluhan sesak
disertai batuk pilek sejak 4 hari yang lalu, Riwayat demam 3 hari yang
lalu dan didapatkan infiltrat pada pemeriksaan penunjang dengan kesan
pneumonia, foto rontgen torax di diagnosis dengan bronkopneumonia.
Pada pasien di berikan terapi berupa antibiotic ceftriakson untuk infeksi
yang terjadi dan terapi suportif berupa cairan, dexametason untuk
inflamasi, combivent sebagai mucoclearence dan fluimucil sebagai
terapi simptomatik .

39
DAFTAR PUSTAKA

Aulia, Riska, 2016. Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien


Pneumonia Di Rumah Sakit Pku Muhammadiyah Bantul. Program
Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011. Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta:
Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of
Pediatrics. 18th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2007.
Pusponegoro HD, Hadinegoro SRS, Firmanda D, Tridjaja B, Pudjadi AH,
Kosim MS, et. al. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. 1st ed.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2004. hal. 351 - 354.
Prakoso, Dimas. 2018. Gambaran dan Rasionalitas Penggunaan Antibiotik
pada Pasien Dewasa dengan Community Acquired Pneumonia di
RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Juni 2017-Mei 2018.
Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas
Sam Ratulangi Manado
Price S, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses – proses Penyakit.
Vol 2. 6th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006. Hal.
804 – 810.
Priyanti ZS, Lulu M, Bernida I, Subroto H, Sembiring H, Rai IBN, et al.
Pneumonia Komuniti: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2002.
Said, M. 2018. Pneumonia. In: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB,
editors. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi Pertama. Jakarta: Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; hlm.310-322 .
Sofia, Dian. 2021. Gambaran Karakteristik Pasien Pneumonia pada Anak
Balita yang Dirawat Inap di RSUD Al-Ihsan Kabupaten Bandung

40
pada Tahun 2018-2019. Fakultas Kedokteran, Universitas Islam
Bandung, Indonesia.

Tim Adaptasi Indonesia. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak Di Rumah


Sakit: Pedoman Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama Di
Kabupaten/Kota. Jakarta: World Health Organization. 2009. hal. 83
– 113.
World Health Organization. Pocket book of hospital care for children:
Guidelines for the management of common childhood illnesses. 2nd
ed. 2013.
World Health Organization. Revised WHO Classification and Treatment of
Childhood Pneumonia at Health Facilities. Evidence Summaries.
Geneva: World Health Organization; 2014.

41

Anda mungkin juga menyukai