Anda di halaman 1dari 35

PRESENTASI KASUS

BRONKOPNEUMONIA

Disusun oleh:

Siti Wulansari, dr.

Pembimbing:

dr. Nuning Indriyani, Sp.A

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CICALENGKA

KABUPATEN BANDUNG

2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan yang Maha Esa atas berkat rahmat-Nya penulis
dapat menyelesaikan makalah presentasi kasus mengenai “Bronkopneumonia”.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam Program Internsip
Dokter Indonesia di Rumah Sakit Umum Daerah Cicalengka, Kabupaten
Bandung.

Selama penyusunan makalah ini banyak pihak yang telah memberikan


bimbingan, arahan, bantuan, dan dukungan hingga penyusunan makalah dapat
diselesaikan. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada
pihakpihak berikut:

1. dr. Nuning Indriyani, Sp.A. selaku pembimbing presentasi kasus ini.


2. Seluruh dokter dan staff Rumah Sakit Umum Daerah Cicalengka, Kabupaten
Bandung.
3. Rekan-rekan sejawat program dokter internsip Indonesia di Rumah Sakit
Umum Daerah Cicalengka, Kabupaten Bandung.

Penulis menyadari dalam pembuatan makalah presentasi kasus ini masih


banyak terdapat kekurangan, oleh karena itu segala kritik dan saran yang
membangun guna penyempurnaan makalah presentasi kasus ini sangat
diharapkan.
Demikian, semoga makalah presentasi kasus ini dapat bermanfaat bagi
kita semua dan bisa membuka wawasan serta ilmu pengetahuan kita, terutama
dalam bidang Ilmu Pediatri.

Bandung, Juli 2021

Penulis
Siti Wulansari, dr.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii

DAFTAR ISI..........................................................................................................iii

DAFTAR GAMBAR...............................................................................................v

DAFTAR TABEL...................................................................................................vi

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

BAB II LAPORAN KASUS....................................................................................3

2.1 Identitas........................................................................................................3

2.2 Anamnesis....................................................................................................3

2.3 Pemeriksaan Fisik........................................................................................5

2.4 Pemeriksaan Penunjang...............................................................................5

2.5 Diagnosis Kerja............................................................................................6

2.6 Tatalaksana...................................................................................................6

2.7 Prognosis......................................................................................................6

2.8 Resume.........................................................................................................7

BAB III TINJAUAN PUSTAKA............................................................................8

3.1 Definisi.........................................................................................................8

3.2 Epidemiologi................................................................................................8

3.3 Etiologi dan Faktor Risiko...........................................................................9

3.4 Patogenesis dan Patofisologi......................................................................11

3.5 Diagnosis....................................................................................................13

3.5.1 Anamnesis........................................................................................13

3.5.2 Pemeriksaan Fisik............................................................................15


3.5.3 Pemeriksaan Penunjang...................................................................17

3.6 Klasifikasi..................................................................................................18

3.7 Tatalaksana.................................................................................................19

3.8 Pencegahan.................................................................................................23

3.9 Komplikasi.................................................................................................24

BAB IV PEMBAHASAN......................................................................................25

BAB V SIMPULAN..............................................................................................26

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................27
DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1. Patofisiologi & patogenesis bronkopneumonia................................13

Gambar 3.2. Konsolidasi, corakan bronkovaskular bertambah, air bronkogram. .18

Gambar 3.3. Patchy appearance, penebalan peribronkial......................................18

Gambar 3.4. Terapi antibiotik pada bronkopneumonia berat...............................20


DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Etiologi Bronkopneumonia berdasarkan Usia....................................10

Tabel 3.2. Anamnesis pada pasien bronkopneumonia.........................................13

Tabel 3.3. Pemeriksaan Fisik Yang Didapatkan Pada Kasus Pneumonia pada
Anak Berdasarkan Kelompok Usia.....................................................16

Tabel 3.4. Klasifikasi Derajat Berat Pneumonia pada Anak Usia 2 bulan-5 tahun
..........................................................................................................18

Tabel 3.5. ........Tabel Tatalaksana Pneumonia pada Anak Berdasarkan Derajatnya


...............................................................................................................19
BAB I
PENDAHULUAN

Pneumonia merupakan infeksi yang mengenai parenkim paru. Kebanyakan


kasus pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme, tetapi ada sejumlah penyebab
non infeksi yang kadang-kadang perlu dipertimbangkan. Penyebab non infeksi ini
meliputi aspirasi makanan dan atau asam lambung, benda asing, hidrokarbon, dan
hipersensitivitas serta pneumonitis akibat obat atau radiasi.1 Bronkopneumonia
disebut juga pneumonia lobularis dinyatakan dengan adanya daerah infeksi yang
berbecak dengan diameter sekitar 3 sampai 4 cm yang mengelilingi dan
melibatkan bronkus.2 Bronkopneumonia adalah radang paru-paru pada bagian
lobularis yang ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrat yang disebabkan
oleh agen infeksius seperti bakteri,virus, jamur dan benda asing, yang ditandai
dengan gejala demam tinggi, gelisah, dispnoe, napas cepat dan dangkal (terdengar
adanya ronki basah), muntah, diare, batuk kering dan produktif.3

Bronkopneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas


anak berusia di bawah 5 tahun (balita). Diperkirakan hampir seperlima kematian
anak diseluruh dunia, lebih kurang 2 juta anak balita meninggal setiap tahun
akibat pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Insiden
pneumonia di negara berkembang yaitu 30-45% per 1000 anak di bawah usia 5
tahun, 16-22% per 1000 anak pada usia 5-9 tahun, dan 7-16% per 1000 anak pada
yang lebih tua.4,5 Infeksi saluran napas bawah masih tetap merupakan masalah
utama dalam bidang kesehatan, baik di negara yang sedang berkembang hampir
30% pada anak-anak di bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang
tinggi.6,7 Berdasarkan survei demografi kesehatan Indonesia prevalensi pneumonia
balita di Indonesia meningkat dari 7,6% pada tahun 2002 menjadi 11,2% pada
tahun 2007. Diketahui Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 juga
menunjukkan angka prevalensi pneumonia pada balita tinggi yaitu 4,5 per 100
balita. Hal ini berarti, 4 5 dari 100 balita, menderita Pneumonia. Sementara
Berdasarkan laporan WHO tahun 2017 15% dari kematian anak dibawah 5 tahun
atau 5,5 juta disebabkan pnemonia dan berdasarkan sampel sistem registrasi
Balitbangkes tahun 2016 jumlah lebih dari 800.000 anak di Indonesia. 3,8 Penyebab
utama virus pneumoni pada anak adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV) yang
mencakup 15-40% kasus diikuti virus inflamasi A dan B, parainfluenza, human
metapneumovirus dan adenovirus.1
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas
– Nama : By. Ny. SA
– Tanggal lahir / Usia : 19-04-2021 / 3 bulan
– Alamat : Cikuya, Cicalengka
– Suku bangsa : Sunda
– Agama : Islam
– Tanggal masuk RS : 9 Juli 2021
– Tanggal pemeriksaan : 13 Juni 2021

2.2 Anamnesis
Keluhan utama : Sesak napas

Riwayat penyakit sekarang :

Penderita dikeluhkan sesak napas sejak 4 hari SMRS. Keluhan sesak


napas disetai adanya batuk serta suara mengorok namun tidak ada suara
mengi. Tidak ada kebiruan di sekitar mulut atau ujung jari tangan atau kaki.
Keluhan juga disertai demam pada 4 hari SMRS yang tidak terlalu tinggi,
siang dan malam sama. Keluhan sesak napas tidak disertai dengan muntah,
kejang, maupun penurunan kesadaran. BAB dan BAK tidak ada keluhan.

Penderita baru pertama kali sakit seperti ini. Riwayat keluhan


sebelumnya tidak ada. Riwayat kontak dengan penderita dewasa batuk pilek
ada, yaitu ibu pasien. Riwayat kontak dengan penderita dewasa batuk lama
atau berdarah tidak ada. Riwayat batuk pilek lama dan berulang tidak ada.
Terdapat kontak dengan perokok, yaitu ayah pasien.

Pasien lahir dari ibu P1A0 cukup bulan secara normal, langsung
menangis, BBL 2900 gr. Riwayat imunisasi dasar belum sesuai dengan
usianya. Riwayat ASI eksklusif (-). Pasien diberi ASI + sufor karena ASI ibu
sedikit.

Selama masa kehamilan ibu pasien rutin kontrol ke bidan sebulan


sekali untuk mendapatkan vitamin, penambah darah, dan kalsium. Riwayat
sakit seperti batuk, pilek, demam, dan ruam kemerahan saat hamil tidak ada.
Riwayat terpapar zat kimia, radiasi, maupun konsumsi jamu saat hamil tidak
ada.

Riwayat penyakit dahulu


Pasien sebelumnya tidak pernah mengalami keluhan serupa maupun penyakit
lain

Riwayat pengobatan
Keluhan pasien belum diobati sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat penyakit keluarga


Pasien mempunyai riwayat kontak dengan penderita dewasa batuk pilek ada,
yaitu ibu pasien.

Riwayat intake
Pasien diberikan ASI + sufor
Riwayat imunisasi
0 Bulan: Hep. B
1 Bulan: BCG + polio 0
2 Bulan: DPT 1 + polio 1
2.3 Pemeriksaan Fisik
Antropometri :

 Berat badan : 5,2 kg


 Panjang badan : 54 cm
 BB/U : 0 ≥ z ≥ -2
 TB/U : z ≤ -3
 BB/TB :2≥z≥0

Status Generalis:

 Keadaan umum: sakit sedang, kesadaran: compos mentis, gerak aktif


 Tanda vital:
– Nadi : 129 kali/menit
– Respirasi : 36 kali/menit (sebelumnya 50 kali/menit)
– Suhu : 36,5oC (sebelumnya 38,4oC)
– Saturasi : 99% (sebelumnya 95%)
 Kepala: PCH -/-, POC (-), konjunctiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
 Leher: KGB tidak teraba pembesaran, ret. SS (-)
 Thorax: bentuk dan gerak simetris, ret. ICS (-)
– Paru: VBS kanan=kiri, rhonki +/+, wheezing -/-, slem +/+
– Jantung: bunyi jantung S1 S2 normal, murmur (-)
 Abdomen: datar, lembut, nyeri tekan (-), BU + normal, retraksi epigastrik
minimal (+)
 Ekstremitas: akral hangat, CRT<2 detik

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium (2/6/2021)
 Hemoglobin 9.6g/dL
 Hematokrit 30%
 Leukosit 5900 sel/mm3
 Trombosit 453000 sel/mm3
 Hitung jenis
- Basofil 0%
- Eosinofil 3%
- Neutrofil batang 0%
- Neutrofil segmen 17%
- Limfosit 73%
- Monosit 7%
 Gula darah sewaktu 101mg/dL

Foto Thorax (02/06/2021)

 Hilus kanan tertutup perselubungan, hilus kiri tertutup bayangan jantung


 Tampak perselubungan inhomogen di suprahiler, perihiler kanan
 Tampak perbercakan di perihiler kiri dan parakardial kanan
 Kesan: Cor tidak membesar, Broncopneumonia bilateral

2.5 Diagnosis Kerja


Bronkopneumonia

2.6 Tatalaksana
Umum :
– Infus Kaen 1B 520ml/24 jam
– Pasang NGT

Khusus :
– Paracetamol 4x0,6ml / NGT
– Clanexy 3x150 mg iv
– Diet ASI 8x60ml / NGT
– Dexamethasone 2 x 0,6mg iv

2.7 Prognosis
– Quo ad vitam: ad bonam
– Quo ad functionam: dubia ad bonam
2.8 Resume
Penderita dikeluhkan sesak napas sejak 4 hari SMRS. Keluhan sesak
napas disetai adanya suara mengorok namun tidak ada suara mengi. Tidak
kebiruan di sekitar mulut atau ujung jari tangan atau kaki. Keluhan disertai
batuk sejak 4 hari SMRS. Keluhan juga disertai demam pada 4 hari SMRS
yang tidak terlalu tinggi, siang dan malam sama. Keluhan sesak napas tidak
disertai dengan muntah, kejang, maupun penurunan kesadaran. BAB dan BAK
tidak ada keluhan.

Penderita baru pertama kali sakit seperti ini. Riwayat keluhan


sebelumnya tidak ada. Riwayat kontak dengan penderita dewasa batuk pilek
ada, yaitu ibu pasien. Riwayat kontak dengan penderita dewasa batuk lama
atau berdarah tidak ada. Riwayat batuk pilek lama dan berulang tidak ada.
Terdapat kontak dengan perokok, yaitu ayah pasien.

Pasien lahir dari ibu P1A0 cukup bulan secara normal, langsung
menangis, BBL 2900 gr. Riwayat imunisasi sampai 2 bulan. Intake: ASI +
sufor. Selama masa kehamilan ibu pasien rutin kontrol ke bidan sebulan sekali
untuk mendapatkan vitamin, penambah darah, dan kalsium. Riwayat sakit
seperti batuk, pilek, demam, dan ruam kemerahan saat hamil tidak ada.
Riwayat terpapar zat kimia, radiasi, maupun konsumsi jamu saat hamil tidak
ada.

Pada pemeriksaan tanda vital dan status generalis didapatkan hasil


rhonki +/+. Pemeriksaan laboratorium darah dalam batas normal. Foto thorax
didapatkan kesan Broncopneumonia bilateral. Pasien didiagnosis
bronkopneumonia. Tata laksana pada pasien ini yang didapat yaitu pasang
NGT, Infus Kaen 1B 520ml/24 jam, Paracetamol 4x0,6ml / NGT, Clanexy
3x150 mg iv, Diet ASI 8x60ml / NGT, Dexamethasone 2 x 0,6mg iv.
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi

Pneumonia merupakan infeksi yang mengenai parenkim paru.


Kebanyakan kasus pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme, tetapi ada
sejumlah penyebab non infeksi yang kadang-kadang perlu dipertimbangkan.
Penyebab non infeksi ini meliputi aspirasi makanan dan atau asam lambung,
benda asing, hidrokarbon, dan hipersensitivitas serta pneumonitis akibat obat
atau radiasi.1 Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis dinyatakan
dengan adanya daerah infeksi yang berbecak dengan diameter sekitar 3 sampai
4 cm yang mengelilingi dan melibatkan bronkus.2 Bronkopneumonia adalah
radang paru-paru pada bagian lobularis yang ditandai dengan adanya bercak-
bercak infiltrat yang disebabkan oleh agen infeksius seperti bakteri,virus,
jamur dan benda asing, yang ditandai dengan gejala demam tinggi, gelisah,
dispnoe, napas cepat dan dangkal (terdengar adanya ronki basah), muntah,
diare, batuk kering dan produktif.3

3.2 Epidemiologi

Bronkopneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan


mortalitas anak berusia di bawah 5 tahun (balita). Diperkirakan hampir
seperlima kematian anak diseluruh dunia, lebih kurang 2 juta anak balita
meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika dan
Asia Tenggara. Insiden pneumonia di negara berkembang yaitu 30-45% per
1000 anak di bawah usia 5 tahun, 16-22% per 1000 anak pada usia 5-9 tahun,
dan 7-16% per 1000 anak pada yang lebih tua. 4,5 Infeksi saluran napas bawah
masih tetap merupakan masalah utama dalam bidang kesehatan, baik di negara
yang sedang berkembang hampir 30% pada anak-anak di bawah umur 5 tahun
dengan resiko kematian yang tinggi.6,7 Berdasarkan survei demografi
kesehatan Indonesia prevalensi pneumonia balita di Indonesia meningkat dari
7,6% pada tahun 2002 menjadi 11,2% pada tahun 2007. Diketahui Hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 juga menunjukkan angka prevalensi
pneumonia pada balita tinggi yaitu 45 dari 100 balita. Sementara Berdasarkan
laporan WHO tahun 2017 15% dari kematian anak dibawah 5 tahun atau 5,5
juta disebabkan pnemonia dan berdasarkan sampel sistem registrasi
Balitbangkes tahun 2016 jumlah lebih dari 800.000 anak di Indonesia.3,8
Penyebab utama virus pneumoni pada anak adalah Respiratory Syncytial
Virus (RSV) yang mencakup 15-40% kasus diikuti virus inflamasi A dan B,
parainfluenza, human metapneumovirus dan adenovirus.1

3.3 Etiologi dan Faktor Risiko


Di negara berkembang, infeksi virus sering disertai infeksi sekunder.
Bakteri penyebab utama di negara berkembang yaitu

- Streptococcus pneumoniae (30-50%)

- Haemopilus influenza

- Staphylococcus aureus

- Klebsiella pneumoniae

Sedangkan virus merupakan penyebab utama pneumonia pada anak


usia kurang dari 2 tahun. Faktor risiko terjadinya bronkopneumonia
diantaranya adalah malnutrisi, BBLR, tidak mendapat ASI eksklusif, tidak
mendapatkan imunisasi campak, adanya polusi udara dalam rumah, serta
kepadatan hunian.
Tabel 3.1. Etiologi Bronkopneumonia berdasarkan Usia9

Usia Penyebab Tersering Penyebab Jarang


0-20 hari Bakteri Bakteri
 Escheria coli  Organisme anaerob
 Group B streptococci  Group B streptococci
 Listeria  Hoemophilus influenzo
monocytogenes  Streptococcus urealyticum
 Upreaplasma urealyticum

Virus
 Cytomegalovirus (CMV)
 Herpes simplex virus (HSV)
3 minggu - 3 Bakteri Bakteri
bulan  Chamydia  Bordetella pertussis
trachomatis  H. Influenzoe tipe B dan non-
 S.pneumonia typeable
 Moraxella catarrhalis
Virus  Staphylococcus aeureus
 Adenovirus  U.urealyticum
 Influenza virus
 Parainfluenza Virus
virus1,2,3  Chytomegalovirus (CMV)
 Respiratory syncytial
virus (RSV)
4 bulan – 5 Bakteri Bakteri
tahun  Chlamydia  Influenzaa tipe B
trachomatis  M.catarrhalis
 Mycoplasma  Mycobacterium tuberculosis
pneumoniae  Neisseria meningitis
 S.pneumoniae  S.aureus

Virus Virus
 Adenovirus  Varicella-zaster virus
 Influenza virus
 Parainfluenza virus
 Rhinovirus
 Respiratory syncytial
virus (RSV)
6 tahun- 18 Bakteri Bakteri
tahun  C.pneumoniae  H.influenza
 M.pneumoniae  Legionella spesies
 S.pneumaniae  M.tubercolosis
 S.aureus
Virus
 Adenovirus
 Epstein-Bar virus
 Parainfluenza virus
 Rhinovirus
Refrensi : Garna, H., Nataprawira, H.2014. pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan
Anak. Universitas Padjajaran. Indonesia

3.4 Patogenesis dan Patofisologi


Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme di
paru paru dikarenakan oleh adanya mekanisme pertahanan paru yeng terdiri
dari :

a. Susunan anatomis rongga hidung


b. Jaringan limfoid di naso-orofaring
c. Bulu getar yang meliputi sebagian besar epitel traktur respiratorius dan liat
yang dikeluarkan oleh sel epitel tersebut
d. Refleks batuk
e. Refleks epiglotis yang mencegah terjadinya aspirasi sekret yang terinfeksi
f. Drainase sistem limfatik dan fungsi menyaring kelenjar limfe regional
g. Fagositosis, aksi enzimatik dan respon imun-humoral terutama dari Iga

Namun, bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme


penyebab akan terhisap ke paru-paru perifer melalui saluran pernapasan dan
menyebabkan reaksi jaringan berupa edema yang mempermudah proliferasi
dan penyebaran kuman. Dalam perjalanan penyakitnya, patofisiologi
bronkopneumonia terbagi menjadi beberapa stadium, yaitu:

1. Stadium Kongesti (4-12 jam pertama)


Terjadinya peradangan awal yang berlangsung pada daerah baru
yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan
permeabilitas kapiler yang terjadi karena pelepasan mediator inflamasi
(histamine dan prostaglandin) dari sel mast. Degranulasi sel masti akan
mengaktifkan jalur komplemen yang bekerjasama dengan mediator
inflamasi untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan
permeabilitas kapiler paru yang akan menyebabkan perpindahakn eksudat
plasma ke dalam ruang interstisial sehingga terjadi pembengkakan dan
edema antra kapiler dan alveolus. Hal ini akan menghambat pertukaran
oksigen dan karbondioksida yang akan mengakibatkan penurunan saturasi
oksigen hemoglobin.
2. Stadium Hepatisasi Merah (48 jam berikutnya)
Lobus dan lobulus yang terkena menjadi padat dan tidak
mengandung udara, warna menjadi merah dan pada perabaan seperti
hepar. Dalam alveolus didapatkan fibrin, leukosit, neutrophil, eksudat dan
banyak sekali eritrosit dan kuman. Stadium ini berlangsung singkat.
3. Stadium Hepatisasi Kelabu (3-8 hari)
Lobus masih tetap padat dan berubah warna menjadi pucat kelabu.
Hal ini terjadi karena sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru yang
terinfeksi. Permukaan pleura menjadi suram karena diliputi oleh fibrin.
Alveolus terisi fibrin dan leukosit, tempat terjadi fagositosis
pneumococcus dan kapiler tidak lagi menjadi kongestif
4. Stadium Resolusi (7-11 hari)
Terjadi ketika respon imun dan inflamasi mereda, sisa-sisa sel
fibrin dan eksudasi menjadi lisis. Eksudat berkurang. Dalam alveolus
makrofag bertambah dan leukosit mengalami nekrosis serta degenerasi
lemak. Fibrin diresorbsi dan menghilang. Proses kerusakan yang terjadi
dapat dibatasi dengan pemberian anitbiotik sedini mungkin agar sistem
bronkopulmonal yang tidak terkena dapat diselamatkan.
Gambar 3.1. Patofisiologi & patogenesis bronkopneumonia10

3.5 Diagnosis

3.5.1 Anamnesis
Tabel 3.2. Anamnesis pada pasien bronkopneumonia11

Diagnosis Gejala Yang Ditemukan


Pneumonia  Demam
 Batuk dengan napas cepat
 Ronkhi pada auskultasi
 Kepala terangguk-angguk
 Pernapasan cuping hidung
 Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
 Merintih (grunting)
 Sianosis
Bronkiolitis  Episode pertama wheezing pada anak umur <2
tahun
 Ekspirasi memanjang
 Hiperinflasi dinding dada
 Gejala pada pneumonia juga dapat dijumpai
 Tidak merespon dengan bronkodilator
Asma  Riwayat wheezing berulang
Gagal Jantung  Peningkatan tekanan vena jugularis
 Denyut apeks jantung bergeser ke kiri
 Gallop
 Murmur
 Ronkhi pada basal paru
 Hepatomegali
Penyakit Jantung  Sulit makan atau menyusu
Bawaan  Sianosis
 Murmur
 Hepatomegali
Efusi/Empiema  Bila masif terdapat tanda pendorongan organ
intratoraks
 Perkusi redup
Tuberkulosis  Riwayat kontak positif dengan pasien TB
dewasa
 Uji tuberculin positif (210 mm, pada keadaan
imunosupresi 25 mm
 Pertumbuhan buruk/kurus atau BB turun
 Demam 22 minggu tanpa sebab yang jelas
 Batuk kronis 23 minggu
 Pembengkakan kelenjar limfe leher, aksila,
inguinal yang spesifik.
 Pembengkakan tulang/sendi punggung,
panggul, lutut, phalang
Pertusis  Batuk paroksismal yang diikuti dengan whoop,
muntah, sianosis atau apneu
 Bisa terjadi tanpa adanya demam
 Imunisasi DPT tidak ada/tidak lengkap
 Klinis baik di antara episode batuk
Benda Asing  Riwayat tiba-tiba tersedak
 Stridor atau distress pernapasan tiba-tiba
Wheezing atau suara pernapasan menurun
yang
 bersifat fokal
Pneumotoraks  Terjadi mendadak
 Hipersonor pada perkusi di satu sisi dada
 Pergeseran mediastinum
Referensi :WHO. 2009. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit

3.5.2 Pemeriksaan Fisik


Pada inspeksi, anak biasanya berbaring ke arah yang sakit
dengan kaki posisi fleksi. Nyeri dapat menjalar ke leher, bahu dan
perut. Pada palpasi bisa didapatkan adanya gerakan dada yang
tertinggal saat inspirasi yang disebabkan karena terjadinya iritasi pleura
yang menyebabkan nyeri dada.

Pada perkusi, bisa didapatkan redup karena adanya cairan di


dalam paru-paru. Dan dapat terdengar adanya fine crackles (ronkhi
basah halus) yang khas pada anak yang lebih besar. Ronkhi mungkin
tidak ditemukan pada bayi. Lalu, ada tanda patognomonis yang dapat
membantu dokter mendiagnosis awal pneumonia yaitu takipneu.
Takipneu merupakan tanda patognomonis dari pneumonia pada anak,
dikarenakan takipneu terbukti memiliki sensitivitas dan spesifisitas
yang tinggi dalam mendiagnosis

Pneumonia, yakni :

 ≤60 x/menit pada anak usia <2 bulan


 ≤50 x/menit pada anak usia 2-11 bulan
 ≤40 x/menit pada anak usia 1-5 tahun

Tabel 3.3. Pemeriksaan Fisik Yang Didapatkan Pada Kasus Pneumonia


pada Anak Berdasarkan Kelompok Usia9

Kelompok Usia Pemeriksaan Fisik Yang Didapatkan


Takipneu  Grunting
 Pernapasan cuping hidung
 Neonatus
 Retraksi dindiing dada
 Sianosis
 Malas menyusui
Bayi yang lebih besar  Demam
 Batuk
 Sesak nafas
 Pernapasan cuping hidung
 Iritabel
 Batuk
Anak prasekolah  Demam
 Sesak nafas
 Pernapasan cuping hidung
 Batuk produktif/non produktif
Anak sekolah dan remaja  Gejala anak pra-sekolah dan dapat disertai
nyeri dada, nyeri kepala, dehidrasi, dan
 Letargi
Referensi : Gama, H., Nataprawira, H. 2014. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak. Universitas Padjajaran. Indonesia

3.5.3 Pemeriksaan Penunjang


1. Radiologis : Foto Toraks proyeksi postero-anterior (PA) atau
antero-posterior (AP) foto AP terutama dilakukan pada anak-anak
atau pasien yang kurang kooperatif. Gambaran foto toraks yang
didapatkan berupa :
 Konsolidasi lobar atau segmental disertai air bronchogram
 Corakan bronkovaskular bertambah
 Peribronchial cuffing
 Hiperaerasi
 Bila berat dapat terjadi patchy consolidation karena ateletaksis
2. Laboratorium
 Leukosit : >15.000 ul dengan dominasi neutrophil
 Diagnosis pasti pneumonia bakterial → isolasi mikroorganisme
dari paru- paru, cairan pleura, atau darah. Pengambilan
spesimen dari paru merupakan tindakan yang sangat invasif,
sehingga tidak rutin diindikasikan dan dilakukan.
 Kultur darah : dilakukan pada semua anak yang dicurigai
menderita pneumonia bakteri, pneumonia berat, pneumonia
dengan komplikasi. Hasil positif hanya didapatkan pada 10-30%
kasus
 Pemeriksaan C-reactive protein : perlu dipertimbangkan pada
pneumonia dengan komplikasi dan dapat bermanfaat untuk
melihat respons antibiotik. Namun pemeriksaan ini tidak dapat
membedakan pneumonia akibat virus atau bakteri. Rapid test :
untuk mendeteksi antigen bakteri, namun spesifisitas dan
sensitivitas rendah.
Gambar 3.2. Konsolidasi, corakan bronkovaskular
bertambah, air bronkogram

Gambar 3.3. Patchy appearance, penebalan peribronkial

3.6 Klasifikasi
Tabel 3.4. Klasifikasi Derajat Berat Pneumonia pada
Anak Usia 2 bulan-5 tahun9

Gambaran Klinis Diagnosis


 SpO2 <90% atau adanya sianosis sentral Pneumonia berat
 Distress saluran respiratori berat (tarikan
dinding dada bagian bawah, grunting)
 Tanda pneumonia disertai tanda bahaya (tidak
dapat minum, penurunan kesadaran, kejang)
Hanya terdapat pernafasan cepat : Pneumonia
 ≤60x/menit pada anak usia <2 bulan
 ≤50 x/menit pada anak usia 2-11 bulan
 ≤40x/menit pada anak usia 1-5 tahun
 Tanpa ada tanda-tanda pneumonia berat
Tidak ada tanda pneumonia Batuk atau "flu" ;
bukan pneumonia
Referensi : WHO. 2009. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit.

3.7 Tatalaksana
Berdasarkan Pedoman Kesehatan Anak WHO, tatalaksana pada
dibedakan berdasarkan klasifikasi derajatnya.

Tabel 3.5. Tabel Tatalaksana Pneumonia pada Anak


Berdasarkan Derajatnya11

Derajat Pneumonia Tatalaksana


Pneumonia Ringan  Rawat jalan
 Antibiotik :
o Kotrimoksazol (4 mg tmp/kgbb/kali) 2
kali sehari selama 3 hari
o Amoksisilin (25 mg/kgBB/kali) 2 kali
sehari selama 3 hari
 Edukasi ibu :
o Berikan makanan kepada anak
o Kontrol kembali anak ke dokter
setelah 2 hari, atau lebih cepat bila
keadaan anak memburuk atau tidak
bisa minum atau menyusu
 Ketika anak kembali dan pernapasannya
membaik, demam menurun, nafsu makan
lanjutkan pengobatan sampai 3 hari

Pneumonia Berat  Rawat inap


 Pemberian oksigen bila saturasi oksigen
<90%
 Patensi jalan napas
 Antibiotik
 Analgetik
Referensi : WHO. 2009. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit

Pada bronkopneumonia berat diberikan oksigen dan saturasi oksigen


dipantau menggunakan pulse oxymetri. Terapi oksigen dilakukan karena
saturasi oksigen pasien pada pemeriksaan fisik didapatkan <90%. Pada terapi
oksigen pada anak, gunakan nasal prongs. Hal ini dikarenakan nasal prongs
dapat menghantarkan oksigen lebih baikp pada anak-anak. Dan pemberian
oksigen dilakukan sampai tanda hipoksia (retraksi dinding dada dan takipneu)
tidak ditemukan lagi.

Indikasi terapi oksigen pada kasus bronkopneumonia adalah :

1. Bayi dan anak yang mengalami hipoksia mungkin tidak tampak sianosis
2. Agitasi yang menjadi indikasi hipoksia
3. Saturasi oksigen <90% dan pada penderita dengan distress napas

Gambar 3.4. Terapi antibiotik pada bronkopneumonia berat

Tangani demam dengan pemberian antipiretik yakni parasetamol


dengan dosis 10 15 mg/kgBB/kali. Jika suhu tubuh anak >38,0°C, dan anak
tidak memungkinkan untuk mengonsumsi obat secara oral, pertimbangkan
pemberian secara intravena.

Bila didapatkan adanya wheezing, berikan bronkodilator kerja cepat


dan pantau setelah 20 menit. Pilihan bronkodilator kerja cepat adalah dengan
salbutamol nebulisasi atau salbutamol dengan metered dose inhaler (MDI).
Tanda adanya perbaikan dengan pemberian bronkodilator kerja cepat dapat
dilihat dari berkurangnya distress naapas dan retraksi dinding dada juga
berkurang.
Pastikan pula terapi cairan pada anak, terutama pada anak yang tidak
mampu mempertahankan asupan cairan karena sesak dan kelelahan. Pantau
pula kadar elektrolit serum anak. Anjurkan pula pemberian ASI dan cairan
oral.

Jika anak tidak bisa minum, pasang pipa NGT dan berikan cairan
rumatan, namun jika asupan cairan oral mencukupi maka pipa NGT tidak
diperlukan karena akan. meningkatkan resiko terjadinya pneumonia aspirasi.
Berikan pula makanan pada anak segera setelah anak bisa menelan makanan,
berikan sesuai kemampuan anak dalam menerima makanan.

Anak harus diperiksa oleh perawat paling sedikit setiap 3 jam dan
diperiksa oleh dokter minimal 1 kali per hari. Jika tidak ada komplikasi maka
keadaan klinis anak akan tampak mengalami perbaikan dalam 2 hari. Pada
prinsipnya, semua pasien pediatrik dengan gangguan fisiologis yang
membutuhkan pemantauan ketat tanda vital dan sistem organ (setidaknya
setiap <4 jam sekali) dengan prediksi akan mengalami perbaikan merupakan
kriteria untuk dirawat di PICU.

Pelayanan PICU terbagi menjadi beberapa klasifikasi, yakni:

a Pelayanan PICU primer


PICU primer mampu memberikan pengelolaan resusitatif segera
untuk pasien gawat, tunjangan kardio-respirasi jangka pendek, dan
berperan penting dalam pemantauan dan pencegahan penyulit pada pasien
medik dan bedah yang berisiko. Dalam PICU dilakukan ventilasi mekanik
invasif atau non-invasif dan pemantauan kardiovaskuler sederhana selama
beberapa jam,
b Pelayanan PICU sekunder
PICU sekunder memberikan standar PICU yang tinggi dan
mendukung peran RS lain yang telah ditentukan, seperti penangan pada
pneumonia, diare, dengue, malaria, measles, sepsis bakterial yang berat,
kasus bedah, pengelolaan trauma, dan lain sebagainya. PICU mampu
memberikan tunjangan ventilasi mekanis lebih lama dan melakukan
bantuan hidup lain yang tidak terlalu kompleks.
c Pelayanan PICU tersier
Merupakan rujukan tertinggi untuk PICU. PICU tersier dapat
menyediakan perawatan pediatrik definitif yang bersifat kompleks,
progresif, berubah dengan cepat, baik bersidat medis, operatif, gangguan
traumatic, termasuk kelainan genetic/bawaan yang membutuhkan
pendekatan multidisipliner. Pelayanan yang diberikan antara lain adalah
bantuan hidup multi-sistem yang kompleks dengan jangka waktu tidak
terbatas, ventilasi mekanik, bantuan renal ekstrakorporal dan pemantauan
kardiovaskular Invasif dalam jangka panjang.
Prioritas pasien PICU:
a Pasien prioritas 1 : meliputi anak sakit kritis yang dengan terapi intensif
dapat sembuh sempurna dan dapat tumbuh dan berkembang sesuai potensi
genetiknya
b Pasien prioritas 2: meliputi anak sakit kritis dengan penyakit dasar yang
secara medis saat ini belum dapat ditanggulangi namun dengan terapi
intensif dapat menanggulangi keadaan kritis sepenuhnya, hingga anak
kembali pada keadaan sebelum dirawat di PICU
c Pasien prioritas 3 : meliputi anak sakit kritis dengan penyakit dasar yang
menyebabkan anak tidak mempunyai kontak dengan lingkungannya secara
permanen dan tidak mengalami tumbuh kembang
d Pasien prioritas 4 : meliputi anak sakit kritis dengan prognosis sangat
buruk sehingga dengan terapi intensif pun proses kematian tidak dapat
dicegah (bukan indikasi rawat PICU)

Sehingga, pasien ini membutuhkan ruang rawat Picu dikarenakan


harus dilakukan pemantauan baik oleh dokter dan perawat. Pasien ini juga
termasuk ke dalam pasien prioritas 1 untuk masuk ke ruang rawat PICU.

Indikasi pasien dapat dipulangkan :


1. Perbaikan secara klinis
2. Nafsu makan membaik
3. Bebas demam dalam 12-24 jam
4. Saturasi oksigen stabil >92% dalam udara ruangan selama 12-24 jam
(tanpa oksigen dari nasal prongs)
5. Orangtua sudah mengerti untuk melanjutkan pemberian antibiotik oral

3.8 Pencegahan
1. Vaksinasi dengan vaksin DTP, campak, pneumokokus dan H.influenzae
2. Vaksin influenza untuk bayi >6 bulan dan usia remaja
3. Untuk orangtua dan pengasuh bayi <6 bulan disarankan untuk diberikan
vaksin influenza dan pertusis

3.9 Komplikasi
Jika tidak terjadi perbaikan dalam 48 jam, atau kondisi anak semakin
memburuk, kemungkinan terjadi komplikasi atau adanya diagnosis lain. Jika
memungkinkan, lakukan foto toraks ulang untuk mencari komplikasi.

1. Pneumonia stafilokokus
Terjadi perburukan klinis secara cepat walaupun sudah diterapi, ditandai
dengan adanya pneumatookel atau pneumotoraks dengan efusi pleura pada
foto toraks. Ditemukan pula kokus gram positif yang banyak pada apusan
sputum. infeksi kulit yang disertai pus/pustula mendukung diagnosis.
2. Empiema
Dapat dicurigai jika terdapat demam persisten, adanya tanda Klinis danos
toraks yang mendukung, yakni :
a Adanya pendorongan organ intratoraks jika terjadi empiema masih
b Perkusi pekak
c Adanya cairan pada satu atau kedua sisi dada
d Demam menetap walaupun diberikan antibiotic dan cairan pleura
menjadi keruh/purulen
Pada empiema harus dilakukan drainase, dan tatalaksana selanjutnya
bergantung pada karakteristik cairan.
BAB IV
PEMBAHASAN

Diagnosis bronkopneumonia dapat ditegakkan dari anamnesis dan


pemeriksaan fisik. Pasien ini datang dengan keluhan sesak napas sejak 4 hari
sebelum masuk rumah sakit. Didukung oleh keterangan bahwa pasien juga
mengalami batuk dan demam.

Pada pemeriksaan fisik, ditemukan ronkhi +/+. Selain itu pada


pemeriksaan penunjang, ditemukan juga hasil rontgen thorax tampak
perselubungan inhomogen di suprahiler, perihiler kanan; perbercakan di perihiler
kiri dan parakardial kanan. Dengan kesan Broncopneumonia bilateral.

Pasien tidak memiliki riwayat ASI eksklusif yang merupakan faktor risiko
terjadinya bronkopneumonia. Menurut hasil penelitian yang berjudul Pemberian
ASI untuk Mengurangi Risiko Morbiditas dan Mortalitas Pneumonia pada Anak
di Bawah Dua Tahun pada tahun 2013 oleh Laura, dkk., Pemberian ASI yang
kurang optimal meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas pneumonia di
seluruh kelompok usia. Secara khusus, kematian pneumonia lebih tinggi pada bayi
yang tidak diberi ASI eksklusif dibandingkan dengan bayi yang diberi ASI
eksklusif usia 0-5 bulan.12 Faktor risiko lain yang ada pada kasus ini adalah ayah
yang merokok serta ibu pasien yang sebelumnya menderita batuk pilek. Paparan
asap rokok pada anak-anak membuat klirens mukosiliar menurun. Klirens
mukosiliar adalah mekanisme pertahanan pertama dari paru-paru yang berfungsi
sebagai pelindung lapisan lendir, lapisan cairan permukaan jalan pernapasan dan
silia pada permukaan sel silia.13

Ibu pasien mengatakan bahwa pasien baru mendapatkan vaksinasi untuk


usia 2 bulan. Seharusnya pasien sudah mendapatkan vaksinasi untuk usia 3 bulan
yaitu Hep. B 3, Polio 2, DTP 2, Hib 2. Pasien berusia 3 bulan sehingga belum
mendapatkan vaksinasi MMR untuk pencegahan campak (measles). Virus campak
dapat memengaruhi epitel saluran pernapasan bagian bawah dan menghancurkan
kekebalan lokal di dalam paru-paru, sehingga risiko terjadi pneumonia lebih
besar.14

Terapi antibiotik pada kasus ini adalah Clanexy 3x150 mg iv. Dosis co-
amoxiclav pada kasus 20-30mg/kgBB setiap 8 jam. Artinya pemberian clanexy
3x150 mg iv sudah tepat. Menurut WHO, pada penelitian, pemberian co-
amoxyclav pada kasus pneumonia lebih efektif dari pada pemberian amoxicilin.
Dengan pemberian co-amoxyclav angka kesembuhan 10x lebih banyak.15 Pasien
juga diberikan Infus Kaen 1B 520ml/24 jam. Berat badan pasien adalah 5,2 kg.
Menurut rumus Holliday segar, kebutuhan cairan anak di bawah 10 kg adalah 100
ml x BB anak/24 jam. Lalu pasien diberikan Paracetamol 4x0,6ml / NGT dengan
dosis 10-15mg/kgBB karena sebelumnya pasien mengalami demam 38,4C. Pasien
diberi Diet ASI 8x60ml / NGT. Kebutuhan kalori pasien adalah 572 kcal per hari,
jika dikonversikan sebanyak 820cc ASI/hari. Tetapi, pada kasus ini, nafsu makan
pasien berkurang sehingga pemberian ASI diberi secara bertahap. Ibu pasien juga
mengatakan bahwa ASI yang keluar hanya sedikit. Selain itu pasien juga
diberikan Dexamethasone 2 x 0,6mg iv. Penelitian menilai pemberian
dexamethasone sebagai terapi adjuvan untuk mempercepat waktu pemulihan anak
dengan pneumonia sehingga dapat mempersingkat lama rawat di rumah sakit.
Kortikosteroid merupakan inhibitor kuat dari kaskade inflamasi dan menekan
ekspresi sitokin proinflamasi, termasuk sitokin yang terlibat dalam respon
inflamasi pada pneumonia. Hal ini telah dievaluasi dalam banyak randomized
controlled trial (RCT) selama beberapa dekade.16

Secara garis besar, proses diagnosis, pemeriksaan penunjang, serta


penatalaksaan yang sudah dilakukan dalam kasus ini sudah sesuai dengan
pedoman dan protokol yang berlaku saat ini.
BAB V
SIMPULAN

Bronkopneumonia adalah radang paru-paru pada bagian lobularis yang


ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrat yang disebabkan oleh agen
infeksius seperti bakteri,virus, jamur dan benda asing, yang ditandai dengan gejala
demam tinggi, gelisah, dispnoe, napas cepat dan dangkal (terdengar adanya ronki
basah), muntah, diare, batuk kering dan produktif.

Faktor risiko terjadinya bronkopneumonia diantaranya adalah malnutrisi,


BBLR, tidak mendapat ASI eksklusif, tidak mendapatkan imunisasi campak,
adanya polusi udara dalam rumah, serta kepadatan hunian

Tatalaksana bronkopneumonia terdiri dari pemberian antibiotik &


antipiretik. Selain itu, penting juga untuk melakukan pemberian oksigen bila
saturasi oksigen <90%. Indikasi pasien dapat dipulangkan adalah Perbaikan secara
klinis, Nafsu makan membaik, Bebas demam dalam 12-24 jam, Saturasi oksigen
stabil >92% dalam udara ruangan selama 12-24 jam (tanpa oksigen dari nasal
prongs), Orangtua sudah mengerti untuk melanjutkan pemberian antibiotik oral.

Pencegahan bronkopneumonia yang bisa dilakukan terdiri dari Vaksinasi


dengan vaksin DPT, campak, pneumokokus dan H.influenzae, Vaksin influenza
untuk bayi >6 bulan dan usia remaja, dan Untuk orangtua dan pengasuh bayi <6
bulan disarankan untuk diberikan vaksin influenza dan pertusis.

Pasien berusia berusia 3 bulan. Perjalanan penyakit, manifestasi klinis, dan


pemeriksaan fisik pada pasien ini sudah mengarah pada diagnosis
bronkopneumonia. Pasien sudah mendapatkan tata laksana yang sesuai untuk
mengatasi penyakit yang dideritanya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Behrman, Kliegman, Arvin. Nelson: ilmu kesehatan anak. Edisi ke-15.


Volume 2. Jakarta: EGC; 2000.
2. Price, Sylvia A. Patofisiologi: konsep klinis proses perjalanan penyakit.
Jakarta: EGC; 2012.
3. Saputri ND. Evaluasi penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia pediatrik
di instalansi rawat inap RSUP Dr. Soeradji Tritonegoro Klaten Tahun 2011
[skripsi]. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta. 2013.
4. William F. Evidence-based pediatrics, pneumonia and bronchiolitis. Canada:
University of Toronto. 2000.
5. Anggraini O, Rahanoe M. Bayi usia 3 bulan dengan bronkopneumonia.
Journal of Lampung University. Medula Unila. 2014; 2(3):66-72.
6. Administrated by the Alberta Medical Association [internet]. Guideline for the
diagnosis and management of community acquired pneumonia: pediatrics.
Available from url: http:// www.centralhealth.nl.ca/assets/Pandem
icInfluenza/PNEUMONIAPEDIATRICS.pd\
7. Fadhila A. Penegakan diagnosis dan penatalaksanaan bronkopneumonia pada
pasien bayi laki-laki berusia 6 bulan. Medula Unila. 2013; 1(2):1-10.
8. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pneumonia balita. Jakarta:
Kemenkes RI; 2010.
9. Garna, H., Nataprawira, H. 2014. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak Universitas Padjadjaran. Indonesia
10. Fikri, dr. Fadhil, dkk. Decision Makin In Emergency Setting First Edition.
Meswork. 2020
11. WHO, 2009. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. PEMERIKSAAN
FISIK
12. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3847465/
13. Elwany S, Ibrahim AA, Mandour Z, Talaat I. Effect of passive smoking on the
ultrastructure of the nasal mucosa in children. Laryngoscope. 2012 May.
122(5):965-9.
14. Does Measles Vaccination Reduce the Risk of Acute Respiratory Infection
(ARI) and Diarrhea in Children: A Multi-Country Study?
Available from url:
https://www.researchgate.net/publication/312307285_Does_Measles_Vaccina
tion_Reduce_the_Risk_of_Acute_Respiratory_Infection_ARI_and_Diarrhea_i
n_Children_A_Multi-Country_Study
15. Revised WHO Classification and Treatment of Pneumonia in Children at
Health Facilities
Available from url: https://www.who.int/publications/i/item/9789241507813
16. Horita N, Otsuka T, Haranaga S, Namkoong H, Miki M, et al. Adjunctive
Systemic Corticosteroids for Hospitalized Community-Acquired Pneumonia:
Systematic Review and Meta-Analysis 2015 Update. Sci Rep. 2015; 5: 14061.

Anda mungkin juga menyukai