Anda di halaman 1dari 18

Polisitemia Vera

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Suku kata polisitemia (bahasa Yunani) mengandung arty poly (banyak), cyt (sel),

dan hernia (darah) adalah suatu penyakit kelaianan pada sistem mieloproliferatif

dimana terjadi klon abnormal pada hemopoitik sel induk (hematopoietic stem cells)

dengan peningkatan sensitivitas pada growth factors yang berbeda untuk terjadinya

maturasi yang berakibat terjadinya peningkatan banyak sel.

Istilah polisitemia memberikan beberapa arti yang berbeda. Secara langsung,

istilah ini harus digunakan dalam bidang terluas yang berarti sel darah merah yang

berlebihan per unit volume darah, tanpa memandang penyebab dasarnya. Beberapa

klinisi telah membatasi istilah polisitemia terhadap kondisi dimana terlihat peningkatan

massa sel darah merah dan menggunakan istilah polisitemia relative untuk semua

gangguan dimana kontraksi volume plasma merupakan penyebabnya.


Pada polisitemia, peningkatan volume sel darah merah disebabkan oleh

mieloproliferasi endogen. Sifat sel asal dari cacat dikemukakan pada banyak pasien

oleh overproduksi granulosit dan trombosit seperti sel darah merah. Permasalahan

yang ditimbulkan pada polisitemia berkaitan dengan massa eritrosit, basofil dan

trombosit yang betambah, serta perjalanan alamiyah penyakit menuju ke arah fibrosis

sumsum tulang.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Polisitemia vera, merupakan suatu penyakit atau kelainan pada sistem

mieloproliferatif yang melibatkan unsur-unsur hemopoetik dalam sumsum tulang.

Mulainya diam-diam tetapi progresif, kronik dan belum diketahui penyebabnya. Seperti

diketahui pada orang dewasa sehat, eritrosit, granulosit, dan trombosit yang beredar

dalam darah tepi diproduksi dalam sumsum tulang. Seorang dewasa yang berbobot 70

kg akan menghasilkan 1 x 1011 neutrofil dan 2 x 1011 eritrosit setiap harinya.

B. Epidemiologi
Polisitemia vera biasanya mengenai pasien berumur 40-60 tahun,

walaupun kadang-kadang ditemukan + 5% pada mereka yang berusia lebih muda.

Angka kejadian polisitemia vera ialah 7 per satu juta penduduk dalam setahun. Penyakit

ini dapat terjadi pada semua ras/bangsa, walaupun didapatkan angka kejadian yang

lebih tinggi di kalangan bangsa Yahudi. Pada pria didapatkan dua kali lebih banyak

dibandingkan pada wanita.

C. Etiologi
Sebagai suatu penyakit neoplastik yang berkembang lambat, policitemia terjadi

karena sebagian populasi eritrosit berasal dari satu klon induk darah yang abnormal.

Berbeda dengan keadaan normalnya, sel induk darah yang abnormal ini tidak

membutuhkan eritropoetin untuk proses pematangannya (eritropoetin serum , 4

mU/mL). Hal ini jelas membedakannya dari eritrositosis atau polisitemia sekunder

dimana eritropoetin tersebut meningkat secara fisiologis (wajar sebagai kompensasi

atas kebutuhan oksigen yang menigkat), biasanya pada keadaan dengan saturasi

oksigen arteiral rendah, atau eritropoetin tersebut meningkta secara non fisiologis (tidak

wajar) pada sindrom paraneoplastik manifestasi neoplasma lain yang mensekresi

eritropoetin. Di dalam sirkulais darah tepi pasien polisitemia vera didapati peninggian

nilai hematokrit yang menggambarkan terjadinya peningkatan konsentrasi eritrosit

terhadap plasma, dapat mencapai . 49% pada wanita (kadar Hb . 16 mg/dL) dan . 52%

pada pria (kadar Hb . 17 mg/dL), serta didapati pula peningkatan jumlah total eritrosit

(hitung eritrosit >6 juta/mL). Kelainan ini terjadi pada populasi klonal sel induk darah

(sterm cell) sehingga seringkali terjadi juga produksi leukosit dan trombosit yang

berlebihan.

D. Manifestasi Klinis

Permasalahan yang ditimbulkan berkaitan dengan massa eritrosit, basofil, dan

trombosit yang bertambah, serta perjalanan alamiah penyakit menuju ke arah fibrosis

sumsum tulang. Fibrosis sumsum tulang yang ditimbulkan bersifat poliklonal dan bukan

neoplastik jaringan ikat.


Tanda dan gejala yang predominan pada polisitemia vera adalah sebagai

akibat dari :

1. Hiperviskositas

Peningkatan jumlah total eritrosit akan meningkatkan viskositas darah yang kemudian

akan menyebabkan :

o penurunan kecepatan aliran darah (shear rate), lebihjauh lagi akan menimbulkan

eritrostasis sebagai akibat penggumpalan eritrosit.

o penurunan laju transpor oksigen

Kedua hal tersebut akan mengakibatkan terganggunya oksigenasi jaringan. Berbagai

gejala dapat timbul karena terganggunya oksigenasi organ sasaran (iskemia/infark)

seperti di otak, mata, telinga, jantung, paru, dan ekstremitas.

2. Penurunan shear rate

Penurunan shear rate akan menimbulkan gangguan fungsi hemostasis primer yaitu

agregasi trombosit pada endotel. Hal tersebut akan mengakibatkan timbulnya

perdarahan, walaupun jumlah trombosit >450 ribu/mL. Perdarahan terjadi pada 10-30%

kasus policitemia, manifestasinya dapat berupa epistaksis, ekimosis, dan perdarahan

gastrointerstinal.

3. Trombositosis (hitung trombosit >400.000/mL).

Trombositosis dapat menimbulkan trombosis. Pada policitemia tidak ada korelasi

trombositosis dengan trombosis. Trombosis vena atau tromboflebitis dengan emboli

terjadi pada 30-50% kasus policitemia.


4. Basofilia (hitung basofil >65/mL)

Lima puluh persen kasus policitemia datang dengan gatal (pruritus) di seluruh tubuh

terutama setelah mandi air panas, dan 10% kasus polisitemia vera datang dengan

urtikaria suatu keadaan yang disebabkan oleh meningkatnya kadar histamin dalam

darah sebagai akibat adanya basofilia. Terjadinya gastritis dan perdarahan lambung

terjadi karena peningktana kadar histamin.

5. Splenomegali

Splenomegali tercatat pada sekitar 75% pasien polisitemia vera. Splenomegali ini

terjadi sebagai akibat sekunder hiperaktivitas hemopoesis ekstramedular.

6. Hepatomegali

Hepatomegali dijumpai pada kira-kira 40% polisitemia vera. Sebagaimana halnya

splenomegali, hepatomegali juga merupakan akibat sekunder hiperaktivitas

hemopoesis ekstramedular.

7. Laju siklus sel yang tinggi

Sebagai konsekuensi logis hiperaktivitas hemopoesis dan splenomegali adalah

sekuestasi sel darah makin cepat dan banyak dengan demikian produksi asam urat

darah akan meningkat. Di sisi lain laju filtrasi gromerular menurun karena penurunan

shear rate. Artritis Gout dijumpai pada 5-10% kasus polisitemia vera.
8. Difisiensi vitamin B12 dan asam folat.

Laju silkus sel darah yang tinggi dapat mengakibatkan defisinesi asam folat dan vitamin

B12. Hal ini dijumpai pada + 30% kasus policitemia karena penggunaan/ metabolisme

untuk pembuatan sel darah, sedangkan kapasitas protein tidak tersaturasi pengikat

vitamin B12 (UB12 protein binding capacity) dijumpai meningkat pada lebih dari 75%

kasus. Seperti diketahui defisiensi kedua vitamin ini memegang peranan dalam

timbulnya kelainan kulit dan mukosa, neuropati, atrofi N.optikus, serta psikosis.

E. Perjalanan Klinis
a. Fase eritrositik atau fase polisitemia
Fase ini merupakan fase permulaan. Pada fase ini didapatkan peningkatan jumlah

eritrosit yang dapat berlangsung hingga 5-25 tahun. Pada fase ini dibutuhkan flebotomi

secara teratur untuk mengendalikan viskositas darah dalam batas normal.

b. Fase burn out (terbakar habis ) atau spent out (terpakai habis)
Dalam fase ini kebutuhan flebotomi menurun sangat jauh atau pasien memasuki

periode panjang yang tampaknya seperti remisi, kadang-kadang timbul anemia tetapi

trombositosis dan leukositosis biasanya menetap.

c. Fase mielofibrotik
Jika terjadi sitopenia dan splenomegali progresif, manifestasi klinis dan perjalanan klinis

menjadi serupa dengan mielofibrosis dan metaplasia mieloid. Kadang-kadang terjadi

metaplasia mieloid pada limpa, hati,. kelenjar getah bening dan ginjal.

d. Fase terminal
Pada kenyataannya kematian pasien dengan polisitemia vera diakibatkan oleh

komplikasi trombosis atau perdarahan. Kematian karena mielofibrosis terjadi pada

kurang dari 15%. Kelangsungan hidup rerata (median survival) pasien yang diobati

berkisar antara 8 dan 15 tahun, sedangkan pada pasien yang tidak mendapat
pengobatan hanya 18 bulan. Dibandingkan dengan pengobatan flebotoni saja, risko

terjadinya leukimia akut meningkat 5 kali jika pasien diberi pengobatan fosfor P32 dan

13 kali jika pasien mendapat obat sitostatik seperti klorambusil

F. Penegakkan Diagnosa

International Polycythemia Study Group kedua menetapkan 2 kriteria pedoman

dalam menegakkan diagnosis polisitemia vera dari 2 kategori diagnostik. Diagnosis

polisitemia dapat ditegakkan jika memenuhi kriteria :

a. Dari kategori : A1 + A2 + A3, atau

b. Dari kategori : A1 + A2 + 2 kategori B

Kategori A

1. Meningkatnya massa sel darah merah diukur dengan krom-radioaktif Cr51. Pada pria >

36 mL/kg, dan pada wanita > 32 mL/kg.

2. Saturasi oksigen arterial > 92%. Eritrositosis yang terjadi sekunder terhadap penyakit

atau keadaan lainnya juga disertai massa sel darah merah yang meningkat. Salah satu

pembeda yang digunakan adalah diperiksanya saturasi oksigen arterial. Pada

polisitemia vera tidak didapatkan penurunan. Kesulitan ditemui apabila pasien tersebut

berada dalam keadaan :

o Alkalosis respiratorik, dimana kurva disosiasi pO2 akan bergeser ke kiri, dan

o Hemaglobinopati, dimana afiitas oksigen meningkat sehingga kurva pO2 juga akan

bergeser ke kiri.

3. Splenomegali
Kategori B

1. Trombositosis : Trombosit > 400.00/mL

2. Leukositosis : Leukosit > 12.000/mL (tidak ada infeksi)

3. Leukosit 12alkali fosfatase (LAF) score meningkat dari 100 (tanpa adanya panasa atau

infeksi)

4. Kadar vitamin B12 > 900pg?mL dan atau UB12BC dalam serum > 2200 pg/mL

Pemeriksaan Laboratorium

1. Eritrosit

Untuk menegakkan diagnosis polisitemia vera, peninggian massa eritrosit haruslah

didemonstrasikan pada saat perjalanan penyakit ini. Pada hitung sel jumlah eritrosit

dijumpai > 6 juta/mL, dan sediaan apus eritrosit biasanya normokrom, normositik

kecuali jika terdapat defisiensi besi. Poikilositosis dan anisositosis menunjukkan adanya

transisi ke arah metaplasia meiloid di akhir perjalanan penyakit ini.

2. Granulosit

Granulosit jumlahnya meningkat terjadi pada 2/3 kasus policitemia, berkisar antara 12-

25 ribu/mL tetap dapat sampai 60 ribu?mL. Pada dua pertiga kasus ini juga terdapat

basofilia.

3. Trombosit

Jumlah trombosit biasanya berkisar antara 450-800 ribu/mL, bahkan dapat > 1 juta/mL.

Sering didapatkan dengan morfologi trombosit yang abnormal.


4. B12 Serum

B12 serum dapat meningkat, hal ini dijumpai pada 35 % kasus, tetapi dapat pula

menurun, yaitu pada + 30% kasus, dan kadar UB12BC meningkat pada > 75% kasus

policitemia.

5. Pemeriksaan sumsum tulang

Pemeriksaan ini tidak diperlukan untuk diagnostik, kecuali bila ada kecurigaan terhadap

penyakit mieloproliferatif lainnya seperti adanya sel blas dalam hitung jenis leukosit.

Sitologi sumsum tulang menunjukkan peningkatan selularitas normoblastik berupa

hiperplasi trilinier seri eritrosit, megakariosit, dan mielosit. Sedangkan dari gambaran

histopatologi sumsum tulang adanya bentuk morfologi megakariosit yang

patologis/abnormal dan sedikit fibrosis merupakan petanda patognomonik policitemia.

6. Pemeriksaan sitogenetik

Pada pasien policitemia yang belum mendapat pengobatan P53 atau kemoterapi

sitostatik dapat dijumpai kariotip 20q-,=8,+9,13q-,+1q. Variasi abnormalitas sitogenetik

dapat dijumpai selain bentuk tersebut di atas terutama jika pasien telah mendapatkan

pengobatan P53 atau kemoterapi sitostatik sebelumnya.

G. Komplikasi

Komplikasi dari spondilitis tuberkulosis yang paling serius adalah Potts

paraplegia yang apabila muncul pada stadium awal disebabkan tekanan ekstradural
oleh pus maupun sequester, atau invasi jaringan granulasi pada medula spinalis dan

bila muncul pada stadium lanjut disebabkan oleh terbentuknya fibrosis dari jaringan

granulasi atau perlekatan tulang (ankilosing) di atas kanalis spinalis.

Mielografi dan MRI sangatlah bermanfaat untuk membedakan penyebab

paraplegi ini. Paraplegi yang disebabkan oleh tekanan ekstradural oleh pus ataupun

sequester membutuhkan tindakan operatif dengan cara dekompresi medulla spinalis

dan saraf.

Komplikasi lain yang mungkin terjadi adalah ruptur dari abses paravertebra

torakal ke dalam pleura sehingga menyebabkan empiema tuberkulosis, sedangkan

pada vertebra lumbal maka nanah akan turun ke otot iliopsoas membentuk psoas

abses yang merupakan cold abscess.

H. Diagnosa Banding

1. Infeksi piogenik (contoh : karena staphylococcal/suppurative spondylitis).Adanya

sklerosis atau pembentukan tulang baru pada foto rontgenmenunjukkan adanya infeksi

piogenik. Selain itu keterlibatan dua ataulebih corpus vertebra yang berdekatan lebih

menunjukkan adanya infeksituberkulosa daripada infeksi bakterial lain.


2. Infeksi enterik (contoh typhoid, parathypoid).

Dapat dibedakan dari pemeriksaan laboratorium.

3. Tumor/penyakit keganasan (leukemia, Hodgkins disease, eosinophilicgranuloma,

aneurysma bone cyst dan Ewings sarcoma)

Metastase dapat menyebabkan destruksi dan kolapsnya corpus vertebratetapi

berbeda dengan spondilitis tuberkulosa karena ruang diskusnya tetapdipertahankan.


Secara radiologis kelainan karena infeksi mempunyaibentuk yang lebih difus sementara

untuk tumor tampak suatu lesi yangberbatas jelas.

4. Scheuermanns disease mudah dibedakan dari spondilitis tuberkulosa olehkarena

tidak adanya penipisan korpus vertebrae kecuali di bagian sudutsuperior dan inferior

bagian anterior dan tidak terbentuk abses paraspinal.

I. Penatalaksanaan

A. Prinsip pengobatan

1. Menurunkan viskositas darah sampai ke tingkat normal kasus (individual) dan

mengendalikan eritropoesis dengan flebotomi.

2. Menghindari pembedahan elektif pada fase eritrositik/ polisitemia yang belum

terkendali.

3. Menghindari pengobatan berlebihan (over treatment)

4. Menghindari obat yang mutagenik, teragenik dan berefek sterilisasi pada pasien usia

muda.

5. Mengontrol panmielosis dengan fosfor radioaktif dosis tertentu atau kemoterapi

sitostatik pada pasien di atas 40 tahun bila didapatkan :

- Trombositosis persisten di atas 800.00/mL, terutama jika disertai gejala trombosis

- Leukositosis progresif

- Splenomegali yang simtomatik atau menimbulkan sitopenia problematik

- Gejala sistemis yang tidak terkendali seperti pruritus yang sukar dikendalikan,

penurunan berat badan atau hiperurikosuria yang sulit diatasi.


B. Media Pengobatan

1. Flebotomi

Flebotomi dapat merupakan pengobatan yang adekuat bagi seorang apsien polisitemia

selama bertahun-tahun dan merupakan pengobatan yang dianjurkan.

Indikasi flebotomi :

- polisitemia vera fase polisitemia

- polisitemia sekunder fisiologis hanya dilakukan jika Ht > 55 % (target Ht < 55%)

- polisitemia sekunder nonfisiologis bergtantung pada derajat beratnya gejala yang

ditimbulkan akibat hiperviskositas dan penurunan shear rate, sebagai penatalaksanaan

terbatas gawat darurat sindrom paraneoplastik.

Pada policitemia tujuan prosedur flebotomi tersebut adalah mempertahankan

hematokrit < 42%

pada wanita, dan < 47% pada pria untuk mencegah timbulnya hiperviskositas dan

penurunan shear rate. Indikasi flebotomi terutama pada semua pasien pada permulaan

penyakit, dan pada pasien yang masih dalam usia subur.

2. Kemoterapi Sitostatika

Tujuan pengobatan kemoterapi sitostatik adalah sitoreduksi. Saat ini lebih dianjurkan

menggunakan Hidroksiurea salah satu sitostatik golongan obat antimetabolik,

sedangkan penggunaan golongan obat alkilasi sudah banyak ditinggalkan atau tidak

dianjurkan lagi karena afek leukemogenik, dan mielosupresi yang serius. Walaupun
demikian, FDA masih membenarkan klorambusil dan Busulfan digunakan pada

policitemia.

Indikasi penggunaan kemoterapi sitostatik :

- hanya untuk polisitemia rubra primer (policitemia)

- flebotomi sebagai pemeliharaan dibutuhkan . 2 kali sebulan

- trombositosis yang terbukti menimbulkan trombosis

- urtikaria berat yang tidak dapat diatasi dengan antihistamin

- splenomegali simtomatik/mengancam ruptur limpa

Cara pemberian kemoterapi sitostatik :

- Hidroksiurea (Hydrea 500 mg/tablet) dengan dosis 800-1200 mg/m2/hari atau

diberikan sehari 2 kali dengan dosis 10-15 mg/kgBB/kali, jika telah tercapai target dapat

dilanjutkan dengan pemberian intermiten untuk pemeliharaan.

- Klorambusil (Leukeran 2 mg/tablet) dengan dosis induksi 0,1-0,2 mg/kgBB/hari

selama 3-6 minggu, dan dosis pemeliharaan 0,4 mg/kgBB tiap 2-4 minggu. o Busulfan

(Myleran 2 mg/tablet) 0,06 mg/kgBB/hari atau 1,8mg/m2/hari, jika telah tercapai target

dapat dilanjutkan dengan pemberian intermiten untuk pemeliharaan.

Pasien dengan pengobatan cara ini harus diperiksa lebih sering (sekitar 2 sampai 3

minggu sekali). Kebanyakan klinisi menghentikan pemberian obat jika hematokrit :

- Pada pria < 47% dan memberikannya lagi jika > 52%

- Pada wanita < 42% dan memberikannya lagi jika > 49%
3. Fosfor Radiokatif (P32)

Pengobatan ini efektif, mudah dan relatif murah untuk pasien yang tidak kooperatif atau

dengan keadaan sosiekonomi yang tidak memungkinkan untuk berobat secara teratur.

P32 pertama kali diberikan dengan dosis sekitar 2-3mCi/m2 secar intravena, apabila

diberikan per oral maka dosis dinaikkan 25%. Selanjutnya jika setelah 3-4 minggu

pemberian P32 pertama :

- mendapatkan hasil, reevaluasi setelah 10-12 minggu. Jika diperlukan dapat diulang

akan tetapi hal ini jarang dibutuhkan,

- tidak mendapatkan hasil, selanjutnya dosis kedua dinaikkan 25% dari dosis pertama,

dan diberikan sekitar 10-12 minggu setelah dosis pertama.

Panmeiosis dapat dikontrol dengan cara ini pada sekutar 80% pasien untuk jangka

waktu 1-2 bulan dan mungkin berakhir 2 tahun atau lebih lama lagi. Sitopenia yang

serius setelah pengobatan ini jarang terjadi. Pasien diperiksa sekitar 2-3 bulan sekali

setelah keadaan stabil.

Trombositosis dan trombositemia yang mengancam (hiperagregasi) atau terbukti

menimbulkan trombosis masih dapat terjadi emskipun eritrositosis dan leukositosis

dapat terkendali.

4. Kemoterapi Biologi (Sitokin)

Tujuan pengobatan dengan produk biologi pada polisitemia vera terutama untuk

mengontrol trombositemia (hitung trombosit . 800.00/mm3), produk biologi yang


digunakan adalah Interferon (Intron-A 3&5 juta IU, Roveron-A 3 & 9 juta IU) digunakan

terutama pada keadaan trombositema yang tidak dapat dikendalikan. Dosis yang

dianjurkan 2 juta IU/m2/subkutan atau intramuskular 3 kali seminggu.

Kebanyakan klinisi mengkombinasikannya dengan sitostatik Siklofosfamid (Cytoxan 25

mg & 50 mg/tablet) dengan dosis 100mg/m2/hari, selama 10-14 ahri atau target telah

tercapai (hitung trombosit < 800.000/mm3) kemudian dapat dilanjutkan dengan dosis

pemeliharaan 100mg/m3 1-2 kali seminggu.

5. Pengobatan Suportif

a. Hiperurisemia diobati dengan alopurinol 100-600 mg/hari oral pada pasien dengan

penyakit yang aktif dengan memperhatikan fungsi ginjal.

b. Pruritus dan urtikaria dapat diberikan anti histamin, ika diperlukan dapat diberikan

Psoralen dengan penyinaran Ultraviolet range A (PUVA)

c. Gastritis/ulkus peptikum dapat diberikan penghambat reseptor H2

d. Antiagregasi trombosit Analgrelide turunan dari Quinazolin disebutkan juga dapat

menekan trombopoesis.

C. PEMBEDAHAN PADA PASIEN POLICITEMIA

Pembedahan Darurat

Sedapat-dapatnya ditunda atau dihindari. Dalam keadaan darurat, dilakukan flebotomi

agresif dengan pronsip isovolemik dengan mengganti plasma yang terbuang dengan

plasmafusin 4% atau cairan plasma ekspander lainnya, bukan cairan isotonis/ garam

fisiologis, suatu prosedur yang merupakan tindakan penyelamatan hidup (life-saving).


Splenektomi sangat berbahaya untuk dilakukan pada semua fase polisitemia, dan harus

dihindari karena dalam perjalanan penyakitnya jika terjadi fibrosis sumsum tulang organ

inilah yang diharapkan sebagai pengganti hemopoesisnya.

Pembedahan Berencana

Pembedahan berencana dapat dilakukan setelah pasien terkendali dengan baik. Lebih

dari 75% pasien dengan polisitemia vera tidak terkendali atau belum diobati akan

mengalami perdarahan atau komplikasi trombosis pada pembedahan. Kira-kira

sepertiga dari jumlah pasien tersebut akan meninggal. Angka komplikasi akan menurun

jauh jika eristrositosis sudah dikendalikan dengan adekuat sebelum pembedahan.

Makin lama telah terkendali, makin kecil kemungkinan terjadinya komplikasi pada

pembedahan. Darah yang didapat dari flebotomi dapat disimpan untuk transfusi

autologus pada saat pembedahan.

KESIMPULAN

Spondilitis tuberkulosis adalah peradangan granulomatosa yang bersifat kronis,

destruktif oleh mikrobakterium TB. TB tulang belakang selalu merupakan infeksi

sekunder dari focus ditempat lain dalam tubuh.

Gambaran klinik yang terjadi biasanya hanya berupa nyeri pinggang atau

punggung. Nyeri ini terjadi akibat reaksi inflamasi di vertebra dan sukar dibedakan

dengan nyeri oleh penyebab lain seperti kelainan degeneratif karena biasanya keadaan

umum penderita masih baik. Pada foto rontgen belum didapatkan kelainan. Bila proses

berlanjut, terjadi destruksi vertebra yang akan terlihat pada foto rontgen.
Diagnosis sedini mungkin, dan dengan pengobatan yang tepat, prognosisnya baik

meskipun tanpa tindakan operatif. Penyakit dapat kambuh jika pengobatan tidak teratur

atau tidak dilanjutkan setelah beberapa saat, yang dapat menyebabkan terjadinya

resistensi terhadap pengobatan.

DAFTAR PUSTAKA

Rasjad C. Spondilitis Tuberkulosa dalam Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Ed.II.

Makassar: Bintang Lamumpatue. 2003.

Harsono. Spondilitis Tuberkulosa dalam Kapita Selekta Neurologi. Ed. II. Yogyakarta:

Gajah Mada University Press. 2003.

Hidalgo, JA. Pott Disease. [Online]. 2005 Aug 25 [cited 2008 Feb 27];[17 screens].

Available from: URL:http:www.eMedicine.com/med/topic

Tamburaf, V. Spinal Tuberculosis. [Online]. 2006 Oct [cited 2008 Des 27];[4 screens].

Available from: URL:http://www.infeksi.com

Harisinghani, MG. Tuberculosis from Head to Toe. [Online]. 1999 Feb 19 [cited 2008

Des 27];[4 screens]. Available from: URL:http://www.nejm.com


Yanardag, H. Pott Disease. [Online]. 1999 Feb 19 [cited 2008 Des 27];[5 screens].

Available from: URL:http://www.ispub.com

Sinan, T. Spinal tuberculosis: CT and MRI features. [Online]. 1999 Feb 19 [cited 2008

Des 27];[5 screens]. Available from: URL:http://www.kfshrc.edu.sa

Danchaivijitr, N. Diagnostic Accuracy of MR Imaging in Tuberculous Spondylitis.

[Online]. 2007 Feb 19 [cited 2008 Des 27];[5 screens]. Available from:

URL:http://www.medassocthai.org/journal

Wim de Jong, Spondilitis TBC, Dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Jakarta; EGC.

Anda mungkin juga menyukai