Anda di halaman 1dari 45

Case Report

SINDROM NEFROTIK

Oleh:
dr. Elisa Rosani

Pembimbing
dr. Antoni Sp.PD

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA (PIDI)


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BANYUASIN
PERIODE NOVEMBER 2021 – NOVEMBER 2022
HALAMAN PENGESAHAN

Case Report
Judul

Sindrom Nefrotik

Oleh
dr. Elisa Rosani

Pembimbing
dr. Antoni Sp.PD

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Program
Internsip Dokter Indonesia (PIDI) di RSUD Banyuasin periode November 2021 –
November 2022
Palembang, Maret 2022
Pembimbing 1 Pembimbing 2

.
KATA PENGANTAR

Puji syukur Kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan
karunia-Nya Saya dapat menyelesaikan laporan kasus ini.
Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti Program
Internsip Dokter Indonesia (PIDI) di RSUD Banyuasin, Sumatera Selatan periode November
2021 – November 2022.
Pada kesempatan ini Kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. Antoni, Sp.PD dan dr. Rio Prasetyo Badriansyah, MARS. sebagai pembimbing yang
telah bersedia meluangkan waktu dan telah memberikan masukan-masukan, petunjuk serta
bantuan dalam penyusunan laporan kasus ini
2. Teman–teman yang telah memberikan bantuan baik material maupun spiritual kepada
Kami dalam menyusun laporan kasus ini.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam laporan kasus ini, maka Kami
sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak. Kami sangat berharap agar laporan
kasus ini dapat bermanfaat bagi semua.

Banyuasin, April 2022

Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN....................................................................................................................
i
KATA PENGANTAR............................................................................................................................
ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................................................
iii
BAB I PENDAHULUAN
BAB II STATUS PASIEN
2.1 Identifikasi ........................................................................................................
4
2.2 Anamnesis..........................................................................................................................................
5
2.3.Anamnesis..........................................................................................................................................
8
2.4 Pemeriksaan Penunjang......................................................................................................................
8
2.5 Diagnosa Kerja ..................................................................................................................................
8
2.6 Diagnosa Banding .............................................................................................................................
8
2.7 Tatalaksana ........................................................................................................................................
9
2.8 KIE ....................................................................................................................................................
10
2.9 Prognosis ...........................................................................................................................................
14
2.10 Follow Up.........................................................................................................................................

2.11 Foto Pasien.......................................................................................................................................

BAB III TINJAUAN PUSTAKA


3.1 Anatomi dan Fisiologi Ginjal ............................................................................................................
18
3.2 Definisi sindrom nefrotik ...................................................................................................................
18
3.3 Epidemiologi sindrom nefrotik...........................................................................................................
18
3.4 Etiologi sindrom nefrotik ...................................................................................................................
18
3.5 Patofisiologi........................................................................................................................................
19
3.6 Diagnosis sindrom nefrotik.................................................................................................................
3.7 Diagnosis banding sindom nefrotik....................................................................................................
3.8 Tatalaksana sindrom nefrotik..............................................................................................................
3.9 Komplikasi.........................................................................................................................................
3.10 Prognosis..........................................................................................................................................

BAB IV ANALISA KASUS ..................................................................................................................


BAB V KESIMPULAN..........................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................................
BAB I. PENDAHULUAN

Sindrom nefrotik merupakan suatu penyakit glomerular yang ditandai


dengan edema, proteinuria masif >3,5 gram/hari, hipoalbunemia <3,5 gram/hari,
hiperkolesterolemia dan lipidemia. Penyebab Sindrom Nefrotik sangat luas maka
anamnesis dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan urin termasuk pemeriksaan
sedimen perlu dengan cermat. Pemeriksaan kadar albumin dalam serum,
kolesterol dan trigliserid juga membantu penilaian terhadap sindrom nefrotik.

Pengobatan sindrom nefrotik adalah untuk mengurangi atau


menghilangkan proteinuria, memperbaiki hipoalbuminemia, mencegah dan
mengatasi penyakit penyerta seperti infeksi, trombosis dan kerusakan ginjal pada
gagal ginjal akut dan sebagainya. Jika tidak dilakukan terapi sedini mungkin maka
akan menyebabkan kerusakan glomeruli ginjal sehingga mempengaruhi
kemampuan ginjal menfiltrasi darah. Umumnya terapi yang diberikan adalah diet
rendah protein dan rendah garam, kortikosteroid, diuretik dan antibiotik. Dengan
pemberian kortikosteroid golongan glukokortikoid sebagian besar akan membaik.
Terapi antibiotik dapat mengurangi mortalitas akibat infeksi sedangkan diuretik
dapat membantu ginjal dalam mengatur pengeluaran garam dan air. Pada sindrom
nefrotik juga terdapat komplikasi, diantara dapat terjadi keseimbangan nitrogen
yang negatif yang diakibatkan oleh proteinuria masif, terjadi hiperkoagulasi,
hiperlipidemia dan lipidemia, terjadi gangguan metabolisme kalsium dan tulang
dan infeksi.

Berdasarkan hal tersebut, dokter umum harus mampu mengetahui kelainan


pada ginjal seperti sindroma nefrotik pada kasus ini. Kompetensi sindrom nefrotik
menurut standar kompetensi dokter Indonesia adalah 3A. Mulai dari mengenali
gejala klinis, penegakan diagnosa serta tatalaksana dan mengetahui komplikasi
dari penyakit ini harus diketahui secara betul.
BAB II. STATUS PASIEN

2.1. Identifikasi
Nama : Ny. Azaila

Usia : 28 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Banyuasin

Agama : Islam

Status : Kawin

Pekerjaan : IRT

Pendidikan : SMP

MRS : 28 Desember 2021

Nomor RM : 009656

2.2. Anamnesis
Anamnesis dilakukan langsung dengan pasien (Autoanamnesis) di ruang IGD RSUD
Banyuasin pada Hari Kamis 28 Desember 2021.

Keluhan Utama:
Sesak sejak 15 menit saat mengantri di Poli Penyakit Dalam

Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien Perempuan usia 28 tahun datang dengan keluhan sesak saat sedang mengantri di Poli
Penyakit Dalam 15 menit yang lalu sebelum dibawa ke IGD. Nyeri dada disangkal, nyeri
kepala atau pusing disangkal, demam disangkal. pasien terkadang mengeluh nyeri pinggang.
Pasien juga mengatakan memiliki Riwayat anemia berulang. Pasien berobat ke poli penyakit
dalam karena ada kecurigaan mengarah ke penyakit ginjal dari faskes pertama. Riwayat
kencing sedikit sekitar 300 cc, tidak disertai nyeri dan sensasi berpasir, berwarna kuning
keruh dan berbusa. Pasien mengaku minum tidak banyak, hanya sekitar 4-5 gelas air putih
sehari. Keluhan BAB tidak ada. Riwayat bengkak pada ekstremitas disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu:
- Hipertensi disangkal
- DM disangkal
- Riwayat sakit jantung disangkal
- Riwayat anemia

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga

Riwayat penyakit sistemik seperti hipertensi, diabetes mellitus, penyakit ginjal, jantung,
ataupun liver di keluarga pasien disangkal

Riwayat Pribadi, Sosial dan Ekonomi


Pasien adalah seorang ibu rumah tangga dan sehari- hari tidak berkerja.

2.3. Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan dilakukan di ruang IGD RSUD Banyuasin pada Hari Senin, 28 Desember
2022. Pemeriksaan yang didapatkan sebagai berikut.

Keadaan Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 108 x/menit, reguler
Pernafasan : 24 x/menit
Suhu : 36,8 ͦ C
VAS Score : 4
Keadaan Spesifik
Kepala

- Bentuk : Simetris, normocephalic

- Rambut : Hitam, lurus, dan tidak mudah dicabut

- Mata : Konjungtiva palpebra anemis (+/+), sklera ikterik (-/-),


pupil isokor (3mm/3mm), edema periorbital (-)

- Hidung : Perdarahan (-), sekret (-), napas cuping hidung (-)

- Telinga : Perdarahan (-), sekret (-)

- Mulut : Sianosis (-), edema (-), cheilitis (-)

- Tenggorokan : Faring hiperemis (-), tonsil T1-T1 tidak hiperemis, uvula


di tengah

- Leher : Tidak ditemukan pembesarakan KGB dan kelenjar tiroid,


JVP 5–2 cmH2O

Thorax

- Paru

Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis, retraksi dinding dada(-/-)

Palpasi : Stem fremitus normal dan simetris kanan dan kiri, nyeri
tekan (-/-)

Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru

Auskultasi : Vesikuler (+/+) normal, wheezing (-/-), rhonki (-/-)

- Jantung

Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : Iktus kordis tidak teraba, trill (-)


Perkusi : Batas jantung dalam batas normal

Auskultasi : Bunyi jantung I/II normal dan regular, murmur (-), gallop
(-)

Abdomen

- Inspeksi : Datar, massa (-), venektasi (-), skar (-)

- Palpasi : Soepel, defans muscular (-), nyeri tekan abdomen (-)

- Perkusi : Timpani, CVA +/+

- Auskultasi : BU (+) N, bruit (-)

Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik, pitting edema (-/-), tonus
otot baik di keempat ekstremitas,

Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan

2.4. Pemeriksaan Penunjang


2.4.1. Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada tanggal 28 Desember
2021 sebagai berikut.
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Haemoglobin 3.5 gr/dL** 14,0 – 18,0 gr/dL
Hematokrit 11.3%*** 37 – 47 %
Trombosit 148.000/mm3* 150.000 – 390.000 /mm3
Leukosit 4.600/mm3 4.400 – 10.800 /mm3
MCV 91.9 fL 82 – 92 fL
MCH 28.5 pg 27 – 30 pg
MCHC 31 gr/dL* 32 – 37 gr/dL
Hitung Jenis

- Neutofil Segment 45%* 50 – 70 %


- Limfosit 36% 20 – 40 %

- Monosit 11%* 2 – 10 %

- Eosinofil 7%* 1–3%

- Basofil 2%* 0–1%

Kimia Darah
- Glukosa Darah
92 mg/dL 100-199
Sewaktu
- Ureum 64 mg/dL* 18 – 55 mg/dL
Elektrolit
- Natrium 154 mmol/L* 135 – 148 mmol/L
- Kalium 3,6 mmol/L 3,5 – 5,3 mmol/L
Kimia Darah
Kolesterol 319 mg/dL < 201
Albumin 1.8 mg/dL 3.3-5.5
Golongan Darah AB Rhesus +

Pemeriksaan Urinalisa
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Makroskopis
Darah Negatif Negatif
Warna Kuning Kuning
Penjernihan Jernih Jernih
Berat Jenis 1.025 1.015-10.25
PH 5.5 5.5-6
Protein +++ Negatif

Glukosa + Negatif

Keton Negatif Negatif

Urobilinogen Negatif Negatif


Bilirubin Negatif Negatif

Nitrit + Negatif
Leukosit Negatif Negatif
Sedimen
Leukosit 3-4 1-2
Eritrosit 5-7 0-1
Sel Epitel Positif Positif
Silinder Negatif Negatif
Kristal Negatif Negatif

2.4.2. Radiologi
Kesan Rontgen Thorax PA yang dilakukan pada tanggal 28 Desember 2021,
yaitu:

- Tidak tampak TB paru aktif


- Sinus kostofrenikus lancip
- Tidak tampak kardiomegali
- Kesan corakan bronkovaskular baik
Kesan: Dalam batas normal
2.5. Diagnosis Kerja
- Anemia gravis
- Susp. Lupus Nefritis

2.6. Diagnosis Banding


- Infeksi Saluran Kemih
- Sindroma nefrotik

2.7. Tatalaksana
Advice dr. Antoni Sp.PD
- IVFD RL Transfusi set
- Tranfusi PRC 6 Kantong
- Inj pantoprazole 2x1 (IV)
- Sukralfat syr 4x2 C (PO)
- Asam folat 3x1 tab (PO)
- Metilprednison 2x8 mg (PO)
- Inj Furosemide 2x1 Amp
- Cek urine berkala

Advice dr. antoni. Sp.PD


Lapor hasil laboratorium .
- Metilprednisolon 3x16 (PO)
- Captopril 2x6,25mg
- Albumin 2x1
- Atorvastatin 1x20mg

2.8. KIE Kepada Pasien dan Keluarga


i. Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien mengenai diagnosis,
perjalanan penyakit, komplikasi, prognosis dan rencana tatalakasana.
ii. Mengatur pola makan, perlunya mengkonsumsi protein yang cukup
tidak berlebih ataupun kurang. Makanan yang mengandung tinggi
protein seperti telur, gandum, susu, dan ayam.
iii. Mengurangi konsumsi garam, lemak serta kolesterol untuk
mencegah terjadinya komplikasi dan mengurangi edema. Makanan
rendah lemak seperti kacang-kacangan, daging ayam, ikan, tempe
dan tahu.

2.9. Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : bonam

2.10. Follow up
Keluhan, Hasil Pemeriksaan, Instruksi termasuk Pasca
Tanggal/Jam
dan Analisa (S, O, dan A) Bedah (P)

Jumat S/ P/

29 Desember Pasien mengeluhkan masih - IVFD RL Asnet


2021 sesak dan lemas (Transfusi set)
- Tranfusi PRC 6 Kantong
O/
- Inj pantoprazole 2x1 (IV)
KU: Tampak sakit sedang - Sukralfat syr 4x2 C (PO)

Kesadaran: CM - Asam folat 3x1 tab (PO)


- Inj Furosemide 2x1 Amp
TD: 150/90 mmHg
- Metilprednisolon 3x16
Nadi: 90 x/menit (PO)
- Captopril 2x6,25mg
RR: 20 x/menit
- Labumin 2x1
T: 36,8 oC
- Atorvastatin 1x20mg
A/

Sindrom nefrotik
Anemia gravis

ISK

Sabtu S/ - IVFD RL Asnet


(Transfusi set)
30/12/2021 Sesak napas sudah berkurang,
- Tranfusi PRC 6 Kantong
lemas sedikit
- Inj pantoprazole 2x1 (IV)
O/ - Sukralfat syr 4x2 C (PO)

KU: Tampak sakit sedang - Asam folat 3x1 tab (PO)


- Inj Furosemide 2x1 Amp
Kesadaran: CM
- Metilprednisolon 3x16
TD: 170/100 mmHg (PO)
- Captopril 2x6,25mg
Nadi: 78 x/menit
- Labumin 2x1
RR: 20 x/menit
- Atorvastatin 1x20mg
T: 36,7 oC - Clonidin 3x0,15mg

A/

Sindrom nefrotik

Anemia gravis

ISK

Minggu S/ P/

31/12/2021 Sesak napas sudah berkurang, - IVFD Nacl Asnet


lemas sedikit, kaki bengkak (Transfusi set)
- Tranfusi PRC 6 Kantong
O/
- Inj pantoprazole 2x1 (IV)
KU: Tampak sakit sedang - Inj.Cefoferazone

Kesadaran: CM Sulbactam 2x1 (IV)


TD: 160/100 mmHg - Inj. Ketorolac 2x1 (IV)
- Sukralfat syr 4x2 C (PO)
Nadi: 80 x/menit
- Asam folat 3x1 tab (PO)
RR: 20 x/menit - Inj Furosemide 2x2 Amp

T: 36,7 oC - Metilprednisolon 3x16


(PO)
Edema pada ekstremitas
- Captopril 2x6,25mg
bawah
- Labumin 2x1
- Atorvastatin 1x20mg
- Clonidin 3x0,15mg
A/

Sindrom nefrotik

Anemia gravis

ISK

Senin S/ P/

1/1/2022 Sesak napas sudah berkurang, - IVFD Nacl Asnet


lemas sedikit, kaki bengkak (Transfusi set)
- Tranfusi PRC 6 Kantong
O/
- Inj pantoprazole 2x1 (IV)
KU: Tampak sakit sedang - Inj.Cefoferazone

Kesadaran: CM Sulbactam 2x1 (IV)


- Inj. Ketorolac 2x1 (IV)
TD: 160/100 mmHg
- Sukralfat syr 4x2 C (PO)
Nadi: 80 x/menit - Asam folat 3x1 tab (PO)
- Inj Furosemide 2x2 Amp
RR: 20 x/menit
- Metilprednisolon 3x16
T: 36,7 oC
(PO)
Edema pada ekstremitas - Captopril 2x6,25mg
bawah - Labumin 2x1
A/ - Atorvastatin 1x20mg
- Clonidin 3x0,15mg
Sindrom nefrotik

Anemia gravis

ISK

Selasa Sesak napas sudah berkurang, - P/ IVFD Nacl Asnet


lemas sedikit, kaki bengkak (Transfusi set)
2/1/2022
- Tranfusi PRC 6 Kantong
O/
- Inj pantoprazole 2x1 (IV)
KU: Tampak sakit sedang - Inj.Cefoferazone

Kesadaran: CM Sulbactam 2x1 (IV)


- Inj. Ketorolac 2x1 (IV)
TD: 160/100 mmHg
- Sukralfat syr 4x2 C (PO)
Nadi: 80 x/menit - Asam folat 3x1 tab (PO)
- Inj Furosemide 2x2 Amp
RR: 20 x/menit
- Metilprednisolon 3x16
T: 36,7 C
o
(PO)
Edema pada ekstremitas - Captopril 2x6,25mg
bawah - Labumin 2x1
- Atorvastatin 1x20mg
A/
- Clonidin 3x0,15mg
Sindrom nefrotik

Anemia gravis

ISK

Terapi Pulang
1. Sukralfat syr 4x2 C (PO)
2. Asam folat 3x1 tab (PO)
3. Metilprednisolon 3x8 (PO)
4. Clonidin 3x0,15mg

2.11 Foto Klinis Pasien


BAB III. TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anatomi dan Fisiologi Ginjal 1,2,3


Struktur Makroskopik Ginjal
Ren atau ginjal terletak retroperitoneal, yaitu di antara peritoneum
parietale dan fascia transversa abdominis, pada sebelah kanan dan kiri columna
vertebralis. Ren sinistra terletak setinggi costa 11 atau lumbal 2-3, sedangkan rend
extra terletak setinggi costa XII atau vertebralis lumbal 3-4. Jarak antara
extremitas superior rend extra dan sinistra adalah 7 cm, sedangkan jarak antara
extremitas inferior rend extra dan sinistra adalah 11 cm dan jarak dari extremitas
inferior ke crista iliaca adalah 3-5 cm.

Gambar 3.1 Anatomi Ginjal

Ren berbentuk seperti kacang dan memiliki

 Dua extremitas, yaitu extremitas superior dan extremitas inferior. Kedua


extremitas superior ditempati leh glandula suprarenalis, yang dipisahkan
dari ren oleh lemak perirenalis.
 Dua margo yaitu margo medialis yang berbentuk konkaf dan margo
lateralis yang berbentuk konveks. Pada margo medialis terdapat suatu
pintu yang di sebut hilus renalis dan merupakan tempat masuknya
pembuluh-pembuluh darah, lymphe, saraf dan ureter. Umumnya susunan
pembuluh pada hilus renalis dari ventral ke dorsal. Hilus renalis membuka
dalam suatu ruangan yang disebut sinus renalis. Di dalam sinus renalis
dapat dijumpai pembuluh-pembuluh darah, syaraf, dan pelvis renis
 Dua facies anterior yang berbentuk cembung dan facies posterior yang
berbentuk agak datar.
Ren juga di bungkus oleh :
1. Capsula fibrosa
Capsula fibrosa melekat pada rend an mudah di kupas. Capsula fibrosa hanya
menyelubungi ginjal dan tidak membungkus glandula suprarenalis1
2. Capsula adipose
Capsula adipose mengandung banyak lemak dan membungkus ginjal dan glandula
suprarenalis. Capsula adiposa dibagian depan relative lebih tipis dibandingkan
pada bagian belakang.
Ginjal dipertahankan pada tempatnya oleh fascia adiposa .Pada keadaan tertentu
capsula adipose sangat tipis sehingga jaringan ikat yang menghubungkan capsula
fibrosa dan capsula renalis kendor sehingga ginjal turun, yang di sebut
nephroptosis biasanya terjadi pada ibu yang sering melahirkan.
3. Fascia renalis
Fascia renalis terletak di luar capsula fibrosa dan terdiri dari 2 lembar yaitu fascia
prerenalis di bagian depan ginjal dan fascia retrorenalis di bagian belakang ginjal.
Kedua lembar fascia renalis ke caudal tetap terpisah, ke cranial bersatu, sehingga
kantong ginjal terbuka ke bawah oleh karena itu sering terjadi ascending infection.
Bagian-bagian ginjal

─ Korteks, yaitu bagian ginjal di mana di dalamnya terdapat/terdiri dari


korpus renalis/Malpighi (glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus
kontortus proksimal dan tubulus kontortus distalis.
─ Medula, yang terdiri dari 9-14 pyiramid. Di dalamnya terdiri dari
─ tubulus rektus, lengkung Henle dan tubukus pengumpul (ductus
colligent).
─ Columna renalis, yaitu bagian korteks di antara pyramid ginjal
─ Processus renalis, yaitu bagian pyramid/medula yang menonjol ke arah
korteks
─ Hilus renalis
─ Papilla renalis,
─ Calix minor, yaitu percabangan dari calix major.
─ Calix major, yaitu percabangan dari pelvis renalis.
─ Pelvis renalis, disebut juga piala ginjal, yaitu bagian yang
menghubungkan antara calix major dan ureter.
─ Ureter, yaitu saluran yang membawa urine menuju vesica urinaria.
Gambar 3.2 bagian-bagian ginjal

Perjalanan pendarahan (vaskularisasi) ginjal

1. Arteri renalis
Arteri renalis dipercabangkan dari aorta abdominalis setinggi vertebra
lumbal 1-2. A. renalis kanan lebih panjang dari A. renalis kiri karena harus
menyilang V. cava inferior di belakangnya. A. renalis masuk ke dalam
ginjal melalui hilus renalis dan mempercabangkannya 2(dua) cabang
besar. Cabangnya yang pertama berjalan ke depan ginjal dan
memperdarahi ginjal bagian depan. Sedangkan cabang yang kedua
berjalan ke belakang ginjal dan mendarahi ginjal belakang. Cabang yang
menuju ke bagian depan ginjal lebih panjang dari pada cabang yang
menuju ke bagian belakang ginjal. Kedua cabang a. renalis bagian depan
dan belakang akan bertemu di lateral pada garis tengah ginjal atau disebut
dengan garis Broedel. Pembedahan ginjal dilakukan pada garis broedel
karena avaskular. A.Renalis berjalan di antara lobus ginjal dan bercabang
lagi menjadi a. interlobaris

2. A. interlobaris
A. Interlobaris pada perbatasan cortex dan medulla yang akan bercabang
menjadi arteri arcuata yang mengelilingi cortex dan medulla, sehingga
disebut a. arciformis.

3. Arteri arcuata (a. arciformis)


Arteri arcuata mempercabangkan A. interlobularis dan berjalan sampai
tepi ginjal (cortex), kemudian mempercabangkan :
 Vassa afferens : glomerulus
 Dalam glomerulus membentuk anyaman/pembuluh kapiler, sebagai
vasa efferens anyaman rambut = tubuli contortiSedangkan pembuluh
balik pada ren mengikuti nadinya mulai permukaan ginjal sebagai
kapiler dan kemudian berkumpul ke dalam v. interlobaris = Vv
stellatae (verheyeni). Dari interlobularis V. interlobaris V. renalis V.
cava inferior
FISIOLOGI GINJAL
Ginjal, bekerja sama sengan memasukkan hormonal dan saraf yang
mengontrol fungisnya, adalah organ yang terutama berperan dalam
mempertahankan stabilitas volume, komposisi elektrolit, dan osmolaritas
(konsentrasi zat terlarut) CES. Dengan menyesuaikan jumlah air dan berbagai
konstituen plasma yang dipertahankan keseimbangan air dan elektrolit dalam
kisaran yang sangat sempit yang memungkinkan kehidupan, meskipun pemasukan
dan pengeluaran konstituen-konstituen ini melalui saluran lain sangat bervariasi.
Ginjal tidak hanya melakukan penyesuaian terhadap beragam asupan air (H2O),
garam, dan elektrolit lain tetapi juga menyesuaikan konstituen-konstituen CES ini
melalui urin untuk mengkompensasi kemungkinan pengeluaran abnormal melalui
keringat berlebihan, muntah, diare, atau pendarahan. Karena ginjal melakukan
tugasnya mempertahankan homeostasis maka komposisi urin dapat sangat
bervariasi.
Ketika CES mengalami kelebihan air atau elektrolit tertentu misalnya
garam (NaCl) maka ginjal dapat mengeluarkan kelebihan tersebut melalui urin.
Jika terjadi deficit maka ginjal tidak dapat menambah konstituen yang kurang
tersebut tetapi dapat membatasi pengeluarannya sehingga terjadi penghematan
konstituen tersebut sampai yang bersangkutan dapat memasukkan bahan yang
kurang tersebut ke dalam tubuhnya. Karena itu, ginjal lebih efisien melakukan
kompensasi terhadap kelebihan daripada kekurangan. Pada kenyataannya, pada
sebagian hal ginjal tidak dapat secara sempurna menghentikan terbuangnya suatu
bahan yang bermanfaat melalui urin, meskipun tubuh mungkin kekurangan bahan
tersebut.
Selain peran regulatorik penting ginjal dalam mempertahankan
keseimbangan cairan dan elektrolit, ginjal juga merupakan rute utama untuk
mengeluarkan bahan-bahan sisa metabolic yang berpotensi toksik dan senyawa
asing dari tubuh. Bahan sisa ini tidak dapat dikeluarkan sebagai zat padat, bahan-
bahan tersebut harus di keluarkan dalam bentuk larutan sehingga ginjal wajib
menghasilkan paling sedikit 500 ml urin berisi bahan sisa per harinya. Karena
H2O yang di keluarkan sebagai urin berasal dari plasma maka orang yang tidak
mendapat sama sekali H2O akan kencing sampai mati karena volume plasma
turun ke tingkat fatal karena H2O terus menerus keluar untuk menyertai bahan-
bahan sisa.
Terdapat tiga proses dasar yang berperan dalam pembentukan urin yaitu
filtrasi oleh glomerulus, reabsopsi dan sekresi oleh tubulus. Filtrasi glomerulus,
filtrasi nondiskriminatif plasma bebas protein dari glomerulus ke dalam kapsula
bowman. Reabsorbsi tubulus yaitu perpindahan selektif zat-zat yang di filtrasi dari
lumen tubulus kedalam kapiler peritubulus. Sekresi tubulus yaitu perpindahan
selektif zat-zat yang tidak di filtrasi dari kapiler peritubulus kedalam lumen
tubulus.

 Proses filtrasi
Pada saat darah mengalir melalui glomerulus, terjadi filtrasi plasma yang
bebas protein menembus kapiler glomerulus kedalam kapsula bowman. Proses ini
dikenal dengan proses filtrasi glomerulus, yang merupakan langkah pertama
dalam pembentukan urin. Cairan yang difiltrasi dari glomerulus kedalam kapsula
bowman harus melewati tiga lapisan yang membentuk membran glomerulus. Tiga
lapisan tersebut adalah dinding kapiler glomerulus, lapisan gelatinosa aseluler
yang dikenal sebagai membran basal dan lapisan dalam kapsul bowman. Secara
kolektif, lapisan ini berfungsi saringan molekul halus yang menahan sel darah
merah dan protein plasma, tetapi melewatkan H 2O dan zat terlarut lain yang
ukuran molekuler cukup kecil. Dinding kapiler glomerulus, yang terdiri dari
selapis sel endotel gepeng, memiliki lubang-lubang dengan banyak pori-poribesar
atau fenestra yang membuatnya seratus kali lebih permiabel terhadap H2O dan zat
terlarut dibandingkan kapiler di tempat lain.
Membran basal terdiri daari glikoprotein dan kolagen dan terselip diantara
glomerulus dan kapsul bowman. Kolagen menghasilkan kekuatan struktural,
sedangkan glikoprotein menghambat filtrasi protein plasma kecil. Walaupun
protein plasma yang lebih besar tidak dapat difiltrasi karena tidak dapat melewati
pori-pori diatas, pori-pori tersebut sebenarnya cukup besar untuk melewatkan
albumin, protein plasma kecil. Namun glikoprotein karena bermuatan negatif akan
menolak albumin dan protein plasma lain. Dengan demikian protein plasma
hampir seluruhnya tidak dapat difiltrasi, dan kurang dari 1% molekul albumin
yang berhasil lolos untuk masuk ke kapsula bowman. Sebagian penyakit ginjal
yang ditandai oleh adanya albumin berlebihan dalam urin. Diperkirakan
disebabkan oleh gangguan muatan negatif didalam membran glomerulus, yang
menybabkan membran lebih permiabel tehadap albumin walaupun ukuran pori-
pori tidak berubah.
Lapisan terakhir pada membran glomerulus yaitu lapisan dalam kapsul
bowman terdiri dari podosit, sel mirip gurita yang mengelilingi berkas
glomerulus. Setiap podosit memiliki banyak tonjolan memanjang seperti kaki
yang saling menjalin dengan tonjolan podosit didekatnya. Celah sempit antara
tonjolan yang berdekatan, yang dikenal sebagai celah filtrasi, membentuk jalan
bagi cairan untuk keluar dari kapiler glomerulus dan masuk kelumen kapsul
bowman. dengan demikian, rute yang diambil oleh bahan yang terfiltrasi untuk
melintasi membran glomerulus seluruhnya bersifat ekstraseluler. Pertama melalui
pori-pori kapiler, kemudian membran basal aseluler dan terakhir melalui celah
filtrasi kapsular
Gambar 3.3 Glomerulus

Untuk melaksanakan filtrasi glomerulus, harus terdapat suatu gaya yang


mendorong sebagian plasma dalam glomerulus mdua perbedaamenembus lubang-
lubang membran glomerulus. Filtrasi glomerulus disebabkan oleh adanya gaya-
gaya fisik pasif yang serupa dengan gaya-gaya yang terdapat terdapat dikapiler
bagian tubuh lainnya. Karena glomerulus merupakan suatu kapiler, prinsip-prinsip
dinamika cairan yang mendasari ultrifiltrasi melintasi kapiler lain yang berlaku
kecuali 2 perbedaan penting:
 Kapiler glomerulus jauh lebih permeabel dibandingkan dengan kapiler
ditempat. lain sehingga untuk tekanan filtrasi yang sama lebih banyak
cairan yang di filtrasi.
 Keseimbangan gaya-gaya dikedua sisi membran adalah sedemikian rupa,
sehingga filtrasi berlangsung diseluruh panjang kapiler.

Sebaliknya, keseimbangan gaya-gaya dikapiler lain bergeser, sehingga


filtrasiberlangsung dibagian awal pembuluh tetapi menjelang akhir reabsorbsi.
Terdapat tiga gaya fisik yang terlibat dalam filtrasi glomerulus, yaitu:
1. Tekanan darah kapiler glomerulus, merupakan tekanan darah yang
ditimbulkan oleh darah di dalam kapiler glomerulus yang bergantung pada
kontraksi jantung dan resistensi arteriol afferent dan efferent. Tekanan
darah pada kapiler glomerulus sekitar 55 mmHg lebih tinggi daripada
tekanan darah kapiler tempat lain, disebabkan karena diameter arteriol
efferent yang lebih kecil daripada arteriol afferent. Tekanan ini
mengakibatkan cairan keluar dari glomerulus dan masuk ke kapsula
Bowman dan merupakan gaya utama yang menghasilkan filtrasi
glomerulus.
2. Tekanan osmotic koloid plasma, merupakan tekanan yang arahnya
melawan filtrasi. Disebabkan karena adanya ketidakseimbangan kadar
protein kapiler glomerulus dan kapsula Bowman sehingga air cenderung
mengalir dari kapsula Bowman ke kapiler glomerulus. Besarnya kira-kira
30 mmHg.
3. Tekanan hidrostatik kapsula Bowman, arahnya melawan filtrasi, dan
disebabkan karena adanya tekanan dari cairan di dalam kapsula Bowman
yang besarnya sekitar 15 mmHg.

Tekanan darah kapiler glomerulus mendorong filtrasi kedua gaya lain


yang bekerja melintasi membran glomerulus ( tekanan osmotik plasma dan
tekanan hidrostatik kapsul bowman) melawan filtrasi. Tekanan osmotik koloid
plasma ditimbulkan oleh distribusi protein-protein plasma yang tidak seimbang
dikedua sisi membran glomerulus. Karena tidak dapat difiltrasi protein plasma-
plasma terdapat di kapiler glomerulus, tetapi tidak ditemukan dikapsul bowman.
Dengan demikian kosentrasi H2O dikapsul bowman lebih tinggi daripada
kosentrasinya dikapiler glomerulus. Akibatnya adalah kecenderungan H2O untuk
berpindah secara osmosis mengikuti penurunan gradien konsetrasinya dari
kapsula bowman ke kapiler glomerulus tekanan osmotik yang melawan filtrasi ini
rata- rata besarnya 30 mmhg, yang sedikit lebih tinggi daripada dikapiler lain
ditubuh.

Gambar 3.4 Tekanan glomerulus

Laju filtrasi sebenarnya yaitu laju filtrasi glomerulus ( GFR ), tergantung


tidak saja pada tekanan filtrasi netto, tetapi juga pada seberapa luas permukaan
glomerulus yang tersedia untuk penetrasi dan seberapa permeabelnya membran
glomerulus. Sifat-sifat membran glomeulus ini secara kolektif disebut sebagai
koefisien filtarsi. Dalam keadaan normal, sekitar 20% plasma yang masuk
glomerulus difiltrasi dengan tekanan filtrasi netto 10 mmHg, menghasikansecara
kolektif melalui semua glomerulus setiap hari untuk GFR rata-rata 125 ml/ menit
pada pria dan 160 liter filtrat perhari untuk GFR 15 ml/menit pada wanita. GFR
dikontrol oleh 2 mekanisme, keduanya ditujukan untuk menyesuaikan aliran darah
glomerulus dengan mengatur kaliber, dengan demikian, resitensi arteriol aferen.
Keduanya yaitu autoregulasi, yang ditujukan untuk mencegah perubahan spontan
GFR dan kontrol simpatis ekstrinsik, yang ditujukan untuk pengaturan jangka
panjang tekanan darah arteri.
2. Proses reabsorbsi
Setelah plasma bebas-protein difiltrai melalui glomerulus, setiap zat
ditangani sendiri oleh tubulus, sehingga walaupun konsentrasi semua konstituen
dalam filtrat glomerulus awal identik dengan konsentrasinya dalam plasma
(dengan kekecualian protein plasma), konsentrasi berbagai konstituen mengalami
perubahan-perubahan saat cairan filtrasi mengalir melalui sistem tubulus.
Kapasitas reabsorbtif sistem tubulus sangat besar. Lebih dari 99% plasma
yang difiltrasi dikembalikan kedarah melalui reabsorbsi. Zat-zat utama yang
secara aktif direabsorbsi adalah Na+ ( kation utama CES ), sebagian besar
elektrolit lain dan nutrien organik, misalnya glukosa dan asam amino. Zat
terpenting yang direabsorbsi secara pasif adalah air, dan urea. Absorbsi Na + dan
CL- memegang peran penting dalam metabolisme elektrolit dan cairan tubuh.
Selain itu, transpor Na+ terjadi bersamaan dengan transport H+, elektrolit lain,
glukosa, asam amino, asam organik, fosfat dan zat lainnya melalui dinding
tubulus. Di tubulus proksimal, bagian tebal ansa henle pars ascendens, tubulus
distal dan duktus koligentes, proses perpindahan Na + berlangsung melalui
konstranspor atau pertukaran ion dari lumen tubulus ke dalam sel epitel tubulus
mengikuti tingkat gradien konsentrasi dan gradien listrik, dan kemudian di pompa
secara aktif dari sel tubulus ke ruang intersitium.
Jadi, Na+ akan diangkut secara aktif dikeluarkan dari seluruh bagian
tubulus ginjal. Kecuali bagian tipis ansa henle. Na+ dipompa ke ruang interstisial
oleh pompa Na+-K+ ATPase. Pompa ini akan mengeluarkan tiga Na + dan
memasukkan dua K+ ke dalam sel. Pada sisi luminalnya, sel-sel tubulus disatuka
satu dengan yang lainnya oleh taut erat, tetapi masih terdapat ruang antar sel
disepanjang tepi lateralnya. Sejumlah besar Na+ diangkut secara aktif ke perluasan
ruang interstisial ini, yang disebut ruang antar sel lateral. Pada keadaan normal
sekitar 60% dari Na+ yangdifiltrasi akan direabsorbsi di tubulus proksimal.
Terutama melalui pettukaran Na+-H+/ sebanyak 30% lainnya diserap melalui
kontraporter Na+-2C—K+ dibagian tebal ansa henle pars ascendens dan sekitar 7
% diserap oleh kontranspor Na+- Cl- ditubulus kontortus distal. Sisa Na+ yang
difiltrasi, yakni sekitar 3% diserap melalui kanal enaC diduktus koligentes dan
penyerapan sisa Na+ ini diatur oleh aldosteron dalam upaya mempertahankan
keseimbangan homeostatik Na+.
Glukosa, asam amino dan bikarbonat direabsorbsi bersama-sama dengan
Na dibagian tubulus proksimal. Mendekati akhir tubulus, Na+ akan direabsorbsi
+

bersama-sama dengan Cl-


Glukosa merupakan contoh zat yang direabsorbsi melalui transport aktif
sekunder. Laju filtrasi glukosa kira-kira 100 mg/ menit. Hampir semua glukosa
direabsorbsi dan hanya beberapa miligram saja yang dijumpai diurin dalam waktu
24 jam.jumlah yang direabsorbsi sebanding dengan jumlah yang difiltrasi, dan
nilai ini sebanding dengan kadar glukosa dalam plasma dikalikan LFG hingga
mencapai batas tranport maksimum( Tmg) bila batas Tmg melampaui, jumlah
glukosa yang terdapat didalam urine akan meningkat. Batas Tmg kira- kira 375
mg/menit pada laki- laki dan 300 mg/menit pada wanita. Nilai ambang ginjal
untuk glukosa merupakan kadar glukosa plasma saat kadar urine tercatat melebihi
kadar ekskresi normalnya. Bila dihitung untuk ambang ginjal untuk glukosa
adalah sekitar 300 mg/ dL yaitu 375 mg/ menit dibagi oleh 125 mg/ menit. Namun
ambang ginjal sebenarnya berdasarkan kadar plasmanya diarteri adalah sekitar
200mg/ menit, yang sebanding dengan kadar plasmanya di vena yaitu 180
mg/menit.
3. Proses sekresi
Sekresi tubulus, mengacu pada perpindahan selektif zat-zat dari darah
kapiler peritubulus ke dalam lumen tubulus, merupakan rute kedua bagi zat dari
darah untuk masuk kedalam tubulus ginjal. Proses sekresi terpenting adalah
sekresi H+, K+, dan ion-ion organik. Sekresi tubulus dapat dipandang sebagai
mekanisme tambahan yang meningkatkan eliminasi zat-zat tersebut dari tubuh.
Semua zat yang masuk ke cairan tubulus, baik melalui fitrasi glomerulus maupun
sekresi tubulus dan tidak direabsorpsi akan dieliminasi urin.

Mekanisme kerja sekresi tubulus:


Sekresi tubulus melibatkan transportasi transepitel seperti yang dilakukan
reabsorpsi tubulus, tetapi langkah-langkahnya berlawanan arah. Seperti
reabsorpsi, sekresi tubulus dapat aktif atau pasif. Bahan yang paling penting yang
disekresikan oleh tubulus adalah ion hidrogen (H+), ion kalium (K+), serta anion
dan kation organik, yang banyak diantaranya adalah senyawa senyawa yang asing
bagi tubuh.
• Sekresi ion hidrogen
Sekresi hidrogen ginjal sangatlah penting dalam pengaturan keseimbangan
asam- basa tubuh.
• Sekresi ion kalium
Ion kalium adalah contoh zat yang secara selektif berpindah dengan arah
berlawanan di berbagai bagian tubulus; zat ini secara aktif direabsorpsi di
tubulusproksimal dan secara aktif disekresi di tubulus distal dan pengumpul.
• Sekresi anion dan kation
Tubulus proksimal mengandung dua jenis pembawa sekretorik yang
terpisah, satu untuk sekresi anion organik dan suatu sistem terpisah untuk sekresi
kation organik.
3.2. Definisi Sindrom Nefrotik 4
Sindrom nefrotik merupakan suatu penyakit glomerular yang ditandai
dengan edema, proteinuria masif >3,5 gram/hari, hipoalbunemia <3,5
gram/hari, hiperkolesterolemia dan lipiduria. (Kodner, 2016) Sindrom
nefrotik memiliki berbagai efek metabolik yang berdampak pada individu,
beberapa episode sindrom nefrotik adalah self-limited dan sebagian
diantaranya respon dengan terapi spesifik, sementara sebagiannya lagi
merupakan kondisi kronis. (Kharisma, 2017).

3.3. Etiologi sindrom nefrotik 5,7


Sindrom Nefrotik (SN) dapat berasal dari etiologi primer (dari ginjal) dan
sekunder( di luar ginjal).
Tabel 1. Etiologi Sindrom Nefrotik
Etiologi Primer Etiologi Sekunder
Glomerulosklerosis fokal segmental (40%) Diabetes
Glomerulonefritis membranosa (30%) Immune: Lupus, berger disease, goodpasture
syndrome
Glomerunolefritis lesi minimal (20%) Obat-obatan (NSAID)
Glomerulonefritis membranoproliferatif (5%) Infeksi: Hepatitis, HIV, Citomegalovirus
(CMV)
Glomerulonefritis proliferatif mesanglai (5%) Keganasan
Hereditary nefropati

Pada orang dewasa, sindrome nefrotik paling sering isebabkan karena


glomerulonefritis fokal segmental dan glomerulonefritis membranosa. Secara
klinis, sindrom nefrotik dapat bersifat steroid-resisten, steroid-sensitif,
ketergantungan steroid atau relaps. Kapsel

3.4. Epidemiologi Sindrom Nefrotik 6


Saat ini belum ada data yang pasti mengenai sindrom nefrotik pada orang
dewasa di Indonesia. Sindrom nefrotik lebih sering terjadi pada laki-laki. Di New
Zealand, terdapat 50 kasus per satu juta populasi. Diabetes merupakan penyebab
utama pada sindrom nefrotik. Suku indian, Hispanik, dan Afrika Amerika
memiliki peluang lebih tinggi untuk terkena sindrome nefrotik.

Grafik 3.1 Insiden sindrom nefrotik per satu juta penduduk. Grafik kanan menunjukkan insiden
sindrom nefrotik pada orang dewasa, sedangkan grafik kiri pada anak-anak (Wong W,2007)

3.5. Patofisiologi Sindrom Nefrotik 8


A. Proteinuria
Ada tiga jenis proteinuria yaitu glomerular, tubular dan overflow.
Kehilangan protein pada sindrom nefrotik termasuk dalam proteinuria
glomerular. Proteinuria pada penyakit glomerular disebabkan oleh
meningkatnya filtrasi makromolekul melewati dinding kapiler glomerulus.
Hal ini sering diakibatkan oleh kelainan pada podosit glomerular. Dalam
keadaan normal membran basal glomerulus mempunyai mekanisme
penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme penghalang
pertama berdasarkan ukuran molekul dan yang kedua berdasarkan muatan
listriknya. Pada sindrom nefrotik kedua mekanisme tersebut
terganggu.proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non-selektif
berdasarkan ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Protein
selktif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul kecil mialnya
albumin, sedangkan yang non-selektif apabila protein yang keluar terdiri dari
molekul besar seperti imunoglobulin.
B. Hipoalbuminemia
Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis
albumin hati dan kehilangan protein melalui urin. Pada SN,
hipoalbuminemia disebabkan oleh proteinuria masif dengan akibat
penurunan tekanan onkotik plasma. Untuk mempertahankan tekanan
onkotik plasma maka hati berusaha meningkatkan sintesis albumin,
peningkatan sintesis albumin hati tidak berhasil menghalangi timbulnya
hipoalbuminemia. Dalam keadaan normal, hati memiliki kapasitas
sintesis untuk meningkatkan albumin total jadi 25 gram perhari. Diet
protein dapat meningkatkan sintesis albumin hati. Hipoalbuminemia juga
dapat terjadi akibat peningkatkan reabsorbsi dan katabolisme albumin
oleh tubulus proksimal. Pada pasien sindrom nefrotik,
hipoalbuminemia merupakan manifestasi dari hilangnya protein
dalam urin yang berlebihan dan peningkatan katabolisme albumin.

C. Edema
Terdapat beberapa teori yang menjelaskan tentang timbulnya edema
pada sindrom nefrotik. Underfilled theory merupakan teori klasik
tentang pembentukan edema. Teori ini berisi bahwa adanya edema
disebabkan oleh menurunnya tekanan onkotik intravaskuler dan
menyebabkan cairan merembes ke ruang interstisial. Adanya
peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus menyebabkan albumin
keluar sehingga terjadi albuminuria dan hipoalbuminemia.
Sebagaimana diketahui bahwa salah satu fungsi vital dari albumin
adalah sebagai penentu tekanan onkotik. Maka kondisi hipoalbuminemia
ini menyebabkan tekanan onkotik koloid plasma intravaskular menurun.
Sebagai akibatnya, cairan transudat melewati dinding kapiler dari ruang
intravaskular ke ruang interstisial kemudian timbul edema.
Menurut teori lain yaitu teori overfilled, retensi natrium renal dan air
tidak bergantung pada stimulasi sistemik perifer tetapi pada mekanisme
intrarenal primer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi
volume plasma dan cairan ekstraseluler. Overfilling cairan ke dalam
ruang interstisial menyebabkan terbentuknya edema.

Gambar 3.5 Teori underfill dan overfill yang menyebabkan edema (Buku

Ajar Penyakit Dalam Jilid II, 2014)

D. Hiperkolesterolemia
Hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein serum
meningkat pada sindrom nefrosis. Hal ini dapat dijelaskan dengan
penjelasan antara lain yaitu adanya kondisi hipoproteinemia yang
merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati, termasuk
lipoprotein. Selain itu kDatabolisme lemak menurun karena terdapat
penurunan kadar lipoprotein lipase plasma, sistem enzim utama yang
mengambil lemak dari plasma. Beberapa peningkatan serum lipoprotein
yang di filtrasi di glomerulus akan mencetuskan terjadinya lipiduria
sehingga adanya temuan khas oval fat bodies dan fatty cast pada
sedimen urin.
3.6. Diagnosis Sindrom Nefrotik 1,7,9,10
Berdasarkan pemikiran bahwa penyebab Sindrom Nefrotik sangat luas
maka anamnesis dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan urin termasuk
pemeriksaan sedimen perlu dengan cermat. Pemeriksaan kadar albumin dalam
serum, kolesterol dan trigliserid juga membantu penilaian terhadap sindrom
nefrotik.
1. Gambaran Klinis
Dari anamnesis akan di dapatkan bahwa pasien sindrom nefrotik datang
dengan edema yang progresif pada ekstremitas bawah, peningkatan berat
badan dan lemah, yang merupakan gejala tipikal pada sindrom nefrotik.
Selain itu juga dapat ditemukan urin berbusa. Pada kondisi yang lebih
serius, akan terjadi edema periorbital dan genital (skrotum), ascites, efusi
pleura. Jika terjadi bengkak hebat dan generalisata dapat bermanifestasi
sebagai anasarka. Kemudian dari pemeriksaan fisik akan di temukan
pretibial edema, edema periorbita, edema skrotum, edema anasarka,
ascites.
2. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakaukan pada sindrom nefrotik


adalah sebagai berikut :

a. Urinalisis dan biakan urin, dilakukan jika terdapat gejala klinis yang
mengarah pada infeksi saluran kemih (ISK).
b. Protein urin kuantitatif ; Pemeriksaan dilakukan dengan
menggunakan urin 24 jam atau rasio protein/kreatinin pada urin
pertama pagi hari, pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui
derajat dari proteinuria.
c. Pemeriksaan darah ; Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit,
hitung jenis leukosit, trombosit, hematokrit, LED), Albumin dan
kolesterol serum, Ureum, kreatinin, dan klirens kreatinin. Fungsi
ginjal, Skining infeksi bila perlu, Proteinuria positif (kuantitatif dan
kualitatif), 300-350 mg/mmol.
d. Pemeriksaan Radiologi ; X-ray untuk melihat apakah ada
komplikasi seperti efusi Pleura.
e. Pemeriksaan Histopatologi; pada pemeriksaan ini dapat dilakukan
biopsi ginjal, pemeriksaan ini direkomendasikan pada pasien
sindrom nefrotik untuk mengkonfirmasi subtipe penyakitnya atau
untuk konfirmasi diagnosis. Meskipun begitu, belum ada guidline
yang pasti menjelaskan kapan biposi ginjal di indikasikan.
o Biopsi Ginjal: Merupakan gold standard dari sindrom nefrotik.
Akan tetapi, pemeriksaan ini hanya dilakukan jika tidak
diketahui penyebabnya dari mana. Biopsi ginjal tidak dilakukan
pada dewasa jika penyebab nefropatinya sudah jelas. Seperti
pasien mengidap diabets dan diabetic nefropati kronis. Pasien
diabetes kurang dari 5 tahun dan mengidap gejala yang
mengarah kepada kelainan ginjal maka penyebab utamanya
bukan berhubungan dengan diabetesnya.
f. Ultrasonografi (USG) : USG memperlihatkan morfologi dari ginjal
pasien dan ekogenitas. Peningkatan ekogeniats berhubungan dengan
fibrosis intrarenal (contoh pada penyakit kronis dengan penurunan
fungsi ginjal)
Grafik 3.2 Algoritma untuk penegakkan diagnosa sindrom nefrotik dewasa (Hull RP,
2008)

A B
Gambar 3.6 Beberapa Gambaran Histopatologi Sindrom Nefrotik A) glomerulonefritis
lesi minimal B) glomerulosklerosis lesi segmental (Buku Ilmu Penyakit Dalam, 2014)
3.7. Diagnosis Banding Sindrom Nefrotik
- Glomerulonephritis kronis
- Diabetik nefropati
- IgA nefropati
- Sickle Cell Nefroropati

3.8. Tatalaksana Sindrom Nefrotik 8,13


- Tatalaksana non Farmakologis
a. Diet. Pola makan yang dianjurkan adalah rendah garam, rendah lemak
jenuh serta rendah kolesterol
b. Asupan protein 0.8 kg/BB/Hari. Apabila fungsi ginjal menurun menjadi
0.6 kg/BB/ Hari.
c. Restriksi cairan untuk membantu mengurangi edema
d. Hindari obat obatan yang bersifat nefrotoksik seperti (OAINS, antibiotik
golongan aminoglikosida dsb)
e. Pencegahan infeksi

- Tatalaksana Farmakologis
a. Diuretik

Pasien dengan nefrosis resisten terhadap diuretik, bahkan jika filtrasi


glomerulus tingkat normal. Loop diuretik bekerja pada ginjal tubulus
dan harus terikat protein agar efektif. Protein serum yang berkuran
pada sindrom nefrotik akan membatasi efektivitas loop diuretik, dan
pasien mungkin memerlukan lebih tinggi dari dosis normal.
Mekanisme lain untuk resistensi diuretik juga dimungkinkan terjadi,
diuretik loop oral dengan administrasi dua kali sehari biasanya lebih
disukai karena mekanisme aksinya memiliki durasi yang lebih lama.
Namun, pada sindrom nefrotik dan edema yang parah, penyerapan
diuretik gastrointestinal mungkin tidak pasti karena dinding usus
edema, dan diuretik intravena mungkin diperlukan. Diuresis harus
relatif bertahap dan dipandu oleh penilaian berat badan harian, dengan
target 1 hingga 2 kg per hari.

Furosemide (Lasix) pada 40 mg per oral dua kali setiap hari atau
bumetanide 1 mg dua kali sehari merupakan dosis awal yang masuk
akal, dengan perkiraan menggandakan dosis setiap satu hingga tiga
hari jika ada peningkatan yang tidak memadai pada edema atau bukti
lain adanya kelebihan cairan. Batas atas perkiraan untuk furosemide
adalah 240 mg per dosis atau total 600 mg per hari, tetapi tidak ada
bukti atau alasan yang jelas untuk batas ini. Jika masih ada kekurangan
respon klinis, pasien dapat dirawat dengan mengubah ke diuretik loop
intravena, menambahkan diuretik tiazid oral, atau memberikan bolus
intravena 20% albumin manusia sebelum bolus diuretik intravena.
(Kahrisma, 2017).

b. ACE-Inhibitor

Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor menunjukkan dapat


menurunkan proteinuria dengan menurunkan tekanan darah,
mengurangi tekanan intraglomerular dan aksi langsung di podosit, dan
mengurangi risiko progresifitas dari gangguan ginjal pada pasien
sindrom nefrotik sekunder. Dosis yang direkomendasikan masih belum
jelas, tapi pada umumnya digunakan enalapril dengan dosis 2,5 – 20
mg/hari. (Charles, 2009)

c. Terapi Kortikosteroid

Yang digunakan sebagai immunosupressan pada sindrom nefrotik


adalah golongan glukokortikoid yaitu prednison, prednisolon dan
metilprednisolon. Penatalaksanaan sindrom nefrotik dengan
kortikosteroid yaitu :

 Sebelum pemberian kortikosteroid perlu dilakukan skrining


untuk menentukan ada tidaknya TBC
 Pengobatan dengan prednison secara luas menggunakan standar
dari ISKDC yaitu :
 4 minggu pertama diberikan prednison 60 mg/hari (2 mg/kgBB)
dibagi dalam 3-4 dosis sehari. Dosis ini diteruskan selama 4
minggu tanpa memperhatikan adanya remisi atau tidak
(maksimum 80 mg/hari)
 4 minggu kedua diberikan prednison diteruskan dengan dosis 40
mg/hari, diberikan dengan cara intermiten, yaitu 3 hari berturut
turt dalam 1 minggu dengan dosis tunggal setelah makan pagi
atau alternate (selang 1 hari dengan dosis tunggal setelah makan
pagi)
 Tappering off prednison pelan – pelan diturunkan setiap minggu
nya menjadi 30 mg, 20 mg, 10 mg/hari diberikan secara
intermiten atau alternate. Jika terjadi relapse maka pengobatan
diulangi dengan cara yang sama. (UKK Nefrologi IDAI, 2014)
d. Terapi Hiperlipidemia
Beberapa studi menyatakan bahwa terdapat peningkatan risiko
atherogenesis atau miokard infark pada pasien dengan sindrom
nefrotik yang berkaitan dengan peningkatan level lipid. Sehingga
disarankan untuk pemberian hipolipidemic agents pada pasien sindrom
nefrotik. (Charles, 2009)
e. Terapi Antibiotik
Terapi ini digunakan jika pasien sindrom nefrotik mengalami infeksi,
infeksi tersebut harus di atasi dengan adekuat untuk mengurangi
morbiditas. Jenis antibiotik yang banyak dipakai yaitu golongan
penisilin dan sefalosporin. (Floege, 2015)
f. Antikoagulan
Tidak ada rekomendasi dari studi terbaru mengenai antikoagulan
sebagai profilaktik untuk mencegah adanya tromboemboli pada pasien
sindrom nefrotik yang tanpa riwayat tromboemboli sebelumnya.
Sedangkan terapi antikoagulan dapat diberikan pada pasien sindrom
nefrotik dengan riwayat tromboemboli sebelumnya sebagai profilaksis.
(Charles, 2009)

3.9. Komplikasi 8

Komplikasi yang dapat terjadi pada sindrom nefrotik yaitu :


1. Keseimbangan Nitrogen Negatif Proteinuria masif akan
menyebabkan keseimbangan nitrogen menjadi negatif, yang
secara klinis dapat diukur dengan kadar albumin plasma. Diet
tinggi protein tidak terbukti memperbaiki metabolisme albumin
karena respon hemodinamik terhadap asupan yang meningkat
adalah meningkatnya tekanan glomerulus yang menyebabkan
kehilangan protein dalam urin yang semakin banyak. Diet rendah
protein akan mengurangi proteinuria namun juga menurunkan
kecepatan sintesis albumin dan dalam jangka panjang akan
meningkatkan risiko memburuknya keseimbangan nitrogen
negatif.
2. Hiperkoagulasi
Komplikasi tromboemboli sering ditemukan pada sindrom
nefrotik akibat peningkatan koagulasi intravaskular. Kadar
berbagai protein yang terlibat dalam kaskade koagulasi terganggu
pada sindrom nefrotik serta agregasi paltelet ikut meningkat.
Gangguan koaglasi yang terjadi disebabkan oleh peningkatan
sisntesis protein oleh hati dan kehilangan protein melalui urin.

3. Hiperlidemia dan lipiduria


Merupakan keadaan yang serig menyertai sindrom nefrotik.
Respon hiperlipidemik sebagian dicetuskan oleh menurunnya
tekanan onkotik plasma, serta derajat hiperlipidemia
berbanding terbalik dan berhubungan erat dengan menurunnya
tekanan onkotik. Kondisi hiperlipidemia dapat reversibel seiring
dengan resolusi dari sindronefrotik yang terjadi baik secara
spontan maupun diinduksi dengan obat.
4. Gangguan metabolisme kalsium dan tulang
Vitamin D yang terikat protein maka akan diekskresikan melalui
uring sehingga terjadi penurunan kadar plasma. Kadar 25(OH)D
dan 1,25 (OH)2D plasma juga ikut menurunan sedangkan kadar
vitamin D bebas tidak mengalamu gangguan.

5. Infeksi
Infeksi merupakan penyebab tersering terjadinya kematian pada
sindrom nefrotik terutama oleh organisme berkapsul. Infeksi
pada sindrom nefrotik terjadi akibat defek imunitas humoral,
seluler dan gangguan sistema komplemen.

3.10. Prognosis Sindrom Nefrotik 10, 13


Prognosis pada sindrom nefrotik sangat bergantung dari penyebab dasarnya,
pemeriksaan histologi dan faktor risiko dari pasien. Meskpiun sebagian besar
pasien membaik dengan terapi suportif dan tidak memerlukan terapi spesifik, akan
tetapi ada beberapa yang memburuk secara agresif sehingga memerlukan terapi
spesifik.
Dalam tatalaksana, sindrom nefrotik dapat dibagi menjadi 4: *medscape
 Steroid dependen: dua episode relaps saat terapi steroid selang-
seling atau dalam waktu 14 hari selesai terapi
 Steroid resisten: tidak adanya remisi meskipun sudah diberi terapi
prednisolone harian 2 mg/kg per hari selama 4 minggu
 Remisi: albumin urin tidak terdeteksi 3 hari berturut-turut pagi hari
 Relapse: urine albumin +3 atau +4 (atau proteinuria lebih dari 40
mg/jam) selama 3 hari berturut-turut pagi hari, setelah sebelumnya
dinyatakan remisi
 Kongenital: muncul saat 3 bulan pertama kehidupan, biasanya terjadi
mutasi di dalam gen.
 Frequent relapse: kekambuhan 2 episode atau lebih dalam 6 bulan
atau lebih dari 4 episode dalam 12 bulan.
BAB IV. ANALISIS KASUS

Diagnosis yang ditegakkan adalah sindroma nefrotik. Diagnosis ini ditegakkan


dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemerikssan penunjang berupa foto
thorax, pemeriksaan darah dan pemeriksaan urinalisa. Berdasarkan anamnesis,
keluhan utama pasien adalah sesak saat sedang mengantri di Poli Penyakit Dalam
15 menit yang lalu sebelum dibawa ke IGD. Nyeri dada tidak ada, nyeri kepala
atau pusing tidak ada. Demam disangkal. pasien terkdadang mengeluh nyeri
pinggang. Pasien memiliki Riwayat anemia berulang. Pasien berobat ke poli
penyakit dalam karena ada kecurigaan mengarah ke penyakit ginjal dari faskes
pertama. Riwayat kencing sedikit sekitar 300 cc, tidak disertai nyeri dan sensasi
berpasir, berwarna kuning keruh dan berbusa. Pasien mengaku minum tidak
banyak, hanya sekitar 4-5 gelas air putih sehari. Riwayat bengkak pada
ekstremitas disangkal.

Hasil pemeriksaan fisik pada pasien yang ditemukan dan bermakna adalah
konjungtiva anemis, laju napas yang cepat yaitu 24 x/menit, serta pemeriksaan
abdomen yaitu nyeri ketok CVA positif bilateral. Hasil laboratorium pasien
menunjukkan ke arah anemia seperti HB pasien hanya 3.5 mg/dL. Terdapat
indikasi mengarah kepada ISK. Selain didukung di anamnesis seperti nyeri ketok
CVA+, pada urinalisa, nitrit pasien positif walaupun leukosit negatif. Berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan laboratorium: Hipoalbuminemia (1.8 g/dL) ,
hiperlipidemia (319 mg/dL) , Proteinuria dengan nilai +3 dan glukosa positif
dapat mengarah kepada sindrom nefrotik. Anemia bisa menjadi salah satu
komplikasi dalam pasien sindrom nefrotik ini karena pengeluaran zat besi,
transferin, eritropoietin yang berlebihan di dalam urin dapat menyebabkan
defisiensi komponen untuk proses eritropoiesis yang baik.11

Selama masa perawatan, 2 hari sebelum pasien dipulangkan, terdapat edema


pada kedua tungkai. Hal ini justru semakin menguatkan untuk diagnosa sindrom
nefrotik.Pasien mendapatkan terapi untuk anemia gravis seperti transfusi PRC 6
kolf. Untuk terapi farmakologis sindrom nefrotik, pasien mendapatkan terapi
metilprednisolon 3x16 mg (PO) dan Inj captopril 2x6.25 mg (PO). Terapi
hipoalbuminemia, pasien mendapatkan L albumin 2x1 tab (PO) dan terapi
dislipidemia, pasien mendapatkan atorvastatin 1x20 mg (PO). Pemberian agen
diuretic ini bertujuan untuk mengurangi gejala edema pada pasien. Pemberian
Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dapat menurunkan proteinuria
dengan menurunkan tekanan darah, mengurangi tekanan intraglomerular dan aksi
langsung di podosit, dan mengurangi risiko progresifitas dari gangguan ginjal
pada pasien sindrom nefrotik sekunder. Terapi kortikosteroid golongan
glukokortikoid yaitu prednison, prednisolon dan metilprednisolon yang digunakan
sebagai immunosupressan. Pemberian hiperlipidemic agents, bertujuan untuk
menurunkan risiko atherogenesis atau miokard infark, pada pasien dengan
sindrom nefrotik memiliki resiko peningkatan lipid yang signifikan. 10

Pemeriksaan penunjang untuk mengevaluasi ginjal pada pasien ini kurang


memadai, karena tidak dilakukan pemeriksaan kreatinin sehingga tidak bisa
dievaluasi lebih lanjut. Tentu pada pasien ini tidak dapat dilakukan pemeriksaan
untuk menegakkan secara pasti penyebab dari sindrom nefrotik pasien karena
keterbatasan fasilitas.
BAB V. KESIMPULAN

Sindrom nefrotik merupakan suatu penyakit glomerular yang ditandai


dengan edema, proteinuria masif >3,5 gram/hari, hipoalbunemia < 3,5
gram/hari, hiperkolesterolemia dan dislipidemia. Sindrom nefrotik dapat
disebabkan oleh glomerulonefritis primer dan sekunder akibat infeksi,
keganasan, penyakit jaringan ikat, obat atau toksin dan akibat penyakit sitemik.
Pada pasien ini dari anamnesis awalnya tidak secara khas dari manifestasi
klinis mengarah kepada sindrom nefrotik, seperti edema, hanya urin saja seperti
berbusa. Temuan lain pada pasien ini adalah anemia gravis dan ISK.
Manajemen yang diberikan adalah manajemen secara umum seperti istirahat,
pengobatan edema, pengobatan proteinuria dengan penghambat ACE atau
antagonis reseptor angiotensin II, pengobatan dyslipidemia dengan golongan
statin dan pengobatan kasual sesuai dengan etiologi dari sindrom nefrotik. Pada
pasien sudah dilakukan manajemen planning dan terapi yang sesuai dengan
penanganan sindrom nefrotik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Inggriani K. Buku Ajat Traktus Urogenitalis. Edisi 2. Jakarta: Bagian Anatomi Fakultas
Kedokteran UKRIDA; 2012.h.20-5.
2. Guyton, CA.Fisiologi manusia dan mekanisme mekanisme penyakit. Edisi ke-3.
Jakarta: EGC;1987.h.561-3.
3. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke system. Edisi 6 Jakarta: EGC;2011.552-78.
4. Tapia C, Bashir K. Nephrotic Syndrome. [Updated 2021 Aug 10]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470444/
5. Dumas De La Roque C, Combe C, Rigothier C. [Up to date of pathophysiology mechanism
of idiopathic nephrotic syndromes: Minimal change disease and focal and segmental
glomerulosclerosis]. Nephrol Ther. 2018 Dec;14(7):501-506
6. Wong W. Idiopathic nephrotic syndrome in New Zealand children, demographic, clinical
features, initial management and outcome after twelve-month follow-up: results of a three-
year national surveillance study. J Paediatr Child Health. 2007 May. 43(5):337-41
7. Kapita Selekta Kedokteran Essential Medicine Jilid II Edisi IV edition, Jakarta: Media
Aesculapius
8. Aida L, Maruhum B,M Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. V, Jakarta: Interna
Publishing 2014: 2081-2083
9. Hull RP, & Goldsmith DJA. Nephrotic syndrome in adults. BMJ, 336(7654), 1185–1189. 
10. Kodner C. Nephrotic syndrome in adults: diagnosis and management. Am Fam Physician.
2009;80(10):1129-1134.
11. Iorember F, Aviles D. Anemia in nephrotic syndrome: approach to evaluation and
treatment. Pediatr Nephrol. 2017;32(8):1323-1330. doi:10.1007/s00467-016-3555-6
12. Floege J. Introduction to glomerular disease: clinical presentations. In: Johnson RJ, Feehally J, Floege
J, eds. Comprehensive Clinical Nephrology. 5th ed Philadelphia: Elsevier Saunders
13. Ramapriya Sinnakirouchenan. Nephrotic Syndrome. Medscape. link
https://emedicine.medscape.com/article/244631-overview#a1

Anda mungkin juga menyukai