Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN HASIL DISKUSI KELOMPOK KECIL

BLOK 10 MODUL 1
PENYAKIT INFEKSI PROTOZOA

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 7
SOFIA APRIYANTI 1710015035
IKA SARI OKTAFIANI 1710015046
GUSTI FERRI SANDARIA 1710015048
YOHANES ABELIO DIRGUSMA 1710015071
AINURFAIZ FIQRIDIYANTO 1710015078
DEENADEARLOVA PUTRI DARYANI 1710015086
AYU APRILIA NAHDAH 1710015097
LAILA FATIMATUS ZAHRO 1710015108
ANNISA SRI LESTARI 1710015111
WA ODE NURUL AZKIAH 1710015117

Tutor :
Dr. dr. Sjarif Ismail, M.Kes
DR. Krispinus Duma, SKM., M.Kes
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
limpahan rahmat serta hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan laporan yang
berjudul “Penyakit Infeksi Protozoa” tepat pada waktunya. Laporan ini kami
susun dari berbagai sumber ilmiah sebagai hasil dari diskusi kelompok kecil
(DKK) kami.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu sehingga terselesaikannya laporan ini, antara lain :
1. Dr. dr. Sjarif Ismail, M.Kes dan DR. Krispinus Duma, SKM., M. Kes
selaku tutor kelompok 7 yang telah membimbing kami dalam
menyelesaikan diskusi kelompok kecil (DKK).
2. Teman-teman kelompok 7 yang telah menyumbangkan pemikiran dan
tenaganya sehingga diskusi kelompok kecil (DKK) 1 dan 2 dapat berjalan
dengan baik, serta dapat menyelesaikan laporan hasil diskusi kelompok
kecil (DKK).
3. Teman-teman mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
angkatan 2017 dan pihak-pihak lain yang tidak dapat kami sebutkan satu
per satu.
Kami menyadari bahwa kemampuan kami dalam menyusun laporan ini
sangat terbatas. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun demi tercapainya kesempurnaan dari isi laporan hasil
diskusi kelompok kecil (DKK) ini.

Samarinda, 31 Januari 2019

Kelompok 7

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar............................................................................................... i

Daftar Isi ......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang............................................................................... 1


1.2. Tujuan Penulisan........................................................................... 1
1.3. Manfaat.......................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

1.
2.
2.1. Skenario........................................................................................ 3
2.2. Identifikasi Istilah Sulit................................................................... 3
2.3. Identifikasi Masalah....................................................................... 4
2.4. Analisa Masalah............................................................................ 4
2.5. Strukturisasi Konsep...................................................................... 6
2.6. Learning Objective......................................................................... 6
2.7. Belajar Mandiri............................................................................... 7
2.8. Sintesis Masalah............................................................................ 7

BAB III PENUTUP

1.
2.
3.
3.1. Kesimpulan.................................................................................... 36
3.2. Saran ............................................................................................ 36

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 37

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Negara yang berada di kawasan tropis termasuk Indonesia
merupakan tempat yang menunjang perkembangan berbagai macam
mikroorganisme seperti protozoa, bakteri maupun virus sehingga bisa
menjadi patogen bagi manusia.
Sebagian besar infeksi mikroorganisme ini akan menimbulkan
respon inflamasi yang salah satunya ditandai dengan demam. Sehingga
seseorang yang telah terinfeksi mikroorganisme akan menimbulkan
demam yang memiliki karakteristik masing-masing dan gejala-gejala
lainnya.
Di Indonesia, malaria masih merupakan penyakit infeksi yang
menjadi perhatian utama kementerian kesehatan untuk dilakukan
eliminasi. Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh
plasmodium yang menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya
bentuk aseksual dalam darah. Infeksi malaria memberikan gejala berupa
demam, mengigil, anemia, dan splenomegali.
Infeksi protozoa seperti pada penyakit malaria memiliki ciri yang
sama dengan Infeksi virus misalnya demam dengue dan infeksi bakteri
seperti demam tifoid yaitu memiliki gejala demam. Namun demam yang
terjadi berbeda-beda jenisnya. Selain itu, gejala penyerta masing-masing
penyakit tersebut pun berbeda. Oleh karena itu sangat pentingnya
mengetahui penyakit-penyakit tersebut sehingga kami membuat laporan
diskusi ini.

1.2 Tujuan
Diskusi kelompok yang telah kami lakukan memiliki beberapa tujuan
pembelajaran, yaitu:
1. Mahasiswa lebih mengetahui secara mendalam tentang penyakit
yang berkaitan dengan infeksi protozoa yaitu malaria dan dapat
membedakannya dengan demam yang hampir serupa, yaitu demam
karena infeksi virus dengue dan demam tifoid.

1
2. Mahasiswa mampu mengetahui definisi, epidemiologi, etiologi,
patomekanisme, symptom and sign, penegakan diagnosis, diagnosis
banding, penatalaksanaan, dan komplikasi dari malaria.

1.3 Manfaat
Manfaat dari modul ini adalah mahasiswa bisa mengetahui penyakit
yang berhubungan dengan infeksi protozoa yaitu malaria dan dapat
membedakannya dengan demam yang hampir serupa, yaitu demam
karena infeksi virus dengue dan demam tifoid, dan demam chikungunya

2
BAB II

PEMBAHASAN

1.
2.
2.1. SKENARIO

PERGI KERJA DITAMBANG, PULANG BAWA PENYAKIT

Amir, seorang pekerja tambang disuatu daerah pedalaman di Kalimantan


Timur, datang ke puskesmas daerah tempatnya karena keluhan demam.
Demam dirasakan sejak satu minggu yang sebelumnya. Demam bersifat
hilang timbul setiap dua hari sekali dan setiap akan demam, Amir menggigil
dan berkeringat. Karena bersifat hilang timbul, jika tidak demam, Amir masih
dapat melakukan aktifitas pekerjaannya dipertambangan. Selain demam,
Amir juga merasakan mual dan muntah serta sakit kepala dan seluruh
badannya sakit. Di puskesmas tersebut Amir diperiksa oleh dokter dan
hasilnya menunjukkan tanda vital tekanan darah 110/80 mmHg, temperatur
38,9°C, denyut nadi 98×/menit dan frekuensi pernapasan 20×/menit. Hasil
laboratorium menunjukkan kadar hemoglobin 10,5 gr/dL, lekosit 7.800/µL,
trombosit 65.000/µL, hematokrit 35%. Dokter kemudian merujuk Amir ke
rumah sakit tipe C untuk dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang
lainnya yaitu Widal, antibodi dengue dan DDR.

2.2. IDENTIFIKASI ISTILAH/KONSEP


1. DDR : Dikke druppel; pemeriksaan laboratorium untuk
menemukan Plasmodium. Dikenal dengan pemeriksaan
mikroskopis malaria.
2. Widal : Pemeriksaan serologis untuk menegakkan
diagnosa demam tifoid
3. Antibodi dengue: Pemeriksaan penunjuang untuk mengetahui ada
tidaknya antibodi IgG dan IgM
4. RS tipe C : Salah satu golongan rumah sakit (A, B dan C)

3
2.3. IDENTIFIKASI MASALAH
1. Kenapa demamnya hilang timbul dan mengapa Amir menggigil?
2. Apakah penyakit Amir ditentukan dari lokasinya?
3. Mengapa Amir dirujuk ke RS tipe C?
4. Apakah interpretasi dari hasil lab tersebut?
5. Mengapa dilakukan pemeriksaan penunjang?
6. Bagaimana penanganan pada kasus Amir?
7. Bagaimana pencegahannya?
8. Mengapa mual muntah, sakit kepala dan gejala lainnya?
9. Apa faktor penyebab penyakit tersebut?
10. Apakah diagnosis banding pada kasus Amir?

2.4. ANALISA MASALAH


1. Kemungkinan karena infeksi dari Plasmodium falciparum yang dapat
menyebabkan demam hilang timbul. Setelah Plasmodium falciparum
menginfeksi yang menyebabkan demam, 36 jam kemudian
Plasmodium falciparum akan menginfeksi kembali sehingga demam
menjadi hilang timbul.
2. Iya
3. Karena mengikuti alur rujukan.
4. Hipertermia, anemia, trombositopenia.
5. Karena pemeriksaan penunjang dilakukan untuk
mempertegas/memperkuat diagnosis dari dokter ditinjau dari gejala
klinis yang dialami Amir.
6. Perbaiki kondisi umum terlebih dahulu, kemudian tentukan diagnosis
pasti, lalu lakukan penanganan sesuai diagnosisnya (malaria, demam
dengue atau demam tifoid).
7. Pencegahan yang dapat dilakukan :
 Buang genangan air yang diduga dapat menjadi tempat
nyamuk berkembang biak.
 Buang sampah pada tempatnya (jaga kebersihan lingkungan)

4
 Cuci tangan
 Meningkatkan kewaspadaan
 Mencegah gigitan nyamuk
 Mencegah vektor kemoprofilaksis
 Pola hidup sehat
 3M (Menguras, Menutup, Mengubur)

8. Merozoit yang berada dalam lambung dan melepaskan toksin, toksin


inilah yang akan berpengaruh terhadap asam lambung dan akan
merusak jaringan kemudian menyebabkan nyeri akhirnya
menyebabkan gejala mual muntah. Sedangkan nyeri kepala bisa
disebabkan karena sitokin yang meningkat sehingga oksigen
menurun, dikarenakan kurangnya asupan oksigen maka jaringan otak
mengalamai kerusakan dan terjadilah nyeri kepala.

9. Faktor penyebab bisa berupa :


 Gangguan imun tubuh
 Status nutrisi yang buruk
 Kurang air bersih
 Daerah endemis suatu penyakit

10. Diagnosis banding


 Malaria
 Demam dengue
 Demam tifoid

5
2.5. STRUKTURISASI KONSEP

2.6. LEARNING OBJECTIVE

1) Mahasiswa mampu menjelaskan tentang Malaria:


A. Definisi
B. Epidemiologi
C. Etiologi
D. Patogenesis

6
E. Patofisiologis
F. Manifestasi klinik
G. Diagnosis
H. Diagnosis banding
I. Penanganan dan Pencegahan

2.7. BELAJAR MANDIRI


Mahasiswa melakukan belajar mandiri secara individu atau kelompok
berdasarkan learning objective yang telah disepakati bersama.

2.8. SINTESIS MASALAH


LO 1 : Mahasiswa mampu menjelaskan tentang Malaria:

Definisi

Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh adanya parasit


plasmodium didalam darah atau jaringan yang dibuktikan dengan
pemeriksaan mikroskopik yang positif.

Epidemiologi

Infeksi malaria tersebar pada lebih dari 100 negara di benua Afrika,
Asia, Amerika (bagian Selatan) dan daerah Oceania dan kepulauan
Caribia. Lebih dari 1.6 triliun manusia terpapar oleh malaria dengan
dugaan morbiditas 200-300 juta dan mortalitas lebih dari 1 juta pertahun.
Beberapa daerah yang bebas malaria yaitu Amerika Serikat, Canada,
Negara di Eropa (kecuali Rusia), Israel, Singapura, Hongkong, Taiwan,
Japan, Korea, Brunei dan Australia. Negara tersebut terhindar dari malaria
karena vector kontrolnya yang baik; walaupun demikian di negara tersebut
makin banyak dijumpai kasus malaria yang di impor karena pendatang dari
negara malaria atau penduduknya mengunjungi daerah-daerah malaria.

P. falciparum dan P. malariae umumnya dijumpai pada semua


negara dengan malaria; di Afrika, Haiti dan Papua Nugini umumnya
P.falciparum; P.vivax banyak di Amerika Latin. Di Amerika Selatan, Asia

7
Tenggara, negara Oceania dan India umumnya P.falciparum dan P.vivax,
P.ovale biasanya hanya di Afrika. Di Indonesia kawasan Timur mulai dari
Kalimantan, Sulawesi Tengah sampai Nusatenggara Timur serta Timor
Timur merupakan daerah endemis malaria dengan P.falciparum dan
P.vivax. Beberapa daerah di Sumatera mulai dari Lampung, Riau, Jambi
dan Batam kasus malaria cenderung meningkat. Populasi yang beresiko
terhadap malaria ialah 113 juta dari 218 juta masyarakat Indonesia.
Walaupun demikian jumlah kasus malaria telah menurun dari 2.8 juta
tahun 2001 menjadi 1.2 juta kasus pada tahun 2008.

Etiologi

Mekanisme 4 spesies plasmodium yang dapat menyerang manusia dimana


dibantu oleh vektor yang berperan dalam penularan penyakit (nyamuk
Anopheles betina) yaitu:

1. P. vivax merupakan infeksi yang paling sering dan menyebabkan


malaria tertiana/vivaks.
2. P. falciparum penyebab malaria tropika/falsiparum.
3. P. malaria penyebab malaria malariae/quartana.
4. P. ovale penyebab malaria ovale.

Siklus Hidup

Parasit berkembang biak secara aseksual dalam tubuh manusia.


Sporosat masuk ke dalam darah melalui gigitan nyamuk. Setelah setengah
jam masuk ke dalam hati membentuk siklus pre-eritrositer (trofosoi-schizont-
merozoit). Merozoit sebagian masuk kembali ke dalam hati meneruskan
siklus eksoeritrositer sedang sebagian lain masuk ke dalam darah
membentuk siklus eritrositer (merozoit- tropozoit muda-tropozoit
tua-“Schizont”-“schizont” pecah merozoit yang memasuki eritrosit baru).
Sebagian merozoit memulai gemetogoni, membentuk mikro dan
makrogametosit. Wakt antar masuknya sporezoit sampai timbulnya gejala
disebut masa tunas intrinsik yang lamanya antara 8-29 hari; tergantung dari

8
daya tahan tubuh dan spesies plasmodium (pada “palsmodium falciparum”
sangat pendek).

 Parasit berkembang biak secara seksual dalam tubuh nyamuk. Dalam


lambung nyamuk, makro dan mikrogametosit berkembang menjadi makro
dan mikrogamet, yang akan membentuk zigot (ookinet). Ookinet kemudian
menembus dinding nyamuk membentuk ookista yang membentuk banyak.
Sporozoit ini dilepaskan dan masuk ke dalam kelenjar ludah nyamuk. Waktu
antara nyamuk menghisap darah yang mengandung gematosit sampai
mengandung sporozoit dalam kelenjar liurnya disebut masa tunas ekstrinsik.

Gambar 1. Siklus Hidup Plasmodium

9
Manusia merupakan hospes perantara sedangkan nyamuk adalah
hospes definitif untuk infeksi plasmodium ini. Siklus kehidupan aseksual
(skizogoni) ditemukan pada manusia, sedangkan siklus kehidupan parasit
yang seksual (sporogoni) ditemukan pada nyamuk. Dalam siklus aseksual 1
eritrosit yang terinfeksi akan menghasilkan 6-32 merozit pada setiap kejadian
sporulasi. Infeksi oleh plasmodium malaria merupakan infeksi yang paling
ringan, hanya eritrosit matang yang diserang, siklus aseksual berlangsung
72 jam, jadi setelah 72 jam timbul generasi baru (merozoit) yang akan
menyerang eritrosit yang lain. Jumlah merozoit pun hanya 6-12 saja dari
hasil sporulasi dalam 1 eretrosit. Hanya terjadi 1-2% saja eritrosit yang
terinfeksi (parasitemia).  Infeksi, oleh plasmodium falciparum merupakan
yang terberat, karena parasit ini menyerang baik retikulosit maupun eritrosit
matang, skizogoni berlangsung cepat dalam 36-48 jam.

Dari 1 eritrosit dihasilkan banyak merozoit (20-30 merozoit). Selain itu


juga terjadi perubahan fisik pada eritrosit yang tidak dijumpai pada infeksi
plasmodium lainnya yaitu eritrosit yang terinfeksi lebih mudah saling melekat
pada endotel kapiler, membentuk trombus (aglutinasi) eritrosit yang terinfeksi
jadi lebih tipis, lebih besar diameternya dan mudah pecah di dalam sistem
retikuloendotelial.

Pada setiap adanya destruksi eritrosit timbul demam yang paroxismal


periodik mungkin timbul karena reaksi alergi terhadap zat pirogen yag
memang bebas pada waktu sporulasi perjalanan khas demam malaria.

Ketiga stadium pada gambar tersebut berlangsung 3-4 jam, kadang-


kadang 6-12 jam, lalu disusul periode tidak demam (apireksia). Juga terjadi
vasokonstriksi disusul vasodilatasi yang seirama dengan rasa menggigil dan
demam. Pada infeksi oleh plasmodium falciparum, vasodilatasi ini dapat
disertai dengan hipotensi. Banyaknya eritrosit yang pecah menimbulkan
anemia. Pigmen malaria (hemozoria) akan diambil oleh leukosit sigmen dan
monosit lalu dideposit ke dalam trabekula dan pulpa merah limpa dan sistem
retikulendotelial lainnya (hati dan otak). Limpa akan membesar karena
kongesti dan hiperplase sistem retikuloendotelial.

10
Patogenesis

Setelah melalui jaringan hati P. falciparum melepaskan 18-24 merozoit ke


dalam sirkulasi. Merozoit yang dilepaskan akan masuk ke dalam sel RES di
limpa dan mengalami fagositosis serta filtrasi. Merozoit yang lolos dari filtrasi
dan fagositosis di limpa akan menginvasi eritrosit. Selanjutnya parasit
berkembang biak secara aseksual dalam eritrosit. Bentuk aseksual parasit
dalam eritrosit yang berpotensi (EP) inilah yang bertanggung jawab dalam
patogenesis terjadinya malaria pada manusia Patogenesis malaria yang banyak
diteliti adalah patogenesis malaria yang disebabkan oleh P. falciparum.

Patogenesis malaria falsiparum dipengaruhi oleh faktor parasit dan faktor


pejamu (host). Termasuk dalam faktor parasit adalah intensitas transmisi,
densitas parasit dan virulensi parasit. Sedangkan yang masuk dalam faktor
pejamu adalah tingkat endemisitas daerah tempat tinggal, genetik, usia, status
nutrisi dan status imunologi. EP secara garis besar mengalami 2 stadium, yaitu
stadium cincin pada 24 jam I dan stadium matur pada 24 jam ke II. Permukaan
EP stadium cincin akan menampilkan antigen RESA (Ring-erythrocyte surgace
antigen) yang menghilang setelah parasit masuk stadium matur. Permukaan
membran EP stadium matur akan mengalami penonjolan dan membentuk knob
dengan Histidine Rich-protein-1 (HRP-1) sebagai komponen utamanya.
Selanjutnya bila EP tersebut berubah menjadi merozoid, akan dilepaskan toksin
malaria berupa GPI atau glikosilfosfatidilinositol yang merangsang pelepasan
TNF-α dan interleukin-1 (IL-1) dari makrofag.

Patogenesis

Peranan Sitoadherens

Sitoadherens adalah ikatan antara eritrosit yang terinfeksi parasit dengan


endotel vaskular terutama kapiler postvenula, menyebabkan terjadinya
sekuesterisasi parasit pada kapiler-kapiler organ. Mekanisme terjadinya
sitoadherens sebagai berikut.

11
Pada permukaan eritrosit yang terinfeksi parasit akan timbul tonjolan-
tonjolan yang disebut Knob. Pada knob tersebut terdapat berbagai protein
seperti HRP-1, PfEMP-1, PfEMP-2 (MESA). Protein parasit yang berperan
paling penting pada sitoadherens adalah PfEMP-1. Protein ini akan berikatan
dengan berbagai molekul adhesi pada permukaan endotel pembuluh darah
sebagai reseptornya, yaitu CD 36, CD 31, ICAM-1, ELAM-1 (E-selektin), VCAM-
1, trombospondin, asam hialuronat, kondroitin sulfat (CSA).

Ikatan antara PfEMP-1 dengan molekul adhesi ini menyebabkan eritrosit


yang terinfeksi melekat pada kapiler organ-organ tubuh, menimbulkan gangguan
aliran darah lokal, dan jika berar akan menimbulkan iskemia dan hipoksia,
dengan hasil akhir kegagalan organ. Protein PfEMP-1 sangat bervariasi, bahkan
satu parasit dengan yang lain dapat mengekspresikan protein PfEMP-1 yang
berbeda. Hal ini disebabkan PfEMP-1 dikode dari gen var yang banyak
jumlahnya dan bervariasi. Hampir pada setiap kromosom parasit terdapat
beberapa (sampai lima) gen var, dan setiap parasit mengekspresikan satu gen
var tertentu.

Peranan Sekuestrasi

Sitoaderen menyababkan EP matur tidak beredar kembali dalam sirkulasi.


Parasit dalam eritrosit metur yang tinggal dalam jaringan mikrovaskular disebut
EP matur yang mengalami sekuestrasi. Hanya P.falciparum yang mengalami
sekuestrasi, karena pada plasmodium lainnya seluruh siklus terjadi pada
pembuluh darah perifer. Sekuestrasi terjadi pada organ-organ vital dan hamper
semua jaringan dalam tubuh. Sekuestrasi tertinggi terdapat di otak, diikuti
dengan hepar dan ginjal, paru jantung, usus dan kulit. Sekuestrasi inin diduga
memegang peranan utama dalam patofisiologi malaria berat.

Peranan Rosetting

Roseting adalah berkelompaknya EP matur yang diselubungi 10 atau lebih


eritrosit yang tidak mengandung parasite. Plasmodium yang dapat melakukan
sitoaderensi juga yang dapat melakukan resetting. Rostting menyebabkan

12
obstruksi aliran darah local/dalam jaringan sehingga mempermudah terjadinya
sitoadheren.

Peran Sitokin

Sitokin terbenduk dari sel endotel, monosit dan magrifag setelah mendapat
stimulasi dari malaria toksin (LPS, GPI). Sitokin ini antara lain TNF- α (tumor
necrosis factor-alpha). Interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6), interleukin-3 (IL-
3), TL (lymphotoxin) dan interferongamma (INF-ˠ). Dari beberapa penelitian
dibuktikan bahwa penderita malaria serebral yang meninggal atau dengan
komplikasi berat seperti hipoglikemia mempunyai kadar TNF- α, IL-1, IL-6 lebih
rendah dari malaria serebral. Walaupun demikian hasil ini tidak konsisten karena
juga dijumpai penderita malaria serebral yang hidup dengan sitokin yang tinggi.
Oleh karenanya diduga adanya peran dari neurotransmitter yang lain sebagai
free-redical dalam kaskade ini seperti nitrit-oksida sebagai factor yang pernting
dalam pathogenesis malaria berat.

Peran Nitrit Oksida


Banyak yang meneliti peran mediator nitrit oksid (NO) baik dalam menimbulkan
malaria berat terutama malaria serebral, maupun sebaliknya NO justru
memberikan efek protektif karena membatasi perkembangan parasite dan
menurunkan ekspresi molekuladesi. Diduga produksi NO local di organ terutama
otak yang berlebihan dapat mengganggu fungsi organ tersebut. Sebaliknya
pendapat lain menyatakan kadar NO tertentu, memberikan perlindungan
terhadapat malaria berat. Justru kadar NO yang rendah mungkin menimbulkan
malaria berat, ditunjukkan dari rendahnya kadar nitrit total pada cairan
serebrospiral. Anak-anak penderita malaria serebral di Afrika, mempunyai kadar
arginine yang rendah. Masalah peran sitokin proinflamasi dan NO pada
pathogenesis malaria berat masih kontroversial, banyak hipotesis yang belum
dapat dibuktikan dengan jelas dan hasil berbagai penelitian sering saling
bertentangan.

13
Patofisiologi

Studi patologi malaria hanya dapat dilakukan falsiparum karena kematian


biasanya disebabkan oleh P.falciparum. selain perubahan jaringan dalam
patologi malaria yang penting ialah keadaan mikrovaskular dimana parasite
malaria berbeda. Beberapa organ yang terlibat antara lain otak, jantung-paru,
hati-limpa, ginjal, usus, dan sumsum tulang. Pada otopsi dijumpai otaj yang
membengkak dengan perdarahan petekie yang multiple pada substansi putih.
Perdarahan jarang pada substansi abu-abu. Tidak dijumpai herniasi. Hamper
seluruh pembuluh kapiler dan vena penuh dengan parasite. Pada jantung dan
paru selain sekuensi, jantung relative normal, bila anemia tampak pucat dan
dilatasi. Pada paru dijumpai gambaran edema paru, pembentukan membrane
hialin, adanya aggregasi leukosit. Pada ginjal tampak bengkak, tubulus
mengalami iskemia, sekuestrasi pada kapiler glomerulus, proliferasi sel
mesangial dan endotel. Pada pemeriksaan imunofluoresen dijumpai deposisi
immunoglobulin pada membrane basal kapiler glomerulus. Pada saluran cerna
bagian atas dapat terjadi perdarahan karena erosi, selain sekuestrasi juga
dijumpai iskemia yang diseritropoesis, makrofag mengandung banyak pigmen,
dan eritrofagositosis.

14
Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis malaria tergantung pada imunitas penderita dan tingginya


transmisi infeksi malaria. Adapun berat atau ringannya infeksi dipengaruhi oleh
beberapa hal, yaitu (FKUI, 2015):

- Jenis plasmodium (Plasmodium Falciparum sering memberikan


komplikasi)
- Daerah asal infeksi (pola resistensi terhadap pengobatan)
- Umur (usia lanjut dan bayi sering lebih berat)
- Ada dugaan konstitusi genetik
- Keadaan kesehatan dan nutrisi
- Kemoprofilaksis dan pengobatan sebelumnya

Manifestasi Umum Malaria

Malaria memiliki gambaran karakteristik demam periodik, anemia, dan


splenomegali. Masa inkubasi bervariasi pada masing-masing plasmodium.
Keluhan prodromal dapat terjadi sebelum terjadinya demam berupa kelesuan,
malaise, sakit kepala, sakit punggung, merasa dingin di punggung, nyeri sendi
dan tulang, demam ringan, anoreksia, sakit perut, diare ringan dan kadang-
kadang dingin. Keluhan prodromal sering terjadi pada malaria akibat
Plasmodium vivax dan ovale, sedangkan pada Plasmodium falciparum dan
malariae keluhan prodromal tidak jelas bahkan gejala dapat mendadak (FKUI,
2015).

Gejala klasik yaitu terjadinya Trias Malaria secara berurutan, yaitu :

 Periode dingin (15-60 menit) : mulai menggigil, penderita sering


membungkus diri dengan selimut dan pada saat menggigil sering
seluruh badan bergetar dan gigi-geligi saling terantuk, diikuti dengan
meningkatnya temperatur
 Periode panas : wajah penderita merah, nadi cepat, suhu
badan tetap tinggi beberapa jam, diikuti dengan keadaan berkeringat
 Periode berkeringat : penderita berkeringat banyak dan
temperatur turun, dan penderita merasa sehat.

15
Trias malaria lebih sering terjadi pada infeki Plasmodium vivax. Periode
tidak panas berlangsung 12 jam pada Plasmodium falciparum, 36 jam pada
Plasmodium vivax dan ovale, 60 jam pada Plasmodium malariae. Timbulnya
gejala trias malaria ini juga dipengaruhi tingginya kadar TNF-alfa (FKUI, 2015).

Gejala yang paling sering dijumpai pada infeksi malaria yaitu anemia.
Beberapa mekanisme terjadinya malaria ialah (FKUI, 2015) :

- Pengrusakan eritrosit oleh parasit


- Hambatan sementara eritropoiesis
- Hemolisis oleh karena kompleks imun yang diperantarai komplemen
- Eritrofagositosis
- Penghambatan pengeluaran retikulosit
- Pengaruh sitokin

Splenomegali atau pembesaran limpa sering dijumpai pada penderita


malaria, limpa akan teraba setelah 3- hari dari serangan infeksi akut, limpa
menjadi bengkak, nyeri dan hiperemis. Beberapa keadaan klinik dalam
infeksi malaria yaitu (FKUI, 2015) :

 Serangan primer : keadaan mulai dari akhir masa inkubasi


dan mulai terjadi serangan paroksismal yang terdiri dari
dingin/menggigil, panas dan berkeringat.
 Periode latent : periode tanpa gejala dan tanpa
parasitemia selama terjadinya infeksi malaria. Biasanya terjadi di
antara dua keadaan paroksismal.
 Rekrudesensi : berulangnya gejala klinik dan parasitemia
dalam masa 8 minggu sesudah berakhirnya serangan primer.
 Rekurens : berulangnya gejala klinik atau parasitemia
setelah 24 minggu berakhirnya serangan primer.
 Relaps / Rechute : berulangnya gejala klinik atau parasitemia
yang lebih lama dari waktu di antara serangan periodik dari
infeksi primer atau setelah periode yang lama dari masa laten
(sampai 5 tahun).

16
 Manifestasi Klinis Malaria Tertiana/ M. Vivax/ M. Benign
Pada hari-hari pertama panas ireguler, kadang remiten atau intermiten.
Serangan paroksismal biasanya terjadi pada waktu sore hari. Pada
minggu kedua limpa mulai teraba. Parasitemia mulai menurun setelah 14
hari, limpa masih bisa membesar dan panas masih berlangsung (FKUI,
2015).

 Manifestasi Klinis Malaria Malariae / Malaria Quartana


Malaria malariae banyak dijumpai di daerah Afrika, Amerika latin,
sebagian Asia. Masa inkubasi 18-40 hari. Komplikasi jarang terjadi,
sindroma nefrotika dilaporkan pada infeksi plasmodium malariae pada
anak-anak Afrika. Diduga komplikasi ginjal disebabkan oleh karena
deposit kompleks imun pada glomerulus ginjal (FKUI, 2015).

 Maniestasi Klinis Malaria Ovale


Merupakan bentuk paling ringan. Masa inkubasi 11-16 hari, serangan
paroksismal 3-4 hari terjadi malam hari dan jarang lebih dari 10x walau
tanpa terapi (FKUI, 2015)

 Manifestasi Klinis Malaria Tropika/ Malaria falciparum


Merupakan bentuk paling berat, ditandai dengan panas yang ireguler,
anemia, splenomegali, parasitemia yang sering dijumpai dan sering
terjadi komplikasi. Masa inkubasi 9-14 hari. Gejala prodromalnya yaitu
sakit kepala, nyeri tungkai/punggung, lesu, perasaan dingin, mual,
muntah, diare (FKUI, 2015).

 Manifestasi Klinis Plasmodium Knowlesi


Malaria ini dikenal sebagai Simian malaria yang menginfeksi kera
berekor panjang dikenal sebagai Mosccaca, M. Nemestrina, dan juga
Presbytis femoralis. Diagnosis pasti malaria knowlesi saat ini hnaya de b.
Diagnosis pasti malaria knowlesi saat ini hanya dengan pemeriksaan
analisis DNA dengan pemeriksaan PCR (FKUI, 2015).

17
Diagnosis

Diagnosis malaria ditegakkan seperti diagnosis penyakit lainnya


berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium. Diagnosis pasti
infeksi malaria dilakukan dengan menemukan parasit dalam darah yang
diperiksa dengan mikroskop. Peranan diagnosis laboratorium terutama untuk
menunjang penanganan klinis. (Depkes RI, 2008)

1. Anamnesis

Pada anamnesis sangat penting diperhatikan:

 Keluhan utama: demam, menggigil, berkeringat dan dapat disertai


sakit kepala, mual, muntah, diare, nyeri otot dan pegal-pegal.
 Riwayat berkunjung dan bermalam 1-4 minggu yang lalu ke daerah
endemik malaria.
 Riwayat tinggal di daerah endemik malaria.
 Riwayat sakit malaria.
 Riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir.
 Riwayat mendapat transfusi darah.

Selain hal diatas pada penderita tersangka malaria berat, dapat ditemukan
keadaan berupa gangguan kesadaran dalam berbagai derajat, keadaan umum
yang lemah, kejang-kejang, panas sangat tinggi, mata atau tubuh kuning,
perdarahan hidung, gusi, atau saluran pencernaan. Pada penderita malaria
berat sering ditemukan nafas cepat dan atau sesak nafas, muntah terus-
menerus dan tidak dapat makan minum, warna air seni seperti teh tua dan dapat
sampai kehitaman, jumlah air seni kurang (oliguria) sampai tidak ada (anuria).
(Depkes RI, 2008)

2. Pemeriksaaan Fisik :

a. Demam (T ≥ 37,5°C).
b. Konjungtiva atau telapak tangan pucat.
c. Pembesaran limpa (splenomegali).

18
d. Pembesaran hati (hepatomegali).

(Depkes RI, 2008)

3. Pemeriksaan Laboratorium

1. Tetesan preparat darah tebal


Cara ini adalah cara terbaik untuk menemukan parasit malaria.
Pemeriksaan dilakukan selama 5 menit dan dinyatakan negatif bila
setelah pemeriksaan 100 lapangan pandang dengan perbesaran kuat
700-1000 kali tidak ditemukan parasit. Cara ini terutama digunakkan
untuk menilai kepadatan parasit dengan intepretasi sebagai berikut:
+ : 1-10 parasit per 100 lapangan pandang
++ : 11-100 parasit per 100 lapangan pandang
+++ : 1-10 parasit per satu lapang pandang
++++ : 11-100 parasit per satu lapang pandang
(Depkes RI, 2008)
Selain itu dapat juga dilakukan hitung parasit dengan rumus sebagai
berikut:

Jumlah parasit stadium aseksual x jumlah leukosit/μl

200

(Depkes RI, 2008)

2. Tetesan darah tipis


Pemeriksaan ini digunakan untuk identifikasi jenis plasmodium. Hitung
jumlah parasit dapat dilakukan dengan rumus sebagai berikut:

Jumlah parasit stadium aseksual x jumlah eritrosit/μl

total eritrosit dalam 25 lapangan pandang

Bila jumlah parasit >100.000/ul darah menandakan infeksi berat.

19
(Depkes RI, 2008)

3. Tes antigen : P-F test


Tes ini berguna untuk mendeteksi antigen dari plasmodium falciparum
(Histidin Rich Protein II). Selain itu juga ada deteksi untuk P. Vivax
dengan mendeteksi laktat dehidrogenase dari plasmodium dengan cara
immunochromatographi. (Harijanto, 2009)
4. Tes serologi
Tes ini berguna untuk mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap
malaria atau pada keadaan dimana parasit sangat minimal. Manfaat tes
serologi terutama untuk penelitian epidemiologi atau alat uji saring donor
darah. Titer > 1:2000 dianggap sebagai infeksi baru, dan tes > 1:20
dinyatakan positif. (Harijanto, 2009)

5. Pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction)


Pemeriksaan ini dianggap sangat peka dengan teknologi amplifikasi
DNA, waktu dipakai cukup cepat dan sensitivitas maupun spesifisitasnya
tinggi. Keunggulan tes ini adalah dapat mendeteksi parasit dalam jumlah
minimal, tetapi pemeriksaan PCR belum dipakai sebagai alat
pemeriksaan rutin. (Harijanto, 2009)

Diagnosis Banding

A. DBD (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2015)


Definisi
Merupakan penyakit demam akut akibat infeksi virus dengue, dengan
manisfestasi yang sangat bervariasi, mulai dari demam akut hingga sindrom
renjatan yang dapat menyebabkan mortalitas.

Etiologi

20
Disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam genus Flavivirus, famili
Flaviviridae, dan terdiri dari empat serotipe: DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan
DEN-4. Serotipe yang paling dominan dan ditemukan pada kasus DBD
adalah DEN-3.

Patogenesis
Virus Dengue ditransmisi melalui nyamuk Aedes aegypti atau Aedes
albopictus. Vektor tersebut tersebar luas di daerah tropis dan subtropis di
berbagai belahan dunia. Virus dengue masuk ke sirkulasi perifer manusia
melalui gigitan nyamuk. Virus akan berada didalam darah sejak fase
akut/fase demam hingga klinis demam menghilang. Demam merupakan
tanda utama infeksi dengue, terjadi mendadak tinggi, selama 2 – 7 hari.
Demam juga disertai gejalan lain seperti lesu, anoreksia, dan muntah. Pada
DBD, terjadi peningkatan permeabilitas vaskular yang menyebabkan
kebocoran plasma ke jaringan. Kondisi tersebut dapat mengakibatkan syok
hipovolemia. Pada kasus DBD, tanda hepatomegali dan kelainan fungsi hati
lebih sering ditemukan. Trombositopenia pun terjadi akibat beberapa
mekanisme yang kompleks, seperti gangguan megariositopoiesis serta
peningkatan destruksi dan konsumsi trombosit.

Gejala Klinis
Demam Berdarah Dengue ditandai oleh 4 manifestasi klinis, yaitu demam
tinggi, perdarahan, terutama perdarahan kulit, hepatomegali, dan kegagalan
peredaran darah (circulatory failure). Fenomena patofisiologi utama yang
menentukan derajat penyakit dan membedakan DBD dari DD ialah
peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunnya volume
plasma, trombositopenia, dan diatesis hemoragik. Pada DBD terdapat
perdarahan kulit, uji tournique positif, memar, dan perdarahan pada tempat
pengambilan darah vena. Petekia halus yang tersebar di anggota gerak,
muka, aksila seringkali ditemukan pada masa dini demam. Epistaksis dan
perdarahan gusi jarang dijumpai, sedangkan perdarahan saluran
pencernaan hebat lebih jarang lagi dan biasanya timbul setelah renjatan
yang tidak dapat diatasi. Perdarahan lain, seperti perdarahan subkonjungvita

21
kadang – kadang ditemukan. Pada masa konvalesens seringkali ditemukan
eritema pada telapak tangan/telapak kaki.

Diagnosis
1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis
- Demam: tinggi, bersifat kontinu, dan berlansung selama dua hingga
tujuh hari pada kebanyakan kasus.
- Adanya tanda – tanda perdarahan, termasuk uji turniket positif,
petekie, epistaksis, perdarahan gusi, dan hematemesis.
- Temuan hepatomegali.
- Tanda – tanda syok
2. Pemeriksaan Laboratorium
- Trombositopenia (≤ 100.000/mm3)
- Hemokonsentrasi: peningkatan hematokrit ≥ 20 % dari nilai awal.

B. Demam Tifoid (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2015)

Definisi
Infeksi sistemik oleh bakteri Salmonella sp. Sebagian besar kasus terjadi
pada anak berusia >5 tahun.

Etiologi
Sekitar 95% kasus demam tifoid di Indonesia disebabkan oleh S. typhi,
sementara sisanya disebabkan oleh S. paratyphi. Keduanya merupakan
bakteri Gram - negatif. Masa inkubasi sekitar 10 - 14 hari.

Patogenesis
Bakteri awalnya masuk bersama makanan hingga mencapai epitel usus
halus (ileum) dan menyebabkan inflamasi lokal, fagositosis, serta plepasan
endotoksin di lamina propria. Bakteri kemudian menembus dinding usus
hingga mencapai jaringan limfoid ileum yang disebut plak Peyer. Daru
tempat tersebut, bakteri dapat masuk ke aliran limfe mesenterika hingga ke
aliran darah, bertahan hidup dan mencapai jaringan retikuloendotel untuk
bermultiplikasi memperoduksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP
di dalam kripta usus yang menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke lumen

22
interstinal. Selanjutnya, bakteri kembali beredar ke sirkulasi sistemik dan
menginvasi organ lain, baik intra maupun ekstraintestinal.

Gejala Klinis

 Masa inkubasi (10-14 hari); asimtomatis.


 Fase invasi: demam ringan, naik secara bertahap, terkadang suhu
malam lebih tinggi dibandingkan pagi hari. Gejala lainnya ialah nyeri
kepala, rasa tidak nyaman pada saluran cerna, mual, muntah, sakit
perut, batuk, lemas, konstipasi.
 Di akhir minggu pertama, demam telah mencapai suhu tertinggi dan akan
konstan tinggi selama minggu kedua. Tanda lainnya ialah bradikardia
relatif, hepatomegali, splenomegali, serta diare dan konstipasi.
 Pada stadium evolusi, demam mulai turun perlahan, tetapi dalam waktu
yang cukup lama. Dapa terjadi komplikasi perforasi usus.

Diagnosis
Diagnosis demam tifoid ditegakkan apabila ditemukan gejala klinis tifoid yang
didukung dengan minimal salah satu pemeriksaan penunjang berikut:

 Uji diagnostik lainnya yang lebih sensitif dan spesifik, seperti serologi
IgM, Immunoblotting, DNA probe, serta pemeriksaan PCR.
 Biakan Salmonella typhi.

C. Demam Chikungunya (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2015)

Definisi
Suatu penyakit infeksi virus akut yang ditandai dengan sekumpulan gejala
yang mirip dengan gejala infeksi virus dengue.

Etiologi
Virus chikungunya termasuk genus alphavirus dan famili dari Togaviviridae,
yang dibuktikan dengan menggunakan tes antigenik hemaglutinasi inhibisi
(HI) dan complemen fixation (CF) test. Virus chikungunya merupakan partikel
berbentuk sferis berdiameter kurang lebih 42 nm. Virus ini memiliki
pembungkus yang mengandung lipid dengan tonjolan halus. Intinya

23
berdiamater kurang lebih 25-30 nm yang pada potongan melintang
berbentuk heksagonal dan virus ini memiliki genom single strainded RNA.

Gejala Klinis

Gejala klinis yang sering dijumpai berupa demam tinggi mendadak selama 1
– 6 hari, disertai dengan sakit kepala, fotofobia ringan, mialgia, dan atralgia
yang melibatkan berbagai sendi, serta dapat pula disertai anoreksia, mual,
dan muntah. Nyeri sendi (atralgia dan/atau atritis) merupakan gejala yang
menonjol dan dapat menjadi persisten. Pada kulit sering ditemukan adanya
petekiae atau ruam makulopapular pada tubuh dan ekstremitas yang
mengikuti atau terjadi dengan segera setelah demam. Pada saat ini sering
terjadi limfadenopati hebat. Demam pada umumnya akan mereda setelah 2
hari, namun keluhan lain, seperti nyeri sendri, penyakit dengue dan
chikungunya sama. Infeksi chikungunya lebih cepat durasinya dibandingan
dengan dengue. Ruam makulopapular terminal, atralgia atau atritis dan
injeksi konjungtiva lebih umum pada chikungunya dibandingkan dengan
dengue. Syok dilaporkan jarang terjadi pada chikungunya.

Diagnosis
Ditegakkan dari pemeriksaan serologi yang terlihat dari peningkatan antibodi
yang signifikan setelah timbulnya penyakit. Sampel serum yang diambil
sampai dengan hari ke – 5 dari onset demam tidak akan mengandung HI,
CF, dan neutralizing antibody. Neutralizing dan HI antibodi umumnya terjadi
pada sampel yang dikumpulkan 2 minggu atau setelah onset demam.
Complement fixing antibody berkembang lebih lambat. Isolasi virus dilakukan
dengna inokulasi serum fase akut atau materi intraserebri yang
mencurigakan pada tikus usia 1 atau 2 hari atau kultur jaringan. Pada pasasi
awal, kematian dapat terjadi dalam waktu 2 -5 hari setelah inokulasi. Sel vero
dan tikus yang menyusui sama – sama efektif untuk isolasi primer.

Penanganan dan Pencegahan

24
PENANGANAN MALARIA

 Penanganan Malaria Tanpa Komplikasi


o Dikutip dari buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Indonesia Prinsip pengobatan malaria :
 Penderita tergolong malaria tanpa komplikasi diobati
dengan ACT (Artemisinin base Combination Therapy)
 Penderita malaria berat diobati dengan Artesunate intra
venous
 Pemberian pengobatan dengan ACT harus berdasarkan
hasil pemeriksaan darah mikroskopik positif atau RDT
yang positif
 Pengobatan harus radikal dengan penambahan
primakuin(Ilmu Penyakit Dalam, 2014).
 Pengobatan Malaria
Secara global WHO telah menetapkan pengobatan malaria tanpa
komplikasi dengan memakai obat ACT (Artemisinin base Combination
Therapy). Golongan artemisinin (ART) telah dipilih sebagai obat utama
karena efektif dalam mengatasi plasmodium yang resisten dengan
pengobatan. Selain itu artemisinin juga bekerja membunuh plasmodium
dalam semua stadium termasuk gametosit. Juga efektif terhadap semua
spesies, P. Falciparum, P. Vivax, maupun lainnya. Kegagalan dini
terhadap ART belum dilaporkan saat ini.
Golongan Artemisinin : Berasal dari tanaman Artemisia annua. L
yang disebut dalam bahasa Cina sebagai Qinghaosu. Obat ini termasuk
kelompok seskuisterpen lakton mempunyai beberapa formula seperti :
artemisinin, artemeter, arte-eter, artesunat, asam artelinik dan
dihidroartemisinin. Obat ini bekerja sangat cepat dengan paruh waktu
kira-kira 2 jam, larut dalam air, bekerja sebagai obat sizontocidal darah.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemakaian artemisinin
sebagai obat tunggal menimbulkan terjadinya rekrudensi, maka
direkomendasikan untuk dipakai dengan kombinasi obat lain. Dengan
demikian juga akan memperpendek lama pemakaian obat. Obat ini cepat
diubah dalam bentuk aktifnya (dihidroartemisinin) dan penyediaan ada

25
yang oral, perenteral/injeksi, dan suppositoria(Ilmu Penyakit Dalam,
2014).
 PENGOBATAN ACT (ARTEMISININ BASE COMBINATION THERAPY)
Dikutip dari buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Indonesia Penggunaan golongan artemisinin secara monoterapi mudah
mengakibatkan terjadinya rekrudensi. Karenanya WHO memberikan
petunjuk penggunaan artemisinin dengan mengkombinasikan dengan
obat anti malaria yang lain. Hal ini disebut Artemisinin base Combination
Therapy (ACT). Kombinasi obat ini dapat berupa kombinasi dosis tetap
(fixed dose combination = FDC) atau kombinasi tidak tetap (non-fixed
dose combination). Sampai dengan tahun 2010 WHO telah
merekomendasikan 5 jenis ACT, yaitu :
 Artemether + Lumefantrine (FDC)
 Artesunate + Mefloquine
 Artesunate + Amodiaqine
 Artesunate + sulfadoksin-pirimetamine
 Dihidroartemisinin + Piperakuine (FDC)

ACT merupakan kombinasi pengobatan yang unik, karena


artemisinin memiliki kemampuan :

 Menurunkan biomass parasite dengan cepat


 Menghilangkan simptom dengan cepat
 Efectif terhadap parasit multi-drug resisten, semua
bentuk/stadium parasit dari bentuk muda sampai tua yang
berkuestrasi pada pembuluh kapiler.
 Menurunkan pembawa gamet, menghambat transmisi
 Belum ada resistensi terhadap artemisinin
 Efek samping yang minimal

Dari kombinasi di atas yang tersedia di Indonesia saat ini ialah


kombinasi artesunate + amodiakuin dengan nama dagang
“Artesdiaquine” atau “Arsuamoon”, tiap tablet artesunate berisi 50 mg
dan tiap tablet amodiakuin berisi 200 mg. Di dalam kemasan blister terdiri
dari 4 tablet artesunate (warna putih) dan 4 tablet amodiakuin (warna

26
kuning). Pada dosis orang dewasa dengan BB diatas 50 kg diberikan
dosis pengobatan hari I sampai dengan hari ketiga masing-masing
minum 8 tablet yang terdiri dari 4 tablet artesunate dan 4 tablet
amodiakuin. Pengobatan ACT saat ini memakai dosis pemberian selama
3 hari.

ACT yang ke-2 ialah kombinasi dihydroartemisinin + piperakuin


(DHP), dengan nama dagang “Arterekin” atau “Darplex” atau “Artekin”
atau “Artep”, merupakan kombinasi dosis tetap (FDC) dimana tiap tablet
terdiri dari dihidroartemisinin 40 mg dan piperakuin 320 mg. Pada orang
dewasa diatas 50 kg diberikan dosis 4 tablet/hari selama 3 hari. Kedua
kombinasi ACT ini tersedia di semua fasilitas kesehatan pemerintah
karena merupakan obat program pada eliminasi malaria.ACT yang ke-3
ialah kombinasi dosis tetap (FDC) dimana tiap tablet terdiri dari artemeter
20 mg dan lumefantrine 120 mg, nama dagangnya ialah “Coartem”.
Dosis orang dewasa diatas 50 kg ialah 4 tablet, 2x sehari selama 3 hari.
Kombinasi ini tersedia di Indonesia bukan sebagai obat program tetapi
tersedia untuk fasilitas swasta (tersedia di Apotek) dan juga termasuk
obat dalam daftar ASKES(Ilmu Penyakit Dalam, 2014).

Pengobatan Lini Pertama Malaria Falsiparum Menurut Kelompok Umur


dengan Artesunat-Amodiaquin

Jumlah tablet per hari menurut kelompok umur

0 - 1 2 - 11 1 - 4 5 - 9 10 - 14 > 15
Hari Jenis obat bulan bulan tahun tahun tahun tahun

0 - 4 kg 4 - 10 10 - 20 20 – 40 40 – 60 > 60 kg
kg kg kg kg

1 Artesunat ¼ ½ 1 2 3 4

Amodiakuin ¼ 1 2 3 4

Primakuin - - ¾ 1½ 2 2–3

2 Artesunat ¼ ½ 1 2 3 4

27
Amodiakuin ¼ ½ 1 2 3 4

3 Artesunat ¼ ½ 1 2 3 4

Amodiakuin ¼ ½ 1 2 3 4

 Amodiakuin basa = 10 mg/kgBB dan Artesunat = 4 mg/kgBB.


 Primakuin = 0,75 mg/kgBB
(Ilmu Penyakit Dalam, 2014)

Pengobatan Lini Pertama Malaria Falsiparum Menurut Kelompok Umur


dengan Dihydro-Artemisinin + Piperaquin (Dhp)

Jumlah tablet perhari menurut kelompok umur

0 - 1 2 - 11 1 - 4 5 - 9 10 - 14 > 15
Jenis
Hari bulan bulan tahun tahun tahun tahun
obat
0 - 5 kg 6 - 10 11 - 17 18 - 30 31 - 60 > 61 kg
kg kg kg kg

1 DHP ¼ ½ 1 1,5 2 3–4

Primakuin - - ¾ 1½ 2 2–3

2-3 DHP ¼ ½ 1 1,5 2 3–4

 Dosis obat : Dihydroartemisinin = 2 – 4 mg/kgBB


 Piperaquin = 16 – 32 mg/kgBB
 Primakuin = 0,75 mg/kgBB
(Ilmu Penyakit Dalam, 2014)

Dosis penggunaan artemeter-lumefantrine (A-L) untuk Malaria


Falsiparum
Hari Jenis Umur < 3 > 3 - 8 > 9 - 14 > 14
obat tahun tahun tahun tahun

28
Berat
15 – 24 25 – 34
Badan Jam 5 – 14 kg > 34 kg
kg kg
(Kg)

1 A-L 0 jam 1 2 3 4

A-L 8 jam 1 2 3 4

Primakuin 12 jam ¾ 1½ 2 2–3

2 A-L 24 jam 1 2 3 4

A-L 36 jam 1 2 3 4

3 A-L 48 jam 1 2 3 4

A–L 60 jam 1 2 3 4

Pengobatan malaria Vivaks dengan Dihydroartemisinin + Piperaquin


(DHP)
Jumlah teblet perhari menurut kelompok umur

0 - 1 2 - 11 1 - 4 5 – 9 10 – 14 > 15
Jenis
Hari bulan bulan tahun tahun tahun tahun
obat
0 – 5 6 – 10 11 – 17 18 – 30 31 – 60 > 60 kg
kg kg kg kg kg

1-3 DHP ¼ ½ 1 1,5 2 3–4

1 - 14 Primakuin - - ¼ ½ ¾ 1

(Ilmu Penyakit Dalam, 2014)

Klasifikasi Respons Pengobatan Menurut WHO 2001, 2003, 2009

Respons Keterangan

Kegagalan Pengobatan Bila penderita berkembang dengan salah satu

29
Dini (ETF = Early keadaan :
Treatment Failure)
Ada tanda bahaya/malaria berat pada H1, H2, H3,
dan parasitemia.

Parasitemia pada H2 > H0.

Parasitemia pada H3 > = 25 % H0.

Parasitemia pada H3 dengan Temp. > 37,50C

Kegagalan Pengobatan Bila penderita berkembang dengan salah satu


Kasep keadaan sbb pada H4-H28 yang sebelumnya tidak
ada persaratan ETF sbb:
(LTF = Late Treatment
Failure) Ada tanda/bahaya malaria berat setelah H3 dan
parasitemia (jenis parasit = H0).

Parasitemia pada H4-H28 (H42) disertai temperatur


> 37,50C (disebut Late Clinical Failure = LCF)

Parasitemia pada H7 – H28 (H42) (jenis parasit =


H0), tanpa demam disebut Late Parasitological
Failure (LPF)

Respon Klinis Memadai Bila penderita sebelumnya tidak berkembang


dengan salah satu persaratan ETF dan LTF, dan
(ACR = Appropriate Clinical
tidak ada parasitemia selama diikuti sampai H28
Respon)
(H42).

(Ilmu Penyakit Dalam, 2014)

 PENGOBATAN NON-ACT
Di beberapa daerah di Indonesia, kebanyakan sudah resisten
terhadap pengobatan non-ACT. Namun, masih ada obat non-ACT yang
efektif digunakan di beberapa daerah, seperti klorokuin dan sulfadoksin-
pirimetamin, namun harus dengan monitoring yang tepat. Obat-obat non-
ACT yang digunakan meliputi (Sudoyo, Aru W., 2010) :

30
o Klorokuin difosfat/sulfat. 250 mg garam (150 mg basa), dosis 25
mg basa/kgBB untuk 3 hari, terbagi menjadi 10 mg/kgBB untuk
hari pertama dan kedua, dilanjutkan 5 mg/kgBB untuk hari ketiga.
Untuk orang dewasa dapat dipakai 4 tablet untuk hari pertama
dan kedua, dan 2 tablet untuk hari ketiga. Obat ini efektif untuk
P.falciparum dan P.vivax.
o Sulfadoksin-Pirimetamin. Mengandung 500 mg Sulfadoksin dan
25 mg pirimetamin. Dosis untuk orang dewasa 3 tablet dosis
tunggal (1 kali). Dosis anak menggunakan takaran pirimetamin
1,25 mg/kgBB. Obat ini dipakai untuk P.falciparum dan tidak
efektif untuk P.vivax. Obat ini dipakai bila terjadi kegagalan dalam
penggunaan klorokuin.
o Kina Sulfat. 1 tablet mengandung 220 mg kina. Dosis yang
dianjurkan adalah 3 x 10 mg/kgBB elam 7 hari. Efektif untuk
P.falciparum dan P.vivax. Kina digunakan jika terjadi kegagalan
dalam penggunaan klorokuin dan sulfadoksin-pirimetamin.
o Primakuin. 1 tablet mengandung 15 mg primakuin. Digunakan
sebagai obat pelengkap terhadap pengobatan P.vivax dan
P.falciparum. Pada P.falciparum dosisnya 45 mg (3 tablet) dosis
tunggal untuk membunuh gametosit, sedangkan untuk
plasmodium vivax dosisnya 15 mg/hari selama 14 hari untuk
membunuh gametosit dan hipnozoit (anti-relaps).

 PENGOBATAN KOMBINASI NON-ACT


Apabila resistensi masih rendah dan belum terjadi multiresistensi,
belum tersedianya golongan obat artemisinin, dapat digunakan obat non-
ACT kombinasi. Bbeberapa kombinasi yang dapat digunakan adalah
sebagai berikut (Sudoyo, Aru W., 2010) :
o Klorokuin + sulfadoksin-pirimetamin
o Sulfadoksin-pirimetamin + kina
o Klorokuin + doksisiklin
o Klorokuin + tetrasiklin
o Sulfadoksin-pirimetamin + doksisiklin

31
o Sulfadoksin-pirimetamin + tetrasiklin
o Kina + doksisiklin
o Kina + tetrasiklin
o Kina + klindamisin

Pemakain obat-obat di atas harus selalu dimonitoring dengan


tepat agar dapat mencegah resistensi yang luas. (Sudoyo, Aru W., 2010)

 Untuk Plasmodium Falciparum :


1. Lini I : Artesunat + Amodiakin (Ilmu Penyakit Dalam, 2011)
Artesunat 50 mg per tablet dan Amodiakin 200 mg
per tablet selama 3 hari. 4 mg/ kgBB/ hari untuk
srtesunat dan 10 mg/kgBB/hari untuk amodiakin.

2. Lini II : Kina + Deoxiciklin/tetrasiklin/kindalin.


Tablet kina yang beredar di Indonesia sekarang mengandung 200
mg kina fosfat atau sulfat. Kina diberikan secara per-oral, 3 kali sehari
dengan dosis 10 mb/kgbb/kali selama 7 hari. (Ilmu Penyakit Dalam,
2011)

 Untuk Plasmodium Vivax dan Plasmodium Ovale :

1. Lini I : Artesunat + Amodiakin


Artesunat 50 mg per tablet dan Amodiakin 200 mg
per tablet selama 3 hari. 4 mg/ kgBB/ hari untuk
srtesunat dan 10 mg/kgBB/hari untuk amodiakin.
(Ilmu Penyakit Dalam, 2011)
2. Lini II : Kina + Primakuin
Dosis primakuin adalah 0,25 mg/kgbb/hari yang
diberikan selama 14 hari. Tablet kina yang beredar
di Indonesia sekarang mengandung 200 mg kina
fosfat atau sulfat. Kina diberikan secara per-oral, 3
kali sehari dengan dosis 10 mb/kgbb/kali selama 7
hari. (Ilmu Penyakit Dalam, 2011)
 Untuk Plasmodium Malariae :

32
Pengobatan malaria malariae cukup diberikan ACT 1 kali per hari
selama 3 hari dengan dosis yang sama dengan pengobatan malaria
lainnya. (Ilmu Penyakit Dalam, 2011)

PENCEGAHAN MALARIA

 Untuk mengatasi penyakit malaria, yang harus dilakukan adalah


memutuskan mata rantai penularan penyakit. Oleh karena itu, untuk
memutuskan mata rantai penularan penyakit harus memutuskan
hubungan antara ketiga faktor penyebab penyakit (agent, host, dan
enviroment ). (Harjanto,Malaria)
 Untuk melenyapkan faktor penyebab agent berkembang biak, maka
harus melenyapkan tempat hidup agent yaitu nyamuk Anopheles,
dan membunuh kuman yang ada dalam tubuh manusia dengan cara
pengobatan. Upaya yang dilakukan adalah penemuan dan
pengobatan penderita malaria.
 Untuk melenyapkan nyamuk anopheles, maka harus membunuh
nyamuk anopheles dengan penyemprotan nyamuk, dan melenyapkan
tempat perindukan nyamuk.
 Lingkungan tempat perindukan nyamuk harus dilenyapkan dengan
cara tidak membiarkan adanya genangan-genagan air di lingkungan
manusia.
 Untuk mencegah nyamuk menggigit manusia, maka diupayakan
dengan tidur memakai kelambu, memakai lation anti nyamuk, dll.
(Harjanto,Malaria)

Dapat dilakukan dengan :

Menghindari gigitan nyamuk Anopheles

Yang perlu dilakukan :

 Mengaktifkan obat nyamuk : bakar, spray, elektrik;


 Memakai kelambu

33
 Memakai pakaian yang dapat menutupi badan, dari mata kaki hingga
pergelangan tangan
 Mengolesi badan dengan obat anti nyamuk
 Memasang kawat kasa
 Menjauhkan kandang ternak dari rumah
 Menghindari berada diluar rumah pada malam hari.
(Harjanto,Malaria)

Membersihkan tempat hinggap/peristirahatan nyamuk Anopheles

Yang perlu dilakukan :

 Membersihkan semak-semak;
 Melipat kain-kain yang bergantungan;
 Membuka jendela dan memasang genteng kaca;
 Mengecat rumah dengan warna terang. (Harjanto,Malaria)

Meniadakan tempat perkembangbiakan nyamuk Anopheles

Yang perlu dilakukan :

 Mengalirkan air tergenang;


 Menimbun lubang/kubangan/cekungan tanah yang dapat
menampung air;
 Membersihkan lumut di daerah lagun;
 Membersihkan sampah (misalnya dedaunan) yang ada di air;
 Mengatur rotasi pola tanam sawah (misalnya padi dan palawija)
 Tidak melakukan penambangan liar yang menyebabkan adanya
genangan liar yang tidak terpelihara. (Harjanto,Malaria)

Kemoprofilaksis perlu diketahui sensitivitas plasmodium di tempat tujuan

Yang perlu dilakukan :

34
 Bila daerah dengan klorokuin sensitive cukup profilaksis dengan 2
tablet klorokuin (250mg klorokuin diphospat) tiap minggu sebelum
berangkat dan 4 minggu setelah kembali.
 Pada daerah resistensi dengan klorokuin dianjurkan dosisiklin
100mg/hari atau mefloquin 250mg/minggu atau klorokuin 2
tablet/minggu ditambah proguanil 200mg/hari. Obat paru yang
dipakaiuntuk pencegahan yaitu primakuin dosis 0,5mg/kg BB/hari;
etaquin, atovaquone/proguanil (malarone) dan azitromycin.
(Harjanto,Malaria)

VAKSINASI MALARIA

Vaksinasi terhadap malaria masih tetap dalam pengembangan. Hal yang


menyulitkan ialah banyaknya antigen yang terdapat pada plasmodium selain
pada masing-masing bentuk stadium pada daur plasmodium. Oleh karena yang
berbahaya adalah P. falciparum sekarang baru ditujukan pada pembuatan
vaksin untuk proteksi terhadap P. falciparum. Pada dasarnya ada 3 jenis vaksin
yang dikembangkan, yaitu vaksin sporozoit (bentuk intrahepatik), vaksin
terhadap bentuk aseksual dan vaksin transmission blocking untuk melawan
bentuk gametosit. Vaksin bentuk aseksual yang pernah dicoba ialah SPF66 atau
yang dikenal sebagai vaksin Patarroyo, yang pada penelitian akhir-akhir ini tidak
dapat dibuktikan manfaatnya. Vaksin sporozoit bertujuan mencegah sporozoit
menginfeksi sel hati sehingga diharapkan infeksi tidak terjadi. Vaksin ini
dikembangkan melalui ditemukannya antigen circumsporozoit. Uji coba pada
manusia tampaknya memberikan perlindungan yang bermanfaat, walaupun
demikian uji lapangan sedang dalam persiapan. HOFFMAN berpendapat bahwa
vaksin yang ideal ialah vaksin yang multi-stage (sporozoit, aseksual), multivalent
(terdiri dari beberapa antigen) sehingga memberikan respon multi-imun. Vaksin
ini dengan teknologi DNA akan diharapkan memberikan respons terbaik dan
harga yang kurang mahal (Ilmu Penyakit Dalam, 2014).

35
BAB III
PENUTUP

1.
2.
3.
3.1. Kesimpulan

Malaria merupakan penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh


plasmodium yang menyerang eritrosit. Infeksi ini memberikan gejala berupa
demam, mengigil, anemia, dan splenomegali. Dapat berlangsung akut
maupun kronik,. Infeksi malaria dapat berlangsung tanpa komplikasi atau
mengalami komplikasi sistemik yang dikenal sebagai malaria berat.
Malaria adalah suatu penyakit protozoa dari genus plasmodium yang
ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles betina. Malaria dapat juga
ditularkan secara langsung melalui transfusi darah, jarum suntik serta dari
ibu hamil kepada bayinya. Pada manusia terdapat 5 spesis Plasmodium
yaitu falciparum, vivax, malariae, ovale dan knowlesi. Adapun diagnosis
banding dari malaria adalah demam dengue dan demam tifoid.

3.2. Saran

Mengingat masih banyaknya kekurangan dari kelompok kami, baik


dari segi diskusi kelompok, penulisan tugas tertulis dan sebagainya, untuk itu
kami mengharapkan kritik dan saran dari dosen-dosen yang mengajar baik
sebagai tutor maupun dosen yang memberikan materi kuliah, dari rekan-
rekan angkatan 2017 dan dari berbagai pihak demi kesempurnaan laporan.
Dan kami berharap semoga laporan ini bisa berguna bagi para pembaca.

36
DAFTAR PUSTAKA

P.N., Harijanto, Malaria Dari Molekuler Ke Klinis, Edisi 2, Ed P.N., Harijanto,


2009, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, pp 118-144.

UI, FK. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI jilid I. Jakarta:
InternaPublishing.

37

Anda mungkin juga menyukai