Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

PATOFISIOLOGI DEMAM

Disusun oleh :
Latifa Yasmine
030.15.101

Pembimbing :
dr. Andri Firdaus, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARAWANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
KATA PENGANTAR

Pertama-tama saya panjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
anugerah-Nya, saya dapat menyelesaikan referat dengan judul “Patofisiologi
demam”.
Referat ini dibuat oleh dokter muda Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti demi
memenuhi tugas di kepaniteraan klinik bagian Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit
Umum Daerah Karawang. Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada :
1. dr. Andri Firdaus, Sp.A dokter pembimbing yang telah memberikan saran
dan koreksi dalam penyusunan referat ini.
2. Teman-teman dokter muda dan semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan referat ini.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan referat ini masih banyak kekurangan.
Oleh karena itu, segala kritik dan saran dari semua pihak yang untuk
menyempurnakan referat ini. Demikian yang penulis dapat sampaikan, semoga
referat ini dapat bermanfaat.

Karawang, November 2019

Latifa Yasmine
030.15.101

i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

PERSETUJUAN

Referat

Judul :

PATOFISIOLOGI DEMAM

Nama : Latifa Yasmine


NIM : 030.15.101

Telah disetujui untuk dipresentasikan


Pada Hari ………….., Tanggal ……………………….. 2019

Pembimbing,

dr. Andri Firdaus, Sp.A

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


LEMBAR PERSETUJUAN.................................................................................... ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................2
2.1 Definisi .........................................................................................................2
2.2 Etiologi ........................................................................................................2
2.2.1 Kelompok Usia Anak Dengan Demam ...............................................2
2.3 Patofisiologi .................................................................................................4
2.4 Jenis Demam ................................................................................................6
2.5 Pemeriksaan .................................................................................................7
2.5.1 Pemeriksaan Suhu Tubuh....................................................................7
2.5.2 Pemeriksaan Keadaan Umum ...........................................................10
2.6 Pengelolaan ................................................................................................10
2.7 Keadaan Khusus Akibat Demam ...............................................................13

BAB III KESIMPULAN ........................................................................................16


DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................17

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Demam pada anak merupakan alasan konsultasi tersering ke dokter anak dan
dokter umum, sekitar 30% dari seluruh total kunjungan. Demam merupakan reaksi
normal tubuh yang bermanfaat melawan kuman. Anak yang menderita demam
merupakan sebagian dari pasien yang berobat ke dokter anak (19-30%) dan pada
umumnya tidak ada seorang dokter anak manapun yang merasa nyaman
menghadapi anak dengan demam. Demam dapat merupakan tanda permulaan
adanya infeksi, namun demam juga bisa disebabkan oleh adanya kelainan
metabolik dan sebab-sebab lain-lain. Masalah demam pada anak sifatnya terbuka,
banyak sekali kemungkinan yang tak terduga. (1)
Demam pada anak merupakan hal yang paling sering dikeluhkan oleh orang
tua mulai diruang praktek dokter sampai ke unit gawat darurat (UGD) anak,
meliputi 10-30% dari jumlah kunjungan. Demam membuat orang tua atau pengasuh
menjadi risau. Sebagian besar anak-anak mengalami demam sebagai respon
terhadap infeksi virus yang bersifat self limited dan berlangsung tidak lebih dari 3
hari atau infeksi bakteri yang tidak memerlukan perawatan di rumah sakit. Akan
tetapi sebagian kecil demam tersebut merupakan tanda infeksi yang serius dan
mengancam jiwa seperti pneumonia, meningitis, artritis septik dan sepsis. Hal ini
merupakan tantangan bagi dokter untuk mengidentifikasi penyebab demam
tersebut. (2)
Demam pada anak dibutuhkan perlakuan dan penanganan tersendiri yang
berbeda bila dibandingkan dengan orang dewasa. Hal ini dikarenakan, apabila
tindakan dalam mengatasi demam tidak tepat dan lambat maka akan mengakibatkan
pertumbuhan dan perkembangan anak terganggu. Demam dapat membahayakan
keselamatan anak jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat akan menimbulkan
komplikasilain seperti, hipertermi, kejang dan penurunan kesadaran. Demam yang
mencapai suhu 41°C angka kematiannya mencapai 17%, dan pada suhu 43°C akan
koma dengan kematian 70%, dan pada suhu 45°C akan meninggal dalam beberapa
jam.(3)

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Demam


Menurut kamus kedokteran Stedman’s edisi ke-25, demam adalah
peningkatan suhu tubuh diatas normal (98,6oF/ 37 oC). Sedangkan menurut edisi
ke-26 dalam kamus yang sama, demam merupakan respon fisiologis tubuh terhadap
penyakit yang di perantarai oleh sitokin dan ditandai dengan peningkatan suhu
pusat tubuh dan aktivitas kompleks imun. Dalam protokol Kaiser Permanente
Appointment and Advice Call Center definisi demam untuk semua umur, demam
didefinisikan temperatur rektal diatas 38 oC, aksilar diatas 37,5 oC dan diatas 38,2
o
C dengan pengukuran membran timpani , sedangkan demam tinggi bila suhu tubuh
diatas 39,5 oC dan hiperpireksia bila suhu > 41,1 oC (4)

2.2 Etiologi Demam


Demam merupakan akibat kenaikan set point (oleh sebab infeksi) atau oleh
adanya ketidakseimbangan antara produksi panas dan pengeluarannya. Demam
pada infeksi terjadi akibat mikro organisme merangsang makrofag atau PMN
membentuk PE (faktor pirogen endogenik) seperti IL-1, IL-6, TNF (tumuor
necrosis factor), dan IFN (interferon). Zat ini bekerja pada hipotalamus dengan
bantuan enzim cyclooxygenase pembentuk prostaglandin. Prostaglandin-lah yang
meningkatkan set point hipotalamus. Pada keadaan lain, misalnya pada tumor,
penyakit darah dan keganasaan, penyakit kolagen, penyakit metabolik, sumber
pelepasan PE bukan dari PMN tapi dari tempat lain. Kemampuan anak untuk
beraksi terhadap infeksi dengan timbulnya manifestasi klinis demam sangat
tergantung pada umur. Semakin muda usia bayi, semakin kecil kemampuan untuk
merubah set-point dan memproduksi panas. Bayi kecil sering terkena infeksi berat
tanpa disertai dengan gejala demam. (5)
2.2.1 Kelompok Usia anak dengan Demam
a) Kelompok bayi muda, 0-48 hari

2
Demam pada usia <28 hari (neonatus) dapat menyulitkan dokter, karena ¾
dari yang menderita infeksi bakterial tetap baik kondisi klinisnya pada saat
pemeriksaan. Infeksi bakteri terjadi pada 10% dari anak demam usia 1-2 bulan, 13%
pada anak dibawah 1 bulan. Pada bayi dibawah 3 bulan Urinary Tract Infection
(UTI) merupakan sepertiga dari seluruh kasus. Prevalensi bakteremia sekitar 2-3%
pada semua bayi demam dengan usia dibawah 2 bulan. Penilaian resiko infeksi
berat dengan menggunakan gejala klinis belum memuaskan. Probabilitas Serious
Bacterial illnes (SBI) pada neonatus dengan demam cukup tinggi, sehingga rawat
inap merupakan indikasi yang aman.(6)
b) Usia 2-36 bulan
Bayi demam pada usia ini tampilan klinisnya berada di daerah yang “abu-
abu”, antara demam berarti Serious Bacterial ilness (SBI) pada anak muda (dibawah
2 bulan dan demam berarti infeksi bila ada fokus yang jelas. Penderita dengan
resiko tinggi harus MRS dan mendapat antibiotik. (6)
Anak pada usia ini yang mengalami demam dapat terlihat sehat tetapi
menderita bakteremia akulta (tersembunyi). Sekitar 50% bakteremia okulta
disebabkan oleh S.pneumoniae, 25% oleh H.influenza tipe B (Hib), 7% oleh
salmonela spesies dan 6% oleh meningitidis. Kemungkinan bagi bakteremia okulta
untuk memulai pertumbuhan di meningens dengn hasil berupa meningitis adalah
salah satu determinan mayor terapi. Meskipun S.pneumonia telah menyebabkan
lebih dari 80% episode bakteremia okulta, sekitar 50% episode meningitis bakterial
pada kelompok usia yang sama disebabkan oleh Hib. Semenjak vaksin Hib
dilisensikan penggunaannya pada bayi, telah terjadi penurunan luar biasa dalam
penyakit invasif yang disebabkan oleh bakteri ini, lebih dari 85% episode
bakteremia okulta disebabkan oleh S.pneumonia. (7)
c) Usia lebih dari 36 bulan
Anak usia diatas 3 tahun dapat memberikan gejala klinis yang lebih jelas, seperti
adanya kelainan anatomi (mis: fokus pada paru) atau kelainan fungsional seperti
syok dan DHF. Anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium sangat bermanfaat
untuk mengambil keputusan memberi atau tidak memberi antibiotik. Masalah

3
khusus adalah pada penderita Fever Unknown Origin (FUO) dengan fokus
maupun gejala gangguan faal idak jelas. (6)

Gambar 1. Algoritma Etiologi Demam Pada Anak

2.3 Patofisiologi Demam

Secara teoritis kenaikan suhu pada infeksi dinilai menguntungkan, oleh


karena aliran darah makin cepat sehingga makanan dan oksigenasi makin lancar.
Namun kalau suhu terlalu tinggi (di atas 38,5ºC) pasien mulai merasa tidak nyaman,
aliran darah cepat, jumlah darah untuk mengaliri organ vital (otak, jantung, paru)

4
bertambah, sehingga volume darah ke ekstremitas dikurangi, akibatnya ujung
kaki/tangan teraba dingin. Demam yang tinggi memacu metabolisme yang sangat
cepat, jantung dipompa lebih kuat dan cepat, frekuensi napas lebih cepat. Dehidrasi
terjadi akibat penguapan kulit dan paru dan disertai dengan ketidakseimbangan
elektrolit, yang mendorong suhu makin tinggi. Kerusakan jaringan akan terjadi bila
suhu tubuh lebih tinggi dari 41˚C, terutama pada jaringan otak dan otot yang
bersifat permanen. Kerusakan tersebut dapat menyebabkan kerusakan batang otak,
terjadinya kejang, koma sampai kelumpuhan. Kerusakan otot yang terjadi berupa
rabdomiolisis dengan akibat terjadinya mioglobinemia. (8,9)
Suhu tubuh secara normal dipertahankan pada rentang yang sempit, walaupun
terpapar suhu lingkungan yang bervariasi. Suhu tubuh secara normal berfluktuasi
sepanjang hari, 0,5˚ C dibawah normal pada pagi hari dan 0,5 ˚C diatas normal pada
malam hari. Suhu tubuh diatur oleh hipotalamus yang mengatur keseimbangan
antara produksi panas dan kehilangan panas. Produksi panas tergantung pada
aktivitas metabolik dan aktivitas fisik. Kehilangan panas terjadi melalui radiasi,
evaporasi, konduksi dan konveksi. Dalam keadaan normal termostat di hipotalamus
selalu diatur pada set point sekitar 37˚ C, setelah informasi tentang suhu diolah di
hipotalamus selanjutnya ditentukan pembentukan dan pengeluaran panas sesuai
dengan perubahan set point. Hipotalamus posterior bertugas meningkatkan
produksi panas dan mengurangi pengeluaran panas. Bila hipotalamus posterior
menerima informasi suhu luar lebih rendah dari suhu tubuh maka pembentukan
panas ditambah dengan meningkatkan metabolisme dan aktivitas otot rangka dalam
bentuk menggigil dan pengeluaran panas dikurangi dengan vasokontriksi kulit dan
pengurangan produksi keringat sehingga suhu tubuh tetap dipertahankan tetap.
Hipotalamus anterior mengatur suhu tubuh dengan cara mengeluarkan panas. Bila
hipotalamus anterior menerima informasi suhu luar lebih tinggi dari suhu tubuh
maka pengeluaran panas ditingkatkan dengan vasodilatasi kulit dan menambah
produksi keringat. (8,9)
Umumnya peninggian suhu tubuh terjadi akibat peningkatan set point. Infeksi
bakteri menimbulkan demam karena endotoksin bakteri merangsang sel PMN
untuk membuat pirogen endogen yaitu interleukin-1, interleukin 6 atau tumor

5
nekrosis faktor. Pirogen endogen bekerja di hipotalamus dengan bantuan enzim
siklooksigenase membentuk protaglandin selanjutnya prostaglandin meningkatkan
set point hipotalamus. Selain itu pelepasan pirogen endogen diikuti oleh pelepasan
cryogens (antipiretik endogen) yang ikut memodulasi peningkatan suhu tubuh dan
mencegah peningkatan suhu tubuh pada tingkat yang mengancam jiwa. (8,9)

Gambar.2 Patofisiologi Demam

Mekanisme demam dapat juga terjadi melalui jalur non prostaglandin


melalui sinyal aferen nervus vagus yang dimediasi oleh produk lokal macrophage
inflammatory protein-1 (MIP-1), suatu kemokin yang bekerja secara langsung
terhadap hipotalamus anterior. Berbeda dengan demam dari jalur prostaglandin,
demam melalui aktivitas MIP-1 ini tidak dapat dihambat oleh antipiretik.

6
2.4 Jenis-Jenis Demam
 Demam septik : pada tipe demam septik, suhu badan berangsur naik
ketingkat yang tinggi sekali pada malam hari dan turun kembali ke tingkat
diatas normal pada pagi hari. Sering disertai keluhan menggigil dan
berkeringat.
 Demam remiten : pada tipe demam remiten, suhu badan dapat turun setiap
hari tetapi tidak pernah mencapai suhu badan normal. Perbedaan suhu yang
mungkin tercatat dapat mencapai dua derajat dan tidak sebesar perbedaan
suhu yang dicatat pada demam septik.
 Demam intermiten : pada tipe demam intermiiten, suhu badan turun
ketingkat yang normal selama beberapa jam dalam satu hari. Bila demam
seperti ini terjadi setiap dua hari sekali disebut tersiana dan bila terjadi
duahari bebas demam diantara dua serangan demam disebut kuartana.
 Demam kontinyu : pada tipe demam kontinyu variasi suhu sepanjang hari
tidak berbeda lebih dari satu derajat. Pada tingkat demam yang terus
menerus tinggi sekali disebut hiperpireksia.
 Demam siklik : pada tipe demam siklik terjadi kenaikan suhu badan selama
beberapa hari yang diikuti oleh periode bebas demam untuk beberapa hari
yang kemudian diikuti oleh kenaikan suhu seperti semula.

2.5 Pemeriksaan Demam


2.5.1 Pemeriksaan suhu Tubuh
Tingginya demam diukur dengan menempatkan termometer ke dalam rektal,
mulut, telinga, serta dapat juga di aksila selama satu menit dan kemudian segera
dibaca. Pengukuran suhu mulut aman dan dapat dilakukan pada anak usia di atas
4 tahun karena sudah dapat bekerja sama untuk menahan termometer di mulut.
Pengukuran ini juga lebih akurat dibandingkan dengan suhu aksila. Pengukuran
suhu aksila mudah dilakukan, tetapi hanya menggambarkan suhu perifer tubuh
yang sangat dipengaruhi oleh vasokonstriksi pembuluh darah dan keringat
sehingga kurang akurat. Pengukuran suhu melalui rektal cukup akurat karena lebih
mendekati suhu tubuh yang sebenarnya dan paling sedikit terpengaruh suhu

7
lingkungan, tetapi pemeriksaannya tidak nyaman bagi anak. Sedangkan
pengukuran suhu melalui telinga (infrared tympanic) tidak dianjurkan karena dapat
memberikan hasil yang tidak akurat sebab liang telinga anak masih sempit dan
basah. Pemeriksaan suhu tubuh dengan perabaan tangan sebenarnya tidak
dianjurkan karena tidak akurat sehingga tidak dapat mengetahui dengan cepat jika
suhu mencapai tingkat yang membahayakan. Pengukuran suhu inti tubuh yang
merupakan suhu tubuh yang sebenarnya dapat dilakukan dengan mengukur suhu
dalam tenggorokan atau pembuluh arteri paru. Namun, hal ini sangat jarang
dilakukan karena terlalu invasif. (10)
2.5.2 Pemeriksaan Keadaan Umum
Penegakan diagnosis demam untuk menentukan penanganan tidak hanya
berpatokan dengan tingginya suhu, tetapi juga keadaan umum anak. Apabila anak
tidak nyaman atau gelisah, demam perlu segera diobati. Pemeriksaan keadaan
umum dapat menentukan apakah pasien tergolong toksis atau tidak toksis.
McCarthy membuat Yale Observation Scale untuk penilaian anak toksis.
Skala penilaian ini terdiri dari enam kriteria berupa: evaluasi cara menangis, reaksi
terhadap orang tua, variasi keadaan, respon sosial, warna kulit, dan status hidrasi.
Masing-masing item diberi nilai 1 (normal), 3 (moderat), 5 (berat). Anak yang
mempunyai nilai lebih dari 16 dapat dikatakan menderita penyakit yang serius. (11)

Tabel. 1 The Yale Observation Scale


Pengamatan Normal (1) Gangguan ringan (3) Gangguan berat (5)
Kualitas Kuat atau senang Merengek atau teriak Lemah atau
tangisan melengking
Stimulasi Tangisan segera Tangisan hilang timbul Terus
orang tua berhenti/tidak menangis/tangisan
menangis bertambah keras
Variasi Bila bangun tetap Mata segera Terus tidur atau tidak
keadaan bangun atau bila menutup lalu terstimulasi
tidur dan distimulasi terbangun atau
anak segera bangun terbangun dengan

8
stimulasi yang
lama

Warna kulit Merah muda Ekstremitas pucat Pucat


Hidrasi Kulit dan mata Membran mukosa Turgor kulit buruk
normal, membran kering
mukosa basah
Respon Senyum atau alert Segera tersenyum atau Tidak tersenyum,
terhadap (<2 bln) segera alert tampak cemas,
kontak sosial bodoh, kurang
berekspresi

2.6 Pengelolaan Demam Pada Anak


Menurunkan demam pada anak dapat dilakukan secara self management
maupun non self management. Pengelolaan secara self management merupakan
pengelolaan demam yang dilakukan sendiri tanpa menggunakan jasa tenaga
kesehatan. Pengelolaan secara self management dapat dilakukan dengan terapi
fisik, terapi obat, maupun kombinasi keduanya. Sedangkan non self management
merupakan pengelolaan demam yang menggunakan jasa tenaga kesehatan.(12)
Pendekatan pengelolaan demam pada anak bersifat age dependent karena
infeksi yang terjadi tergantung dengan maturitas sistem imun di kelompok usia
tertentu. Tatalaksana demam pada bayi kecil telah mengalami perubahan yang
cukup signifikan. Pada kelompok bayi dengan usia kurang 2 bulan, pendekatan
yang umum dilakukan ialah hospitalisasi untuk mendapatkan pengobatan
antimikrobial empirik. Pada tahun 1993, para ahli infeksi, gawat darurat dan
kesehatan anak sepakat melakukan pendekatan lebih konservatif dengan cara rawat
jalan untuk kasus-kasus ini, bila risiko terhadap SBI rendah. Salah satu pendekatan
yang dapat dilakukan untuk mengurangi perawatan adalah dengan menggunakan
penyaring: Yale Acute Illness Observation Scale atau kriteria. Rochester. Pada
kelompok ini bila hasil laboratorium menunjukkan adanya tanda infeksi (leukosit
darah <5.000 atau >15.000, hitung neutrofil darah>1500, leukosit urin di atas

9
10/lpb, leukosit tinja >5/lpb), anak segera masuk RS dan langsung mendapatkan
pengobatan antimikrobial secara empirik. Pada kelompok yang tidak memenuhi
kriteria ini, maka ada 2 pilihan yaitu: 1. melakukan kultur urin, kultur darah, kultur
cairan serebro spinalis, diberikan ceftriaxon dan diminta kontrol kembali setelah 24
jam. 2. melakukan kultur urin dan observasi dulu. Pada anak dengan usia kurang
dari 28 hari, pendekatan sebaiknya lebih agresif dengan langsung memasukan ke
RS untuk mendapatkan terapi antimikrobial secara empirik. Pada kelompok usia
3-36 bulan, risiko adanya bakteriemia pada anak dengan demam sekitar 3-11%.
Bakteriemia tidak terjadi pada kelompok ini bila: leukosit <15.000 dengan suhu
>390C, sedang kemungkinan bakteriemia akan 5 kali lipat bila lekosit >15.000.
Pada kelompok belakangan ini langsung dilakukan kultur darah dan pemberian
ceftriaxon. Pada kelompok anak di atas 36 bulan, pengobatan bisa dilakukan secara
etiologik, dengan memperhatikan adanya kegawatan. (13)

2.6.1 Pengelolaan Self Management


1.Terapi Fisik
Pengelolaan demam melalui terapi fisik merupakan upaya yang dilakukan
untuk menurunkan demam dengan cara memberi tindakan atau perlakuan tertentu
secara mandiri. Tindakan paling sederhana yang dapat dilakukan adalah
mengusahakan agar anak tidur atau istirahat supaya metabolismenya menurun.
Selain itu, kadar cairan dalam tubuh anak harus tercukupi agar kadar elektrolit tidak
meningkat saat evaporasi terjadi. Memberi aliran udara yang baik, memaksa tubuh
berkeringat, dan mengalirkan hawa panas ke tempat lain juga akan membantu
menurunkan suhu tubuh. Membuka pakaian/selimut yang tebal bermanfaat karena
mendukung terjadinya radiasi dan evaporasi.(13)
Pemberian kompres hangat dengan temperatur air 29,5oC-32oC
(tepidsponging) dapat memberikan sinyal ke hipotalamus dan memacu terjadinya
vasodilatasi pembuluh darah perifer. Hal ini menyebabkan pembuangan panas
melalui kulit meningkat sehingga terjadi penurunan suhu tubuh menjadi normal
kembali. Pemberian kompres hangat dilakukan apabila suhu diatas 38,5oC dan
telah mengkonsumsi antipiretik setengah jam sebelumnya. Mendinginkan dengan

10
air es atau alkohol kurang bermanfaat karena justru mengakibatkan vasokonstriksi,
sehingga panas sulit disalurkan baik lewat mekanisme evaporasi maupun radiasi.
Selain itu, pengompresan dengan alkohol akan diserap oleh kulit dan dapat
menyebabkan koma apabila terhirup. (14)
2. Terapi Obat
Salah satu upaya yang sering dilakukan orang tua untuk menurunkan demam
anak adalah antipiretik seperti parasetamol, ibuprofen, dan aspirin. Menurut
penelitian Kazeem dkk, sekitar 60% Orang tua menggunakan antipiretik untuk
menurunkan suhu tubuh anak supaya kembali normal. Cara kerja antipiretik adalah
dengan menurunkan set-point di otak melalui pencegahan pembentukan
prostaglandin dengan jalan menghambat enzim siklooksigenase sehingga membuat
pembuluh darah kulit melebar dan pengeluaran panas ditingkatkan. Namun, perlu
diwaspadai karena pemberian obat ini dapat bersifat masking effect, misalnya pada
pasien demam berdarah dengue. Pada pasien tersebut, penurunan panas karena
antipiretik seolah menunjukkan bahwa penyakit telah sembuh, padahal sebenarnya
virus penyebab penyakitnya masih ada.
Fenomena lain yang sering terjadi adalah ketika ibu tidak merasakan
antipiresis dari satu antipiretik, mereka akan cenderung memilih antipiretik lain.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Crocetti dkk, ditemukan 27% dari orang
tua memberikan dua jenis antipiretik untuk anak-anak demam. Penggantian
antipiretik ini biasanya diberikan selang 1-2 jam. Hal ini justru membawa ibu
kepada pengelolaan demam yang salah.
Antipiretik hanya dapat diberikan apabila demam anak diatas 38,5oC, demam
yang diikuti rasa tidak nyaman, atau demam pada anak yang memiliki riwayat
kejang demam atau penyakit jantung. Antipiretik tidak boleh digunakan untuk anak
dibawah 3 bulan. Dosis pemberian antipiretik untuk anak juga perlu diperhatikan
sesuai dengan berat badan dan umurnya. (14,15)

1) Parasetamol (Asetaminofen)

Parasetamol (asetaminofen) merupakan metabolit fenasetin dengan efek


antipiretik yang sama dan telah digunakan sejak tahun 1893. Parasetamol

11
merupakan penghambat prostaglandin yang lemah. Efek analgesik parasetamol
serupa dengan salisilat yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai
sedang. Efek iritasi, erosi, dan perdarahan lambung tidak terlihat pada obat ini,
demikian juga gangguan pernafasan dan keseimbangan asam basa. Efek anti
inflamasi dan reaksi alergi parasetamol hampir tidak ada.
Dosis terapeutik antara 10-15 mgr/kgBB/kali tiap 4 jam maksimal 5 kali sehari.
Dosis maksimal 90 mgr/kgBB/hari. Pada umumnya dosis ini dapat ditoleransi
dengan baik. Dosis besar jangka lama dapat menyebabkan intoksikasi dan
kerusakkan hepar. Pemberian parasetamol dapat secara per oral maupun rektal.(16)

2) Ibuprofen

Merupakan turunan asam propionat yang berkhasiat sebagai antiinflamasi,


analgetik, dan antipiretik. Efek analgesiknya sama seperti aspirin, sedangkan daya
antiinflamasi yang tidak terlalu kuat. Efek samping yang timbul berupa mual, perut
kembung, dan perdarahan, tetapi lebih jarang dibandingkan aspirin. Efek samping
hematologis yang berat meliputi agranulositosis dan anemia aplastik. Efek lainnya
seperti eritema kulit, sakit kepala, dan trombositopenia jarang terjadi. Efek terhadap
ginjal berupa gagal ginjal akut, terutama bila dikombinasikan dengan asetaminofen.
Dosis terapeutik yaitu 5-10 mg/kgBB/kali tiap 6 sampai 8 jam.(15)

2.6.2 Pengelolaan non self management


Non self management merupakan pengelolaan demam yang tidak dilakukan
sendiri melainkan menggunakan bantuan tenaga kesehatan. Pengelolaan secara
non self management memang merupakan salah satu jalan keluar untuk mengatasi
anak yang menderita demam, tetapi belum tentu merupakan pilihan yang terbaik
karena penanganan demam pada anak tidak bersifat mutlak dan tergantung kepada
tingginya suhu, keadaan umum, dan umur anak tersebut.
Biasanya demam pada bayi lebih menghawatirkan karena daya tahan tubuh
bayi masih rendah dan mudah terjadi infeksi. Bayi yang menderita demam harus
mendapat pemeriksaan yang lebih teliti karena 10% bayi dengan demam dapat
mengalami infeksi bakteri yang serius, salah satunya meningitis. Oleh karena itu,

12
NAPN menganjurkan bahwa bayi berumur <8 minggu yang mengalami demam
harus mendapat perhatian khusus dan mungkin membutuhkan perawatan rumah
sakit. Terdapat beberapa kriteria yang menganjurkan agar anak mengubungi
tenaga medis, antara lain:
1) demam pada anak usia di bawah 3 bulan

2) demam pada anak yang mempunyai riwayat penyakit kronis dan defisiensi
sistem imun.
3) demam pada anak yang disertai gelisah, lemah, atau sangat tidak nyaman

4) demam yang berlangsung lebih dari 3 hari (> 72 jam) (17)

2.7 Keadaan Khusus Akibat Demam


 Hiperpireksia
Hiperpireksia adalah keadaan suhu tubuh di atas 41,1 oC. Hiperpereksia
sangat berbahaya pada tubuh karena dapat menyebabkan berbagai perubahan
metabolisme, fisiologi dan akhirnya kerusakan susunan saraf pusat. Pada
awalnya anak tampak menjadi gelisah disertai nyeri kepala, pusing, kejang serta
akhirnya tidak sadar. Keadaan koma dapat terjadi bila suhu >43 oC dan
kematian dapat terjadi dalam beberapa jam bila suhu 43 oC sampai 45 0C.(17)
 Kejang Demam
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
o
tubuh (suhu rektal di atas 38 C) yang disebabkan proses ekstrakranial.(18)
Kejang demam merupakan keadaan yang umum ditemukan pada anak
khususnya usia 6 bulan sampai 5 tahun. Insidensinya di Amerika sekitar 2-4%
(19)
dari seluruh kelainan neurologis pada anak. Walaupun 30% dari seluruh
kasus kejang pada anak adalah kejang demam tetapi masih banyak penyebab
lain dari kejang sehingga kejang demam tidak dapat didiagnosis sembarangan,
karena penyebab lain demam dan kejang yang serius seperti meningitis harus
disingkirkan. (20)

13
BAB III
KESIMPULAN

Demam pada umumnya merupakan respon tubuh terhadap suatu infeksi.


Yang terjadi karena adanya proses kompensasi terhadap suatu kondisi yang
abnormal yang melibatkan sistem imun tubuh. Terdapat beberapa kondisi yang
disebabkan oleh demam yang dapat menjadi gejala penyerta saat demam. Umur
anak dan tanda serta gejala yang muncul sangat penting dalam menentukan
kemungkinan adanya penyakit yang serius. Penilaian awal dan pemeriksaan fisik
akan membantu menentukan beratnya penyakit anak dan urgensi pengobatannya.
Pemberian antipiretik merupakan terapi alternatif dalam penatalaksanaan demam
pada anak. Semua tindakan tetap harus dilakukan berdasarkan pada anamnesis yang
tajam dan terarah, dan pemeriksaan fisis yang teliti. Kecenderungan dokter untuk
bertindak, sangat dipengaruhi oleh pengalaman yang mereka dapat dan keluasan
pengetahuan yang dimiliki.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Kliegman RM, Behrman RE. Fever. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM,
Nelson WE, Vaughn VC, penyunting. Nelson textbook of pediatrics, edisi
6, Philadelphia: WB Saunders. 2014.
2. Finkelstein JA, Christiansen CL, Platt R. Fever in Pediatric primary
care:Occurrence,management and outcome. Pediatrics 2000(105);260
3. Aryanti Wardiyah, Setiawati, Umi Romayati. Perbandingan Efektifitas
Pemberian Kompres Hangat Dan Tepid Sponge Terhadap Penurunan Suhu
Tubuh Anak Yang Mengalami Demam Di Ruang Alamanda RSUD dr. H.
Abdul Moeolek Provisn Lampung Tahun 2015. Lampung. Jurnal Kesehan
Holistik. Vol 10, No 1, Januari 2016 : 36-44.
4. Peters MJ, Dobson S, Novelli V, Balfour J, Macnab A. Sepsis and fever.
Dalam: Macnab AJ, Macrae DJ, Henning R, peny unting. Care of the
critically ill child. Philadelphia:Churchill livingstone. 1999; 112-7.
5. Ismoedijanto. Demam Pada Anak. Surabaya. Sari Pediatri, Vol 12, No 2.
Agustus. 2000.
6. Ismoedijanto, Kaspan MF, 2008, Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF
Ilmu Kesehatan Anak RSU dr Soetomo hal 84-93, FK airlangga, surabaya
7. Grossman M, 2006, Buku Ajar Pediatri Rudolph volume 1 hal 584-592,
EGC, Jakarta.
8. Kayman H. Management of Fever: making evidence-based decisions. Clin
Pediatr. Jun. 2003 (42); 383.
9. Mortimer JG. Fever of unknown origin in children: Investigation and
management. J Paed Obs and Gyn, 1981; 7:27-32.
10. Lubis MB. Demam pada bayi baru lahir. In: Ragam pediatrik praktis.
Medan: USU Press. 2009: 82-5.
11. Lau AS, Uba A, Lehman D. Infectious disease. In: Rudoplh’s fundamental
of pediatrics. 2nd ed. New York: McGraw-Hill. 2002; 312-4
12. Finkelstein J, Christiansen CL, Platt R. Fever in pediatric primary care:
Occurance, management and outcomes. Pediatr 2000; 105:260-6.

15
13. Plipat N, Hakim S, Ahrens WR. The febrile child. In : Pediatric emergency
medicine. 2nd ed. New York: McGraw-Hill, 2002: 315-24.
14. Soedjatmiko. Penanganan demam pada anaka secara professional. In:
Pendidikan kedokteran berkelanjutang ilmu kesehatan anak XLVII. 1st ed.
JakartaL FKUI-RSCM. 2005: 32-41.
15. Oshikoya K, Senbajo I. Fever in children: mother’s perceptions and their
home management. Iran J Pediatr.2008; 18(3): 229-36
16. Wilmana PF, Gan SG. Analgesik, antipiretik, antiinflamasi nonsteroid dan
obat gangguan sendi lainnya. In: Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Jakarta:
Gaya Baru. 2007:230- 40.
17. Faris. Memahami demam dengan lebih baik. In : Klinik Keluarga Sehat.
Available at : http://klinikkeluargasehat.wordpress.com/2009/03/23/demam
18. Pedoman Pelayanan Medis. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2009;150.
19. Offringa M, Moyer VA. Evidence based management of seizures associated
with fever. Br Med J 2001;323:1111-3.
20. Dieckmann RA, Brownstein D, Gausche-Hill M. Dalam: Pediatric
education for prehospital professionals. American Acedemy of pediatric.
Sudbury Massachusetts. Jones and Bartlett Publihers. 2000;98-113

16

Anda mungkin juga menyukai