Anda di halaman 1dari 50

PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN

DEMAM TIFOID/TIPES

DOSEN PENGAMPU : SUSANTI BR PERANGIN-ANGIN, SKM, M.Kes


RISNAWATI TANJUNG, SKM. M.Kes

NELSON TANJUNG, SKM, M.Kes

DISUSUN OLEH :

NAMA : Leo Eykel Timantha

KELAS: ALIH JENJANG

JURUSAN SANITASI KESEHATAN LINGKUNGAN


POLTEKKES KEMENKES RI MEDAN
KABANJAHE
2021
LEMBAR PENGESAHAN

JUDUL PRAKTEK : PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN MENGENAI


DEMAM TIFOID/TIPES
DILAKSANAKAN : KAMIS, 02 DESEMBER 2021
OLEH : LEO EYKEL TIMANTHA

Disahkan pada : Desember 2021

Mengetahui

Dosen Pembimbing

Susanti Br Perangin-Angin,SKM,M.Kes
NIP : 197308161998032001

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa sehingga makalah
ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih
yang sebesar besarnnya terhadap bantuan dari pihak yag telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan


dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini
bisa pembaca mengimpletasikannya dalam kehidupan sehari- hari.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini memiliki banya kekurangan


baik dari kelengkapan teori maupun penuturan bahasa, karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Harapan kami semoga makalah ini dapat memberi manfaat dan menambah
pengetahuan serta dapat menjadi arahan dalam mengimplementasikan dalam
kehidupan sehari- hari.

Kabanjahe, Desember 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

SAMPUL DEPAN

LEMBAR PERSETUJUAN. ....................................................................................... i

KATA PENGANTAR.................................................................................................. ii

DAFTAR ISI .............................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang………………………………………………………………. 1

1.2. Tujuan Makalah....................................................................................... 3

1.3. Manfaat Makalah.................................................................................... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Penyakit ………………………………………………………. 4

2.2. Pengertian Lingkungan……………………………………………………. 4

2.3. Pengertian Penyakit Berbasis Lingkungan……………………………. 4

2.4. Definisi Penyakit Demam Tifoid…………………………………………. 5

2.5. Etiologi Demam Tifoid……………………………………………………. 5

2.6. Epidemiologi Demam Tifoid…………………………………………….. 6

2.7. Sumber Penularan dan Cara Penularan………………………………. 7

2.8. Tanda dan Gejala Demam Tifoid……………………………………….. 8

2.9. Masa Inkubasi…………………………………………………………….. 10

2.10. Pencegahan Demam Tifoid…………………………………………….. 11

iii
2.11. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Demam Tifoid…… 11

BAB III METODE PENGAMBILAN DATA

3.1 Lokasi Praktek Lapangan……………………………………………….. 24

3.2 Pelaksanaan Praktek Lapangan………………………………………. 24

3.3 Sumber Data……………………………………………………………… 24

3.4 Teknik Pengumpulan Data…………………………………………….. 24

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Latar belakang……………………………………………………………… 25

4.2. Sejarah terjadinya Demam Tifoid………………………………………. 26

4.3 Penyebab Demam Tifoid………………………………………………….. 27

4.4. Penularan Demam Tifoid………………………………………………… 30

4.5 Pencegahan Demam Tifoid …………………………………………….. 34

4.6 Potensi Lingkungan Terhadap Demam Tifoid……………………… 39

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan………………………………………………………………. 40

5.2 Saran...........………………………………………………………………. 40

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Masalah kesehatan merupakan masalah yang sangat kompleks, yang saling berkaitan
dengan masalah lain diluar masalah kesehatan itu sendiri demikian pula untuk mengatasi
masalah kesehatan masyarakat tidak hanya dilihat dari segi kesehatannya sendiri akan tetapi
harus dari segi lingkungannya yang mempengaruhi derajat kesehatan tersebut, salah satu
masalah masyarakat yang harus mendapat perhatian yaitu masalah penyakit demam tifoid.
Demam tifoid merupakan penyakit yang rawan terjadi di Indonesia, karena karakteristik iklim
yang sangat rawan dengan penyakit yang berhubungan dengan musim. Terjadinya penyakit
yang berkaitan dengan musim yang ada di Indonesia dapat dilihat meningkatnya kejadian
penyakit berbasis lingkungan pada musim hujan. Penyakit yang harus diwaspadai pada saat
musim hujan adalah ISPA, leptosiposis, penyakit kulit, diare, demam berdarah dan demam
tifoid (Kementerian Kesehatan RI, 2012).

Terdapatnya suatu penyakit di suatu daerah tergantung pada terdapatnya manusia yang
mengerti akan kondisi lingkungan yang sesuai bagi kehidupan mikroorganisme penyebab
penyakit. Daerah pertanian, peternakan, kebiasaan menggunakan tinja untuk pupuk,
kebersihan lingkungan hidup, sanitasi dan higiene perorangan yang buruk serta kemiskinan
merupakan faktor-faktor yang dapat meningkatkan penyebaran penyakit. Penyakit demam
tifoid merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang,
sehingga dapat menimbulkan wabah. Pada daerah endemik penyabab utama penularan
penyakit demam tifoid adalah air yang tercemar sedangkan di daerah non-endemik makanan
yang terkontaminasi oleh salmonella typhi merupakan hal yang paling bertanggung jawab
terhadap penularan demam tifoid (Nurvina, 2013).

Prevalensi tertinggi demam tifoid di Indonesia terjadi pada kelompok usia 5–14 tahun
(Riskesdas, 2007). Pada usia 5–14 tahun merupakan usia anak yang kurang memperhatikan

kebersihan diri dan kebiasaan jajan yang sembarangan sehingga dapat menyebabkan tertular
penyakit demam tifoid. pada anak usia 0–1 tahun prevalensinya lebih rendah dibandingkan
1
dengan kelompok usia lainnya dikarenakan kelompok usia ini cenderung mengkonsumsi
makanan yang berasal dari rumah yang memiliki tingkat kebersihannya yang cukup baik
dibandingkan dengan yang dijual di warung pinggir jalan yang memiliki kualitas yang kurang
baik (Nurvina, 2013).

Menurut data World Health Organization (WHO) tahun 2010, memperkirakan terdapat
sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian
tiap tahun. Demam Tifoid banyak ditemukan dalam kehidupan masyarakat Indonesia, baik di
perkotaan maupun di pedesaan. Penyakit demam tifoid sangat erat kaitannya dengan kualitas
higiene perorangan (seperti kebiasaan mencuci tangan sebelum makan, mencuci tangan
setelah buang air besar) dan sanitasi lingkungan (lingkungan rumah yang tidak sehat,
kebersihan sekitar lingkungan rumah yang kurang) serta perilaku masyarakat yang tidak
mendukung untuk hidup sehat (Kepmenkes RI No. 364, 2006).

Kejadian penyakit demam tifoid berhubungan dengan perilaku hidup bersih sehat
diantaranya sanitasi lingkungan yang buruk (tidak menggunakan jamban saat BAB, kualitas
sumber air bersih buruk) higiene perorangan yang buruk (tidak mencuci tangan sebelum
makan). Dari hasil penelitian sebelumnya menunjukan bahwa kebiasaan tidak mencuci tangan
dengan sabun dan air yang bersih merupakan hubungan terjadinya demam tifoid (Whidy,
2012). Pathogenesis demam tifoid secara garis besar terdiri 3 proses, yaitu proses invasi
bakteri Salmonella typhi ke dinding sel epitel usus, proses kemampuan hidup dalam makrofaq
dan proses berkembang biaknya kuman dalam makrofaq. Bakteri Salmonella typhi masuk ke
dalam tubuh manusia melalui mulut bersamaan dengan makanan atau minuman yang
terkontaminasi.

Faktor-faktor yang sangat erat hubungannya dengan kejadian demam tifoid adalah sanitasi
lingkungan yang belum memenuhi syarat seperti tersedianya pembuangan kotoran manusia,
tersedianya pembuangan sampah dan limbah rumah tangga, tersedianya sarana tempat
penyimpanan makanan yang aman, sanitasi air bersih dan higiene perorangan yang kurang
baik meliputi kebiasan cuci tangan sebelum makan, kebiasaan mencuci tangan setelah buang
air besar, higiene makanan dan minuman yang rendah seperti mencuci sayuran dengan air
yang terkontaminasi atau penyajian makanan yang kurang sehat. Sanitasi lingkungan dan
higiene perorangan merupakan salah satu penyebab terjadi kejadian demam tifoid.

2
1.2. Tujuan Makalah

Tujuan Umum:

Untuk menjelaskan faktor perilaku masyarakat dan sanitasi lingkungan hubungannya dengan
kejadian demam tifoid.

Tujuan khusus:

a. Menganalisis hubungan perilaku masyaakat dengan kejadian demam thypoid.

b. Menganalisis hubungan kebiasaan cuci tangan sebelum makan dengan sabun dan sesudah
buang air besar (BAB) dengan kejadian demam thypoid.

c. Menganalisis hubungan sumber air bersih dengan kejadian demam thypoid.

d. . Menganalisis hubungan sanitasi lingkungan (pembuangan sampah dan pembuangan air


limbah) dengan kejadian demam thypoid.

1.3 Manfaat

Dengan penulisan makalah ini diharapkan dapat mempelajari mengetahui penyebab penyakit
demam typhoid, cara penularannya serta cara mencegah terjadinya penyakit berbasis
lingkungan terutama demam tifoid.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Penyakit

Penyakit adalah suatu keadaan abnormal dari tubuh atau pikiran yang menyebabkan
ketidak nyamanan, disfungsi atau kesukaran terhadap orang yang dipengaruhuinya.

2.2. Pengertian Lingkungan

Lingkungan adalah kombinasi antara kondisi fisik yang mencakup keadaan


sumber daya alam seperti tanah, air, energi surya, mineral, serta flora dan fauna yang
tumbuh diatas tanah maupun di dalam lautan, dengan kelembagaan yang meliputi
ciptaan manusia seperti keputusan bagaimana menggunakan lingkungan fisik tersebut.
Lingkungan juga dapat diartikan menjadi segala sesuatu yang ada disekitar manusia
dan mempengaruhi perkembangan kehidupan manusia.

Lingkungan terdiri dari komponen abiotik dan biotik.

Komponen abiotik adalah segala yang tidak bernyawa seperti tanah, udara, air, iklim,
kelembaban, cahaya, bunyi.

Sedangkan komponen biotik adalah segala sesuatu yang bernyawa seperti tumbuhan,
hewan, manusia dan mikroorganisme (virus dan bakteri).

2.3. Pengertian Penyakit Berbasis Lingkungan

Penyakit berbasis lingkungan adalah suatu kondisi patologis berupa kelainan fungsi
atau morfologi suatu organ tubuh yang disebabkan oleh interaksi manusia dengan
segala sesuatu disekitarnya yang memiliki potensi penyakit.

3
2.4. Definisi Penyakit Demam Tifoid

Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik yang bersifat akut yang disebabkan
oleh Salmonella typhi (Soedarmo et al, 2010). Dalam masyarakat penyakit ini dikenal

dengan nama Tipes atau thypus, tetapi dalam dunia kedokteran disebut Typhoid fever
atau Thypus abdominalis karena berhubungan dengan usus didalam perut.

Penyakit demam tifoid merupakan penyakit yang ditularkan melalui makanan dan
minuman yang tercemar oleh bakteri Salmonella thyposa, (food and water borne
disease). Seseorang yang menderita penyakit tifus menandakan bahwa ia sering
mengkonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi bakteri ini (Akhsin Zulkoni,
2010).

Menurut Kemenkes RI no. 364 tahun 2006 tentang pengendalian demam tifoid,
demam tifoid adalah penyakit yang disebabkan oleh kumam berbentuk basil yaitu
Salmonella typhi yang ditularkan melalui makanan atau minuman yang tercemar feses
manusia.

Typus abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran
pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari 1 minggu, gangguan pencernaan
dan gangguan kesadaran (Sudoyo, 2009).

Demam tifoid adalah penyakit infeksi yang mengenai bagian ujung usus halus
dan terkadang pada aliran darah yang disebabkan oleh bakteri Salmonella Typhi atau
Salmonella Paratyphi A, B , dan C yang menyebar ke tubuh dan mempengaruhi banyak
organ. Bakteri ini ditemukan dalam urine dan tinja (Yekti & Romiyanti, 2016).

2.5. Etiologi Demam Tifoid

Penyakit tipes atau Thypus abdominalis merupakan penyakit yang ditularkan melalui
makanan dan minuman yang tercemar oleh bakteri Salmonella typhosa, (food and
water borne disease). Seseorang yang sering menderita penyakit tifus menandakan
bahwa dia mengkonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi bakteri ini.

4
Salmonella thyposa sebagai suatu spesies, termasuk dalam kingdom Bakteria, Phylum
Proteobakteria, Classis Gamma proteobakteria, Ordo Enterobakteriales, Familia
Enterobakteriakceae, Genus Salmonella. Salmonella thyposa adalah bakteri gram
negative yang bergerak dengan bulu getar, tidak berspora mempunyai sekurang-
kurangnya tiga macam antigen yaitu:

- antigen 0 (somatik, terdiri dari zat komplek lipopolisakarida),


- antigen H (flagella) dan
- antigen V1 (hyalin, protein membrane).

Dalam serum penderita terdapat zat anti (glutanin) terhadap ketiga macam anigen
tersebut (Zulkhoni, 2011).

Salmonella typhi adalah bakteri gram negatif, mempunyai flagela, tidak


berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob. Salmonella typhi mempunyai
antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari
protein dan envelope antigen (K) yang terdiri dari polisakarida. Selain itu, Salmonella
typhi mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapisan
luar dari dinding sel yang dinamakan endotoksin (Soedarmo et al, 2010).

2.6. Epidemiologi Demam Tifoid

Demam tifoid menyerang penduduk di semua negara. Seperti penyakit menular


lainnya, tifoid banyak ditemukan di negara berkembang di mana Higiene perorangan
dan sanitasi lingkungannya kurang baik. Prevalensi kasus bervariasi tergantung lokasi,
kondisi lingkungan, setempat, dan perilaku masyarakat. Angka 17 insidensi di seluruh
dunia sekitar 17 juta per tahun dengan 600.000 orang meninggal karena penyakit ini.
WHO memperkirakan 70% kematian berada di Asia. Indonesia merupakan negara
endemik demam tifoid. Diperkirakan terdapat 800 penderita per 100.000 penduduk
setiap tahun yang ditemukan sepanjang tahun (Widoyono, 2011).

Di negara yang telah maju, tifoid bersifat sporadis terutama berhubungan dengan
kegiatan wisata ke negara-negara yang sedang berkembang. Secara umum insiden

5
tifoid dilaporkan 75% didapatkan pada umur kurang dari 30 tahun. Pada anak-anak
biasanya diatas 1 tahun dan terbanyak di atas 5 tahun dan manifestasi klinik lebih
ringan (Depkes RI, 2006).

2.7. Sumber Penularan dan Cara Penularan

Sumber penularan Demam Tifoid atau Tifus tidak selalu harus penderita tifus.
Ada penderita yang sudah mendapat pengobatan dan sembuh, tetapi di dalam air seni
dan kotorannya masih mengandung bakteri. Penderita ini disebut sebagai pembawa

(carrier). Walaupun tidak lagi menderita penyakit tifus, orang ini masih dapat
menularkan penyakit tifus pada orang lain. Penularan dapat terjadi di mana saja dan
kapan saja, biasanya terjadi melalui konsumsi makanan dari luar, apabila makanan
atau minuman yang dikonsumsi kurang bersih (Addin, 2009).

Prinsip penularan penyakit ini adalah melalui fekal-oral. Kuman berasal dari tinja
atau urin penderita atau bahkan carrier (pembawa penyakit yang tidak sakit) yang
masuk ke dalam tubuh manusia melalui air dan makanan. Di daerah endemik, air yang
tercemar merupakan penyebab utama penularan penyakit. Adapun di daerah non-
endemik, makanan yang terkontaminasi oleh carrier dianggap paling bertanggung
jawab terhadap penularan (Widoyono, 2011).

Salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal dengan 5
F yaitu Food (makanan), Fingers (jari tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly (lalat),
dan melalui Feses. Feses dan muntah dari penderita typhoid dapat menularkan
Salmonella thypi kepada orang lain. Kuman tersebut dapat ditularkan melalui minuman
terkontaminasi dan melalui perantara lalat, dimana lalat akan hinggap di makanan yang
akan dikonsumsi oleh orang sehat. Apabila orang tersebut kurang memperhatikan
kebersihan dirinya seperti mencuci tangan dan makanan yang tercemar kuman
Salmonella thypi masuk ke tubuh orang yang sehat melalui mulut, selanjutnya orang
sehat akan menjadi sakit (Akhsin Zulkoni, 2010).

6
Yang paling menonjol yaitu lewat mulut manusia yang baru terinfeksi selanjutnya
menuju lambung, sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung dan
sebagian lagi lolos masuk ke usus halus bagian distal (usus bisa terjadi iritasi) dan
mengeluarkan endotoksin sehingga menyebabkan darah mengandung bakteri
(bakterimia) primer, selanjutnya melalui aliran darah dan jaringan limpoid plaque
menuju limfa dan hati. Di dalam jaringan limpoid ini kuman berkembang biak, lalu
masuk ke aliran darah sehingga menimbulkan tukak berbentuk lonjong pada mukosa
usus. Tukak dapat menyebabkan perdarahan dan perforasi usus. Perdarahan
menimbulkan panas dan suhu tubuh dengan demikian akan meningkat sehingga
beresiko kekurangan cairan tubuh.Jika kondisi tubuh dijaga tetap baik, akan terbentuk
zat kekebalan atau antibodi. Dalam keadaan seperti ini, kuman typhus akan mati dan
penderita berangsurangsur sembuh (Zulkoni.2011)

2.7. Tanda dan Gejala Demam Tifoid

Gejala Klinis

Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, mulai dari gejala ringan sekali
sehingga tidak terdiagnosis, dengan gejala klinis yang khas (sindrom demam tifoid),
sampai dengan gejala klinis berat yang disertai komplikasi. Gejala klinis demam tifoid
pada anak cenderung tidak khas. Makin muda umur anak, gejala klinis demam tifoid
makin tidak khas. Umumnya perjalanan penyakit berlangsung dalam jangka waktu
pendek dan jarang menetap lebih dari 2 minggu.

Pada orang dewasa, gejala klinis demam tifoid cenderung berat. Tetapi pada
anak kecil makin tidak berat. Anak sekolah di atas usia 10 tahun mirip seperti gejala
klinis orang dewasa, yaitu panans tinggi sampai kekurangan cairan dan peredarahan
usus yang bisa sampai pecah (perforasi).

7
Beberapa gejala klinis yang sering terjadi pada demam tifoid sebagai berikut:

1. Demam

Demam atau panas merupakan gejala utama demam tifoid. Awalnya, demam hanya
samar – samar saja, selanjutnya suhu tubuh turun naik yakni pada pagi hari lebih
rendah atau normal, sementara sore dan malam hari lebih tinggi. Demam dapat
mencapai 39-40oC.

Intensitas demam akan makin tinggi disertai gejala lain seperti sakit kepala, diare, nyeri
otot, pegal, insomnia, anoreksia, mual, dan muntah. Pada minggu ke-2 intensitas
demam makin tinggi, kadang terus menerus. Bila pasien membaik maka pada minggu
ke-3 suhu tubuh berangsur turun dan dapat kembali normal pada akhir minggu ke-3.

Perlu diperhatikan bahwa tidak selalu ada bentuk demam yang khas pada demam
tifoid. Tipe demam menjadi tidak beraturan, mungkin karena intervensi pengobatan atau
komplikasi yang terjadi lebih awal. Pada anak khususnya balita, demam tinggi dapat
menimbulkan kejang.

2. Gangguan saluran pencernaan

Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama. Bibir
kering dan terkadang pecah-pecah. Lidah terlihat kotor dan ditutupi selaput kecoklatan
dengan ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor, pada penderita anak jarang
ditemukan. Umumnya penderita sering mengeluh nyeri perut, terutama nyeri ulu hati,
disertai mual dan muntah. Penderita anak lebih sering mengalami diare, sementara
dewasa cenderung mengalami konstipasi.

3. Gangguan kesadaran

Umumnya terdapat gangguan kesadaran berupa penurunan kesadaran ringan.


Sering ditemui kesadaran apatis. Bila gejala klinis berat, tak jarang penderita sampai
somnolen dan koma atau dengan gejala-gejala psikosis. Pada penderita dengan toksik,
gejala delirium (mengigau) lebih menonjol.

8
4. Hepatosplenomegali

Pada penderita demam tifoid, hati dan atau limpa sering ditemukan membesar. Hati
terasa kenyal dan nyeri bila ditekan.

5. Bradikardia relatif dan gejala lain

Bradikardi relatif adalah peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti oleh peningkatan
frekuensi nadi. Patokan yang sering dipakai adalah setiap peningkatan suhu 1°C tidak
diikuti peningkatan frekuensi nadi 8 denyut dalam satu menit. Bradikardi relatif tidak
sering ditemukan, mungkin karena teknis pemeriksaan yang sulit dilakukan. Gejala –
gejala lain yang dapat ditemukan pada demam tifoid adalah rose spot (bintik
kemerahan pada kulit) yang biasanya ditemukan di perut bagian atas, serta gejala klinis
yang berhubungan dengan komplikasi yang terjadi (Yekti & Romiyanti, 2016).

2.8. Masa Inkubasi

Masa inkubasi dapat berlangsung 7-21 hari, walaupun pada umumnya adalah
10-12 hari. Pada awal penyakit keluhan dan gejala penyakit tidaklah khas, berupa:

a. Anoreksia

b.Rasa malas

c.Sakit kepala bagian depan

d.Nyeri otot

e.Lidah kotor

f.Gangguan perut (Rudi Haryono, 2012).

9
2.9. Pencegahan Demam Tifoid

Usaha yang bisa dilakukan untuk mencegah penyakit ini adalah :

1.Dari sisi manusia :

a.Vaksinasi untuk mencegah agar seseorang terhindar dari penyakit ini dilakukan
vaksinasi, kini sudah ada vaksin tipes atau tifoid yang disuntikan atau diminum dan
dapat melindungi seseorang dalam waktu 3 tahun yang di berikan pada usia 5-14
tahun.

b.Pendidikan kesehatan pada masyarakat : Higiene, sanitasi, personal Higiene.

2. Dari sisi lingkungan hidup :

a.Penyediaan air minum yang memenuhi syarat kesehatan seperti sumber air yang
tidak mengandung kaporit dan endapan tanah.

b.Pembuangan kotoran manusia yang higienis seperti penyediaan jamban jenis leher
angsa dan selalu di bersihkan setiap hari.

c.Pemberantasan lalat

d.Pengawasan terhadap masakan dirumah dan penyajian pada penjual makanan


(Akhsin Zulkoni, 2010).

3.0. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Demam Tifoid

1. Sanitasi Lingkungan

Sanitasi menurut World Health Organization (WHO) adalah suatu usaha yang
mengawasi beberapa faktor lingkungan fisik yang berpengaruh manusia terutama
terhadap hal-hal yang mempengaruhi efek, merusak perkembangan fisik, kesehatan,
dan kelangsungan hidup. Sedangkan Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor: 965/MENKES/SK/XI/1992, pengertian sanitasi adalah segala upaya

10
yang dilakukan untuk menjamin terwujudnya kondisi yang memenuhi persyaratan
kesehatan.

Lingkungan adalah komponen paradigma keperawatan yang mempunyai implikasi


sangat luas bagi kelangsungan hidup manusia, khususnya menyangkut status
kesehatan seseorang (Wahid I.M & Nurul C., 2009).

Sanitasi lingkungan adalah status kesehatan suatu lingkungan yang mencakup


perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih, dan sebagainya
(Notoatmodjo, 2003). Menurut WHO, sanitasi lingkungan (environmental sanitation)
adalah upaya pengendalian semua faktor lingkungan fisik manusia yang mungkin
menimbulkan atau dapat menimbulkan hal-hal yang merugikan bagi perkembangan
fisik, kesehatan dan daya tahan hidup manusia.

2. Faktor Sanitasi Lingkungan yang Mempengaruhi Kejadian Demam Tifoid


A. Sarana Air Bersih

Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Sekitar ¾
bagian tubuh kita terdiri atas air, tidak seorang pun dapat bertahan hidup lebih dari 4-5
hari tanpa minum air. Selain itu, air dipergunakan untuk memasak, mencuci, mandi dan
membersihkan kotoran yang ada disekitar rumah. Air juga digunakan untuk keperluan
industri, pertanian, pemadam kebakaran, tempat rekreasi, transportasi dan lain-lain

Penyakit-penyakit yang menyerang manusia dapat juga ditularkan dan disebarkan


melalui air. Kondisi tersebut tentunya dapat menimbulkan wabah penyakit dimana-
mana (Wahid I.M & Nurul C., 2009).

Sarana air bersih merupakan salah satu sarana sanitasi yang tidak kalah
pentingnya berkaitan dengan kejadian demam tifoid. Prinsip penularan demam tifoid
adalah melalui fekal-oral. Kuman berasal dari tinja atau urin penderita atau bahkan
carrier (pembawa penyakit yang tidak sakit) yang masuk ke dalam tubuh melalui air dan
makanan. Pemakaian air minum yang tercemar kuman secara massal sering
bertanggung jawab terhadap terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB). Di daerah endemik,

11
air yang tercemar merupakan penyebab utama penularan penyakit demam tifoid
(Widoyono, 2011).

Sarana air bersih adalah semua sarana yang dipakai sebagai sumber air bersih
bagi penghuni rumah yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga
perlu diperhatikan dalam pendirian sarana air bersih. Apabila sarana air bersih dibuat
memenuhi syarat teknis kesehatan diharapkan tidak ada lagi pencemaran terhadap air
bersih, maka kualitas air yang diperoleh menjadi baik.

Persyaratan kesehatan sarana air bersih sebagai berikut :

1.Sumur Gali : jarak sumur gali dari sumber pencemar minimal 11 meter, lantai harus
kedap air, tidak retak atau bocor, mudah dibersihkan, tidak tergenang air, tinggi bibir
sumur minimal 80 cm dari lantai, dibuat dari bahan yang kuat dan kedap air, dibuat
tutup yang mudah dibuat.

a. Sumur Pompa Tangan : sumur pompa berjarak minimal 11 meter dari sumber
pencemar, lantai harus kedap air minimal 1 meter dari sumur, lantai tidak retak atau
bocor, dudukan pompa harus kuat

b. Penampungan Air Hujan : talang air yang masuk ke bak penampungan air hujan
harus dipindahkan atau dialihkan agar air hujan pada 5 menit pertama tidak masuk ke
dalam bak

c. Perlindungan Mata Air : sumber air harus pada mata air, bukan pada saluran air yang
berasal dari mata air tersebut yang kemungkinan tercemar, lokasi harus berjarak
minimal 11 meter dari sumber pencemar, atap dan bangunan rapat air serta di
sekeliling bangunan dibuat saluran air hujan yang arahnya keluar bangunan, pipa
peluap dilengkapi dengan kawat kaca. Lantai bak harus rapat air dan mudah
dibersihkan.

d. Perpipaan : pipa yang digunakan harus kuat tidak mudah pecah, jaringan pipa tidak
boleh terendam air kotor, bak penampungan harus rapat air dan tidak dapat dicemari
oleh sumber pencemar, pengambilan air harus memalui kran (Lud Waluyo, 2009)

12
Di beberapa wilayah di Indonesia, air tanah masih menjadi sumber air bersih utama.
Air tanah yang masih alami tanpa gannguan manusia, kualitasnya belum tentu bagus.
Terlebih lagi yang sudah tercemar oleh aktivitas manusia, kualitasnya akan semakin
menurun. Pencemaran air tanah antara lain disebabkan oleh kurang teraturnya
pengelolaan lingkungan. Beberapa sumber pencemar yang menyebabkan menurunnya
kualitas air tanah antara lain sampah dari TPA, tumpahan minyak, kegiatan pertanian,
pembuangan limbah cair pada sumur, pembuangan limbah ke tanah, dan pembuangan
limbah radioaktif (Robert J. Kodoatie, 2010).

B. Rumah Sehat

Menurut WHO Rumah adalah struktur fisik atau bangunan untuk tempat berlindung,
dimana lingkungan berguna untuk kesehatan jasmani dan rohani serta keadaan
sosialnya baik untuk kesehatan keluarga dan individu

Rumah sehat adalah sebuah rumah yang dekat dengan air bersih, berjarak lebih
dari 100 meter dari tempat pembuangan sampah, dekat dengan sarana pembersihan,
serta berada ditempat dimana air hujan dan air kotor tidak menggenang (Wahid Iqbal
Mubarak & Nurul Chayatin, 2009).

Persyaratan Umum Rumah Sehat

Berdasarkan hasil rumusan yang dikeluarkan oleh APHA di Amerika, rumah sehat
adalah rumah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1. Harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisiologis


2. Memenuhi kebutuhan-kebutuhan psikologis
3. Dapat terhindar dari penyakit menular
4. Terhindar dari kecelakaan-kecelakaan

Persyaratan Rumah Sehat Berdasarkan KEPMENKES RI Nomor


829/MENKES/SK/VII/1999 Tentang Persyaratan Kesehatan Rumah Yaitu Sebagai
Berikut :

13
1. Tersedianya pembuangan kotoran manusia

Sarana pembuangan tinja yaitu tempat yang biasa digunakan untuk buang air besar,
berupa jamban. Jamban adalah suatu ruangan yang mempunyai fasilitas pembuangan
kotoran manusia yang terdiri atas tempat jongkok atau tempat duduk dengan leher
angsa yang dilengkapi dengan unit penampungan kotoran dan air untuk
membersihkannya. Ketersediaan jamban sehat/pembuangan kotoran manusia, adalah
rumah tangga yang memiliki atau menggunakan jamban leher angsa dengan tangki
septik atau lubang penampung kotoran sebagai pembuangan akhir. (Depkes, 2010)

. Pembuangan kotoran/tinja, yang biasa juga di sebut dengan tempat Buang Air
Besar (BAB) merupakan bagian yang penting dalam sanitasi lingkungan. Pembuangan
tinja manusia yang tidak memenuhi syarat sanitasi dapat menyebabkan terjadinya
pencemaran tanah serta penyediaan air bersih, dan memicu hewan vektor penyakit,
misalnya lalat, tikus atau serangga lain untuk bersarang, berkembang biak serta
menyebarkan penyakit. Hal tersebut juga tidak jarang dapat menyebabkan timbulnya
bau yang tidak sedap.

Untuk mencegah dan mengurangi kontaminasi tinja terhadap lingkungan maka


pembuangan kotoran manusia harus dikelola dengan baik, yaitu pembuangan kotoran
harus di suatu tempat tertentu atau jamban yang sehat. Suatu jamban disebut sehat
untuk daerah pedesaan apabila memenuhi persyaratan yaitu tidak mengotori
permukaan tanah disekeliling jamban tersebut, tidak mengetori air permukaan
disekiternya, tidak mengotori air tanah sekitarnya daerah pedesaan apabila memenuhi
persyaratan yaitu tidak mengotori permukaan tanah disekeliling jamban tersebut, tidak
mengetori air permukaan disekiternya, tidak mengotori air tanah sekitarnya, tidak
terjangkau oleh serangga terutama lalat dan kecoa dan binatang-binatang lainnya, tidak
menimbulkan bau, mudah digunakan dan dipelihara, sederhana desainnya, murah dan
dapat diterima oleh pemakainya (Notoadmodjo, 2007).

2. Tersedianya pembuangan sampah dan limbah rumah tangga

Secara umum sampah adalah sebagian dari sesuatu yang tidak dipakai atau
sesuatu yang harus dibuang. Pada umumnya berasal dari kegiatan yang dilakukan oleh

14
manusia (termasuk kegiatan industri), yang bukan biologis (karena kotoran manusia
tidak termasuk di dalamnya) dan umumnya bersifat padat (karena air bekas tidak
termasuk di dalamnya). Menurut UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang pengelolaan
sampah, sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan atau proses alam yang
berbentuk padat. Manusia yang hidup dilingkungan, tidak akan terhindar oleh adanya
sampah yang hadir dilingkungan.Pengaruh sampah terhadap kesehatan dapat
dikelompokkan menjadi efek yang langsung dan tidak langsung.

Yang dimaksud dengan efek langsung adalah efek yang disebabkan karena kontak
langsung dengan sampah tersebut. Efek tidak langsung yaitu dapat dirasakan
masyarakat akibat proses pembusukan, pembakaran, dan pembuangan sampah.
Lokasi dan pengelolaan sampah yang kurang memadai (pembuangan sampah yang
tidak terkontrol) merupakan tempat yang cocok bagi beberapa organisme dan menarik
bagi berbagai binatang seperti lalat, tikus dan anjing yang dapat menimbulkan penyakit.

Sampah erat sekali kaitannya dengan kesehatan masyarakat, karena dari sampah
tersebut akan hidup berbagai mikro organisme penyebab penyakit (bakteri patogen),
dan juga binatang serangga sebagai pemindah/penyebar/penyakit (vector). Oleh sebab
itu sampah harus dikelola dengan baik sampai sekecil mungkin tidak menganggu atau
mengancam kesehatan masyarakat. Pengelolaan sampah yang baik, bukan untuk
kepentingan kesehatan saja, tetapi juga untuk keindahan lingkungan. Yang dimaksud
dengan pengelolaan sampah disini adalah meliputi pengumpulan, pengangkutan,
sampai dengan pemusnahan atau pengolahan sampah sedemikian rupa sehingga
sampah tidak menjadi gangguan keehatan masyarakat dan lingkungan hidup
(Notoatmodjo, 2007).

3. Tersedianya sarana tempat penyimpanan makanan yang aman.

Makanan merupakan kebutuhan mendasar bagi hidup manusia. Kasus keracunan


makanan dan penyakit infeksi karena makanan cenderung meningkat. Anak-anak
sering menjadi korban penyakit tersebut. Salah satu penyebabnya adalah karena tidak
memperha- tikan kebersihan perorangan dan lingkungannya dalam proses pengelolaan
makanan. Sekitar 80% penyakit yang tertular melalui makanan disebabkan oleh bakteri

15
pathogen. Beberapa jenis bakteri yang sering menimbulkan penyakit antara lain :
Salmonella, Staphylocokkus, E. coli, Vibrio, clostridium, Shigella dan Pseu- domonas
Cocovenenous.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya keracunan makanan, antara lain
adalah Higiene perorangan yang buruk, cara penanganan makanan yang tidak sehat
dan perlengkapan pengolahan makanan yang tidak bersih. Salah satunya penyebabnya
adalah karena kurangnya pengetahuan dalam memperhatikan kesehatan diri dan
lingkungannya dalam proses pengolahan makanan yang baik dan sehat (Zulaikah,
2012).

4. Higiene Perorangan

Higiene perorangan adalah tindakan memelihara kebersihan dan kesehatan


seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis (Tarwoto dan Wartonah, 2006). Higiene
perorangan merupakan ciri berperilaku hidup sehat. Beberapa kebiasaan berperilaku
hidup sehat antara lain kebiasaan mencuci tangan dengan sabun setelah BAB dan
kebiasaan mencuci tangan dengan sabun sebelum makan. Peningkatan Higiene
perorangan adalah salah satu dari program pencegahan yakni perlindungan diri
terhadap penularan tifoid (Depkes RI, 2006).

Higiene perorangan adalah cara perawatan diri manusia untuk memelihara


kesehatan mereka. Pemeliharaan hyigene perorangan diperlukan untuk kenyamanan
individu, keamanan dan kesehatan. Praktek Higiene sama dengan meningkatkan
kesehatan (Potter dan Perry, 2012).

Faktor Higiene Perorangan yang Mempengaruhi Kejadian Demam Tifoid

1. Kebiasaan mencuci tangan pakai sabun setelah Buang Air Besar

Kegiatan mencuci tangan sangat penting untuk bayi, anak-anak, penyaji makanan di
restoran, atau warung serta orang-orang yang merawat dan mengasuh anak. Setiap
tangan kontak dengan feses, urine atau dubur sesudah buang air besar (BAB) maka
harus dicuci pakai sabun dan kalau dapat disikat (Depkes RI, 2007). Virus, kuman, atau
bakteri bisa menular jika BAB benar-benar mengandung Salmonella typhi yang hidup

16
dan dapat bertahan, serta dalam jumlah yang cukup untuk menginfeksi dan kuman
tersebut benar-benar masuk ke dalam tubuh (World Health Organization, 2009).

2. Kebiasaan mencuci tangan sebelum makan

Kebersihan tangan sangatlah penting bagi setiap orang. Kebiasaan mencuci tangan
sebelum makan harus dibiasakan. Pada umumnya ada keengganan untuk mencuci
tangan sebelum mengerjakan sesuatu karena dirasakan memakan waktu, apalagi
letaknya cukup jauh. Dengan kebiasaan mencuci tangan, sangat membantu dalam
mencegah penularan bakteri dari tangan kepada makanan (Depkes RI,2006). Mencuci
tangan yang benar haruslah menggunakan sabun, menggosok sela-sela jari dan kuku
menggunakan air mengalir (Proverawati, 2012).

Cara mencuci tangan yang benar adalah sebagai berikut:

1. Cuci tangan dengan air yang mengalir dan gunakan sabun. Tidak perlu harus sabun
khusus antibakteri, namun lebih disarankan sabun yang berbentuk cairan.

2. Gosok tangan setidaknya selama 15-20 detik.

3. Bersihkan bagian pergelangan tangan, punggung tangan, sela-sela jari dan kuku.

4.Basuh tangan sampai bersih dengan air yang mengalir.

5. Keringkan dengan handuk bersih atau alat pengering lain.

6. Gunakan tisu /handuk sebagai penghalang ketika mematikan keran air (Atikah
Proverawati, 2012).

Penularan bakteri Salmonella typhi salah satunya melalui jari tangan atau kuku.
Apabila orang tersebut kurang memperhatikan kebersihan dirinya seperti mencuci
tangan sebelum makan maka kuman Salmonella typhi dapat masuk ke tubuh orang
sehat melalui mulut, selanjutnya orang sehat akan menjadi sakit (Akhsin Zulkoni, 2010)

17
3. Kebiasaan makan diluar rumah

Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar Salmonella thyphi, maka


setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka
konsumsi. Penularan tifus dapat terjadi dimana saja dan kapan saja, biasanya terjadi
melalui konsumsi makanan di luar rumah atau di tempat-tempat umum, apabila
makanan atau minuman yang dikonsumsi kurang bersih.

Dapat juga disebabkan karena makanan tersebut disajikan oleh seorang penderita
tifus laten (tersembunyi) yang kurang menjaga kebersihan saat memasak. Seseorang
dapat membawa kuman tifus dalam Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan
tercemar Salmonella thyphi, maka setiap individu harus memperhatikan kualitas
makanan dan minuman yang mereka konsumsi.

Penularan tifus dapat terjadi dimana saja dan kapan saja, biasanya terjadi melalui
konsumsi makanan di luar rumah atau di terjadi dimana saja dan kapan saja, biasanya
terjadi melalui konsumsi makanan di luar rumah atau di tempat-tempat umum, apabila
makanan atau minuman yang dikonsumsi kurang bersih. Dapat juga disebabkan karena
makanan tersebut disajikan oleh seorang penderita tifus laten (tersembunyi) yang
kurang menjaga kebersihan saat memasak. Seseorang dapat membawa kuman tifus
dalam saluran pencernaannya tanpa sakit, ini yang disebut dengan penderita laten.
Penderita ini dapat menularkan penyakit tifus ini ke banyak orang, apalagi jika dia
bekerja dalam menyajikan makanan bagi banyak orang seperti tukang masak di
restoran (Addin A, 2009).

Kualitas dari produk pangan untuk konsumsi manusia pada dasarnya dipengaruhi
oleh mikroorganisme. Pertumbuhan mikroorganisme dalam makanan memegang peran
penting dalam pembentukan senyawa yang memproduksi bau tidak enak dan
menyebabkan makanan menjadi tak layak makan. Beberapa mikroorganisme yang
mengontaminasi makanan dapat menimbulkan bahaya bagi yang mengkonsumsinya
(Astawan, 2010).

18
4. Kebiasaan mencuci bahan makanan mentah yang akan di masak.
5. Bahan mentah yang hendak dimakan tanpa dimasak terlebih dahulu misalnya
sayuran untuk lalapan, hendaknya dicuci bersih dibawah air mengalir untuk
mencegah bahaya pencemaran oleh bakteri, telur bahkan pestisida (Anies,
2006). Adapun alasan tidak mencuci bahan makanan mentah sebelum
dikosumsi karena tampak bersih bahkan baru dibasahi oleh air hujan sehingga
tidak perlu dicuci padahal kontaminasi langsung makanan mentah dengan
Salmonella typhi dapat terjadi dari tempat bahan makanan tersebut berasal
misalnya di pupuk dengan pupuk kompos (Alamsyah, 2013).
6. Kurang menjaga kebersihan saat memasak.
7. Seseorang dapat membawa kuman tifus dalam saluran pencernaannya tanpa
sakit, ini yang disebut dengan penderita laten. Penderita ini dapat menularkan
penyakit tifus ini ke banyak orang, apalagi jika dia bekerja dalam menyajikan
makanan bagi banyak orang seperti tukang masak di restoran (Addin A, 2009).
8. Kualitas dari produk pangan untuk konsumsi manusia pada dasarnya
dipengaruhi oleh mikroorganisme. Pertumbuhan mikroorganisme dalam
makanan memegang peran penting dalam pembentukan senyawa yang
memproduksi bau tidak enak dan menyebabkan makanan menjadi tak layak
makan. Beberapa mikroorganisme yang mengontaminasi makanan dapat
menimbulkan bahaya bagi yang mengkonsumsinya (Astawan, 2010).

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Demam Tifoid Berdasarkan Teori HL. Blum

Menurut teori HL. Blum (2011) ada empat faktor yang dapat mempengaruhi derajat
kesehatan masyarakat keempat faktor tersebut terdiri dari faktor perilaku atau gaya
hidup (Life Style), Faktor Lingkungan (Sosial, ekonomi, politik, budaya), Faktor
pelayanan kesehatan (Jenis cakupan dan kualitasnya) dan faktor genetik (keturunan).
Keempat faktor tersebut saling berinteraksi yang dapat memepengaruhi derajat
kesehatan masyarakat.

Sehingga Faktor yang mempengaruhi kejadian Demam tifoid menurut teori HL. Blum
(2011) adalah sebagai berikut :

19
1. Lingkungan

Lingkungan memiliki pengaruh dan peranan terbesar diikuti perilaku, fasilitas


kesehatan dan keturunan. Lingkungan sangat bervariasi, umumnya digolongkan
menjadi dua kategori, yaitu yang berhubungan dengan aspek fisik dan sosial.
Lingkungan yang berhubungan dengan aspek fisik contohnya sampah, air, udara,
tanah, ilkim, perumahan dan sebagainya. Sedangkan lingkungan sosial merupakan
hasil interaksi antar manusia seperti kebudayaan, pendidikan, ekonomi dan
sebagainya.

Lingkungan yang mempengaruhi terjadinya penyakit demam tifoid yaitu rumah sehat
yang belum memenuhi syarat seperti tersedianya air bersih, tersedianya jamban,
tersedianya tempat pembuangan sampah dan limbah rumah tangga, dan tempat
penyimpanan makanan yang aman agar terhindar dari vektor yang menyebabkan
makanan terkontaminasi dengan bakteri Salmonella Thypus.

2. Perilaku

Perilaku merupakan faktor kedua yang memengaruhi derajat kesehatan masyarakat


karena sehat atau tidak sehatnya lingkungan kesehatan individu, keluarga dan
masyarakat sangat tergantung pada perilaku manusia itu sendiri. Di samping itu, juga
dipengaruhi oleh kebiasaan, adat istiadat, kebiasaan, kepercayaan, pendidikan sosial
ekonomi dan perilaku-perilaku lain yang melekat pada dirinya. Perilaku yang
mempengaruhi terjadinya penyakit demam tifoid yaitu seperti kebiasaan mencuci
tangan setelah BAB, kebiasaan mencuci tangan sebelum makan dan kebiasaan
membeli makanan di luar rumah.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian demam tifoid dapat di lihat dari


karakteristik individu yaitu terdiri dari umur, pendidikan dan pengetahuan yang rendah
sehingga faktor-faktor tersebut dapat menyebabkan perilaku dan kebiasaan seseorang
menyebabkan penyakit demam tifoid.

20
1. Umur

Demam tifoid masih merupakan penyakit endemis di Indonesia. Penyakit ini banyak
menimbulkan masalah pada kelompok umur dewasa muda, karena tidak jarang disertai
perdarahan dan perforasi usus yang sering menyebabkan kematian penderita. Secara
umum insiden tifoid dilaporkan 75% didapatkan pada umur kurang dari 30 tahun
(Depkes, 2006).

2. Pendidikan

Pendidikan sangat mempengaruhi pengetahuan seseorang untuk melakukan


kebiasaan hidup sehat. Seseorang yang mempunyai pendidikan yang tinggi mempunyai
risiko yang lebih kecil untuk tertular penyakit Demam Tifoid (Notoatmodjo, 2010).

3. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil tahu manusia, yang sekedar menjawab pertanyaan


apa sesuatu itu. Beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan antara lain;
pengalaman, tingkat pendidikan yang luas, keyakinan tanpa adanya pembuktian,
fasilitas (televisi, radio, majalah, koran, buku), penghasilan, dan sosial budaya
(Notoatmodjo, 2010). Menurut Notoatmodjo (2010) ada beberapa proses yang terjadi
untuk memperoleh pengetahuan antara lain: awarenes (kesadaran), dimana orang
tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (obyek),
interes (tertarik) terhadap stimulus atau obyek tersebut, evaluation (menimbang-
nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya, trial ( mencoba)
dimana subyek sudah mulai mencoba melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang
dikehendaki oleh stimulus, dan adopsi (meniru) dimana subyek berperilaku baru sesuai
dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.

4. Pelayanan Kesehatan

Pelayanan kesehatan merupakan faktor ketiga yang mempengaruhi derajat


kesehatan masyarakat karena keberadaan fasilitas kesehatan sangat menentukan
dalam pelayanan pemulihan kesehatan, pencegahan terhadap penyakit, pengobatan
dan keperawatan serta kelompok masyarakat yang memerlukan pelayanan kesehatan.

21
Ketersediaan fasilitas dipengaruhi oleh lokasi yang mudah di jangkau. Selanjutnya
adalah tenaga kesehatan pemberi pelayanan, informasi dan motivasi masyarakat untuk
mendatangi fasilitas dalam memperoleh pelayanan serta program pelayanan kesehatan
itu sendiri apakah sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

5. Genetik

Keturunan (genetik) merupakan faktor yang telah ada dalam diri manusia yang
dibawa sejak lahir, misalnya dari golongan penyakit keturunan seperti diabetes melitus
dan asma

22
BAB III

METODE PENGAMBILAN DATA

3.1 Lokasi Praktek Lapangan

Praktek lapangan ini dilakukan di daerah kota Kabanjahe

3.2 Pelaksanaan Praktek Lapangan

Praktek lapangan ini dilakukan pada, 1 November 2021, bertempat di Tanjungbalai

3.3 Sumber Data

Sumber data di peroleh dari observasi tempat .

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Pada teknik ini penulis memperoleh data dengan mengadakan observasai/pengamatan


langsung ke lapangan dan melakukan wawancara kepada staff bagian kesling dan para
pegawai di puskesmas.

23
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Latar belakang

Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh Salmonella
typhi dan Salmonella paratyphi. Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang
biasanya terdapat pada saluran pencernaan yang memiliki gejala demam lebih dari satu
minggu, menyebabkan gangguan saluran pencernaan hingga penurunan kesadaran.
Demam tifoid merupakan penyakit tropik sistemik, bersifat endemis, dan masih
merupakan problem kesehatan masyarakat di dunia, terutama di negara-negara
berkembang, termasuk Indonesia (Rakhman, et.al., 2009)

Data WHO (World Health Organisation) menyebutkan angka insidensi di seluruh


dunia terdapat sekitar 17 juta per tahun dengan 600.000 orang meninggal karena
demam tifoid dan 70% kematiannya terjadi di Asia (Depkes RI, 2013). Demam tifoid
sering ditemukan di daerah Asia terutama Asia Tenggara misalnya Indonesia, Malaysia,
dan Thailand.

Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh provinsi dengan


insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk per tahun dan di daerah
perkotaan 760/100.000 penduduk per tahun atau sekitar 600.000 dan 1,5 juta kasus per
tahun. Umur penderita yang terkena dilaporkan antara 3 - 19 tahun pada 91% kasus.
Pada tahun 2007, CDC melaporkan prevalensi kasus demam tifoid di Indonesia sekitar
358-810 per 100.000 penduduk dengan 64% terjadi pada usia 3 sampai 19 tahun
(Aisyah, 2013). Sedangkan Menurut WHO 2008, penderita dengan demam tifoid di
Indonesia tercatat 81,7 per 100.000.

Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2010 penderita demam tifoid dan
paratifoid yang dirawat inap di Rumah Sakit sebanyak 41.081 kasus dan 279
diantaranya meninggal dunia. Di Jakarta, demam tifoid adalah infeksi kedua tertinggi
setelah gastroenteritis dan menyebabkan angka kematian yang tinggi (Depkes RI,
2010). Di Indonesia, demam tifoid atau tifoid abdominalis banyak ditemukan dalam

24
kehidupan masyarakat baik di perkotaan maupun di pedesaan. Penyakit ini sangat erat
kaitannya dengan higiene pribadi dan sanitasi lingkungan seperti higiene perorangan
yang rendah, lingkungan yang kumuh, kebersihan tempat-tempat umum (rumah makan,
restoran) yang kurang, serta perilaku masyarakat yang tidak mendukung untuk hidup
sehat. Seiring dengan terjadinya krisis ekonomi yang berkepanjangan akan
menimbulkan peningkatan kasus-kasus penyakit menular,
118 termasuk tifoid ini (Depkes RI, 2006).

Pada kenyataannya sering ditemukan tingkat pengetahuan masyarakat yang


rendah mengenai demam tifoid dan pencegahannya. Masalah tersebut mendorong
penulis untuk membuat karya tulis ini dalam rangka meningkatkan tingkat pengetahuan
dan kewaspadaan masyarakat mengenai demam tifoid.

4.2. Sejarah terjadinya Demam Typhoid

Sejarah tifoid dimulai saat ilmuwan Perancis bernama Pierre Louis


memperkenalkan istilah typhoid pada tahun 1829. Typhoid atau typhus berasal dari
bahasa Yunani typhos yang berarti penderita demam dengan gangguan kesadaran.
Kemudian Gaffky menyatakan bahwa penularan penyakit ini melalui air dan bukan
udara. Gaffky juga berhasil membiakkan Salmonella typhi dalam media kultur pada
tahun 1884. Pada tahun 1896 Widal akhirnya menemukan pemeriksaan tifoid yang
masih digunakan sampai saat ini. Selanjutnya, pada tahun 1948 Woodward dkk.
melaporkan untuk pertama kalinya bahwa obat yang efektif untuk demam tifoid adalah
kloramfenikol (Widoyono, 2008).

Demam Typhoid ini selalu menyerang saluran pencernaan pada usus manusia.
Dimana yang khusus diserang adalah usus halus pada pencernaan manusia.

25
Sistem pencernaan pada manusia Sumber : Anonim (2010)

26
4.3 Penyebab Demam Tifoid

Demam typhoid disebabkan oleh bakteri Salmonella sp, bakteri ini merupakan
bakteri yang menginfeksi manusia. Bakteri Salmonella sp diantaranya Salmonella typhi
dan Salmonella paratyphi A, B, C . Demam typhoid dan paratyphoid merupakan bakteri
gram negatif, berbentuk batang, tidak berkapsul, mempunyai flagella, dan tidak
membentuk spora .Bakteri Salmonella sp dapat hidup sampai beberapa minggu di alam
bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri Salmonella sp mati dengan
pemanasan (suhu 60o C) selama 15-20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan
khlorinisasi38 .Salmonella sp adalah anggota dari familia Enterobacteriaceae. Menurut
Kauffman-White Scheme bahwa bakteri Salmonella sp dikelompokan ke dalam serovar
berdasarkan perbedaan dari adanya formula antigen di dalam bakteri tersebut yakni
berdasarkan antigen O http://repository.unimus.ac.id 8 (somatik), antigen Vi (kapsul)
atau disebut juga antigen K (selaput) dan antigen H (flagel).

Salmonella sp mempunyai 3 macam antigen, yaitu:

a. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh
kuman.Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga
endotoksin.Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap
formaldehid.

b. Antigen H (Antigen flagela), yang terletak pada flagela, fimbriae atau pili dari kuman.
Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan 14 terhadap formaldehid
tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol yang telah memenuhi kriteria penilaian.

c. Antigen Vi atau disebut juga antigen K (selaput) yang terletak pada kapsul (envelope)
dari kuman yang dapat melindungi kuman terhadap fagositosis.

Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan menimbulkan
pembentukan 3 macam antibodi yang disebut aglutinin 40 .

Manifestasi klinis demam tifoid tergantung dari virulensi dan daya tahan tubuh.
Masa inkubasinya adalah 10- 20 hari (Widoyono, 2008). Manusia merupakan reservoir
bagi demam tifoid. Kontak dalam lingkungan keluarga dapat berupa carrier karena
status carrier dapat terjadi.

27
Berikut ini penyebab demam tifoid yang terjadi di masyarakat :

1. Jajan sembarangan

Risiko Anda terkena tipes dapat meningkat karena kelelahan dan jajan
sembarangan. Bakteri penyebab demam tifoid biasanya hidup di dalam air yang
terkontaminasi dengan feses, dan bisa menempel pada makanan atau minuman yang
Anda konsumsi akibat jajan sembarangan.

Biasanya, anak kecil lebih rentan terkena demam tifoid karena daya tahan tubuhnya
belum sekuat orang dewasa atau bisa jadi karena anak kurang bisa menjaga
kebersihannya saat makan.

2. Tidak menjaga kebersihan makanan

Mengonsumsi ikan atau makanan laut lainnya yang berasal dari air yang sudah
terkontaminasi tinja/urine yang terinfeksi bakteri penyebab tipes, juga bisa membuat
Anda mengidap tipes.Parahnya lagi, meskipun hal ini kurang umum, bakteri Salmonella
typhi bisa bertahan pada urin orang yang terinfeksi.Sekali lagi, jika orang yang terinfeksi
menyentuh makanan tanpa mencuci tangan dengan benar atau setelah buang air kecil,
mereka dapat menyebarkan infeksi tersebut kepada orang lain. Tidak memerhatikan
kebersihan juga dapat menjadi penyebab tipes kambuh setelah dinyatakan sembuh.

3. Mengonsumsi air minum yang kotor

Selain makanan, tipes juga bisa terinfeksi lewat air minum.Tanpa disadari,
kotoran atau tinja manusia bisa masuk mencemari air minum Anda.Hal ini juga harus
diperhatikan bila Anda suka jajan minuman dingin.Es batu yang digunakan untuk
mendinginkan minuman, masih bisa membawa bakteri penyebab tipes.

4. Menggunakan toilet yang kotor

Bakteri Salmonella typhi masih bisa bertahan sekalipun berada di tinja orang
yang terinfeksi.Nah, jika Anda menggunakan toilet yang tercemar tinja penderita tipes
dan tidak dibersihkan secara menyeluruh, Anda yang tadinya sehat-sehat saja juga bisa
terinfeksi.

28
Lebih,baik Anda selalu waspada dan menjaga diri sebelum dan setelah menggunakan
toilet. Maka dari itu penting untuk mencuci tangan setelah buang air agar tidak terinfeksi
tipes.

5. Berhubungan intim dengan penderita tipes

Berhubungan intim dengan orang yang menderita tipes ternyata berpeluang


besar bagi Anda untuk tertular.Misalnya, pria yang membawa bakteri penyebab
penyakit tipes dapay menularkannya melalui oral dan anal seks.Pada saat oral dan anal
seks, bakteri dari anus pria yang sakit berpindah ke pasangannya.Jadi, seks dengan
orang yang sakit tipes juga membuka peluang penyebaran bakteri penyebab tipes
tersebut.Akan tetapi, peluang ini baru bisa terjadi jika Anda melakukan oral dan anal
seks sekaligus dengan orang yang sudah terkena tipes sebelumnya.Saat gejala tipes
sudah terasa, ada baiknya Anda lakukan penanganan yang tepat, yaitu pergi ke
dokter.Jika tipes yang Anda alami sudah parah dan lebih serius, usus bisa mengalami
perdarahan dan berlubang.

4.4. Penularan Demam Tifoid

Sumber penularan Demam Tifoid tidak selalu harus berasal dari penderita tifoid.
Ada penderita yang sudah mendapat pengobatan dan sembuh, tetapi di dalam air seni
dan kotorannya masih mengandung bakteri. Penderita ini disebut sebagai pembawa
(carrier). Walaupun tidak lagi menderita penyakit tifoid, orang ini masih dapat
menularkan penyakit tifoid pada orang lain.

Penularan dapat terjadi di mana saja dan kapan saja, biasanya terjadi melalui
konsumsi makanan dari luar, apabila makanan atau minuman yang dikonsumsi kurang
bersih. Di beberapa negara penularan terjadi karena mengkonsumsi kerang - kerangan
yang berasal dari air yang tercemar, buah-buahan, sayur mentah yang dipupuk dengan
kotoran manusia, susu atau produk susu yang terkontaminasi oleh carrier atau
penderita yang tidak teridentifikasi (Artanti, 2013).

Prinsip penularan penyakit ini adalah melalui fekal-oral. Kuman berasal dari tinja
atau urin penderita atau bahkan carrier (pembawa penyakit yang tidak sakit) yang

29
masuk ke dalam tubuh manusia melalui air dan makanan. Di daerah endemik, air yang
tercemar merupakan penyebab utama penularan penyakit. Adapun di daerah non-
endemik, makanan yang terkontaminasi oleh carrier dianggap paling bertanggung
jawab terhadap penularan.

Tifoid carrier adalah seseorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit demam
tifoid, tetapi mengandung kuman Salmonella typhi di dalam ekskretnya. Mengingat
carrier sangat penting dalam hal penularan yang tersembunyi, maka penemuan kasus
sedini mungkin serta pengobatannya sangat penting dalam hal menurunkan angka
kematian (Artanti, 2013).

Kuman tersebut dapat ditularkan melalui minuman terkontaminasi dan melalui


perantara lalat, dimana lalat akan hinggap di makanan yang akan dikonsumsi oleh
orang sehat. Apabila orang tersebut kurang memperhatikan kebersihan dirinya seperti
mencuci tangan dan makanan yang tercemar kuman Salmonella thypi masuk ke tubuh
orang yang sehat melalui mulut, selanjutnya orang sehat akan menjadi sakit (Zulkoni,
2010)

Beberapa kondisi kehidupan manusia yang sangat berperan pada penularan demam
tifoid adalah :

1. Higiene perorangan yang rendah, seperti budaya cuci tangan yang tidak terbiasa.

Hal ini jelas pada anak-anak, penyaji makanan serta pengasuh anak.

2.Higiene makanan dan minuman yang rendah.

Faktor ini paling berperan pada penularan tifoid. Banyak sekali contoh untuk
inidiantaranya: makanan yang dicuci dengan air yang terkontaminasi (seperti sayur-
sayuran dan buah-buahan), sayuran yang dipupuk dengan tinja manusia, makanan
yang tercemar dengan debu, sampah, dihinggapi lalat, air minum yang tidak masak,
dan sebagainya.

3. Sanitasi lingkungan yang kumuh, dimana pengelolaan air limbah, kotoran, dan
sampah, yang tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan.

4. Penyediaan air bersih untuk warga yang tidak memadai.

30
5. Jamban keluarga yang tidak memenuhi syarat.

6. Pasien atau karier tifoid yang tidak diobati secara sempurna.

7. Belum membudaya program imunisasi untuk tifoid (Depkes, 2006).

4.3..Faktor Resiko Lingkungan yang Berpengaruh

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kejadian demam tifoid adalah:

1. Kebiasaan jajan

Kebiasaan makan diluar rumah (jajan) mempunyai risiko yang lebih besar untuk
terkena penyakit demam tifoid. Penularan terjadi melalui makanan dan minuman yang
terkontaminasi oleh bakteri Salmonella typhi yang berasal dari tinja penderita/carrier.
Demam Tifoid dapat menyerang semua kelompok umur. Akan tetapi kelompok usia
produktif mempunyai risiko yang lebih besar dibandingkan dengan usia non produktif.
Hal ini terjadi karena pada usia produktif banyak melakukan aktivitas yang berisiko
untuk tertular penyakit demam tifoid. Insiden pada kelompok anak dan orang tua relatif
kecil, bahkan pada umur diatas 70 tahun sangat jarang.

2. Cara makan

Kebiasaan menggunakan alat makan dalam mengkonsumsi makanan


berpengaruh terhadap kejadian demam tifoid. Di kalangan pondok pesantren tradisional
banyak ditemui pola makan bersama-sama dalam satu tempat tanpa menggunakan
sendok.

3. Kebiasaan mencuci tangan dengan sabun sebelum makan

Kebiasaan tidak mencuci tangan sebelum makan mempunyai risiko yang lebih
besar untuk terkena demam tifoid dibandingkan dengan kebiasaan mencuci tangan
sebelum makan. Pencucian tangan dengan sabun dan diikuti dengan pembilasan akan
banyak menghilangkan mikroba yang terdapat pada tangan. Tangan yang kotor atau
terkontaminasi dapat memindahkan bakteri dan virus pathogen dari tubuh, tinja atau
sumber lain ke makanan. Kombinasi antara aktivitas sabun sebagai pembersih,
penggosokan dan aliran air akan menghanyutkan partikel kotoran yang banyak
mengandung mikroba.

31
4. Kebiasaan makan sayuran mentah

Buah dan sayuran mentah mengandung vitamin C yang lebih banyak daripada
yang telah dimasak, namun untuk menyantapnya, perlu diperhatikan beberapa hal
untuk menghindari makanan mentah yang tercemar, cucilah buah dan sayuran tersebut
dengan air yang mengalir. Perhatikan apakah buah dan sayuran tersebut masih segar
atau tidak. Buah dan sayuran mentah yang tidak segar sebaiknya tidak disajikan.
Apabila tidak mungkin mendapatkan air untuk mencuci, pilihlah buah yang dapat
dikupas. Dibeberapa negara penularan terjadi karena mengkonsumsi kerang-kerangan
yang berasal dari air yang tercemar, buah-buahan, sayur-sayuran mentah yang dipupuk
dengan kotoran manusia, susu dan produk susu yang terkontaminasi.

5. Kebiasaan minum air isi ulang

Menurut World Health Organization kebutuhan rata-rata adalah 60 liter per hari
meliputi: 30 liter untuk keperluan mandi, 15 liter untuk keperluan minum dan sisanya
untuk keperluan lainnya. Beberapa penelitian menunjukkan adanya bakteri dalam air
minum isi ulang. Mengingat air minum isi ulang ini dikonsumsi tanpa melalui proses
pemasakan maka syarat yang harus dipenuhi adalah bebas dari kontaminasi bakteri
sebagaimana yang ditetapkan Peraturan Menteri Kesehatan.

6. Kebiasaan mencuci tangan dengan sabun setelah buang air besar

Cuci tangan pakai sabun merupakan salah satu cara untuk hidup sehat yang
paling sederhana dan murah tetapi sayang belum membudaya. Padahal bila dilakukan
dengan baik dapat mencegah berbagai penyakit menular seperti demam tifoid.
Berdasarkan Hasil survei Health service Program tahun 2006 didapatkan hanya 12 dari
100 orang Indonesia yang melakukan cuci tangan pakai sabun setelah buang air besar.
Tidak mengherankan jika banyak penduduk Indonesia yang masih menderita penyakit
seperti diare dan demam tifoid karena kebiasaan hidup yang tidak bersih.

7. Riwayat demam tifoid

Seseorang mampu menjadi pembawa penyakit (asymptomatic carrier) demam


typhoid, tanpa menunjukkan tanda gejala, tetapi mampu menulari orang lain. Status
carrier dapat terjadi setelah mendapat serangan akut. Carrier kronis harus diawasi

32
dengan ketat dan dilarang melakukan pekerjaan yang dapat menularkan penyakit
kepada orang lain. Feses penderita/carier merupakan sumber utama bagi penularan
demam tifoid. Kebiasaan memakai jamban yang tidak saniter termasuk faktor risiko
kejadian demam tifoid.

8. Pengetahuan Penularan dapat terjadi dimana saja dan kapan saja,

Sejak usia seseorang mulai dapat mengkonsumsi makanan dari luar, apabila
makanan atau minuman yang dikonsumsi kurang bersih. Biasanya baru dipikirkan
demam tifoid bila terdapat demam terus menerus lebih dari 1 minggu yang tidak dapat
turun dengan obat demam dan diperkuat dengan kesan berbaring pasif, nampak pucat,
sakit perut, tidak buang air besar atau diare beberapa hari.

4.5 Pencegahan Demam Tifoid

Pencegahan demam tifoid dibagi menjadi beberapa tingkatan sesuai dengan


perjalanan penyakit, yaitu pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan
tersier.

A. Pencegahan Primer

Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat


agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Pencegahan primer
dapat dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat dari strain
Salmonella typhi yang dilemahkan. Di Indonesia telah ada tiga jenis vaksin tifoid, yaitu :

a. Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul yang diminum
selang sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum makan. Vaksin ini kontraindikasi pada
wanita hamil, ibu menyusui, demam, sedang mengkonsumsi antibiotik . Lama proteksi 5
tahun.

b. Vaksin parenteral sel utuh : Typa Bio Farma. Dikenal 2 jenis vaksin yakni, K vaccine
(Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in activated-Phenol preserved). Dosis untuk
dewasa 0,5 ml, anak 6 – 12 tahun 0,25 ml dan anak 1 – 5 tahun 0,1 ml yang diberikan 2
dosis dengan interval 4 minggu. Efek samping adalah demam, nyeri kepala, lesu,

33
bengkak dan nyeri pada tempat suntikan. Kontraindikasi demam,hamil dan riwayat
demam pada pemberian pertama.

c. Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux. Vaksin diberikan secara


intramuscular dan booster setiap 3 tahun.

Kontraindikasi pada hipersensitif, hamil, menyusui, sedang demam dan anak umur 2
tahun. Indikasi vaksinasi adalah bila hendak mengunjungi daerah endemik, orang yang
terpapar dengan penderita karier tifoid dan petugas laboratorium/mikrobiologi
kesehatan. Mengkonsumsi makanan sehat agar meningkatkan daya tahan tubuh,
memberikan pendidikan kesehatan untuk menerapkan prilaku hidup bersih dan sehat
dengan cara budaya cuci tangan yang benar dengan memakai sabun. Peningkatan
higiene makanan dan minuman berupa menggunakan cara-cara yang cermat dan
bersih dalam pengolahan dan penyajian makanan, sejak awal pengolahan, pendinginan
sampai penyajian untuk dimakan, dan perbaikan sanitasi lingkungan (Harahap, 2011).

B. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara mendiagnosa penyakit secara


dini dan mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat. Untuk mendiagnosis demam
tifoid perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium. Ada 3 metode untuk mendiagnosis
penyakit demam tifoid, yaitu :

Diagnosis klinik Diagnosis klinis penyakit ini sering tidak tepat, karena gejala kilinis
yang khas pada demam tifoid tidak ditemukan atau gejala yang sama dapat juga
ditemukan pada penyakit lain. Diagnosis klinis demam tifoid sering kali terlewatkan
karena pada penyakit dengan demam beberapa hari tidak diperkirakan kemungkinan
diagnosis demam tifoid.

Diagnosis mikrobiologik/pembiakan kuman Metode diagnosis mikrobiologik adalah


metode yang paling spesifik dan lebih dari 90% penderita yang tidak diobati, kultur
darahnya positif dalam minggu pertama. Hasil ini menurun drastis setelah pemakaian
obat antibiotika, dimana hasil positip menjadi 40%. Meskipun demikian kultur sum-sum
tulang tetap memperlihatkan hasil yang tinggi yaitu 90% positip. Pada minggu-minggu
selanjutnya hasil kultur darah menurun, tetapi kultur urin meningkat yaitu 85% dan 25%
berturut-turut positip pada minggu ke-3 dan ke-4. Organisme dalam tinja masih dapat

34
ditemukan selama 3 bulan dari 90% penderita dan kira-kira 3% penderita tetap
mengeluarkan kuman Salmonella typhi dalam tinjanya untuk jangka waktu yang lama.

c. Diagnosis serologik

1. Uji Widal Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi
(aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat dalam serum
penderita demam tifoid, pada orang yang pernah tertular Salmonella typhi dan pada
orang yang pernah mendapatkan vaksin demam tifoid.

Antigen yang digunakan pada uij Widal adlah suspensi Salmonella typhi yang
sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji Widal adalah untuk
menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang diduga menderita demam
tifoid. Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H yang
ditentukan titernya untuk diagnosis.

Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula kemungkinan didiagnosis


sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer aglutinin akan meningkat
pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang waktu paling sedikit 5 hari. Peningkatan
titer aglutinin empat kali lipat selama 2 sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam
tifoid. Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut :

a. Titer O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut

b. Titer H yang tinggi ( > 160) menunjukkan telah mendapat imunisasi atau pernah
menderita infeksi

c. Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier.

Beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal antara lain :

1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Penderita

a. Keadaan umum gizi penderita Gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.

b. Waktu pemeriksaan selama perjalanan penyakit Aglutinin baru dijumnpai dalam


darah setelah penderita mengalami sakit selama satu minggu dan mencapai puncaknya
pada minggu kelima atau keenam sakit.

35
c. Pengobatan dini dengan antibiotik Pemberian antibiotik dengan obat antimikroba
dapat menghambat pembentukan antibodi.

d. Penyakit – penyakit tertentu Pada beberapa penyakit yang menyertai demam tifoid
tidak terjadi pembentukan antibodi, misalnya pada penderita leukemia dan karsinoma
lanjut.

e. Pemakaian obat imunosupresif atau kortikosteroid dapat menghambat pembentukan


antibodi.

f. Vaksinasi Pada orang yang divaksinasi demam tifoid, titer aglutinin O dan H
meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun,
sedangkan titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh
karena itu titer aglutinin H pada seseorang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai
nilai diagnostik. g. Infeksi klinis atau subklinis oleh Salmonella sebelumnya Keadaan ini
dapat menyebabkan uji Widal positif, walaupun titer aglutininnya rendah. Di daerah
endemik demam tifoid dapat dijumpai aglutinin pada orang- orang yang sehat.

2. Faktor – faktor teknis

a. Aglutinasi silang Karena beberapa spesies Salmonella dapat mengandung antigen O


dan H yang sama, maka reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat juga menimbulkan
reaksi aglutinasi pada spesies lain. Oleh karena itu spesies Salmonella penyebab
infeksi tidak dapat ditentukan dengan uji widal.

b. Konsentrasi suspensi antigen Konsentrasi suspensi antigen yang digunakan pada uji
widal akan mempengaruhi hasilnya.

c. Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen Daya aglutinasi suspensi
antigen dari strain salmonella setempat lebih baik daripada suspensi antigen dari strain
lain.

2. Uji Enzym-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)

a. Uji ELISA untuk melacak antibodi terhadap antigen Salmonella typhi belakangan ini
mulai dipakai. Prinsip dasar uji ELISA yang dipakai umumnya uji ELISA tidak langsung.
Antibodi yang dilacak dengan uji ELISA ini tergantung dari jenis antigen yang dipakai. b.

36
Uji ELISA untuk melacak Salmonella typhi Deteksi antigen spesifik dari Salmonella typhi
dalam spesimen klinik (darah atau urine) secara teoritis dapat menegakkan diagnosis
demam tifoid secara dini dan cepat. Uji ELISA yang sering dipakai untuk melacak
adanya antigen 127 Salmonella typhi dalam spesimen klinis, yaitu double antibody
sandwich ELISA.

B. Pencegahan sekunder dapat berupa :

a. Penemuan penderita maupun carrier secara dini melalui penigkatan usaha surveilans
demam tifoid.

b. Perawatan umum dan nutrisi Penderita demam tifoid,

Dengan gambaran klinis jelas sebaiknya dirawat di rumah sakit atau sarana
kesehatan lain yang ada fasilitas perawatan. Penderita yang dirawat harus tirah baring
dengan sempurna untuk mencegah komplikasi, terutama perdarahan dan perforasi. Bila
klinis berat, penderita harus istirahat total. Bila penyakit membaik, maka dilakukan
mobilisasi secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan penderita.

Nutrisi pada penderita demam tifoid dengan pemberian cairan dan diet.
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral.
Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi penurunan
kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang
optimal. Sedangkan diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya
rendah serat untuk mencegah perdarahan dan perforasi.

Diet untuk penderita tifoid biasanya diklasifikasikan atas : diet cair, bubur lunak,
tim dan nasi biasa. c. Pemberian anti mikroba (antibiotik) Anti mikroba (antibiotik)
segera diberikan bila diagnosa telah dibuat. Kloramfenikol masih menjadi pilihan
pertama, berdasarkan efikasi dan harga. Kekurangannya adalah jangka waktu
pemberiannya yang lama, serta cukup sering menimbulkan karier dan relaps.
Kloramfenikol tidak boleh diberikan pada wanita hamil, terutama pada trimester III
karena dapat menyebabkan partus prematur, serta janin mati dalam kandungan. Oleh
karena itu obat yang paling aman diberikan pada wanita hamil adalah ampisilin atau
amoksilin (Harahap, 2011).

37
c. Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi keparahan


akibat komplikasi. Apabila telah dinyatakan sembuh dari penyakit demam tifoid
sebaiknya tetap menerapkan pola hidup sehat, sehingga imunitas tubuh tetap terjaga
dan dapat terhindar dari infeksi ulang demam tifoid. Pada penderita demam tifoid yang
carier perlu dilakukan 128 pemerikasaan laboratorium pasca penyembuhan untuk
mengetahui kuman masih ada atau tidak.

4.6 Potensi Lingkungan Terhadap Demam Tifoid

I. Sarana Air Bersih

Air merupakan elemen yang sangat penting bagi kehidupan manusia.Di dalam
tubuh manusia sebagian besar terdiri dari air.Tubuh orang dewasa sekitar 33 55-60%
berat badan terdiri dari air, untuk anak-anak sekitar 65% dan untuk bayi sekitar 80%.
Kebutuhan manusia akan air sangat kompleks antara lain untuk minum, masak, mandi,
mencuci dan sebagainya. Di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia tiap
orang memerlukan air antara 30-60 liter per hari.

Di antara kegunaan-kegunaan air tersebut, yang sangat penting adalah


kebutuhan untuk minum.Oleh karena itu, untuk keperluan minum dan masak air harus
mempunyai persyaratan khusus agar air tersebut tidak menimbulkan penyakit bagi
manusia (Notoatmodjo, 2003: 152).Dalam dunia kesehatan khususnya kesehatan
lingkungan, perhatian air dikaitkan sebagai faktor perpindahan atau penularan
penyebab penyakit. Air membawa penyebab penyakit dari kotoran (feces) penderita,
kemudian sampai ke tubuh orang lain melalui makanan, susu dan minuman. Air juga
berperan untuk membawa penyebab penyakit infeksi yang biasanya ditularkan melalui
air yaitu typus abdominalis.

Manusia menggunakan air untuk berbagai keperluan seperti mandi, cuci, kakus,
produksi pangan, papan, dan sandang. Mengingat bahwa berbagai penyakit dapat
dibawa oleh air kepada manusia pada saat manusia memanfaatkannya, maka tujuan
utama penyediaan air bersih bagi masyarakat adalah mencegah penyakit bawaan air
(Soemirat, 2006: 108).Meskipun kebutuhan air bersih setiap rumah tangga berbeda-
beda, rumah tangga harus memiliki persediaan air bersih dalam jumlah cukup.Di

38
daerah yang padat penduduknya, kebutuhan sumber air bersih tentu saja semakin
banyak.Kebutuhan air bersih yang berasal dari jenis sarana yang dianggap memenuhi
persyaratan antara lain melalui sistem perpipaan, mata air terlindung, sumur 34
terlindung, dan air hujan terlindung. Namun untuk menjamin tersedianya air bersih yang
berkualitas secara berkala Departemen Kesehatan melakukan pemantauan terhadap
kualitas sampel air minum dari PDAM maupun air bersih dari jenis sarana lainnya yang
dilaksanakan secara berkala (Aliya D.R, 2008: 5)

Sarana air bersih merupakan salah satu sarana sanitasi yang tidak kalah
pentingnya berkaitan dengan kejadian demam tifoid. Prinsip penularan demam tifoid
adalah melalui fekal-oral.Kuman berasal dari tinja atau urin penderita atau bahkan
carrier (pembawa penyakit yang tidak sakit) yang masuk ke dalam tubuh melalui air dan
makanan.Pemakaian air minum yang tercemar kuman secara massal sering
bertanggung jawab terhadap terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB).Di daerah endemik,
air yang tercemar merupakan penyebab utama penularan penyakit demam tifoid
(Widoyono, 2011: 43).

Menurut KEPMENKES RI No.1405/MENKES/SK/XI/2002, yang di maksud


dengan air bersih adalah air yang di gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-
hari yang kualitasnya memenuhi persyaratan kesehatan air bersih yang dapat di minum
apabila dimasak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Air bersih harus memenuhi syarat kesehatan sesuai PERMENKES


No.416/MENKES/PER/IX/1990, yaitu memenuhi syarat fisika, kimia, mikrobiologik dan
radioaktivitas sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Apabila sarana air bersih
dibuat memenuhi syarat teknis kesehatan diharapkan tidak ada lagi pencemaran
terhadap air bersih, maka kualitas air yang diperoleh menjadi baik. Persyaratan
kesehatan sarana air bersih sebagai berikut:

1) Sumur Gali (SGL) : Jarak sumur gali dari sumber pencemar minimal 11 meter, lantai
harus kedap air, tidak retak atau bocor, mudah dibersihkan, tidak tergenang air, tinggi
bibir sumur minimal 80 cm dari lantai, dibuat dari bahan yang kuat dan kedap air, dibuat
tutup yang mudah dibuat.

39
2) Sumur Pompa Tangan (SPT) : sumur pompa berjarak minimal 11 meter dari sumber
pencemar, lantai harus kedap air minimal 1 meter dari sumur, lantai tidak retak atau
bocor, SPAL harus kedap air, panjang SPAL dengan sumur resapan minimal 11 meter,
dudukan pompa harus kuat

3) Penampungan Air Hujan (PAH) : talang air yang masuk ke bak PAH harus
dipindahkan atau dialihkan agar air hujan pada 5 menit pertama tidak masuk ke dalam
bak.

4) Perlindungan Mata Air (PMA) : sumber air harus pada mata air, bukan pada saluran
air yang berasal dari mata air tersebut yang kemungkinan tercemar, lokasi harus
berjarak minimal 11 meter dari sumber pencemar, atap dan bangunan rapat air serta di
sekeliling bangunan dibuat saluran air hujan yang arahnya keluar bangunan, pipa
peluap dilengkapi dengan kawat kaca. Lantai bak harus rapat air dan mudah
dibersihkan.

5) Sumur Artetis dan PDAM (Perpipaan) :

1. Air baku yang didistribusikan harus memenuhi syarat air bersih seperti syarat fisika
air bersih yaitu air tidak berwarna, tidak berasa, dan tidak berbau.

2. Pipa kuat dan tidak boleh terendam air kotor 3. Pengambilan air dari sarana
perpipaan harus melalui kran Perpipaan (Waluyo, 2009: 138).

Di beberapa wilayah di Indonesia, air tanah masih menjadi sumber air bersih
utama.Air tanah yang masih alami tanpa gangguan manusia, kualitasnya belum tentu
bagus. Terlebih lagi yang sudah tercemar oleh aktivitas manusia, kualitasnya akan
semakin menurun. Pencemaran air tanah antara lain disebabkan oleh kurang teraturnya
pengelolaan lingkungan. Beberapa sumber pencemar yang menyebabkan menurunnya
kualitas air tanah antara lain sampah dari TPA, tumpahan minyak, kegiatan pertanian,
pembuangan limbah cair pada sumur, pembuangan limbah ke tanah, dan pembuangan
limbah radioaktif (Robert J. Kodoatie, 2010: 35)

II. Sarana Pembuangan Tinja

Sarana pembuangan tinja yaitu tempat yang biasa digunakan untuk buang air besar,
berupa jamban.Jamban adalah suatu ruangan yang mempunyai fasilitas pembuangan

40
kotoran manusia yang terdiri atas tempat jongkok atau tempat duduk dengan leher
angsa yang dilengkapi dengan unit penampungan kotoran dan air untuk
membersihkannya. Jenis-jenis jamban yang digunakan :

1. Jamban Cemplung Adalah jamban yang penampungannya berupa lubang yang


berfungsi menyimpan kotoran/tinja ke dalam tanah dan mengendapkan kotoran kedasar
lubang.

2. Jamban Tangki Septik/Leher Angsa Adalah jamban berbentuk leher angsa yang
penampungannya berupa tangki septik kedap air yang berfungsi sebagai wadah proses
penguraian atau dekomposisi kotoran manusia yang dilengkapi dengan resapan (Atikah
Proverawati, 2012: 75). Pembuatan jamban atau kakus merupakan usaha manusia
untuk memelihara kesehatan dengan membuat lingkungan tempat hidup yang sehat
(Winarsih, 2008: 41).

Menurut Proverawati (2012: 78), jamban sehat adalah jamban yang memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut :

1.. Tidak mencemari sumber air minum (jarak antara sumber air minum dengan lubang
penampungan minimal 10 meter)

2. Tidak berbau

3. Kotoran tidak dapat dijamah oleh serangga dan tikus

4. Tidak mencemari tanah disekitarnya.

5. Mudah dibersihkan dan aman digunakan.

6. Dilengkapi dinding dan atap pelindung.

7. Penerangan dan ventilasi yang cukup.

8. Lantai kedap air dan luas ruangan memadai

9. Tersedia air, sabun dan alat pembersih.

Dalam perencanaan pembuatan jamban, perhatian harus diberikan pada upaya


pencegahan keberadaan vektor perantara penyakit demam tifoid yaitu pencegahan

41
perkembangbiakan lalat.Peranan lalat dalam penularan penyakit melalui tinja (fecal-
borne diseases) sangat besar. Lalat rumah selain senang menempatkan telurnya pada
kotoran kuda atau kotoran kandang, juga senang menempatkannya pada kotoran
manusia yang terbuka dan bahan organik lain yang sedang mengalami penguraian.
Jamban yang paling baik adalah jamban yang tinjanya segera digelontorkan ke dalam
lubang atau tangki dibawah tanah.Disamping itu, semua bagian yang terbuka ke arah
tinja, termasuk tempat duduk atau tempat jongkok, harus dijaga selalu bersih dan
tertutup bila tidak digunakan (Soeparman dan Suparmin, 2002: 51).

Pengelolaan kotoran manusia yang tidak memenuhi syarat dapat menjadi


sumber penularan penyakit yang mengancam kesehatan masyarakat banyak. Oleh
karena itu kotoran manusia perlu ditangani dengan seksama (Depkes RI, 2006: 184)

III. Kondisi tempat pembuangan sampah

Sampah adalah segala sesutau yang sudah tidak digunakan lagi dan harus di
buang, berasal dari rumah tangga, rumah sakit, hotel, restoran dan industri.Sampah
perlu dikelola karena dapat menimbulakan penyakit, terutama yang ditularkan melalui
tikus, lalat dan nyamuk, tidak sedap dipandang mata, menybabkan bau tidak enak
(Fathonah, 2005: 35).

Salah satu penyebab penularan demam tifoid adalah keadaan sanitasi lingkungan yang
buruk seperti cara pengelolaan sampah rumah tangga yang kurang (Alladany, 2010).
Kebiasaan masyarakat yang kurang memperhatikan tempat pembuangan sampah ini
dapat menyebabkan vektor penyakit seperti lalat dapat berkumpul dan tingkat
penyebaran demam typhoid akan lebih tinggi dibanding lingkungan yang memilki
tempat pembuangan sampah yang lebih terorganisir.

Pengelolaan sampah meliputi penyimpanan sampah, pengumpulan, dan pembuangan


sampah. Syarat tempat sampah yang baik adalah sebagai berikut :

1. Tempat sampah harus memiliki konstruksi yang kuat

2. Tempat sampah tidak mudah bocor

3. Tempat sampah tidak menjadi sumber bersarangnya hama (vektor penyakit)

42
4. Tempat sampah tertutup dengan penutup yang mudah dibuka dan dibersihkan.
(Fathonah, 2005: 37)

Teknik operasional pengelolaan sampah tergantung pada kepadatan penduduk,


pengelolaan sampah dapat dibagi dalam 2 sistem penanganan sampah yaitu
(Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2003) :

a. Penanganan sampah untuk permukimanan dengan kepadatan penduduk rendah dan


sedang (< 50 jiwa/ha:

1. Dengan pembakaran sampah

2. Pembuatan lubang sampah

3. Pembuatan kompos

b. Penanganan sampah untuk permukiman dengan kepadatan penduduk tinggi (>50


jiwa/ha)

c. Teknik operasional pengelolaan sampah terdiri dari kegiatan pewadahan,


pengumpulan sampai dengan Tempat Pembuangan Sementara sampah.

43
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Penyakit berbasis Lingkungan masih mendominasi dalam kesehatan masyarakat.


Terjadinya penyakit Demam Typhoid karena masih rendahnya sanitasi dasar dan
tingkat pengetahuan masyarakat tentang kesehatan. Komplikasi demam tifoid dapat
dihindarkan dengan cara meningkatkan derajat daya tahan tubuh pasien dan
memberikan perawatan yang sebaik-baiknya pada pasien demam typhoid.

Penyakit Demam Typhoid ini bisa ditekan angka kematiannya dengan


mengimplementasikan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat serta melakukan tindakan
perawatan di fasilitas kesehatan secara tepat dan meningkatkan personal Hygiene
pada setiap orang dengan memperhatikanfaktor-faktor lingkungan yang ada di sekitar.

5.2 Saran

Mengadakan penyuluhan cara hidup sehat dan pencegahan penyakit demam tifoid
kepada masyarakat, terutama masyarakat dengan pendidikan yang kurang. Sebaiknya
semua penderita typhoid dibawa ke Rumah Sakit untuk mendapat perawatan yang
sempurna.Sebaiknya penderita typhoid mendapat pengobatan sesuai dengan dosis dan
ketentuan pengobatan, untuk mencegah terjadinya komplikasi.

Diharapkan setiap masyarakat dapat mengubah perilaku dan menjaga sarana sanitasi
dasar dengan baik.

44

Anda mungkin juga menyukai