Anda di halaman 1dari 47

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sampah adalah material sisa yang tidak diinginkan setelah berakhirnya

suatu aktivitas.Sampah organik adalah sampah yang mudah membusuk seperti

sisa makanan,sayuran,daun-daunan dan sebagainya.Sampah organik didapat dari

berbagai sumbernya salah satunya adalah sampah domestik yang dihasilkan oleh

industry dan Sampai sekarang ini kita ketahui keberadaan sampah masih menjadi

masalah terlebih di Indonesia, baik itu bagi pemerintah maupun masyarakat pada

umumnya.

Keberadaan sampah sering menjadi penyebab timbulnya dampak negatif

bagi lingkungan sekitarnya, misalnya dengan terbentuknya gas CH4 hasil

penguraian bahan organik yang mendorong meningkatnya pemanasan global,

tercemarnya lingkungan sekitar akibat lindi yang meresap kedalam tanah,

timbulnya penyakit akibat timbunan sampah berbagai penyakit menular maupun

penyakit kulit serta gangguan pernafasan, dan bahaya banjir yang disebabkan

oleh terhambatnya arus air di sungai karena terhalangnya timbunan sampah yang

dibuang ke sungai (Sudrajat, 2006).

Menurut WHO, sampah adalah sesuatu yang dibuang berasal dari kegiatan

manusia dan tidak terjadi dengan sendirinya. Sementara didalam Naskah

Akademis Rancangan Undang-Undang Persampahan disebutkan sampah adalah

sisa suatu usaha atau kegiatan yang berwujud padat atau semi padat berupa zat

organik atau anorganik bersifat dapat terurai maupun tidak dapat terurai yang

dianggap sudah tidak berguna lagi dan dibuang ke lingkungan.

1
Permasalahan sampah di Indonesia diangkat ke tingkat nasional dengan

ditetapkannya Undang-Undang No.18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah.

Undang-Undang ini diharapkan mampu memberikan payung hukum bagi

Pemerintah, Pemerintah Daerah, dunia usaha, dan masyarakat dalam

menyelesaikan permasalahan sampah di Indonesia.

Kementeriam Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut

total sampah nasional pada 2021 mencapai 68,5 juta ton. Dari jumlah itu,

sebanyak 17 persen, atau sekitar 11,6 juta ton, disumbang oleh sampah plastic.

Kabupaten Simalungun menjadi kabupaten penyumbang sampah terbesar

di Kawasan Danau Toba (KDT). Data Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatera

Utara (Sumut) menyebutkan 2017, ada 596.771 ton sampah per tahun di KDT.

219.532 ton diantaranya berasal dari Kabupaten Simalungun.Pelaksana Harian

(Plh) Kepala UPT Pengelolaan.

Sampah Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sumut, Hendro Sibagariang

mengatakan bahwa sampah tidak terkelola dengan baik. Sehingga ikut mencemari

KDT.DLH Sumut telah melakukan survey dan menemukan sejumlah kendala.

Antara lain, minimnya Tempat Pengumpulan Sementara (TPS) dan tempat

pembuangan akhir (TPA), penegakan hukum yang tidak konsisten dan

sebagainya."Namun yang paling utama adalah rendahnya kesadaran masyarakat

dalam mengurangi sampah.Sesuai Perpres RI No 81/2014, tentang Rencana Tata

Ruang KDT, harusnya ada 4 TPA di 4 kecamatan di kabupaten di KDT. Yakni,

Silimakuta (Simalungun) Laguboti (Tobasa) Siborong-borong (Taput) dan

Lintong Ni Huta (Humbahas)

2
Pada tahun 2021 dengan jumlah penduduk 273.879.750 jiwa,menghasilkan

175.000 ton/hari atau rata-rata satu orang penduduk Indonesia

menyumbang sampah sebanyak 0.7kg per hari. Jika dikalkulasi dalam skala

tahunan, Indonesia menghasilkan sampah sebanyak 64 juta ton.

Sedangkan perkiraan jumlah penduduk Indonesia 2022 adalah sebanyak

272.229.372 jiwa. Dengan jumlah penduduk sebanyak itu berarti potensi

volume sampah Indonesia tahun 2022 sebanyak 190,5 ribu ton per hari.Total

dalam setahun depan, potensi sampah Indonesia sebesar 68,6 juta ton. Naik sekitar

1 juta ton dibanding tahun 2021 di angka 67,8 juta ton dari tahun 2021

Berbagai pengamatan sampah yang dihasilkan yang volumenya cukup besar

adalah sampah organik rumah tangga yang berasal dari kegiatan dapur dan

pekarangan dengan rata- rata volume sampah yang dihasilkan per orang sekitar

0,5-0,7 kg/hari. Berdasarkan pen dapat Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehut

anan(KLHK)

Penelitian-penelitian yang telah dilakukan berdasarkan berat sampah yang

dihasilkan. Komponen sampah yang paling dominan pada umumnya adalah sisa

makanan yaitu 29,5% dan terendah adalah kain/tekstil 6,4%, volume potensi

sampah terbesar adalah jenis kertas dan plastik 27,2%. Dalam jumlah yang

tergolong besar tersebut, perlu adanya penanganan yang khusus. Pengelolaan

sampah volume kecil akan lebih mudah dibandingkan volume besar. Oleh karena

itu, pengelolaan sampah akan lebih baik dan berhasil jika dilakukan di tingkat

produsen sampah paling awal yakni di tingkat rumah tangga.

Jika pengelolaan sampah dilakukan di tingkat rumah tangga, maka

masyarakat di samping dapat membantu meringankan beban pemerintah daerah,

3
juga akan mendapatkan keuntungan seperti masyarakat tidak perlu mengeluarkan

dana retribusi pengelolaan sampah dan bahkan mendapatkan nilai ekonomi.

Keuntungan yang dapat dicapai oleh setiap individu adalah masyarakat dapat

menyadari pentingnya menjaga kebersihan lingkungan dengan mengelola sampah

secara mandiri (capaian Kinerja pengelolaan sampah 2021).

Berdasarkan observasi yang telah dilakukan, masyarakat yang tinggal di Kel

urahan saribudolok Kecamatan Silimakuta, mayoritas petani dan memiliki

tanaman di perkarangan rumah dan di ladang. Akan tetapi mereka masih

menggunakan pupuk yang ada di toko pertanian seperti pupuk kompos untuk

tanaman. Akan tetapi limbah rumah tangga yang umumnya dihasilkan oleh

masyarakat setiap hari dalam jumlah yang cukup banyak dan diabaikan begitu

saja oleh masyarakat hanya menunggu petugas kebersihan datang untuk

mengangkut sampah. Jika sampah tersebut dapat dikelolah secara mandiri

menjadi kompos, masyarakat tidak perlu lagi banyak membeli pupuk untuk

tanaman mereka. Beberapa metode yang dapat digunakan untuk membuat kompos

skala rumah tangga. Metode yang digunakan sebaiknya disesuaikan dengan

kondisi masing- masing, baik dari segi biaya, kemudahan maupun ketersediaan

tenaga dan lahan. Kurniati (2013) menyebutkan salah satu metode pengomposan

yang sudah cukup terkenal dan berhasil diterapkan di kota-kota besar seperti

Surabaya, Makassar, Bandung, Mataram, Semarang yaitu dengan metode

“Keranjang Takakura”.

Keranjang Takakura merupakan salah satu metode pengomposan hasil

penelitian seorang ahli peneliti dari Jepang yang melakukan penelitian di

Surabaya tahun 2001, untuk mencari sistem pengolahan sampah organik yang

cocok selama kurang lebih satu tahun.


4
Proses pengomposan dengan Metode keranjang Takakura ini merupakan proses

pengomposan aerob. Pembuatan kompos dengan keranjang Takakura ini cocok

untuk rumah tangga yang beranggotakan 4-7 orang, proses pengomposan metode

ini dilakukan dengan cara memasukkan sampah organik (idealnya sampah organik

tercacah) kedalam keranjang setiap harinya. Salah satu proses yang dapat

mempercepat pembuatan kompos dan tidak menimbulkan bau yang tidak sedap

adalah dengan menggunakan aktivator. (Tombe, 2010).

Pembuatan kompos dapat dipercepat dengan menggunakan bakteri efektif

mikroorganisme (EM4). Pengkomposan alami akan memakan waktu yang relatif

lama, yaitu sekitar 2-3 bulan ,Menurut hasil penelitian Cahaya (2009) bahkan 6-12

bulan. Pengomposan dapat berlangsung dengan fermentasi yang lebih cepat

dengan bantuan mikroorganisme (Saptoadi, 2003).

Mikro Organisme Lokal (MOL) merupakan salah satu aktivator yang

dapat membantu mempercepat proses pengkomposan dan bermanfaat

meningkatkan unsur hara kompos. Menurut Penelitian Wibowo (2011), Daswati

(2014), taraf penggunaan Mikro Organisme Lokal tapai dan EM4 sebagai

aktivator pembuatan pupuk organik campuran kotoran domba dengan batang

pisang dan pembuatan pupuk organik limbah kol menyebutkan bahwa aktivator

dengan menggunakan Mikro Organisme Lokal dan EM4 merupakan aktivator

yang dapat membuat kompos dengan kualitas terbaik.

Berdasarkan uraian yang terdapat pada latar belakang diatas maka Penulis

tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Efektivitas Penggunaan EM4 dan

MOL sebagai aktivator dalam pembuatan kompos dari sampah rumah tangga

(Garbage) dengan menggunakan metode Keranjang Takakura tahun 2022”.

5
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, adapun permasalahan dalam penelitian ini yaitu :

Bagaimana pengolahan sampah organik sayur rumah tangga (Garbage)

menggunakan metode Keranjang Takakura dan seberapa Efektifnya aktivator

(EM4 dan MOL) terhadap kecepatan waktu pengomposan.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum


Untuk menghasilkan kompos dari sampah organik sayur rumah tangga
(Garbage) dengan menggunakan metode Keranjang Takakura secara fisik.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui perbedaan EM4 dan MOL terhadap waktu pematangan

kompos dengan menggunakan dosis 500 ml/3kg dan 250 ml/3kg dengan

lama waktu pengomposan 70 hari

2. Mengetahui perbedaan pH, suhu, dan kelembaban sebelum sampah

menjadi kompos sampai dengan sampah yang sudah menjadi kompos de

ngan selang waktu yang ditentukan.

3. Mengetahui Kualitas kompos yang dihasilkan (kompos yang menggun

akan EM4,MOl,dan yang tidak menggunaka activator sama sekali) secara

fisik.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian pembuatan kompos sayur

dengan metode Takakura adalah :

1. Dari sudut akademis diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan

perbandingan dan bahan rujukan atau masukan bagi beberapa pihak yang

melakukan penelitian lanjutan, khususnya yang berhubungan dengan


6
aspek sosial,ekonomi dan pengelolaan sampah rumah tangga dengan

prinsip 3R.

2. Bagi masyarakat, diharapkan dapat menjadi masukan diberbagai pihak

yang terlibat dalam pengelolaan sampah rumah tangga di kota maupun di

desa untuk membangun peran aktif masyarakat dalam mengelolah mandi

ri limbah rumah tangga serta diharapkan masyarakat lebih sadar dan

peduli Bahwasanya sampah adalah masalah yang sangat serius dan harus

diselesaikan bersama, sehingga timbul rasa tanggung jawab setiap keluarga atau

individu terhadap sampah yang dihasilkan setiap hari.

3. Bagi peneliti, bias menjadi/menambah ilmu pengetahuan tentang

pembuatan kompos mandiri yang baik serta dapat mengaplikasikannya k

epada masyarakat lingkungan sendiri.

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Sampah

Sampah secara umum dapat diartikan sebagai bahan buangan yang tidak

disenangi dan tidak diinginkan orang, dimana sebagian besar merupakan bahan

atau sisa yang sudah tidak dipergunakan lagi dan jika tidak ditangani dengan

benar akan menimbulkan gangguan terhadap kesehatan masyarakat dan

lingkungan.

menurut Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 pasal 1 ayat (1) adalah:

“Sampah adalah sisa-sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang

berbentuk padat”.

Definisi menurut Sidik Wasito, yaitu Sampah adalah zat padat atau semi

padat yang terbuang atau sudah tidak berguna lagi baik yang dapat membusuk

maupun yang tidak dapat membusuk kecuali zat padat buangan atau kotoran

manusia”.

Sampah yang dikelola berdasarkan Undang-Undang No.18 tahun 2008

tentang pengelolaan sampah terdiri atas sampah rumah tangga, sampah sejenis

sampah rumah tangga, dan sampah spesifik. Sampah rumah tangga merupakan

sampah yang berasal dari kegiatan-kegiatan sehari-hari dalam rumah tangga, tidak

termasuk tinja dan sampah spesifik. Sampah sejenis rumah tangga adalah sampah

yang berasal dari kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas

8
sosial, fasilitas umum, dan/atau fasilitas lainnya.

Sampah spesifik meliputi sampah yang mengandung bahan berbahaya dan

beracun, sampah yang timbul akibat bencana, puing bongkaran bangunan, sampah

yang secara teknologi belum dapat diolah, atau sampah yang timbul secara

periodik. Sampah kota secara sederhana dinyatakan Sudrajat (2006) sebagai

sampah organik maupun anorganik yang dibuang oleh masyarakat dari berbagai

lokasi di kota tersebut.

Sumber sampah umumnya berasal dari perumahan dan pasar. Pengolahan

sampah menurut Undang-Undang No.81 tahun 2012 yaitu dengan cara

pemadatan, pengomposan, daur ulang materi dan/atau daur ulang energi.

Pengolahan tersebut dapat dilakukan oleh setiap orang pada sumbernya, pengelola

kawasan permukiman, pengelola kawasan komersial, pengelola kawasan industri,

fasilitas umum dan fasilitas lainnya serta pemerintah kabupaten/kota.

2.1.1 Sumber-sumber Sampah

Sampah dapat digolongkan berdasar sumber sampah yaitu :

a. Rumah tangga, umumnya terdiri dari sampah organik dan anorganik,

yang dihasilkan dari aktivitas rumah tangga. Misalnya dari buangan

dapur, taman, debu, dan alat-alat rumah tangga

b. Daerah komersial, yaitu sampah yang dihasilkan dari pertokoan,

restoran, pasar, perkantoran, hotel, dan lain-lain, biasanya terdiri

dari bahan

pembungkus sisa-sisa makanan, kertas, dan lain sebagainya

c. Sampah institusi, berasal dari sekolah, rumah sakit, dan pusat

pemerintahan

d. Sampah industri, berasal dari proses produksi indutri, dari pengolahan

bahan baku hingga hasil produksi

9
e. Sampah dari fasilitas umum, berasal dari taman umum, pantai atau

tempat rekreasi.

f. Sampah dari sisa-sisa konstruksi bangunan yaitu, sampah yang berasal

dari sisa-sisa pembuatan gedung, perbaikan, pembongkaran jalan,

jembatan, dan lain-lain

g. Sampah dari hasil pengelolaan air buangan dan sisa-sisa pembuangan

dari incenerator

h. Sampah pertanian berasal dari sisa-sisa pertanian yang tidak dapat

dimanfaatkan lagi (Damanhuri, 2010).

2.1.2 Jenis-jenis Sampah

Jenis- jenis sampah dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Sampah Basah (garbage), yaitu sejenis sampah yang terdiri dari

barang-barang yang mudah membusuk dan menimbulkan bau

yang tidak sedap, contohnya sayursayuran, sisa makanan, buah-

buahan dan lain sebagainya yang berasal dari rumah tangga,

rumah makan, pasar, pertanian dan lain-lain. Disebut sampah

organik dan umumnya mudah terurai oleh seleksi alam atau

campur tangan manusia.

b. Sampah Kering (rubbish), terdiri dari sampah yang dapat dibakar

dan tidak dapat dibakar. Sampah yang mudah terbakar umumnya

zat-zat organik misalnya kertas, kayu, kardus, karet dan

sebagainya. Sampah yang tidak mudah terbakar sebagian besar

berupa zat anorganik misalnya logam, gelas, kaleng yang berasal

dari rumah tangga, perkantoran, pusat perdagangan dan lain-lain.

10
c. Abu (ashes), yang termasuk sampah ini adalah sisa-sisa dari

pembakaran atau bahan yang terbakar, bisa berasal dari rumah,

kantor, pabrik, industri.

d. Sampah jalanan (street sweeting), seperti kertas, daundaun,

plastik.

e. Bangkai binatang (dead animal), yaitu bangkai-bangkai binatang

akibat penyakit, alam dan kecelakaan.

f. Sampah campuran, yaitu sampah yang berasal dari daerah

pemukiman terdiri dari garbage, ashes, rubbish.

g. Sampah industri, terdiri dari sampah padat dari industri,

pengolahan hasil bumi atau timbunan dan industri lainnya.

h. Sampah dari daerah pembangunan (construction wastes), yaitu

sampah yang berasal dari pembangun gedung atau bangunan-

bangunan lain, seperti batu-bata beton, asbes, papan dan lain-lain.

i. Sampah hasil penghancuran Gedung (demolition Waste), adalah

sampah yang berasal dari penghancuran dan perombakan

bangunan atau gedung.

j. Sampah khusus, yaitu sampah-sampah yang memerlukan

penanganan khusus misalnya sampah beracun dan berbahaya

misalnya sampah radioaktif, kaleng cat, film bekas, sampah

infeksius, misalnya bangkai hewan yang terinfeksi penyakit dan

dibiarkan, dan lain-lain

1) Berdasakan asalnya menurut Mukono (2006) sampah padat dapat

digolongkan menjadi dua yaitu sebagai berikut :

a. Sampah Organik

11
Sampah organik merupakan sampah yang dihasilkan dari bahan-bahan

hayati yang dapat didegredasikan oleh mikroba atau bersifat

Biodegradable. Sampah ini dengan mudah dapat diuraikan melalui

proses alami.

Sampah rumah tangga sebagian besar merupakan sampah organik.

termasuk di dalamnya sampah dari dapur, sisa-sisa makanan,

pembungkus (selain kertas, karet dan plastik), tepung, sayuran, kulit

buah, daun dan ranting.

b. Sampah Anorganik

Sampah anorganik merupakan sampah yang dihasilkan dari bahan-bahan

non hayati, baik produk sintetik maupun hasil proses teknologi

pengolahan bahan tambang. Sampah anorganik dibedakan menjadi :

sampah logam dan produk-produk olahannya, sampah plastik, sampah

kertas, sampah kaca, detergen dan keramik. Sebagian besar anorganik

tidak dapat diurai oleh alam/mikroorganisme secara keseluruhan

(Unbiodegredable). Sementara, sebagian lainnya hanya dapat diuraikan

dalam waktu yang lama. Sampah jenis ini pada tingkat rumah tangga

misalnya botol plastik, botol gelas, tas plastik dan kaleng.

2) Berdasarkan keadaan sifat fisiknya, sampah dikelompokkan menjadi dua

jenis, yaitu :

a. Sampah Basah (Garbage)

Sampah organik mudah busuk, yaitu limbah padat semi basah, berupa

bahan-bahan organik yang mudah membusuk atau terurai

mikroorganisme. Contohnya yaitu: sisa makanan, sisa dapur, sampah

sayuran, kulit buah-buahan.

12
b. Sampah kering (Rubbish)

Sampah yang dapat terbakar dan tidak dapat terbakar yang berasal dari

rumah-rumah, pusat-pusat perdangangan, kantor- kantor.

c. Abu (Ashes) adalah sampah yang berasal dari sisa pembakaran dari zat

yang mudah terbakar seperti rumah, kantor maupun di pabrik-pabrik

industri.Berdasarkan bisa tidaknya diurai menurut Kurniati (2013),

sampah di bagi menjadi dua jenis, yaitu:

1. Sampah organik yang dapat dibuat kompos, yaitu sampah yang dapat

hancur secara alamiah baik oleh air hujan, panas matahari, maupun

terserap tanah. Komposisinya sekitar 68% dari total sampah, yang

termasuk kategori sampah ini adalah: sampah kebun seperti daun,

rumput, bunga layu, potongan ranting, sampah dapur seperti potongan

sayuran, kulit buah dan buah, ampas jus atau ampas sayuran, ampas teh,

ampas kopi, sampah kertas, dan sampah kotoran hewan herbivora

(pemakan tumbuhan) seperti kotoran burung, kelinci, kuda, kambing dan

bebek.

2. Sampah yang dapat didaur ulang sekitar 14% dari total sampah, yang

termasuk kategori sampah ini adalah : kertas, kardus, koran dalam jumlah

besar, kaca, gelas atau botol, kaleng, aluminium,

Berdasarkan karakterikstik sampah dapat dibagi menjadi dua belas

yaitu :

1. Garbage, yaitu jenis sampah yang terdiri dari sisa potongan hewan atau

sayur-sayuran yang berasal dari proses pengolahan, persiapan,

pembuatan, dan penyediaan makanan yang sebagian besar terdiri dari

bahan yang mudah membusuk, lembab dan mengandung sejumlah air.

2. Rubbish, yaitu sampah yang mudah atau susah terbakar, berasal dari
13
rumah tangga, pusat perdagangan, dan kantor, yang tidak termasuk

garbage. Sampah yang mudah terbakar umumnya terdiri dari zat organik,

seperti kertas, sobekan kain, kayu, plastik, dan lain-lain. Sedangkan

sampah yang sukar terbakar, sebagian besar berupa zat anorganik seperti

logam, mineral, kaleng, dan gelas.

3. Ashes (abu), yaitu sisa pembakaran dari bahan-bahan yang mudah

terbakar baik di rumah, di kantor, maupun industri.

4. Sampah jalanan (Street sweeping), yaitu sampah yang berasal

pembersihan jalan dan trotoar, yang terdiri dari campuran macam-macam

sampah, daun-daunan, kertas, kotoran, dan lain-lain.

5. Bangkai binatang (Dead animal), yaitu bangkai binatang yang mati

karena bencana alam, penyakit atau kecelakaan.

6. Bangkai kendaraan (Abandoned vehicles) seperti bangkai mobil, sepeda,

sepeda motor dan alat transportasi lainnya.

7. Sampah pemukiman (Houshold refuse) yaitu sampah yang terdiri dari

Rubbish, Garbage, Ashes, yang berasal dari perumahan.

8. Sampah Industri terdiri dari sampah padat yang berasal dari industri,

pengolahan hasil bumi, tumbuh-tumbuahan dan industri lainnya.

9. Demolition waste, yaitu sampah yang berasal dari pembongkaran

gedung atau penghancuran gedung

10. Construction waste, yaitu sampah yang berasal dari sisa

pembangunan, perbaikan dan pembaharuan gedung-gedung.

11. Sewage solid, terdiri dari benda-benda kasar yang umumnya zat

organik hasil saringan pada pintu masuk suatu pusat pengelolahan air

buangan.

12. Sampah khusus, yaitu sampah yang memerlukan penanganan khusus

14
misalnya kaleng-kaleng cat, zat radiokatif (Mukono, 2006).

2.1.3 Pengelolaan Sampah

Pengelolaan sampah menurut Undang-Undang No.81 tahun 2012 adalah

kegiatan yang sistematis, menyeluruh dan berkesinambungan yang meliputi

pengurangan dan penanganan sampah. Tujuan dari pengelolaan sampah ini yaitu

untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat serta

menjadikan sampah sebagai sumber daya.

Sistem pengelolaan sampah berdasarkan (SNI 19-2454-2002) merupakan

proses pengolahan sampah yang meliputi lima aspek komponen yang saling

mendukung dimana antara satu dengan yang lainnya saling berinteraksi mencapai

tujuan. Kelima aspek tersebut meliputi aspek teknis operasional, aspek organisasi

dan manajemen, aspek hukum dan peraturan, aspek pembiayaan, dan aspek

peran serta masyarakat yang saling terkait.

Cara-cara pengelolaan sampah menurut “Mukono (2006)” antara lain :

1) Pengumpulan dan pengangkutan

Pengumpulan sampah dimulai di tempat sumber dimana sampah tersebut

dihasilkan. Kemudian dari lokasi sumbernya sampah tersebut diangkut

dengan alat angkut sampah, sebelum sampai ke tempat pembuangan

kadang-kadang perlu adanya suatu tempat penampungan sementara, dari

sini sampah dipindahkan dari alat angkut yang lebih besar dan lebih

efisien. misalnya dari gerobak ke truk pemadat.

2) Pengolahan

Teknik pengolahan digunakan dalam sistem pengolahan sampah untuk

meningkatkan efisiensi operasional, antara lain :

1. Reduksi volume secara mekanik (pemadatan)


2. Reduksi volume secara kimiawi (pembakaran)
3. Reduksi ukuran secara mekanik (cincang)

15
4. Pemisahan komponen (manual dan mekanik)
5. Tahap pembuangan akhir

Suatu pengolahan sampah belum bisa dikatakan berhasil


keseluruhannya dengan baik, tanpa menyelesaikan persoalannya/mengatasi
permasalahan hingga
sampai tahap penyelesaiannya dengan baik. Metode pembuangan sampah ada
dua, yaitu :
1. Metode yang tidak memuaskan, yaitu :

a. Pembuangan sampah yang terbuka (Open dumping)


b. Pembuangan sampah dalam air (Dumping in water)
c. Pembakaran sampah di rumah-rumah (Buring on premises)

2. Metode yang memuaskan diantaranya, yaitu :

a. Ditanam (Landfill), yaitu pemusnahan sampah dengan membuat


lubang di tanah kemudian sampah dimasukkan dan ditimbun
dengan tanah.
b. Dibakar (Inceneration), yaitu memusnahkan sampah dengan jalan
membakar didalam tungku pembakaran (Incenerator)
c. Dijadikan pupuk (Composting), pengolahan sampah menjadi
pupuk (kompos), khususnya untuk sampah organik daun-
daunan, sisa makanan, dan sampah lain yang dapat membusuk.

Di daerah pedesaan hal ini sudah biasa, sedangkan di daerah perkotaan hal ini

perlu dibudayakan (Notoatmodjo, 2008).

Menurut Suryati (2011) cara pemanfaatan sampah melalui kompos

memang sudah tidak asing lagi dilakukan.

Akan tetapi, banyak masyarakat yang masih enggan berurusan akibat bau yang tidak

sedap serta kesan menjijikkan menjadi alasan orang malas mengolah sampah, padahal

dengan menggunakan komposter, membuat kompos dari sampah menjadi lebih praktis,

mudah dan menguntungkan.

2.1.4 Dampak Negatif Sampah

16
Berikut Berbagai dampak Negatif yang ditimbulkan dari Sampah :

1) Merusak keindahan lingkungan

2) Lingkungan menjadi kotor dan bau

3) Mencemari tanah akibat pembakaran sampah sehingga tanah menjadi tidak

subur

4) Mencemari air sehingga air menjadi berbau dan keruh akibat pembuangan

sampah ke sungai dan laut

5) Menyebabkan polusi udara akibat bau sampah dan pembakaran sampah

6) Menyebabkan bencana alam seperti banjir dan longsor di daerah pengunungan

7) Menyebabkan berbagai penyakit bagi manusia seperti tifus, disentri dan diare

8) Sebagai tempat tinggal lalat dan nyamuk sebagai pembawa bibit penyakit bagi

manusia

9) Menyebabkan terjadinya hujan asam akibat sampah hasil kegiatan industri

pabrik berupa gas SO₂ dan NO₂ yang ikut larut dalam air hujan. Hujan asam

dapat merusak bangunan yang menggunakan logam karena bersifat korosif.

10) Penggunaan limbah penggunaan pestisida atau pupuk kimia yang berlebihan

menyebabkan air tercemar zat kimia berbahaya dan tanah menjadi kehilangan

unsur zat hara.

Pengelolaan sampah yang tidak baik mempunyai pengaruh terhadap masyarakat

dan lingkungan. Pengaruh negatif dari pengelolaan sampah ini tampak pada tiga

aspek, yaitu:

1) Aspek kesehatan, yaitu sampah dapat memberikan tempat tinggal bagi

vector penyakit seperti : serangga, tikus, cacing, dan jamur. Kemudian

dari vector tersebut dapat menimbulkan berbagai penyakit seperti : diare,

17
kolera, typus, penyakit kulit, dan lain sebagainya.

2) Aspek lingkungan, yaitu estetika lingkungan, penurunan kualitas udara,

dan pembuangan sampah ke badan air akan menyebabkan pencemaran

air.

3) Aspek sosial masyarakat, yaitu pengelolaan sampah yang kurang baik

dapat mencerminkan keadaan sosial masyarakat, dan keadaan lingkungan

yang kurang saniter dan estetika dapat menurunkan hasrat turis untuk

berkunjung.

2.1.5 Dampak Negatif sampah terhadap Kesehatan

1) Sampah-sampah yang menumpuk di darat atau yang terendam di air akan

mengalami pembusukan. Bau busuk yang menyebar di udara akan

tercium dan mengganggu pernafasan.

2) Sampah yang menimbulkan bau busuk akan mengundang lalat dan

menjadi sumber bibit penyakit. Lalat tersebut dapat memindahkan bibit

penyakit dari sampah ke dalam makanan ataupun minuman.

Sampah yang busuk, bersarang bermacam-macam bakteri penyebab

penyakit seperti : kecacingan, typus, diare dan sebagainya .

3) sampah dapat memberikan tempat tinggal bagi vector penyakit seperti:

serangga, tikus, cacing, dan jamur.

Kemudian dari vector tersebut dapat menimbulkan berbagai penyakit

seperti : diare, kolera, typus, penyakit kulit, dan lain sebagainya.

2.2 Pengertian Kompos

Kompos merupakan salah satu jenis pupuk organik yang sudah ada sejak

lama. Pengertian kompos adalah bahan-bahan organik yang sudah mengalami

proses pelapukan karena terjadi interaksi antara mikroorganisme atau bakteri

18
pembusuk yang bekerja di dalam bahan organik tersebut. Bahan organik yang

dimaksud pada pengertian kompos adalah rumput, jerami, sisa ranting dan dahan,

kotoran hewan, bunga yang rontok, air kencing hewan ternak,sisa makanan dan

sayuran rumah tangga,serta bahan organik lainnya. Semua bahan organik tersebut

akan mengalami pelapukan yang sebabkan oleh mikroorganisme yang tumbuh

pada lingkungan lembapdan juga basah.

Proses pengomposan kompos juga meniru proses terbentuknya humus di

alam. Namun dengan cara meniru kondisi lingkungan kompos dapat dipercepat

proses pembuatannya, yaitu hanya dalam jangka waktu 30-90 hari. Waktu ini

melebihi kecepatan terbentuknya humus secara alami. Oleh karena itulah kompos

selalu tersedia sewaktu-waktu diperlukan tanpa harus menunggu bertahun-tahun

(Habibi, 2008).

2.3 Prinsip Dasar Pembuatan Kompos

Salah satunya bentuk pengolahan sampah pada skala rumah tangga yaitu

dengan mengolah sampah menjadi kompos. Pada dasarnya, proses pelapukan ini

merupakan proses alamiah yang biasa terjadi di alam.

Namun, proses pelapukan secara alami ini berlangsung dalam jangka waktu

yang sangat lama, bahkan bisa mencapai puluhan tahun. Untuk mempersingkat

proses pelapukan, diperlukan adanya bantuan dari manusia. Jika proses

pengomposan dilakukan dengan benar, proses hanya berlangsung selama 1—3

bulan saja, tidak sampai bertahun-tahun dan mikroorganisme yang berperan

dalam proses pengomposan ada dua, yaitu mikroorganisme yang bekerja pada

kadar oksigen rendah (anaerob) dan mikroorganisme yang bekerja pada kadar

oksigen tinggi (aerob). Meskipun menghasilkan produk akhir yang sama


19
(kompos), perbedaan proses pembuatan kompos akan mempengaruhi proses

pembuatan kompos (Suryati, 2014).

Menurut Djuarnani (2005) Pengomposan merupakan proses dekomposisi

terkendali secara biologis terhadap limbah organik dalam kondisi aerob (terdapat

oksigen) atau anaerob (tanpa oksigen). Dalam proses pengomposan secara aerob

banyak koloni bakteri yang berperan dan ditandai dengan adanya perubahan

temperatur. Produk metabolisme yang dihasilkan dari proses pengomposan aerob

adalah CO2, air, dan panas. Sedangkan dalam proses pengomposan secara anaerob

akan menghasilkan metan, CO2, alkohol dan senyawa lain seperti asam organik

yang memiliki berat molekul rendah.

2.3.1 Pembuatan Kompos Aerob

Pengomposan secara aerob harus dilakukan dalam keadaan tidak tertutup

karena membutuhkan oksigen. Dalam hal ini, udara bebas harus bersentuhan

langsung dengan bahan baku kompos adalah sampah organik.

Pengontrolan terhadap kadar air, suhu, pH, kelembaban, ukuran bahan, volume

tumpukan bahan, dan pemilahan bahan perlu dilakukan secara intensif untuk

mempertahankan proses pengomposan agar tetap normal sehingga diperoleh

proses pengomposan yang optimal, kualitas maupun kecepatannya. Selain itu

untuk memperlancar udara masuk kedalam bahan kompos pengontrolan secara

intensif, ini merupakan ciri khas proses pengomposan secara aerob. Oleh karena

itu, kegiatan operasional pengomposan secara aerob relatif lebih sibuk

dibandingkan secara anerob (Habibi, 2008).

20
Dan hasil akhir pengomposan yaitu bentuk fisiknya sudah sama dengan

tanah yang bewarna kehitaman, strukturnya remah tidak menggumpal, jika

dilarutkan dalam air, kompos yang sudah matang tidak akan larut. suhunya

normal dan cenderung konstan (tetap). Apabila bentuknya sudah seperti ini maka

kompos aerob siap digunakan pada tanaman atau dikemas dalam wadah

(Simamora, 2006).

2.3.2 Pembuatan Kompos Anaerob

Pengomposan anaerob yaitu, pengomposan yang berlangsung tanpa adanya

udara atau oksigen sedikit pun. Oleh karena itu pada pelaksanaanya

dibutuhkan tempat khusus yang tertutup rapat. Jalannya pengomposan secara

anaerob berlangsung lebih lambat dibandingkan pengomposan secara aerob, yaitu

memakan waktu 3-12 bulan (Daswati, 2014).

Proses pembuatan kompos secara anaerob akan menghasilkan metan, CO2,

asam asetat, asam propionat, asam butirat, dan asam laktat, etanol, metanol dan

hasil samping berupa lumpur. Lumpur inilah yang akan dijadikan sebagai

pupuk/kompos. Lumpur atau kompos yang dihasilkan bewarna hitam kecokelatan.

Apabila dikeringkan warnanya menjadi hitam agak abu-abu menyerupai abu

rokok, berstruktur remah, dan memiliki daya serap yang tinggi. kompos anaerob

ini dapat diberikan pada tanaman dalam kondisi basah atau kering (Yuwono,

2005).

Beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika melakukan pengomposan

secara anaerob, antara lain :

1) Rasio C/N

Proses pengompoan secara anaerob yang optimal membutuhkan rasio

C/N 25:1 hingga 30:1. Semakin tinggi rasio C/N, proses pembusukan

semakin cepat, dan kandungan N dalam lumpur semakin tinggi.


21
Sebaliknya, apabila rasio C/N terlalu banyak sehingga dapat meracuni

bakteri. Prinsip-prinsip perhitungan rasio C/N pada pengomposan secara

aerob dapat diterapkan juga pada pengomposan secara anaerob.

2) Ukuran bahan

Pada pengomposan secara anaerob, sangat dianjurkan untuk

menghancurkan bahan selumat-lumatnya sampai berubah menjadi bubur

atau lumpur. Hal ini bertujuan untuk mempercepat proses penguraian

yang dilakukan oleh bakteri dan mempermudah pencampuran atau

homogenisasi bahan.

3) Kadar air

Pengomposan secara anaerob membutuhkan kadar air yang tinggi yaitu,

sekitar 50% keatas. Kadar air yang banyak pada proses pengomposan

secara anaerob diperlukan bakteri untuk membentuk senyawa-senyawa

gas dan bermacam-macam asam organik sehingga pengendapan kompos

akan lebih cepat. Secara fisik, kadar air dapat memudahkan proses

penghancuran bahan organik dan mengurangi bau.

4) Derajat Keasaman

Derajat keasaman (pH) optimal yang dibutuhkan pada pengomposan

secara anaerob yaitu antara 6,7-7,2. Untuk mempertahankan kondisi pH

hendaknya ditambahkan kapur pada tahap awal bahan dimasukkan.

5) Temperatur (Suhu)

Pada pengomposan secara anaerob, proses bisa berlangsung pada variasi

suhu yang ekstrim yaitu 5-75°C. Aktivitas mikrobanya meningkat seiring

dengan meningkatnya suhu. Namun, umumnya bakteri aktif pada

selang suhu mesofilik yaitu antara 30-35°C sebagian lagi aktif pada suhu

termofilik 50-55°C. Suhu paling baik (optimal) yang dibutuhkan yaitu

22
antara 50-60°C suhu optimal tersebut dapat dibantu dengan cara

meletakkan tempat pengomposan dilokasi yang terkena sinar matahari

secara langsung untuk menaikkan suhu, maka gas metan yang dihasilkan

juga akan semakin tinggi dan proses pembusukan akan berlangsung lebih

cepat (Sudradjat, 2006 dan Daswati, 2014).

Pengomposan alami akan memakan waktu yang relatif lama,

yaitu bekisar antara 2-3 bulan bahkan 6-12 bulan. Hal tersebut

disebabkan oleh karena pengadaan dekomposernya hanya mengandalkan

mikroba alami yang ada pada sampah dan lingkungannya. Jika mikroba

dekomposer dapat disediakan dengan baik sebagai starter (bibit mikroba)

aktivator dekomposisi, maka proses pengkomposan dapat dipercepat,

misalnya : EM4, NASA, dan lain-lain.

2.4 Jenis-jenis Aktivator

2.4.1 Efektif Mikroorganisme-4 (EM4)

EM4 mengandung 90% bakteri Lactobacillus sp (bakteri penghasil

asam laktat), pelarut posfat, bakteri fotosintetik, Streptomyces sp, jamur

pengurai selulosa dan ragi. EM4 merupakan suatu tambahan untuk

mengoptimalkan pemanfaatan zat-zat makanan karena bakteri yang terdapat

dalam EM4 dapat mencerna selulosa, pati, gula, protein dan lemak (Surung,

2008).

Dan terbuat dari hasil fermentasi mikroorganisme alami dan sintetik di dala

23
m tanah yang telah di seleksi dan di kemas menjadi medium cair

Gambar 1. Aktivator EM4

Tabel 2.1 Komposisi Biokativator EM4

No Jenis Mikroba dan Unsur Hara Nilai


1. Lactobacillus 8,7 x 106
2. Bakteri pelarut Phosfat 7,5 x 106
9.
3. Al (ppm)
Ragi/Yeast 8,5 0,1
x 10³
10.
4. Zn (ppm)
Actinomycetes 1,90
+
11.
5. CuFotosintetik
Bakteri (ppm) 0,01
+
12.
6. Mn(ppm)
Ca (ppm) 3,29
1,675
13.
7. Na (ppm)
Mg (ppm) 363
597
14.
8. FeB (ppm)
(ppm) 20
5,54
15. N (ppm) 0,07
Sumber 16. Ni (ppm) 0,92
: Lab. 17. K (ppm) 7,675
Fak. 18. P (ppm) 3,22
19. Cl (ppm) 24 414,35
20. C (ppm) 27,05
21. Ph 3.9
MIPA IPB Bogor, 2006 ; lab. EMRO INC, JAPAN, 2007.

EM4 merupakan produk bioaktivator yang beredar di pasaran berupa Efektif

Mikroorganisme asli yang tidak langsung diaplikasikan pada media. Hal ini

disebabkan kandungan mikroorganisme dalam EM masih dalam kondisi tidur

(dorman) sehingga tidak akan memberikan pengaruh yang nyata. Untuk itu, EM

asli perlu dilarutkan menjadi EM aktif apabila ingin digunakan (Suryati, 2014).

2.4.2 MOL (Mikro Organisme Lokal)

Bioaktivator yang dibuat sendiri atau mikro organisme lokal (MOL), yaitu

dapat digunakan sebagai pendekomposer, pupuk hayati dan sebagai pestisida

organik terutama sebagai fungisida, serta bahan fermentasi atau starter dalam

pembuatan pupuk organik cair ataupun pupuk organik pada kumpulan

mikroorganisme yang bisa diternakkan fungsinya sebagai starter dalam

pembuatan pupuk organik. Berdasarkan bahannya, ada dua MOL yang bisa

dibuat, yaitu MOL tapai dan MOL nasi basi serta berbagai MOL berbahan

lainnya (Setiawan, 2012).

Kandungan yang ada di MOL tapai yaitu Rhizobium sp, Azosprillium sp,

Azobacter sp, Pseudomonas sp, Bacillus sp, dan Bakteri pelarut phosfat.

MOL tapai adalah bioaktivator yang bahan dasarnya terbuat dari tapai,

baik tapai singkong maupun tapai ketan. Bahan yang perlu dipersiapkan

sebelum membuat MOL, yaitu : Tapai ketan/tapai ubi 1 ons, air ± 1000 ml, gula

pasir 5 sendok makan dan botol air berukuran 1500 ml.

25
Gambar 2. MOL
Tapai

2.5 Keranjang Takakura

2.5.1 Pengertian Keranjang Takakura

Proses pembuatan kompos dengang keranjang takakura merupakan proses

pengomposan aerob, di mana udara dibutuhkan sebagai asupan penting dalam

proses pertumbuhan mikroorganisme yang menguraikan sampah menjadi

kompos.Takakura Home Method (THM) adalah metode

pengomposan/komposting skala rumah tangga yang ditemukan oleh kelompok

pecinta lingkungan bernama Pusat Pemberdayaan Masyarakat Kota

(PUSDAKOTA) yang berbasis di Surabaya.

Hasil penelitian tersebut telah mendapat supervisi ilmiah dari tuan Takakura dari

Jepang Nursanty (2007) menyebutkan Metode ini dapat mengolah volume sampah

lebih dari 0,5 hingga 1 kg per hari.Metode pengomposan/komposting

menggunakan alat berupa keranjang berventilasi yang berisi bakteri pengurai, di

lengkapi dengan dua bantalan sekam untuk sirkulasi udara dan menjaga agar

sampah tetap kering dan kelembabannya cukup, karena bentuknya menarik

keranjang ini dapat diletakkan dimanapun, disarankan di dapur agar dekat dengan

sumber sampah. Oleh karena itu, metode ini dapat menepis anggapan bahwa

pembuatan kompos terasa jijik dan bau (USAID, 2009).

2.5.2 Sejarah Keranjang Takakura

Kompos Takakura adalah kompos yang diperkenalkan oleh pak Takakura

seorang peneliti dari Jepang yang melakukan penelitiannya tentang pembuatan

26
kompos secara praktis, di Surabaya bersama PUSDAKOTA, Universitas Surabaya

dan Kitakyushu Tehcno-cooperation Association, Jepang.

Kompos ini adalah hasil penemuan dan pengalaman praktek Mr. Takakura

dari Jepang oleh sebab itu disebut dengan kompos Takakura.

Tempat membuat komposnya sangat praktis yaitu dengan menggunakan

keranjang berlubang dan kemudian dimasukkan kotak kardus di dalamnya.

Keranjang ini juga disebut dengan kotak sakti karena dapat menyerap sampah

organik rumah tangga dengan jumlah keluarga (4-6 orang) sampai dengan 1 bulan

untuk menjadi penuh dan merubahnya menjadi pupuk kompos. Selain itu, kotak

ini dapat dipakai berulang-ulang sampai hitungan tahunan untuk menyerap

sampah organik rumah kita. Secara keindahan kotak ini tidak beda dengan

kotak- kotak penyimpanan lainnya jika diletakkan didalam rumah karena sampah

yang dimasukkan tidak berbau. (Bakhtiar, 2007).

Berawal dari konsepsi sederhana untuk mencari solusi yang realistis untuk

memecahkan masalah timbunan sampah, Penemuan ini kemudian kemudian

dikembangkan untuk masyarakat. Penemuan ini salah satu sasarannya adalah

meminamilisir beban pengelolaan sampah di hilir yaitu mengurangi timbunan

sampah yang harus diangkut ke tempat pengolahan akhir (TPA). Akhirnya

penemuan ini pun banyak dipakai di beberapa wilayah di Indonesia seperti

Surabaya, Bali, Makassar, Semarang dan bahkan di kota Medan pada program

rumah kompos dan bank sampah di kelurahan Sicanang yang merupakan program

kerjasama antara pemerintah kota Medan dan pemerintah Kitakyushu Jepang

melalui program peningkatan Efesiesnsi pengolahan sampah kota Medan yang

mulai berjalan sejak tahun 2014.

Selain mengurangi pasokan sampah rumah tangga ke TPA, jumlah produksi

27
sampah organik yang dikelola perbulannya sebanyak 3-9 ton, sebanyak 525

rumah tangga yang ada di kelurahan Sicanang juga telah mendapat pelatihan

membuat kompos skala rumah tangga dengan metode Takakura. Kompos yang

dihasilkan bisa dijual oleh ibu-ibu di lingkungan/kelurahan dan digunakan sendiri

untuk tanaman di halaman rumah.

Keberhasilan Mr.Takakura dalam mengelola sampah tidak hanya saja

memberikan sumbangsih bagi teknologi penguraian sampah organik, tetapi juga

menjadi inspirasi bagi pengelola sampah berbasis komunitas. Penemuan Takakura

ini telah memperoleh Hak Cipta (HAKI) no P00200600206.

2.5.3 Prinsip Pembuatan Kompos Tatakura

Prinsip pembuatan kompos pada dasarnya meniru proses terjadinya humus

di alam dengan bantuan mikroorganisme. Proses pengomposan akan segera

berlangsung sesudah bahan-bahan mentah dicampur, proses pengomposan secara

sederhana dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap aktif dan tahap

pematangan. Selama tahap-tahap awal proses, oksigen dan senyawa-senyawa

yang mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh mikroba. Oleh

karenanya ada beberapa hal yang harus dilakukan seperti menjaga kelembaban

(50-60%), melakukan pembalikan agar kompos tidak kekurangan udara, dan

peneduhan agar terlindung dari hujan dan sinar matahari secara langsung (Disebut

kan olehRochendi 2005)

Kelebihan metode Takakura ini, ialah: sangat cocok untuk skala rumah

tangga, tidak membutuhkan lahan yang luas, mudah dilakukan, murah,

komposting tidak menghasilkan bau yang mengganggu, kontrol mudah dilakukan,

ramah lingkungan, dan produk dapat digunakan sendiri/dijual (USAID, 2009).

Jenis-jenis sampah organik yang boleh masuk seperti sampah sayur yang

28
baru, sisa sayur yang sudah basi, sisa nasi basi, sisa makanan siang atau malam,

sampah buah (kulit jeruk, kulit apel kecuali kuliat buah yang keras) dan sampah

ikan laut atau ikan tawar.

Semua jenis sampah organik yang dihasilkan oleh rumah tangga dapat diolah

dengan keranjang Takakura dengan hasil ½ atau ¼ dari bahan dasar kompos.

2.5.4 Proses Pengomposan Takakura

Proses pengomposan Takakura memiliki beberapa tahapan yaitu mulai dari:

membuat bantalan sekam, membuat keranjang Takakura, proses

pengomposan sampai dengan pengujian kualitas kompos.

1) Membuat bantalan sekam

Dalam proses pengomposan menggunakan metode Takakura diperlukan

untuk membuat dua bantalan sekam yaitu bantalan sekam bawah yang

berfungsi sebagai penampung air lindi dari sampah bila ada, sehingga bisa

menyerap bau dan sebagai alat kontrol udara di tempat pengomposan

supaya bakteri berkembang dengan baik. Sedangkan fungsi bantalan sekam

atas yaitu sebagai alat kontrol udara selama proses pengomposan.

Cara membuat bantalan sekam, yaitu:

 Sediakan kain kasa nyamuk, gunting, jarum dan benang.

 Kemudian, gunting kain kasa sesuai ukuran keranjang. Lalu masukkan

sekam kedalam kain kasa isi setebal 5 cm dan jahit.

2) Membuat keranjang Takakura

Setelah membuat bantalan sekam, selanjutnya menyediakan keranjang

berlubang, kardus, kain penutup berpori dan tutup keranjang.

 Keranjang berlubang diperlukan untuk proses pengomposan aerob yang

29
membutuhkan udara.

 Kardus berfungsi perangkap starter agar tidak tumpah, membatasi

gangguan serangga, mengatur kelembaban dan berpori-pori sehingga

dapat menyerap serta membuang udara dan air.

 Kain penutup berpori berfungsi agar lalat tidak dapat masuk dan

bertelur di dalam keranjang.

 Tutup keranjang berfungsi sebagai pemberat agar tidak diganggu oleh

predator seperti kucing.

Gambar 3. Susunan keranjang Takakura

30
4. Proses pengomposan

Dalam proses pengomposan dengan menggunakan keranjang Takakura menur

ut Dyah (2013) ada beberapa hal yang harus dilakukan, yaitu :

1. Persiapkan keranjang plastik berlubang berukuran 20x30x40 cm berikut

dengan tutupnya

2. Lapisi bagian dalam keranjang dengan karton atau bekas kardus

3. Membuat bantalan sekam dengan cara memasukkan sekam kedalam jaring

atau kain kasa nyamuk sesuai ukuran keranjang dan setebal 5 cm

4. Kemudian masukkan sayur kedalam keranjang yang sudah tercacah dengan

ukuran 2 cm

5. Tambahkan aktivator kedalam keranjang untuk mempercepat proses

pengomposan dan diaduk

6. Letakkan bantalan sekam yang kedua diatas sampah yang telah tercampur

dengan aktivator

7. Tutup dengan kain kasa hitam bersama tutup keranjang.

2.6 Indikator Kematangan Kompos

Indikator kematangan kompos berdasarkan (SNI 19-7030-2004) setelah semua


proses pembuatan kompos dilakukan. Mulai dari pemilihan bahan, pengadaan bahan,
perlakuan bahan, pencampuran bahan, pematangan kompos, pembalikan kompos
sampai menjadi kompos, maka dapat dilihat ciri-ciri kompos yang sudah jadi dan
baik adalah sebagai berikut :

1. Jika diraba, suhu tumpukan bahan yang dikomposkan sudah dingin, mendekati

suhu ruang.

31
2. Tidak mengeluarkan bau busuk lagi.
3. Bentuk fisiknya sudah menyerupai tanah yang bewarna kehitaman.
4. Jika dilarutkan ke dalam air, kompos yang sudah matang tidak akan larut.
5. Strukturnya remah, dan tidak menggumpal (Simamora, 2006)

Tabel 2.2 Data Standarisasi Nasional Kompos (SNI : 19-7030-2004)

No Parameter Satuan Minimum Maksimum


1. Kadar Air % - 50
2. Temperatur °C Suhu air
Tanah
3. Warna Kehitaman
4. Bau Berbau tanah
5. Ukuran partikel Mm 0,55 25
6. Kemampuan ikat air % 58 -
7. pH 6,80 7,49
8. Bahan asing % * 1,5
Unsur makro
9. Bahan organik % 27 58
10. Nitrogen % 0,40 -
11. Karbon % 9,80 32
12. Phosfor (P2O5) % 0,10 -
13. C/N-rasio 10 20
14. Kalium (K2O) % 0,20 *
Unsur mikro
15. Arsen mg/kg * 13
16. Kadmium (cd) mg/kg * 3
17. Kobal (Co) mg/kg * 34
18. Kromium (Cr) mg/kg * 210
19. Tembaga (Cu) Mg/kg * 100
20. Merkuri (Hg) mg/kg * 0,8
21. Nikel (Ni) mg/kg * 62
22. Timbal (Pb) mg/kg * 150
23. Selenium (Se) mg/kg * 2
24. Seng (Zn) mg/kg * 500
Unsur lain
25. Kalsium % * 25,50
26. Magnesium (Mg) % * 0,60
27. Besi (Fe) % * 2,00
28. Aluminium (Al) % * 2,20
29. Mangan (Mn) % * 0,10
Bakteri
30. Fecal Coli MPN/gr 1000
31. Salmonella sp MPN/ 4gr 3
Keterangan : * Nilainya lebih besar dari minimum atau lebih kecil dari maksimum

32
2.7 Manfaat Kompos

Kompos ibarat multivitamin bagi tanah dan tanaman. Rachman (2002)

mengemukakan bahwa dengan pupuk organik sifat fisik, kimia dan biologi tanah

menjadi lebih baik. Selain itu, kompos memiliki banyak manfaat yang ditinjau

dari beberapa aspek :

1. Aspek ekonomi :

a) Menghemat biaya untuk transportasi dan penimbunan limbah

b) Mengurangi volume/ukuran limbah

c) Memiliki nilai jual yang lebih tinggi dari pada bahan asalnya

2. Aspek lingkungan :

a) Mengurangi polusi udara karena pembakaran limbah dan pelepasan gas

metan dari sampah organik yang membusuk akibat bakteri metanogen di

tempat pembuangan sampah

b) Mengurangi kebutuhan lahan atau penimbunan

3. Aspek bagi tanah/tanaman

a) Meningkatkan kesuburan tanah

b) Memp erbaiki struktur dan karakteristik tanah

c) Meningkatkan kapasitas penyerapan air oleh tanah

d) Meningkatkan aktivitas mikroba tanah (Endang, 2011).

33
Pengukuran :

 pH
2.8 Kerangka Konsep
 Suhu

Aktivator  Kelembaban

 EM4

 MOL
Kualitas Fisik Kompos:
 Berwarna kehitaman,
 Strukturnya tidak
menggumpal,
 Jika dilarutkan dalam
Limbah Say
Keranjang
Lama air, kompos yang sudah
ur Rumah ta matang tidak akan larut
Waktu
ngga
Takakura Pengomposan  Tidak berbau lagi
(Garbage)
 Suhu dingin mendekati s
uhu ruangan.

Kualitas Kimia Kompos

 Carbon
Gambar :4 Kerangka konsep
 Natrium

 Phosfot

 Kalium

34
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian dilakukan adalah berjenis penelitian eksperimen semu yaitu

meneliti efektivitas aktivator (EM4 dan MOL) terhadap kecepatan pembuatan

kompos dari sampah rumah tangga (Garbage) yang dilakukan dengan 2 keranjang

perlakuan EM4, dengan dosis yang berbeda(500 ml dan 250 ml) 2 keranjang

MOL dengan dosis yang berbeda (500 ml dan 250 ml) dan 1 keranjang kontrol.

Analisa data menggunakan uji T-Test (bertingkat) dengan pengukuran pH,suhu,

kelembaban menggunakan Grafik X,Y selama waktu proses pengomposan.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1 Lokasi

Lokasi penelitian ini dilakukan di Kec.Silimakuta, Jln.Kartini, Kabupaten

Simalungun

3.2.2 Waktu

Waktu penelitian ini dilakukan pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2022.

3.3 Metode Pengumpulan Data

3.3.1 Data Primer


Data diperoleh dari hasil pengamatan perbandingan penggunaan dosis, pH,

suhu, dan kelembaban yang dilakukan setiap selang tujuh hari selama proses

pengomposan.

3.3.2 Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari buku-buku, jurnal dan literatur-literatur serta

penelitian sebelumnya yang mendukung sebagai daftar pustaka.


35
3.4 Objek Penelitian

Objek dalam penelitian ini adalah limbah padat sayuran berupa daun dan

batang sayuran yang tidak dapat dikonsumsi, yang diperoleh dari lebih kurang 10

rumah tangga beranggotakan minimal 5 orang di kelurahan Saribudolok, Jln.Karti

ni Kabupaten Simalungun.

3.5 Defenisi Operasional

Untuk mendapatkan perkiraan(Tapsiran) yang sama dalam penelitian ini,

maka diberi batasan operasionalnya, yaitu :

36
No Variabel Defenisi Cara Alat Hasil Skala
Operasiona Pengukuran Ukur
l
1. Limbah Sisa sayur berupa Pencacahan Timban gan 3 kg -
RT daun, batang serta sebesar 2cm
akar yang tidak
dapat dikonsumsi

2. Keranjang Keranjang Berlubang, - - -


Takakura berlubang atau di dilengkapi
beri lubang sekam,tutup dan
supaya oksigen kardus
dapat Masuk

3. EM4 Cairan aktivator Dilakukan Gelas 1.Menggunakan Ordinal


Yang mampu Secara langsung Ukur 2.Tidak
mempercepat menggu nakan
proses Pembusukan
yang tersedia di pas
aran

4. Mol Air Tapai Dilakukan Gelas 1.Menggunakan Ordinal


(Kumpulan secara langsung Ukur 2.Tidak
mikro organisme menggu nakan
lokal yang
berasal dari tapai
dan
dikembangkan
dengan larutan
gula)

37
5 Ph Derajat keasaman Dilakukan pH-meter 6-8 -
. dan basa pada secara langsung
tempat/bahan
kompos penelitian
Berlangsung

6 Suhu Temperatur udara di Dilakukan Termom eter 30-60°C -


. tempat/bahan secara langsung
kompos penelitian
berlangsung yang
diukur dengan
Termometer dan
dinyatakan dalam
derajat celcius

7 Kelemba Kandungan uap air di Dilakukan Hygro meter 40-60% -


. ban udara di secara langsung
tempat/bahan
kompos penelitian
berlangsung yang
diukur dengan
menggunakan alat
Hygrometer dan
dinyatakan dengan
Persen
0,40% Ordinal
8.Nitrogen Merupakan unsur hara Laboratorium 1. Memenuhi syarat
makro yang terdapat
pada kompos dan 2. Tidak memenuhi
berfungsi untuk syarat
pertumbuhan tunas,
batang, dan daun.
Ordinal
0,10%
9. Phosfor
Merupakan unsur hara 1. Memenuhi syarat
Laboratorium
makro yang terdapat
pada kompos berfungsi
2. Tidak memenuhi
untuk pertumbuhan .
syarat
akar, buah dan biji.

Merupakan unsur hara Laboratorium 0,20% Ordinal


10.Kalium 1. Memenuhi syarat
makro yang terdapat
pada kompos berfungsi
untuk meningkatkan 2. Tidak memenuhi
ketahanan tanaman syarat
terhadap serangan hama
dan penyakit

3.6 Pelaksanaan Penelitian

3.6.1 Alat dan Bahan

38
Alat yang digunakan adalah :

1. Keranjang berlubang
2. Kardus
3. Sendok(Pengaduk)
4. Sekam padi
5. Kasa nyamuk/Kain jaring
6. Benang nilon
7. Jarum jahit
8. Gunting
9. Selotip
10. Timbangan
11. Ember plastik
12. Gelas ukur
13. Indikator universal pH
14. Termo-Hygrometer
15. Botol Plastik berukuran 1000ml dan 1500ml.

Bahan yang digunakan adalah :

1. Sampah organik yaitu sampah sayur


2. Aktivator EM4
3. MOL tapai

3.7 Prosedur Kerja

3.7.1 Prosedur Kerja membuat aktivator EM4

Cara mengaktifkan aktivator EM4 sebagai berikut :

1) Campurkan 500 ml EM asli dengan 500 ml molase (larutan gula) lalu


tambahkan air hingga tercampur menjadi 1500 ml
2) Masukkan larutan yang telah jadi ke dalam wadah, lalu tutup hingga rapat
3) Biarkan 5-10 hari dalam keadaan kedap udara, wadah harus tertutup
rapat dan terhindar dari sinar matahari langsung

4) Buka tutup wadah pada hari ke lima untuk mengeluarkan gas agar
tidak meledak

5) Setelah 5-10 hari, EM aktif sudah dapat digunakan dengan indikasi

tercium bau asam manis.

3.7.2 Prosedur Kerja Pembuatan Tapai Ubi


39
Adapun prosedur kerja pembuatan tapai ubi, yaitu :

1) Siapkan 1 botol plastik bekas air mineral ukuran (1500 ml) tanpa

tutup masukkan tapai kedalam botol tersebut sebanyak 1 ons

2) Masukkan larutan gula kedalam botol dan tambahkan air hingga

mendekati penuh.

3) Biarkan botol terbuka tanpa tutup selama 4-5 hari atau dapat juga

menutup botol dengan balon dan diikat

4) Setelah 5 hari MOL sudah bisa digunakan, hal ini ditandai dengan

adanya aroma alkohol dari larutan MOL tapai ubi dan balon yang

menjadi tutup MOL mengembang.

3.7.3 Prosedur Kerja Pengomposan metode Takakura

Prosedur kerja yang akan diterapkan dalam proses pengomposan dengan

metode takakura, yaitu :

1) Sediakan 5 keranjang berlubang dengan ukuran 20x40, kemudian

masukkan bantalan berisi sekam yang telah dibuat pada dasar keranjang

2) Melapisi keranjang sampah dengan kardus bekas sesuai ukuran keranjang

3) Campurkan sampah organik tercacah dengan aktivator yang telah

disiapkan kedalam ember plastik

4) Aduk sampel masing-masing ember hingga merata, kemudian masukan

kedalam keranjang tersebut.

5) Tutup kompos tersebut dengan bantalan sekam kedua

6) Masukkan termometer dan hygrometer sebagai alat pengukur suhu dan

kelembaban, kemudian tutup keranjang dengan lapisan kain agar

serangga kecil tidak masuk.

7) Selama proses pengomposan, setiap hari harus dilakukan pengecekan

40
terhadap pH, suhu, kelembaban pada kompos

8) Indikator kompos yang sudah jadi,dinyatakan jika suhu bahan yang

dikomposkan sudah dingin atau mendekati, tidak mengeluarkan bau

busuk, bentuk fisik seperti tanah (bewarna kehitaman), jika dilarutkan

kedalam kompos tidak akan larut (mengendap), pH berkisaran 6-8,5

9) Kompos yang sudah jadi diayak, kompos halus dapat digunakan sebagai

pupuk. Sisa yang kasar dapat digunakan sebagai aktivator keranjang

takakura.

BAB IV

HASIL

PENELITIAN

4.1 Karakteristik Bahan dan Lama Pengomposan

Penelitian ini dilakukan selama 70 hari masa pengomposan yang memiliki

tujuh perlakuan yaitu, perlakuan 1 adalah EM1 terdiri dari 3 kg sampah sayur

tercacah + 500 ml EM4 aktif, perlakuan 2 adalah EM 2 terdiri dari 3 kg sampah

sayur tercacah + 250 ml EM4 aktif, perlakuan 3 adalah M1 terdiri 3 kg sampah

41
sayur tercacah + 500 ml MOL tapai, perlakuan 4 adalah M 2 terdiri dari 3 kg

sampah sayur tercacah + 250 ml MOL tapai, perlakuan 5 adalah K0 terdiri dari 3

kg sampah sayur tercacah (Kontrol). Proses pengomposan ini dilakukan dengan

menggunakan metode Tatakura secara aerob, setelah bahan kompos tercampur

sampai terjadi proses penguraian, maka dilakukan pengamatan.

Tabel .Lama pengamatan berdasarkan Aktivator


No Perlakuan Lama pengamatan/hari
1. Aktivator EM4 500 ml 21 hari
2. Aktivator EM4 250 ml 35 hari
3. Aktivator MOL 500 ml 35 hari
4. Aktivator MOL 250 ml 49 hari
5. Tanpa Aktivator 70 hari

Berdasarkan diatas dapat dilihat bahwa lama pengamatan yang

menggunakan aktivator EM4 dengan dosis 500 ml yaitu selama 21 hari,lama

pengamatan menggunakan aktivator EM4 dengan dosis 250 ml yaitu selama 35

hari, lama pengamatan menggunakan aktivator MOL denga dosis 500 ml yaitu

selama 35 hari , pengamatan menggunakan aktivator MOL denga dosis 250 ml

yaitu selama 49 hari sedangkan lama pengamatan tanpa menggunakan aktivator

yaitu selama 70 hari.

42
4.2 Hasil Pengukuran pH, Suhu, dan Kelembaban selama Proses Pengomposan

Adapun hasil pengamatan selama proses pengomposan mulai dari

pengukuran pH, suhu, dan kelembaban selama proses pengomposan dapat dilihat

pada tabel berikut.

pH Pengamatan hari
I II III IV V VI VII VIII IX

Aktivator EM4 6.2 6.4 6.6 6.8 6.9 6.9 7.0 7.0 7.3
500
Aktivator EM4 6.0 6.1 6.3 6.5 6.5 6.8 6.8 7.0 7.1
250
Aktivator MOL 6.1 66.2 6.2 6.3 6.5 6.5 6.7 7.0 7.1
500
Aktivator MOL 6.2 6.2 6.2 6.4 6.5 6.5 6.7 6.9 7.0
250
Kontrol 6.0 6.2 6.4 6.5 6.7 6.8 6.8 7.2 7.2
Tabel . pH rata-rata berdasarkan Jenis Aktivator

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa pH pada kompos yang

menggunakan aktivator EM4 dosis 500 yaitu pH pengamatan 1 sebesar 6.2, pH

pengamatan ke 2 sebesar 6.4 pH pengamatan ke 3 sebesar 6.6 , pengamatan 4

sebesar 6.8, pengamatan 5 sebesar 6.9, pengamatan 6 sebesar 6.9, pengamatan 7

sebesar 7.0, pengamatan 8 sebesar 7.0, dan pengamatan 9 sebesar 7.3. pada

kompos yang menggunakan aktivator EM4 dosis 250 yaitu pH pengamatan 1

sebesar 6.0, pH pengamatan ke 2 sebesar 6.1 pH pengamatan ke 3 sebesar 6.3 ,

pengamatan 4 sebesar 6.5, pengamatan 5 sebesar 6.5, pengamatan 6 sebesar 6.5,

pengamatan 7 sebesar 6.8, pengamatan 8 sebesar 7.0, dan pengamatan 9 sebesar

7.1.

43
Pada kompos yang menggunakan aktivator MOL 500 yaitu pH pengamatan 1

sebesar 6.1, pH pengamatan 2 sebesar 6.2, pH pengamatan 3 sebesar 6.2,

pengamatan 4 sebesar 6.3, pH pengamatan 5 sebesar 6.5, pH pengamatan 6

sebesar 6.5 pengamatan 7 sebesar 6.7, pH pengamatan 8 sebesar 7.0, dan pH

pengamatan 9 sebesar 7.1 sedangkan pada kompos yang tidak menggunakan

aktivator atau tanpa perlakuan yaitu pH pengamatan 1 sebesar 6.0, pH

pengamatan 2 sebesar 6.2, pH pengamatan 3 sebesar 6.3, pengamatan 4 sebesar

6.5, pH pengamatan 5 sebesar 6.8, pH pengamatan 6 sebesar 6.8 pengamatan 7

sebesar 6.8, pH pengamatan 8 sebesar 7.2, dan pH pengamatan 9 sebesar 7.2.

Tabel Suhu berdasarkan Jenis Aktivator (°C)


Suhu(°C) Pengamatan hari
I II III IV V VI VII VIII IX

Aktivator EM4 3.3 3.3 3.5 3.8 4.0 4.2 3.8 3.5 3.3
500
Aktivator EM4 3.5 3.8 3.8 4.0 4.2 4.2 3.8 3.8 3.5
250
Aktivator MOL 3.5 3.5 3.8 4.0 4.2 4.0 3.8 3.5 3.3
500
Aktivator MOL 3.6 3.6 3.9 4.1 4.3 4.2 4.0 3.8 3.5
250
Kontrol 3.3 3.3 3.5 3.8 4.0 4.0 3.8 3.5 3.5

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa suhu pada kompos yang

menggunakan aktivator EM4 500 yaitu suhu pengamatan 1 sebesar 33°C, suhu

pengamatan ke 2 sebesar 33°C suhu pengamatan ke 3 sebesar 35°C, pengamatan

4 sebesar 38°C, pengamatan 5 sebesar 40°C pengamatan 6 sebesar 42°C,

pengamatan 7 sebesar 38°C, pengamatan 8 sebesar 35°C, dan pengamatan 9

sebesar 33°C, pada kompos yang menggunakan aktivator EM4 dosis 250 yaitu

44
suhu pengamatan 1 sebesar 35°C, suhu pengamatan ke 2 sebesar 38°C suhu

pengamatan ke 3 sebesar 38°C, pengamatan 4 sebesar 4.0°C, pengamatan 5

sebesar 4.2°C, pengamatan 6 sebesar 4.0°C, pengamatan 7 sebesar 38°C,

pengamatan 8 sebesar 38°C, dan pengamatan 9 sebesar 35°C.

Pada kompos yang menggunakan aktivator MOL 500 yaitu suhu pengamatan 1

sebesar 35°C, suhu pengamatan 2 sebesar 35°C, suhu pengamatan 3 sebesar

38°C, pengamatan 4 sebesar 4.0°C, suhu pengamatan 5 sebesar 4.2°C, suhu

pengamatan 6 sebesar 4.0°C pengamatan 7 sebesar 38°C, suhu pengamatan 8

sebesar 35°C, dan suhu pengamatan 9 sebesar 33°C , Pada kompos yang

menggunakan aktivator MOL 250 yaitu suhu pengamatan 1 sebesar 36°C, suhu

pengamatan 2 sebesar 36°C, suhu pengamatan 3 sebesar 39°C, pengamatan 4

sebesar 41°C, suhu pengamatan 5 sebesar 43°C, suhu pengamatan 6 sebesar 42°C

pengamatan 7 sebesar 40°C, suhu pengamatan 8 sebesar 38°C, dan suhu

pengamatan 9 sebesar 35°C sedangkan pada kompos yang tidak menggunakan

aktivator atau tanpa perlakuan yaitu suhu pengamatan 1 sebesar 33°C, suhu

pengamatan 2 sebesar 33°C, suhu pengamatan 3 sebesar 35°C, pengamatan 4

sebesar 38°C, suhu pengamatan 5 sebesar 40°C, suhu pengamatan 6 sebesar 40°C

pengamatan 7 sebesar 38°C, suhu pengamatan 8 sebesar 35°C, dan suhu

pengamatan 9 sebesar 35°C.

45
Tabel Kelembaban berdasarkan Jenis Aktivator (%)
Kelembaban Pengamatan hari
I II III IV V VI VII VIII IX

Aktivator EM4 50 50 52 52 53 53 56 56 55
500
Aktivator EM4 50 52 52 53 53 56 58 60 55
250
Aktivator MOL 50 53 55 55 58 58 55 55 52
500
Aktivator MOL 50 52 55 55 58 58 55 52 52
250
Kontrol 50 50 50 51 51 51 52 52 52

Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa kelembaban pada kompos

yang menggunakan aktivator EM4 500 yaitu kelembaban pengamatan 1 sebesar

50%,kelembaban pengamatan ke 2 sebesar 50%, kelembaban pengamatan ke 3

sebesar 52%, pengamatan 4 sebesar 52%, pengamatan 5 sebesar 53%,

pengamatan 6 sebesar 53%, pengamatan 7 sebesar 56%, pengamatan 8 sebesar

56%, dan pengamatan 9 sebesar 55%, pada kompos yang menggunakan aktivator

EM4 dosis 250 yaitu kelembaban pengamatan 1 sebesar 50%, kelembaban

pengamatan ke 2 sebesar 52%, kelembaban pengamatan ke 3 sebesar 52%,

pengamatan 4 sebesar 53%, pengamatan 5 sebesar 53%, pengamatan 6 sebesar

56%, pengamatan 7 sebesar 58%, pengamatan 8 sebesar 60%, dan pengamatan 9

sebesar 55%.

Pada kompos yang menggunakan aktivator MOL 500 yaitu kelembaban

pengamatan 1 sebesar 50%,kelembaban pengamatan ke 2 sebesar 53%,

kelembaban pengamatan ke 3 sebesar 55%, pengamatan 4 sebesar 55%,

pengamatan 5 sebesar 58%, pengamatan 6 sebesar 58%, pengamatan 7 sebesar

55%, pengamatan 8 sebesar 55%, dan pengamatan 9 sebesar 52%, pada kompos

yang menggunakan aktivator EM4 dosis 250 yaitu kelembaban pengamatan 1

46
sebesar 50%, kelembaban pengamatan ke 2 sebesar 52%, kelembaban pengamatan ke

3 sebesar 53%, pengamatan 4 sebesar 55%, pengamatan 5 sebesar 58%, pengamatan 6

sebesar 58%, pengamatan 7 sebesar 55%, pengamatan 8 sebesar 55%, dan pengamatan

9 sebesar 52%. sedangkan pada kompos yang tidak menggunakan aktivator atau tanpa

perlakuan yaitu kelembaban pengamatan 1 sebesar 50%, kelembaban pengamatan ke 2

sebesar 50%, kelembaban pengamatan ke 3 sebesar 50%, pengamatan 4 sebesar 50%,

pengamatan 5 sebesar 52%, pengamatan 6 sebesar 52% pengamatan 7 sebesar 52%

pengamatan 8 sebesar 52% dan pengamatan 9 sebesar 52%.

47

Anda mungkin juga menyukai