SKRIPSI
OLEH :
ROSMAIDA HELEN FARINA NAINGGOLAN
NIM. P.00933221079
47
OLEH :
48
2022
adalah hasil karya saya kecuali kutipan-kutipan yang telah saya sebutkan sumbernya.
Demikian pernyataan ini diperbuat, apabila dikemudian hari terbukti bahwa karya ini
bukan karya saya atau merupakan hasil jiplakan maka saya bersedia menerima sanksi
Disahkan oleh:
ii
Sampah sampai saat ini masih menjadi permasalahan di Indonesia, baik bagi
pemerintah maupun masyarakat pada umumnya. Data sampah di Dunia tahun 2013
mencapai 2,2 miliar ton pertahun. Badan Pusat Statistik kota Medan tahun 2015
dengan jumlah penduduk sebanyak 2.210.624 jiwa mempengaruhi volume sampah
yang dihasilkan yaitu sebanyak 1.061 ton/hari atau 387,412 m 3/tahun. Berbagai
pengamatan, 70-80% sampah yang dihasilkan adalah sampah organik rumah tangga
yang berasal dari kegiatan dapur maupun perkarangan dengan rata-rata volume
sampah yang dihasilkan per orang sekitar 0,5 - 0,6 kg/hari.
Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan kompos dari limbah RT
menggunakan aktivator EM4 dan MOL dengan menggunakan metode Tatakura
sebanyak tujuh keranjang perlakuan.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah quasi eksperimen dengan data
perbandingan waktu yang dibutuhkan dalam pematangan kompos dinilai dari
parameter pH, Suhu dan Kelembaban dimulai dari dilakukannya uji coba hingga
menjadi kompos dan pemeriksaan laboratorium kandungan Nitrogen, Phosfor dan
Kalium.
Hasil penelitian yang diperoleh dari pemberian aktivator EM4, MOL dan tanpa
aktivator menunjukan adanya perbedaan waktu pengomposan selama 11 hari, 13 hari
dan 16 hari. Kualitas kompos (Nitrogen, Phosfor, Kalium) yang dihasilkan sudah
memenuhi standar kompos SNI 19-7030-2004 yaitu nitrogen (0,40%), phosfor
(0,10%) dan kalium (0,20%) dari perlakuan yang telah dilakukan pemberian aktivator
MOL lebih efektif daripada pemberian aktivator EM4 dan tanpa aktivator yaitu rata-
rata kadar nitrogen sebesar 0,52-0,56, Phosfor 0,21% dan Kalium sebesar 0,30-
0,32%. Pemberian aktivator EM4 rata-rata kadar nitrogen sebesar 0,51-0,53%, kadar
phosfor sebesar 0,20%, kalium sebesar 0,29-0,31%. Sedangkan tanpa perlakuan rata-
rata kadar nitrogen sebesar 0,44%, kadar phosfor sebesar 0,20% dan kalium sebesar
0,29%.
Disarankan kepada pemerintah setempat untuk mengadakan penyuluhan dan
pelatihan pembuatan kompos dengan menggunakan metode tatakura dari limbah RT
sehingga limbah yang dihasilkan dapat bermanfaat.
iii
Pendidikan Formal
iv
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
Penulisan skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh
gelar Sarjana Sains Terapan di Politekkes Kemenkes Medan Jurusan Keehatan
Lingkungan Kebanjahe. Judul yang penulis ajukan adalah Efektivitas EM4 dan MOL
sebagai Aktivator dalam Pembuatan Kompos dari Sampah Rumah Tangga (Garbage)
dengan Menggunakan Metode Tatakura tahun 2022.
Dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan,
bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini
penulis dengan senang hati menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. –...........................
2. –....................................
3. -............................................selaku Ketua Departemen Kesehatan Lingkungan
4. Bpk.Nelson Tanjung, SKM.M.Kes., selaku Dosen Pembimbing I yang telah
banyak meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan kepada
penulis dalam penulisan skripsi ini
5. -.........................., selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis
dalam penulisan skripsi ini
6. \............................ Dosen Penguji I yang telah memberikan bimbingan saran,
serta masukan kepada penulis dalam perbaikan skripsi ini
7. ............................, selaku Dosen Penguji II yang telah memberikan
bimbingan, saran, dan masukan kepada penulis dalam perbaikan skripsi ini
8. ..................................., selaku Dosen Pembimbing Akademik dan seluruh
dosen dan staf/pegawai yang banyak membantu penulis dalam proses
perkuliahan di Poltekkes Kemenkes Medan Jurusan Kesehatan Lingkungan
Kabanjahe.
9. Prof. Dr. Ir. Sumono, MS., selaku Kepala Laboratorium Central Fakulas
Pertanian Universitas Sumatera Utara
vi
vii
Halaman
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI..........................................i
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ii
ABSTRAK.............................................................................................................iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP..............................................................................v
KATA PENGANTAR...........................................................................................vi
DAFTAR ISI..........................................................................................................ix
DAFTAR TABEL.................................................................................................xi
DAFTAR GAMBAR............................................................................................xii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1 Latar Belakang Masalah.........................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...................................................................................6
1.3 Tujuan Penelitian....................................................................................6
1.3.1 Tujuan Umum................................................................................6
1.3.2 Tujuan Khusus...............................................................................6
1.4 Manfaat Penelitian..................................................................................7
viii
BAB V PEMBAHASAN......................................................................................60
5.1 Waktu Pengomposan.........................................................................60
5.2 pH.......................................................................................................61
5.3 Suhu...................................................................................................63
5.4 Kelembaban.......................................................................................65
5.5 Kadar Nitrogen...................................................................................66
5.6 Kadar Phosfor....................................................................................67
5.7 Kadar Kalium.....................................................................................69
5.8 Keuntungan pembuatan Kompos dari Limbah RT............................71
dengan menggunakan Metode Tatakura
ix
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................74
LAMPIRAN
xi
xii
Sampai saat ini keberadaan sampah masih menjadi masalah di Indonesia, baik
itu bagi pemerintah maupun masyarakat pada umumnya. Keberadaan sampah sering
dengan terbentuknya gas CH4 hasil penguraian bahan organik yang mendorong
penyakit menular maupun penyakit kulit serta gangguan pernafasan, dan bahaya
banjir yang disebabkan oleh terhambatnya arus air di sungai karena terhalangnya
Menurut WHO, sampah adalah sesuatu yang dibuang berasal dari kegiatan
manusia dan tidak terjadi dengan sendirinya. Sementara didalam Naskah Akademis
atau kegiatan yang berwujud padat atau semi padat berupa zat organik atau anorganik
bersifat dapat terurai maupun tidak dapat terurai yang dianggap sudah tidak berguna
Bank Dunia (2013) menyatakan jumlah sampah padat di kota-kota dunia akan
terus meningkat dan akan terus naik sebesar 70% dari 1,3 miliar ton pertahun menjadi
2,2 miliar ton pertahun, mayoritas terjadi dikota-kota negara berkembang, dan dari
total sampah yang dihasilkan secara nasional hanya 80% yang berhasil dikumpulkan,
167 ribu ton perhari. Jumlah yang luar biasa itu dihasilkan dari 220 juta jiwa jumlah
penduduk dengan rata-rata produksi sampah 800 gram/orang setiap hari. Jumlah ini
meningkat pada tahun 2010 Indonesia menghasilkan sampah sebanyak 200 ribu ton
perhari. Jumlah yang besar ini berpotensi menimbulkan dampak negatif jika tidak
Indonesia tergolong sampah hayati. Rata-rata sampah yang tergolong hayati ini
adalah diatas 65% dari total sampah, melihat dari sumber asalnya maka sebagian
besar adalah sisa-sisa makanan dari sampah dapur dimana jenis sampah ini dapat
sampah di Indonesia. Penerapan Undang-Undang yang telah berusia 7,5 tahun ini
menyeluruh di Indonesia.
yang dipantau hanya 152 kota 43% yang TPA nya dioperasikan Non-Open Dumping
minimal controlled Dumping lahan urung terbuka. Hal ini tidak sesuai dengan
Undang-Undang No.18 tahun 2008 pada pasal 44 yang mensyaratkan agar 5 tahun
harus menutup TPA Open Dumping dan diganti dengan TPA yang dikelola sesuai
Statistik kota Medan pada tahun 2010 dengan jumlah penduduk 2.097.610 jiwa
menghasilkan 1.048 ton/hari atau 382,814 m3/tahun. Sedangkan pada tahun 2013
sampai dengan tahun 2015 data menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk
2.210.624 jiwa dan kemudian mempengaruhi volume sampah yang dihasilkan yaitu
organik rumah tangga yang berasal dari kegiatan dapur dan pekarangan dengan rata-
rata volume sampah yang dihasilkan per orang sekitar 0,5-0,6 kg/hari. Berdasarkan
pendapat Sudiana (2011) yang mengutip hasil penelitian Sahwan, dapat disimpulkan
bahwa volume sampah setiap orang sebenarnya masih rendah yaitu 2-3 liter per hari
atau 13,5 liter/rumah tangga setiap hari. Namun jika jumlah penduduknya sangat
dihasilkan. Komponen sampah yang paling dominan pada umumnya adalah sisa
makanan yaitu 32,63% dan terendah adalah kain/tekstil 0,80%, volume potensi
sampah terbesar adalah jenis kertas dan plastik 38,90%. Dalam jumlah yang
tergolong besar tersebut, perlu adanya penanganan yang khusus. Pengelolaan sampah
volume kecil akan lebih mudah dibandingkan volume besar. Oleh karena itu,
pengelolaan sampah akan lebih baik dan berhasil jika dilakukan di tingkat produsen
sampah paling awal yakni di tingkat rumah tangga. Jika pengelolaan sampah
masyarakat tidak perlu mengeluarkan dana retribusi pengelolaan sampah dan bahkan
mendapatkan nilai ekonomi. Keuntungan yang dapat dicapai oleh setiap individu
depan halaman rumah. Akan tetapi mereka masih menggunakan pupuk yang ada di
toko-toko pertanian seperti pupuk kompos untuk tanaman. Limbah rumah tangga
yang umumnya dihasilkan oleh masyarakat setiap hari dalam jumlah yang cukup
banyak dan dibiarkan begitu saja oleh masyarakat sampai menunggu petugas
kebersihan datang untuk mengangkut sampah. Jika sampah tersebut dapat dikelola
tanaman mereka.
Beberapa metode yang dapat digunakan untuk membuat kompos skala rumah
masing, baik dari segi biaya, kemudahan maupun ketersediaan tenaga dan lahan.
Kurniati (2013) menyebutkan salah satu metode pengomposan yang sudah cukup
seorang ahli peneliti dari Jepang yang melakukan penelitian di Surabaya tahun 2001,
untuk mencari sistem pengolahan sampah organik yang cocok selama kurang lebih
satu tahun. Proses pengomposan ala keranjang Tatakura ini merupakan proses
pengomposan aerob. Pembuatan kompos dengan keranjang Tatakura ini cocok untuk
rumah tangga yang beranggotakan 4-7 orang, proses pengomposan metode ini
tercacah) kedalam keranjang setiap harinya. Salah satu proses yang dapat
mempercepat pembuatan kompos dan tidak menimbulkan bau yang tidak sedap
Pengkomposan alami akan memakan waktu yang relatif lama, yaitu sekitar 2-3 bulan
Mikro Organisme Lokal (MOL) merupakan salah satu aktivator yang dapat
hara kompos. Menurut Penelitian Wibowo (2011), Daswati (2014), taraf penggunaan
Mikro Organisme Lokal tapai dan EM4 sebagai aktivator pembuatan pupuk organik
campuran kotoran domba dengan batang pisang dan pembuatan pupuk organik
Lokal dan EM4 merupakan aktivator yang dapat membuat kompos dengan kualitas
terbaik.
Berdasarkan uraian yang terdapat pada latar belakang diatas maka Penulis
tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Efektivitas EM4 dan MOL sebagai
aktivator dalam pembuatan kompos dari sampah rumah tangga (Garbage) dengan
metode Tatakura dan seberapa Efektif aktivator (EM4 dan MOL) terhadap kecepatan
waktu pengomposan.
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian pembuatan kompos sayur dengan
perbandingan dan bahan rujukan atau masukan bagi beberapa pihak yang
rumah tangga serta diharapkan masyarakat lebih sadar dan peduli bahwa
sehingga timbul rasa tanggung jawab setiap keluarga atau individu terhadap
sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang
berbentuk padat. Menurut WHO, sampah adalah sesuatu yang dibuang berasal dari
kegiatan manusia dan tidak terjadi dengan sendirinya. Para ahli Kesehatan
Masyarakat Amerika membuat batasan, sampah (waste) adalah sesuatu yang tidak
digunakan, tidak dipakai, tidak disenangi, atau sesuatu yang dibuang berasal dari
pengelolaan sampah terdiri atas sampah rumah tangga, sampah sejenis sampah rumah
tangga, dan sampah spesifik. Sampah rumah tangga merupakan sampah yang berasal
dari kegiatan-kegiatan sehari-hari dalam rumah tangga, tidak termasuk tinja dan
sampah spesifik. Sampah sejenis rumah tangga adalah sampah yang berasal dari
mengandung bahan berbahaya dan beracun, sampah yang timbul akibat bencana,
puing bongkaran bangunan, sampah yang secara teknologi belum dapat diolah,
organik maupun anorganik yang dibuang oleh masyarakat dari berbagai lokasi di kota
tersebut.
sampah menurut Undang-Undang No.81 tahun 2012 yaitu dengan cara pemadatan,
pengomposan, daur ulang materi dan/atau daur ulang energi. Pengolahan tersebut
dapat dilakukan oleh setiap orang pada sumbernya, pengelola kawasan permukiman,
Sampah ini terdiri dari bahan-bahan padat sebagai hasil kegiatan rumah
tangga yang sudah dipakai dan dibuang, seperti: sisa-sisa makanan baik yang
hiburan, terminal bus, stasiun kereta api, dan sebagainya. Sampah ini berupa:
10
Sampah ini berasal dari pembersihan jalan, yang umumnya terdapat kertas,
Sampah ini berasal dari kawasan industri, dan segala sampah yang berasal
Sampah ini sebagai hasil dari perkebunan atau pertanian misalnya: jerami,
sisa sayur-mayur, batang padi, batang jagung, ranting kayu yang patah dan
sebagainya.
Sampah ini berasal dari daerah pertambangan, dan jenisnya tergantung dari
11
Sampah yang berasal dari peternakan dan perikanan ini berupa: kotoran-
sampah berbentuk padat, sampah berbentuk cair, dan sampah dalam bentuk gas
(fume, smoke). Akan tetapi seperti yang telah disebutkan diatas, bahwa dalam konteks
a. Sampah Organik
Sampah ini dengan mudah dapat diuraikan melalui proses alami. Sampah
karet dan plastik), tepung, sayuran, kulit buah, daun dan ranting.
b. Sampah Anorganik
hayati, baik produk sintetik maupun hasil proses teknologi pengolahan bahan
12
detergen dan keramik. Sebagian besar anorganik tidak dapat diurai oleh
sebagian lainnya hanya dapat diuraikan dalam waktu yang lama. Sampah
jenis ini pada tingkat rumah tangga misalnya botol plastik, botol gelas, tas
jenis, yaitu :
sisa-sisa makanan dari rumah tangga atau merupakan timbulan hasil sisa
1. Golongan sampah tak lapuk, yaitu : sampah jenis ini benar-benar tak akan
bisa lapuk secara alami, sekalipun telah memakan waktu beberapa tahun,
13
tetapi akan bisa lapuk perlahan secara alami. Sampah jenis ini masih bisa
dipisahkan lagi atas sampah yang mudah terbakar, contohnya, seperti kertas
dan kayu, dan sampah tak mudah lapuk yang tidak bisa terbakar seperti
1. Sampah organik yang dapat dibuat kompos, yaitu sampah yang dapat hancur
secara alamiah baik oleh air hujan, panas matahari, maupun terserap tanah.
sampah ini adalah: sampah kebun seperti daun, rumput, bunga layu,
potongan ranting, sampah dapur seperti potongan sayuran, kulit buah dan
buah, ampas jus atau ampas sayuran, ampas teh, ampas kopi, sampah kertas,
2. Sampah yang dapat didaur ulang sekitar 14% dari total sampah, yang
termasuk kategori sampah ini adalah : kertas, kardus, koran dalam jumlah
besar, kaca, gelas atau botol, kaleng, aluminium, dan kantong plastik
kresek.
14
dan penyediaan makanan yang sebagian besar terdiri dari bahan yang mudah
2. Rubbish, yaitu sampah yang mudah atau susah terbakar, berasal dari rumah
Sampah yang mudah terbakar umumnya terdiri dari zat organik, seperti
kertas, sobekan kain, kayu, plastik, dan lain-lain. Sedangkan sampah yang
sukar terbakar, sebagian besar berupa zat anorganik seperti logam, mineral,
3. Ashes (abu), yaitu sisa pembakaran dari bahan-bahan yang mudah terbakar
jalan dan trotoar, yang terdiri dari campuran macam-macam sampah, daun-
5. Bangkai binatang (Dead animal), yaitu bangkai binatang yang mati karena
15
10. Construction waste, yaitu sampah yang berasal dari sisa pembangunan,
11. Sewage solid, terdiri dari benda-benda kasar yang umumnya zat organik
hasil saringan pada pintu masuk suatu pusat pengelolahan air buangan.
pengurangan dan penanganan sampah. Tujuan dari pengelolaan sampah ini yaitu
proses pengolahan sampah yang meliputi lima aspek komponen yang saling
mendukung dimana antara satu dengan yang lainnya saling berinteraksi mencapai
tujuan. Kelima aspek tersebut meliputi aspek teknis operasional, aspek organisasi dan
16
kadang perlu adanya suatu tempat penampungan sementara, dari sini sampah
dipindahkan dari alat angkut yang lebih besar dan lebih efisien. misalnya
2. Pengolahan
17
yaitu :
dan sampah lain yang dapat membusuk. Di daerah pedesaan hal ini sudah
(Notoatmodjo, 2008).
sudah tidak asing lagi dilakukan. Akan tetapi, banyak masyarakat yang masih enggan
berurusan akibat bau yang tidak sedap serta kesan menjijikkan menjadi alasan orang
18
dan lingkungan. Pengaruh negatif dari pengelolaan sampah ini tampak pada tiga
aspek, yaitu:
vector penyakit seperti : serangga, tikus, cacing, dan jamur. Kemudian dari
3. Aspek sosial masyarakat, yaitu pengelolaan sampah yang kurang baik dapat
kurang saniter dan estetika dapat menurunkan hasrat turis untuk berkunjung.
Sampah yang menumpuk di permukaan tanah akan mencemari tanah dan air
didalamnya, cairan kotor dan bau busuk hasil pembusukan sampah yang
19
3. Mencemari perairan
kebutuhan sehari-hari.
4. Menyebabkan banjir
pintu-pintu air sehingga air sulit untuk mengalir. Oleh karena itu, maka tak
menyepelekan sampah.
2. Sampah yang menimbulkan bau busuk akan mengundang lalat dan menjadi
sumber bibit penyakit. Lalat tersebut dapat memindahkan bibit penyakit dari
20
serangga, tikus, cacing, dan jamur. Kemudian dari vector tersebut dapat
Kompos merupakan istilah untuk salah satu pupuk organik buatan manusia
yang dibuat dari proses pembusukan sisa-sisa bahan organik (tanaman maupun
hewan). Proses pengomposan dapat berlangsung secara aerobik dan anerobik yang
saling menunjang pada kondisi lingkungan tertentu, secara keseluruhan proses ini
alam. Namun dengan cara merekayasa kondisi lingkungan kompos dapat dipercepat
proses pembuatannya, yaitu hanya dalam jangka waktu 30-90 hari. Waktu ini
melebihi kecepatan terbentuknya humus secara alami. Oleh karena itulah kompos
(Habibi, 2008).
Menurut Isroi (2008) semua bahan padat dapat dikomposkan misalnya seperti
kertas, limbah pabrik gula, limbah pabrik kelapa sawit, dan lain-lain. Dalam hal ini,
21
organisme dalam melakukan dekomposisi bahan organik antara lain: rasio C/N,
ukuran partikel yang dikomposisi, aerasi, porositas, kandungan air, suhu, pH,
Salah satu bentuk pengolahan sampah pada skala rumah tangga adalah dengan
mengolah sampah menjadi kompos. Proses pembuatan kompos pada dasarnya meniru
yang berperan dalam proses pengomposan ada dua, yaitu mikroorganisme yang
bekerja pada kadar oksigen rendah (anaerob) dan mikroorganisme yang bekerja pada
kadar oksigen tinggi (aerob). Meskipun menghasilkan produk akhir yang sama
terkendali secara biologis terhadap limbah organik dalam kondisi aerob (terdapat
oksigen) atau anaerob (tanpa oksigen). Dalam proses pengomposan secara aerob
banyak koloni bakteri yang berperan dan ditandai dengan adanya perubahan
adalah CO2, air, dan panas. Sedangkan dalam proses pengomposan secara anaerob
akan menghasilkan metan, CO2, alkohol dan senyawa lain seperti asam organik yang
22
membutuhkan oksigen. Dalam hal ini, udara bebas harus bersentuhan langsung
dengan bahan baku kompos berupa sampah organik. Pengontrolan terhadap kadar air,
suhu, pH, kelembaban, ukuran bahan, volume tumpukan bahan, dan pemilahan bahan
kecepatannya. Selain itu untuk memperlancar udara masuk kedalam bahan kompos
pengontrolan secara intensif, ini merupakan ciri khas proses pengomposan secara
aerob. Oleh karena itu, kegiatan operasional pengomposan secara aerob relatif lebih
Hasil akhir pengomposan yaitu bentuk fisiknya sudah menyerupai tanah yang
bewarna kehitaman, strukturnya remah tidak menggumpal, jika dilarutkan dalam air,
kompos yang sudah matang tidak akan larut. suhunya normal dan cenderung konstan
(tetap). Apabila bentuknya sudah seperti ini maka kompos aerob siap digunakan pada
Dalam pembuatan kompos secara aerob agar lebih berkualitas baik, beberapa
Nilai C/N merupakan hasil perbandingan antara karbon (C) dan kadar
nitrogen (N) pada suatu bahan. Semua mahluk hidup tersusun dari sejumlah
23
kompos yang optimal membutuhkan rasio C/N 25:1 sampai dengan 30:1.
perbandingan rasio C/N 25:1 hingga 30: 1. Kisaran nilai rasio C/N 25:1
hingga 30:1 merupakan nilai perbandingan unsur C/N yang terbaik agar
perubahan tersebut maka kadar karbohidrat akan hilang atau turun dan
2. Ukuran Bahan
dipengaruhi oleh ukuran bahan. Semakin kecil ukuran bahan baku kompos
ukuran lebih kecil, yaitu 3-5 cm untuk bahan yang tidak keras. Sementara
24
Kandungan air bahan yang akan dijadikan kompos minimum 35-40% dan
Akan tetapi, bila kadar air lebih dari 60%, akan menyebabkan kondisinya
4. Porositas
total. Rongga ini akan diisi oleh air dan udara. Udara akan mensuplai
oksigen untuk proses pengomposan. Apabila rongga di penuhi oleh air, maka
terganggu.
5. Suhu (Temperatur)
25
Suhu kompos organik dapat dijaga agar tetap stabil dengan cara mengatur
kadar air, suhu yang terlalu rendah dapat disebabkan bahan yang kurang
diatasi dengan cara bahan kompos disiram dengan air hingga mencapai
kadar air yang optimal. Demikian pula, jika kondisi suhu bahan terlalu
tinggi, tidak baik bagi proses pengomposan. Kondisi suhu yang tertinggi
Suhu yang terlalu tinggi dapat diatasi dengan cara membalikkan bahan.
Bakteri yang bekerja pada suhu ini biasanya hanya bakteri termofilik, yaitu
bakteri yang tahan terhadap suhu tinggi. apabila hal ini terjadi maka
industri kecil atau kebun sendiri di rumah tidak terlalu berisiko apabila suhu
netral yaitu diantara 6-8,5. Jika kondisi asam dapat diatasi dengan pemberian
26
balikkan bahan kompos secara tepat dan benar sudah dapat mempertahankan
kondisi pH tetap pada titik netral, tanpa pemberian kapur. Dengan demikian,
organik larut dalam air. Kelembaban 40-60% adalah kisaran optimum untuk
akan mengalami penurunan dan akan lebih rendah lagi pada kelembaban
15%. Apabila kelembaban lebih besar dari 60% hara akan tercuci, volume
udara berkurang, akibatnya aktivitas mikroba akan menurun dan akan tetap
mengatasi hal tersebut dapat menambahkan daun kering atau serbuk gergaji
adanya udara atau oksigen sedikit pun. Oleh karena itu pada pelaksanaanya
27
secara anaerob ini tidak jauh berbeda dengan pembuatan biogas atau pembuatan
Septic tank. Kegiatan operasional sehari-hari pada pengomposan secara anaerob tidak
sesibuk pengomposan secara aerob. Meskipun demikian, biaya awal untuk membuat
bak fermentasi lebih rumit dan lebih mahal dibandingkan dengan pembuatan kompos
(Daswati, 2014).
asam asetat, asam propionat, asam butirat, dan asam laktat, etanol, metanol dan hasil
samping berupa lumpur. Lumpur inilah yang akan dijadikan sebagai pupuk/kompos.
berstruktur remah, dan memiliki daya serap yang tinggi. kompos anaerob ini dapat
diberikan pada tanaman dalam kondisi basah atau kering (Yuwono, 2005).
1. Rasio C/N
25:1 hingga 30:1. Semakin tinggi rasio C/N, proses pembusukan semakin
28
2. Ukuran bahan
bahan selumat-lumatnya sampai berubah menjadi bubur atau lumpur. Hal ini
3. Kadar air
sekitar 50% keatas. Kadar air yang banyak pada proses pengomposan secara
cepat. Secara fisik, kadar air dapat memudahkan proses penghancuran bahan
4. Derajat Keasaman
5. Temperatur (Suhu)
29
suhu mesofilik yaitu antara 30-35°C sebagian lagi aktif pada suhu termofilik
50-55°C. Suhu paling baik (optimal) yang dibutuhkan yaitu antara 50-60°C
menaikkan suhu, maka gas metan yang dihasilkan juga akan semakin tinggi
dan proses pembusukan akan berlangsung lebih cepat (Sudradjat, 2006 dan
Daswati, 2014).
Pengomposan alami akan memakan waktu yang relatif lama, yaitu bekisar
antara 2-3 bulan bahkan 6-12 bulan. Hal tersebut disebabkan oleh karena pengadaan
dekomposernya hanya mengandalkan mikroba alami yang ada pada sampah dan
30
serangga, hama dan mikroorganisme patogen, bermanfaat bagi kesuburan tanah dan
tanaman. EM bukan pupuk tetapi merupakan bahan yang dapat mempercepat proses
pembuatan pupuk organik dan meningkatkan kualitas pupuk (Parnata, 2004 dan
Djuarnani, 2005).
laktat), pelarut posfat, bakteri fotosintetik, Streptomyces sp, jamur pengurai selulosa
dan ragi. EM4 merupakan suatu tambahan untuk mengoptimalkan pemanfaatan zat-
zat makanan karena bakteri yang terdapat dalam EM4 dapat mencerna selulosa, pati,
31
Mikroorganisme asli yang tidak langsung diaplikasikan pada media. Hal ini
(dorman) sehingga tidak akan memberikan pengaruh yang nyata. Untuk itu, EM asli
Bioaktivator yang dibuat sendiri atau mikro organisme lokal (MOL), yaitu
pembuatan pupuk organik. Berdasarkan bahannya, ada dua MOL yang bisa dibuat,
yaitu MOL tapai dan MOL nasi basi serta berbagai MOL berbahan lainnya
(Setiawan, 2012). Kandungan yang ada di MOL tapai yaitu Rhizobium sp,
32
phosfat.
MOL tapai adalah bioaktivator yang bahan dasarnya terbuat dari tapai, baik
tapai singkong maupun tapai ketan. Bahan yang perlu dipersiapkan sebelum membuat
MOL, yaitu : Tapai ketan/tapai ubi 1 ons, air ± 1000 ml, gula pasir 5 sendok makan
rumah tangga yang ditemukan oleh kelompok pecinta lingkungan bernama Pusat
penelitian tersebut telah mendapat supervisi ilmiah dari tuan Tatakura dari Jepang
Nursanty (2007) menyebutkan Metode ini dapat mengolah volume sampah lebih dari
33
berventilasi yang berisi bakteri pengurai, di lengkapi dengan dua bantalan sekam
untuk sirkulasi udara dan menjaga agar sampah tetap kering dan kelembabannya
disarankan di dapur agar dekat dengan sumber sampah. Oleh karena itu, metode ini
dapat menepis anggapan bahwa pembuatan kompos terasa jijik dan bau (USAID,
2009).
penemuan dan pengalaman praktek Mr. Tatakura dari Jepang oleh sebab itu disebut
dengan kompos Tatakura. Tempat membuat komposnya sangat praktis yaitu dengan
dalamnya. Keranjang ini juga disebut dengan kotak sakti karena dapat menyerap
sampah organik rumah tangga dengan jumlah keluarga (4-6 orang) sampai dengan 1
bulan untuk menjadi penuh dan merubahnya menjadi pupuk kompos. Selain itu,
kotak ini dapat dipakai berulang-ulang sampai hitungan tahunan untuk menyerap
sampah organik rumah kita. Secara keindahan kotak ini tidak beda dengan
34
Berawal dari konsepsi sederhana untuk mencari solusi yang realistis untuk
yang harus diangkut ke tempat pengolahan akhir (TPA). Akhirnya penemuan ini pun
Semarang dan bahkan di kota Medan pada program rumah kompos dan bank sampah
pengolahan sampah kota Medan yang mulai berjalan sejak tahun 2014. Selain
mengurangi pasokan sampah rumah tangga ke TPA, jumlah produksi sampah organik
yang dikelola perbulannya sebanyak 3-9 ton, sebanyak 525 rumah tangga yang ada di
kelurahan Sicanang juga telah mendapat pelatihan membuat kompos skala rumah
tangga dengan metode Tatakura. Kompos yang dihasilkan bisa dijual oleh ibu-ibu di
menjadi inspirasi bagi pengelola sampah berbasis komunitas. Penemuan Tatakura ini
35
pengomposan secara sederhana dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap aktif dan
yang mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh mikroba. Oleh karenanya
ada beberapa hal yang harus dilakukan seperti menjaga kelembaban (50-60%),
melakukan pembalikan agar kompos tidak kekurangan udara, dan peneduhan agar
Kelebihan dari metode Tatakura ini, yaitu: sangat cocok untuk skala rumah
tangga, tidak membutuhkan lahan yang luas, mudah dilakukan, murah, komposting
Jenis-jenis sampah organik yang boleh masuk seperti sampah sayur yang baru,
sisa sayur yang sudah basi, sisa nasi basi, sisa makanan siang atau malam, sampah
buah (kulit jeruk, kulit apel kecuali kuliat buah yang keras) dan sampah ikan laut atau
ikan tawar. Semua jenis sampah organik yang dihasilkan oleh rumah tangga dapat
diolah dengan keranjang Tatakura dengan hasil ½ atau ¼ dari bahan dasar kompos.
36
dilakukan mulai dari membuat bantalan sekam, membuat keranjang Tatakura, proses
untuk membuat dua bantalan sekam yaitu bantalan sekam bawah yang berfungsi
sebagai penampung air lindi dari sampah bila ada, sehingga bisa menyerap bau dan
dengan baik. Sedangkan fungsi bantalan sekam atas yaitu sebagai alat kontrol udara
37
membutuhkan udara.
38
dalam keranjang.
39
40
dengan tutupnya
ukuran 2 cm
6. Letakkan bantalan sekam yang kedua diatas sampah yang telah tercampur
dengan aktivator
41
42
43
proses pembuatan kompos dilakukan. Mulai dari pemilihan bahan, pengadaan bahan,
sampai menjadi kompos, maka dapat dilihat ciri-ciri kompos yang sudah jadi dan
44
4. Jika dilarutkan ke dalam air, kompos yang sudah matang tidak akan larut.
45
46
mengemukakan bahwa dengan pupuk organik sifat fisik, kimia dan biologi tanah
menjadi lebih baik. Selain itu, kompos memiliki banyak manfaat yang ditinjau dari
beberapa aspek :
1. Aspek ekonomi :
c) Memiliki nilai jual yang lebih tinggi dari pada bahan asalnya
2. Aspek lingkungan :
47
Aktivator :
EM4
MOL
Kualitas:
Keranjang Natrium
Limbah Waktu
(Garbage) Tatakura Pengomposan Phosfot
Kalium
pH
Kelembaban
Suhu
48
METODE PENELITIAN
(Quasi eksperiment) yaitu meneliti efektivitas aktivator (EM4 dan MOL) terhadap
kecepatan pembuatan kompos dari sampah rumah tangga (Garbage) yang dilakukan
Analisis data menggunakan analisis deskriptif berupa penyajian data dalam bentuk
tabel pengukuran (pH, suhu, kelembaban) selama proses pengomposan dan hasil
3.2.1 Lokasi
3.2.2 Waktu
Waktu penelitian ini dilakukan pada bulan Juli sampai dengan Oktober 2016.
49
dilakukan setiap hari selama proses pengomposan dan data dari hasil pemeriksaan
Objek dalam penelitian ini adalah limbah padat sayuran berupa daun dan batang
sayuran yang tidak dapat dikonsumsi, yang diperoleh dari 6 rumah tangga
Untuk mendapatkan penafsiran yang sama dalam penelitian ini, maka perlu
50
51
52
2. Aktivator EM4
3. MOL tapai
4. Larutan gula
5. Air secukupnya.
2. Masukkan larutan yang telah jadi ke dalam wadah, lalu tutup hingga rapat
3. Biarkan 5-10 hari dalam keadaan kedap udara, wadah harus tertutup rapat
4. Buka tutup wadah pada hari ke lima untuk mengeluarkan gas agar tidak
meledak
5. Setelah 5-10 hari, EM aktif sudah dapat digunakan dengan indikasi tercium
1. Siapkan 1 botol plastik bekas air mineral ukuran (1500 ml) tanpa tutup
44
penuh.
3. Biarkan botol terbuka tanpa tutup selama 4-5 hari atau dapat juga menutup
4. Setelah 5 hari MOL sudah bisa digunakan, hal ini ditandai dengan adanya
aroma alkohol dari larutan MOL tapai ubi dan balon yang menjadi tutup
MOL mengembang.
kedalam keranjant
45
8. Indikator kompos yang sudah jadi adalah jika diraba suhu tumpukan bahan
berkisaran 6-8,5
9. Kompos yang sudah jadi diayak, kompos halus dapat digunakan sebagai
tatakura.
46
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan selama 16 hari masa pengomposan yang memiliki tujuh
perlakuan yaitu, perlakuan 1 adalah EM1 terdiri dari 2 kg sampah sayur tercacah +
500 ml EM4 aktif, perlakuan 2 adalah EM2 terdiri dari 2 kg sampah sayur tercacah +
500 ml EM4 aktif, perlakuan 3 adalah EM3 terdiri dari 2 kg sampah sayur tercacah +
500 ml EM4 aktif perlakuan 4 adalah M1 terdiri 2 kg sampah sayur tercacah + 500 ml
MOL tapai, perlakuan 5 adalah M2 terdiri dari 2 kg sampah sayur tercacah + 500 ml
MOL tapai, perlakuan 6 adalah M3 terdiri dari 2 kg sampah sayur tercacah + 500 ml
MOL tapai dan perlakuan 7 adalah K0 terdiri dari 2 kg sampah sayur tercacah
secara aerob, setelah bahan kompos tercampur sampai terjadi proses penguraian,
Berdasarkan tabel 4.1 diatas dapat dilihat bahwa lama pengamatan yang
aktivator MOL yaitu selama 13 hari sedangkan lama pengamatan tanpa menggunakan
47
pH, suhu, dan kelembaban selama proses pengomposan dapat dilihat pada tabel
berikut.
Berdasarkan tabel 4.2 diatas dapat dilihat bahwa pH pada kompos yang
sebesar 6.6 dan pH perlakuan 3 sebesar 6.5. Pada kompos yang menggunakan
aktivator MOL yaitu pH perlakuan 1 sebesar 6.6, pH perlakuan 2 sebesar 6.6 dan pH
perlakuan 3 sebesar 6.7 sedangkan pada kompos yang tidak menggunakan aktivator
Berdasarkan tabel 4.3 diatas dapat dilihat bahwa suhu pada kompos yang
menggunakan aktivator EM4 yaitu suhu perlakuan 1 sebesar 33°C, suhu perlakuan 2
sebesar 34°C, suhu perlakuan 3 sebesar 34°C. Pada kompos yang menggunakan
48
suhu perlakuan 3 sebesar 36°C dan suhu pada kompos yang tidak menggunakan
Berdasarkan tabel 4.4 diatas dapat dilihat bahwa kelembaban pada kompos
dan pada kompos yang tidak menggunakan aktivator atau tanpa perlakuan
49
campuran sampah sayur dengan aktivator EM4. Dimana perlakuan dari ketiga
50
sayur dan EM4 teksturnya masih heterogen yaitu sampah masih berupa sayur,
kompos pada hari kedelapan campuran sayur dengan EM4 teksturnya sudah mulai
berubah yaitu secara perlahan mulai mengering dan hampir menjadi tanah, dan pada
menyerupai tanah yang lembut dan sudah tidak ditemui potongan sayur sehingga
campuran sampah sayur dengan aktivator MOL. Dimana perlakuan dari ketiga
keranjang tersebut adalah sama. Pengamatan pada hari kedua, campuran sampah
sayur dan MOL teksturnya masih heterogen yaitu sampah masih berupa sayur,
kompos pada hari kedelapan campuran sayur dengan MOL teksturnya sudah mulai
berubah yaitu secara perlahan mulai mengering dan hampir menjadi tanah namun
masih masih basah, dan pada pengamatan hari ketigabelas campuran sayur dengan
MOL teksturnya sudah menyerupai tanah, lembut dan sudah homogen atau tidak
tanpa aktivator. Pengamatan pada hari kedua, sampah sayur tanpa adanya
penambahan aktivator teksturnya masih heterogen yaitu sampah masih berupa sayur,
51
teksturnya sudah mulai berubah yaitu secara perlahan mulai bewarna coklat
kehitaman namun masih basah, dan terdapat potongan sayur di dalamnya, dan pada
pengamatan hari ke enam belas sampah sayur tanpa adanya penambahan aktivator
teksturnya sudah berupa tanah, lembut dan sudah homogen atau tidak ditemui
Berdasarkan tabel 4.5 diatas dapat dilihat bahwa kadar nitrogen tertinggi
terdapat pada kompos yang menggunakan aktivator MOL pada perlakuan 1 dan 2
yaitu sebesar 0,52-0,56% dan terendah tanpa menggunakan aktivator yaitu 0,44%,
kadar phosfor hampir semua aktivator memiliki nilai yang sama yaitu 0,20-0,21%,
sedangkan kadar kalium tertinggi pada kompos yang menggunakan aktivator MOL
pada perlakuan 1 yaitu sebesar 32%, diikuti kadar kalium pada aktivator EM4
perlakuan 1 yaitu sebesar 31% dan kadar kalium tanpa aktivator atau kontrol yaitu
sebesar 0,29%.
52
seperti tekstur yang menyerupai tanah dimana hasil menunjukkan bahwa waktu
pengomposan yang lebih cepat dengan pemberian aktivator EM4 yaitu selama 11 hari
sedangkan waktu pengomposan pemberian aktivator MOL selama 13 hari dan tanpa
aktivator membutuhkan waktu 16 hari untuk proses pengomposan. Hal ini dapat
sekitar 80 genus. Mikroorganisme tersebut dipilih yang dapat bekerja secara efektif
sp, ragi (yeast), Actinomycetes. Sedangkan bakteri pengurai yang ada pada aktivator
MOL tidak sebanyak pada aktivator EM4. Sehingga dalam hal ini proses penguraian
dengan menggunakan aktivator EM4 lebih cepat dari aktivator MOL dan tanpa
Pengomposan alami akan memakan waktu yang relatif lama, yaitu berkisar
antara 2-3 bulan bahkan 6-12 bulan. Menurut penelitian yang dilakukan Cahaya tahun
2011 dan Wibowo 2011, bahwa pembuatan kompos dapat dipercepat dengan
53
pada saat pengukuran pH dengan aktivator EM4 sebanyak 3 kali perlakuan selama 11
hari yaitu, 6.4-6.6 pengukuran pH dengan aktivator MOL sebanyak 3 kali perlakuan
selama 13 hari yaitu, 6.6-6.7, dan pengukuran pH tanpa aktivator dengan 1 kali
perlakuan selama 16 hari yaitu, 7. pH dari ketujuh perlakuan cukup beragam dilihat
dari waktu meningkatnya nilai pH hampir sama namun berada pada kondisi pH netral
selanjutnya asam organik digunakan mikroba jenis lain hingga derajat keasaman
perlakuan hampir sama yaitu berkisar 6.5-7, pH optimum untuk proses pengomposan
berkisar antara 6.5-7.5. Berdasarkan rasio nilai pH yang diperoleh telah memenuhi
standar menurut SNI 19-7030-2004 yakni, antara 6-8. Derajat keasaman pH juga
naik dan akan memberikan hasil yang buruk bagi lingkungan. Selain itu juga dapat
54
mikroorganisme dari jenis lain akan mengkonversikan asam organik yang telah
terbentuk sehingga bahan memiliki derajat keasaman yang tinggi dan mendekati
Bakteri lebih senang pada pH netral, fungi berkembang cukup baik pada
kondisi pH agak asam. Kondisi sangat asam pada awal proses dekomposisi
pada awal proses pengomposan karena aktivitas bakteri yang menghasilkan asam.
kembali naik setelah beberapa hari dan pH berada pada kondisi netral pada saat
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nursyakia (2014) yang
meneliti tentang studi pemanfaatan eceng gondok sebagai bahan pembuatan pupuk
kompos dengan menggunakan aktivator EM4 dan MOL serta prospek pengembangan
55
5.3 Suhu
pada saat pengukuran suhu dengan aktivator EM4 sebanyak 3 kali perlakuan selama
11 hari yaitu, 33-34°C, pengukuran suhu dengan aktivator MOL sebanyak 3 kali
perlakuan selama 13 hari yaitu, 34-36°C dan pengukuran suhu tanpa aktivator dengan
1 kali perlakuan yaitu, 35°C. Nilai suhu tersebut telah sesuai dengan standar
menunjukkan bahwa suhu yang paling tinggi pada kompos yang menggunakan
aktivator MOL, hal ini berhubungan dengan kematangan kompos yang terlihat
dimana hasil akhir dari pengomposan tersebut menunjukkan perubahan warna tampak
lebih hitam dibandingkan dengan aktivator EM4 dan tanpa aktivator, bahan utama
kompos sudah mulai tidak terlihat bentuk yang jelas (hancur), hanya tampak
56
Suhu pengomposan yang dicapai dalam penelitian ini sekitar 28-35°C. Suhu
pada penelitian ini pada awal pengamatan cukup rendah kemudian suhu naik dan
hari ke 11 dan hari ke 13 suhu pupuk kembali menurun, hal tersebut merupakan tahap
pematangan pupuk organik yang disebabkan oleh aktifitas mikroba menurun karena
jumlah bahan makanannnya berkurang (Cahaya, 2008). Hal tersebut sesuai dengan
penelitian yang dilakukan Jumiati (2009) dikota Surakarta hasil pengukuran terhadap
8 sampel diperoleh hasil bahwa suhu kompos yang dihasilkan mendekati netral.
fase yaitu fase mesofilik 25-45°C dan fase termofilik 45-65°C. Kisaran temperatur
mikroorganisme adalah yang paling baik sehingga populasinya baik, disamping itu
enzim yang dihasilkan untuk menguraikan bahan organik paling efektif daya urainya.
Suhu optimum pada penelitian ini diperoleh 34°C. Hal ini menunjukkan bahwa
mikroba yang aktif adalah mikroba mesofilik, yaitu mikroba yang dapat hidup antara
kompos sampai mencapai suhu maksimum (Isroi, 2009). Suhu timbunan bahan yang
mengalami dekomposisi akan meningkat sebagai hasil kegiatan biologi. Suhu yag
57
(Sutanto, 2002).
5.4 Kelembaban
Berdasarkan hasil dari penelitian yang telah dilaksanakan menunjukkan bahwa pada
sebanyak 3 kali perlakuan selama 13 hari yaitu 52-53%, dan pengukuran kelembaban
tanpa aktivator dengan 1 kali perlakuan selama 16 hari yaitu 52% Dalam penelitian
ini kelembaban berkisar antara 52-60%, Hasil tersebut telah memenuhi standar
60%.
dengan kadar air pada kompos yang menggunakan aktivator MOL dan tanpa
aktivator.
58
metabolisme mikroba dan secara tidak langsung berpengaruh pada suplai oksigen.
larut dalam air. Kelembaban 40-60% adalah kisaran optimum untuk metabolisme
penurunan dan akan lebih rendah lagi pada kelembaban 15%. Apabila kelembaban
lebih besar dari 60% hara akan tecuci, volume udara berkurang akibatnya aktivitas
mikroba akan menurun dan akan terjadi fermentasi anaerobik yang menimbulkan bau
nilai nitrogen menggunakan aktivator EM4 dengan 3 kali perlakuan yaitu berkisar
perlakuan yaitu berkisar antara 0,50-0,56%, dan nilai nitrogen tanpa menggunakan
aktivator dengan 1 kali perlakuan yaitu dengan rerata nilai 0,44%. Dimana
diketahui kadar nitrogen pada kompos tersebut sudah memenuhi syarat untuk
cukup tinggi hal ini dikarenakan bakteri yang terdapat pada EM4 dan MOL mampu
mengikat nitrogen bebas (Cahaya, 2009). Meningkatnya nilai nitrogen ini diduga
59
pendekomposisi bahan organik akan semakin banyak pula. Hal tersebut sesuai
dengan peryataan yang dikemukakan Yuwono (2002), bahan organik sumber nitrogen
nitrogen alami juga sudah terkandung dalam limbah sayur sehingga pada saat
metabolism dan reproduksinya (Djaja, 2006). Nitrogen merupakan unsur hara makro
utama yang sangat penting untuk pertumbuhan tunas, batang dan daun yang sangat
penting bagi tanaman pada tahap vegetatif. Kadar nitrogen rata-rata dalam jaringan
berperan penting dalam proses pelapukan atau dekomposisi bahan organik. Nitrogen
unsur hara ini dapat terlihat dari daunnya, warnanya yang hijau agak kekuning-
kuningan selanjutnya berubah menjadi kuning lengkap jaringan daun mati dan inilah
yang menyebabkan daun selanjutnya menjadi kering dan bewarna merah kecoklatan.
Kandungan unsur N yang rendah dapat menimbulkan daun penuh dengan serat, hal
ini dikarenakan menebalnya membran sel daun sedangkan selnya sendiri berukuran
60
phosfor menggunakan aktivator EM4 dengan 3 kali perlakuan yaitu, berkisar antara
yaitu, berkisar antara 0,20-0,21%, dan nilai phosfor tanpa menggunakan aktivator
dengan 1 kali perlakuan yaitu dengan rerata nilai 0,20%. Dimana berdasarkan SNI
diketahui kadar phosfor pada kompos tersebut sudah memenuhi syarat atau
berkualitas baik sehingga dapat dijadikan pupuk organik yang dapat diaplikasikan
pada tanaman.
2002). Selain itu kualiatas kompos juga diidentikkan dengan kandungan unsur hara
Meningkatnya nilai phosphor ini diduga disebabkan semakin banyak volume EM4
dan MOL yang ditambahkan maka jumlah mikroba sebagai agen pendekomposisi
bahan organik akan semakin banyak pula sehingga mineral phosfor yang dihasilkan
dari proses metabolisme mikroorganisme akan semakin banyak. Hal ini sesuai yang
dikemukakan oleh Kurniati (2013), bahwa peningkatan kadar phosphor ini diduga
merupakan dampak dari aktivitas Lactobacillus yang mengubah glukosa pada EM4
menjadi asam laktat sehingga lingkungan menjadi asam yang menyebabkan fosfat
61
oleh mikroorganisme.
Phosfor merupakan unsur hara makro yang berfungsi untuk pertumbuhan akar,
buah dan biji. Kekurangan unsur hara ini dapat menimbulkan hambatan pada
pertumbuhan sistem perakaran, daun, batang, seperti pada tanaman serealia, daun-
merah pada daun bagian bawah, selanjutnya akan mati. Tangkai-tangkai daun
kelihatannya lancip-lancip, pembentukan buah jelek dan merugikan hasil biji (Mul,
2002).
nilai kalium menggunakan aktivator EM4 dengan 3 kali perlakuan yaitu, berkisar
perlakuan yaitu, berkisar antara 0,30-0,32%, dan nilai kalium tanpa menggunakan
aktivator dengan 1 kali perlakuan yaitu berkisar antara, dengan rerata nilai 0,29%.
syarat 0,20% maka diketahui kadar kalium pada kompos tersebut sudah memenuhi
syarat atau berkualitas baik, sehingga dapat dijadikan pupuk organik yang dapat
diaplikasikan pada tanaman karena kalium merupakan unsur hara makro yang
62
EM4 ataupun MOL maka akan semakin banyak pula mikroorganisme dalam
pendegradasi yang menyebabkan rantai karbon terputus menjadi karbon yang lebih
sederhana, terputusnya rantai karbon tersebut menyebabkan unsur phosfor dan kalium
meningkat. Hal tersebut juga didukung oleh pernyataan Amanillah (2001) yang
menyatakan bahwa kalium yang merupakan senyawa yang dihasilkan juga oleh
lebih banyak dan lebih aktif. Kerja enzim yang mengubah karbohidrat menjadi
phosfat oleh bakteri pembentuk phosfor lebih baik, pengikatan beberapa jenis unsur
hara di dalam tubuh jasad-jasad renik terutama nitrogen, phosfor, dan kalium akan
(Djuarnani, 2005). Selain dari pada aktivator yang ditambahkan pada kompos limbah
sayur juga secara alamiah sudah memiliki kandungan kalium. Kalium sangat penting
bagi tanaman khususnya pada fase generatif yaitu berfungsi untuk meningkatkan
ketahanan tanaman terhadap serangan hama dan penyakit. Kekurangan kalium pada
63
merah kecokelatan dan dalam skala berat tanaman akan mati (Suryati, 2014).
Kalium merupakan unsur hara makro yang terdapat pada kompos untuk
unsur hara ini memang agak sulit diketahui gejalanya, karena gejala ini jarang
ditampakkan ketika tanaman masih muda, gejala yang terdapat pada daun terjadi
kadang mengkilap, selanjutnya sejak ujung dan tepi daun tampak menguning, pada
akhirnya daun tampak bercak-bercak kotor, bewarna coklat. Gejala pada batang yaitu
batangnya lemah dan pendek-pendek sehingga tanaman tampak kerdil (Mul, 2002).
Metode Tatakura
bagi tanah dan tanaman. Keuntungan dari pemanfaatan limbah rumah tangga menjadi
setiap hari.
lebih bernilai.
64
5. Tidak memerlukan lahan yang luas untuk pembuatan kompos dan mudah
dilakukan.
65
6.1 Kesimpulan
EM4 dan MOL sebagai aktivator dalam pembuatan kompos dari sampah sayur rumah
diperoleh adalah :
tanpa aktivator hampir sama yaitu sebesar 6.5-7, dimana dari hasil tersebut
aktivator EM4 dan tanpa aktivator dengan hasil nitrogen yang diperoleh
66
hasil ini sesuai dengan standar pengomposan SNI 19-7030-2004 yaitu kadar
nitrogen sebesar 0,40% dan kadar kalium sebesar 0,20%, kompos dengan
0,20% dan kadar kalium sebesar 0,29-0,31% sedangkan hasil kompos tanpa
aktivator nilai nitrogen yang diperoleh yaitu 0,44%, phosfor sebesar 0,20%
dan kalium sebesar 29% hasil ini juga sesuai dengan standar pengomposan
SNI 19-7030-2004.
6.2 Saran
dilakukan kontrol pH, suhu dan kelembaban setiap dengan teliti dan alat yang
lebih lengkap.
4. Pada saat pembuatan kompos diharapkan menggunakan alat pelindung diri berupa
67
68
69
70
71
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LAMPIRAN 1
Hari Perlakuan EM4 (1) Perlakuan EM4 (2) Perlakuan EM4 (3)
Hari Perlakuan MOL (4) Perlakuan MOL (5) Perlakuan MOL (6)
72
73
Perlakuan 1 EM4
Std.
N Minimum Maximum Mean Deviation
Perlakuan Em4 1
11 5.5 7.0 6.418 .4854
(pH)
Perlakuan Em4 1
11 29 37 33.36 2.420
(Suhu)
Perlakuan Em4 1
11 50 60 55.91 4.134
(Kelembaban)
Valid N (listwise) 11
74
Perlakuan 2 EM4
Std.
N Minimum Maximum Mean Deviation
Perlakuan Em4 2
11 6.0 7.0 6.636 .3264
(pH)
Perlakuan Em4 2
11 32 37 34.45 1.440
(Suhu)
Perlakuan Em4 2
11 50 60 56.09 3.910
(Kelembaban)
Valid N (listwise) 11
75
Perlakuan 3 EM4
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Perlakuan Em4 3
11 6.0 7.0 6.555 .4009
(pH)
Perlakuan Em4 3
11 30 37 34.27 1.954
(Suhu)
Perlakuan Em4 3
11 48 60 53.36 3.880
(Kelembaban)
Valid N (listwise) 11
76
77
Perlakuan 1 MOL
Std.
N Minimum Maximum Mean Deviation
Perlakuan MOL 1
13 6.0 7.0 6.608 .3968
(pH)
Perlakuan MOL 1
13 32 39 34.92 2.499
(Suhu)
Perlakuan MOL 1
13 46 60 53.08 5.139
(Kelembaban)
Valid N (listwise) 13
78
Perlakuan 2 MOL
Std.
N Minimum Maximum Mean Deviation
Perlakuan MOL 2
13 6.0 7.0 6.623 .3563
(pH)
Perlakuan MOL 2
13 33 38 35.38 1.850
(Suhu)
Perlakuan MOL 2
13 46 60 53.15 4.670
(Kelembaban)
Valid N (listwise) 13
79
Perlakuan 3 MOL
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Perlakuan MOL 3
13 6.0 7.2 6.723 .3586
(PH)
Perlakuan MOL 3
13 32 40 36.08 2.253
(Suhu)
Perlakuan MOL 3
13 41 60 52.38 5.501
Kelembaban
Valid N (listwise) 13
80
81
82
83
93
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Gambar lampiran 3. Larutan gula (molase)
94
95
95
95
98
99