Anda di halaman 1dari 15

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/366465848

DEMAM TIFOID (EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR)

Book · December 2022

CITATIONS READS

0 4,180

3 authors:

Wulan Pingkan Julia Kaunang Ribka Ondang


Sam Ratulangi University Sam Ratulangi University
110 PUBLICATIONS 24 CITATIONS 2 PUBLICATIONS 0 CITATIONS

SEE PROFILE SEE PROFILE

Novilius Juniardi Puasa


Sam Ratulangi University
2 PUBLICATIONS 0 CITATIONS

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Ribka Ondang on 21 December 2022.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan hidayah-Nya
serta kemampuan kepada kami untuk dapat menyelesaikan Mini Skripsi ini di mata kuliah
Epidemiologi Penyakit Menular dengan tepat waktu.

Mini Skripsi ini disusun guna memenuhi tugas yang diberikan oleh Dr.dr. WULAN
PINGKAN JULIA KAUNANG Grad.Dip,M.Kes,DK dari mata kuliah Epidemiologi
Penyakit Menular. Selain itu, dalam pembuatan tugas ini juga berguna untuk menambah
pengetahuan dan wawasan bagi pembaca maupun penulis terkait judul yaitu “ Demam Tifoid”.

Kami menyadari dengan sepenuhnya bahwa Mini Skripsi ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kami menerima segala bentuk kritikan dan saran yang membangun
dari para pembaca terutama Dosen Pengajar mata kuliah Epidemiologi Penyakit Menular, demi
tercapainya Mini Skripsi yang sempurna agar dapat bermanfaat bagi perkembangan dunia
pendidikan.

Manado, 30 November 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... i

DAFTAR ISI.................................................................................................................... ii

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah ............................................................................... 1
1.3 Tujuan................................................................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Demam Tifoid ....................................................................... 2


2.2 Epidemiologi Demam Tifoid .............................................................. 3
2.3 Etiologi Demam Tifoid ....................................................................... 4
2.4 Patofisiologi Demam Tifoid ................................................................ 5
2.5 Patogenesis Demam Tifoid ................................................................. 5
2.6 Manifestasi Klinis Demam Tifoid ....................................................... 7
2.7 Pencegahan Demam Tifoid ................................................................. 7

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan.......................................................................................... 9

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 10

ii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Salmonella typhi ....................................................................................................... 2

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tifoid atau tifus perut merupakan penyakit infeksi saluran cerna akut yang
disebabkan oleh bakteri Salmonella Typhi (Akhsin, 2010). Tifus adalah penyakit infeksi
akut usus halus dengan gejala demam yang berlangsung lebih dari seminggu disertai
gangguan saluran cerna dengan atau tanpa perubahan kesadaran (Rampengan, 2007).
Di masyarakat umum, penyakit ini sering disebut tifus atau tifoid, namun dalam dunia
kedokteran disebut demam tifoid atau tifoid karena melibatkan saluran usus di dalam
perut.
Demam tifoid sangat erat kaitannya dengan lingkungan, terutama lingkungan yang
tidak memenuhi syarat kesehatan, seperti ketersediaan air minum yang aman dan
kebersihan lingkungan yang buruk. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran
penyakit termasuk limbah publik, suhu, polusi udara dan kualitas air. Faktor sosial
ekonomi seperti kepadatan penduduk. Kepadatan penduduk dan kemiskinan juga
mempengaruhi penyebarannya.

1.2 Rumusan Masalah


- Apa definisi demam tifoid?
- Siapa saja yang dapat terjangkit demam tifoid?
- Kapan demam tifoid di temukan?
- Mengapa demam tifoid dapat menginfeksi manusia?
- Dimana demam tifoid di temukan?
- Bagaimana pencegahan demam tifoid?

1.3 Tujuan
- Mengetahui definisi demam tifoid
- Mengetahui siapa saja yang dapat terjangkit demam tifoid
- Mengetahui kapan demam tifoid di temukan
- Mengetahui mengapa demam tifoid dapat menginfeksi manusia
- Mengetahui dimana demam tifoid di temukan
- Mengetahui bagaimana pencegahan demam tifoid

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Demam Tifoid


Secara umum, tifus merupakan penyakit sistemik yang ditandai dengan demam dan
nyeri perut yang disebabkan oleh perkembangbiakan bakteri Salmonella Typhi dan
Salmonella Paratyphi. Tifoid adalah penyakit yang ditularkan melalui makanan dan
minuman yang terkontaminasi bakteri Salmonella Typosa (food and waterborne
disease). Seseorang yang menderita tifus mengatakan sering makan atau minum yang
terkontaminasi bakteri tersebut (Akhsin, 2010). Tanda-tanda klinis tifus termasuk
demam terus-menerus, bakteremia, dan invasi dan proliferasi bakteri pada fagosit
mononuklear hati, limpa, kelenjar getah bening, usus, dan bercak Peyer.

Gambar 1 Salmonella typhi (halodoc.com)

Sejarah tifoid dimulai ketika seorang ilmuwan Perancis bernama Pierre Louis
mencetuskan istilah tifoid pada tahun 1829. Tifus atau tifus berasal dari kata Yunani
typhos yang berarti orang yang demam, dengan kesadaran yang buruk. Belakangan,
Gaffky menyebut penularan penyakit itu lewat air, bukan lewat udara. Gaffky juga
berhasil membudidayakan Salmonella typhi pada tahun 1884. Widal pada tahun 1896
akhirnya menemukan metode pengujian tifus yang masih digunakan sampai sekarang.
Woodward dkk. Pada tahun 1948 dilaporkan pertama kali obat yang efektif untuk tifus
adalah kloramfenikol.
Prevalensi tifoid di Indonesia adalah 1,60%, tertinggi terjadi pada kelompok umur 5-
14 tahun, karena pada usia tersebut anak kurang memperhatikan kebersihan diri dan

2
memiliki kebiasaan ngemil tergantung kelompok umur. pada dasarnya menyebabkan
penularan tifus. Prevalensi demam tifoid menurut tempat tinggal tertinggi di pedesaan
dibandingkan perkotaan, dengan tingkat pendidikan yang rendah dan pengeluaran
rumah tangga yang rendah. Prevalensi tifoid bervariasi dari satu daerah ke daerah
lainnya. Perbedaan kejadian penyakit ini antara pedesaan dan perkotaan disebabkan
oleh penyediaan air minum, sanitasi dan pembuangan limbah.

2.2 Epidemiologi Demam Tifoid


Demam tifoid merupakan salah satu masalah kesehatan yang penting di negara
berkembang seperti Indonesia, menurut laporan data waspada dari sub bagian
surveilans. Depkes, kejadian penyakit ini mengalami peningkatan yaitu jumlah kasus
pada tahun 1990, 1991, 1992, 1993 dan 1994 juga 9.2; 13.4; 15.8; 17,4 per 10.000
penduduk. Data rumah sakit dan puskesmas melaporkan kasus tifus meningkat dari 92
kasus pada tahun 1994 menjadi 125 kasus pada tahun 1996 per 100.000 penduduk.
Meningkatnya kejadian penyakit tifus di Indonesia disebabkan oleh banyak faktor
antara lain : Urbanisasi, sanitasi yang buruk, pembawa penyakit yang tidak terdeteksi
dan diagnosis yang terlambat.
Banyak penelitian telah dilakukan untuk mengetahui mekanisme respon imun pada
demam tifoid manusia, misalnya dengan menginfeksi hewan laboratorium seperti
mencit dengan S. typhimurium. Gejala dan perjalanan penyakit yang diamati pada tikus
yang terinfeksi S. typhimurium mirip dengan demam tifoid yang disebabkan oleh S.
typhi pada manusia. Hal ini membuat infeksi S. typhimurium pada mencit diterima
secara luas sebagai model percobaan untuk demam tifoid pada manusia (Mittrucker et
al. 2000).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah kasus tifoid di seluruh
dunia adalah 16 hingga 33 dan 500 hingga 600.000 meninggal setiap tahun. Anak-anak
lebih rentan terkena tifus, meski gejalanya lebih ringan pada anak-anak dibandingkan
orang dewasa. Tifoid menyerang orang di semua negara, seperti halnya penyakit
menular lainnya, tifus terjadi di banyak negara berkembang yang kebersihan pribadi
dan kebersihan lingkungannya buruk. Insiden kasus bervariasi berdasarkan lokasi,
kondisi lingkungan setempat, dan perilaku masyarakat.
Sangat sulit untuk menentukan jumlah pasti kasus tifoid di seluruh dunia, karena
penyakit ini dapat memiliki spektrum gejala klinis yang sangat luas.

3
Menurut WHO, pada tahun 2003 terdapat sekitar 17 juta kasus tifus di seluruh dunia
dan 600.000 kematian setiap tahunnya. Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun
2009, tifus atau paratifoid menempati urutan ketiga dari 10 penyakit yang paling banyak
diderita penderita. Tifus mempengaruhi orang-orang di semua negara. Insiden global
adalah sekitar 17 juta per tahun dan 600.000 orang meninggal akibat penyakit ini. WHO
memperkirakan 70 persen kematian terjadi di Asia. Penggunaan obat yang tidak
rasional merupakan salah satu masalah di puskesmas. Endemik demam tifoid muncul
di Provinsi Jawa Tengah 2 ketika jumlah demam tifoid meningkat selama 3 tahun
berturut-turut sejak tahun 2007, jumlah kasus sebanyak 154 kasus, tahun 2008 naik
menjadi 971 kasus, tahun 2009 naik menjadi 4.817 kasus, dan tahun 2010. kembali
menjadi 5.021 kasus meningkat (Riskesda, 2010).
Tifoid adalah salah satu dari 10 penyakit paling umum yang dirawat di rumah sakit.
Tifoid menempati urutan ke-3 dari 10 penyakit terbanyak rawat inap dengan jumlah
kasus sebanyak 55.098 kasus dan case fatality rate (CFR) sebesar 2,06% (Profil
Kesehatan Indonesia, 2011). Tifus merupakan salah satu dari lima penyebab kematian
di Indonesia.

2.3 Etiologi Demam Tifoid


Demam tifoid disebabkan oleh S. Typhi, basil tifoid, basil gram negatif yang bersifat
stigmatik (bergerak dengan rambut bergetar), bersifat anaerobik, dan tidak
menghasilkan spora. Untuk studi epidemiologi, metode skrining laboratorium S. Typhi
"phagotyping" dan "pulsed field gel electrophoresis" sangat bermanfaat untuk
mengidentifikasi isolat. 3S dikenal pada demam paratifoid. Yaitu Enterika : S.
Paratyphi A, S. Paratyphi B, S. Paratyphi C dan beberapa spesies “phage types”.
Bakteri ini masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran pencernaan, dan manusia
merupakan sumber utama infeksi karena melepaskan mikroorganisme penyebab
penyakit saat sakit atau dalam masa pemulihan. Bakteri ini dapat hidup dengan sangat
baik di dalam tubuh manusia dan pada suhu yang sedikit lebih rendah, tetapi mati pada
suhu 70°C atau di bawah pengaruh antiseptik.
Salmonella typhi biasanya ditularkan melalui unggas yang terkontaminasi, daging
merah, telur, dan susu yang tidak dipasteurisasi. Salmonella typhi ditularkan melalui
kontak dengan hewan peliharaan yang terinfeksi seperti kura-kura dan reptil. Demam
tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella Typhi yang masuk ke

4
dalam tubuh melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi, baik dari masakan,
maupun dari tangan dan peralatan yang terkontaminasi. Bakteri ini diserap di usus kecil,
yang bergerak bersama makanan dan kemudian menyebar ke seluruh organ, terutama
hati dan limpa, menyebabkan pembengkakan dan nyeri. Bakteri ini terus menyebar ke
aliran darah dan kelenjar getah bening, terutama usus kecil.
Bakteri pada dinding usus menyebabkan tukak atau borok (dalam istilah medis) yang
berbentuk lonjong. Luka atau bisul ini menyebabkan pendarahan atau robekan, yang
menyebabkan penyebaran infeksi ke dalam rongga perut. Bila kondisinya sangat parah,
diperlukan pembedahan untuk mengobatinya dan bisa berakibat fatal dan
mengakibatkan kematian. Selain itu, bakteri Salmonella Typhi yang masuk ke dalam
tubuh mengeluarkan toksin (racun) yang menimbulkan gejala demam pada yang
terkena. Itu sebabnya penyakit ini disebut juga tifus.

2.4 Patofisiologi Demam Tifoid


Demam merupakan bagian dari respon fase akut terhadap berbagai rangsangan yang
disebabkan oleh infeksi, cedera atau trauma, seperti letargi, dan konsumsi alkohol,
yang dapat menyebabkan dehidrasi, gangguan tidur, hipozinkemia, sintesis protein fase
akut dan lain-lain. Suhu tubuh berhubungan langsung dengan tingkat sitokin pirogenik
yang diproduksi untuk menghadapi berbagai rangsangan, terutama infeksi. Pirogen
adalah zat penyebab demam, ada dua jenis, yaitu pirogen eksogen dan endogen.
Demam (pireksia) adalah suhu tubuh di atas normal dan disebabkan oleh peningkatan
pusat pengatur suhu di hipotalamus yang dipengaruhi oleh IL-1. Pengaturan suhu dalam
keadaan sehat atau demam merupakan keseimbangan antara produksi dan pelepasan
panas.
Sebuah penelitian menemukan bahwa terdapat sebanyak 105-106 organisme
penyebab gejala penyakit, meskipun jumlah yang dibutuhkan untuk menimbulkan
gejala klinis pada bayi dan anak mungkin lebih rendah. Semakin tinggi dosis
Salmonella Typhi yang dikonsumsi, semakin banyak orang yang menunjukkan gejala
klinis, semakin pendek masa inkubasinya mengubah sindrom klinis yang terjadi.

2.5 Patogenesis Demam Tifoid


Perjalanan penyakit S. typhi melewati beberapa proses, dimulai dengan masuknya
bakteri tersebut melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi, melalui mulut dan
feses.
5
Tubuh kemudian menyusun mekanisme pertahanan melalui berbagai proses respon
imun, baik lokal maupun sistemik, spesifik dan non spesifik, serta humoral dan seluler
(Tumbelaka, 2003). Saat memasuki saluran pencernaan, S. typhi tidak selalu
menyebabkan infeksi seperti S. Tifoid harus masuk ke usus kecil.
Setelah memasuki saluran cerna dan usus halus, S. typhi mengalami dua mekanisme
non spesifik yaitu motilitas dan flora normal usus berupa bakteri anaerob. Motilitas
usus bersifat fisik berupa gerak peristaltik usus untuk membasuh bakteri. Di usus halus,
bakteri menyerang mukosa usus, melalui perlekatan mikroba pada epitel, dan
menghancurkan sel mikrofold (sel M), menyebabkan sel epitel terlepas, menyerang
epitel mukosa usus, menyerang lamina propria, berkolonisasi. dan berkembang biak.
Bakteri berkembang biak dalam sel mononuklear sebelum menyebar ke aliran darah
(Nasronudin, 2007).
Di dalam fagosit mononuklear, bakteri dapat menginfeksi patch Peyer, yaitu jaringan
limfoid di kelenjar getah bening terminal ileum, dan berkembang biak, kemudian
bakteri masuk ke sirkulasi sistemik melalui kelenjar getah bening usus dan saluran
toraks. Setelah 24-72 jam, bakteremia primer dimulai, tetapi bakteri tidak terlalu
banyak, sehingga gejala klinis tidak terlihat. Bakteremia primer berakhir ketika bakteri
menyerang organ sistem retikuloendotelial (RES). di limpa, hati, kelenjar getah bening
mesenterika dan kelenjar getah bening usus berkembang biak. Pada organ ini bakteri
mengalami masa inkubasi selama 10-14 hari, pada organ RES bakteri berkembang
pesat dan kembali ke aliran darah sehingga menyebabkan bakteremia sekunder. Ketika
bakteremia sekunder terjadi, tanda-tanda klinis tifus dapat ditemukan (Marleni, 2012;
WHO, 2003).
Dinding sel S. typhi mengandung pirogen LPS (endotoksin) dan sejumlah kecil
peptidoglikan. Endotoksin adalah pirogen eksogen kuat yang merangsang respon imun
makrofag dan sel lain untuk merangsang sekresi sitokin. Sitokin yang berbeda ini;
berikut, sirkulasi darah, sistemik, menginduksi, produksi, prostaglandin,
mempengaruhi stabilitas pusat termoregulasi, mempengaruhi pengaturan suhu tubuh
dan menyebabkan demam (Marleni, 2012).
Sitokin ini juga mempengaruhi pusat nafsu makan sehingga terjadi penurunan nafsu
makan, mempengaruhi ambang nyeri dan menyebabkan nyeri pada kepala, persendian,
otot dan saluran pencernaan. Sitokin mempengaruhi perubahan plak Peyeri, radang
mukosa saluran cerna, mempengaruhi motilitas saluran cerna,

6
menyebabkan mual, muntah, diare, sakit perut, perdarahan, borok, sedangkan pada
stadium lanjut terjadi konstipasi. Kondisi patologis akibat infeksi merangsang
hiperaktivitas RES dan menyebabkan pembengkakan hati dan limpa (Pastoor, 2007).

2.6 Manifestasi Klinis Demam Tifoid


Gejala klinis tifus seringkali atipikal dan sangat bervariasi dari gejala ringan seperti
demam ringan, malaise, dan batuk kering. Menurut patogenesis penyakit mirip tifus,
bentuk klinis yang parah muncul baik berupa gejala sistemik seperti demam tinggi,
gejala septik lainnya, ensefalopati atau komplikasi gastrointestinal berupa perforasi
atau perdarahan usus. Hal ini mempersulit diagnosis berdasarkan gambaran klinis saja
(Darmowandoyo, 2003; Tumbelaka, 2003).
Keluhan demam merupakan gejala klinis utama pada semua penderita tifus. Demam
datang tiba-tiba dan menjadi parah dalam 1-2 hari dengan pola suhu demam yang
ditandai dengan demam yang meningkat secara bertahap setiap hari, memuncak pada
akhir minggu pertama, setelah itu demam mereda. tetap tinggi dan pada minggu
keempat demam perlahan menurun. Selain munculnya gejala demam, sering terjadi
keluhan saluran cerna seperti muntah, mual, diare dan pada kasus lanjut peritonitis
akibat konstipasi dan perforasi usus. Manifestasi gejala psikologis terkadang
mendominasi gambaran klinis, seperti bingung, mengantuk, psikosis atau koma. Gejala
nonspesifik lainnya, seperti batuk, malaise, sakit kepala, menggigil, sering muncul pada
tahap awal penyakit (Pastoor, 2007).

2.7 Pencegahan Demam Tifoid


- Vaksinasi Vaksinasi digunakan untuk mencegah penyakit ini, sekarang ada vaksin
tifus atau tifus yang disuntikkan atau diminum dan dapat melindungi seseorang
dalam waktu 3 tahun.
- Mengedukasi masyarakat tentang pentingnya mencuci tangan setelah buang air
besar dan sebelum memegang makanan dan minuman, serta memastikan cuci
tangan yang benar. Ini sangat penting bagi mereka yang pekerjaannya melibatkan
penanganan makanan dan mereka yang tugasnya merawat orang sakit dan anak-
anak.
- Buang kotoran di toilet yang higienis dan tidak bisa dimasuki lalat. Gunakan tisu
toilet yang cukup untuk menghindari kontaminasi pada jari Anda.

7
Jika tidak ada jamban, feses dikubur di hilir jauh dari sumber air.
- Lindungi sumber air masyarakat dari potensi pencemaran. Air bersih dan klorin
yang didistribusikan ke masyarakat. Menyediakan air yang aman bagi masyarakat
dan rumah tangga.
- Singkirkan lalat dengan menghilangkan tempat berkembang biaknya dengan sistem
pengumpulan dan pembuangan sampah yang baik. Lalat juga bisa diberantas
dengan insektisida, dengan menangkap lalat dengan umpan, dengan memasang kain
kasa. Toilet dibangun sedemikian rupa sehingga lalat tidak bisa masuk ke sana.
- Ikuti standar kebersihan saat menyiapkan dan menangani makanan; menyimpan
makanan pada suhu yang tepat di lemari es. Perhatian khusus harus diberikan pada
salad dan hidangan lainnya yang disajikan dingin. Standar kebersihan ini berlaku
untuk makanan yang disiapkan di rumah atau disajikan untuk umum. Jika kita tidak
yakin dengan standar kebersihan tempat makan tersebut, pilihlah makanan panas
dan buah-buahan ada baiknya dikupas sendiri.
- Pasteurisasi susu dan produk susu. Pantau secara ketat aspek kebersihan dan
kesehatan lainnya dalam produksi, penyimpanan, dan distribusi produk susu.
- Ikuti prosedur jaminan kualitas yang ketat dari industri makanan dan minuman. Saat
pengalengan makanan, gunakan air yang diklorinasi untuk mendinginkan.

8
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Tifus atau tifus berasal dari kata Yunani typhos yang berarti orang yang demam,
dengan kesadaran yang buruk. Widal pada tahun 1896 akhirnya menemukan metode
pengujian tifus yang masih digunakan sampai sekarang. Banyak penelitian telah
dilakukan untuk mengetahui mekanisme respon imun pada demam tifoid manusia,
misalnya dengan menginfeksi hewan laboratorium seperti mencit dengan S.
typhimurium.
Gejala dan perjalanan penyakit yang diamati pada tikus yang terinfeksi S.
typhimurium mirip dengan demam tifoid yang disebabkan oleh S. typhi pada manusia.
Anak-anak lebih rentan terkena tifus, meski gejalanya lebih ringan pada anak-anak
dibandingkan orang dewasa. Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2009, tifus
atau paratifoid menempati urutan ketiga dari 10 penyakit yang paling banyak diderita
penderita. Penggunaan obat yang tidak rasional merupakan salah satu masalah di
puskesmas.
Tifoid adalah salah satu dari 10 penyakit paling umum yang dirawat di rumah sakit.
Saat memasuki saluran pencernaan, S. typhi tidak selalu menyebabkan infeksi seperti
S. Tifoid harus masuk ke usus kecil. Di usus halus, bakteri menyerang mukosa usus,
melalui perlekatan mikroba pada epitel, dan menghancurkan sel microfold,
menyebabkan sel epitel terlepas, menyerang epitel mukosa usus, menyerang lamina
propria, berkolonisasi. Endotoksin adalah pirogen eksogen kuat yang merangsang
respon imun makrofag dan sel lain untuk merangsang sekresi sitokin. Sitokin ini juga
mempengaruhi pusat nafsu makan sehingga terjadi penurunan nafsu makan,
mempengaruhi ambang nyeri dan menyebabkan nyeri pada kepala, persendian, otot dan
saluran pencernaan.
Menurut patogenesis penyakit mirip tifus, bentuk klinis yang parah muncul baik
berupa gejala sistemik seperti demam tinggi, gejala septic lainnya, ensefalopati atau
komplikasi gastrointestinal berupa perforasi atau perdarahan usus.

9
DAFTAR PUSTAKA

Ashar, SKM, M.K.M, Y. K., 2022. Demam Tifoid. In: Manajemen Penyakit Berbasis
Lingkungan. s.l.:Cipta Media Nusantara, p. 162.

Bestari, M.Sc.,, . d. R. S. & Mahmuda, M.Sc., SpPD, d. I. N. N., n.d. TIFUS ABDOMINALIS.
In: Tropical Medicine : Basic and Clinic. s.l.:Muhammadiyah University Press, pp. 10-
15.

Dr. H. Masriadi, S.KM., n.d. DEMAM TIFOID. In: Epidemiologi Penyakit Menular - Rajawali
Pers. s.l.:PT. RajaGrafindo Persada, pp. 55-65.

Jafriati , . J., 2022. Demam Tifoid. In: MONOGRAF EKSTRAKSI SENYAWA Thalassia
hemprichii pada Salmonella typhi. s.l.:Literasi Nusantara, pp. 11-17.

Martha Ardiaria (2019) “Epidemiologi, Manifestasi Klinis, Dan Penatalaksanaan Demam


Tifoid,” JNH (Journal of Nutrition and Health), 7(2), hal. 1.

Pakki, I. B., 2022. EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TYPHOID. In: N. P. Sari & R. M. Sahara,
eds. Epidemiologi Penyakit Menular. s.l.:Get Press, pp. 125-135.

Rahmat, W., Akune, K. dan Sabir, M. (2019) “Demam Tifoid Dengan Komplikasi Sepsis :
Pengertian, Epidemologi, Patogenesis, dan Sebuah Laporan Kasus,” Jurnal Medical
Profession (MedPro), 3(3), hal. 264–276.

10

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai